Kelompok 15 Tudas Bu Ganis
Kelompok 15 Tudas Bu Ganis
Disusun Oleh:
THASA AZZARA (1711113785)
WINDA PRATIWI (17111113800)
HAFIZATUL HASANAH (1711113803)
Dosen Pembimbing:
Ganis
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
penilitian ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada
baginda Rasulullah SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya diakhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca supaya penelitian ini
nantinya dapat menjadi penelitian yang lebih baik lagi .Apabia terdapat banyak
kesalahan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia beta berkisar
3-10%.
Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada
tingkat penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat
seorang thalassemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah,
namun masih dapat memberikan gen thalassemia pada keturunannya. Di
seluruh dunia tata laksana thalassemia bersifat simptomatik berupa transfusi
darah seumur hidup.
Kebutuhan 1 orang anak thalassemia mayor dengan berat badan 20 kg
untuk transfusi darah dan kelasi besi adekuat. Transfusi darah merupakan
tindakan transplantasi organ yang sederhana, tetapi mengandung banyak
risiko, seperti reaksi transfusi dan tertularnya penyakit akibat tercemarnya
darah donor oleh virus seperti hepatitis B, C, Human Immunodeficiency Virus
(HIV), dan human t-cell leukaemia virus (HTLV).
Data Pusat thalassemia Jakarta menunjukkan hasil uji serologis dari
716 pasien, 2% pasien tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi
hepatitis C, dan 5 orang pasien tertular infeksi HIV. Baru pada akhir tahun
2011 pasien thalassemia di RS tertentu bisa mendapatkan packed red cells
(PRC) rendah leukosit dengan menggunakan skrining nucleic acid test (NAT)
secara gratis, namun juga tidak rutin tersedia. Selain risiko tertular penyakit
infeksi, pasien yang mendapatkan transfusi berulang juga dapat mengalami
reaksi transfuse mulai dari ringan seperti menggigil, urtikaria, sampai berat
seperti syok anafilaksis
Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering
menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik,
merasa berbeda dengan saudara atau teman-temannya akan menyebabkan rasa
inferior diri. Mereka sering putus sekolah dan tidak mendapatkan pekerjaan
sehingga menimbulkan efek psikososial yang sangat berat
Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang dapat mengurangi stress
psikologi yang timbul pada anak dengan thalasemia yaitu biblioterapi
adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu
seseorang yang mengalami masalah personal (Jacha, 2005 dalam
2
Suparyo, 2010). Biblioterapi didefinisi kansebagai terapi menggunakan
buku untuk memfasilitasi pengungkapan diri, penerimaan diri dan
aktualisasi diri seseorang (McArdle & Byrt, 2001 dalam Shinn, 2007).
Sedangkan menurut Austin (2010), biblioterapi untuk anak adalah
menggunakan buku sebagai terapi untuk mendukung kebutuhan anak dalam
memproses pengalaman pribadi yang sulit seperti pengalaman yang
menyakitkan dan membingungkan bagi anak. Pendapat lain menyatakan
bahwa biblioterapi digambarkan sebagai suatu opini yang menawarkan
empati dan penyelesaian masalah konflik kesehatan (Pollock, 2006, dalam
Haeseler, 2009).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertatik melakukan biblioterapi
untuk anak dengan thalasemia. Agar dapat mengurangan efek psikologis dari
proses tranfusi darah yang harus dilakukan anak dan untuk mengurang
kejenuhan pada anak dengan lamanya proses tranfusi tersebut.
3
1.3.2.1 Membandingkan hasil pengaruh pemberian minuman jahe
madu terhadap kualitas tidur anak toddler dengan ISPA
sebelum dan sesudah diberikan minuman jahe madu.
1.3.2.2 Untuk mengetahui khasiat jahe madu dalam membantu
meningkatkan kualitas tidur anak toddler dengan ISPA.
1.3.2.3 Untuk memberi pengetahuan terhadap orangtua dalam
meningkatkan kualitas tidur anak toddler dengan ISPA
dengan memberikan alternatif yaitu minuman jahe madu.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
asimtomatik hingga gejala yang berat. Thalassemia dikenal juga dengan anemia
mediterania, namun istilah tersebut dinilai kurang tepat karena penyakit ini dapat
ditemukan dimana saja di dunia khususnya di beberapa wilayah yang dikenal
sebagai sabuk thalassemia. Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari
populasi dunia merupakan pembawa sifat thalassemia.
Setiap tahun sekitar 300.000500.000 bayi baru lahir disertai dengan
kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat
thalassemia ß; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang.
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara
dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini
terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa
frekuensi gen thalassemia beta berkisar 3-10%.
6
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan
kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini
tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau
HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor
pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena
kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta
yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
7
Data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-
RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan rentang usia
terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat hingga 75-100
orang/tahun, sedangkan usia tertua pasien hingga saat ini adalah 43 tahun.
Beberapa pasien sudah berkeluarga dan dapat memiliki keturunan, bahkan
diantaranya sudah lulus menjadi sarjana.
Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada
tingkat penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat
seorang thalassemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun
masih dapat memberikan gen thalassemia pada keturunannya. Di seluruh dunia
tata laksana thalassemia bersifat simptomatik berupa transfusi darah seumur
hidup.
Kebutuhan 1 orang anak thalassemia mayor dengan berat badan 20 kg
untuk transfusi darah dan kelasi besi adekuat. Transfusi darah merupakan tindakan
transplantasi organ yang sederhana, tetapi mengandung banyak risiko, seperti
reaksi transfusi dan tertularnya penyakit akibat tercemarnya darah donor oleh
virus seperti hepatitis B, C, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan human t-
cell leukaemia virus (HTLV).
Data Pusat thalassemia Jakarta menunjukkan hasil uji serologis dari 716
pasien, 2% pasien tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi hepatitis
C, dan 5 orang pasien tertular infeksi HIV. Baru pada akhir tahun 2011 pasien
thalassemia di RS tertentu bisa mendapatkan packed red cells (PRC) rendah
leukosit dengan menggunakan skrining nucleic acid test (NAT) secara gratis,
namun juga tidak rutin tersedia. Selain risiko tertular penyakit infeksi, pasien yang
mendapatkan transfusi berulang juga dapat mengalami reaksi transfuse mulai dari
ringan seperti menggigil, urtikaria, sampai berat seperti syok anafilaksis.
Penggunaan bedside filter saat pemberian transfusi darah non
leukodeplesi pada saat transfusi juga belum rutin dilakukan, karena akan
menambah beban biaya. Obat kelasi besi sangat diperlukan oleh semua pasien
yang mendapatkan transfusi PRC berulang, untuk mengeluarkan kelebihan besi
yang disebabkan akibat anemia kronis dan tata laksana utama (transfusi PRC)
yang diberikan. Satu kantong darah 250 mL terdapat sekitar 200 mg Fe,
8
sedangkan besi /Fe yang keluar dari tubuh hanya 1-3 mg/hari. Kelebihan besi ini
akan ditimbun di semua organ terutama, hati, jantung, dan kelenjar pembentuk
hormon. Obat kelasi besi yang tersedia di dunia ada 3 jenis dan ketiganya tersedia
di Indonesia. Sayangnya ketersediaan obat ini di setiap RS di seluruh Indonesia
tidak sama, hal ini disebabkan mahalnya harga obat, selain itu bergantung pada
anggaran pembiayaan obat di setiap tipe rumah sakit, sehingga banyak pasien
yang mendapat obat dengan dosis suboptimal.
Akibatnya komplikasi yangmuncul karena timbunan besi yang berlebihan
besi di organ muncul lebih cepat/awal. Komplikasi seperti gagal jantung,
gangguan pertumbuhan, keterlambatan pertumbuhan tanda pubertas akibat
gangguan hormonal, dan lainnya umumnya muncul pada awal dekade kedua,
tetapi dengan tata laksana yang adekuat/optimal usia mereka dapat mencapai
dekade ketiga bahkan keempat.
Menurut kepustakaan komplikasi umumnya terjadi di akhir dekade
pertama atau awal dekade kedua, terbanyak disebabkan gagal jantung, infeksi, dan
gangguan endokrin. Kematian utama disebabkan oleh gagal jantung dan infeksi.
Di Pusat thalassemia RSCM Jakarta, angka kematian terbanyak pertama adalah
gagal jantung (46%) dan diikuti oleh infeksi (23%). Morbiditas akibat timbunan
besi lainnya adalah gangguan hati, perdarahan, gangguan kelenjar hormone
terutama kelenjar gonad, tiroid, paratiroid, dan pankreas sehingga muncul gejala
seperti pertumbuhan fisik yang terhambat, tidak adanya tanda-tanda seks
sekunder, infertilitas, diabetes melitus, tulang keropos dan sebagainya.
Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering
menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik,
merasa berbeda dengan saudara atau teman-temannya akan menyebabkan rasa
inferior diri. Mereka sering putus sekolah dan tidak mendapatkan pekerjaan
sehingga menimbulkan efek psikososial yang sangat berat. Penyakit thalassemia
memang belum dapat disembuhkan, namun merupakan penyakit yang dapat
dicegah, yaitu dengan melakukan skrining pre dan retrospektif.
9
2.2.1 Definisi biblioterapi
Biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan
bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami masalah
personal (Jacha, 2005 dalam Suparyo, 2010). Biblioterapi didefinisi
kansebagai terapi menggunakan buku untuk memfasilitasi
pengungkapan diri, penerimaan diri dan aktualisasi diri seseorang
(McArdle & Byrt, 2001 dalam Shinn, 2007). Sedangkan menurut Austin
(2010), biblioterapi untuk anak adalah menggunakan buku sebagai terapi
untuk mendukung kebutuhan anak dalam memproses pengalaman pribadi
yang sulit seperti pengalaman yang menyakitkan dan membingungkan
bagi anak. Pendapat lain menyatakan bahwa biblioterapi digambarkan
sebagai suatu opini yang menawarkan empati dan penyelesaian
masalah konflik kesehatan (Pollock, 2006, dalam Haeseler, 2009).
10
Bibliotherapi dapat membantu anak-anak dalam
mengatasi permasalahan dengan meminta mereka membaca atau
menceritakan tentang karakter yang telah berhasil diselesaikan yang
mirip dengan mereka sendiri. Identifikasi dengan menggunakan bahan
bacaan dapat membantu membangun pikiran dan kemungkinan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan penyakit, perpisahan,
kematian, kemiskinan, kecacatan, keterasingan, perang dan bencana
(Davies, 2010; Bens, 2004). Jika anak-anak terlibat secara emosional
pada karakter sastra, mereka akan lebih mampu memverbalisasikan,
atau menjelaskan pemikiran terdalam mereka (Davies, 2010).
Penggunaan bibliotherapi tidak terbatas pada situasi krisis,
juga bukan obat untuk kesulitan psikologis yang parah. Biblioterapi
mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan semua anak, terutama
mereka yang sedang tidak siap menghadapi isu spesifik yang ada
dalam buku atau sedang tidak mau membaca, namun telah terbukti
bermanfaat bagi banyak anak (Davies, 2010). Bibliotherapi telah
digunakan untuk membuka komunikasi antara anak, orangtua, dan
guru pada anak usia sekolah (Gregory dan Vessey, 2004)
11
Biblioterapi tediri dari 3 tahapan yaitu identifikasi, katartis, dan
wawasan mendalam (insight) (Suparyo, 2010; McIntyre, 2004 dalam
Shinn, 2007). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi
Anak mengidentifikasi dirinya dengan karakter dan
peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata
maupun fiktif. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat,
maka klien akan mendapatkan karakter yang mirip atau
mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya. Disini
digunakan buku yang sesuai dengan tahap perkembangan
usia anak dan mirip dengan situasi yang dialami anak
(Gregory & Vessey, 2004).
2. Katartis
Klien menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan
menyalurkan emosi yang terpendam dalam dirinya secara
aman (seringnya melalui diskusi atau karya seni). Selain
diikuti dengan diskusi, memungkinkan bagi anak yang sulit
mengungkapkan perasaannya secara verbal menggunakan
cara lain yaitu melalui tulisan (Gregory & Vessey, 2004),
mewarnai, menggambar, drama dengan menggunakan boneka
atau bermain peran
3. Wawasan mendalam
Pada tahap ini, anak menyadari bahwa masalah yang mereka
hadapi bisa diselesaikan (McArdle & Byrt, 2001 dalam Shinn,
2007). Permasalahan anak mungkin saja ditemukan dalam
karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikan
masalah bisa mempertimbangkan langkah yang ada dalam cerita
dibuku.
12
1. Pra-membaca buku
Pra-membaca bermanfaat untuk menentukan teks dan atau
ilustrasi yang akan digunakan untuk menekankan dan
membantu memaksimalkan fokus apa yang menjadi
perhatian anak.
2. Memperkenalkan alasan mengapa membaca buku
Gunakan kata pembuka sederhana, misalnya “kami
membaca buku ini karena..”(anak akan kembali ke sekolah
dengan kursi roda), “anda mungkin memiliki beberapa
pertanyaan atau perasaan tentang “buku ini dapat membantu
kita”.
3. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan anak. Tugas ini
dilakukan melalui pengamatan, berbicang dengan orang tua,
penugasan untuk menulis dan pandangan dari sekolah atau
fasilitas-fasilitas yang berisi rekam hidup klien.
4. Menyesuaikan klien dengan bahan bacaan yang tepat
5. Memutuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana
sesidiperkenalkan pada klien
6. Merancang aktivitas tindak lanjut setelah membaca
sepertidiskusi, menulis, menggambar atau drama
7. Memotivasi klien dengan aktivitas pengenalan
sepertimengajukan pertanyaan untuk menuju pemahaman tentang
tema yang dibicarakan
8. Melibatkan klien dalam fase membaca, berkomentar
ataumendengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan
mulailah berdiskusi tentang bacaan. Secara berkala,
simpulkan apa yang terjadi secara panjang lebar
9. Memberikan jeda waktu beberapa menit agar klien
bisamerefleksikan materi bacaannya
10. Mendampingi klien mengakhiri terapi melalui diskusi dan
menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
14