K 3 FIKIH PEREMPUANN Anyar Maning
K 3 FIKIH PEREMPUANN Anyar Maning
Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Fiqih Perempun
Disusun Oleh :
1. M. Ilyas Nur 2017302157
2. Muti Ulu Sangadah 2017302181
3. Akhmad Khafidz 2017302187
4. Ferina Lutfiah 2017302190
5. Nurfadiana 214110302021
FAKULTAS SYARIAH
2023
PEMBAHASAN
Judul buku (kitab) yang dibahas : Fath Al Qorib Al-Mujib Karya Syaikh Al-
: ‘Alamah Imam Abu Abdillah Muhammad
Bin Qasim Al-Ghuzzi
Sub Tema yang dibahas : Sholat
Penulis atau Penerjemah : Ibnu Aby Zain.
Penerbit : Zamzam Sumber Mata Air Ilmu
Kota : Kediri
Tahun : 2016
Halaman : 110-111
)فصل( :وشرائط وجوب الصالة ثالثة أشياء .أحدها )اإلسالم( فال تجب
الصالة على الكافر األصلي ،وال يجب عليه قضاؤها إذا أسلم ،وأما المرتد
فتجب عليه الصالة وقضاؤها إن عاد إلى اإلسالم
)و( الثاني )البلوغ( فال تجب على صبي وصبية لكن يؤمران بها بعد سبع
سنين إن حصل التمييز بها ،وإال فبعد التمييز ويضربان على تركها بعد
كمال عشر سنين
)و( الثالث )العقل( فال تجب على مجنون وقوله )وهو حد التكليف( ساقط
في بعض نسخ المتن
Terjemah:
Syarat-syarat wajib sholat ada 3 perkara: 1
1. Beragama Islam. Sholat tidak wajib bagi orang kafir asli (semenjak lahir). Ia
juga tiak wajib mengqodho sholat (yang ia tinggalkan salam kafir) jika ia telah
masu islam. Sedang orang murtad, ia tetap wajib melakukan sholat dan wajib
mengqodho sholat jika ia kembali memluk agama islam.
2. Baligh. Sholat tidak wajib bagi anak kecil dan anak kecil perempuan. Namun,
keduannya wajib diperintah melakukan sholat setelah umur 7 tahun jika
Bersama umur tersebut telah munul sifat tamyis. Bila tidak, maka diperintah
setelah adanya sifat tamyiz. Keduanya wajib dipukul jika meninggalkan sholat
setelah sempurna usia 10 tahun. Masa Mumayyiz adalah masa yang tepat
untuk mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban bagi seorang muslim.
Adapun batasan seorang anak telah mumayyiz adalah apabila ia telah mampu
makan, minum, dan beristinja’ secara mandiri. Bila anak telah mumayyiz
namun belum mencapai usia tujuh tahun maka orang tua hanya disunahkan,
bukan diwajibkan, memerintahkan anaknya melakukan kewajiban-kewajiban
syari’at.2
3. Berakal. Sholat tidak wajib bagi orang gila. Perkataan Mushannif ( akal adalah
pijakan taklif) tidak ditemukan dalam Sebagian Salinan kitab matan.
B. Intro
Baligh diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki Arti
“sampai”, maksudnya “telah sampainya usia seseorang pada tahap
kedewasaan”.Maka dari itu, sholat tidak wajib bagi anak kecil laki-laki dan
perempuan. Meskipun belum baligh diharapkan para orang tua sudah
memerintahkan anak mereka untuk melaksanakan shalat dengan harapan agar
anak tersebut terbiasa dan melaksanakan shalat karena mengetahui bahwa ibadah
tersebut adalah wajib bukan karena paksaan. Karena shalat sangatlah penting
1
Ibnu Aby Zain., Fathul Qorib Al Mujib, vol. Cetakan Pertama (Kediri: Zamzam Sumber Mata Air
Ilmu, 16M).
2
https://suluk.id/benarkah-anak-tidak-sholat-boleh-dipukul/
bukan yang penting shalat. Kemudian keduanya harus diperintah melaksanakan
sholat setelah berusia tujuh tahun jika sudah tamyiz, jika belum maka sholat
tersebut diperintah setelah tamyiz. Dan keduanya harus di pukul sebab
meninggalkan sholat setelah berusia sepuluh tahun. Indikasi tamyiz adalah
sebelum menuju dewasa/baligh anak-anak menuju tahapan mumayyiz. Pada masa
ini anak sudah dapat membedakan yang baik dan buruk tapi belum menjadi orang
yang mukallaf (wajib melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan).
3
https://suluk.id/benarkah-anak-tidak-sholat-boleh-dipukul/
shalat ketika sudah masuk usia baligh, maka dosanya berkali lipat.Fardhunya
Wudhu’ mushannif menyebutkan fardhu-fardhunya wudhu’ di dalam perkataan
beliau, “fardhunya wudhu’ ada enam perkara.”
1. Niat wudhu’ pertama adalah niat. Hakikat niat secara syara’ adalah
menyengaja sesuatu besertaan dengan melakukannya. Jika melakukannya
lebih akhir dari pada kesengajaannya, maka disebut ‘azm. Niat dilakukan
saat membasuh awal bagian dari wajah. Maksudnya bersamaan dengan
basuhan bagian tersebut, bukan sebelumnya dan bukan setelahnya.
Sehingga, saat membasuh anggota tersebut, maka orang yang wudhu’
melakukan niat menghilangkan hadats dari hadats-hadats yang berada pada
dirinya. Atau niat agar diperkenankan melakukan sesuatu yang
membutuhkan wudhu’. Atau niat fardhunya wudhu’ atau niat wudhu’ saja.
Atau niat bersuci dari hadats. Jika tidak menyebutkan kata “dari hadats”
(hanya niat bersuci saja), maka wudhu’nya tidak sah. Ketika dia sudah
melakukan niat yang dianggap sah dari niat-niat di atas, dan dia
menyertakan niat membersihkan badan atau niat menyegarkan badan, maka
hukum wudhu’nya tetap sah.
2. Fardhu yang kedua membasuh Seluruh Wajah. Batasan wajah adalah
anggota diantara tempat tempat yang umumnya tumbuh rambut kepala dan
pangkalnya lahyaini(dua rahang). Lahyaini adalah dua tulang tempat
tumbuhnya gigi awash yang ujungnya bertemu dijanggut dan pangkalnya
berada ditelinga.4 Apabila basuhan wajah tidak menyeluruh pada batasan
batasan yang telah ditentukan maka tidak sah wudhu seseorang.
3. Fardhu yang ke tiga adalah membasuh kedua tangan hingga kedua siku.
Jika seseorang tidak memiliki kedua siku, maka yang dipertimbangkan
adalah kira-kiranya. Dan wajib membasuh perkara-perkara yang berada di
kedua tangan, yaitu bulu, uci-uci, jari tambahan dan kuku. Dan wajib
menghilangkan perkara yang berada di bawah kuku, yaitu kotoran-kotoran
yang bisa mencegah masuknya air.
4
Muhammad Hamim dan Nailul Huda, Fathul Qorib Paling Lengkap, Kedua (Kediri:
Santri Salaf Press, 2017), 278.
4. Fardhu yang ke empat adalah mengusap sebagian kepala, baik laki-laki atau
perempuan. Atau mengusap sebagian rambut yang masih berada di batas
kepala. Tidak harus menggunakan tangan untuk mengusap kepala, bahkan
bisa dengan kain atau yang lainnya. Seandainya dia membasuh kepala
sebagai ganti dari mengusapnya, maka diperkenankan. Dan seandainya dia
meletakkan (di atas kepala) tangannya yang telah dibasahi dan tidak
mengerakkannya, maka diperkenankan.
5. Fardhu yang ke lima adalah membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki,
jika orang yang melaksanakan wudhu’ tersebut tidak mengenakan dua
muza. Jika dia mengenakan dua muza, maka wajib bagi dia untuk
mengusap kedua muza atau membasuh kedua kaki5. Dan wajib membasuh
perkara-perkara yang berada di kedua kaki, yaitu bulu, daging tambahan,
dan jari tambahan sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan di dalam
permasalahan kedua tangan.
6. Fardhu yang ke enam adalah tertib di dalam pelaksanaan wudhu’ sesuai
dengan cara yang telah saya jelaskan di dalam urutan fardhu-fardhunya
wudhu’. Sehingga, kalau lupa tidak tertib, maka wudhu’ yang dilaksanakan
tidak mencukupi. Seandainya ada empat orang yang membasuh seluruh
anggota wudlu’nya seseorang sekaligus dengan seizinnya, maka yang
hilang hanya hadats wajahnya saja.
Menerangkan bahwa fardhunya mandi itu ada tiga perkara, yaitu Pertama: Niat,
Dalam hal ini, maka bagi orang yang junub harus berniat menghilangkan janabat
atau hadats besar dan yang serupa dengan itu. Bagi orang Haidh atau Nifas, maka
hendaklah niat menghilangkan hadats (kotoran) Haidh atau Nifas
Ke-dua : Menghilangkan najis, jika memang pada badan orang yang mandi itu
terdapat najis. Dan keterangan inilah yang di anggap kuat oleh Imam Syafi'i. Oleh
karena itu maka tidaklah cukup mandi satu (atau pembasuhan satu) untuk
5
Hamim dan Huda, Fathul Qorib Paling Lengkap, 280.
menghilang kan hadats dan najis. Imam Nawawi berpegang teguh pada
pendapatnya bahwa mandi satu (pembasuhan satu) itu dapat dipergunakan untuk
menghilangkan keduanya yaitu hadats dan najis dengan dasar apabila najis tersebut
berupa najis hukmiyah. Sedangkan bila najis itu 'ainiyyah (dapat dilihat mata)
maka wajib menggunakan dua pembasuhan dari hadats dan najis.
Ke-tiga: meratakan air ke seluruh rambut dan kulit (seluruh badan). Menurut
sebagian keterangan, bahwa lafadz “Jami'usy Sya'ri Wal Basyarati” itu menjadi
lafadz “Jami'u- Ushuli”. Dan tidak ada perbedaan antara rambut kepala dan rambut
lainnya, demikian juga antara rambut yang jarang-jarang dan yang tebal. Rambut
yang dikonde (gelung, bhs. Jawa) jika udara tidak dapat sampai ke dalamnya
kecuali dengan melepas ikatannya, maka melepaskan ikatannya itu adalah wajib.
Adapun yang dikehendaki dengan tembus sampai kulit yaitu bagian lahir kulit itu.
Menerangkan bahwa fardhunya mandi itu ada tiga perkara, yaitu Pertama: Niat,
Dalam hal ini, maka bagi orang yang junub harus berniat menghilangkan janabat
atau hadats besar dan yang serupa dengan itu. Bagi orang Haidh atau Nifas, maka
hendaklah niat menghilangkan hadats (kotoran) Haidh atau Nifas
Ke-dua : Menghilangkan najis, jika memang pada badan orang yang mandi itu
terdapat najis. Dan keterangan inilah yang di anggap kuat oleh Imam Syafi'i. Oleh
karena itu maka tidaklah cukup mandi satu (atau pembasuhan satu) untuk
menghilang kan hadats dan najis. Imam Nawawi berpegang teguh pada
pendapatnya bahwa mandi satu (pembasuhan satu) itu dapat dipergunakan untuk
menghilangkan keduanya yaitu hadats dan najis dengan dasar apabila najis tersebut
berupa najis hukmi
Ketiga: meratakan air ke seluruh rambut dan kulit (seluruh badan). Menurut
sebagian keterangan, bahwa lafadz “Jami'usy Sya'ri Wal Basyarati” itu menjadi
lafadz “Jami'u- Ushuli”. Dan tidak ada perbedaan antara rambut kepala dan rambut
lainnya, demikian juga antara rambut yang jarang-jarang dan yang tebal. Rambut
yang dikonde (gelung, bhs. Jawa) jika udara tidak dapat sampai ke dalamnya
kecuali dengan melepas ikatannya, maka melepaskan ikatannya itu adalah wajib.
Adapun yang dikehendaki dengan tembus sampai kulit yaitu bagian lahir kulit itu.
Adapun beberapa syarat sah shalat sebelum melakukan shalat jumlahnya ada 5
Syarat sah shalat yang pertama adalah sucinya anggota tubuh dari hadas kecil, dan
hadas besar apabila mampu. Begitu pula dengan tempat, pakaian, dan badan juga
harus suci dari najis yang tidak di ma’fu. Syarat sah shalat yang kedua adalah
menutup warnanya aurat ketika mampu meskipun orang tersebut berada di tempat
sepi dan gelap. Dan menutup auratnya menggunakan pakaian yang suci. Syarat sah
shalat yang ketiga adalah menempat di tempat yang suci. Oleh sebab itu, shalatnya
seseorang tidak sah jika bagian badan, dan pakainya menyentuh najis, baik itu saat
berdiri, duduk, ruku’ ataupun sujud. Syarat sah shalat yang keempat adalah
mengetahui masuknya waktu shalat, atau mempunyai prasangka sudah masuk
waktu shalat dengan cara berijtihad (mencari tahu). Yang terakhir adalah dadanya
menghadap qiblat (Ka’bah) bagi orang yang mampu.
D. Signifikan
1. Tujuan Penelitian
E. Kajian Terdahulu
Resensi karya Ahmad Fajri yang berjudul Resensi Kitab Fathul Qarib
AlMujib Karya Ibnu Qasim, dalam resensinya Ahmad menjelaskan bahwa Kitab
Fathul Qarib sebagai syarahan dari Matan Taqrib adalah kitab yang membahas
tentang hukum hukum fiqh dan berlandaskan Mazhab Syafii. Dalam literatur Fiqh
Syafiiah, Kitab Fathul Qarib ini merupakan kitab yang sangat penting. Kitab
Fathul Qarib ini disebut sebagai Tuhfah Kecil (al-Tuhfatul AlShaghirah). Jadi,
mempelajari Kitab Fathul Qarib serasa seperti mempelajari Kitab Tuhfah karya
Ibnu Hajar al-Haitami. Ya, ada rasa Tuhfah dalam Syarah Ibnu Qasim.6
Artikel karya Rojaul Huda (2022), yang berjudul Terjemah Fathul Qorib
Fasal Syarat Wajib Sholat memaparkan bahwa Syarat wajibnya shalat ada 3
perkara, yaitu, Pertama, beragama islam, maka tidak wajib bagi orang kafir
asli, dan tidak wajib baginya mengqadha nya jika masuk Islam. Sedangkan orang
murtad tetap wajib shalat dan menggadha ‘inya jika kembali masuk Islam. Kedua,
akil baligh, maka tidak wajib shalat bagi anak kecil, baik laki-laki atau perempuan,
namun demikian keduanya diperintahkan untuk shalat setelah berumur tujuh tahun
jika telah tamyiz pada umur tersebut, jika belum maka setelah tamyiz, dan dipukul
sebab meninggalkan shalat setelah genap berumur sepuluh tahun. Ketiga, berakal,
maka tidak wajib shalat bagi orang gila, dan semua itu merupakan batasan taklif
(pembebanan). Selanjutnya dia menjelaskan HR. Abu Daud “Perintahlah anak
kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur 7 tahun, apabila telah mencapai
umur 10 tahun, pukullah ia saat menii Ikan shalat. (HR. Abu
Dawud)” dan pentingnya mengajarkan sholat kepada anak sejak usia 7 tahun, dan
memerintahkan kepada si anak untuk melaksanakan sholat diaman perintah itu
dapat diulangi jika ada dugaan perintah pertama belum dipatuhi. Dan jika ada anak
berumur lebih dari 10 tahun yang aman masa memungkinkan baligh tapi ia engga
untuk melaksanakan sholat, amaka orang tua berhak untuk memkul anak tersebut
F. Pendekatan
7
rojaulhuda, “Terjemah Fathul Qorib Fasal Syarat Wajib Shalat,” 29 Agustus 2022,
https://rojaulhuda.com/terjemah-fathul-qorib-fasal-syarat-wajib-shalat/. 5 Y Chamidah, ‘Metode
Penelitian’, IAIN Kudus, 2018, 59–63.
berupa buku-buku sebagai sumber datanya.5 Penelitian ini dilakukan dengan
membaca, menelaah, dan menganalisis berbagai literatur yang ada, berupa Al
Qur’an, hadis, kitab, maupun hasil penelitian. Jenis penelitian kepustakaan ini
berupa kajian hadits mengenai perintah sholat bagi anak yang sudah memasuki
usia 7 (tujuh) tahun jika sudah muncul sifat tamyiz, namun jika belum maka bisa
dilakukan setalah mereka tamyiz serta ketika anak sudah sepuluh tahun tidak mau
melaksanakan sholat maka berhak dipukul.
G. Teori
H. Metode
Kitab fathul Qorib merupakan kitab yang dikarang oleh Abu Syuja’ atas
permintaan murid-muridnya untuk dibuatkan sebuah kitab yang berisikan
masalah-masalah fiqih dengan menganut faham imam syafi’i. Berdasarkan hal
tersebut maka menurut penulis kajian ini sifatnya penting karena kitab fathul qorib
ini akan sangat diperlukan dalam kehidupan khususnya bagi anak-anak yang
sedang beranjak dewasa.
Ulama fiqh juga berbeda pendapat ). Hadith riwayat al-Tirmidzi dengan
redaksi ‘allimū (ajarilah) adalah: و اضرب واه عليها،علم وا الصبي الصالة لسبع سنين
ألبن عشر سنين
“Ajarkan Shalat pada anak jika berusia tujuh tahun dan pukullah jika
meninggalkan shalat bila berusia sepuluh tahun”.
Konteks Hadith adalah untuk anak-anak yang belum mencapai masa
baligh. al-San‘ani menyatakan bahwa perintah memukul anak pada usia sepuluh
tahun jika ia meninggalkan shalat menunjukkan bahwa anak usia sepuluh tahun
sudah dibebani shalat. Hal senada disampaikan al-Khattabi, teks Hadith “jika
telah sampai sepuluh tahun, maka pukullah ia” menunjukkan semakin tegasnya
sanksi jika meninggalkan shalat dengan memaparkan hukum orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja (tarik al-shalah)
8
N .d. Mekarisce & Jambi, ‘Metode Penelitian’, 2020, hlm. 21.
Berbeda dengan Ibn Rajab al-Hanbalī, menurutnya shalat belum wajib
bagi anak yang belum baligh. Namun menjadi keharusan bagi orang tua
memerintahkan anak mengerjakan shalat setelah menginjak usia tujuh tahun dan
memukulnya jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun ke atas (Hanbali, 1996).
Badr al-Din al-‘Ayni dan Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa kata perintah
tidak menunjukkan kewajiban shalat bagi anak, melainkan hanya sekadar
pembelajaran (irsyad) dan pendidikan (ta’dib) yang dibebankan kepada orang tua.
Sebab, anak yang dibicarakan di sini belum mencapai baligh, jadi ia bukan
mukallaf
Menurut al-Abadi, usia tujuh tahun dipilih secara eksplisit sebagai
permulaan pengajaran dan pendidikan shalat anak, sebab anak telah dapat
membedakan yang baik dan yang buruk (tamyiz). Sedangkan usia sepuluh tahun
dipilih secara eksplisit sebagai permulaan penerapan pukulan sebab anak sudah
sejengkal lagi menuju masa baligh. Semua hanyalah pembelajaran dan pendidikan
shalat bagi anak . Qawam al-Sunnah menganggap pendidikan dan pengajaran
shalat dengan disertai pukulan sebelum usia baligh merupakan proses pembiasaan
supaya tidak berat mengerjakan shalat di usia baligh . Menurut Ibn ‘Allan,
al‘Iraqi, dan al-Mala ‘Ali al-Qari, perintah shalat kepada anak usia tujuh tahun
dan perintah memukulnya pada usia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat
adalah sekadar latihan dan pembiasaan agar anak tidak akan meninggalkan shalat
ketika telah dewasa nanti
Dalam kitab fathul qorib dijelaskan bahwa anak yang sudah berusia 10 tahun
dan idak melaksanakan sholat maka dirinya berhak untuk dipukul, akan tetapi
hendaknya sebagai orang tua tidak langsung memukul anaknya tetapi diberi
nasihat terlebih dahulu dan memberikan contoh yang baik, sehingga anak dapat
meniru kebiasaan baik yang dilakukan oleh orang tua nya.
DAFTAR PUSTAKA
Avin Dika Rosita dan Siti Choiriyah, “Pelaksanaan Pembelajaran Fiqih dengan Kitab
Fathul Qorib di Madrasah Diniyyah Salafiyyah Infarul Ghoyyi Bangle Tanon
Tanon Sragen Tahunn Ajaran 2018/2019” (skripsi, IAIN Surakarta, 2018),
https://eprints.iain-surakarta.ac.id/2295/
Ibnu Aby Zain., Fathul Qorib Al Mujib, vol. Cetakan Pertama (Kediri: Zamzam Sumber
Mata Air Ilmu, 16M).
“Resensi Kitab Fathul Qarib Karya Ibnu Qasim,” Ahmad Alfajri (blog), Diakses 17
Oktober 2019, https://ahmadalfajri.com/resensi-kitab-fathul-qarib-karya-
ibnuqasim/.
Rojaulhuda,“Terjemah Fathul Qorib Fasal Syarat Wajib Shalat,” Diakses 29 Agustus
2022, https://rojaulhuda.com/terjemah-fathul-qorib-fasal-syarat-wajib-shalat/.
Mekarisce & Jambi, N.d. 2020. ‘Metode Penelitian’
Y Chamidah. 2018. ‘Metode Penelitian'. IAIN Kudus.