Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
 Nama : NY
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tgl lahir / Umur : 19 Tahun
 Alamat : Banabungi
 Tgl. Pemeriksaan : 27 - 9 - 2022

II. Subjektif
 Anamnesis : Autoanamnesis (Pasien sendiri)
 Keluhan Utama : Gatal area kepala
 Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak 3 hari yang lalu sebelum ke PKM.
Pasien mengeluhkan gatal diarea kepala dengan kulit kepala terkelupas seperti
ketombe dan berwarna kekuningan, disertai dengan kemerahan diarea kepala
yang gatal. Pasien mengatakan keluhan yang dirasakan baru pertama kali
dialami serta rasa gatal yang dirasakan seperti panas dan terbakar. Pasien
mengeluhkan gatal diarea kepala semakin memberat ketika berkeringat dan rasa
gatal sedikit berkurang ketika pasien berada ditempat yang dingin. Pasien tidak
mengeluh demam, mual dan muntah (-), nafsu makan baik, BAK dan BAB
lancar
Riwayat penyakit sebelumnya :
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Autoimun : disangkal
 Riwayat dirawat dengan penyakit lain : disangkal
Riwayat keluarga:
 Riwayat HT : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat kolesterol : disangkal
Riwayat Pengobatan : tidak ada

PAGE \* MERGEFORMAT 8
III. Objektif
 Keadaan umum : Sakit ringan / compos mentis
 Tanda vital & antropometri :
 Nadi : 82 x / menit
 Pernapasan : 24 x / menit
 Suhu : 36,5˚C
 Berat badan : 44 kg
 Pemeriksaan Fisis
Kepala
 Ekspresi : Normal
 Simetris muka : Simetris kiri = kanan
 Status Lokalis :
Ad regio : kepala bagian depan
Efloresensi: makula eritematosa yang ditutupi oleh papul dan skuama
putih kekuningan, hiperemis (+) berminyak (+).

Mata
 Eksopthalmus/enopthalmus (-)
 Kelopak mata : Dalam batas normal
 Konjugtiva : Anemis -/-
 Sklera : ikterik -/-
 Pupil : Isokor +/+
Telinga
 Bentuk : tidak ada kelainan(-)
Mulut
 Bibir : bibir kering (-)
 Tonsil : T1-T1 hiperemis -/-

Dada
 Inspeksi
 Bentuk : Normothorax, simetris kiri=kanan
 Retraksi : (-)
 Palpasi

PAGE \* MERGEFORMAT 8
 Nyeri tekan : (-)
 Perkusi
 Paru kiri : sonor
 Paru kanan : sonor
 Auskultasi
 Bunyi pernapasan : vesikuler
 Bunyi tambahan : Rh -/- , Wh -/-

Perut
 Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Palpasi : Massa tumor (-)
 Perkusi : Dalam batas normal

Anus dan rektum


 Inspeksi : Hiperemis disekitar anus (-)

Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema : -/-

 Pemeriksaan Penunjang: Tidak ada

IV. Diagnosa
 Dermatitis seboroik

V. Terapi
Non medikamentosa
 Edukasi kebersihan
Terapi topikal
 Ketonazole 2%
 Hidrocortison 2,5%
Terapi sistemik
 prednison 20-30 mg/hr
 Isotretinoin 0,1-0,3 mg/kgbb/hr

PAGE \* MERGEFORMAT 8
 Ketokenazol 200 mg/hr

VI. Resume
Seorang perempuan berusia 19 tahun, datang ke PKM dengan keluhan gatal diarea
kepala yang dialami sejak 3 hari lalu sebelum ke PKM, Pasien mengeluhkan gatal area kepala
terutama saat berkeringat disertai dengan kulit kepala terkelupas dan berwatna kekuningan
dan area sekitar kepala kemerahan. Pasien tidak mengeluh demam. mual dan muntah (-),
nafsu makan baik, BAK dan BAB lancar.
 Riwayat penyakit sebelumnya :
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Autoimun : disangkal
 Riwayat dirawat dengan penyakit lain : disangkal
• Riwayat keluarga:
 Riwayat Hipertensi, DM, Kolesterol : disangkal
• Riwayat pengobatan : tidak ada
Pemeriksaan fisik: Keadaan umum : Sakit ringan / compos mentis/ GCS 15
• Tanda vital : Tekanan darah :120/80 mmHg, Nadi: 82 x / menit, Pernapasan: 24 x /
menit, Suhu: 36,5˚C
• Kepala didapatkan makula eritematosa yang ditutupi oleh papul dan skuama putih
kekuningan, hiperemis (+) berminyak (+).
• Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, maka pasien ini didiagnosis dengan
Dermatitis Seboroik

VII. Pembahasan
A. PENDAHULUAN
Dermatitis seboroik (DS) yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah
penyakit yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit
kemerahan. Penyakit peradangan kronis superfisial ini sering mengenai daerah kulit
yang memiliki produksi sebum yang tinggi dan daerah lipatan. Walaupun
patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan terdapat hubungan dengan
produksi sebum yang berlebihan dan ragi komensal Malassezia.3

B. DEFINISI

PAGE \* MERGEFORMAT 8
Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum
terjadi di semua kalangan tanpa memandang status usia, jenis kelamin, dan sosial
budaya. Mulai dari bayi baru lahir, anak – anak, sampai orang dewasa, semuanya
beresiko terkena dermatitis seboroik.
Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit eritroskuamosa kronis yang berulang
dengan predileksi pada area yang memiliki banyak kelenjar sebasea seperti area
wajah, kepala, telinga, badan bagian atas dan daerah lipatan-lipatan tubuh.3,6

C. ETIOPATOGENESIS
Belum diketahui secara pasti tentang etiologi dari dermatitis seboroik ini,
namun banyak yang berpendapat bahwa dermatitis seboroik disebabkan oleh 3 faktor
utama yang saling berhubungan yaitu produksi sebum, jamur Malassezia spp dan
kerentanan setiap individu.1

1. Produksi Sebum
Sebum merupakan bentuk kompleks dari lipid yang diproduksi oleh
kelenjar sebasea dalam tubuh. Komposisi sebum antara lain squalane, wax esters,
trigliserida, kolesterol, dan asam lemak. Sebum memiliki peran yang cukup erat
dengan kejadian dermatitis seboroik. Seperti yang telah dijelaskan di poin
sebelumnya bahwa dermatitis seboroik paling sering menyerang area wajah, kulit
kepala, dada, dan punggung, yang mana area – area tersebut merupakan area
tubuh dengan aktivitas kelenjar sebasea yang tinggi. Fungsi dari sebum ini sendiri
sangatlah penting bagi tubuh, yaitu antara lain menjaga kondisi barrier epidermis
dan mencegah terjadinya evaporasi air berlebih sehingga kulit tidak menjadi
kering.
Proses produksi sebum dikontrol oleh hormon androgen. Aktivitas
produksi kelenjar sebasea ini paling tinggi yaitu disaat 3 bulan awal setelah
kelahiran, saat pubertas, dan akan stabil hingga sekitar umur 50 tahun, setelah itu
aktivitasnya akan menurun.

2. Malassezia spp.
Malassezia spp. merupakan salah satu normal flora yang ada di permukaan
kulit tubuh manusia yang dapat berubah menjadi patogen pada kondisi tertentu.
Terdapat 14 spesies dari jamur Malassezia spp. ini, tetapi yang paling sering
PAGE \* MERGEFORMAT 8
ditemukan pada pasien dermatitis seboroik adalah M. restricta. Jamur Malassezia
spp. bersifat lipofilik, maka dari itu sangat mudah bagi jamur ini untuk tumbuh
dan berkembang pada lingkungan dengan kondisi yang lembab dan banyak
mengandung lipid.
Jamur Malassezia spp. di permukaan kulit akan menghasilkan enzim
lipase yang akan digunakan untuk mendegradasi lipid yang juga ada di permukaan
kulit tersebut. Proses degradasi ini akan mengubah trigliserida yang terkandung
dalam sebum menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas inilah yang nanti
akan menginisiasi terjadinya respon inflamasi serta iritasi pada kulit yang
bersangkutan dan bisa menyebabkan dermatitis seboroik.

3. Kerentanan Individu
Kerentanan atau ketahanan tubuh setiap individu berbeda – beda. Banyak
faktor yang mendasari perbedaan tersebut, antara lain respon imun tubuh, kondisi
barrier epidermis, stress, dan juga faktor nutrisi. Faktor – faktor inilah yang
didiuga ikut andil dalam patofisiologi dari dermatitis seboroik.
Barrier epidermis yang diperankan oleh stratum korneum terdiri dari
beberapa lapisan keratinosit yang sudah mati atau yang biasa disebut korneosit.
Stratum korneum yang merupakan lapisan terluar dari kulit ini berfungsi
melindungi kulit dengan mencegah masuknya mikroorganisme dan agen
berbahaya lainnya yang berasal dari luar tubuh. Apabila kondisi dari barrier
epidermis ini terganggu maka kulit akan semakin rentan terinfeksi agen
berbahaya, termasuk Malassezia spp. Higienitas yang buruk juga menjadi salah
satu faktor yang dapat mendukung terjadinya kejadian dermatitis seboroik.
Apabila individu tersebut tidak menjaga higienitasnya dengan baik, maka akan
banyak sebum yang menumpuk di permukaan tubuh, sehingga memberi
kesempatan untuk Malassezia spp. tumbuh dengan baik.
Selain itu untuk faktor nutrisi belum ada pernyataan yang pasti apakah
terdapat hubungan antara faktor nutrisi yang dikonsumsi dengan kejadian
dermatitis seboroik. Pochi, et al (1970) melakukan penelitian dengan
mengevaluasi aktivitas kelenjar sebasea pada pasien yang menderita obesitas.
Pasien diminta untuk menghindari makanan berkalori selama kurang lebih 4-8
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan produksi sebum
pada pasien obesitas tersebut. Sedangkan Tamer F (2018) pada penelitiannya
PAGE \* MERGEFORMAT 8
tentang hubungan antara diet dengan dermatitis seboroik menyimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara diet dengan resiko terjadinya kejadian dermatitis
seboroik. Meskipun demikian, hubungan antara nutrisi yang dikonsumsi dengan
dermatitis seboroik belum dapat diputuskan dengan jelas karena kurangnya jumlah
literatur yang adekuat.

C. GEJALA KLINIS
Dermatitis seboroik digambarkan seperti bercak eritema dengan sisik
berwarna putih-kuning pada kulit. Terutama pada daerah dengan produksi sebum
yang tinggi. Terdapat banyak bentuk dari dermatitis seboroik, mulai dari yang
paling sederhana hingga yang paling parah dan mengganggu. Bentuk yang paling
sederhana ini salah satunya adalah ketombe, yang biasanya bergejala seperti kulit
kepala kering hingga terkadang bisa sampai mengelupas dan bersisik.2
Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas
dengan permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan
pada daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler,
wajah (lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis) dan dada bagian atas.
Distribusi lesi umumnya simetris dan DS tidak menular maupun fatal.
Pada bayi, DS dapat tampak pada area kulit kepala, wajah, retroaurikuler,
lipatan tubuh dan badan; jarang menjadi generalisata. Cradle cap adalah
manifestasi klinis yang paling sering. Dermatitis seboroik pada anak-anak
biasanya sembuh sendiri. Sebaliknya, dermatitis seboroik pada dewasa biasanya
kronis dan kambuhan. Gatal jarang dirasakan, tetapi sering terjadi pada lesi di
kepala. Komplikasi utamanya adalah infeksi sekunder bakterial, yang
meningkatkan kemerahan, eksudat dan iritasi lokal. Namun pada bayi juga dapat
memberat berupa perluasan lesi kulit hingga lebih dari 90% area tubuh sebagai
eritroderma deskuamativum (penyakit Leiner). Manifestasi klinisnya berupa
demam, anemia, diare, muntah, penurunan berat badan dan dapat menyebabkan
kematian.5
Keparahan DS dapat ditentukan dari adanya eritema, skuama, infiltrasi
dan pustul. Pada setiap parameter digunakan skor 4 poin (0-tidak ada, 1-ringan, 2-
sedang, 3-berat). Pengukuran kedua berdasarkan presentasi area kulit yang terkena
yaitu kurang dari 10% (1 poin), 10-30% (2 poin), 30-50% (3 poin), 50- 70% (4
poin) dan lebih dari 70% (5 poin). Hasil didapatkan dengan mengalikan kedua
PAGE \* MERGEFORMAT 8
pengukuran diatas yaitu DS ringan (skor total 5 atau kurang), DS sedang (skor
total 6-11) dan DS berat (skor total 12-60).6
Distribusi dari lesi dermatitis seboroik biasanya simetris, tersebar di
daerah-daerah yang banyak menghasilkan sebum antara lain wajah (87,7%), kulit
kepala (70,3%), tubuh bagian atas (26,8%), kaki (2,3%), serta kedua tangan
(1,3%).

E. DIAGNOSIS
Diagnosis DS umumnya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis, yaitu berdasarkan adanya lesi eritroskuamosa di daerah
predileksi yang kronis dan berulang. Anamnesis mengenai kondisi, penyakit
penyerta, riwayat keluarga, serta gaya hidup seharihari dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Untuk kasus DS berat, rekalsitran, dan resisten
terhadap pengobatan, kecurigaan adanya penyakit penyerta antara lain
HIV/AIDS, perlu dipikirkan. Tidak diperlukan pemeriksaan khusus untuk
menegakkan diagnosis; pemeriksaan laboratorium dan biopsi dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding.9
Tidak ada hasil laboratorium abnormal yang konsisten pada DS. Namun,
pada kasus-kasus yang menyerupai penyakit lain atau kasus berat memerlukan
pemeriksaan penunjang yang berguna untuk memperkuat diagnosis, mengetahui
faktor yang ikut berperan atau memperberat penyakit tersebut, menjelaskan aspek
etiopatogenesis dan epidemiologi sehingga membantu dalam menentukan terapi
spesifik. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH digunakan
untuk menyingkirkan diagnosis banding penyakit akibat infeksi maupun infestasi
misalnya tinea kapitis, kandidiasis, dan dermatitis karena demodex. Spesimen
diambil dari kerokan kulit superfisial. Pada pemeriksaan KOH dapat ditemukan
spora berbentuk bulat atau oval akibat keterlibatan Malassezia spp. namun hasil
KOH positif tidak menjadi kriteria diagnosis DS karena DS tidak disebabkan
semata-mata oleh pertumbuhan Malassezia spp. yang berlebih, melainkan
merupakan respons abnormal pejamu terhadap Malassezia spp. di kulit.9
Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH digunakan hanya
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan histopatologik terkadang
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, misalnya psoriasis.
Histopatologi DS stadium akut menunjukkan infiltrat perivaskular superfisial dan
PAGE \* MERGEFORMAT 8
sel radang perifolikular, terutama terdiri atas limfosit dan histiosit. Terdapat
spongiosis, hiperplasia psoriasiformis, dan parakeratosis di sekeliling muara
folikel atau follicular ostia (shoulder parakeratosis). Pada lesi kronis, ditemukan
terutama hiperplasia psoriasiformis, parakeratosis, dan dilatasi venula pada
permukaan pleksus yang menyerupai psoriasis. Pada psoriasis, stratum
granulosum biasanya hilang atau menipis akibat diferensiasi keratinosit secara
cepat. Penelitian Park JH. dkk. antara tahun 2004-2013 yang terdiri atas 15 kasus
psoriasis dan 20 kasus DS, menemukan bahwa pada DS ditemukan follicular
plugging, shoulder parakeratosis, dan eksositosis limfosit yang menonjol.
Secara histopatologik, ketombe menunjukkan hiperplasia epidermal,
parakeratosis, dan Malassezia spp. di sekitar sel parakeratotik. Pada ketombe
ditemukan sedikit atau tidak ada infiltrasi neutrofil sedangkan pada DS ditemukan
banyak infiltrasi limfosit dan sel NK (natural killer). Temuan ini mendukung teori
bahwa ketombe dan DS merupakan spektrum penyakit yang sama, namun
berbeda dalam tingkat keparahan dan lokasi.

F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari dermatitis seboroik antara lain psoriasis, dermatitis
atopik, tinea kapitis, rosasea, dan systemic lupus erythematous (SLE)

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi DS tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi
juga untuk menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal. Dermatitis
seboroik dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan sehingga
terapi bertujuan untuk memperbaiki gejala kulit serta kualitas hidup.6
Sebuah panel konsensus 12 ahli dermatologi dari India, Korea Utara,
Taiwan, Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia dan Italia
yang diadakan di Singapura pada tahun 2014 telah membuat rekomendasi praktis
untuk tatalaksana DS pada orang Asia. Paduan tatalaksana DS dibagi menjadi
tatalaksana pada DS skalp dan area berambut,DS non scalp, serta dibedakan
berdasarkan kelompok usia dewasa dan bayi.
Terapi Topikal10

PAGE \* MERGEFORMAT 8
Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi
kolonisasi M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS
dengan obat-obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. Sebuah studi
epidemiologi multisenter transversal yang dilakukan pada 2159 pasien dengan DS
pada wajah dan kulit kepala menunjukkan bahwa terapi yang paling sering
digunakan adalah steroid topikal (59,9%), anti jamur imidazol (35,1%), topikal
calcineurin inhibitor (TCI) (27,2%) bersamaan dengan penggunaan produk
pelembab atau emolien (30,7%)
1. Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala2,7,10
Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi DS skalp.
Terapi topical yang digunakan adalah substansi yang memiliki fungsi anti
jamur, pengatur sebum, keratolitik dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut
tersedia dalam berbagai formulasi seperti krim, emulsi, foam, salep dan sampo.
Penggunaan sampo yang mengandung obat digunakan 2-3 kali seminggu
didiamkan selama 5-10 menit untuk efek anti jamur dan keratolitiknya.
Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik,
fungisidal dan anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan jamur melalui
penghambatan lanosterol 14 dimetilase sehingga menghambat sintesis
ergosterol. Banyak studi menunjukkan efikasinya. Pada suatu studi terbuka
kelompok paralel acak menunjukkan efikasi sampo ketokonazol 2% lebih baik
daripada 1% (p<0,001). Tujuh percobaan buta ganda, acak, terkontrol yang
menganalisis ulasan berbasis bukti menunjukkan hasil yang baik pada 88%
subyek yang diterapi dengan sampo atau krim ketokonazol. Studi buta ganda
acak terkontrol telah menunjukkan bahwa terapi kombinasi sampo ketokonazol
bergantian dengan sampo klobetasol propionat 0,05% menunjukkan efikasi
yang lebih baik dibandingkan ketokonazol saja (p<0,05). Profil keamanannya
ketokonazol yang tinggi didukung oleh beberapa studi berdasarkan sangat
minimalnya penyerapan perkutan dan potensi iritasi dan sensitisasi yang
rendah.
Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang merupakan
derivat hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan penggunaan
substansi yang diperlukan sintesis membran sel jamur dengan mengubah
permeabilitasnya.

PAGE \* MERGEFORMAT 8
Siklopiroksolamin juga memiliki sifat anti inflamasi karena
menghambat pelepasan prostaglandin dan leukotrien. Selanjutnya studi in vitro
menunjukkan aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme
gram positif dan negatif. Pada studi multisenter, acak, terkontrol, buta ganda,
178 pasien mendapatkan 2 kali atau sekali siklopiroksolamin 0,77% jel atau
hanya zat pembawa. Pada akhir studi, gejala membaik secara signifikan pada
kelompok pasien yang diobati dengan siklopiroksolamin dibandingkan dengan
kelompok kontrol (p<0.01).
Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif untuk
terapi infeksi jamur. Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang dapat
meredakan inflamasi kulit kepala dan menurunkan pembentukan skuama pada
kulit dengan penghambatan jamur. Pyroctone olamine secara fungsional dapat
mengganggu pembelahan sel ragi dan transfer material (inhibisi kanal natrium
kalium) dan juga menghambat pertumbuhan jamur.
Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama shea
butter. Bahan ini memiliki sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti jamur
sehingga
sering digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik. Namun bisabolol
kurang begitu poten bila diberikan secara mono terapi sehingga biasanya
dikombinasikan dengan agen lain. Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti
inflamasi, anti iritasi, anti alergi dan antivirus. Pada suatu studi klinis
perbandingan acak yang dilakukan pada 67 subyek yang terkena DS kulit
kepala, diberikan sampo yang mengandung Glycyrrhetic acid ditambah
siklopiroksolamin dan zinc pyrithione. Setelah pemberian 3 kali seminggu
selama 2 minggu, subyek secara acak menerima produk sekali seminggu
selama 8 minggu atau sampo netral. Perbaikan signifikan diamati selama masa
terapi (p<0,0001) dengan penurunan gejala gatal dan pengelupasan kulit) serta
adanya Malassezia kulit. Selama fase pemeliharaan, perbaikan bertahan hanya
pada kelompok yang menerima terapi pemeliharaan dengan perbedaan antar
kelompok yang signifikan.
Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat
melepaskan
sisik keras dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas keratolitik sehingga

PAGE \* MERGEFORMAT 8
efektif untuk terapi DS. Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi.
Beberapa studi telah menunjukkan kemampuannya mengurangi sebum.
Aktivitas fungistatik in vitro nampaknya sama dengan ketokonazol. Shampo
tar digunakan secara luas walaupun bukti yang menunjang efikasinya masih
sangat minim.
Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan
meningkatkan kadar tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein besi
sulfur sehingga mengganggu metabolisme jamur. Malassezia yang menjadi
target didapatkan terutama pada infundibulum folikuler. Sementara agen ini
bekerja pada infundibulum folikuler kulit kepala serta bertahan pada folikel
rambut hingga 10 hari.
Kortikosteroid (KS) bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan
antiproliferasi sehingga dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas
dan menyebabkan vasokonstriksi. Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe,
lokasi, keparahan dan perluasan penyakit serta usia pasien. Kortikosteroid
dianggap sebagai pendekatan terapi lini pertama dan kedua pada DS skalp/
kulit
kepala dan non skalp/ kulit tidak berambut. Tujuan utama pengobatan dengan
kortikosteroid adalah mengontrol dengan cepat tanda dan gejala DS, namun
data
terbatas. Relaps terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika menggunakan KS
daripada agen anti jamur dan terapi topikal non steroid lainnya. Penyerapan,
efikasi dan toksisitas KS topikal bervariasi tergantung area
yang diobati. Pada dewasa dengan DS skalp sedang – berat, dengan
keterlibatan
yang difus, disertai rasa terbakar dan gatal, dapat digunakan KS potensi sedang
sampai kuat tunggal maupun kombinasi dengan agen non steroid. Dermatitis
seboroik pada wajah dapat diberikan KS potensi lemah sampai sedang.
Penggunaan zat pembawa yang tidak mengiritasi dan melembabkan sangat
disarankan. Setelah terjadi perbaikan, penggunaan KS dapat diturunkan secara
bertahap dan agen non steroid dapat ditambahkan untuk mencegah rekurensi
dan relaps (terapi pemeliharaan).10
2. Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut

PAGE \* MERGEFORMAT 8
Pada dermatitis seboroik non scalp umumnya
umumnya sediaan topikal yang digunakan berbentuk krim, foam atau salep.
Pada sebuah studi acak terkontrol yang dilakukan pada 1162 pasien,
dilakukan evaluasi terhadap efikasi dan toleransi ketokonazol 2% krim dan
foam
dengan zat pembawa krim dan foam yang diaplikasikan 2 kali sehari selama 4
minggu. Perbaikan klinis tampak pada 56% kelompok yang diberikan terapi
dan
42% kelompok kontrol. Selanjutnya, ketokonazol dalam bentuk foam maupun
krim sama efektifnya dan dapat ditoleransi dengan baik.
Sedangkan studi mengenai efikasi siklopiroksolamin 1% dilakukan
secara acak dan buta ganda pada 129 pasien menunjukkan perbaikan pada 63%
kelompok yang diobati dibandingkan dengan 34% dari kelompok kontrol. 6
Pada suatu percobaan buta ganda, 72 pasien diberikan ketokonazol 2%
krim (n=63) atau hidrokortison 1% krim (n=36) selama 4 minggu. respon
klinis
pada kelompok ketokonazol adalah 80,8% dan 94,4% pada kelompok
hidrokortison. Tidak ada perbedaan signifikan pada gejala kemerahan,
mengelupas, gatal dan papul antara kedua kelompok tersebut ketika skor
dijumlahkan pada minggu ke 2 dan ke 4 dibandingkan dengan skor awal.
Insiden
efek samping pada kedua kelompok juga rendah..
Penghambat kalsineurin topikal memiliki sifat imunomodulator dan
anti
inflamasi yang membuatnya berguna untuk terapi DS. Keduanya adalah
macrolide lactone yang menghambat enzim kalsineurin dan menekan
pelepasan
sitokin proinflamasi. Pimekrolimus menghambat sintesis dan pelepasan sitokin
proinflamasi dari limfosit T dan degranulasi sel mast. Takrolimus memodulasi
respon T helper 2, menghambat transkripsi IL-2.
Salep takrolimus 0,1% didapatkan sama efektifnya dengan salep
hidrokortison 1% pada terapi DS, membutuhkan aplikasi yang lebih sedikit
selama 12 minggu masa studi karena dapat menghilangkan gejala dan lebih
disukai pasien. Pada percobaan acak, krim pimekrolimus 1% dibandingkan
PAGE \* MERGEFORMAT 8
dengan bethamethason 0,1% pada 20 pasien dengan DS yang diminta
menghentikan terapi ketika gejala sudah hilang. Pada hari ke 9, semua pasien
sudah menghentikan terapi. Dua obat tersebut sama efektifnya dalam
mengurangi gejala eritema, mengelupas dan gatal, tetapi masa remisi yang
lebih Panjang tampak pada kelompok pimekrolimus.

Terapi Sistemik
Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area
keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan
neurologis. Tujuan dari terapi sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan
penggunaan terapi topikal sebagai pencegahan dan pemeliharaan.9,4

1. Anti Jamur
Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung melawan Malassezia dan
anti inflamasi. Anti jamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi DS adalah
golongan triazol (itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin
(terbinafin). Azol dan terbinafin menghambat sintesis ergosterol (suatu
komponen kunci membran sel). Diazol dan triazol menghambat enzim 14 α sterol
dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol menghasilkan
penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga menghambat sintesis enzim
skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi metabolisme ergosterol dan
akumulasi skualan yang menyebabkan kematian sel jamur. Terbinafin memiliki
mekanisme tambahan seperti modulasi neutrofil, efek scavenger pada reactive
oxygen species (ROS) dan modulasi sekresi sebum.
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk
terapi DS, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya.
Saat ini ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja. Itrakonazol saat ini
dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik DS baik kasus akut
maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450 pada hati. Ia
bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme oleh
sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya sehingga dapat
meningkatkan toksisitasnya ataupun menurunkan efikasinya. Itrakonazol
memiliki tingkat keamanan yang baik pada dosis 200 mg/hari. Hepatotoksisitas,
nyeri epigastrium, gangguan irama jantung, hipokalemia, hipertrigliseridemia dan
PAGE \* MERGEFORMAT 8
peningkatan transaminase adalah efek samping yang paling sering dijumpai
selama terapi itrakonazol.
Efikasi terapeutik itrakonazol didukung bukti bahwa agen ini disekresikan
bersama sebum pada stratum korneum dimana kolonisasi Malassezia berada. Sifat
molekulnya yang lipofilik menyebabkan agen tersebut lebih lama berada pada
kulit dan adneksanya bahkan setelah tidak lagi minum obat. Studi yang dilakukan
oleh Kose dan kawan-kawan pada 20 pasien DS menunjukkan penurunan
inflamasi dan perbaikan gejala DS setelah pemberian itrakonazol sistemik pada
dosis 200 mg/hari selama seminggu diikuti pemberian obat dengan dosis 200
mg/hari untuk 2 hari pertama setiap bulan pada 2 bulan berikutnya. Sedangkan
efektivitas itrakonazol sebagai terapi pemeliharaan dibuktikan dari studi oleh
Caputo dan kawan-kawan pada 160 pasien yang sudah diterapi 7 hari dengan
itrakonazol dosis 200 mg per hari. Selanjutnya diberikan dosis 200 mg/hari pada 2
hari pertama per bulan selama 8 bulan. Tidak didapatkan rekurensi selama periode
observasi.
Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh traktus
gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan. Flukonazol secara
signifikan meningkatkan konsentrasi plasma beberapa obat seperti warfarin,
siklosporin, takrolimus dan teofilin. Rifampisin menurunkan kadar flukonazol
dalam darah.7 Sebuah percobaan acak terkontrol yang mengevaluasi efikasi terapi
jangka pendek dengan flukonazol dan plasebo pada 63 pasien dengan DS. Obat
diberikan kepada 27 pasien dengan dosis 300 mg per minggu selama 2 minggu.
perbaikan klinis signifikan dicapai pada pasien dengan flukonazol pada akhir
studi, sementara pasien dengan plasebo tidak menunjukkan perbaikan. Ada juga
percobaan lain yang menggunakan dosis 200 mg/minggu selama 4 minggu.
Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada kulit
untuk memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi dihentikan.
Terbinafin memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi baik dengan
insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan sindrom Steven
Johnson.7 Scaparno dan kawan-kawan melakukan studi acak multisenter untuk
mengevaluasi efikasi terbinafin dibandingkan salep pelembab pada dosis 250
mg/hari selama periode 4 minggu. Terbinafin menyebabkan penurunan signifikan
gejala DS seperti eritema, skuama dan gatal (p<0.0001).
PAGE \* MERGEFORMAT 8
Terapi pada Bayi
Penanganan DS kulit kepala pada bayi lebih sederhana, seperti keramas rutin
dengan sampo bayi dan menyikat dengan lembut untuk melepaskan sisik.
Penggunaan petrolatum putih setiap hari dapat membantu melunakkan skuama.
Jika hal tersebut masih kurang membantu, maka dapat digunakan sampo
ketokonazol 2% sampai terjadi perbaikan gejala. Manfaat klinis krim anti
inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur terbukti dapat mengurangi
sisik secara signifikan dibandingkan placebo. Sedangkan untuk DS pada kulit tidak
berambut dapat digunakan ketokonazol 2% krim secara tunggal maupun kombinasi
dengan kortikosteroid topikal potensi lemah. Pada penyakit Leiner diperlukan hidrasi
intravena, pengaturan suhu tubuh dan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder.2

PAGE \* MERGEFORMAT 8
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Buku Register Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. 2016.
2. Aly R, Katz HI, Kempers SE. Ciclopyrox gel for seborrheic dermatitis of the scalp.
Int J Dermatol. 2003; 42:19-22.
3. Bhatia N. Treating Seborrheic dermatitis. The dermatologist. 2011;7:1-4.
4. Barbareschi M, Benardon S, Veraldi S. Systemic treatment. In: Seborrheic dermatitis.
Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:51-53
5. Berth-Jones J. Eczema, lichenification, prurigo and erythroderma. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology 8th. Ed. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd. 2010. 23:23.29-23.34
6. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic Dermatitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill. 2012:259-265
7. Del Rosso JQ. Adult seborrheic dermatitis: A status report on practical topical
management. J Clin Aesthet Dermatol. 2011; 4:32-38
8. Dall’Oglio F, Tadeschi A, Verzi AE, Micali G. Cosmetological approach. In:
Seborrheic dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:57-59.
9. Kurniati DD. Dermatitis seboroik: gambaran klinis. In: Tjarta A, Sularsito SA,
Kurniati DD, Rihatmaja r. Editor. Metode Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis
dan Dermatitis Seboroik. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007:53-59
10. Lacarrubba F, Nasca MR, Benintende C, Micali G. Topical treatment. In: Seborrheic
dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:41-50

PAGE \* MERGEFORMAT 8

Anda mungkin juga menyukai