Anda di halaman 1dari 2

Pada awal tahun 1998, ketika Orde Baru masih berkuasa, Indonesia mengalami krisis yang

sangat serius. Pemerintah saat itu tidak mampu mengatasi krisis tersebut, yang menyebabkan
masyarakat melakukan tindakan kejahatan di berbagai tempat. Gerakan protes masyarakat yang
diprakarsai oleh mahasiswa mulai bermunculan di berbagai wilayah. Mereka memprotes
kepemimpinan Soeharto, yang dianggap gagal dalam menangani krisis Indonesia. Soeharto bahkan
memerintahkan militer untuk meredam aksi demonstrasi, bahkan dengan tindakan represif yang
berujung pada kematian demonstran.

Krisis ini memiliki akar masalah ekonomi, dimana Indonesia sangat terdampak oleh krisis
moneter global yang mengakibatkan penurunan tajam nilai rupiah. Keadaan semakin buruk dengan
adanya masalah utang luar negeri Indonesia yang semakin memburuk. Ketidakstabilan harga-harga
barang pokok, termasuk minyak, juga membuat situasi semakin kacau dan sulit terkendali. Kenaikan
harga minyak juga berdampak pada kenaikan tarif angkutan umum.

Kerusuhan Mei 1998 merupakan suatu ketegangan yang terjadi antara tanggal 13 hingga 15
Mei 1998, terutama di Jakarta, namun juga merembet ke beberapa daerah lain. Sumber utama dari
kerusuhan ini dapat ditelusuri kembali pada krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi di Universitas
Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tewas dalam sebuah demonstrasi.
Salah satu elemen yang memperburuk situasi adalah krisis moneter yang telah mempengaruhi
Indonesia sejak Juli 1997 dan berlangsung hampir dua tahun, berubah menjadi krisis ekonomi
dengan banyak perusahaan gulung tikar dan tingginya angka pengangguran.

Krisis ini, meskipun tidak sepenuhnya disebabkan oleh krisis moneter, turut diperparah oleh
berbagai faktor, termasuk musibah nasional seperti kekeringan yang panjang, kebakaran hutan di
Kalimantan, dan kerusuhan di berbagai kota pada pertengahan Mei 1998 serta insiden-insiden
lainnya. Penyebab utama krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang lemah,
sebagaimana tampak dalam data statistik, melainkan terutama karena jumlah besar utang swasta
luar negeri. Yang melemahkan bukanlah sektor rupiah domestik, tetapi sektor mata uang asing,
terutama nilai tukar dolar AS yang mengalami fluktuasi yang signifikan. Krisis berkepanjangan ini
terutama terkait dengan penurunan tajam nilai tukar rupiah akibat serangan mendadak dan
berkelanjutan terhadap dolar AS (spekulasi) dan jatuh tempo utang swasta luar negeri dalam jumlah
besar. Tanpa serangan terhadap dolar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat
ekonomi mikro, Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, meskipun distorsi pada
tingkat ekonomi mikro diperbaiki, namun jika serangan terhadap mata uang rupiah terus berlanjut,
maka krisis akan tetap terjadi karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan
serangan tersebut.

Selanjutnya, selama 25 tahun setelah reformasi pada tahun 1998, korupsi telah merajalela di
Indonesia. Prof. Denny Indrayana, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM Indonesia
serta Profesor Hukum Konstitusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menggambarkan
tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi dan reformasi peradilan.
Dia menyatakan bahwa era reformasi pasca-1998 sebenarnya menimbulkan harapan besar dalam
upaya memerangi korupsi, tetapi dalam sepuluh tahun terakhir, situasinya semakin sulit akibat
kembalinya rezim korupsi yang sudah lama berkuasa. Fakta menunjukkan bahwa selama era
reformasi, sebanyak 15 menteri dari berbagai periode pemerintahan telah menjadi tersangka dalam
kasus korupsi. Bahkan, kasus korupsi juga terjadi selama pemerintahan Soeharto, di mana dana
negara senilai Rp400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Dengan
demikian, korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia pada tahun 1998, tetapi masih berlanjut hingga
saat ini dan menjadi salah satu penyebab krisis ekonomi yang terjadi pada tahun tersebut.
Salah satu asumsi yang paling mencolok mengenai pemicu kerusuhan Mei 1998 adalah
terkait dengan penembakan empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, yang terjadi sehari
sebelum terjadinya kerusuhan. Meskipun asumsi ini mungkin benar, namun sebenarnya tidak dapat
disederhanakan dengan cara tersebut. Kerusuhan Mei 1998 tidak dapat diisolasi sebagai peristiwa
yang terpisah, karena peristiwa ini merupakan hasil dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang
melibatkan pertarungan berbagai kepentingan.

Situasi ekonomi juga semakin memburuk, dengan beberapa kebijakan pemerintah yang
justru membebani masyarakat. Kenaikan harga barang, terutama kebutuhan pokok, yang begitu
tinggi telah menimbulkan ketidakpuasan nasional.

Peristiwa yang memicu kerusuhan ini adalah bentrokan pada tanggal 12 Mei 1998, ketika
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta berunjuk rasa dan terlibat dalam konfrontasi dengan aparat
keamanan. Empat mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan
Hendriawan Sie, tewas akibat tembakan, dan banyak mahasiswa lainnya mengalami luka-luka.
Kematian keempat mahasiswa ini memicu semangat mahasiswa dan komunitas kampus untuk
menggelar demonstrasi besar-besaran.

Kemudian, pada tanggal 13-14 Mei 1998, terjadi kerusuhan massal dan penjarahan di Jakarta
dan sekitarnya, yang menyebabkan kelumpuhan aktivitas masyarakat. Selama peristiwa tersebut,
puluhan toko dibakar dan dijarah, bahkan ratusan orang tewas terbakar. Pada tanggal 19 Mei 1998,
para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung
MPR/DPR. Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi ini diawali dengan adanya sidang Umum
MPR (Maret 1998) memilih Soeharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk
masa jabatan 1998-2003. Presiden Soeharto kemudian membentuk dan melantik Kabinet
Pembangunan VII. Kabinet yang akan kolusi dan nepotisme ini kemudian membuat mahasiswa
bergerak. Ditambah dengan terjadinya krisis moneter, maka pada bulan Mei 1998, para mahasiswa
dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN, dan mundurnya
Soeharto dari kursi kepresidenan.

Secara praktis, jika direkapitulasi, ada 6 tuntutan reformasi antara lain: (1) Penegakan
supremasi hukum (2) Pemberantasan KKN. Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN
(3) Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya. (4) Amandemen konstitusi. Upaya
amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 tidak hanya memperjuangkan penguatan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), tetapi bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Hal yang perlu dilakukan
adalah mengkaji ulang hasil amandemen keempat UUD 1945 sehingga perubahan lebih
komprehensif guna mewujudkan citacita negara yang ingin dicapai. (5) Pencabutan dwifungsi
TNI/Polri. (6) Pemberian otonomi daerah seluasluasnya. Konsep Otonomi Daerah Yang Dilakukan
Oleh Negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai