Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masalah gizi di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya masih

didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), anemia besi, gangguan

akibat kekurangan yodium (GAKY) dan kekurangan vitamin A (KVA), dan

secara umum di Indonesia didominasi oleh KEP (Suparioso, 2001:1). Data tahun

2003 menunjukkan prevalensi anak balita gizi buruk di Indonesia sebesar 8,55

persen sehingga perlu perhatian dan peningkatan penanganan. Apalagi sebagai

peratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, Indonesia wajib memenuhi hak-hak dasar

anak dan hak lain. Relevansinya untuk masalah gizi buruk adalah hak untuk hidup

dan tumbuh kembang. Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya

merupakan masalah kesehatan, tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi,

budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya

masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat,

bahkan akar masalah ini dapat berbeda antar kelompok usia balita (Sihadi, 2005).

Untuk dapat melakukan penanganan dan peningkatan status gizi, tidak

dapat dilepaskan dari peran serta keluarga, khususnya ibu dalam menjalankan

tugas-tugas perawatan di rumah, sehingga gizi anak terpenuhi dan tidak timbul

berbagai penyakit akibat kurang gizi. Pada anak gizi kurang, tanda-tanda khas

belum kelihatan kecuali badan kelihatan lebih kurus. Keluarga dengan anak gizi

kurang dapat menganggap anaknya tidak mempunyai masalah, sehingga tidak

melakukan tindakan apapun. Keluarga baru akan bertindak jika masalah gizi

buruk pada anaknya dirasakan sebagai suatu penyakit (Notoatmodjo, 2007).

1
2

Keluarga terutama ibu jika menampilkan peran dengan baik seperti

membawa anak secara rutin ke posyandu, memeriksakan anak yang tampak kurus

atau tidak nafsu makan, maka masalah-masalah gizi pada anak dapat dideteksi dan

ditangani sedini mungkin. Anak yang menderita gizi buruk bila tidak segera

ditangani amat berisiko tinggi dan berakhir dengan kematian. Anak yang pernah

menderita gizi buruk sulit mengejar pertumbuhan sesuai umurnya. Penelitian

Arnelia (2006) menunjukkan, IQ anak yang pernah menderita gizi buruk lebih

rendah 13,7 poin dibandingkan dengan anak normal. Rendahnya IQ biasanya

identik dengan rendahnya tingkat kecerdasan seseorang, sehingga kualitas sumber

daya manusia Indonesia pada masa datang akan menurun (Sihadi, 2005).

Penjelasan di atas mengisyaratkan akan pentingnya peran keluarga

terutama ibu dalam upaya menjaga dan meningkatkan status gizi balita.

Pemerintah melalui Departemen Kesehatan bahkan telah merumuskan berbagai

upaya yang dapat dilakukan oleh ibu dalam rangka meningkatkan gizi pada balita

pada tatanan rumah tangga. Beberapa upaya yang dapat dilakukan ibu antara lain

membawa anak untuk ditimbang di posyandu secara teratur setiap bulan untuk

mengetahui pertumbuhan berat badannya, memberikan hanya ASI kepada bayi

usia 0-6 bulan, Ibu tetap memberikan ASI kepada anak sampai usia 2 tahun, Ibu

memberikan MP-ASI sesuai usia dan kondisi kesehatan anak sesuai anjuran

pemberian makanan, Ibu segera memberitahukan pada petugas kesehatan/kader

bila balita mengalami sakit atau gangguan pertumbuhan, serta menerapkan

nasehat yang dianjurkan petugas (Gizi.net, 2007).

Upaya ibu seperti tertulis di atas jika dilaksanakan dengan baik dan

benar tentu dapat mencegah terjadinya masalah-masalah kesehatan dalam

keluarga, termasuk pada balita, sehingga tidak mengalami masalah kurang gizi.
3

Kenyataan di lapangan saat ini tampaknya masih memprihatinkan. Berdasarkan

data yang diperoleh dari Puskesmas Pembatu Gampingan Kecamatan Pagak

Kabupaten Malang menujukkan bahwa kasus balita dengan gizi kurang yang

terjadi di Desa Gampingan pada periode tahun 2007 terdapat sekitar 27 kasus

(6,9% dari total balita), meningkat dari periode tahun sebelumnya yang hanya

terdapat 23 kasus (Data Profil Polindes Gampingan tahun 2007).

Bayi dan anak-anak merupakan resiko terbesar untuk mengalami

kekurangan gizi karena mereka membutuhkan sejumlah besar kalori dan zat gizi

untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sejalan dengan pertumbuhannya,

kebutuhan makanan anak-anak akan bertambah, karena laju pertumbuhan mereka

juga bertambah (Medicastore, 2007). Ada tiga penyebab terjadinya kurang gizi,

yaitu : 1) karena masalah ekonomi, yakni orangtua benar-benar miskin dan sedang

mengalami paceklik sehingga tak bisa memberi makanan bagi anaknya; 2)

orangtuanya bisa memberi makan, tetapi tidak mengerti bagaimana cara memberi

makan dengan benar sehingga asupan gizinya kurang; 3) anak ternyata menderita

sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Dari ketiga penyebab di

atas, anak balita dapat mengalami kekurangan kalori dan protein amat parah dan

hal ini ditandai dengan perubahan fisik yang sudah mencapai tingkat marasmus

kwarsiorkor, seperti warna rambut penderita jadi kemerahan, tubuh kurus kering,

dan tulang nyaris terbalut kulit (Promkes online, 2007).

Peningkatan kasus gizi buruk yang terjadi di Desa Gampingan seperti

diuraikan sebelumnya kemungkinan berhubungan dengan kurangnya pemahaman

keluarga bagaimana cara memberi makan dengan benar, dan dapat menjadi

petunjuk bahwa peran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan gizi pada balita

masih kurang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada awal


4

November 2007 terhadap 10 ibu balita yang sedang berkunjung ke Posyandu

Polindes Gampingan, diketahui bahwa 8 orang (80%) tidak memberikan ASI

Eksklusif pada bayi usia 0 – 6 bulan, 6 orang (60%) tidak melakukan

penimbangan balita secara rutin tiap bulan, dan 5 orang (50%) tidak tahu apakah

garam yang dikonsumsi keluarga (termasuk balita) mengandung kadar yodium

atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud mengkaji lebih jauh

tentang peran serta ibu dalam menigkatkan status gizi balita di Desa Gampingan.

Peran ibu dalam merencanakan kebutuhan gizi yang baik diharapkan dapat

mencegah kasus gizi buruk yang sering terjadi. Kasus gizi buruk pada dasarnya

dapat dicegah sedini mungkin jika anak rajin ditimbang di posyandu sebulan

sekali, karena kasus gizi buruk bukan merupakan kejadian yang muncul

mendadak, tetapi merupakan kejadian yang memerlukan waktu lama.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara

peran serta ibu dalam pemenuhan kebutuhan gizi dengan status gizi balita di Desa

Gampingan Kecamatan Pagak Kabupaten Malang?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara peran serta ibu dalam pemenuhan

kebutuhan gizi dengan status gizi balita di Desa Gampingan Kecamatan Pagak

Kabupaten Malang.
5

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengidentifikasi peran serta ibu dalam pemenuhan gizi balita di Desa

Gampingan Kecamatan Pagak Kabupaten Malang

2) Mengidentifikasi status gizi balita di Desa Gampingan Kecamatan Pagak

Kabupaten Malang

3) Menganalisa hubungan antara peran serta ibu dalam pemenuhan kebutuhan

gizi dengan status gizi balita di Desa Gampingan Kecamatan Pagak

Kabupaten Malang

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Puskesmas / Lahan Penelitian

Sebagai informasi dasar bagi institusi pelayanan kesehatan (Puskesmas)

tentang gambaran peran serta ibu dalam menigkatkan status gizi balita, sehingga

dapat dijadikan acuan untuk program penyuluhan masyarakat.

1.4.2 Bagi Peneliti

Memberikan pengetahuan dan pengalaman baru dalam melakukan

penelitian serta dapat mengetahui hubungan antara peran serta ibu dalam

pemenuhan gizi dengan status gizi balita..

1.4.3 Bagi Keperawatan

Menambah kajian dan literatur yang berkaitan dengan peran serta ibu

dalam peningkatan status gizi balita.


6

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya dibatasi pada aspek peran serta ibu dalam

pemenuhan kebutuhan gizi dengan status gizi pada balita di Desa Gampingan

Kecamatan Pagak Kabupaten Malang.

Anda mungkin juga menyukai