Anda di halaman 1dari 5

Wawancara KH.

Achidin Noor, MA (Anggota Dewan Pembina Yayasan Husnul Khotimah Kuningan)

Bagaimana latar belakang lahirnya 5 motto santri menurut Ustadz sebagai salah seorang pendiri
Ponpes Husnul Khotimah ?

Setelah pembangunan pondok pesantren Husnul Khotimah saya mulai memikirkan bagaimana sih santri
yang diinginkan. Maka ketika saya membaca Majmuatur rasaail mulai dari al-fahmu, al-wajibat, terus
diringkaskan bahwa sebenarnya ikhwah itu tampilannya harus punya 5 tampilan. Maka saya ambil ini.
Cuma dibahasakan dengan bahasa yang sederhana. Misalkan tampilan Syiarnya ibadah, terus
dibahasakan dengan Rajin Ibadah. Ini saya terjemahkan istilah-istilah tarbiyah itu dalam bahasa yang
sederhana yang bisa dipahami oleh masyarakat. Kemudian Qiraah menjadi rajin membaca. Sekarang
ditambah dengan menulis. kemudian indibath atau disiplin, al-bisathah atau sederhana, kemudian
akhlak yang mulia. Fenomena santri dengan 5 hal inilah yang diharapkan oleh para guru maupun
pembina pondok pesantren semua kegiatannya mengarah kesitu. Ini semua fenomena yang secara
umum harus ada dalam kehidupan santri. Sebenarnya ini juga fenomena Muslim secara keseluruhan.
Jadi output santri dari mulai masuk sampai keluarnya harus memiliki sifat-sifat seperti ini.

Pesantren adalah lingkungan yang kondusif untuk bisa beribadah lebih banyak. Benarkah demikian?

Harus. Yang namanya pesantren kan nyantri orang. Persoalannya jangan sampai karena namanya
pesantren modern, ibadahnya jadi gak karuan kurang. Beda dengan pesantren salaf kan ibadahnya
santri itu luar biasa. Ketika di masjid dan seterusnya, saya ingin seperti itu sebenarnya. Walaupun
modern, tapi ibadah mah ya ulah di-modern-keun. Biasa aja sesuai dengan standar. Makanya saya ketika
melihat santri suka gregetan. Sampai dulu di masjid itu dikotak-kotak. Sekian meter si fulan yang harus
mengawasi. Jadi begitu adzan dan iqamah itu berdiri satu orang mengawasi sekian meter. Kalau
bercanda dan macam-macam dikeprak. Nah itu saya gak tahu sekarang. Dulu sampai begitu masalah
rajin ibadah itu. Di-setting. Sehingga Qiyamullail-nya kapan, puasa dan seterusnya. Rajin itu kan sesuatu
yang terus dilaksanakan secara continue. Artinya nantinya menjadi sebuah kesadaran. Bukan dipaksa
lagi. Yang diinginkan begitu. Rajin ibadah itu menjadi kesadaran beribadah. Secara continue dan baik.
Nah ini harus jadi patokan bagi para pembina. Pertanyaannya santri seperti itu tidak? Kalau tidak harus
bagaimana supaya begitu? Itu yang saya maksud.

Dalam hal rajin ibadah, bagaimana ukuran/patokan sehingga seorang santri dikatakan rajin ibadah?

Standarnya gampang. Wajibat dilaksanakan, yang sunnah-sunnah muakad juga dilaksanakan. Standar
tidak usah dilebihkan. Tidak usah berlebihan harus dzikir sekian ribu kali. Bukan itu yang dimaksud.
Standar sesuai dengan yang dituntun oleh Rasulullah SAW. Itu sudah cukup. Itu juga sudah keteter
kalau dilaksanakan betul-betul. Rajin ibadah itu secara continue, secara konsisten, dan menjadi
kebiasaan, kesadaran. Kalau di pesantren istilah pemaksaan itu harus ada. Sebab kita mengelola anak
SMP-SMA. Untuk mereka, sekian persen harus dari pemaksaan. Tidak bisa dibiarkan. Kalau dibiarkan
nantinya gak karuan. Kalau sudah mahasiswa ya itu pilihan. Kalau masih Tsanawiyah dan Aliyah harus
ada paksaan, benar-benar diprogram oleh kita.

Bagaimana menumbuhkan kerajinan dalam beribadah di kalangan santri maupun akademisi?

Ya penyadaran pentingnya ibadah. Lezatnya ibadah itu seperti apa. Kalau untuk anak-anak harus ada
paksaan tadi. Jadi ada pemrograman. Akhirnya nantinya menjadi kebiasaan sehari-hari dan kesadaran.
Dan ini harus didukung oleh semuanya, bukan hanya oleh bagian Ruhiyah saja.

Khususnya di Husnul Khotimah, santri juga belajar ilmu umum. Menurut Anda, bagaimana bisa
menyeimbangkan keduanya sehingga porsinya sesuai?

Asli tentang “tilawah” (motto santri ke-dua) itu membaca Qur’an sebenarnya. Rajin membaca al-Qur’an.
Tapi bisa diartikan dengan rajin membaca. Tetapi oleh pesantren kan ketika mereka menjadi siswa atau
mahasiswa bukan hanya sekedar rajin membaca al-Qur’an, tapi membaca kitab-kitab lain. Atau buku-
buku lain. Kita tahu bahwa orang Indonesia itu malas membaca. Cuma rajin membaca ini belum
diimbangi dengan fasilitas yang ada di pondok kita. Saya ingin ada perpustakaan yang hebat di Husnul
Khotimah ini sebenarnya. Cuma karena kepentingan pembangunan yang lain-lain, sementara rajin
membaca ini masih difokuskan ke sekolah dan semacamnya. Tapi sebenarnya kita punya cita-cita
perpustakaan yang representatif, sehingga istilah rajin membaca itu bukan hanya rajin membaca al-
Qur’an, tetapi membaca buku-buku pengetahuan. Idealnya memang harusnya ada perpustakaan besar.
Keinginan saya sebenarnya perpustakaan itu gabung dengan tempat makan. Jadi di bawah tempat
makan, di atasnya perpustakaan. Jadi di bawah ngisi perut, di atas ngisi otak. Supaya dekat. Sebab
perpustakaan itu mesti digunakan di luar sekolah.

Bagaimana caranya membudayakan rajin membaca di kalangan santri khususnya di HK?

Budaya membaca di Husnul Khotimah ini masih rendah. Saya belum melihat fenomena membaca itu
menjadi sebuah budaya. Bahkan guru-guru. Coba kalau habis ngajar. Inginnya sih saya sebulan itu
misalkan ada proyek baca sebulan itu satu buku. Saya inginnya guru-guru itu menambah pengetahuan
itu dengan membaca. Makanya saya menginginkan adanya seminar kecil-kecilan di Husnul ini,
presentasi guru, dan seterusnya. Tapi itu belum terjadi. Jadi budaya baca itu belum tinggi. Gurunya saja
budaya membacanya masih rendah, apalagi santrinya. Hanya bercokol kepada pelajaran saja. Dan juga
fasilitasnya masih kurang. Kita juga tidak menyalahkan guru dan santri, tapi fasilitas memang belum ada.

Tidak hanya membaca, santri juga diharapkan mampu menulis sesuai dengan 5 moto santri. Menulis
seperti apa yang dimaksud?

Belajar menulis. Sebab sekarang dakwah itu bukan hanya sekedar ceramah terus. Sekarang dengan
adanya media sosial, internet, dan seterusnya, itu harus dilatih. Sebab dakwah ini sekarang pakai tulisan
itu lebih banyak lebih efektif. Orang bisa membacanya berkali-kali. Efektivitas dakwah melalui penulisan
sekarang ini sudah jauh lebih bagus dan lebih efektif. Makanya saya tambahkan rajin membaca dan
menulis. Saya menginginkan di pembinaan itu, apalagi guru Bahasa Indonesia, coba dirangsang anak-
anak itu untuk menulis di majalah dinding, melalui lomba-lomba. Tulisan itu kan harus benar sumbernya,
bahasanya harus bagus. Berarti kan harus ada pelatihan-pelatihan jurnalistik. Saya sudah titipkan ke
pembinaan masalah membaca dan menulis itu harus jadi program.

Bagaimana cara menumbuhkan kedisiplinan sementara santri di HK cukup banyak dan berasal dari
banyak daerah dengan watak yang berbeda-beda?

Saya sering mengatakan aturan yang ditetapkan di Husnul Khotimah dalam kedisiplinan santri adalah
dari Islam. Jadi ketika disiplin dengan aturan Husnul, sama dengan disiplin dengan aturan Islam itu
sendiri. Contoh dalam pergaulan misalnya. Di beberapa pesantren pergaulan antara putra dan putri itu
biasa saja. Seperti anak SMA. Itu kan bukan akhlak Islami. Ketika menentukan disiplin semacam ini, kita
ambilnya dari dalam al-Qur’an dan syariat Islam. Jadi ketika mereka disiplin dengan aturan pesantren,
sama dengan disiplin dengan aturan Islam. Itu patokannya. Makanya tidak boleh ada aturan yang
melanggar aturan Islam. Contohnya masalah pemukulan, sanksi, dan seterusnya, itu saya katakan ini
adalah sanksi dalam mendisiplinkan santri itu bukan diyat dan qisas, tapi bentuknya adalah sanksi.
Sanksi itu diatur oleh kita sendiri dan diserahkan kepada waliyul ‘amr. Yang penting jangan sampai
melanggar syariat Islam. Dan diharapkan untuk mendisiplinkan santri itu, gerakan amar ma’ruf nahi
munkar yang disebut hisbah itu berjalan dari semua orang. Hisbah itu tidak usah dilaporkan. Misalnya
ada anak yang buang air kecil sambil berdiri, langsung ditegur dan dinasehati. Tidak perlu dilaporkan.
Pada waktu terlihat, kemudian ditegur, diselesaikan. Itu hisbah namanya. Hisbah ini harus berjalan.
Semua guru peduli.

Ada banyak pelanggaran yang dilakukan santri di HK ini tentunya, dan ada banyak sanksi bagi mereka
yang melanggar disiplin. Apakah itu saja sudah cukup?

Saya sebenarnya ketika ada santri dikembalikan ke orang tua itu malu. Mereka sudah percaya ke kita
untuk dididik dengan baik. Kalau kasarnya mengembalikan ke orangtua mereka bilang “pesantren gagal
mendidik anak saya”. Bukan gagal, tapi belum berhasil. Apa yang kita lakukan melalui SP 1, SP 2, dst., itu
sebenarnya untuk memberikan peluang-peluang kepada santri untuk adanya perubahan yang
diinginkan. Tentu pendekatan-pendekatan untuk mendisiplinkan santri yang bermasalah, ini yang belum
bisa ditemukan oleh kita format yang efektif dan baik. Diharapkan dari halaqoh tarbawiyah itu bisa
meningkatkannya sehingga halaqoh itu kan istilahnya pendidikan yang sangat terbatas dan bisa
menyeluruh secara khusus. Secara umumnya sekolah. Jadi untuk bisa disiplin harus ada banyak faktor
yang mendukung ke arah sana. Halaqoh tarbawiyah, aturan-aturan yang ada, amar ma’ruf nahi munkar,
hisbah terus berjalan. Sanksi itu tujuannya agar ada efek jera. Sebenarnya kedisiplinan itu penyadaran
sehingga menjadi kebiasan dan kesadaran sendiri. Misalkan disiplin harus sholat berjamaah. Memang
pada mulanya kan mungkin ada sanksi bagi yang tidak sholat berjamaah. Tapi harapannya adalah ada
efek jera dan juga sholat berjamaah menjadi kebiasaan dan kesadaran.
Hidup sederhana adalah hal yang baik bagi Muslim dan juga salah satu moto santri HK. Apa itu
kesederhanaan dalam hal ini?

Istilah sederhana itu kan artinya tidak berlebihan. Tidak juga rendah sekali. Sederhana sebagai Muslim.
Sederhana itu kan banyak kaidah-kaidah dalam hadits juga. Kalau makan berhentilah sebelum kenyang
sekali, tidak boleh berlebihan dalam segala hal. Bahkan tidak boleh yang memberatkan. Misalkan
mampunya beli motor tapi ingin beli mobil misalkan. Tapi bukan berarti yang mampu beli mobil terus
naik sepeda. Sederhana itu kan ukurannya adalah tidak berlebihan. Berlebihan itu dilarang oleh Allah.
Melebihi batas-batas kewajaran. Makanya di pondok ini diharapkan santri itu jangan sampai budugan,
tapi juga tidak mewah-mewahan. Makan tidak berlebihan, maju tidak berlebihan, itu sederhana. Tidak
berlebihan.

Setiap santri di pondok manapun akan diajarkan sikap akhlakul karimah. Apa yang dimaksud dengan
akhlakul karimah?

Mengikuti akhlak Rasulullah SAW.. Mengikuti apa yang disampaikan oleh beliau. Makanya saya dulu
kalau taujih itu sederhana sumbernya. Yaitu Riyadhus Shalihiin. Itu sudah cukup sebenarnya. Guru saya
mengatakan kalau kita mengamalkan Riyadhus Shalihiin secara keseluruhan mungkin “disalamin”
malaikat di jalan. Di dalamnya ada semua hal. Yang harus dan tidak harus itu ada. Luar biasa itu.
Patokannya kesitu. Akhlakul karimah itu sudah jelas. Standarnya adalah apa yang dikatakan oleh
Rasulullah SAW.. dan dicontohkan oleh beliau. Maka alangkah baiknya semua guru dan di taujih-taujih
coba ambil sumbernya dari Riyadhus Shalihiin. Jadi patokan akhlakul karimah ini saya melihat
bagaimana bisa melaksanakan dan mengaplikasikan akhlak yang standar dari Rasulullah SAW.. Tidak
berlebihan. Kan sekarang ada istilah akhlak sufi misalnya. Pertanyaannya apakah itu dilakukan Rasululah
SAW. atau tidak? Padahal standarnya sudah ada. Dulu setiap Ashar, imam itu baca satu hadits. Mungkin
5 atau 10 menit baca satu hadits, terjemahkan, selesai. Kenapa tidak? Apa salahnya 5 atau 10 menit
setelah selesai wiridan baca hadits dan dijelaskan. Siapapun imamnya. Atau mungkin silakan ada orang-
orang khusus yang melakukannya setiap habis Ashar. Berarti kan sehari satu hadits. Setahun bisa 365
hadits. Syukur-syukur setiap habis shalat fardhu.
CURRICULUM VITAE

Nama : Achidin Noor


Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Cipari-Cigugur-Kuningan
TTL : Ciamis, 14 Juni 1959
Status : Menikah
Agama : Islam
Phone : 0811201983
e-mail : achnoor@gmail.com
Pendidikan Formal:
 MIN Banjar 1 Ciamis
 MTsN Kawali Ciamis
 MAN Darussalam Ciamis
 Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ulumul Qur’an Universitas Ibnu Saud KSA
 Fakultas Dakwah Jurusan Dakwah dan Ihtisab Universitas Ibnu Saud KSA

Pengalaman kerja:

 Travel Haji dan Umrah Patuna Jakarta


 Guru Ponpes Husnul Khotimah
 Mudir Al-Hikmah Jakarta
 Mudir Husnul Khotimah Kuningan

Pengalaman organisasi:

 Ketua II MUI Kab. Kuningan


 Ketua I BAZNAS Kab. Kuningan
 Ketua FKUB Kab. Kuningan

Anda mungkin juga menyukai