Anda di halaman 1dari 4

RESUME

Penetapan Pengadilan Agama Kotabaru Nomor 78/Pdt.P/PA.Ktb

Posisi Kasus :
Pemohon I dan Pemohon II adalah suami istri menikah menurut agama islam pada
tanggal 12 Agustus 2012, namun pada saat itu tidak dicatatkan secara resmi pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pulau Laut Utara, Kecamatan Kotabaru, sehingga Pemohon I dan
Pemohon II tidak mempunyai Akta Nikah yang sah. Pada saat menikah Pemohon I berstatus
duda dan Pemohon II berstatus perawan, setelah menikah mereka telah dikaruniai anak yaitu
DRA yang lahir pada tanggal 29 November 2012 di Kotabaru. Para Pemohon mengalami
kesulitan mengurus Akta Kelahiran anak, karena anak tersebut lahir sebelum perkawinan
Pemohon I dan Pemohon II mendapat buku Akta Nikah yang sah, oleh karena itu para
Pemohon mohon penetapan tentang Pengesahan Anak yang akan dijadikan sebagai alasan
hukum.
Berdasarkan pengakuan para Pemohon dan bukti-bukti dipersidangan, telah diperoleh
fakta-fakta sebagai berikut: bahwa sebelum menikah, Pemohon I berstatus masih beristri
sedangkan Pemohon II berstatus perawan dan antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada
hubungan nasab, semenda maupun sesusuan yang dapat menghalangi terjadinya pernikahan.
Para pemohon menikah ulang dan dicatatkan secara resmi pada tanggal 10 April 2019
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pulau Laut Utara,
Kabupaten Kotabaru. Bahwa sebelum para Pemohon mencatatkan Pernikahannya secara resmi
pada Kantor Ususan Agama, dari hasil pernikahan sirri para Pemohon telah melahirkan 1 orang
anak bernama DRA, lahir pada tanggal 29 November 2012.

Pertimbangan Hakim :
Hakim menimbang bahwa ternyata ketika Pemohon I menikahi Pemohon II, Pemohon I
masih berstatus menikah atau masih memilik istri yang bernama Hidayah, dan Pemohon I tidak
pernah mengajukan izin Poligami sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU. Nomor 1 Tahun
1974 jo Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “ Suami yang hendak beristri lebih dari
satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama ” sehingga ketika menikahi Pemohon II,
Pemohon I telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dengan
melakukan Poligami liar, demikian juga suami yang ingin menceraikan istrinya juga harus di
Pengadilan sebagaimana ketentuan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam sehingga pernikahan
para Pemohon terdapat cacat (fasid) dalam pelaksanaannya; Menimbang, bahwa meskipun
Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan pernikahan yang cacat (fasid), karena
Pemohon I telah melanggar ketentuan perundang-undangan ketika berpoligami tidak sesuai
sebagaimana kehendak Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 56 KHI, akan
tetapi, tidak semestinya anak tersebut menanggung semua akibat hukum karena ketidakjelasan
status hukumnya atas kesalahan yang dilakukan orang tuanya, seseorang itu tidak memikul
dosa orang lain.
Selain itu Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM dan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana dirubah dengan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, juga menyatakan bahwa menyangkut hak anak dan perlindungan atas anak seharusnya
memperhatikan asas “kepentingan yang terbaik bagi anak ”, yaitu mempertimbangkan hak
tumbuh kembang anak dari aspek psikologis perkembangan anak tersebut, oleh karenanya
perlu untuk menetapkan secara hukum status anak yang bernama DRA tersebut; Menimbang,
bahwa ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “ Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.” Ketentuan konstitusi ini menggariskan bahwa setiap anak, tidak terkecuali,
harus dapat perlindungan dari negara untuk keberlangsungan hidupnya di masa depan.
Hakim menimbang bahwa status hukum anak yang bernama Danindra Rasyid Azka
secara hukum tidak bisa dikatakan sebagai anak yang sah menurut ketentuan hukum, namun
demikian perlu penegasan status untuk tetap melekatkan tanggung jawab Pemohon I dan
Pemohon II atas anak tersebut, sehingga hakim menetapkan bahwa status hukum anak DRA
dari perkawinan fasid antara Pemohon I dan Pemohon II yang merupakan anak luar kawin
tidak bisa dikatakan sah menurut ketentuan hukum. Anak tersebut hanya diakui secara biologis
bahwa benar merupakan anak dari Pemohon I dan Pemohon II.

Penetapan Hakim :
Hakim menetapkan mengabulkan permohonan para Pemohon dan
menyatakan anak para pemohon adalah anak dari para pemohon tapi tidak bisa
dinyatakan sebagai anak sah.
RESUME
Penetapan Pengadilan Agama Penajam Nomor 140/Pdt.P/2019/PA.Pnj

Posisi Kasus :
Pemohon I dengan Pemohon II telah menikah di Jalan Raden Sukma RT 18 Kelurahan
Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur, pada
tanggal 4 Februari 2016, pada saat melangsungkan pernikahan tersebut Pemohon I berstatus
duda dan Pemohon II berstatus janda. setelah menikah Pemohon I dengan Pemohon II
membina rumah tangga di rumah kediaman bersama di kelurahan Penajam, Kecamatan
Penajam dan dikaruniai 1 keturunan yaitu: X lahir 16 Maret 2017. pada tanggal 14 Agustus
2019 Pemohon I dengan Pemohon II menikah secara resmi yang dicatatkan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur sesuai
Kutipan Akta Nikah Nomor 0339/028/VII/2019, tanggal 14 Agustus 2019. Bahwa setelah
Pemohon I dan Pemohon II melangsungkan pernikahan secara resmi tersebut, Pemohon I dan
Pemohon II bermaksud untuk membuat Akta Kelahiran bagi anak Pemohon I dan Pemohon II
yang bernama X lahir 16 Maret 2017 tersebut namun pihak yang berwenang menolak untuk
menerbitkan Akta Kelahiran bagi anak Pemohon I dan Pemohon II lantaran tanggal kelahiran
anak tersebut lebihdahulu dari pada tanggal Kutipan Akta Nikah Pemohon I dan Pemohon II,
padahal anak tersebut di atas benar-benar anak Pemohon I dan Pemohon II. Atas dasar itulah
Pemohon I dan Pemohon II mengajukan permohonan penetapan Asal Usul Anak untuk
melengkapi persyaratan pembuatan Akta Kelahiran anak Pemohon I dan Pemohon II.
Berdasarkan pengakuan para Pemohon dan bukti-bukti dipersidangan, telah diperoleh
fakta-fakta sebagai berikut: Pemohon I dan Pemohon II adalah suami istri yang menikah pada
menurut agama Islam tanggal 4 Februari 2016 di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam
Kabupaten Penajam Paser Utara. pada saat menikah Pemohon I berstatus belum bercerai
dengan istrinya terdahulu dan Pemohon II berstatus janda cerai. selama pernikahan tersebut
Pemohon I dan Pemohon II telah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama X lahir pada
tanggal 16 Maret 2017. Pemohon I dan Pemohon II menikah kembali secara resmi pada
tanggal 4 Agustus 2019 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Penajam.
Pertimbangan Hakim :
Hakim menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas bahwa perkawinan
Pemohon I dan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 4 Februari 2016 di Kelurahan
Penajam dilaksanakan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Penajam karena pada saat menikah Pemohon I masih terikat perkawinan dengan istrinya
terdahulu dan belum bercerai maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 maka pernikahan yang dilakukan oleh Pemohon I dan Pemohon II
dikategorikan sebagai perkawinan poligami karena Pemohon I masih terikat perkawinan yang
sah dengan istri terdahulu maka hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jis. Pasal 40 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, selanjutnya pernikahan tersebut
tidak mengikuti tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 44
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Majelis Hakim sesuai Pasal 56 Ayat (3) Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia berkesimpulan bahwa pernikahan kedua Pemohon I dengan
Pemohon II yang tidak dapat memperoleh izin dari pengadilan tersebut harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pada prinsipnya seorang anak mempunyai hak-hak dasar dalam hidupnya yang harus
dipenuhi oleh orang tuanya, masyarakat dan juga pemerintah dan di antara hak tersebut
adalah seorang anak berhak untuk mengetahui asal usul kedua orang tuanya, dibesarkan dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Penetapan Hakim :
Hakim mengabulkan permohonan para pemohon dengan menyatakan bahwa
anak dari para pemohon adalah anak sah para pemohon.

Anda mungkin juga menyukai