Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

BIBLIOTERPI PADA ANAK PENDERITA TALASEMIA

MATA KULIAH TEKNOLOGI MODALITAS

Disusun Oleh:
THASA AZZARA (1711113785)
WINDA PRATIWI (17111113800)
HAFIZATUL HASANAH (1711113803)

Dosen Pembimbing:
Ganis

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
penilitian ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada
baginda Rasulullah SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya diakhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan penelitian sebagai tugas mata ajar tegnologi
modalitas dengan judul “Biblioterapi Pada Anak Penderita Talasemia”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca supaya penelitian ini
nantinya dapat menjadi penelitian yang lebih baik lagi .Apabia terdapat banyak
kesalahan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapakan Terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada dosen pembimbing kami ibu ganis…… yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan tugas ini.
Demikian penelitian ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca. Terima kasih.

Pekanbaru, 1 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh
kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.
Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel
darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan
terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna
merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan
globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang
terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2
rantai alfa (a) dan 2 rantai beta (ß) yang meliputi HbA (a2ß2 = 97%), sebagian
lagi HbA2 (a2d2 = 2,5%) sisanya HbF (a2ƴ2 = 0,5%).
Thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb),
khususnya rantai globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis
dan frekuensi terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang ditimbulkan
bervariasi mulai dari asimtomatik hingga gejala yang berat. Thalassemia
dikenal juga dengan anemia mediterania, namun istilah tersebut dinilai kurang
tepat karena penyakit ini dapat ditemukan dimana saja di dunia khususnya di
beberapa wilayah yang dikenal sebagai sabuk thalassemia.
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia
merupakan pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000500.000
bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga
100.000 anak meninggal akibat thalassemia ß; 80% dari jumlah tersebut
berasal dari negara berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara dalam
sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen (angka pembawa
sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian epidemiologi di

1
Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia beta berkisar
3-10%.
Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada
tingkat penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat
seorang thalassemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah,
namun masih dapat memberikan gen thalassemia pada keturunannya. Di
seluruh dunia tata laksana thalassemia bersifat simptomatik berupa transfusi
darah seumur hidup.
Kebutuhan 1 orang anak thalassemia mayor dengan berat badan 20 kg
untuk transfusi darah dan kelasi besi adekuat. Transfusi darah merupakan
tindakan transplantasi organ yang sederhana, tetapi mengandung banyak
risiko, seperti reaksi transfusi dan tertularnya penyakit akibat tercemarnya
darah donor oleh virus seperti hepatitis B, C, Human Immunodeficiency Virus
(HIV), dan human t-cell leukaemia virus (HTLV).
Data Pusat thalassemia Jakarta menunjukkan hasil uji serologis dari
716 pasien, 2% pasien tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi
hepatitis C, dan 5 orang pasien tertular infeksi HIV. Baru pada akhir tahun
2011 pasien thalassemia di RS tertentu bisa mendapatkan packed red cells
(PRC) rendah leukosit dengan menggunakan skrining nucleic acid test (NAT)
secara gratis, namun juga tidak rutin tersedia. Selain risiko tertular penyakit
infeksi, pasien yang mendapatkan transfusi berulang juga dapat mengalami
reaksi transfuse mulai dari ringan seperti menggigil, urtikaria, sampai berat
seperti syok anafilaksis
Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering
menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik,
merasa berbeda dengan saudara atau teman-temannya akan menyebabkan rasa
inferior diri. Mereka sering putus sekolah dan tidak mendapatkan pekerjaan
sehingga menimbulkan efek psikososial yang sangat berat
Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang dapat mengurangi stress
psikologi yang timbul pada anak dengan thalasemia yaitu biblioterapi
adalah dukungan psikoterapi melalui bahan bacaan untuk membantu
seseorang yang mengalami masalah personal (Jacha, 2005 dalam

2
Suparyo, 2010). Biblioterapi didefinisi kansebagai terapi menggunakan
buku untuk memfasilitasi pengungkapan diri, penerimaan diri dan
aktualisasi diri seseorang (McArdle & Byrt, 2001 dalam Shinn, 2007).
Sedangkan menurut Austin (2010), biblioterapi untuk anak adalah
menggunakan buku sebagai terapi untuk mendukung kebutuhan anak dalam
memproses pengalaman pribadi yang sulit seperti pengalaman yang
menyakitkan dan membingungkan bagi anak. Pendapat lain menyatakan
bahwa biblioterapi digambarkan sebagai suatu opini yang menawarkan
empati dan penyelesaian masalah konflik kesehatan (Pollock, 2006, dalam
Haeseler, 2009).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertatik melakukan biblioterapi
untuk anak dengan thalasemia. Agar dapat mengurangan efek psikologis dari
proses tranfusi darah yang harus dilakukan anak dan untuk mengurang
kejenuhan pada anak dengan lamanya proses tranfusi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


ISPA dapat menimbulkan beberapa masalah di antaranya tidur yang
tidak berkualitas yang dapat mempengaruhi sistem imun tubuh, pada anak
usia toodler membutuhkan waktu 10-12 jam/hari untuk tidur. Sehingga
ketika anak mengalami ISPA maka kebutuhan tidur anak tidak terpenuhi.
Maka untuk mengatasi masalah tersebut peneliti ingin meneliti “ apakah
minuman jahe madu efektif terhadap kualitas tidur pada anak toddler
dengan ISPA?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Khusus
Mengidentifikasi pengaruh minuman jahe madu terhadap
kualitas tidur anak toddler dengan ISPA

1.3.2 Tujuan Umum

3
1.3.2.1 Membandingkan hasil pengaruh pemberian minuman jahe
madu terhadap kualitas tidur anak toddler dengan ISPA
sebelum dan sesudah diberikan minuman jahe madu.
1.3.2.2 Untuk mengetahui khasiat jahe madu dalam membantu
meningkatkan kualitas tidur anak toddler dengan ISPA.
1.3.2.3 Untuk memberi pengetahuan terhadap orangtua dalam
meningkatkan kualitas tidur anak toddler dengan ISPA
dengan memberikan alternatif yaitu minuman jahe madu.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi sumber
referensi dan informasi yang dapat menambah wawasan bagi
mahasiswa keperawatan mengenai cara alternatif untuk
meningkatkan kualitas tidur pada anak toddler dengan ISPA
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pasien yang terkena
ISPA pada anak.
1.4.3 Bagi Pasien dan Keluarga
Penelitian ini memcukupi kebutuhan tidur pasien selama
mengalami ISPA, dan memberikan alternatif bagi keluarga dalam
mengatasi gangguan tidur anaknya.
1.4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi
bagi peneliti selanjutnya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak Dengan Talasemia


2.1.1 Pengertian

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh


kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh
tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah
mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (a)
dan 2 rantai beta (ß) yang meliputi HbA (a2ß2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (a2d2
= 2,5%) sisanya HbF (a2ƴ2 = 0,5%).
Thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya
rantai globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi
terbanyak di dunia. Manifestasi klinis yang ditimbulkan bervariasi mulai dari

5
asimtomatik hingga gejala yang berat. Thalassemia dikenal juga dengan anemia
mediterania, namun istilah tersebut dinilai kurang tepat karena penyakit ini dapat
ditemukan dimana saja di dunia khususnya di beberapa wilayah yang dikenal
sebagai sabuk thalassemia. Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari
populasi dunia merupakan pembawa sifat thalassemia.
Setiap tahun sekitar 300.000500.000 bayi baru lahir disertai dengan
kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat
thalassemia ß; 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang.
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara
dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini
terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa
frekuensi gen thalassemia beta berkisar 3-10%.

2.1.2 Klarsifikasi Thalasemia


Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa
yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala
sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak
lebih pucat.
b. Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia
ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat
menjadi carrier.
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai
tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai
dengan perbesaran limpa.
d. Alfa Thalassemia Mayor

6
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan
kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini
tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau
HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor
pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena
kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta
yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :

a. Beta Thalasemia Trait.


Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang
bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan
sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi
sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia
mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga
hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang
lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung
kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan
transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan
hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).

2.1.3 Anak Dengan Thalasemia

7
Data Pusat Thalassemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-
RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723 pasien dengan rentang usia
terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat hingga 75-100
orang/tahun, sedangkan usia tertua pasien hingga saat ini adalah 43 tahun.
Beberapa pasien sudah berkeluarga dan dapat memiliki keturunan, bahkan
diantaranya sudah lulus menjadi sarjana.
Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada
tingkat penyembuhan. Transplantasi sumsum tulang hanya dapat membuat
seorang thalassemia mayor menjadi tidak lagi memerlukan transfusi darah, namun
masih dapat memberikan gen thalassemia pada keturunannya. Di seluruh dunia
tata laksana thalassemia bersifat simptomatik berupa transfusi darah seumur
hidup.
Kebutuhan 1 orang anak thalassemia mayor dengan berat badan 20 kg
untuk transfusi darah dan kelasi besi adekuat. Transfusi darah merupakan tindakan
transplantasi organ yang sederhana, tetapi mengandung banyak risiko, seperti
reaksi transfusi dan tertularnya penyakit akibat tercemarnya darah donor oleh
virus seperti hepatitis B, C, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan human t-
cell leukaemia virus (HTLV).
Data Pusat thalassemia Jakarta menunjukkan hasil uji serologis dari 716
pasien, 2% pasien tertular infeksi hepatitis B, 15% pasien tertular infeksi hepatitis
C, dan 5 orang pasien tertular infeksi HIV. Baru pada akhir tahun 2011 pasien
thalassemia di RS tertentu bisa mendapatkan packed red cells (PRC) rendah
leukosit dengan menggunakan skrining nucleic acid test (NAT) secara gratis,
namun juga tidak rutin tersedia. Selain risiko tertular penyakit infeksi, pasien yang
mendapatkan transfusi berulang juga dapat mengalami reaksi transfuse mulai dari
ringan seperti menggigil, urtikaria, sampai berat seperti syok anafilaksis.
Penggunaan bedside filter saat pemberian transfusi darah non
leukodeplesi pada saat transfusi juga belum rutin dilakukan, karena akan
menambah beban biaya. Obat kelasi besi sangat diperlukan oleh semua pasien
yang mendapatkan transfusi PRC berulang, untuk mengeluarkan kelebihan besi
yang disebabkan akibat anemia kronis dan tata laksana utama (transfusi PRC)
yang diberikan. Satu kantong darah 250 mL terdapat sekitar 200 mg Fe,

8
sedangkan besi /Fe yang keluar dari tubuh hanya 1-3 mg/hari. Kelebihan besi ini
akan ditimbun di semua organ terutama, hati, jantung, dan kelenjar pembentuk
hormon. Obat kelasi besi yang tersedia di dunia ada 3 jenis dan ketiganya tersedia
di Indonesia. Sayangnya ketersediaan obat ini di setiap RS di seluruh Indonesia
tidak sama, hal ini disebabkan mahalnya harga obat, selain itu bergantung pada
anggaran pembiayaan obat di setiap tipe rumah sakit, sehingga banyak pasien
yang mendapat obat dengan dosis suboptimal.
Akibatnya komplikasi yangmuncul karena timbunan besi yang berlebihan
besi di organ muncul lebih cepat/awal. Komplikasi seperti gagal jantung,
gangguan pertumbuhan, keterlambatan pertumbuhan tanda pubertas akibat
gangguan hormonal, dan lainnya umumnya muncul pada awal dekade kedua,
tetapi dengan tata laksana yang adekuat/optimal usia mereka dapat mencapai
dekade ketiga bahkan keempat.
Menurut kepustakaan komplikasi umumnya terjadi di akhir dekade
pertama atau awal dekade kedua, terbanyak disebabkan gagal jantung, infeksi, dan
gangguan endokrin. Kematian utama disebabkan oleh gagal jantung dan infeksi.
Di Pusat thalassemia RSCM Jakarta, angka kematian terbanyak pertama adalah
gagal jantung (46%) dan diikuti oleh infeksi (23%). Morbiditas akibat timbunan
besi lainnya adalah gangguan hati, perdarahan, gangguan kelenjar hormone
terutama kelenjar gonad, tiroid, paratiroid, dan pankreas sehingga muncul gejala
seperti pertumbuhan fisik yang terhambat, tidak adanya tanda-tanda seks
sekunder, infertilitas, diabetes melitus, tulang keropos dan sebagainya.
Transfusi darah dan pemakaian obat-obatan seumur hidup sering
menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, belum lagi adanya perubahan fisik,
merasa berbeda dengan saudara atau teman-temannya akan menyebabkan rasa
inferior diri. Mereka sering putus sekolah dan tidak mendapatkan pekerjaan
sehingga menimbulkan efek psikososial yang sangat berat. Penyakit thalassemia
memang belum dapat disembuhkan, namun merupakan penyakit yang dapat
dicegah, yaitu dengan melakukan skrining pre dan retrospektif.

2.2 Konsep biblioterapi

9
2.2.1 Definisi biblioterapi
Biblioterapi adalah dukungan psikoterapi melalui bahan
bacaan untuk membantu seseorang yang mengalami masalah
personal (Jacha, 2005 dalam Suparyo, 2010). Biblioterapi didefinisi
kansebagai terapi menggunakan buku untuk memfasilitasi
pengungkapan diri, penerimaan diri dan aktualisasi diri seseorang
(McArdle & Byrt, 2001 dalam Shinn, 2007). Sedangkan menurut Austin
(2010), biblioterapi untuk anak adalah menggunakan buku sebagai terapi
untuk mendukung kebutuhan anak dalam memproses pengalaman pribadi
yang sulit seperti pengalaman yang menyakitkan dan membingungkan
bagi anak. Pendapat lain menyatakan bahwa biblioterapi digambarkan
sebagai suatu opini yang menawarkan empati dan penyelesaian
masalah konflik kesehatan (Pollock, 2006, dalam Haeseler, 2009).

2.2.2 Sejarah biblioterapi


Biblioterapi dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Biblioterapi
berasal dari kata biblion dan therapia. Biblion berarti buku atau
bahan bacaan, sementara therapia artinya penyembuhan. Jadi
biblioterapi dapat dimaknai sebagai upaya penyembuhan lewat buku.
Bahan bacaan berfungsi untuk mengalihkan orientasi dan
memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga menggugah
kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya (Suparyo, 2010).
Istilah “bibliotherapy" pertama kali digunakan oleh SM
Crothers pada tahun 1916 untuk menggambarkan penggunaan buku
untuk membantu pasien memahami masalah kesehatan mereka dan
gejalanya (Goddard, 2011). Thibault (2004) dalam Goddard (2011)
menekankan bahwa kunci bibliotherapy adalah menggunakan cerita
sebagai cara untuk memulai diskusi tentang isu-isu dan harus
digunakan sebagai pengganti untuk menghadapi masalah.

2.2.3 Mamfaat bibliotetapi

10
Bibliotherapi dapat membantu anak-anak dalam
mengatasi permasalahan dengan meminta mereka membaca atau
menceritakan tentang karakter yang telah berhasil diselesaikan yang
mirip dengan mereka sendiri. Identifikasi dengan menggunakan bahan
bacaan dapat membantu membangun pikiran dan kemungkinan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan penyakit, perpisahan,
kematian, kemiskinan, kecacatan, keterasingan, perang dan bencana
(Davies, 2010; Bens, 2004). Jika anak-anak terlibat secara emosional
pada karakter sastra, mereka akan lebih mampu memverbalisasikan,
atau menjelaskan pemikiran terdalam mereka (Davies, 2010).
Penggunaan bibliotherapi tidak terbatas pada situasi krisis,
juga bukan obat untuk kesulitan psikologis yang parah. Biblioterapi
mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan semua anak, terutama
mereka yang sedang tidak siap menghadapi isu spesifik yang ada
dalam buku atau sedang tidak mau membaca, namun telah terbukti
bermanfaat bagi banyak anak (Davies, 2010). Bibliotherapi telah
digunakan untuk membuka komunikasi antara anak, orangtua, dan
guru pada anak usia sekolah (Gregory dan Vessey, 2004)

Menurut Stuart & Laraia (2005), biblioterapi dapat membantu


anak untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaannya yang
didukung dengan hubungan yang nyaman antara perawat dan anak.
Davies (2010) juga menyatakan bahwa selain dapat membantu anak
mengidentifikasi dan memvalidasi perasaan anak, biblioterapi juga
membantu menyadarkan anak bahwa anak-anak lain memiliki
masalah yang mirip dengan mereka sendiri, merangsang diskusi,
memupuk pikiran dan kesadaran diri, menemukan keterampilan
coping dan solusi yang memungkinkan, dan memutuskan program
tindakan yang konstruktif.

2.2.4 Tahapan biblioterapi

11
Biblioterapi tediri dari 3 tahapan yaitu identifikasi, katartis, dan
wawasan mendalam (insight) (Suparyo, 2010; McIntyre, 2004 dalam
Shinn, 2007). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi
Anak mengidentifikasi dirinya dengan karakter dan
peristiwa yang ada dalam buku, baik yang bersifat nyata
maupun fiktif. Bila bahan bacaan yang disarankan tepat,
maka klien akan mendapatkan karakter yang mirip atau
mengalami peristiwa yang sama dengan dirinya. Disini
digunakan buku yang sesuai dengan tahap perkembangan
usia anak dan mirip dengan situasi yang dialami anak
(Gregory & Vessey, 2004).
2. Katartis
Klien menjadi terlibat secara emosional dalam kisah dan
menyalurkan emosi yang terpendam dalam dirinya secara
aman (seringnya melalui diskusi atau karya seni). Selain
diikuti dengan diskusi, memungkinkan bagi anak yang sulit
mengungkapkan perasaannya secara verbal menggunakan
cara lain yaitu melalui tulisan (Gregory & Vessey, 2004),
mewarnai, menggambar, drama dengan menggunakan boneka
atau bermain peran
3. Wawasan mendalam
Pada tahap ini, anak menyadari bahwa masalah yang mereka
hadapi bisa diselesaikan (McArdle & Byrt, 2001 dalam Shinn,
2007). Permasalahan anak mungkin saja ditemukan dalam
karakter tokoh dalam buku sehingga dalam menyelesaikan
masalah bisa mempertimbangkan langkah yang ada dalam cerita
dibuku.

2.2.5 Aplikasi biblioterapi

Menurut Austin (2010), penggunaan biblioterapi pada anak


dilakukan dengan cara:

12
1. Pra-membaca buku
Pra-membaca bermanfaat untuk menentukan teks dan atau
ilustrasi yang akan digunakan untuk menekankan dan
membantu memaksimalkan fokus apa yang menjadi
perhatian anak.
2. Memperkenalkan alasan mengapa membaca buku
Gunakan kata pembuka sederhana, misalnya “kami
membaca buku ini karena..”(anak akan kembali ke sekolah
dengan kursi roda), “anda mungkin memiliki beberapa
pertanyaan atau perasaan tentang “buku ini dapat membantu
kita”.
3. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan anak. Tugas ini
dilakukan melalui pengamatan, berbicang dengan orang tua,
penugasan untuk menulis dan pandangan dari sekolah atau
fasilitas-fasilitas yang berisi rekam hidup klien.
4. Menyesuaikan klien dengan bahan bacaan yang tepat
5. Memutuskan susunan waktu dan sesi serta bagaimana
sesidiperkenalkan pada klien
6. Merancang aktivitas tindak lanjut setelah membaca
sepertidiskusi, menulis, menggambar atau drama
7. Memotivasi klien dengan aktivitas pengenalan
sepertimengajukan pertanyaan untuk menuju pemahaman tentang
tema yang dibicarakan
8. Melibatkan klien dalam fase membaca, berkomentar
ataumendengarkan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan
mulailah berdiskusi tentang bacaan. Secara berkala,
simpulkan apa yang terjadi secara panjang lebar
9. Memberikan jeda waktu beberapa menit agar klien
bisamerefleksikan materi bacaannya
10. Mendampingi klien mengakhiri terapi melalui diskusi dan
menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai