Anda di halaman 1dari 10

RESENSI BUKU

KUMPULAN CERPEN PEREMPUAN TANPA NAMA:


MARGINALISASI DAN INFERIORITAS PEREMPUAN
(TANTANGAN MENUJU SASTRA YANG MEMBEBASKAN)

Luh Putu Sendratari


Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha,
Jl. Udayana no. 11, Singaraja 81116
Tel. Telephone (0362) 22570, Fax (0362) 25735
Email : lpsendra@yahoo.co.id

Hal yang paling menyenangkan ketika keadaan yang timpang. Setidaknya, kumpu-
mendapat kesempatan membaca karya sastra lan cerpen ini merepresentasikan beberapa
adalah saat memposisikan karya tersebut se- hal yakni: kemarahan perempuan, keprihati-
bagai karya yang bebas dan lepas dari tekanan nan, kepedulian, kesedihan, pengorbanan dan
pihak mana pun untuk dinilai. Ada kepuasaan masih terbuka untuk diperpanjang lagi sehing-
tersendiri ketika teringat akan pandangan se- ga kita sampai pada pandangan bahwa karya
orang Nietszhe bahwa “sebuah karya akan ini menjadi penegasan atas anggapan bahwa
mati saat lepas dari pengarangnya”. Karya “perempuan adalah mahkluk yang dikurung
cerpen berpendekatan interior monolog Kadek dengan tumpukan nestapa yang tak kunjung
Sonia Piscayanti yang diberi judul Perempuan usai”.
Tanpa Nama ketika berpijak pada pemikiran Ketika cerpen ini dibaca tanpa rasa,
Nietszhe tetaplah sebuah karya yang bebas memang tidak ada rasa apa-apa yang muncul.
dinilai sesuai sudut pandang pembacanya. Namun, akan menjadi berbeda saat dia disen-
Apapun pijakan yang digunakan dalam mem- tuh dengan dimensi kritis. Ada gelora berbeda
baca karya sastra, dia akan punya arti ketika yang muncul atas pembacaan cerpen ini. Cer-
karya tersebut mampu menghadirkan daya pen ini perlu dibaca melalui cara Pembacaan
kritis pembacanya yang akhirnya bermuara Kritis sebagai Perempuan agar ada penegasan
pada perenungan yang tiada henti atau bah- bahwa perlu ada counter wacana terhadap
kan menjadi bahan inspirasi untuk mengubah stigma yang ada selama ini bahwa apa yang

| PRASI | Vol. 11 | No. 01 | Januari - Juni 2016 | 79


dialami perempuan sebagai sesuatu yang re- sastra tetaplah merupakan tindakan kreatif
meh temeh, tanpa arti, biasa-biasa saja diubah dari pengarangnya.
menjadi hal yang tidak biasa, dan bahkan da- Karya Sastra sebagai Ekspresi Jiwa
pat dilihat sebagai tragedi kemanusian. Pemahaman atas karya sastra sebagai ekspresi
Membaca karya sastra yang berpers- jiwa dimaksudkan ke arah pengertian bahwa
pektif feminis memberi sensasi yang berbeda. karya sastra bisa didekati secara psikologis,
Gairah, gejolak, suasana kebatinan para pem- sehingga sebuah karya dicoba dipahami dari
bacanya diwarnai keseruan ketika membaca sisi latar belakang kejiwaan pengarang atau
gugatan-gugatan yang dimunculkan dalam tu- setidaknya dengan menanyakan apa yang
lisan. Kemapanan cara berpikir dan bertindak, dimaksud oleh si pengarang dengan karya-
gugatan ketidakadilan terhadap perempuan karya yang dipelajari itu. Namun pandangan
biasanya sampai mampu menghadirkan sua- ini pun mendapat bantahan dengan beberapa
sana empirik selama mengikuti alur ceritanya. alasan. Pertama, banyak sastrawan menghasil-
Ini adalah satu karya perempuan yang penuh kan karya sastra bukan sebagai ekspresi jiwa,
dengan muatan “derita” perempuan di bawah melainkan cerminan masyarakat sebagai alat
“kuasa” laki-laki. Karya ini menarik dibedah perjuangan sosial untuk menyuarakan aspirasi
dari dua konsep tersebut. Bagaimana pun dan nasib orang yang tertindas. Kedua, seba-
cara membaca karya ini, satu hal yang esensi gai ekspresi karya sastra tidak perlu dipub-
adalah karya ini membuka tantangan sebagai likasikan secara luas. Segala persoalan yang
karya sastra yang membebaskan. Ketika pija- ada pada diri pengarang segera terselesaikan
kan dibawa kepada pemikiran Jean Paul Sartre begitu persoalan itu terekpresikan. Ketiga, se-
melalui pertanyaan, mengapa orang menulis, bagai ekspresi jiwa pengarang, karya sastra
apa alasannya? Menurutnya, menulis dimak- tidak akan dapat bertahan melampaui diri dan
sudkan untuk menjelaskan pilihan kita. Menu- masa pengarang. Keempat, karya sastra tidak
lis berarti menunjukkan komitmen kita dalam dapat menjadi milik subjektif pengarang sepe-
berelasi dengan dunia, entah itu melarikan diri nuhnya karena setidaknya bahasa yang digu-
dari atau menundukkan dunia. Kiranya Sonia nakan merupakan milik bersama.
ingin menunjukkan inilah komitmen dan cara Selanjutnya, keyakinan apa yang mun-
dia memaknai keberadaan dunia perempuan cul dalam diri saya ketika membaca karya
dalam konteks menyingkap tabir dan memberi Perempuan Tanpa Nama. Pertama, saya yakin
makna (J. Supriono,2011). bahwa pengarangnya punya daya imajinatif
dan kreatif dalam menangkap fenomena so-
Beberapa Keyakinan Dalam Melihat sial yang dituangkan melalui karya sastra
Karya Sastra monolog. Kedua, saya yakin bahwa karya ini
dapat menjadi alat perjuangan terhadap orang-
Sastra Sebagai Karya Fiktif Imajinatif orang yang termarginalkan, tertindas, tersakiti
Masih ada pihak yang meyakini bahwa karya ..... bisa diperpanjang dengan teeeeeerrrr yang
sastra bukanlah dunia nyata, melainkan dunia lainnya. Kumpulan cerita yang dibuat dalam
fiksi, imajinasi. Alasannya berkisar pada pan- pendekatan interior monolog dalam karya ini
dangan: pernyataan-pernyataan yang ada bu- merupakan representasi dari cara perempuan
kan proposisi logis, karakter tokohnya bukan sastrawan berteriak tentang beberapa konsep
tokoh sejarah dalam kehidupan nyata, namun dasar dari sisi umat manusia yakni tentang
hasil rekaan pengarang yang muncul begitu kerendahan hati, keterpinggiran, ketidakber-
saja, ruang dan waktu nya pun bukan kehidu- dayaan, ke papaan, ketimpangan. Teriakan
pan nyata. Keyakinan ini telah ada sejak jaman lain yang ditegakkan oleh pengarang dalam
romantik abad XVIII. Namun, akhir-akhir ini cerita monolog ini adalah persilangan domi-
telah muncul pemikiran bahwa karya sastra nasi, hegemoni, pemberontakan atau dalam
adalah hasil karya fiksional dan faktual. Na- istilah Derrida dekonstruksi. Konsep-konsep
mun hal yang tidak bisa dibantah adalah karya ini sengaja dicetak miring untuk menegaskan

80 | PRASI | Vol. 11| No. 01 | Januari - Juni 2016 |


bahwa kumpulan cerita monolog Perempuan tentu (Salim,2006:71). Masuknya tradisi kri-
Tanpa Nama menjadi berkarakter ketika di- tis dalam karya sastra relevan kiranya dirujuk
hubungkan konsep-konsep tersebut. pandangan Griffin dalam Hardt (2007:xviii)
Keseluruhan karya ini kiranya ber- dipastikan bahwa komunikasi bisa menjadi
hak dinilai dalam beberapa aspek yaitu, de- tantangan reflektif terhadap wacana tak adil
sain sampul dan ilustrasinya bisa dinilai telah (unjust discourse) yang berkembang dalam
mewakili sebagian besar cerita yang ada di tindak komunikasi masyarakat. Dalam kon-
dalamnya. Ini penting dikemukakan mengin- teks inilah karya kumpulan cerpen ini me-
gat ada beberapa cerita tidak diwakili secara nampilkan sosok pengarang yang ingin ber-
langsung dari ilustrasi pada cover. Misalnya, teriak tentang ketidakadilan yang berbasis
Hhueeekk...Cuh, Kisah dari Negeri Singa, Ko- gender. Karya kumpulan cerpen Piscayanti
song, Kisah tentang Seorang Penebang Kayu, (2015) akan bisa punya arti tatkala dibedah
Kisah (Masih) Ajaib dari Negeri Singa. Dalam dari pandangan kritis. Setidaknya pembedah
konteks seperti inilah konsistensi seorang pen- terinspirasi dari Eriyanto (2009:4) di mana
garang dituntut agar bisa secara ajeg memberi pandangan kritis akan menitikberatkan pada
arti pada prinsip sastra sebagai alat perjuan- produksi dan reproduksi makna yang terjadi
gan yang membebaskan. Bagi seorang feminis secara historis dan institusional. Setting ce-
pilihan judul yang ditunjang dengan desain rita, penokohan dan ending dipadati dengan
sampul dan ilustrasi pada cerpen Perempuan wacana konstruktif yang dihasilkan secara
Tanpa Nama harus diakui sangat menggugah, historis. Pandangan ini melihat ada kerja
menggairahkan dan gampang menjadi pemicu kuasa dibalik wacana yang harus dimengerti
kemarahan, kegundahan, dan kepiluan. Dari oleh pembaca yang kritis. Menurut Eriyanto
sisi inilah tingkat ketajaman intuisi pengarang (2009:7) dalam analisis wacana kritis (critical
gayut dengan illustrator dan sekaligus menjadi discourse anatysis) bahasa tidak dipandang
daya pikat yang memiliki nilai tinggi terhadap hanya sebatas pada struktur dan kaidah keba-
karya ini dari segi perjuangan moral atas keter- hasaan akan tetapi melihat hubungannya ter-
purukan mahkluk Tuhan yang disebut perem- hadap konteks. Konteks yang dimaksudkan
puan. Pemilihan warna sampul tiba-tiba men- yaitu bahasa dipakai untuk tujuan dan prak-
jadi perhatian saya juga. Warna sampul yang tek tertentu, termasuk di dalamnya praktek
dipilih tergolong kelam. Setiap pengarang kekuasaan. Produksi wacana juga memiliki
berhak menentukan tampilan wajah bukunya. efek ideologis yang dapat diartikan wacana
Jika, pengarang tidak hanya berpijak pada tersebut dapat memproduksi dan mereproduk-
arena ideologis tetapi sekaligus memperhi- si hubungan kekuasaan yang tidak imbang di
tungkan selera pasar, maka aspek perwarnaan antara kelas-kelas sosial, laki-laki dan perem-
barangkali patut dilirik. Hipotesa yang sering puan, kelompok minoritas dan mayoritas yang
mengemuka adalah warna buku menjadi salah direpresentasikan dalam posisi sosial yang
satu daya tarik calon konsumen. Terlepas dari ditampilkan. Analisis wacana kritis akan me-
semua itu, bagi saya nilai ideologis buku ini nyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok
memang tidak sebanding dengan kepentingan sosial yang ada saling bertarung dan mengaju-
urusan pasar. kan versinya masing-masing. Analisis wacana
Keyakinan lain yang tidak bisa di- kritis membuka ruang pula pembacaan tanda-
hindari adalah pengarang ingin tampil kritis tanda pada sebuah karya sastra. Ferdinand
dengan memakai karya sastra dalam bentuk de Saussure, seorang ahli bahasa asal Swiss
komunikasi sebagai alat perjuangan moral. memperkenalkan mengenai bahasa sebagai
Paradigma yang dijadikan pijakan untuk sistem tanda. Menurutnya, tanda terdiri atas
membedah karya ini adalah paradigma tradisi 2 elemen yaitu penanda (signifier) atau citra
kritis yang seringkali disebut sebagai ideolog- bunyi (sound-image) dan petanda (signified)
ically oriented inquiry yaitu suatu wacana atas atau konsep yang diacu yang keduanya tidak
realitas dengan muatan orientasi ideologi ter- ada hubungan yang hakiki. Teorinya kemu-

| PRASI | Vol. 11 | No. 01 | Januari - Juni 2016 | 81


dian dilanjutkan oleh Roland Barthes yang menekankan adanya 3 hal untuk menjelaskan relasi
antara penanda dan petanda yaitu denotasi, konotasi, dan mitos. Menurut Barthes sebagaimana
dikutip oleh Fiske (1990:140-144) denotasi merujuk pada apa yang diyakini akal sehat/orang
banyak; konotasi menjelaskan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi dari pengguna dan nilai dalam budaya mereka; mitos terbagi dua yaitu mitos prim-
itif dan mitos terkini. Mitos primitif adalah mitos penciptaan, sedangkan mitos terkini adalah
mitos mengenai maskulinitas, feminitas, tentang keluarga, tentang kesuksesan, tentang ilmu
pengetahuan, dsb. Kandungan mitos yang dipaparkan oleh pengarang akan diulas lebih lan-
jut.
Kini, saya masuk pada posisi masing-masing cerita. Pada awal tulisan pengarang men-
gaku bahwa ini adalah “kaleidoskup perjalanan hidup selama 13 tahun. Selayaknya sebuah per-
jalanan, ada jalan datar, berliku, menanjak dan menurun” (2015:ix). Namun, perjalanan yang
dialami ternyata tidak disusun secara sistematis sesuai urutan tahun saat masing-masing ketika
karya ini disusun. Dari sisi kebutuhan pembaca membidik cara pengarang menempatkan satu
isu secara hirarkhie dan konsisten dengan perjalanan pembuatannya, akhirnya terbayar ketika
menghayati cerpen yang ditempatkan pada halaman 1 yang bertajuk Langit Ini Mengejekku.
Kesan mendalam yang menarik di mata saya ketika cerita ini menyiratkan pentingnya kerenda-
han hati tatkala mendapat pengalaman lain di dunia yang berbeda. Bermula dari sifat jumawa
seseorang atas di negeri sendiri, akhirnya ada pelajaran baru yang di dapat bahwa di atas langit
ternyata masih ada langit. Di sinilah sifat kerendahan hati mendapat tempat yang teristimewa
dalam kumpulan cerita ini. Saya ingin katakan bahwa dalam konteks oposisi biner, kerendahan
hati adalah representasi dari sifat feminin, sementara kesombongan, keangkuhan, rasa percaya
diri merupakan representasi maskulin. Kepuasan sebagai seorang pembaca perempuan ketika
cerita ini ingin membangun kesadaran bahwa keseimbangan dimensi maskulin dan feminin
punya nilai tinggi bagi kehidupan. Penempatan cerita pertama dapat diartikan sebagai unsur
kekuatan yang harusnya bisa ditangkap oleh siapa pun yang membaca karya ini sampai tun-
tas. Subordinasi satu dengan yang lain bisa menjadi penyebab munculnya ketidakadilan. Men-
gacu pada beberapa pemikiran dari ahli ilmu sosial, kiranya dapat dimengerti bahwa berbagai
ketidakadilan gender yang ada dalam realitas sosial dapat bersumber dari konstruksi sosial yang
timpang dalam wujud stereotype, marginalisasi dan kekerasan (Fakih,1996; Mufidah,2010).
Sekumpulan cerita monolog yang disuguhkan dalam karya ini menyisakan makna-mak-
na konotatif serta berbagai mitos kekinian (insklusif). Sederetan makna tersebut dapat kiranya
dipilah berikut ini.

82 | PRASI | Vol. 11| No. 01 | Januari - Juni 2016 |


| PRASI | Vol. 11 | No. 01 | Januari - Juni 2016 | 83
84 | PRASI | Vol. 11| No. 01 | Januari - Juni 2016 |
Berpijak dari hasil bacaan atas karya harusnya menjadi perempuan dari kacamata
monolog Perempuan Tanpa Nama dapat di- laki-laki. Ideologi semacam itu yang tertanam
analis persoalan marginalisasi dan inferiori- dalam diri laki-laki disebut dengan ideologi
tas yang tampak dari tokoh perempuan yang patriarki. Patriarki meletakkan perempuan se-
dimunculkan dalam cerpen. Pembacaan atas bagai laki-laki yang inferior dan pemahaman
kalimat-kalimat yang mengemuka dalam ini digunakan di ruang domestik maupun
monolog menjadi berarti ketika dibedah publik (Walby,2014).
melalui kritik sastra feminis. Menurut Sugi-
hastuti dan Suharto (2015:19) kritik sastra b. Perempuan Mahkluk Penurut dan Mu-
feminis bukan berarti pengkritik perempuan dah Ditaklukkan
atau kritik tentang perempuan, juga bukanlah Cerita Aku, Kaler dan Buyar; Cinta-
kritik tentang pengarang perempuan. Arti se- lah yang Membuat Sesekali Bertahan, Menu
derhana yang dikandungnya ialah pengkritik Makan Malam menguatkan pencitraan bahwa
memandang sastra dengan kesadaran khusus; perempuan adalah mahkluk yang mudah diji-
kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang ban- nakkan, mudah terkena pesona dan bujuk rayu
yak berhubungan dengan budaya, sastra, dan sehingga wajar menjadi korban pelampiasan
kehidupan. Menurut Ruthven (1990: 6-7), kri- nafsu laki-laki. Dalam beberapa cerita, pema-
tik sastra feminis mengambil peran sebagai haman ini dapat dimengerti dari beberapa ce-
bentuk kritik negosiasi, bukan sebagai bentuk rita tentang korban perempuan yang diperko-
konfrontasi. Kritik ini dilakukan dengan tu- sa. Dalam satu cerita pengarang mengirim
juan untuk menumbangkan wacana –wacana pemahaman bahwa pesona laki-laki yang
dominan, bukan untuk berkompromi dengan membuat perempuan jatuh cinta dan terikat
wacana dominan tersebut dengan memakai pada pesona tersebut sehingga akhirnya ter-
teori kritis jerat dalam satu kesadaran palsu bahwa apa
Karya ini menjadi hidup manakala tampak dipermukaan akan sesuai dengan hara-
berbagai hal yang digambarkan melalui to- pan. Dalam konteks ini ada penegasan dari
koh dalam monolog dilihat sebagai proses Ruthven (1990:79) bahwa perlakuan romantis
dari aktivitas ideasional ke pengalaman indi- merupakan awal langkah penundukkan laki-
vidu (Iser,1978:34,38). Pengalaman individu laki atas perempuan. Lebih lanjut dikatakan
yang dimaksud adalah pengalaman individu cinta romantis merupakan bentuk penindasan
pembaca (termasuk pembaca perempuan), perempuan karena menyebabkan perempuan
misalnya pengalaman emosi, pengalaman so- menyerahkan subjeksinya, bertahan dalam
sio budaya, dan pengalaman psikologi komu- keadaan tertindas, dan terlambat dalam bertin-
nikasi (Junus, 1985:75). Pengalaman empirik dak. Adanya cinta romantislah yang membuat
dari sejumlah peneliti menjadi masukan ber- beberapa perempuan dalam cerita ini bertahan
harga dalam mengkritisi karya ini. dalam kekerasan dan ketertindasan. Cerita-ce-
Representasi perempuan dalam kum- rita yang disuguhkan tentang gambaran dunia
pulan cerpen Perempuan Tanpa Nama dapat laki-laki dan perempuan dapat digambarkan
diurai berikut ini. berikut ini:
a. Perempuan Mahkluk Marginal di Mata Dunia Laki-laki = berjudi, keluar rumah, me-
Laki-laki Penguasa nyeleweng, bekerja.
Power atau kekuasaan dalam cerita Dunia Perempuan = mengurus rumah tangga,
tersebut tampak dari cerita Menu Makan bekerja mencari uang, memasak, membersih-
Malam; Aku Harus Pergi, Layon Sari dan kan rumah, melayani hasrat seks.
Tetek. Sebagai karya monolog, tokoh yang
digambarkan tampak menonjol adalah tokoh Bukan hanya penurut dan mudah di-
aku sebagai tokoh yang memiliki posisi yang jinakkan, tergambar pula bahwa perempuan
marginal sekaligus inferior di mata suami. dalam cerita merupakan objek seks laki-laki
Secara tersirat pula tentang bagaimana se- sebagai dampak dari mudahnya ditundukkan

| PRASI | Vol. 11 | No. 01 | Januari - Juni 2016 | 85


dan penurut atas kemauan laki-laki, sehingga Apa penyebab terjadinya kekerasan
unsur kekerasan dalam beberapa cerita men- ? Berdasarkan hasil studi terhadap 90 ko-
dominasi setting maupun alur cerita. Dalam munitas ada empat faktor yang menjadi pe-
kehidupan nyata, rumusan/definisi tentang nyebab tindak kekerasan, pertama ketimpan-
kekerasan biasanya bahan yang populer un- gan ekonomi antara perempuan dan laki-laki.
tuk dijadikan rujukan adalah Hasil Konfer- Kedua, kekerasan sebagai jalan keluar suatu
ensi ke-4 tentang Perempuan di Beijing Tahun konflik. Ketiga, otoritas laki-laki dalam
1995 berikut ini. pengambilan keputusan. Keempat, adanya
[Setiap aksi kekerasan yang didasarkan hambatan perempuan untuk meninggalkan
pada jender yang berakibat, atau mungkin men- setting keluarga. Beberapa cerita dalam kon-
gakibatkan kerusakan fisik, seksual atau psikologis
atau penderitaan perempuan, termasuk ancaman- teks ini, kekerasan terjadi sebagai representasi
ancaman dari aksi-aksi semacam itu, pemaksaan dominasi laki-laki. Menurut Wahjana seba-
atau perampasan kemerdekaan dengan sewenang-
wenang yang terjadi baik dalam kehidupan publik gaimana dikutip oleh Sofia (2009:66) menga-
maupun kehidupan pribadi....] mati bahwa kekerasan merupakan fungsi dari
(United Nation via Djannah, dkk, 2002:12). norma-norma sosial yang telah terkonstruksi
yang menempatkan laki-laki pada posisi yang
Permainan kuasa yang berujung pada tindak dominan sebaliknya perempuan di posisi ter-
kekerasan tampil dalam cerita Aku Harus subordinasi. Selain itu, masalah komunikasi
Pergi; Menu Makan Malam dan lain lain. Per- menjadi penyumbang kekerasan terhadap
tanyaannya adalah di mana pusat kekuatan perempuan karena ketidak mengertian antara
yang menjadi latar kondisi ini terjadi. Menu- suami istri.
rut Gramsci (pada Budiman,1985:34-35),
terdapat dua jenis kekuatan, yaitu kekuasaan c. Tubuh Perempuan adalah Objek Seks
hegemonis atau kekuasaan yang diperoleh Selain penurut, mudah ditaklukkan
dengan persetujuan dari orang-orang yang di- tubuh perempuan juga digambarkan se-
kuasai dan kekuasaan yang diperoleh melalui bagai objek seks laki-laki. Misalnya, cerita
kekuatan fisik. Kekuasaan hegemoni diterima Layonsari, Tetek, Aku Kaler dan Buyar,
secara sadar dan tidak sadar dalam menyetujui Negeri Perempuan, Karena Saya Ingin
kekuasaan laki-laki. Dalam hal ini permain- Berlari, Dendam Ibu. Bacaan atas sederetan
an ideologi memainkan peran yang sangat cerita monolog ini jelas bisa dimengerti bahwa
dominan. Di samping itu, merujuk pada pe- pengarang ingin menegaskan bahwa sesung-
mikiran Bourdieu kekerasan yang mengurung guhnya perempuan tidak pernah merdeka
hidup perempuan bukan hanya kekerasan atas tubuhnya. Mengacu pada pandangan
fisik, psikis tetapi juga kekerasan simbolik. Beauvoir, Prabasmoro (2006:59) mengatakan
Menurut pemikiran Bourdieu (lihat Jenkins, bahwa tubuh bukanlah suatu benda, tubuh
2004:157) kekerasan simbolik adalah pemak- adalah suatu situasi, tubuh adalah cengkraman
saan sistem simbolisme dan makna (misalnya kita terhadap dunia dan sketsa dari proyek-
kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas proyek kita, dan tubuh merupakan situasi yang
sedemikian rupa sehingga hal itu dialami se- bermakna. Makna yang diisyaratkan dari pe-
bagai sesuatu yang sah. Misalnya, wacana mikiran Beauvoir tentang tubuh perempuan
sebagai produk kebudayaan dapat melahir- adalah bagaimana perempuan “mengguna-
kan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik kan”, memaknai, dan/atau melakukan sesuatu
merupakan bentuk kekerasan yang halus dan melalui/atas tubuhnya dan dengan terus me-
tidak tampak karena di baliknya tersembunyi nerus berhubungan dengan dunia melalui tu-
relasi kekuasaan. Kekerasan simbolik bisa buhnya. Menurut Syarifah (2006:80) dalam
berwujud tindakan lemah lembut yang dilaku- konstruksi sosial kultural dan konstruksi sek-
kan untuk mendapatkan imbalan berupa ke- sual sosialnya, tubuh perempuan adalah modal
percayaan, kewajiban, kesetiaan, ketaatan dan biologis, sedangkan kebertubuhannya meru-
keramahtamahan. pakan modal simbolik. Dalam konteks sosial

86 | PRASI | Vol. 11| No. 01 | Januari - Juni 2016 |


dan kultural persepsi tentang tubuh yang ideal dan eksploitasi tubuh perempuan (Thornham,
secara umum berikut ini. 2010:226&235). Pandangan kiranya pada sisi
Tubuh laki-laki ideal adalah jenis tubuh
tertentu dapat terwakili dalam cerita Negeri
seperti seorang pahlawan, berotot, dengan bahu Perempuan.
lebar, lengan panjang, leher berbentuk seperti
cangkang keong, kepala mulia dengan mata be-
sar dan dagu yang menonjol, anggota badan yang d. Lesbian = Representasi Perlawanan ter-
proporsional, dan dada yang membidang. Bentuk hadap Narasi Besar
tubuh perempuan yang ideal menonjolkan aspek
kesuburan: payudara besar, pinggang yang ramp- Jika dicermati lebih dalam, pusat cerita
ing, pinggul besar, paha yang lonjong, serta wajah yang akhirnya dijadikan judul buku sebagai
secantik terati, kulit yang lembut, dan rambut ge- kumpulan cerita monolog sejatinya titik sen-
lap (Jena,2014: 21).
tralnya ada pada persoalan tubuh perempuan.
Melalui tubuh yang dikonsepsi sebagai Cobalah didalami inti cerita tentang Peremp-
tubuh ideal secara sosiokultural pengarang in- uan Tanpa Nama yang sekaligus menjadi salah
gin menegaskan dalam beberapa ceritanya tu- satu cerita, berkisah tentang tokoh perempuan
buh perempuan adalah tubuh yang direkayasa dalam kisah ini yang terlahir dari rahim ibu
secara sosial untuk menjadi “santapan” orang yang ditinggal oleh laki-laki yang menghamil-
di luar dirinya. Pada cerita Saya Ingin Berlari inya. Singkat cerita sang tokoh tumbuh dan
pengarang memberi penegasan tentang hal ini: berkembang secara “liar” dalam mengartikan
“Semua orang menikmati tubuh saya, mengu- tubuhnya dan membenci laki-laki selanjutnya
pas segala inci tubuh saya, dan merampas hak terobsesi menjadi laki-laki serta melampiaskan
asasi saya untuk melindungi tubuh, jiwa..... rasa dendamnya pada tubuh perempuan yang
tunggu, saya tak yakin bahwa itu masih saya dikenal dengan sebutan lesbian. Fenomena
miliki. Apakah saya pernah memiliki tubuh lesbian yang dimunculkan dalam cerita mon-
dan jiwa”. Ini pertanda perempuan dalam po- olog ini merupakan cara pengarang menggam-
sisi marginal dan inferior atas tubuhnya. Terle- barkan cara orang kecil membangun narasinya
bih-lebih pada kasus korban-korban pemerko- tentang seksualitas. Selama ini narasi besar
saan yang dimunculkan dalam beberapa kisah yang dibangun dalam kehidupan sosial ada-
pada karya ini. lah konsep heteroseksual dalam membangun
Masih dalam cara mengartikan tubuh, relasi sosial. Tetapi, pengarang ingin memberi
menurut Prabasmoro (2006:83), tubuh pun contoh bahwa heteroseksual yang tidak dilan-
acapkai dikaitkan dengan hasrat ketika perem- dasi dengan moralitas keadilan akan berakibat
puan dan laki-laki memainkan peran biologis korban yang membangun persepsinya secara
dan sosialnya. Artinya, hasrat adalah milik la- “liar” tentang arti ketubuhan dalam kehidupan
ki-laki di mana laki-laki tidak harus memilah sosial. Menurut Shelley (dalam Slevi Jekson
atau memilih diri menjadi subjek, sementara dan Jackie Jones, 2009:197) “lesbianisme
perempuan dalam memainkan tubuhnya di- merupakan sebuah jalan menuju kebebasan,
tuntut menjalankan empat fungsi sebagai istri, kebebasan dari penindasan oleh laki-laki.”
pengurus rumahtangga, pemenuh kebutuhan Cerita ini jika ingin didalami sesungguhnya
seksual dan pemenuh kebutuhan reproduksi. ingin juga meneriakkan prinsip bahwa para
Dengan demikian, perempuan lebih banyak lesbi sesungguhnya sangat inferior dalam
dituntut menjadi objek. walaupun sebaliknya, masyarakat. Setidaknya, hal ini menguatkan
dari pandangan feminis (Mary Wollstonecraft) pandangan Damon (dalam Slevi Jekson dan
ada pemikiran sebaliknya bahwa baik Fou- Jackie Jones,2009:197) lesbi bahkan lebih
cault maupun pemikir pascastruturalis yang dirugikan daripada laki-laki homoseksual: “se-
lain tidak menemukan ide .... bahwa ‘definisi bagai lesbi, kami bahkan berada lebih rendah
dan pembentukan’ tubuh adalah .... titik fokus dalam lubang pasir; kami adalah perempuan,
bagi perjuangan atas bentuk kekuasaan.” Hal dan kami adalah lesbian: paruh terakhir dari
ini bisa diwakili melalui kasus komudifikasi minoritas yang paling tidak diuntungkan dan
paling tidak diperhatikan.” Setidaknya, pan-

| PRASI | Vol. 11 | No. 01 | Januari - Juni 2016 | 87


dangan ini diteriakkan oleh pengarang melalui daya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya
bait kalimat: “Pulang ke mana ibu? Aku tak Pop. Yogyakarta : Jalasutra.
punya rumah. Aku tak punya cinta. Aku tidak Ruthven, K.K. 1990. Feminist Literary Studies:
punya alasan lagi untuk siapa pun dan untuk An Introduction. Cambridge: Cambridge
apa pun. Aku tak punya harapan. Aku Hitam. University Press.
Salim. Agus. 2006. Teori dan Pardigma Penelitian
Aku Biru. Aku Merah. Dan aku tak akan pu-
Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian
lang. Tak akan pernah pulang” (Perempuan Kualitatif. Edisi 2. Yogyakarta: Penerbit
Tanpa Nama, 2015:145). Tiara Wacana.
Slevi Jackson dan Jackie Jones. 2009. Pengantar
Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogya-
PUSTAKA RUJUKAN karta: Jalasutra.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis.
Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja Secara Perempuan dalam Karya-karya Kuntowi-
Seksual. Sebuah Pembahasan Sosiologis joyo. Yogyakarta: Penerbit Citra Pustaka.
tentang Peran Wanita di dalam Masyara- Sugihastuti dan Suharto. 2015. Kritik Sastra Femi-
kat. Jakarta: PT Gramedia. nis. Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Djannah, Fathul dkk. 2002. Kekerasan Terhadap Penerbit Pustaka Pelajar.
Istri. Yogyakarta: LKiS. Syarifah. 2006. Kebertubuhan Perempuan dalam
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana. Pengantar Ana- Pornografi. Jakarta : Yayasan Kota Kita.
lisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Thornham, Sue. 2010. Teori Feminis dan Cultural
Fakih, Mansoer 1996. Menggeser Konsepsi Gen - Studies, Tentang Relasi yang Belum Terse-
der dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta : lesaikan. Yogyakarta: Jalasutra.
Pustaka Pelajar. Walby, Sylvia. 2014. Teorisasi Patriarki. Mustika
Fiske, John. 1990. Cultural and Communication K. Prasela (Penerjemah). Yogyakarta:
Studies, Sebuah Pengantar Paling Kom - Jalasutra.
prehensif. Terjemahan dari Drs. Yosal
Iriantara, MS dan Idi Subandy Ibrahim.
Edisi 2. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Hardt, Hanno. 2007. Critical Communication
Studies: Sebuah Pengantar Komprehen -
sif Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis
Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika.
Terjemahan dari Idi Subandy Ibrahim dan
Drs. Yosal Irianta, M.S. Yogyakarta: Jala-
sutra.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading, A Theo-
ry of Aesthetic Response. Baltimore: John
Hopkins University Press.
Jena, Yeremias. 2014. Wacana Tubuh dan Kedok-
teran, Sebuah Refleksi Filosofis. Jakarta:
Penerbit Universitas Atma Jaya.
Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre
Bourdieu. Nurhadi (Penerjemah). Yogya-
karta : Kreasi Wacana.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra, Sebuah Peng-
antar. Jakarta: Gramedia.
Mufidah Ch. 2010. Bingkai Sosial Gender. Islam,
Strukturasi, & Konstruksi Sosial. Malang:
UIN Maliki Press.
Piscayanti, Kadek Sonia. 2015. Perempuan Tanpa
Nama. Singaraja: Penerbit Mahima.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Bu -

88 | PRASI | Vol. 11| No. 01 | Januari - Juni 2016 |

Anda mungkin juga menyukai