Anda di halaman 1dari 17

FIKIH ANAK : MEMPERSIAPKAN ANAK UNTUK

MENYONGSONG MASA BALIGH DENGAN AMAN DAN


NYAMAN MENGAJARKAN ANAK SEJAK DINI HAL-HAL
YANG WAJIB DITUNAIKAN SAAT BALIGH DALAM KITAB
FATHUL QORIB KARYA
SYAIKH AL-IMAM ABU ABDILLAH MUHAMMAD BIN QASIM
AL-GHUZZI (859-918 H/ 1455-1512 M)

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Fiqih Perempun

Dosen Pengampu : Hj. Durrotun Nafisah S. Ag., M.Si

Disusun Oleh :
1. M. Ilyas Nur 2017302157
2. Muti Ulu Sangadah 2017302181
3. Akhmad Khafidz 2017302187
4. Ferina Lutfiah 2017302190
5. Nurfadiana 214110302021

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI


‫‪PURWOKERTO‬‬

‫‪2023‬‬

‫‪PEMBAHASAN‬‬

‫‪Judul buku (kitab) yang dibahas‬‬ ‫‪: Fath Al Qorib Al-Mujib Karya Syaikh Al-‬‬
‫‪: ‘Alamah Imam Abu Abdillah Muhammad‬‬
‫‪Bin Qasim Al-Ghuzzi‬‬
‫‪Sub Tema yang dibahas‬‬ ‫‪: Sholat‬‬
‫‪Penulis atau Penerjemah‬‬ ‫‪: Ibnu Aby Zain.‬‬
‫‪Penerbit‬‬ ‫‪: Zamzam Sumber Mata Air Ilmu‬‬
‫‪Kota‬‬ ‫‪: Kediri‬‬
‫‪Tahun‬‬ ‫‪: 2016‬‬
‫‪Halaman‬‬ ‫‪: 110-111‬‬

‫‪A. Fasal Syarat-Syarat Wajib Sholat Dalam Kitab Fathul Qorib‬‬

‫)فصل(‪ :‬وشرائط وجوب الصالة ثالثة أشياء‪ .‬أحدها )اإلسالم( فال تجب‬
‫الصالة على الكافر األصلي‪ ،‬وال يجب عليه قضاؤها إذا أسلم‪ ،‬وأما المرتد‬
‫فتجب عليه الصالة وقضاؤها إن عاد إلى اإلسالم‬
‫)و( الثاني )البلوغ( فال تجب على صبي وصبية لكن يؤمران بها بعد سبع‬
‫سنين إن حصل التمييز بها‪ ،‬وإال فبعد التمييز ويضربان على تركها بعد‬
‫كمال عشر سنين‬
‫)و( الثالث )العقل( فال تجب على مجنون وقوله )وهو حد التكليف( ساقط‬
‫في بعض نسخ المتن‬

‫‪Terjemah:‬‬
Syarat-syarat wajib sholat ada 3 perkara: 1

1. Beragama Islam. Sholat tidak wajib bagi orang kafir asli (semenjak lahir). Ia
juga tiak wajib mengqodho sholat (yang ia tinggalkan salam kafir) jika ia telah
masu islam. Sedang orang murtad, ia tetap wajib melakukan sholat dan wajib
mengqodho sholat jika ia kembali memluk agama islam.
2. Baligh. Sholat tidak wajib bagi anak kecil dan anak kecil perempuan. Namun,
keduannya wajib diperintah melakukan sholat setelah umur 7 tahun jika
Bersama umur tersebut telah munul sifat tamyis. Bila tidak, maka diperintah
setelah adanya sifat tamyiz. Keduanya wajib dipukul jika meninggalkan sholat
setelah sempurna usia 10 tahun. Masa Mumayyiz adalah masa yang tepat
untuk mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban bagi seorang muslim.
Adapun batasan seorang anak telah mumayyiz adalah apabila ia telah mampu
makan, minum, dan beristinja’ secara mandiri. Bila anak telah mumayyiz
namun belum mencapai usia tujuh tahun maka orang tua hanya disunahkan,
bukan diwajibkan, memerintahkan anaknya melakukan kewajiban-kewajiban
syari’at.2
3. Berakal. Sholat tidak wajib bagi orang gila. Perkataan Mushannif ( akal adalah
pijakan taklif) tidak ditemukan dalam Sebagian Salinan kitab matan.

B. Intro

Baligh diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki Arti
“sampai”, maksudnya “telah sampainya usia seseorang pada tahap
kedewasaan”.Maka dari itu, sholat tidak wajib bagi anak kecil laki-laki dan
perempuan. Meskipun belum baligh diharapkan para orang tua sudah
memerintahkan anak mereka untuk melaksanakan shalat dengan harapan agar
anak tersebut terbiasa dan melaksanakan shalat karena mengetahui bahwa ibadah
tersebut adalah wajib bukan karena paksaan. Karena shalat sangatlah penting

1
Ibnu Aby Zain., Fathul Qorib Al Mujib, vol. Cetakan Pertama (Kediri: Zamzam Sumber Mata Air
Ilmu, 16M).
2
https://suluk.id/benarkah-anak-tidak-sholat-boleh-dipukul/
bukan yang penting shalat. Kemudian keduanya harus diperintah melaksanakan
sholat setelah berusia tujuh tahun jika sudah tamyiz, jika belum maka sholat
tersebut diperintah setelah tamyiz. Dan keduanya harus di pukul sebab
meninggalkan sholat setelah berusia sepuluh tahun. Indikasi tamyiz adalah
sebelum menuju dewasa/baligh anak-anak menuju tahapan mumayyiz. Pada masa
ini anak sudah dapat membedakan yang baik dan buruk tapi belum menjadi orang
yang mukallaf (wajib melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan).

C. Kegelisahan Akademik ( Latar Belakang )

Pendidikan agama islam merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk


mempersiapkan anak usia dini untuk memahami, meyakini, dan mengamalkan
ajaran agama islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau pelatihan yang
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Anak usia dini perlu dipersiapkan untuk menghadapi perkembangan jaman yang
semakin modern terutama dalam hal-hal ibadah seperti sholat, puasa, dan ibadah
lainnya. Selain itu, hal-hal mengenai ibadah amat perlu disiapkan untuk
menghadapi masa baligh si anak, dimana pada masa itu anak sudah memiliki
tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Karena
semakin lama keimanan anak akan semakin menurun jika tidak dibekali yang kuat
tentang pendidikan agama islam. Dalam segi ibadah, membangun ketakwaan harus
menggunakan cara yang tepat agar dapat maksimal salah satunya dengan
pembelajaraan menggunakan bahan yang berkualitas. Misalnya, pembelajaran
menggunakan kitab-kitab fiqh karya syekh besar dalam islam. Banyak kitab fiqh
yang membahas tentang ubudiyah, salah satu yang terkenal adalah kitab fathul
qorib. Kewajiban Ketika Sudah Ada Tanda Baligh anak-anak yang sudah
menunjukan akil baligh, maka ada kewajiban-kewajiban syariat yang harus
ditunaikan. Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Ta’arif bi Ma’ani wa Masaili al-
Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 184—185, Dar adh-
Dhiya’, cet. 2/2014, berikut langkah-langkah 'kewajiban' tersebut, yakni:
1. Membersihkan najis dan menyucikan diri dari hadas. Bagi anak gadis yang tanda
balighnya berupa keluar darah haid, dia harus menunggu masa haidnya berhenti.
Setelah berhenti, dia harus mandi besar agar suci darinya. Bagi anak laki-laki
maupun gadis yang tanda balighnya adalah keluar air mani, dia harus segera
menyucikan diri dari hadas besar tersebut. Yaitu dengan cara mandi besar. Dua
tanda baligh di atas termasuk yang dianggap sebagai hadas besar. Sebab itulah,
anak yang mendapati dua tanda baligh di atas harus menyucikan diri dengan mandi
besar. Adapun anak yang mendapati tanda baligh dengan memasuki umur 15 tahun,
dianjurkan pula baginya untuk mandi besar. Selain menjadi bentuk pembelajaran,
juga agar mendapatkan keutamaan serta pahala mandi besar tersebut.
2. Segera menunaikan kewajiban kewajiban paling dekat yang dibebankan kepada
hamba mukalaf adalah salat. Karena salat harus ditunaikan sebanyak lima waktu
dalam sehari semalam.Seseorang yang mendapati penghalang-penghalang salat
pada dirinya, kemudian suatu ketika penghalang itu hilang maka dia wajib
mendirikan salat. Penghalang-penghalang salat jumlahnya ada tujuh, yaitu : Kafir
ataupun murtad,belum baligh, gila, pingsan, Mabuk, haid, Nifas.
sekiranya penghalang ini hilang dari seseorang sesaat sebelum habis waktu salat,
kurang lebih seseorang cukup melakukan takbiratulihram, maka dia berkewajiban
untuk mengqadha shalat tersebut. Contohnya : Seorang anak memasuki masa
baligh tepat di penghujung waktu salat dzuhur, dan satu menit lagi akan masuk
waktu salat Asar. Anak tersebut memiliki kewajiban untuk mengqadha salat Zuhur
karena dia baligh di satu menit terakhir salat dzuhur, dan satu menit itu cukup
baginya untuk melakukan takbiratulihram.
Langkah-langkah yang harus dia lakukan, jika dia baligh karena keluar mani maka
hendaknya dia menyucikan diri dari hadas dengan mandi dan berwudu, kemudian
mempersiapkan diri untuk salat, mendirikan salat Zuhur dalam rangka qadha, dan
setelah itu mendirikan salat Asar. Adapun tiga penghalang salat berupa gila,
pingsan, dan mabuk, maka ada tambahan syarat khusus. Yaitu kesadaran dan
kewarasannya harus berlangsung kurang lebih seseorang cukup melakukan taharah
dan mendirikan salat. Contohnya : Seseorang siuman dari pingsannya di
penghujung salat dzuhur. Satu menit lagi tiba waktu salat Asar. Satu menit adalah
waktu yang cukup untuk melakukan takbiratulihram sehingga dia berkewajiban
mengqadha salat duhur yang tidak mungkin sempat dia lakukan.

Dengan syarat, lama waktu siumannya adalah sekiranya seseorang cukup


melakukan taharah dan shalat. Misalnya, taharah dan shalat cukup dilakukan dalam
waktu 20 menit. Jika lama siumannya adalah 20 menit dan kemudian dia pingsan
kembali, dia tetap berkewajiban untuk mengqadha shalat Zuhur tersebut. Kalau
siumannya kurang dari 20 menit maka dia tidak berkewajiban mengqadhanya.
Kaidah ini juga bisa diterapkan saat datang penghalang-penghalang salat. Misalnya
wanita yang datang haid setelah 15 menit masuk waktu Zuhur. Padahal dia belum
mendirikan salat dzuhur. Oleh sebab 15 menit itu cukup untuk mendirikan salat
maka nanti ketika dia suci dari haid, dia memiliki kewajiban untuk mengqadha
salat dzuhur yang dahulu tidak sempat dia lakukan.
Seseorang diwajibkan melakukan ibadah amaliyah tersebut ketika sudah memasuki
usia baligh. Ditandai dengan haid pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki.
Karena salah satu syarat wajib shalat adalah baligh. Akan tetapi usia setiap anak
ketika baligh berbeda-beda. Maka dari itu dalam kitab Fathul Qarib dijelaskan
bahwa ketika anak sudah memasuki usia tujuh tahun dan sudah tamyiz
diperintahkan melaksanakan shalat. Meskipun belum baligh diharapkan para orang
tua sudah memerintahkan anak mereka untuk melaksanakan shalat dengan harapan
agar anak tersebut terbiasa dan melaksanakan shalat karena mengetahui bahwa
ibadah tersebut adalah wajib bukan karena paksaan. Karena shalat sangatlah
penting bukan yang penting shalat. Kemudian dijelaskan lebih lanjut ketika anak
tidak mau melaksanakan shalat ketika memasuki usia sepuluh tahun boleh dipukul.
Selanjutnya muncul pertanyaan apakah boleh memukul anak ketika tidak mau
melaksanakan shalat padahal mereka masih anak-anak? Telah dijelaskan dalam
kitab Fathul Qarib boleh memukul anak ketika tidak mau melaksanakannya.
‘Memukul’ 3 dalam artian bukan pukulan kekerasan akan tetapi agar anak jera dan
ingat bahwa shalat adalah kewajiban. Apalagi jika anak menyepelekan masalah

3
https://suluk.id/benarkah-anak-tidak-sholat-boleh-dipukul/
shalat ketika sudah masuk usia baligh, maka dosanya berkali lipat.Fardhunya
Wudhu’ mushannif menyebutkan fardhu-fardhunya wudhu’ di dalam perkataan
beliau, “fardhunya wudhu’ ada enam perkara.”
1. Niat wudhu’ pertama adalah niat. Hakikat niat secara syara’ adalah
menyengaja sesuatu besertaan dengan melakukannya. Jika melakukannya
lebih akhir dari pada kesengajaannya, maka disebut ‘azm. Niat dilakukan
saat membasuh awal bagian dari wajah. Maksudnya bersamaan dengan
basuhan bagian tersebut, bukan sebelumnya dan bukan setelahnya.
Sehingga, saat membasuh anggota tersebut, maka orang yang wudhu’
melakukan niat menghilangkan hadats dari hadats-hadats yang berada pada
dirinya. Atau niat agar diperkenankan melakukan sesuatu yang
membutuhkan wudhu’. Atau niat fardhunya wudhu’ atau niat wudhu’ saja.
Atau niat bersuci dari hadats. Jika tidak menyebutkan kata “dari hadats”
(hanya niat bersuci saja), maka wudhu’nya tidak sah. Ketika dia sudah
melakukan niat yang dianggap sah dari niat-niat di atas, dan dia
menyertakan niat membersihkan badan atau niat menyegarkan badan, maka
hukum wudhu’nya tetap sah.
2. Fardhu yang kedua membasuh Seluruh Wajah. Batasan wajah adalah
anggota diantara tempat tempat yang umumnya tumbuh rambut kepala dan
pangkalnya lahyaini(dua rahang). Lahyaini adalah dua tulang tempat
tumbuhnya gigi awash yang ujungnya bertemu dijanggut dan pangkalnya
berada ditelinga.4 Apabila basuhan wajah tidak menyeluruh pada batasan
batasan yang telah ditentukan maka tidak sah wudhu seseorang.
3. Fardhu yang ke tiga adalah membasuh kedua tangan hingga kedua siku.
Jika seseorang tidak memiliki kedua siku, maka yang dipertimbangkan
adalah kira-kiranya. Dan wajib membasuh perkara-perkara yang berada di
kedua tangan, yaitu bulu, uci-uci, jari tambahan dan kuku. Dan wajib
menghilangkan perkara yang berada di bawah kuku, yaitu kotoran-kotoran
yang bisa mencegah masuknya air.

4
Muhammad Hamim dan Nailul Huda, Fathul Qorib Paling Lengkap, Kedua (Kediri:
Santri Salaf Press, 2017), 278.
4. Fardhu yang ke empat adalah mengusap sebagian kepala, baik laki-laki atau
perempuan. Atau mengusap sebagian rambut yang masih berada di batas
kepala. Tidak harus menggunakan tangan untuk mengusap kepala, bahkan
bisa dengan kain atau yang lainnya. Seandainya dia membasuh kepala
sebagai ganti dari mengusapnya, maka diperkenankan. Dan seandainya dia
meletakkan (di atas kepala) tangannya yang telah dibasahi dan tidak
mengerakkannya, maka diperkenankan.
5. Fardhu yang ke lima adalah membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki,
jika orang yang melaksanakan wudhu’ tersebut tidak mengenakan dua
muza. Jika dia mengenakan dua muza, maka wajib bagi dia untuk
mengusap kedua muza atau membasuh kedua kaki5. Dan wajib membasuh
perkara-perkara yang berada di kedua kaki, yaitu bulu, daging tambahan,
dan jari tambahan sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan di dalam
permasalahan kedua tangan.
6. Fardhu yang ke enam adalah tertib di dalam pelaksanaan wudhu’ sesuai
dengan cara yang telah saya jelaskan di dalam urutan fardhu-fardhunya
wudhu’. Sehingga, kalau lupa tidak tertib, maka wudhu’ yang dilaksanakan
tidak mencukupi. Seandainya ada empat orang yang membasuh seluruh
anggota wudlu’nya seseorang sekaligus dengan seizinnya, maka yang
hilang hanya hadats wajahnya saja.

Menerangkan bahwa fardhunya mandi itu ada tiga perkara, yaitu Pertama: Niat,
Dalam hal ini, maka bagi orang yang junub harus berniat menghilangkan janabat
atau hadats besar dan yang serupa dengan itu. Bagi orang Haidh atau Nifas, maka
hendaklah niat menghilangkan hadats (kotoran) Haidh atau Nifas

Ke-dua : Menghilangkan najis, jika memang pada badan orang yang mandi itu
terdapat najis. Dan keterangan inilah yang di anggap kuat oleh Imam Syafi'i. Oleh
karena itu maka tidaklah cukup mandi satu (atau pembasuhan satu) untuk

5
Hamim dan Huda, Fathul Qorib Paling Lengkap, 280.
menghilang kan hadats dan najis. Imam Nawawi berpegang teguh pada
pendapatnya bahwa mandi satu (pembasuhan satu) itu dapat dipergunakan untuk
menghilangkan keduanya yaitu hadats dan najis dengan dasar apabila najis tersebut
berupa najis hukmiyah. Sedangkan bila najis itu 'ainiyyah (dapat dilihat mata)
maka wajib menggunakan dua pembasuhan dari hadats dan najis.

Ke-tiga: meratakan air ke seluruh rambut dan kulit (seluruh badan). Menurut
sebagian keterangan, bahwa lafadz “Jami'usy Sya'ri Wal Basyarati” itu menjadi
lafadz “Jami'u- Ushuli”. Dan tidak ada perbedaan antara rambut kepala dan rambut
lainnya, demikian juga antara rambut yang jarang-jarang dan yang tebal. Rambut
yang dikonde (gelung, bhs. Jawa) jika udara tidak dapat sampai ke dalamnya
kecuali dengan melepas ikatannya, maka melepaskan ikatannya itu adalah wajib.
Adapun yang dikehendaki dengan tembus sampai kulit yaitu bagian lahir kulit itu.
Menerangkan bahwa fardhunya mandi itu ada tiga perkara, yaitu Pertama: Niat,
Dalam hal ini, maka bagi orang yang junub harus berniat menghilangkan janabat
atau hadats besar dan yang serupa dengan itu. Bagi orang Haidh atau Nifas, maka
hendaklah niat menghilangkan hadats (kotoran) Haidh atau Nifas

Ke-dua : Menghilangkan najis, jika memang pada badan orang yang mandi itu
terdapat najis. Dan keterangan inilah yang di anggap kuat oleh Imam Syafi'i. Oleh
karena itu maka tidaklah cukup mandi satu (atau pembasuhan satu) untuk
menghilang kan hadats dan najis. Imam Nawawi berpegang teguh pada
pendapatnya bahwa mandi satu (pembasuhan satu) itu dapat dipergunakan untuk
menghilangkan keduanya yaitu hadats dan najis dengan dasar apabila najis tersebut
berupa najis hukmi
Ketiga: meratakan air ke seluruh rambut dan kulit (seluruh badan). Menurut
sebagian keterangan, bahwa lafadz “Jami'usy Sya'ri Wal Basyarati” itu menjadi
lafadz “Jami'u- Ushuli”. Dan tidak ada perbedaan antara rambut kepala dan rambut
lainnya, demikian juga antara rambut yang jarang-jarang dan yang tebal. Rambut
yang dikonde (gelung, bhs. Jawa) jika udara tidak dapat sampai ke dalamnya
kecuali dengan melepas ikatannya, maka melepaskan ikatannya itu adalah wajib.
Adapun yang dikehendaki dengan tembus sampai kulit yaitu bagian lahir kulit itu.

Adapun rukun sholat menurut fathul qarib ada delapan belas


Yang pertama Niat, artinya mengharap sesuatu dibarengi dengan perbuatannya.
Sedangkan tempat niat itu berada di dalam hati. Apabila shalat itu fardhu, maka
wajib niat melakukan shalat fardhu. Kedua: Berdiri bagi orang yang kuasa, maka
jika seseorang itu lemah, baiklah dengan duduk saja sekehendaknya dengan duduk
iftirasy. Ketiga: Takbiratul Ihram, bagi orang yang mampu mengucapkan
Takbiratul Ihram. Maka ditentukan mengucapkan kalimah : ‫“ هللاُ ا َ ْك َب ْر‬Tidak shah
mengucapkan ‫الرحْ َم ُن ا َ ْكبَ ْر‬
َّ dan yang seperti itu. Keempat: Membaca Fatihah atau
membaca gantinya Fatihah bagi orang tidak hafal, baik itu dalam shalat fardhu atau
sunnah. Adapun itu merupakan ayat yang termasuk dalam Fatihah secara
sempurna. Kelima: Ruku’. Paling tidak fardhunya ruku’ bagi orang yang kuasa
berdiri, badannya sehat dan selamat kedua tangan dan lututnya yaitu dengan
membungkuk. Tanpa tegap kedua telapak tangan orang itu sampai lututnya, jika
memang menghendaki meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lututnya.
Keenam: Tuma’ninah, yakni berhenti sebentar sesudah bergerak dalam ruku’. Bagi
mushannif, Thuma’ninah ini dijadikan pembicaraan rukun yang berdiri sendiri
dalam pemba hasan rukun-rukun shalat. Imam Nawawi telah membicarakan juga
(thuma’ninah sebagai rukun tersendiri) di dalam kitab Tahqiq. Ketujuh: Bangun
dari ruku’ dan i’tidal dengan berdiri menurut keadaan orang itu sebelum ia
mengerjakan ruku’. Yakni berdirinya orang yang mampu dan duduknya orang tidak
mampu berdiri. Kedelapan: Thuma’ninah di dalam i’tidal. Kesembilan: Sujud dua
kali dalam masing masing rakaat paling sedikit sujud itu ialah bertemunya sebagian
keningnya orang yang shalat pada tempat sujud dari bumi atau lainnya. Kesepuluh:
Thuma’ninah dalam sujud, yaitu sekiranya orang yang sujud itu dapat
menempatkan keningnya pada tempat sujud menurut kadar beratnya kepala.
Kesebelas: Duduk di antara dua sujud dalam tiap-tiap rakaat, baik orang itu shalat
dengan berdiri, duduk atau berbaring. Paling tidak duduk di antara dua sujud ini
adalah sekedar berdiam sesudah bergeraknya beberapa anggauta badan.
Keduabelas: Thuma’ninah di dalam duduk di antara dua sujud. Ketigabelas: Duduk
yang terakhir, yaitu duduk yang mengiringi salam. Empatbelas Membaca ‘Tahiyyat
dalam duduk yang terakhir, bacaan Tahiyyat. Kelimabelas Membaca shalawat Nabi
sholallahu ‘alaihi wa sallam. di dalam duduk terakhir sesudah selesai membaca
Tahiyyat. Keenambelas Membaca salam yang pertama : wajib menjatuhkan salam
yang pertama ini ketika masih dalam keadaan duduk. Ketujuhbelas: Niat ke luar
shalat. Ini adalah pendapat yang terkuat dan dikatakan (oleh sebagian ulama)
bahwa niat ke luar dari shalat itu tidak wajib hukumnya. Kedelapanbelas: Harus
tertib rukun-rukunnya, sampai di antara tahiyyat akhir dan membaca shalawat Nabi
sholallahu ‘alahi wa sallam, di dalam duduk tersebut.

Adapun beberapa syarat sah shalat sebelum melakukan shalat jumlahnya ada 5
Syarat sah shalat yang pertama adalah sucinya anggota tubuh dari hadas kecil, dan
hadas besar apabila mampu. Begitu pula dengan tempat, pakaian, dan badan juga
harus suci dari najis yang tidak di ma’fu. Syarat sah shalat yang kedua adalah
menutup warnanya aurat ketika mampu meskipun orang tersebut berada di tempat
sepi dan gelap. Dan menutup auratnya menggunakan pakaian yang suci. Syarat sah
shalat yang ketiga adalah menempat di tempat yang suci. Oleh sebab itu, shalatnya
seseorang tidak sah jika bagian badan, dan pakainya menyentuh najis, baik itu saat
berdiri, duduk, ruku’ ataupun sujud. Syarat sah shalat yang keempat adalah
mengetahui masuknya waktu shalat, atau mempunyai prasangka sudah masuk
waktu shalat dengan cara berijtihad (mencari tahu). Yang terakhir adalah dadanya
menghadap qiblat (Ka’bah) bagi orang yang mampu.

Adapun syarat wajib sholat ada tiga


Syarat wajib shalat yang pertama adalah beragama islam. Oleh sebab itu bagi
orang kafir yang asli tidak ada kewajiban shalat, dan tidak wajib mengqhodo sholat
ketika suatu saat ia masuk islam. Tapi shalat tetap dihukumi wajib bagi orang yang
murtad, dan wajib mengqhodo shalat ketika ia memeluk agama islam lagi.
Yang kedua adalah Baligh.
Syarat wajib shalat yang kedua adalah baligh. Dengan demikian, shalat tidak
dihukumi wajib bagi anak kecil. Akan tetapi, mereka harus diperintahkan sholat
apabila sudah berusia 7 tahun dan sudah tamyiz. Dan dipukul dengan pukulan yang
tidak membahayakan apabila mereka sudah sempurna berusia 10 tahun, tapi tidak
mau diperintah sholat.
Yang ketiga adalah Berakal.
Syarat wajib shalat yang ketiga adalah berakal. Lantaran itu, bagi orang gila,
orang mabuk yang tidak sengaja, dan epilepsi tidak wajib shalat, serta tidak wajib
mengqhodo.

D. Signifikan

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk memaparkan Fasal tentang Sholat Dalam Kitab Fathul Qorib

b. Untuk memberikan wawasan terhadap pembaca mengenai pentingnya


memberikan pembelajaran mengenai Sholat khususnya dalam Kitab Fathul
Qorib terhadap anak usia dini untuk menyongsong masa baligh.
2. Manfaat Penelitian

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi


pembaca unruk mengetahui akan pentingnya memberikan pembelajaran
mengenai Sholat khususnya dalam Kitab Fathul Qorib terhadap anak usia dini
untuk menyongsong masa baligh.

E. Kajian Terdahulu

Resensi karya Ahmad Fajri yang berjudul Resensi Kitab Fathul Qarib
AlMujib Karya Ibnu Qasim, dalam resensinya Ahmad menjelaskan bahwa Kitab
Fathul Qarib sebagai syarahan dari Matan Taqrib adalah kitab yang membahas
tentang hukum hukum fiqh dan berlandaskan Mazhab Syafii. Dalam literatur Fiqh
Syafiiah, Kitab Fathul Qarib ini merupakan kitab yang sangat penting. Kitab
Fathul Qarib ini disebut sebagai Tuhfah Kecil (al-Tuhfatul AlShaghirah). Jadi,
mempelajari Kitab Fathul Qarib serasa seperti mempelajari Kitab Tuhfah karya
Ibnu Hajar al-Haitami. Ya, ada rasa Tuhfah dalam Syarah Ibnu Qasim.6
Artikel karya Rojaul Huda (2022), yang berjudul Terjemah Fathul Qorib
Fasal Syarat Wajib Sholat memaparkan bahwa Syarat wajibnya shalat ada 3

perkara, yaitu, Pertama, beragama islam, maka tidak wajib bagi orang kafir
asli, dan tidak wajib baginya mengqadha nya jika masuk Islam. Sedangkan orang
murtad tetap wajib shalat dan menggadha ‘inya jika kembali masuk Islam. Kedua,
akil baligh, maka tidak wajib shalat bagi anak kecil, baik laki-laki atau perempuan,

namun demikian keduanya diperintahkan untuk shalat setelah berumur tujuh tahun
jika telah tamyiz pada umur tersebut, jika belum maka setelah tamyiz, dan dipukul
sebab meninggalkan shalat setelah genap berumur sepuluh tahun. Ketiga, berakal,
maka tidak wajib shalat bagi orang gila, dan semua itu merupakan batasan taklif
(pembebanan). Selanjutnya dia menjelaskan HR. Abu Daud “Perintahlah anak
kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur 7 tahun, apabila telah mencapai
umur 10 tahun, pukullah ia saat menii Ikan shalat. (HR. Abu
Dawud)” dan pentingnya mengajarkan sholat kepada anak sejak usia 7 tahun, dan
memerintahkan kepada si anak untuk melaksanakan sholat diaman perintah itu
dapat diulangi jika ada dugaan perintah pertama belum dipatuhi. Dan jika ada anak
berumur lebih dari 10 tahun yang aman masa memungkinkan baligh tapi ia engga
untuk melaksanakan sholat, amaka orang tua berhak untuk memkul anak tersebut

seperti yang dijelaskan dalam hadits diatas. 7

F. Pendekatan

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian pustaka (library


research), yakni penelitian yang obyek kajiannya menggunakan data pustaka

7
rojaulhuda, “Terjemah Fathul Qorib Fasal Syarat Wajib Shalat,” 29 Agustus 2022,
https://rojaulhuda.com/terjemah-fathul-qorib-fasal-syarat-wajib-shalat/. 5 Y Chamidah, ‘Metode
Penelitian’, IAIN Kudus, 2018, 59–63.
berupa buku-buku sebagai sumber datanya.5 Penelitian ini dilakukan dengan
membaca, menelaah, dan menganalisis berbagai literatur yang ada, berupa Al
Qur’an, hadis, kitab, maupun hasil penelitian. Jenis penelitian kepustakaan ini
berupa kajian hadits mengenai perintah sholat bagi anak yang sudah memasuki
usia 7 (tujuh) tahun jika sudah muncul sifat tamyiz, namun jika belum maka bisa
dilakukan setalah mereka tamyiz serta ketika anak sudah sepuluh tahun tidak mau
melaksanakan sholat maka berhak dipukul.

G. Teori

Penelitian ini menggunakan teori kebenaran islam. Kebenaran dalam islam


adalah semua yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Setiap muslim
meyakini bahwa sumber dari segala kebenaran adalah firman Allah SWT di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Semua yang ada pada keduanya adalah benar. Jika ada
manusia yang berpendapat bahwa ada kesalahan pada keduanya, maka sejatinya
kesalahan adalah pada orang tersebut karena memahaminya dengan hawa nafsu.

Kebenaran dalam wahyu terbukti dengan kesesuaian hukum-hukum yang


terjadi di alam ini. Demikian pula aturan-aturan yang ada pada keduanya tidak
satupun yang bertentangan fitrah manusia. Maka sebagai seorang muslim, harus
meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu yang ada dalam Al Quran dan
AlHadist.
Berkaitan dengan kebenaran dalam lingkup ilmu pengetahuan, maka jika
ada nash dari Al-Quran yang qoth’i, maka tidak ada kebenaran lainya. Namun jika
terikat dengan masalah-masalah yang tidak ada nash padanya maka manusia
diberikan hak untuk melakulan ijtihad dan interpretasi terhadap keduanya dengan
menggunakan metode-metode ilmiah.

H. Metode

Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah


menggunakan metode analitik, yang mana metode ini merupakan suatu bentuk
metode dengan cara mengumpulkan dan menyusun data, kemudian diusahakan
adanya penjelasan dan analisa terhadap data tersebut.
Objek data yang dicari oleh peneliti adalah dengan mencari
literaturliteratur yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Peneliti mencari
data dalam menjawab permasalahan yang diangkat dengan membaca berbagai
referensi yang sesuai. Penelitian kepustakaan merupakan penelaahan terhadap
data-data pustaka yang dapat memberikan solusi atau jawaban terkait dengan
masalah yang diteliti. Melalui penelitian pustaka dapat memberi hasil dari apa
yang dicari melalui sumber-sumber data yang digunakan. 8
I. Asumsi-asumsi

Kitab fathul Qorib merupakan kitab yang dikarang oleh Abu Syuja’ atas
permintaan murid-muridnya untuk dibuatkan sebuah kitab yang berisikan
masalah-masalah fiqih dengan menganut faham imam syafi’i. Berdasarkan hal
tersebut maka menurut penulis kajian ini sifatnya penting karena kitab fathul qorib
ini akan sangat diperlukan dalam kehidupan khususnya bagi anak-anak yang
sedang beranjak dewasa.
Ulama fiqh juga berbeda pendapat ). Hadith riwayat al-Tirmidzi dengan
redaksi ‘allimū (ajarilah) adalah: ‫ و اضرب واه عليها‬،‫علم وا الصبي الصالة لسبع سنين‬
‫ألبن عشر سنين‬
“Ajarkan Shalat pada anak jika berusia tujuh tahun dan pukullah jika
meninggalkan shalat bila berusia sepuluh tahun”.
Konteks Hadith adalah untuk anak-anak yang belum mencapai masa
baligh. al-San‘ani menyatakan bahwa perintah memukul anak pada usia sepuluh
tahun jika ia meninggalkan shalat menunjukkan bahwa anak usia sepuluh tahun
sudah dibebani shalat. Hal senada disampaikan al-Khattabi, teks Hadith “jika
telah sampai sepuluh tahun, maka pukullah ia” menunjukkan semakin tegasnya
sanksi jika meninggalkan shalat dengan memaparkan hukum orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja (tarik al-shalah)

8
N .d. Mekarisce & Jambi, ‘Metode Penelitian’, 2020, hlm. 21.
Berbeda dengan Ibn Rajab al-Hanbalī, menurutnya shalat belum wajib
bagi anak yang belum baligh. Namun menjadi keharusan bagi orang tua
memerintahkan anak mengerjakan shalat setelah menginjak usia tujuh tahun dan
memukulnya jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun ke atas (Hanbali, 1996).
Badr al-Din al-‘Ayni dan Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa kata perintah
tidak menunjukkan kewajiban shalat bagi anak, melainkan hanya sekadar
pembelajaran (irsyad) dan pendidikan (ta’dib) yang dibebankan kepada orang tua.
Sebab, anak yang dibicarakan di sini belum mencapai baligh, jadi ia bukan
mukallaf
Menurut al-Abadi, usia tujuh tahun dipilih secara eksplisit sebagai
permulaan pengajaran dan pendidikan shalat anak, sebab anak telah dapat
membedakan yang baik dan yang buruk (tamyiz). Sedangkan usia sepuluh tahun
dipilih secara eksplisit sebagai permulaan penerapan pukulan sebab anak sudah
sejengkal lagi menuju masa baligh. Semua hanyalah pembelajaran dan pendidikan
shalat bagi anak . Qawam al-Sunnah menganggap pendidikan dan pengajaran
shalat dengan disertai pukulan sebelum usia baligh merupakan proses pembiasaan
supaya tidak berat mengerjakan shalat di usia baligh . Menurut Ibn ‘Allan,
al‘Iraqi, dan al-Mala ‘Ali al-Qari, perintah shalat kepada anak usia tujuh tahun
dan perintah memukulnya pada usia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat
adalah sekadar latihan dan pembiasaan agar anak tidak akan meninggalkan shalat
ketika telah dewasa nanti

J. Kritik dan Saran

Dalam kitab fathul qorib dijelaskan bahwa anak yang sudah berusia 10 tahun
dan idak melaksanakan sholat maka dirinya berhak untuk dipukul, akan tetapi
hendaknya sebagai orang tua tidak langsung memukul anaknya tetapi diberi
nasihat terlebih dahulu dan memberikan contoh yang baik, sehingga anak dapat
meniru kebiasaan baik yang dilakukan oleh orang tua nya.
DAFTAR PUSTAKA

Avin Dika Rosita dan Siti Choiriyah, “Pelaksanaan Pembelajaran Fiqih dengan Kitab
Fathul Qorib di Madrasah Diniyyah Salafiyyah Infarul Ghoyyi Bangle Tanon
Tanon Sragen Tahunn Ajaran 2018/2019” (skripsi, IAIN Surakarta, 2018),
https://eprints.iain-surakarta.ac.id/2295/
Ibnu Aby Zain., Fathul Qorib Al Mujib, vol. Cetakan Pertama (Kediri: Zamzam Sumber
Mata Air Ilmu, 16M).
“Resensi Kitab Fathul Qarib Karya Ibnu Qasim,” Ahmad Alfajri (blog), Diakses 17
Oktober 2019, https://ahmadalfajri.com/resensi-kitab-fathul-qarib-karya-
ibnuqasim/.
Rojaulhuda,“Terjemah Fathul Qorib Fasal Syarat Wajib Shalat,” Diakses 29 Agustus
2022, https://rojaulhuda.com/terjemah-fathul-qorib-fasal-syarat-wajib-shalat/.
Mekarisce & Jambi, N.d. 2020. ‘Metode Penelitian’
Y Chamidah. 2018. ‘Metode Penelitian'. IAIN Kudus.

Anda mungkin juga menyukai