Anda di halaman 1dari 5

Empati Teman

Adikku, Vina, namanya. Ia lahir dari rahim ibu yang sama denganku.
Kami hidup berkecukupan dengan kebahagiaan yang selalu diberikan orang tua.
Bahkan, masalah ekonomi pun tak pernah menjadi hambatan. Kami selalu
berangkat sekolah bersama menggunakan sepeda. Aku yang memboncengnya
dan Vina akan bernyanyi dengan ceria sepanjang jalan.

Tak ada yang ku benci perihal adikku. Vina anak manis yang tak pernah
rewel. Ia selalu menjalani tugasnya sebagai pelajar dengan bai. Tak pernah ada
teguran dari Guru ataupun teman-temannya. Senyumnya selalu bermekar terang
layaknya bunga matahari di musimnya.

Tetapi, ada satu hal yang menurutku yang menjadi pertanyaanku. Sepatu
yang Vina gunakan. Alas kaki yang selalu ia bawa berkelana dalam menimba
ilmu, sepertinya tak pernah diganti semenjak ia SD kelas 2 hingga menginjak
kelas 6. Tidak kotor, tapi tidak cukup untuk dikatakan bersih. Banyak sekali
bagian jebol bahkan warna yang luntur.

Aku, sebagai kakaknya mempertanyakan hal itu. Mengapa tak meminta


Ayah membelikan? Kami mampu membelinya. Rasanya malu jika harus terus-
menerus membonceng adik kandung sendiri yang memakai barang yang tak
layak. Serasa tak diurus. Vina bisa meminta Ayah agar bisa sama dengan teman
lainnya. Kulihat teman-temannya memakai sepatu yang keren dan ber-merk.

Akupun bertanya pada Vina,

“Hei, Vina. Kenapa tak mengganti sepatumu? Apa kau tak sadar rupanya
seperti apa?” Aku menanyakan dengan penuh tanda tanya.

“Ah Kakak nih… mengurus saja urusanku. Tak usah perdulikan. Aku tak
malu dengan yang kukenakan.” Jawab Adikku dengan santai.
Huft, sebenarnya ada apa sih? Apa ku singkirkan saja sepatu itu? Walau
dengan penampilannya yang tidak layak, Vina tetap rajin membersihkannya
seminggu sekali. Aku bisa lakukan itu pada Sabtu malam esok, karena pada
Minggu pagi pasti Vina mencari-carinya. Nah, saat ia tak bisa menemukan, Vina
bisa saja baru meminta kepada Ayah dan Ibu.

Hari yang ditunggu pun tiba. Saat di sunyi nya gelap malam, bulan pun
bersinar terang seakan-akan mendukung aksi yang akan kulakukan. Di saat
semua sudah terlelap di hamparan bintang dan hangatnya selimut, aku
melakukannya. Sepatu Vina ku letakkan kedalam tong sampah dengan
mengendap-endap.

Dan Yap! Berhasil.

Aku segera berlari ke kamar tidurku. Namun dengan tak disengaja, Aku
bertatap muka dengan Vina yang sedang menuju dapur, tempat tong sampah
berada! Aku berlagak tak terjadi apa-apa.

“Vina, mau kemana kamu?”

“Aku kebelet, Kak.” Jawab Vina dengan singkat sambil mengusap-usap


matanya. Terlihat sangat mengantuk karena terbangun di tengah malam.

Sinar matahari pagi menembus jendela kamar. Menyilaukan mataku.


Duh, bagaimana ya rencananya. Semoga saja lancar deh! Masa iya Adikku
harus memakai sepatu itu menerus?

Aku menghayal-hayal apa saja yang akan terjadi. Tiba-tiba saja teriakan
Vina menggema hingga kamarku. Ah sepertinya ia terkejut melihat sepatunya
tak ada dan malah menemukannya di tong sampah.

Akupun menghampirinya, berbarengan dengan Ayah dan Ibu. Ternyata


benar saja. Vina tak menyangka sepatunya dibuang begitu saja. Aku tak akan
membuka sebelum mereka menerka-nerka siapa pelauknya.
“Aku tahu. Kakak yang melakukannya kan? Sebelum tidur aku
mengeceknya dan masih ada. Lalu pagi ini tiba-tiba saja tak ada.” Vina
langsung merujuk padaku. Atas dasar apa?

“Kamu kok main menuduh kakakmu saja? Lagipula sepatumu sudah


berlubang, Ibu baru menyadarinya. Mengapa tak pernah bilang?” Ujar Ibuku, Ia
pun ternyata tak pernah memperhatikan sepatu Vina. Mungkin terlalu seibuk
mengurus rumah.

Vina tak terima ketika Ibu malah tak membela dirinya,

“Aku melihat Kakak semalam dari dapur!” Tegas Vina.

“Kalian tak tahu alasanku menyimpan sepatu ini! Ini berarti bagiku.
Sahabatku, Nisa, Ia memiliki sepatu yang jauh lebbih tak layak dari punyaku.
Kasihan, Ia tak mampu untuk menggantikannya dengan yang baru. Aku hanya
ingin menemaninya agar tak dikucilkan sendirian. Mengapa dilarang sih?” Vina
menjelaskan dengan nada yang sedikit sedih, memilukan.

Akhirnya Aku dan Ayah Ibu pun tahu. Niatnya Vina di umur yang cukup
belia sangat baik dalam berempati. Ibu pun mengerti. Ibu memberikan sebuah
ide, bagaimana jika belikan saja Nisa sepatu baru, sekaligus untuk Vina. Mereka
berdua bisa memiliki sepatu bagus yang kembaran, pasti sangat lucu jika
mereka berdua menggunakannya.

Ketika sudah membelinya. Vina langsung memakai sepatu barunya. Vina


sangat menyukainya.

“Ternyata nyaman ya jika sepatunya seperti ini.”

Ibuku datang ke sekolah untuk memberikan langsung kepada Nisa. Ibu


mengharapkan reaksi yang menyenangkan. Ibu pasti akan senang juga jika ia
memberikan sesuatu yang bermanfaat. Tapi ternyata , ketika Ibu
memberikannyasepulang sekolah, Nisa menolak dengan ketus.
“Untuk apa membelikan Nisa ini, Tante?”

“Tante dengar tentang dirimu dari Vina. Kamu sahabatnya kan? Vina
senang berteman denganmu. Tante hanya ingin menghadiahimu ini.”

Entah apa yang dipikiran Nisa hingga ia langsung meninggalkan Ibu dan
Vina begitu saja. Aku menyaksikannya begitu menyayat hati. Bagaimana
perasaan Vina yang sudah bertahun-tahun menemani Nisa? Ibu pun sudah rela
menyisihkan rezekinya untuk Nisa. Vina menangis begitu kencang, padahal
masih di lingkungan sekolah, Ibu berusaha menenangkan Vina terlebih dahulu.
Ibu memahami perasaannya.

Esok hari pun Ibu dan Vina masih ingin menemui Nisa. Mereka ingin
membujuknya. Saat menuju Nisa, ternyata Nisa juga menuju mereka. Duh, Nisa
mau ngapain ya? Semoga baik-baik saja.

Sedatangnya Nisa dihadapan Ibu dan Vina. Tiba-tiba ia menyodorkan


sesuatu, ternyata itu surat.

“Vina, Tante, maafkan aku. Aku mau kok menerima ini sepatu itu, akupun
membutuhkan. Maafkan sikap tidak pantasku kemarin. Bacalah alasannya di
surat itu.” Jelas Nisa. Ia menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.

“Syukurlah. Aku senang, Nis. Tidak apa-apa. Dipakai ya. Kita bisa
memakainya samaan.” Ujar Vina, Ia bahagia hadiahnya diterima. Ibu pun ikut
tersenyum.

Sesampainya di rumah. Aku, Ibu dan Vina pun langsung membaca isi
surat itu. Ternyata isinya begitu mengharukan.

Vina, maafkan sikapku. Seharusnya aku tak melakukan itu. Maaf sat itu
suasana hatiku sedang sangat suram. Rasanya tak pantas menjadi sahabatmu.
Aku hanya orang yang memiliki banyak kekurangan. Aku hanya merepotkanmu.
Apalagi sampai membuatmu malu dengan menggunakan sepatu tak layakmu
agar sama denganku. Aku menceritakan ini semua kepada Ayahku, Ia langsung
menasihatiku. Katanya, beruntunglah memiliki sahabat yang masih memilihmu
dan menemanimu setiap saat. Kondisi keluargaku memang seperti ini, jadi aku
tak bisa menyalahkannya. Aku mengutamakan egoku. Maaf ya. Sampaikan pula
kepada Ibu mu. Aku bahagia berteman denganmu dan rasanya sepeti disayangi
oleh Ibuku sendiri yang telah tiada.

Selesai membaca, kulihat hidung Vina memerah seperti tomat. Matanya


pun segera menitihkan tetes demi setetes. Begitu mengharukan kisah Adikku
dengan sahabatnya, Nisa.

Esoknya saat menghantarkan Vina bersekolah, Nisa sudah menungguny


di gerbang. Mereka segera berpelukan dan berbaikan. Mereka berdua memakai
sepatu yang sama! Teman-teman disekitarnya pun memuji mereka. Sungguh
senang sekali bisa melihat mereka akur kembali. Semoga Adikku bisa selalu
berteman bahagia dengan siapapun, dengan seluruh kebaikan yang Adikku
miliki.

Anda mungkin juga menyukai