Anda di halaman 1dari 9

Mengajar itu tidak sekedar menyampaikan materi ajar kepada siswa, akan tetapi merubah pola pikir siswa

adalah sesuatu yang sangat urgen. Perubahan pola pikir siswa adalah kondisi dimana peserta didik mengalami
peningkatan secara kognitif, afektif dan psikomotor pasca perlakuan seorang guru kepadanya.

Mengajar adalah salah satu pekerjaan paling rumit saat ini. Hal ini menuntut pengetahuan yang luas tentang
materi pelajaran, kurikulum, dan standar; antusiasme, sikap peduli, dan cinta pengetahuan; pengetahuan
tentang disiplin dan teknik pengelolaan kelas; dan keinginan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan
anak-anak muda. Dengan semua kualitas yang diperlukan, tak heran bahwa sulit untuk menemukan guru hebat.

Kriteria Guru Hebat


Seorang guru yang baik harus senantiasa mampu menggerakkan hati peserta didik untuk mau melakukan
perubahan diri ke arah yang lebih baik secara sadar. Sehingga, disebut guru ideal apabila memiliki beberapa
kriteria berikut:
1. Full Engangement
Kriteria penting ini ada dalam posisi pertama. Full engangement adalah sifat guru yang mampu menyatukan
hati dan pikiran dirinya dengan peserta didiknya secara total. Pertemuan pertama begitu menggoda adalah
cermin hebat bagi seorang guru di depan kelas. Peserta didik akan merasa nyaman dengan kehadiran guru yang
memiliki kriteria ini.

Kehadirannya tidak menjadikan peserta didik takut dan khawatir tapi justru mengundang kepenasaran karena
performa memikat di awal perjumpaan. Full engagement adalah strategi jitu yang harus dilakukan oleh seorang
guru pada saat pertama kali masuk kelas untuk mengikat hati peserta didik. Jika sudah terikat, peserta didik
tidak akan lari dan menghindar.

2. Smooth Expression
Kriteria kedua ini adalah prilaku seorang guru yang mampu bersikap lembut. Ungkapan wajah dan pola
komunikasi yang hangat dan bersahabat akan memberikan efek positif dan daya juang belajar peserta didik
bersama guru tercintanya.

Smooth expression merupakan tampilan nyata seorang guru yang mampu meyakinkan dirinya kepada peserta
didik sebagai seorang yang bisa diandalakan untuk menjadi teman diskusi, teman berbagi dan teman
penyelesai masalah.

Tentunya, kedekatan yang dibangun oleh seorang guru tetap memerhatikan aspek-aspek akademik dan sosial.
Sehingga batasan kedekatan ini terarah hanya wilayah pembinaan akademik dan penciptaan teladan diri guru
di depan peserta didiknya dalam aplikasi nilai-nilai akademik kesehariannya.

3. Clear Explanation
Kriteria guru hebat yang ketiga adalah clear explanation. Kriteria ini adalah berkaitan dengan kompetensi guru
yang harus mampu menjelaskan mata pelajaran/mata kuliah yang dengan jelas dan dapat memberikan analogi
realistik agar peserta didik dapat menyelesaikan persoalan akademik dalam segala tipe. Penjelasan yang
sejelas-jelasnya bagi seorang guru adalah ketika dia mampu mendiagnosa kondisi pengetahuan si peserta didik.

Berikutnya, ia dapat membaca tingkat pemahaman peserta didik sebagai parameter utama ketika menjelaskan
materi ajar dalam proses belajar dan mengajar. Guru tidak boleh egois dan hanya puas dengan penjelasan
dirinya tanpa menghitung capaian pemahaman peserta didik. Kriteria ini menciptakan pribadi guru yang
kompeten dalam pengajaran.

4. Good Performance
Kriteria keempat adalah Good Performance (GP). GP merupakan masalah krusial bagi seorang guru. Guru
harus mampu memadukan warna pakaian yang dikenakan, memilih bahasa yang digunakan, menanggapi
pertanyaan peserta didik dengan respek dan menyelesaikan masalah pengajaran dengan bijak.
Penampilan itu tidak sekedar apa yang dapat dilihat kasat mata tapi penampilan itu harus disiapkan oleh
beberapa kebiasaan sebelumnya sehingga dapat mengakar dan kuat sebagai satu sikap baik guru.

Good Performance akan terjadi jika seorang guru senantiasa sadar pada dirinya bahwa sesungguhnya ia
tercipta sebagai model atau public figure. Kesadaran itu yang akan senantiasa menjaga harga dirinya dengan
sekenap potensi, sikap dan tindakan baik terhadap peserta didiknya dan kepada siapapun.

5. Appropriate Evaluation
Seorang guru yang hebat adalah mampu mengevaluasi peserta didiknya dengan cermat. Ia tidak mudah
mengambil kesimpulan tentang kondisi kelas yang belum mencapai target; capaian pembelajaran di bawah
standar maupun sikap peserta didik yang kurang baik. Seorang guru yang hebat akan memahami proses
pembelajaran yang kurang optimal, memperbaikinya dan meningkatkannya.

Tidak ada yang harus dipersalahkan atas ketidaktercapaian target pembelajaran itu akan tetapi selalu
melakukan evaluasi yang tepat untuk perbaikan di masa mendatang. Seorang guru yang memiliki kriteria ini
senantiasa melakukan review and follow up (cek kegiatan terdahulu dan tindaklanjut untk perbaikan secara
terus-menerus)

6. High Impression
Kriteria guru hebat yang terakhir adalah ia mampu memberikan kesan super bagi peserta didiknya. Ia tidak
sekedar mampu memulai kelas dengan penampilan pertama yang menggoda akan tetapi ia mampu mengakhiri
kelas penuh kesan yang tak terlupakan. Guru hebat senantiasa memikirkan dengan baik bagaimana mengakhiri
kelas penuh sensasi dan berkesan.

Pembelajaran berkesan bagi peserta didik adalah ketika mereka mampu menceritakan kembali proses itu
setelah belajar, merasakan kontekstualitas pembelajaran dalam kehidupannya dan menunggu kehadiran guru
kembali untuk membawa sesuatu yang baru. High impression diindikasikan dengan performa guru yang
kehadirannya disenangi dan ketidakhadirannya dirindukan.

Beberapa Karakteristik Guru Hebat


Guru hebat menetapkan harapan tinggi untuk semua siswa. Mereka berharap bahwa semua siswa dapat dan
akan mencapai di kelas mereka, dan mereka tidak menyerah pada berprestasi.

Guru hebat memiliki tujuan jelas. Guru yang efektif memiliki rencana pelajaran yang memberikan siswa ide
yang jelas tentang apa yang akan mereka pelajari, apa tugas dan apa itu aturan. Tugas memiliki tujuan
pembelajaran dan memberikan siswa banyak kesempatan untuk berlatih keterampilan baru. Guru konsisten
dalam pemberian aturan dan kembali bekerja pada waktu yang tepat.

Guru hebat siap dan terorganisir. Mereka berada di kelas lebih awal dan siap untuk mengajar. Mereka
menyajikan pelajaran dengan cara yang jelas dan terstruktur. Kelas mereka diatur sedemikian rupa untuk
meminimalkan gangguan.

Guru hebat melibatkan para siswa dan meminta mereka untuk melihat isu-isu di berbagai cara. Guru yang
efektif menggunakan fakta-fakta sebagai titik awal, bukan titik akhir; mereka bertanya “mengapa”, melihat
semua sisi dan mendorong siswa untuk memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka mengajukan
pertanyaan yang sering memastikan siswa mengikuti bersama. Mereka mencoba untuk melibatkan seluruh
kelas, dan mereka tidak mengizinkan beberapa siswa untuk mendominasi kelas. Mereka menjaga siswa
termotivasi dengan bervariasi, pendekatan hidup.

Guru hebat membentuk hubungan yang kuat dengan siswa mereka dan menunjukkan bahwa mereka peduli
tentang mereka sebagai orang. Guru hebat yang hangat, diakses, antusias dan peduli. Guru dengan kualitas ini
diketahui stand by setelah sekolah dan membuat diri mereka tersedia untuk siswa dan orang tua yang
membutuhkannya. Mereka terlibat dalam komite dan kegiatan sekolah, dan mereka menunjukkan komitmen
untuk sekolah.
Guru hebat adalah ahli materi pelajaran mereka. Mereka menunjukkan keahlian dalam mata pelajaran yang
mereka ajarkan dan menghabiskan waktu untuk terus mendapatkan pengetahuan baru di bidang mereka.
Mereka menyajikan materi secara antusias dan menanamkan rasa lapar pada siswa mereka untuk belajar lebih
banyak tentang mereka sendiri.
Guru hebat sering berkomunikasi dengan orang tua. Mereka bertemu orang tua melalui konferensi dan
membuat laporan tertulis ke rumah. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengambil telepon untuk menghubungi
orang tua, jika mereka benar-bnar concern pada seorang siswa.
Salah satu cara yang paling ampuh dan mudah untuk menjadi lebih cerdas atau meningkatkan potensi kognitif
adalah dengan mengetahui bagaimana cara untuk mengetahui yang biasa disebut dengan metakognisi (Flavell
dalam Desmita, 2017, hlm. 132).

Pengertian dan Aplikasi Metakognitif


Metakognitif adalah pengetahuan tentang cara belajar diri sendiri dan pengetahuan tentang bagaimana caranya
belajar (Slavin dalam Hasanuddin, 2017, hlm. 305). Melalui kemampuan metakognisi, kita dapat memiliki
keterampilan untuk mengetahui seperti apa proses berpikir dan belajar itu bekerja, sehingga dapat
mengelolanya dengan lebih baik.
Metakognisi terbagi atas dua komponen utama, yaitu pengetahuan tentang kognisi atau cara berpikir dan
belajar, serta kemampuan untuk mengelola kognisi itu sendiri. Salah satu aplikasi sederhana dari kemampuan
mengelola kognisi adalah dengan mengetahui gaya belajar seperti apa yang paling kita kuasai.

Apakah gaya belajar visual yang mengandalkan indra penglihatan seperti dengan membaca dan menonton
video? Ataukah gaya belajar auditoris yang berarti kita lebih mudah mencerna suatu konsep lewat pendengaran
seperti dengan mendengarkan podcast dan ceramah? atau justru gaya kinestetik yang berarti kita lebih mudah
belajar dengan cara mempraktikannya secara langsung.

Sejatinya hanya kita sendirilah yang benar-benar tahu mengenai hal ini, akan tetapi terdapat tes gaya belajar
yang dapat kita ikuti untuk mengetahuinya dengan pasti. Tes gaya belajar ini telah banyak tersedia secara
gratis dan dapat diakses secara online di banyak situs.

Perlu diingat bahwa meskipun kita memiliki preferensi gaya belajar, sejatinya gaya belajar ini adalah suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, dengan mengetahuinya, kita akan mampu memanfaatkan
kelebihan serta menutupi kekurangannya secara sadar dan terencana pada semua jenis kegiatan belajar yang
tengah kita hadapi.

Misalnya, jika kita mengetahui bahwa gaya belajar auditoris adalah keunggulan kita, maka memaksimalkan
setiap pertemuan dengan guru atau dosen di kelas, dan saat kita tidak memahami sesuatu, maksimalkan
pertemuan tersebut dengan cara aktif bertanya.

Sebaliknya, jika ternyata kita adalah seorang pembelajar visual, maka lakukan aktivitas mencatat yang akan
memaksimalkan pembelajaran ceramah yang sifatnya kebanyakan hanya berupa informasi auditoris saja.
Jangan ragu pula untuk menyematkan coretan-coretan gambar sederhana yang akan lebih merangsang gaya
belajar visual kita.

ementara itu apabila kita seorang pembelajar kinestetik, maka coba langsung kaitkan berbagai teori yang
disampaikan di kelas dengan berbagai kenyataan sehari-hari yang kita hadapi pada saat itu juga. Atau buat
mind mapping penerapan informasi tersebut baik dalam pikiran maupun berupa catatan sederhana.

Selanjutnya, pengetahuan akan kognisi atau proses berpikir dan belajar merupakan aset penting yang harus
diketahui dan disadari nilainya untuk membuat proses belajar menjadi lebih mudah dan menyenangkan.

Misalnya, pengetahuan mengenai fakta ilmiah bahwa sejatinya cara manusia untuk mengingat adalah dengan
memersepsi informasi, lalu mengulangnya pada saat itu juga.

Contohnya seperti pada saat kita ingin menghafal nomor telepon, maka kita akan membaca nomor telepon itu
sambil menyebutkannya kembali secara bersamaan, lalu mengulangnya untuk beberapa kali. Pengulangan
yang dilakukan itu adalah inti dari proses mental yang membuat kita mampu mengingat atau menguasai
sesuatu.

Proses serupa dapat dilihat dari bagaimana suatu trauma mampu merasuki ingatan kita sepanjang hayat,
padahal kejadian itu terjadi di masa lalu yang sudah sangat lampau. Ya, penyebabnya adalah karena kita
mengalami shock berat sehingga secara tidak sadar terus mengulang-ulang reka adegan traumatis tersebut di
dalam pikiran.

Proses penyimpanan informasi ini biasa disebut dengan istilah rehearse seperti bagaimana para aktor
melakukan rehearse atau gladi resik untuk mengingat-ingat dialog dan adegan perannya.

Pembelajaran berbasis ceramah dan penugasan yang dipraktikkan di sekolah-sekolah menerapkan fenomena
rehearse ini secara langsung. Namun sebetulnya tidak semua orang suka dan mampu melakukan cara belajar
seperti itu.

Sebagian orang lebih suka untuk terlibat langsung dalam suatu aktivitas nyata yang secara tidak langsung akan
memicu proses rehearse itu sendiri. Pembelajaran semacam ini adalah pembelajaran yang didapatkan ketika
kita menekuni suatu profesi atau langsung bekerja di industri dan biasa disebut sebagai belajar autodidak,
pengalaman, atau jam terbang karier.

Padahal, proses mental belajar yang terjadi sebetulnya sama saja, yakni proses rehearse itu sendiri, baik dari
segi kognisi maupun psikomotor yang melibatkan ingatan gerak otot atau muscle memory.

Seperti gaya belajar, cara belajar ini juga sejatinya tidak dapat dipisahkan yang berarti penguasaan teori dan
praktik adalah cara belajar yang saling melengkapi. Inilah mengapa fokus pendidikan hari ini lebih
mengandalkan model pembelajaran berbasis masalah dan proyek nyata yang harus dipecahkan sendiri oleh
siswa, seperti pada kegiatan belajar kelompok, magang, dan proyek akhir semester.

Dalam lingkup pembelajaran di sekolah, strategi metakognitif sangatlah penting untuk diterapkan. Sejumlah
penelitian membuktikan bahwa mengajar strategi metakognitif mampu meningkatkan hasil belajar siswa
dengan hasil yang positif (National Research Council, 1999). Anak yang sejak dini dilatih menggunakan
strategi metakognitif menunjukkan hasil yang positif pada hasil belajar dan adaptabilitas mereka baik di
sekolah maupun di luar sekolah.

Selain itu, menerapkan strategi metakognitif dapat menjadikan seseorang menjadi pembelajar mandiri dan
pembelajar sepanjang hayat. Strategi metakognitif mampu melatih pembelajar untuk mentransfer atau
mengaplikasikan apa yang telah dipelajari pada konteks yang berbeda. Dengan strategi metakognitif, seseorang
menjadi mampu mengukur keterbatasannya, apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah yang ia
hadapi, kemudian menyusun strategi belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya secara mandiri sehingga hasil
belajarnya dapat berakselerasi bahkan mampu melampaui hasil mereka yang hanya berlandaskan pada strategi
kognitif seperti menghafal, memonic, dan seterusnya. Sebagai guru yang konsisten melatih strategi
metakognitif pada siswa, kita tidak akan mendengar siswa berkata ‘Saya tidak mengerti’ akan tetapi lebih pada
‘Mengapa tidak mengerti dan bagaimana cara agar saya mengerti.’

Penjelasan di atas terdengar klise, naif, dan normatif. Bahkan mungkin banyak yang bersikap skeptis dan
menganggap melatih strategi metakognitif sangat sulit diterapkan di kelas dengan kondisi lingkungan belajar
dan sederet permasalahan pendidikan kita di Indonesia. Padahal pada kenyataannya, melatih strategi
metakognitif dapat dilakukan dengan langkah langkah sederhana. Pada intinya adalah membiasakan
pembelajaran yang fokus pada pemecahan masalah, berorientasi proses, dan pembelajaran reflektif. Mengapa
pembelajaran reflektif? Karena pembelajaran reflektif merupakan level tertinggi dalam strategi metakognitif
(Perkins, 1992).

Langkah langkah sederhana yang bisa dilakukan di antaranya sebagai berikut.


1. Pre-assessment (Self Assessment)
Guru menulis beberapa pertanyaan terkait materi sebelumnya, meminta siswa untuk menuliskan pada selembar
kertas tanpa menulis nama. Pertanyaan terkait tentang topik, kendala, tantangan, penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari. Guru meminta siswa untuk mendiskusikan mengapa kendala muncul, pemecahan
masalahnya, dan apa yang akan dilakukan jika berada pada situasi yang sama.
2. Jurnal Refleksi
Setiap akhir pembelajaran, siswa diminta menulis refleksi singkat dengan pertanyaan-pertanyaan panduan
seperti apa yang sudah dipelajari, apa yang belum dimengerti, mengapa tidak dipahami, apa yang perlu
dilakukan untuk selanjutnya, bagaimana perasaannya ketika mempelajari materi tersebut, dan seterusnya.

3. Model KWL
KWL singkatan dari (Know, Want, Learned atau What do you know? What do you want to learn? What have
you learned?). Langkah-langkahnya adalah pada awal pembelajaran siswa diminta membuat tabel yang berisi 3
kolom yang berisi ‘Apa yang diketahui’ (Know), ‘Apa yang ingin dipelajari’ (Want), ‘Apa yang telah
dipelajari’ (Learned). Di awal pembelajaran siswa mengisi kolom Know dan Want. Selanjutnya, pada akhir
pembelajaran, meminta siswa untuk merefleksikan apa yang sudah dipelajari di kolom ‘Apa yang sudah
dipelajari’ (Learned).

3. Perangkat Organisasional
Berangkat organisasional di sini dapat berupa cek list, rubrik, atau peta konsep. Siswa diminta mengisi refleksi
berupa cek list, rubrik, atau peta konsep terkait refleksi pembelajaran.

4. Thinking Aloud
Disela-sela pembelajaran, guru dapat secara Periodik menanyakan kepada siswa tentang apa yang telah
diketahui atau dipelajari, jika siswa kebingungan, tanyakan apa yang tidak dipahami dan mengapa. Minta
mereka memecahkan masalahnya sendiri disesuaikan dengan pengalaman masing masing.

5. Model Pembelajaran Eksplisit


Model pembelajaran eksplisit dapat berupa langkah langkah atau siklus pembelajaran (teaching and learning
cycle) yang secara eksplisit diajarkan kepada siswa. Sebagai contoh, dalam pembelajaran bahasa Inggris
berbasis teks, model pembelajaran yang biasa digunakan diantaranya Building knowledge of Field, Text
Modelling, Joint Construction, Independent Construction, dan Linking related text di mana masing masing
tahapan secara eksplisit diajarkan kepada siswa. Dengan model eksplisit seperti ini, siswa dapat dengan mudah
memanfaatkan panduan siklus pembelajaran apabila menemukan kendala dalam pembelajaran atau menjadi
road map dalam pembelajaran.

Langkah langkah di atas hanyalah beberapa dari sekian banyak cara melatih strategi metakognitif dalam
pembelajaran. Namun, dari keseluruhan langkah langkah yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa
pembiasaan pembelajaran reflektif dan kritis dalam arti selalu mengaitkan dengan pengalaman siswa adalah
inti dari strategi metakognitif. Apabila prinsip prinsip dan langkah langkah pembelajaran metakognitif
diterapkan secara konsisten, besar kemungkinan siswa akan terlatih secara mandiri dalam menerapkan strategi
pembelajaran metakognitif.

Teori Metakognisi
Metakognisi (Pengertian, Komponen, Indikator dan Langkah Pembelajaran).
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976, yaitu seorang psikolog dari
Universitas Stanford. Menurutnya metakognisi merupakan pemikiran tentang pemikiran (thinking about
thinking) atau pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya (One’s knowledge concerning one’s own
cognitive processes). Kata metakognisi terdiri dari dua kata, yaitu meta dan kognisi. Meta artinya setelah,
melebihi,atau di atas. Sedangkan kognisi adalah mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses
berpikir.

Metakognisi (metacognition) adalah kesadaran, keyakinan dan pengetahuan seseorang tentang proses dan cara
berpikir pada hal-hal yang mereka lakukan sendiri sehingga meningkatkan proses belajar dan memori.

Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri, sehingga apa yang dia lakukan
dapat terkontrol secara optimal. Metakognisi merupakan aktivitas mental yang menjadikan seseorang dapat
mengatur, mengorganisasi dan memantau seluruh proses berpikir yang dilakukan selama menyelesaikan
masalah.

Metakognisi juga tidaklah terbatas pada pendapat ahli dan teori-teori yang sudah mapan saja, karena sejatinya
proses mental manusia itu amatlah unik dan beragam sehingga tidak dapat digeneralisasi seutuhnya.

Contohnya, Penulis materi video ini memiliki cara tersendiri untuk belajar, yakni dengan cara menulis. Saat
tidak menulis, penulis kurang terangsang untuk mau membaca. Akan tetapi saat menulis, penulis malah bisa
menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk membaca daripada proses penulisannya sendiri.

Tentunya cara ini tidak akan sama dampaknya bagi semua orang. Cobalah cari cara unik semacam itu yang
bisa membuat kita terstimulus untuk belajar.

Misalnya, bisa jadi ternyata gaya belajar yang efektif untuk kita adalah dengan memutar video pembelajaran
namun tidak menonton dan hanya mendengarkannya saja sambil melakukan aktivitas lain. Selain menghemat
waktu, belajar sekilas seperti ini juga dapat lebih efektif daripada memaksakan fokus kita dalam sekali duduk.

Rahasianya ada pada pengulangan dari video itu sendiri. Saat kita mendengarkan untuk pertama kalinya, kita
hanya akan menangkap beberapa bagian yang menarik perhatian saja. Namun ketika kita mendengarkan untuk
kedua kalinya, secara otomatis perhatian kita akan lebih tertuju pada bagian lain yang belum kita perhatikan,
karena bagian yang telah kita perhatikan telah kehilangan daya tariknya.

Dengan begitu, pemahaman akan bahu-membahu saling mengisi seiring dengan jumlah diputar ulangnya video
tersebut. Proses mental kognisi ini disebut sebagai chuncking atau memotong-motong informasi menjadi
bagian lebih kecil, karena sejatinya daya perhatian kita memiliki batasan untuk menyerap banyak informasi
secara bersamaan.

Chunking berlaku pula untuk aktivitas belajar lewat membaca. Daripada memaksakan untuk memahami suatu
buku dalam sekali jalan, lebih baik lewati hal-hal yang belum kita pahami dan selesaikan bukunya terlebih
dahulu. Setelah itu, baca ulang buku untuk mendapatkan berbagai bagian yang belum kita serap.

Sebetulnya, masih banyak lagi berbagai pengetahuan dan pengelolaan kognitif lain yang melingkupi ranah
metakognitif ini. Namun, lagi-lagi yang akan benar-benar mampu mengetahui berbagai cara mengetahui ini
adalah diri kita sendiri. Lengkapi literasi kognisi, dan cobalah terus bereksperimen untuk benar-benar
mengetahui cara pribadi yang nyaman dalam belajar.

Dengan mengetahui cara pribadi yang nyaman untuk belajar, proses pembelajaran akan jauh lebih mudah dan
menyenangkan, sehingga daya kritis kita akan terpacu, pemecahan masalah menjadi cair, serta penyerapan
informasi baru akan berjalan secara otomatis yang berarti kompetensi kognitif kita akan terlatih secara holistik.

Komponen Metakognisi
Menurut Flavell (Desmita, 2010), komponen metakognisi ada dua, yaitu pengetahuan metakognisi dan
pengalaman metakognisi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge)


Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif yaitu pengetahuan
yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Pengetahuan metakognisi juga diartikan sebagai
pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang yang dapat diaktifkan
atau dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja,
atau diaktifkan tanpa disengaja atau secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan
tertentu.

Pengetahun metakognisi terdiri dari tiga jenis, yaitu:


 Pengetahuan deklaratif yang mengacu kepada pengetahuan tentang fakta dan konsep-konsep yang
dimiliki seseorang atau faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya dan perhatiannya dalam
memecahkan masalah.
 Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana melakukan
langkah-langkah atau strategi-strategi dalam suatu proses pemecahan masalah.
 Pengetahuan kondisional yang mengacu pada kesadaran seseorang akan kondisi yang mempengaruhi
dirinya dalam memecahkan masalah, yaitu: kapan suatu strategi seharusnya diterapkan, mengapa
menerapkan suatu strategi dan kapan strategi tersebut digunakan dalam memecahkan masalah.
b. Pengalaman metakognisi (metacognitive experimences)
Pengalaman atau regulasi metakognisi adalah pengaturan kognisi dan pengalaman belajar seseorang yang
mencakup serangkaian aktivitas yang dapat membantu dalam mengontrol kegiatan belajarnya. Pengalaman-
pengalaman metakognisi melibatkan strategi-strategi metakognisi atau pengaturan metakognisi. Strategi-
strategi metakognisi merupakan proses-proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas-
aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah dicapai.

Pengalaman metakognisi terdiri dari tiga proses, yaitu:

 Proses Perencanaan. Proses perencanaan merupakan keputusan tentang berapa banyak waktu yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, strategi apa yang akan dipakai, sumber apa yang
perlu dikumpulkan, bagaimana memulainya, dan mana yang harus diikuti atau tidak dilaksanakan
lebih dulu.
 Proses Pemantauan. Proses pemantauan merupakan kesadaran langsung tentang bagaimana kita
melakukan suatu aktivitas kognitif. Proses pemantauan membutuhkan pertanyaan seperti: adakah
ini memberikan arti?, dapatkah saya untuk melakukannya lebih cepat? dan lain-lain.
 Proses Evaluasi. Proses evaluasi memuat pengambilan keputusan tentang proses yang dihasilkan
berdasarkan hasil pemikiran dan pembelajaran. Misalnya, dapatkah saya mengubah strategi yang
dipakai?, apakah saya membutuhkan bantuan? dan lain-lain.
Indikator Metakognisi
Kemampuan metakognisi berkaitan dengan proses berpikir siswa tentang berpikirnya agar menemukan strategi
yang tepat dalam memecahkan masalah. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
menghadapi masalah. Kemampuan metakognisi sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah agar dalam
bekerja siswa lebih sistematis dan terarah serta mendapatkan hasil yang baik.

Menurut Swartz dan Perkins (Mahromah, 2012), kemampuan metakognisi seseorang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:

Tacit use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang
keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau
melalui coba-coba dan asal menjawab dalam menyelesaikan masalah.
Aware use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa
melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini siswa menyadari bahwa dirinya harus menggunakan suatu
langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengenai alasan pemilihan langkah tersebut.
Strategic use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan individu dalam proses berpikirnya
secara sadar dengan menggunakan strategi-strategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya.
Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan
masalah.
Reflective use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam proses berpikirnya
sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan
perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan
dalam langkah-langkah penyelesaian masalah.
Kemampuan metakognisi seseorang dapat diketahui melalui tiga komponen atau elemen dasar, yaitu: elemen
perencanaan, elemen kontrol, dan elemen penilaian. Adapun indikator dari komponen metakognisi tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Indikator Perencanaan
1. Menentukan informasi awal dan petunjuk awal yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Menentukan/menyusun hal-hal yang harus dilakukan.
3. Memperhitungkan waktu yang dibutuhkan.
4. Memastikan kesesuaian informasi dengan permasalahan.
b. Indikator Pemantauan
1. Mengatur setiap langkah berjalan dengan baik.
2. Menganalisa informasi yang penting untuk diingat.
3. Memutuskan langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya apakah perlu terjadi perubahan atau
pindah pada petunjuk lain.
4. Memutuskan langkah yang harus dilakukan jika menemui kendala.
c. Indikator Penilaian
1. Memeriksa kembali setiap langkah-langkah telah berjalan dengan baik.
2. Memeriksa kembali apakah diperlukan pertimbangan khusus lain dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut.
3. Memperkirakan kemungkinan cara lain yang dapat digunakan dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut.
4. Memperkirakan kemungkinan penggunaan strategi yang telah digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan lain.
Langkah-langkah Pembelajaran Metakognisi
Menurut Apriani (2012), langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode metakognisi adalah sebagai
berikut:

1. Tahap diskusi awal (Introductory Discussion)


Pertama-tama guru menjelaskan tujuan tentang topik yang akan dipelajari. Setiap siswa dibagi bahan ajar, dan
penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera dalam bahan ajar
tersebut. Siswa dibimbing menanamkan kesadaran dengan bertanya dan menjawab kepada diri sendiri
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahan ajar. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, siswa
diharapkan dapat memahami uraian materi dan sadar apa yang dilakukannya, bagaimana melakukannya,
bagian mana yang belum dipahami pertanyaan apa yang timbul dan bagaimana upaya untuk mencari solusinya.
Contoh pertanyaannya seperti: Apakah saya memahami semua uraian materi tadi?, Jika tidak memahami, apa
yang ingin saya tanyakan? Mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan teman sekelompok. Apa hasil diskusi
tersebut?

2. Tahap Kerja Mandiri/Individu (Independent Work)


Siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama dan mengerjakan secara individual. Guru berkeliling kelas
dan memberikan pengaruh timbal balik secara individual. Pengaruh timbal balik metakognitif akan menuntun
siswa untuk memusatkan perhatian pada kesalahannya dan memberikan petunjuk agar siswa dapat
mengoreksinya sendiri. Guru membantu siswa mengawasi cara berpikirnya, tidak hanya memberikan jawaban
benar ketika siswa membuat kesalahan tetapi juga menuntun proses berpikirnya agar siswa menemukan
jawaban yang benar.

3. Tahap Penyimpulan
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan dikelas. Pada
tahap ini siswa menyimpulkan sendiri, dan guru membimbing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
seperti: Apa yang kamu pelajari hari ini?, Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam
menyelesaikan soal matematika yang diberikan?

Anda mungkin juga menyukai