Anda di halaman 1dari 5

Berebut Tombak Haminjon

Buku karya Dilema Silalahi ini mengupas kontestasi penguasaan tombak haminjon (hutan
kemenyan) antara masyarakat hukum adat Batak Pandumaan-Sipituhuta (selanjutnya ditulis
MHA Batak PS) dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) serta proses pembingkaian (framing)
identitas kolektif MHA Batak dalam membentuk gerakan perlawanan.
Penyingkiran MHA Batak PS atas “Hutan Adat”
Sering kali akuisisi “Hutan Adat” bermula dari ketimpangan relasi kuasa yang tercermin dalam
dualisme penggunaan instrumen hukum. PT TPL memakai hukum positif yang berlaku sebagai
landasan legal formalnya, sedangkan MHA Batak PS mengacu pada aturan warisan nenek
moyang atau hukum adat dalam penguasaan sumberdaya. MHA memang diakui dan
diakomodir dalam Undang-Undang (UU) terutama UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, namun
sayangnya hal itu sekadar rekognisi semantik-retoris semata.
PT TPL dimudahkan mendapat izin konsesi lahan atas “Hutan Adat” dengan berpegang pada UU
Kehutanan. Pra-putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 (Rachman & Siscawati, 2014), dalam Pasal
1 (6) UU Kehutanan 41/1999 secara eksplisit menyatakan bahwa “’Hutan Adat’ adalah ‘Hutan
Negara’ yang berada dalam wilayah MHA” dan Pasal 5 (1) yang berbunyi bahwa “’Hutan
Negara’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa ‘Hutan Adat’’’. Karenanya,
PT TPL mendapat kelonggaran dan kemudahan dalam operasionalnya untuk mengakuisis
“Hutan Adat” MHA Batak PS.
Untuk memahami penguasaan PT TPL terhadap tombak haminjon, berpangkal pada UU
tersebut, klaim “Hutan Adat” termasuk dalam “Hutan Negara” adalah dalih pengakuisisian
lahan oleh korporasi yang disokong negara. Cikal bakal “Hutan Negara” sebetulnya tidak luput
dari hasil reproduksi penguasaan kolonial Belanda terhadap kepemilikan tanah, hutan, dan
sumberdaya alam di dalamnya, yang kemudian disebut Peluso (2001) sebagai “Hutan Politis”,
melalui proses “teritorialisasi”.
Proses ini adalah wujud kontrol terhadap orang dan aktivitasnya untuk mengakses sumberdaya
alam di dalamnya dengan membuat “tapal batas” ruang geografis atau teritori melalui batas-
batas wilayah yang telah ditetapkan guna menghalangi siapa pun untuk masuk dan melarang
atau mengizinkan aktivitas apa yang diperbolehkan (Vandergeest & Peluso, 1995; Vandergeest,
1996). Di satu sisi, “teritorialisasi Hutan Negara” berdampak pada pembatasan aktivitas
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Di sisi lain, “teritorialisasi” menunjukkan
legitimasi pada apa, di mana, dan siapa yang punya hak milik, serta bagaimana aturan dan
mekanisme dalam penguasaan hutan.
Negara menancapkan otoritas dan superioritasnya dalam pengendalian dan kepengaturan atas
kawasan hutan. Karena itu, “Hutan Negara” merupakan replikasi penguasaan hutan kolonial
Belanda untuk mengawasi, menertibkan, dan membatasi ruang gerak dan aktivitas manusia
dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan hutan. Negara berkuasa penuh untuk mengatur
siapa saja yang dapat mengakses wilayah hutan kecuali jika ada perizinan atau mekanisme dan
regulasi yang ada.
Buku Silalahi ini mengungkap bahwa PT TPL memakai UU Kehutanan untuk melancarkan upaya
mereka menguasai tombak haminjon. Pada awal operasional sekitar 299.060 hektare yang telah
dicaplok oleh PT TPL, namun pada 2011 luasannya berubah menjadi 188.055 hektare.
Sementara itu, wilayah tombak haminjon yang telah ditebang sudah mencapai 400 hektare.
Aktivitas ini memicu kemarahan dan gelombang protes MHA Batak PS dengan menggugat dan
mengajukan banding agar tombak haminjon dikeluarkan dari tapal batas PT TPL. Naasnya, PT
TPL tetap melangsungkan penebangan untuk membuka akses jalan raya.
Kehadiran aparat keamaan semakin membuncahkan amarah MHA Batak PS yang menghalau
upaya mereka untuk menolak penguasaan hutan tersebut. Tak ayal keikutsertaan aparat ini
memicu tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap MHA Batak PS. Pelanggaran HAM pun
tak bisa dihindarkan karena perlakuan aparat yang menghadang protes MHA Batak PS agar tak
mengusik operasional PT TPL.
Protes yang dilayangkan tidak lepas dari keterikatan MHA Batak PS dengan tombak haminjon
yang begitu berarti mengingat secara kultural, spiritual, dan emosional sangat kuat bahkan
sudah membentuk identitas mereka sendiri. Tombak haminjon menjadi ruang penghidupan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Karenanya, gerakan masyarakat adat terhadap
upaya perampasan ruang hidup oleh korporasi muncul dengan tuntutan pengakuan identitas
MHA Batak PS untuk mereklaim tombak haminjon.
Pembingkaian Identitas Kolektif
Munculnya gerakan masyarakat adat dipengaruhi oleh kondisi dan wacana gerakan sosial
global. Rachman (2005) menjelaskan bahwa rekonfigurasi identitas kolektif ditandai adanya
perubahan identitas kolektif “petani” menjadi “gerakan masyarakat adat” yang dirasa kurang
mengikat dan menggalang solidaritas yang lebih luas. Karena itu, perubahan identitas kolektif
“petani kemenyan” menjadi “masyarakat adat Batak” ditempuh oleh MHA Batak PS dalam
membingkai identitas gerakan sosial mereka sehingga mampu menjangkau dan melibatkan
aktor lain di luar komunitas adat.
Perubahan tersebut menunjukkan bahwa MHA Batak PS tidak sekadar ingin mempertahankan
tombak haminjon saja melainkan juga menuntut adanya rekognisi atas eksistensi identitas,
hukum, dan hutan adat. Pembingkaian identitas kolektif gerakan ini diyakini bisa membuka
peluang dan kesempatan politik mereka untuk mengubah kebijakan dan mereklaim tombak
haminjon.
Proses pembingkaian identitas kolektif ini dilakukan dengan cara menarik garis demarkasi siapa
“kita” dan “mereka” sebagai lawan dalam gerakan MHA Batak PS. Konstruksi identitas “ke-kita-
an” akan menjaring para aktor yang lebih luas dan secara otomatis akan tergabung di dalam
gerakan MHA Batak PS. Ada pun identitas “kita” sebagai kawan ini meliputi kelompok MHA
Batak PS itu sendiri, para perantauan Pandumaan-Sipituhuta, institusi dan tokoh agama seperti
perhimpunan gereja dan para pendeta, serta organisasi non-pemerintah, misalnya, KSPPM dan
AMAN Tano Batak. Sementara itu, konstruksi identitas “mereka” sebagai lawan disematkan
pada PT TPL, aparat keamanan, mitra perusahaan, lembaga pemerintahan, serta aktor negara
lainnya yang mendukung perampasan hutan.
Identitas kolektif gerakan perlu direkonstruksi dan direvitalisasi untuk membentuk
“keterlibatan emosional” (emotional involvement) (hal. 133) sekaligus memperkuat internalisasi
identitas diri dalam gerakan MHA Batak PS. Proses ini ditujukan pada setiap anggota dalam
gerakan agar dapat memupuk rasa solidaritas sehingga mampu mencapai tujuan dari gerakan
itu sendiri. Upaya rekonstruksi identitas ini meliputi pelacakan atas genealogi dan teritorial adat
dengan tujuan pengakuan identitas MHA Batak PS.
Pelacakan genealogi dilakukan dengan cara memetakan silsilah marga pertama yang mendiami
dan menempati wilayah tersebut. Secara generik, apa yang dianggap tanah ulayat biasanya
berasal dari siapa yang pertama kali membabat atau membuka lahan yang kemudian menjadi
miliknya. Dalam kasus MHA Batak PS, sistem kemargaan menjadi penentu dalam penguasaan
wilayah. Wilayah Pandumaan-Sipituhuta merupakan “tanah Marbun” di mana Marga
Marbunlah yang pertama kali membuka wilayah MHA Batak PS tersebut (hal. 134).
Penulisan kembali silsilah dapat melegitimasi basis identitas kolektif gerakan MHA Batak PS
untuk mereklaim hak penggunaan dan kepemilikan wilayah “Hutan Adat” mereka. Bagi mereka,
awalnya silsilah justru hanya dianggap sebagai penunjuk sistem kekerabatan saja dan kerap
diabaikan sehingga memunculkan pandangan bahwa mereka bukan “orang asli” wilayah
tersebut atau penduduk pendatang. Dengan kata lain, pelacakan genealogi semakin
memperkuat ikatan dan identitas MHA Batak PS untuk mengenal siapa diri mereka di wilayah
tersebut.
Selain itu, bahwa setiap komunitas adat memiliki teritori dan rencana tata ruang wilayah
adatnya tersendiri tak terkecuali MHA Batak PS, maka diperlukan upaya untuk memetakan
teritori adat mereka secara pastisipatif (hal. 141). Pemetaan partisipatif dapat diartikan sebagai
strategi pemetaan untuk mengembalikan keberadaan masyarakat dalam peta geografis dan
reklaim teritorial atas sumberdaya alam (Pramono, 2014). Dengan kata lain, tujuan pemetaan
wilayah MHA Batak PS adalah untuk mengetahui sejauh mana peta wilayah mereka agar
keberadaannya tidak dipandang sebagai kelompok yang tak berhak menempati wilayah atau
subjek yang tak punya hak pengelolaan dan klaim atas sumberdaya di kawasan tersebut.
Dalam pembuatan peta dominasi pengetahuan modern yang memanfaatkan kartografi dan
disponsori negara digunakan untuk menentukan, mengubah, bahkan mengendalikan suatu
wilayah seturut dengan kepentingannya melalui tapal batas teritorial yang sering berkaitan
dengan penguasaan dan kepemilikan sumberdaya alam. Dominasi dan hegemoni pengetahuan
modern (baca: Eropasentris) dalam pemetaan, yang ditopang dengan relasi kuasa yang tidak
seimbang, kerap bertentangan dengan nilai dan sistem pengetahuan yang bukan-Eropa seperti
masyarakat hukum adat. Tak heran bila perbedaan pengetahuan dan relasional yang timpang
itu memicu konflik perebutan ruang geografis termasuk penguasaan sumberdaya alam di
dalamnya.
Jika merujuk sistem kartografi modern, maka pembuatan peta wilayah bisa berujung pada
pengabaian bahkan cenderung menghapus keberadaan MHA yang menempati wilayah
tertentu. Kartografi modern memungkinkan negara dapat mengukur suatu wilayah dengan
teknologi kekuasaan yang rasional dan efisien yang berkaitan dengan penguasaan dan
kepengaturan wilayah dan sumberdaya. Teknikalisasi ini berbanding terbalik dengan
pemahaman teritorial MHA yang cenderung cair dan berubah-ubah sesuai dengan sistem dan
nilai yang diatur dalam ketentuan adat. Bahkan pengetahuan tentang teritori yang berakar dari
pengalaman dan hubungan mereka dengan wilayahnya tercipta dengan relasi yang rumit dan
tak bisa ditangkap oleh alat pemetaan kartografer.
Karenanya, asumsi tersebut sering menjadi dalih kartografi modern untuk menyangkal
kerumitan hubungan MHA dengan wilayahnya melalui fiksasi pemetaan wilayah yang ilmiah,
rasional, modern, dan efisien. Untuk itu, pemetaan teritori adat sangat diperlukan sebagai
bentuk alternatif gerakan sosial dan perlawanan terhadap penghapusan wilayah masyarakat
adat dengan menunjukkan keberadaan mereka untuk memulihkan kembali haknya yang
terabaikan dan tercerabut melalui pemetaan tandingan (counter-mapping) (Peluso, 1995) dari
pemetaan kartografi modern yang ditopang kuasa negara.
Selain itu, untuk menyempurnakan identitas kolektif gerakan MHA Batak PS, revitalisasi turut
dilakukan dalam rangka mengukuhkan identitas adat dengan mereaktivasi pemerintahan marga
dan huta, rapat umum, ritual adat, sumpat adat, serta penggunaan syair protes dan simbol ulos
dalam aktivitas sehari-hari maupun saat aksi penolakan perampasan wilayah adat oleh PT TPL.
Dengan demikian, tujuan gerakan untuk mendapat pengakuan atas eksistensi dan identitas
MHA dengan tombak haminjon, serta teritorial adat dapat tercapai melalui reaktivasi unsur-
unsur yang inheren dalam MHA Batak PS.
Buku karya Silalahi ini mengulas bagaimana dinamika gerakan MHA Batak PS mulai dari
rekonfigurasi wacana politik dan gerakan sosial global serta pembingkaian identitas kolektif
gerakan MHA Batak PS dalam upaya mereklaim wilayah adatnya: tombak haminjon. Apa yang
dipaparkan Silalahi ini berpijak pada teori gerakan sosial Melucci yang secara diametral
menempatkan MHA Batak PS vis a vis PT TPL dengan merangkai upaya rekonstruksi dan
revitalisasi identitas adat sebagai proses pembingkaian identitas kolektif gerakan MHA Batak
PS.

Referensi

Peluso, N. L. (1995). Whose Woods Are These? Counter-Mapping Forest Territories in Kalimantan,
Indonesia. Antipode, 27(4), 383-406.
Peluso, N. L. (2001). Genealogies of the Political Forest and Customary Right in Indonesia, Malaysia, and
Thailand . The Journal of Asian Studies, 60(3), 761-812.

Pramono, A. H. (2014). Perlawanan atau Pendisiplinan? Sebuah Refleksi Kritis atas Pemetaan Wilayah
Adat. Wacana Jurnal Transformasi Sosial(33), 199-233.

Rachman, N. F. (2005). Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insist Press.

Rachman, N. F., & Siscawati, M. (2014). Masyarakat Hukum Adat adalah Penyandang Hak, Subjek
Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya: Memahami secara Konstekstual Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012. Yogyakarta: Insist Press.

Silalahi, D. (2020). Tombak Haminjon Do Ngolu Nami: Masyarakat Adat Batak Pandumaan dan
Sipituhuta Merebut Kembali Ruang Hidupnya. Yogyakarta: Insist Press.

Vandergeest, P. (1996). Mapping Nature: Territorialization of Forest Rights in Thailand. Society and
Natural Resources, 9, 159-175.

Vandergeest, P., & Peluso, N. L. (1995). Territorialization and State Power in Thailand. Theory and
Society, 24, 385-426.

Informasi Buku
Judul: TOMBAK HAMINJON DO NGOLU NAMI: Masyarakat Adat Batak Pandumaan dan
Sipituhuta Merebut Kembali Ruang Hidupnya
Penulis: Delima Silalahi
Penyunting: Devananta Rafiq
Pemeriksa Aksara: Achmad Choirudin
Penyusun Atak: Azka Maula
Perancang Sampul: Flyingpants Lab
Tebal: 220 halaman/14 x 20 cm
ISBN: 978-602-0857-95-4
Penerbit: Insist Press, 2020

Anda mungkin juga menyukai