Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Dasar Pernikahan dan Kafa’ah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga

Dosen Pengampu: Abdul Kodir Alhamdani,M.H

Disusun Oleh:

Alrizal Rahmatusyam 2201010005

Saepulloh

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

AL BADAR CIPULUS – PURWAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang sampai saat ini telah
memberikan nikmat sehat, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.

Tujuan dan maksud penulis menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi
tugas mata kuliah hokum keluarga Maka dari itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada dosen pengampu Bapak Abdul Kodir Alhamdani,M.H yang telah
membimbing penulis.

Sebagai mahasiswa, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam


pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, penulis secara pribadi memohon maaf atas
kesalahan yang mungkin ada pada isi makalah ini.

Penulis harap isi makalah yang berjudul “dasar dasar pernikahan dan
kafaah” bisa bermanfaat bagi pembaca. Mohon untuk memaklumi jika terdapat
penjelasan yang sulit untuk dimengerti. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
maupun saran, sehingga penulis bisa memperbaikinya dikemudian hari.

Purwakarta, 20 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... iii

A. Latar Belakang ....................................................................................................... iii

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. iii

C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... iii

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 1

A. Dasar dasar pernikahan ........................................................................................... 1

B. Kafaah dalam perkawinan ....................................................................................... 4

1. Pengertian ........................................................................................................... 4

2. Dasar Hukum Kafa’ah ........................................................................................ 6

a. Al-Qur’an ............................................................................................................ 6

b. Al-Hadist ............................................................................................................. 7

C. Kriteria Kafaah Menurut Para Ulama ..................................................................... 8

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 13

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 13

B. Saran ..................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah salah satu institusi sosial yang paling penting dalam
kehidupan manusia. Ia bukan hanya sebuah ikatan cinta antara dua individu, tetapi
juga sebuah kontrak sosial yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat dan
individu yang terlibat di dalamnya.
Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan ibadah,
ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah Allah,
perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam semesta.
Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian ayat-ayat berikut :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
Istilah kafa’ah dalam islam diartikan dengan keselerasan,sebanding,atau
kelayakan. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon pendamping hidup
bukan tanpa sebab. Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan dalam
melewati bahtera rumah tangga perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja dasar-dasar pernikahan?
2. Bagaimana penjelasan tentang kafaah?
3. Bagaimana kriterian kafaah menurut para ulama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dasar dasar pernikahan
2. Untuk mengathui pengertian tentang kafaah
3. Untuk mengetahui kriteria kafaah menurut para ulama

iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar dasar pernikahan


Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan ibadah, ia
juga merupakan sunnah Rasul-Nya. perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah
dalam penciptaan dan keberlangsungan kehidupan di dunia. Beberapa ayat dalam
al-quran menganjurkan umat islam untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan
juga sering di artikan dengan penyempurna islam, karena bnyak nya ibadah dalam
perjalanan nya. Alasan kenapa pernikahan diartikan dengan penyempurna islam
karena orang yang tidak menikah tidak akan bisa menjalani ibadah yg begitu sangat
banyak di dalam bahtera rumah tangga.

Berikut penulis coba paparkan beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang membahas
tentang pernikahan.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).

“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”( Q.S.
An-Nisaa’ : 3).

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui”
.(Q.S. An-Nuur : 32).

1
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-
Ruum : 21).

Sedangkan perkawinan sebagai sunnah rosul dapat dilihat dari beberapa


hadits berikut :

Artinya :”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga diri(dari bertindak maksiat). Adapun
bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena
berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits di atas inilah yang dijadikan sebagai dasar
di dalam melaksanakan perkawinan. Dari dasar dasar di atas, golongan ulama
jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa kawin itu hukumnya sunnah. Para
ulama Malikiyah Muta’akhirin berpendapat bahwa kawin itu wajib untuk sebagian
orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lainnya.
Hal ini ditinjau berdasarkan atas kekhawatiran (kesusahan) dirinya. Sedangkan
ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan perkawinan adalah
mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.1

Berkaitan dengan hal diatas, penuis mencoba menjelaskan beberapa hukum


perkawinan atau pernikahan yaitu :

a) Wajib

Perkawinan menjadi wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak dinikahkan. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa
setiap muslim muslimat wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang dilarang oleh

1
Abd. Rahman Ghozaly ,Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003), hal,16

2
syariat, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan juga
wajib

b) Sunnat

Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat jumhur ulama. Yaitu bagi
orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan
perkawinan dengan syarat walau tidak melaksanakan pernikahan, hal tersebut tidak
akan mengakibatkan perbuatan zina.

c) Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan
serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tangga, sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri
dan istrinya serta anaknya atau jika seseorang kawin dengan maksud untuk
menelantarkan orang lain, atau bertujuan untuk menghancurkan kehidupan
seseorang.. hal tersebut berlandaskan Al – Qur’an yang artinya “Dan orang-orang
yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan
dosa yang nyata.” (QS: al-Ahzab[33]:58).

d) Makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga


cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan
dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak
mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami
istri yang baik yang bisa menjamin kebahagian dunia serta akhirat keluarga
kecilnya.

e) Mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila


tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya
juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan

3
untuk memenuhi rasa cinta bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya
pada awalnya namun membina keluarga yang sejahtera (mengikuti alur).2

B. Kafaah dalam perkawinan


1. Pengertian
Secara etimologi kafa’ah berarti sebanding, setara, serasi, dan sesuai. Kata kufu
atau kafa’ah dalam perkawinan adalah menganjurkan sama atau seimbang antara
calon suami dengan calon istri sehingga masing-masing tidak merasa berat jika
akan melangsungkan perkawinan. Sebanding disini diartikan sama kedudukannya,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam hal akhlak serta harta
kekayaan.3

Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang


pengertian kafa’ah dalam perkawinan. Penulis rangkum sebagai berikut :

a) Menurut Ulama Hanafiyah, kafa’ah adalah persamaan laki-laki dan


perempuan dalam perkara-perkara tertentu, yaitu nasab, islam, pekerjaan, merdeka,
nilai ketakwaan dan harta.

b) Menurut Ulama Malikiyah mengartikan kafa’ah adalah kesamaan dalam


dua perkara yaitu : ketakwaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan
seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.

c) Menurut Ulama Syafi‟iyah mengartikan kafa’ah adalah persamaan suami


dengan istri dengan kesempurnaan atau kekurangannya (selain perkara yang
selamat dari cacat). Kemudian hal yang perlu dipertimbangkan adalah nasab, islam,
merdeka dan pekerjaan.

d) Menurut Ulama Hanabilah mengartikan kafa’ah adalaah persamaan dalam


lima perkara yakni islam, status pekerjaan, harta, merdeka dan nasab.

Makna kafa’ah menekankan arti keseimbangan, keharmonisan dan


keserasian terutama dalam hal agama yaitu dalam hal akhlak dan ibadah. Kafa’ah
jika diartikan persamaan dalam hal harta kekayaan atau status sosial

2
Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998) hal 1
3
M. A. Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Depok: PT Rajagrafindo Persada,
2009), hal. 56

4
kebangsawanan maka akan sama dengan sistem kasta. Dalam Islam tidak
dibenarkan sistem kasta karena semua manusia sama disisi Allah SWT kecuali
dalam hal ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Hujurat Ayat 13 yang berbunyi:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.( AlHujurat Ayat 13)

Kafa’ah dalam perkawinan adalah tuntutan tentang kesetaraan sepasang


suami istri untuk menghindari timbulnya aib dalam hal tertentu. Menurut ulama
malikiyah kesetaraan disini yang dimaksud adalah kesetaraan dalam hal agama dan
kondisi. Sedangkan Jumhur Ulama mengartikan kesetaraan dalam hal agama,
nasab, kebebasan, dan pekerjaan. Kemudian Ulama Hanafiyah dan Hanabilah
menambahkan aspek kesetaraan dalam harta kekayaan.

Di dalam Al-quran tidak diterangkan secara jelas mengenai konsep kafa’ah.


Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama
empat mazhab yakni Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah
menganggap penting mengenai konsep kafa’ah. Sedangkan Ibnu Hazm mempunyai
pendapat bahwa konsep kafa’ah itu tidak penting dalam sebuah perkawinan.
Menurut beliau asalkan orang islam tidak melakukan zina maka dia berhak menikah
dengan wanita yang tidak berzina.

Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon pendamping hidup


bukan tanpa sebab. Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan dalam
melewati bahtera rumah tangga perkawinan. 4

4
Misbachul Musthofa, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Kafa’ah Dalam Perkawinan
Menurut Mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Surabaya”, Tesis, ( Surabaya: UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2010), hal. 23-24

5
Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ibnu Majah, AlBaihaqi dan Ad-
Daruqutni, dari Aisyah RA bersabda bahwa Rasulullah :

“Dari Aisyah RA berkata : Rasulullah bersabda : Pilihlah wanita sebagai wadah


untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu denganmu dan
kawinilah mereka.”

Hadits riwayat Jabir : Para wanita jangan dinikahan kecuali dengan orang
yang setara, dan mereka tidak dinikahkan kecuali oleh para wali dan tidak ada
mahar yang kurang dari sepuluh dirham.

Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Hadist Nabi


Muhammad SAW yang berbunyi :

,‫ لِ َمالِھَا‬:‫ ) تُ ْن َك ُح ْال َمرْ أَةُ ألَرْ بَ ٍع‬: ‫ال‬


َ َ‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم ق‬
‫صلﱠى ﱠ‬ ‫ض َي ﱠ‬
َ ‫ﷲُ تَ َعا َلى َع ْنهُ ع َِن النﱠبِ ﱢي‬ ِ ‫َوع َْن أَبِي ھ َُري َْرةَ َر‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ ْ َ‫ﱢين ت َِرب‬
ٌ َ‫ ) ُﻣتﱠف‬.( َ‫ت يَدَاك‬ ْ َ‫ ف‬، ‫ َو َج َمالِھَا َولِ ِدينِھَا‬,‫) َولِ َح َسبِھَا‬
ِ ‫اظفَرْ بِ َذا‬
ِ ‫ت الد‬

Dari Abu Hurairah RA berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda :Wanita dinikahi
karena empat hal; hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, Maka pilihlah
karena faktor agama niscaya engkau beruntung. (Muttafaq Alaih)

2. Dasar Hukum Kafa’ah


a. Al-Qur’an
1) QS. Al-Maidah ayat 5

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)


orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya
dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah ayat 5 ).

Ayat diatas menerangkan bahwasanya dihalalkannya untuk menikahi


wanita-wanita yang merdeka yang memelihara kehormatannya. Menurut Ibnu jarir

6
istilah muhsanat dari lafad diatas adalah wanita-wanita yang merdeka dengan
demikian bisa diartikan dengan al-hurrah artinya wanita yang merdeka.

2) QS. An-Nur ayat 26

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS.
An-Nur ayat 26)

3) QS. Al-Baqarah ayat 221

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS.
Al-Baqarah ayat 221)

b. Al-Hadist
Dari Abu Hurairah R.A dari Rasulullah SAW bersabda :

َ َ ُ‫ ) تُ ْن َك ُح ْال َمرْ أَة‬: ‫ال‬


‫ألرْ بَ ِع‬ َ َ‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم ق‬ ‫صلﱠى ﱠ‬ َ ‫ﷲُ تَ َعالَى َع ْنهُ ع َِن النﱠبِ ﱢي‬‫ض َي ﱠ‬ ِ ‫َوع َْن أَبِي ھ َُري َْرةَ َر‬
ٌ َ‫ ) ُﻣتﱠف‬.( َ‫ت يَدَاك‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ ْ َ‫الدين َت ِرب‬
ِ ْ َ‫ ف‬، ‫ َولِ َح َسبِھَا َو َج َمالِھَا َولِ ِدينِھَا‬,‫)لِ َمالِھَا‬
ِ ‫اظفَرْ بِ َذا‬
‫ت‬

“perempuan dikawini karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena


kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah engkau
memilih yang beragama. Pastilah engkau bahagia. (HR. Bukhari Muslim)

7
C. Kriteria Kafaah Menurut Para Ulama
Dalam ukuran kafa’ah ini terdapat perbedaan pendapat diantara fuqoha. Hal
yang dipertimbangkan dalam kafa’ah antara lain :

a) Nasab (Keturunan)

Menurut Jumhur Ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa nasab


merupakan suatu hal yang paling penting dan masuk dalam kafa’ah. Hal ini
mendasar pada hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

“Dari Ibnu Umar berkata : Orang Arab itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly
itu sekufu dengan sesamanya, kecuali tukang jahit dan tukang bekam.” (HR. Al-
Hakim)

Bahwa, Orang Arab sepadan dengan Orang Arab, Orang Arab tidak sepadan
dengan orang selain orang Arab. Kabilah satu dengan kabilah lainnya tidak
sepadan. Menurut Ulama Hanafiyah, nasab dalam kafa’ah perkawinan hanya
dikhususkan orang-orang Arab. Maka dari itu, suami istri harus sama kabilahnya.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah orang Quraish sebanding dengan orang Quraish
kecuali dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Jika ditelaah dari pendapat ini yang
menjadi pertimbangan nasab hanya nasab dari bapak. Sedangkan Hanafiyah
berpendapat bahwa golongan Quraish sebanding dengan Bani Hasyim.

Adapun dalil dalam Al-qur‟an terdapat pada Surat Al-Furqan ayat 54 yang artinya:

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. “( QS. Al-
Furqan ayat 54)

Imam Bukhari menjelaskan ayat ini merupakan dalil dalam bab kafa’ah.
Yang dimaksudkan adalah nasab dan hubungan kekeluargaan yang berasal dari
perkawinan.

b) Diyanah (Agama)

Jumhur ulama sepakat bahwa agama dimasukkan dalam kafa’ah agama.


Mengingat sangat pentingnya aspek ini dalam kufu. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam QS. A-Sajdah Ayat 18.

8
Dalam QS. A-Sajdah Ayat 18 yang artinya:

“Orang-orang yang beriman tidaklah seperti orang-orang yang fasik mereka


tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah Ayat 18)

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang muslim yang sholih sekufu
dengan perempuan yang sholihah dan tidak sekufu dengan orang yang fasik. Ayat
menjelaskan bahwa seorang muslin satu dengan lainnya adalah sama. Yang
membedakan dari keduanya adalah tingkat ketakwaannya.

c) Merdeka

Merdeka dalam kafa’ah perkawinan adalah seseorang tersebut bukan


seorang budak. Jumhur ulama sepakat unsur ini dimasukkan dalam kafa’ah selain
Ulama Malikiyah

d) Pekerjaan (Profesi)

Pekerjaan atau profesi diartikan sebagai mata pencahariannya seorang laki-


laki yang dapat menjamin nafkah keluarganya. Jumhur ulama selain Ulama
Malikiyah sepakat memasukkan pekerjaan dalam kafa’ah. Untuk kriteria kafa’ah
tentang profesi atau kedudukan usaha sebagai syarat kafa’ah juga mengalami
perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama yang menjadikan profesi sebagai
salah satu kriteria kafa’ah berdalil dengan hadist yang kebanyakan ulama tidak
menilainya sebagai hadist shahih yang bunyinya :

“Orang Arab itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly itu sekufu dengan
sesamanya, kecuali tukang jahit dan tukang bekam.” (HR. Al-Hakim)

e) Harta Kekayaan

Harta kekayaan disini dimaksudkan adalah harta kekayaan suami untuk


memberikan nafkah kepada keluargannya. Menurut sebagian Ulama Syafi‟iyah
tidak menganggap harta kekayaan sebagai suatu hal yang penting. Mengingat harta
itu bisa datang dan pergi sewaktu-waktu. kemudian tidak pula dijadikan dasar
kebanggaan bagi orang yang berkrepibadian yang tinggi. Sedangkan, Menurut
Ulama Hanafiyah, Ulama Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah harta

9
merupakan sesuatu yang penting dalam kafa’ah Berdasarkan hadist Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi :

“Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata : Rasulullah bersabda :


kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang mempunyai harta”.

Demikian juga kekayaan adanya perbedaan pendapat. Menurut Imam Ahmad,


kekayaan itu merupakan salah satu syarat kafa’ah. Hendaknya seorang laki-laki
yang ingin mengawini wanita memiliki harta yang dapat mencukupi kebutuhan
perempuan tersebut. Adapun dalil yang digunakan adalah hadist Nabi Muhammad
SAW dari Samrah yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi

“Dari Samrah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : kebangsawanan adalah


pada kekayaan dan kemuliaan pada takwa.” (HR. At-Tirmidzi)

f) Tidak Cacat

Menurut Ulama Mazhab Syafi‟i juga menganggap kesempurnaan anggota


tubuh sebagai bagian dari kafa’ah. Seorang laki-laki yang memiliki cacat tubuh
yang menikah dengan perempuan yang sempurna anggota tubuhnya dan sehat itu
membenarkan dibatalkannya suatu perkawinan karena tidak kufu. Sedangkan
menurut Ulama Mazhab Hanafi dan hanbali berpendapat bahwa meskipun cacat
tubuh tersebut tidak menjadikan suatu perkawinan menjadi batal, akan tetapi
memberikan kesempatan bagi seorang istri untuk tetap menerima kekurangan
suaminya atau menolaknya.

g) Akhlak dan perangai yang baik

Tidak sekufu pernikahannya seorang yang berakhlak baik menikah dengan


seorang yang tidak baik. Berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nur : 26 yang
berbunyi :

“Wanita –wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka

10
(yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS.
An-Nur : 26)

h) Ilmu pengetahuan

Tidak juga sekufu pernikahannya seorang yang pandai dan alim dalam agama
dengan seorang yang kurang paham dalam hal agama. Dan pernikahannya seorang
yang berwawasan luas dengan seorang yang buta huruf.

i) Umur

Sepadan dalam segi usia disini adalah seorang laki-laki lebih tua sedikit dengan
perempuan bukan sebaliknya, yaitu perempuan yang lebih tua dari laki-laki.
Kemudian tidak juga sekufu seorang laki-laki yang sudah berusia lebih dari 40
tahun menikahi gadis yang masih berusia 17 tahun.

Dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : Dari Buraidah R.A berkata,
Abu Bakar dan Umar r.a pernah meminang Siti Fatimah maka berkata Rasulullah
SAW “

Sesungguhnya ia masih kecil”, kemudian dipinang oleh Ali r.a maka beliau
menikahkannya dengan Ali.5

Dari kriteria yang telah dipaparkan oleh beberapa ulama di atas, penulis
lebih sepakat dengan pendapat ibnu hazm yang menyatakan bahwa kafa’ah itu tidak
penting berikut penulis coba paparkan sebagian alasan mengapa penulis lebih
sepakat dengan pendapat ibnu hazm dari pada imam mahzab dan akan penulis
jelaskan disaat presentasi nanti.

Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa'ah' tidak penting dalam sebuah


perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam yang
lainnya adalah sama (sekufu'). Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah berzina,
maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslimah yang tidak pernah berzina.
Berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Hujurat: 10:

ٌ‫إِنﱠ َما ْال ُم ْؤ ِﻣنُونَ إِحْ َوة‬

5
Ibid,, 37-39

11
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara ....". (QS. Al-
Hujurat 10).'

Begitu juga dengan al-Hasan al-Basri, as-Sauri, dan al-Karkhi berpendapat


bahwa kafa'ah' bukanlah faktor penting dalam perkawinan dan tidak termasuk
syarat sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidakkufu'an calon
suami dan calon isteri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan
tersebut. Alasan-alasan mereka berdasarkan firmanAllah SWT.:

‫إِ ﱠن أَ ْك َر َﻣ ُك ْم ِع ْن َد ﷲِ أَ ْتقَا ُك ْم‬

Artinya". Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. ....”. (QS. Al-Hujurat: 13).

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam
hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya kecuali
dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan
penghargaan terhadap darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja. Jika
yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah orang
jelata, maka hukuman qishash tetap dijalankan. Jika kekufu’an tidak diterapkan
dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam perkawinan
seharusnya tidak diterapkan.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi kafa’ah berarti sebanding, setara, serasi, dan
sesuai. Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan adalah menganjurkan
sama atau seimbang antara calon suami dengan calon istri sehingga masing-
masing tidak merasa berat jika akan melangsungkan perkawinan. Sebanding
disini diartikan sama kedudukannya, sebanding dalam tingkat sosial dan
sederajat dalam hal akhlak serta harta kekayaan.
Ulama berbeda bendapat dalam pengertian kafa’ah secara lebih
rinci.
Dasar hokum kafaah berdasarkan quran dan hadist
Kafah ukan termasuk kedalam syarat saah nikah, hanya saja untuk
menjadi perimbangan dan pertimbangan untuk mlakuni pernikahan.
Penulis lebi sepakat dengan pendapat ibnu hazm yang berpendapat
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa'ah' tidak penting dalam sebuah
perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam
yang lainnya adalah sama (sekufu'). Semua orang Islam asalkan dia tidak
pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslimah yang
tidak pernah berzina.

B. Saran
Kritik yang membangun kami harapkan demi kemajuan karya tulis ilmiah
dimasa yang akan datang

13
DAFTAR PUSTAKA

Ghozaly Abd. Rahman,Fiqh Munakahat, (Jakarta; Prenada Media, 2003)

Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1998)

M. A. Tihami M. A., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Depok: PT


Rajagrafindo Persada, 2009)
Musthofa Misbachul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Kafa’ah
Dalam Perkawinan Menurut Mahasiswa Fakultas Syari‟ah IAIN Surabaya”,
Tesis, ( Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010)

14

Anda mungkin juga menyukai