Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : Yeni Sri Hartati

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043575261

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4210 / Hukum Lingkungan

Kode/Nama UPBJJ : 21 / Jakarta

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. a. Prinsip pencemar membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha
dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Atau pencemar harus
membayar Masalah lingkungan yang pada hakikatnya timbul karena adanya
kegiatan ekonomi. Konsekuensi lebih lanjut upaya penanggulangan kerusakan
lingkungan seharusnya dapat pula dilakukan melalui pendekatan ekonomi.
Kerusakan lingkungan dapat dilihat sebagai external cost dari suatu kegiatan
ekonomi yang diderita oleh pihak yang tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi
tersebut. Artinya, akibat yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah akibat adanya
kegiatan industry, akan dirasakan atau ditanggung pihak lain. Jika kerugian tersebut
dikonversikan dalam bentuk beaya, maka beaya tersebut dikategorikan sebagai
external cost dari suatu prosuksi.
Rasio pentingnya diberlakukan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan dimana
penggunaan sumber daya alam kini merupakan kecenderungan atau reaksi dari
dorongan pasar. Sebagai akibatnya, kepentingan yang selama itu tidak terwakili
dalam komponen pengambilan keputusan untuk penetuan harga tersebut, menjadi
terabaikan dan menimbulkan kerugian bagi mereka. Dampak ini kemudian
diistilahkan eksternalitas.
Kerugian pada msyarakat dan lingkungan, merupakan tanggung jawab pemrakarsa
usaha. Dalam perkembangan kemudian diskursus internalisasi biaya lingkungan ini
terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan hal yang disebut sebagai
tanggung jawab social perusahaan (corporate social responsibility) atau disingkat
CSR.

Sumber : BMP HKUM4210/Hukum Lingkungan


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1. b. Gundukan tanah diduga limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) ditemukan di
sejumlah titik dikawasan Marunda sejak beberapa bulan terakhir. Limbah itu diduga
berjenis spent bleaching earth (SBE) dari industri minyak sawit yang berfungsi
menjernihkan cairan minyak goreng.
Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses
bleaching dalam industri pengolahan kelapa sawit seperti minyak goreng dan
oleokimia. Bleaching earth adalah sejenis tanah liat yang banyak mengandung silika
dan aluminium yang disebut fuller’s earth atau bentonite berasal dari hasil tambang.
Sehingga pembuangan SBE dilarang di lapangan terbuka dan
sembarangan. Lantaran akan memicu polusi dan dapat terbakar. Kendati demikian,
teknologi mengurangi kadar minyak SBE telah diaplikasikan. Alhasil, material ini
tidak dikategorikan limbah B3.
Tetapi dengan disahkannya UU Cipta Kerja membawa berkah bagi industri
pengolahan minyak sawit. Lewat regulasi turunannya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup lampiran XIV. Beleid ini menetapkan Spent Bleaching Earth
(SBE) bukan lagi limbah berbahaya atau beracun (B3). SBE dengan kode N 108
dalam lampiran PP Nomor 22/2021 disebutkan Proses industri oleochemical cikal
dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil
ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama
dengan 3%.
Sehingga para pelaku usaha yang menghasilkan limbah SBE seperti yang di
sebutkan dalam kasus soal bukan merupakan limbah bahan beracun dan
berbahaya (B3) dan tidak dapat dijerat pidana ataupun sanksi denda.

Sumber : https://sawitindonesia.com/berkah-spent-bleaching-earth-ditetapkan-limbah-non-b3/
diakses hari jumat tangal 21 Oktober 2022 jam 10.45 WIB

1. c. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi “Setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Sedangkan pencemar membayar menurut penjelasan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pasal 2 huruf j adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau
kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib
menanggung biaya pemulihan lingkungan.
kaitan kedua hal tersebut diatas adalah memiliki kesamaan yaitu memuat mengenai
pertanggung jawaban pihak/kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.

Sumber : Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

2. a. Patisipatif berasal dari kata dalam bahasa inggris “participation” yang artinya
pengikutsertaan atau pengambilan bagian. Partisipatif berarti keterlibatan mental
serta emosi seseorang untuk pencapaian suatu tujuan dan orang tersebut ikut
bertanggung jawab di dalamnya.
“asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk
berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Asas partisipatif merupakan salah satu asas yang penting selain sebagai sebuah
upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, selain itu juga
untuk meningkatkan kualitas keputusan serta penerimaan masyarakat terhadap
keputusan pemerintah yang berhubungan dengan lingkungan.

Sumber : Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
https://www.temukanpengertian.com/2016/01/pengertian-asas-partisipatif.html diakses hari jumat
tanggal 21 Oktober 2022 jam 12.29 WIB.
2. b. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 66 menyebutkan Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat
dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Salah satu bentuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tersebut adalah
melalui analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Analisis dampak lingkungan (Environmental impact assessment) atau Analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. Amdal ini berupa dokumen. AMDAL
bertujuan untuk memperkirakan dampak yang mungkin terjadi sebagai akibat dari
kegiatan atau proyek pembangunan yang direncanakan. AMDAL ini dibuat saat
perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah
aspek abiotik, biotik dan kultural. Dasar hukum AMDAL di Indonesia adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang "Izin Lingkungan Hidup" yang
merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal.
Amdal merupakan instrumen untuk merencanakan tindakan preventif terhadap
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang mungkin ditimbulkan dari
aktivitas pembangunan. Mengingat fungsinya sebagai salah satu instrumen dalam
perencanaan Usaha dan/atau Kegiatan, penyusunan Amdal tidak dilakukan setelah
Usaha dan/atau Kegiatan dilaksanakan. Penyusunan Amdal yang dimaksud dalam
ayat ini dilakukan pada tahap studi kelayakan atau desain detil rekayasa.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_dampak_lingkungan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai