Anda di halaman 1dari 17

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ARTIKEL HASIL PRAKTIKUM


KARDIOVASKULER

Disusun oleh :

Nama : Novia Herawati Labudu


Stambuk : 15020150043
Kelas : C2
Kelompok: 5
Asisten : Lacemmang, S.Farm

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2016
SISTEM KARDIOVASKULER

Novia Herawati Labudu.1, Lacemmang, S.Farm.2


1
Mahasiswa Fakultas Farmasi, UMI
2
Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI

Email : noviaherawati10@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang : Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling


lazim. Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, pendidikan dan banyak
variable lain. Hipertensi yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh-
pembuluh darah di dalam ginjal, jantung dan otak, serta dapat mengakibatkan
peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung dan stroke
Tujuan Praktikum : Untuk menentukan efektivitas obat antihipertensi yaitu
captopril, nifedipine, dan clonidine terhadap hewan coba mencit (Mus muscullus)
yang diinduksi epinefrin.
Metode : Praktikum ini menggunakan empat hewan coba mencit (Mus muscullus)
yang di bagi ke dalam 4 kelompok kemudian diukur tekanan darah melalui telinga
hewan coba. Kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah melalui telinga
hewan coba. Masing-masing hewan coba pada setiap kelompok diinjeksikan
epinefrin dan diukur tekanan darah induksi setelah 30 menit. Kemudian pada
kelompok I diberikan obat clonidine secara I.O, kelompok III diberikan obat
nifedipine secara I.O, kelompok IV diberikan obat nifedipine secara I.O, dan
kelompok V diberikan obat captopril secara I.O, diukur kembali tekanan darah
hewan coba setelah menit ke 15, 30, 60.
Hasil : Hasil praktikum menunjukan bahwa efek obat clonidin yang diberikan
secara Ip pada hewan coba mencit (mus muscullus) untuk mengendalikan tekanan
darah tinggi atau hipertensi.
Kesimpulan : Obat clonidin merupakan obat antihipertensi untuk mengendalikan
tekanan darah tinggi atau hipertensi yang dapat membebani pembuluh nadi dan
jantung.
Kata Kunci : sistem kardiovaskuler, clonidine, nifedipine, nifedipine, captopril.

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim.
Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, pendidikan dan banyak variable lain.
Hipertensi yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh- pembuluh darah di
dalam ginjal, jantung dan otak, serta dapat mengakibatkan peningkatan insiden
gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung dan stroke (Ganiswarna, 2002).
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi
(Brunner&Suddarth, 2002).
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner&Suddarth, 2002).
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada
system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang
terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
Diagnosis dan klasifikasi hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali
pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolic (TDD) > 120 mmHg dan atau
TD sistolik (TDS) > 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada
sedikitnya 2 kali kunjungan lagi dalam waktu 1 sampai beberapa minggu
(tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut) (Ernst Mutschler, 2000).
Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan
abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut
jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme.
Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh
penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi
(Astawan,2002).
Klasifikasi hipertensi menurut etiologi (Hayens, 2003):
a. Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer, yaitu hipertensi yang tidak
jelas etiologinya dimana penyebab hipertensi ini yaitu multifaktor, terdiri
dari genetic dan lingkungan.
b. Hipertensi Sekunder, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit
ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat
dan lain-lain.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila
terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan
penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan.
Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke
ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume
plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi
peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik (Amir, 2002).
Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi pada
peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang
berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total Periperial
Resistence, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian
menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas
pembuluh darah yang menyempit (Hayens, 2003).
Obat-obat antihipertensi dibagi kedalam tiga golongan yaitu diuretik,
penghambat β, dan penghambat ACE. Obat-obat yang termasuk dalam golongan
diuretik yaitu bumetanide, eplerenone, furosemide, hydrochlorothiazide,
spironolakton, dan triamterene. Obat-obat yang termasuk dalam golongan
penghambat β yaitu atenolol, carvedilol, labetalol, metoprolol, nadolol,
propranolol, dan timolol. Obat-obat yang termasuk dalam golongan penghambat
ACE yaitu benazepril, captopril, enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril,
quinapril dan ramipril (Harvey dan Champe, 2009). Kini terdapat bermacam-
macam obat anti-hipertensi yang masing-masing memiliki aksi yang berbeda-
beda. Tiga dari kelas obat tersebut yaitu diuretik, β-blockers dan calsium channel
blockers. Tipe obat-obat anti hipertensi lainnya adalah yang bekerja secara sentral,
vasolidator, dan penghambat angiotensin-converting-enzyme (ACE), masing-
masing dapat dijelaskan sebagai berikut (Soeharto, 2004) :
a. Centrally Acting Drugs
Centrally Acting Drugs (obat-obat yang bekerja secara sentral) bekerja
dengan menghambat transmisi impuls di dalam sistem saraf otonomik. Dengan
demikian ia menyebabkan pelebaran arteri sekeliling, sehingga menurunkan
tekanan darah. Contoh-contoh buatan komersial adalah aldomet, catapres,
ismelin dan serpasil.
b. Vasolidator
Vasolidator menurunkan tekanan darah dengan merileksasikan otot halus
arteri sekaliling, yang menyebabkan melebar, menghasilkan reduksi tahanan
terhadap aliran darah sehingga menurunkan tekanan darah.
c. Penghambat ACE (Angiotensin converting enzyme)
Penghambat enzim pengonversi angiotensin seperti enalapril atau lisinopril
direkomendasikan ketika agen ini pertama yang dipilih (diuretik atau
penghambat β) dikontraindikasikan atau tidak efektif. Meskipun digunakan
secara luas, terdapat ketidakjelasan bahwa terapi antihipertensi dengan
penghambat ACE meningkatkan resiko penyakit mayor lainnya.
Obat hipertensi berbagai macam dan cara kerjanya dapat dibagi dalam
beberapa jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2002) :
a. Meningkatkan pengeluaran air dari tubuh; diuretika
b. Memperlambat kerja jantung; β blocker
c. Memperlebar pembuluh; vasodilator langsung (hidralazin, minoksidil),
antagonis kalsium, penghambat ACE dan AT II reseptor blocker
d. Menstimulasi SSP; agonis α2 sentral seperti klonidin dan moksonidin,
metildopa, guanfasin dan reserpin
e. Mengurangi pengaruh SSO terhadap jantung dan pembuluh, yakni :
- α-1-blockers; derivat quinazolin (prazosin, doksazosin, alfuzosin,
tamsulosin), ketanserin (ketensin)
- α-1 dan α-2-blocker; fentolamin
- β-blocker; propranolol, atenolol, metoprolol, pindolol, bisoprolol, timolol
- α/β-blockers; labetalol dan karvedilol
Penghambat β menurunkan tekanan darah, terutama dengan penurunan
curah jantung. Obat-obat ini juga dapat menurunkan aliran keluar sistem saraf
simpatis dari sistem saraf pusat (SSP) dan menghambat pelepasan renin dari ginjal
sehingga menurunkan pembentukan angiotensin II dan sekresi aldosterone.
Prototipe penghambat β adalah propanolol, yang bekerja pada reseptor β 1 dan β2.
Penghambat selektif reseptor β1, seperti metoprolol dan atenolol, merupakan
penghambat βyang paling sering diresepkan. Penghambat βselektif dapat
diberikan dengan hati-hati pada pasien yang juga mengalami asma ketika
propranolol dikontraindikasikan akibat penghambatannya terhaap bronkodilasi
yang diperantarai β2. Penghambat βharus diberikan dengan hati-hati dalam terapi
pasien yang mengalami gagal jantung akut atau penyakit vaskular perifer (Harvey
dan Champe, 2009).
β-blocker memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat β-adrenergik
isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan menempati secara
bersaing reseptor β-adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan peniadaan
atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA). Reseptor-β
terdapat dalam dua jenis yakni (Tjay dan Rahardja, 2002) :
Penghambat β menurunkan tekanan darah, terutama dengan penurunan
curah jantung. Obat-obat ini juga dapat menurunkan aliran keluar sistem saraf
simpatis dari sistem saraf pusat (SSP) dan menghambat pelepasan renin dari ginjal
sehingga menurunkan pembentukan angiotensin II dan sekresi aldosterone.
Prototipe penghambat β adalah propanolol, yang bekerja pada reseptor β 1 dan β2.
Penghambat selektif reseptor β1, seperti metoprolol dan atenolol, merupakan
penghambat βyang paling sering diresepkan. Penghambat βselektif dapat
diberikan dengan hati-hati pada pasien yang juga mengalami asma ketika
propranolol dikontraindikasikan akibat penghambatannya terhaap bronkodilasi
yang diperantarai β2. Penghambat βharus diberikan dengan hati-hati dalam terapi
pasien yang mengalami gagal jantung akut atau penyakit vaskular perifer (Harvey
dan Champe, 2009).
β-blocker memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat β-adrenergik
isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan menempati secara
bersaing reseptor β-adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan peniadaan
atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA). Reseptor-β
terdapat dalam dua jenis yakni (Tjay dan Rahardja, 2002) :
a. Reseptor β1 di jantung (juga di SSP dan ginjal). Blokade reseptor ini
mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan
frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradycardia) dan penurunan volume
menitnta. Juga perlambatan penyaluran impuls di jantung. Efek ini hanya
lemah pada pindolol.
b. Reseptor β2 di bronchia (juga di dinding pembuluh dan usus). Blokade reseptor
ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokontriksi perifer agak ringan
yang bersifat sementara (beberapa minggu), juga mengganggu mekanisme
homeostatis pemeliharaan kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemik).
Penghambat ACE menurunkan tekanan darah dengan cara penurunan
resistensi vaskular perifer tanpa peningkatan curah, denyut, atau kontraktilitas
jantung. Obat-obat ini menghambat ACE yang memerantarai angiotensin I untuk
membentuk angiotensin II sebagai vasokonstriktor poten. Enzim pengonversi
tersebut juga bertanggung jawab terhadap pemecahan bradikinin. Penghambat
ACE menurunkan kadar angiotensin II dan meningkatkan kadar bradikinin.
Dengan menurunkan kadar angiotensin II dalam sirkulasi, penghambat ACE juga
menurunkan sekresi aldosterone, mengakibatkan penurunan natrium dan retensi
air (Harvey dan Champe, 2009).
Klonidin berkhasiat hipotensif kuat berdasarkan efek adrenergik sentralnya.
Mengikat diri pada reseptor α2. Digunakan pada hipertensi sedang sampai berat.
Penggunaanya pada terapai interval migrain berat berkhasiat vasokontriksi perifer,
dewasa ini dianggap tak terbukti dan obsolet. Antara kadar plasma dan efek
hipotensifnya terdapat korelasi baik (Tjay dan Rahardja, 2002).
Nifedipin termasuk kelompok antagonis kalsium yang berdaya menghambat
masuknya Ca ke dalam sel-sel otot jantung dan sel-sel otot polos dinding arteri.
Oleh karena itu, kontraktilitas sel-sel tersebut dihambat dengan efek vasodilatasi.
Banyak digunakan antara lain pada penyakit jantung angina pectoris dengan
menghindarkan terjadinya kejang hingga penyaluran darah ke otot jantung
meningkat. Juga pada hipertensi berkat daya vasodilatasi perifernya dan pada
sindrom raynaud guna meniadakan kejang di jari-jari tangan (Tjay dan Rahardja,
2002).
Spironolakton merupakan penghambat atau antagonis aldosteron berumus
steroida, mirip struktur hormon non alamiah, merupakan antagonis dari reseptor
mineralokortikoid dan dapa memblokir efek biologiknya seperti retensi air dan
garam. Mulai kerja 2-3 hari dan bertahan sampai beberapa hari setelah pengobatan
dihentikan. Khasiat diuretiknya agak lemah, maka khusus digunakan dalam
kombinasi dengan diuretika umum lainnya. Efek kombinasi demikian adalah adisi
disamping mencegah kehilangan kalium. Spironolakton pada gagal jantung berat
berkhasiat mengurangi resiko kematian sampai 30% (Tjay dan Rahardja, 2002).
Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan
dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung
lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar).
Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga
ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi
kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang
melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan
kontraktilitas dan volume sekuncup (Hayens, 2003).
 RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosteron-System)
Ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah
volume darah .B aroreseptor pada ginjal menyebabkan penurunan
tekanan darah dengan cara mengeluarkan enzim renin. Peptidase ini
akan mengubah angitensin menjadi angiotensin I yang selanjutnya
dikonversi menjadi angiotensin II oleh pengorvensi angiotensin
(ACE) .Angiotensin II adalah vasokontriktor yang sangat paten dalam
sirkulasi. Menyebabkan peningkatan tekanan darah ,lebih lanjut
angiotensin II ini memacu sekresi aldosteron ,sehingga reabsorbsi Na
ginjal dan volume darah meningkat,yang seterusnya akan meningkatkan
tekanan darah.
METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu kanula, lap halus, lap kasar, spoit 1
mL dan stopwatch.
Bahan yang dgunakan pada percobaan ini yaitu nifediine, klonidin,
captopril dan spironolakton.
Prosedur Kerja
Penyiapan Hewan coba
Praktikum ini digunakan mencit Sebanyak 4 ekor. Mencit yang dipilih
sebagai hewan coba yaitu mencit yang bersih, sehat dan bulu yang berwarna
putih. Range berat badan yaitu 20-30 gram. Sebelum perlakuan mencit dipuasakan
Selama 1 hari tetapi tetap diberi minum.
Perlakuan terhadap hewan coba
Hewan uji dipuasakan selama 1 hari dan selanjutnya ditimbang berat
badannya dan dihitung volume pemberian untuk masing-masing mencit yang
memiliki berat yang bebeda-beda. Kelompok 1 dberikan obat klonidin sebanyak
0,8 ml secara oral yang sebelumnya diberikan epinefrin sebanyak 0,8 ml. Diamati
pada menit ke 15, 30, dan 60. Catat perubahannya. Kelompok 3 dberikan obat
nifedipine sebanyak 0,8 ml secara oral yang sebelumnya diberikan epinefrin
sebanyak 0,8 ml. Diamati pada menit ke 15, 30, dan 60. Catat perubahannya.
Kelompok 4 dberikan obat spironolakton sebanyak 0,8 ml secara oral yang
sebelumnya diberikan epinefrin sebanyak 0,8 ml. Diamati pada menit ke 15, 30,
dan 60. Catat perubahannya. Kelompok 5 dberikan obat captopril sebanyak 0,8 ml
secara oral yang sebelumnya diberikan epinefrin sebanyak 0,8 ml. Diamati pada
menit ke 15, 30, dan 60. Catat perubahannya.
HASIL PENELITIAN
Tabel Pengamatan
Kelompok 1 ( Klonidin secara oral)
Berat badan mencit = 25 gram
Vp mencit = 0,833 ml
Dibawah ini merupakan hasil pengamatan terhadap efek farmakodinamik
setelah pemberian obat klonidin secara oral
TD Awal Tekanandarahsetelahmenit
Obat BB VP
Awal Epinefrin 15 30 60
Klonid 25 0,833 Vasodilat Vasokontr Vasodilat Vasodilat vasodilat
in gr ml asi iksi asi asi asi
Kelompok 3 ( Nifedipine secara oral)
Berat badan mencit = 26 gram
Vp mencit = 0,866 ml
Dibawah ini merupakan hasil pengamatan terhadap efek farmakodinamik
setelah pemberian obat nifedipine secara oral.
TD Awal Tekanandarahsetelahmenit
Obat BB VP
Awal Epinefrin 15 30 60
Nifedi 26 0,866 Vasodilat Vasokontr Vasodilat Vasodilat vasodilat
pine gr ml asi iksi asi asi asi
Kelompok 4 ( Spironolakton secara oral)
Berat badan mencit = 24 gram
Dibawah ini merupakan hasil pengamatan terhadap efek farmakodinamik
setelah pemberian obat spironolakton secara oral.
B TD Awal Tekanandarahsetelahmenit
Obat VP
B Awal Epinefrin 15 30 60
Spirono 24 Vasodilat Vasokontr Vasodilat Vasodilat vasodilat
0,8ml
lakton gr asi iksi asi asi asi
Tabel Pengamatan
Kelompok 5 (Captopril secara oral)
Berat badan mencit = 25 gram
Vp mencit = 0,833 ml
Dibawah ini merupakan hasil pengamatan terhadap efek farmakodinamik
setelah pemberian obat captopril secara oral.
TD Awal Tekanandarahsetelahmenit
Obat BB VP
Awal Epinefrin 15 30 60
Capto 25 0,833 Vasodilat Vasokontr Vasodilat Vasodilat Vasodila
pril gr ml asi iksi asi asi tasi
PEMBAHASAN
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah diastolik tetap yang lebih
besar dari 90 mmHg disertai dengan kenaikan tekanan darah sistolik (140 mmHg).
Kenaikkan tekanan darah arteri yang bertahan ini merupakan salah satu penyebab
terpenting aterosklerosis, sebagai akibatnya dapat terjadi serangan apoplektik
diotak, penyakit jantung koroner dijantung dan insufiensi ginjal di ginjal.
Tekanan darah arteri diatur dalam batas-batas tertentu untuk perfusi
jaringan yang cukup tanpa menyebabkan kerusakan pada sistemvaskular, terutama
intima arterial. Tekanan darah arterial langsung seiombang dengan hasil curah
jantung dan resistensi vascular periofer. Pada orang normal dan hipertensi, curah
jantung dan resistensi perifer diatur oleh suatu mekanisme pengatur yang saling
tumpah tindih : barorefleksi disalurkan melalui system saraf simpatik dan system
rennin-angiotensi-aldosteron. Obat-obat anti hipertensi pada umumya
menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan atau
menurunkan resistensi perifer.
Fungsi sistem kardiovaskular adalah memberikan dan mengalirkan
suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh yang diperlukan
dalam proses metabolisme, secara normal setiap jaringan dan organ tubuh akan
menerima aliran darah dalam jumlah yang cukup sehingga jaringan dan organ
tubuh menerima nutrisi dengan kuat.
Jantung seringkali diibaratkan suatu pompa yang menyalurkan cairan
(darah) melalui pipa lentur (pembuluh) ke wadah (organ) dan kemudian kembali.
Bila jantung menguncup (kontraksi), darah dengan pesat dipompa ke dalam
pembuluh nadi besar (aorta) dengan tekanan agak tinggi. Dari sini darah dialirkan
berangsur-angsur ke dalam arteri dan arteriole lainnya dengan tekanan semakin
berkurang. Tekanan ini adalah perlu agar darah mencapai seluruh organ dan
jaringan dan kemudian untuk bisa mengalir kembali ke jantung melalui vena.
Pada percobaan Kelompok 1 dberikan obat klonidin sebanyak 0,8 ml secara oral
sebagai obat antihipertensi yang sebelumnya diberikan epinefrin sebanyak 0,8 ml
untuk meningkatkan tekanan darah dari hewan coba. Sebelum diinduksi epinefrin
warna daun telinga dari mencit pucat menandakan bahwa terjadi vasodilatasi.
Kemudian setelah disuntikkan dengan epinefrin warna daun telinga mencit
menjadi merah menandakan terjadi vasokontriksi (penyempitan pembuluh darah).
Setelah 30 menit pemberian epinefrin hewan coba diinduksi dengan klonidin pada
menit ke 15 terjadi vasodilatasi, pada menit ke 30 terjadi vasodilatasi, dan pada
menit ke 60 terjadi vasodilatasi.
Dimana kerja dari klonidin adalah merangsang adrenoreseptior-2 di SSP
maupun perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama berakibat perangsangan
reseptor di SSP. Klonidin juga sedikit mengurangi denyut jantung. Hal ini
menandakan bahwa percobaan yang dilakukan sesuai dengan literature karena
klonidin merupakan obat golongan antihipertensi efeknya vasodilatasi karena
klonidin bekerja dengan menghambat perangsangan neuron adrenergik di SSP.
Obat ini merangsang adrenoreseptor-2 di SSP atau perifer. Turunnya aktivitas
saraf adrenergik di perifer ini akan menyebabkan pelepasan NE dari ujung saraf
adrenergik sehingga memperkuat efek sentral dengan meningkatkan tonus vagal
yang akan menambah perlambatan denyut jantung dan terjadilah hipotensi.
Pada percobaan Kelompok 3 diberikan obat nifedipine sebanyak 0,8 ml
secara oral sebagai obat antihipertensi yang sebelumnya diberikan epinefrin
sebanyak 0,8 ml untuk meningkatkan tekanan darah dari hewan coba. Sebelum
diinduksi epinefrin warna daun telinga dari mencit pucat menandakan bahwa
terjadi vasodilatasi. Kemudian setelah disuntikkan dengan epinefrin warna daun
telinga mencit menjadi merah menandakan terjadi vasokontriksi (penyempitan
pembuluh darah). Setelah 30 menit pemberian epinefrin hewan coba diinduksi
dengan nifedipine pada menit ke 15 terjadi vasodilatasi, pada menit ke 30 terjadi
vasodilatasi, dan pada menit ke 60 terjadi vasodilatasi.
Dimana nifedipine merupakan antagonis kalsium (calcium channel
Mocker) yang berefek mengurangi konsumsi oksigen jantung, memperbaiki
toleransi latihan pada pasien angina pektoris. mengurangi kebutuhan nitroglisenn
dan mengurangi perubahan iskemik jantung saat benstirahat dan beraktivitas. Hal
ini menandakan bahwa percobaan yang dilakukan sesuai dengan literature karena
nifedipine merupakan obat golongan antihipertensi efeknya vasodilatasi karena
nifedipine merupakan antihipertensi poten, dimana responnya lebih bermakna
pada tekanan darah inisial yang lebih tinggi. Pada individu dengan normotensif,
tekanan darahnya hampir tidak turun sama sekali Pada pasien hipertensi,
nifedipine menurunkan resistensi penfer serta tekanan darah sistolik dan diastolik,
meningkatkan volume per menit dan kecepatan jantung, juga mengurangi
resistensi koroner, meningkatkan aliran koroner dan menurunkan konsumsi
oksigen jantung. Efek antihipertensi dari nifedipine dalam dosis tunggal oral
memberi onset sangat cepat dalam waktu 15-30 menit dan berlangsung selama 6-
12 jam. Nifedipine cocok untuk terapi antihipertensi ringan, sedang dan berat.
Pada percobaan Kelompok 4 diberikan obat spironolakton sebanyak 0,8 ml
secara oral sebagai obat antihipertensi yang sebelumnya diberikan epinefrin
sebanyak 0,8 ml untuk meningkatkan tekanan darah dari hewan coba. Sebelum
diinduksi epinefrin warna daun telinga dari mencit pucat menandakan bahwa
terjadi vasodilatasi. Kemudian setelah disuntikkan dengan epinefrin warna daun
telinga mencit menjadi merah menandakan terjadi vasokontriksi (penyempitan
pembuluh darah). Setelah 30 menit pemberian epinefrin hewan coba diinduksi
dengan spironolakton pada menit ke 15 terjadi vasodilatasi, pada menit ke 30
terjadi vasodilatasi, dan pada menit ke 60 terjadi vasodilatasi.
Dimana spironolakton merupakan obat Golongan Diuretik. Spironolacton
digunakan untuk menangani Edema yang berhubungan dengan Hipertensi, Gagal
Jantung, Hiperaldosteronism primer, Hipokalemia, sirosis Hati dan penanganan
Hipersutisme. Hal ini menandakan bahwa percobaan yang dilakukan sesuai
dengan literature karena spironolakton merupakan obat golongan antihipertensi
efeknya vasodilatasi karena kerja dari spironolakton adalah
antagonisfarmakologis aldosteron, bertindak terutama melalui pengikatan Secera
kompetitifreseptor pada tempat pertukaran natrium-kalium tergantung aldosteron
di tubulusdistal ginjal. Spironolactone Menyebabkan peningkatan jumlah natrium
dan airuntuk dibuang, sementara kalium dipertahankan. Spironolactone bertindak
baiksebagai diuretik dan sebagai antihipertensi dengan mekanisme ini. Obat ini
dapatdiberikan sendiri atau dengan agen diuretik lain yang bertindak lebih
ditubulus proksimal ginjal. Aldosteron berinteraksi dengan
reseptormineralokortikoid sitoplasma untuk meningkatkan ekspresi dari Na +, K +
-ATPase dan saluran Na + yang terlibat dalam transportasi a + K + di tubulus
distal. Mengikat spironolactone untuk reseptor mineralcorticoid ini,
menghalangitindakan aldosteron pada ekspresi gen. Aldosteron adalah hormon;
fungsiutamanya adalah untuk mempertahankan natrium dan mengeluarkan
(eksresi) kalium dari dalam ginjal.
Pada percobaan Kelompok 5 diberikan obat captopril sebanyak 0,8 ml
secara oral sebagai obat antihipertensi yang sebelumnya diberikan epinefrin
sebanyak 0,8 ml untuk meningkatkan tekanan darah dari hewan coba. Sebelum
diinduksi epinefrin warna daun telinga dari mencit pucat menandakan bahwa
terjadi vasodilatasi. Kemudian setelah disuntikkan dengan epinefrin warna daun
telinga mencit menjadi merah menandakan terjadi vasokontriksi (penyempitan
pembuluh darah). Setelah 30 menit pemberian epinefrin hewan coba diinduksi
dengan captopril pada menit ke 15 terjadi vasodilatasi, pada menit ke 30 terjadi
vasodilatasi, dan pada menit ke 60 terjadi vasodilatasi.
Dimana captopril merupakan salah satu obat anti hipertensi golongan ACE
Inhibitor. Hal ini menandakan bahwa percobaan yang dilakukan sesuai dengan
literature karena captopril merupakan obat golongan antihipertensi efenya
vasodilatasi karena kerja dari captopril adalah menghambat perubahan
Angiotensin I (inaktiv) menjadi Angiotensin II (aktiv),dimana AT II menimbulkan
sekresi Aldosteron yang bisa menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan
retensi Natrium dan air. Terhambatnya pembentukan AT II akan menyebabkan
vasodilatasi dan mengurangi retensi Na dan air. ACE Inhibitor menyebabkan
terjadinya pelepasan bradykinin yang mempunyai efek vasodilator dan bias
merangsang batuk kering.
Praktis semua antihipertensiv menimbulkan efek samping umum, seperti
hidung mampat (akibat vasodilatasi mukosa) dan mulut kering, bradycardia
(kecuali vasodilator langsung justru tachycardia), rasa letih dan lesu, gangguan
penglihatan dan lambung-usus (nual, diare), adakalanya impotensi (terutama obat-
obat sentral). Efek-efek samping ini seringkali bersifat sementara dan akan hilang
dalam waktu 1-2 minggu. Dapat dikurangi atau dihindari dengan peningkatan
dosis secara lambat laun, artinya dimulai dengan dosis rendah yang berangsur-
angsur dinaikkan. Dengan demikian penurunan tekanan darah mendadak dapat
dihindari. Begitu pula obat sebaiknya diminum setelah makan agar kadar obat
dalam plasma jangan mendadak mencapai puncak tinggi (dengan akibat hipotensi
kuat). Penghentian terapi pun tidak boleh secara mendadak, melainkan berangsur-
angsur untuk mencegah bahaya meningkatnya tekanan darah dengan kuat
(rebound effect) (Tjay dan Rahardja, 2002).
KESIMPULAN
Dari percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan
pemberian obat Klonidin, pada hewan coba memberikan efek vasodilatasi sebagai
kerja dari antihipertensi.
SARAN
Sebaiknya asisten pendamping dalam laboratorium ditambah agar
membantu dalam proses pembelajaran dan asisten pendamping selalu berada di
kelompok masing-masing untuk melakukan diskusi
Daftar Pustaka
Brunner & Suddart. 2002. “Keperawatan Medikal Bedah”. EGC : Jakarta.
Gunawan, Lany. 2001. “Hipertensi Tekanan Darah Tinggi”. KANISIUS :
Yogyakarta.
Harvey, R. A., dan Champe, P. C., 2009, Farmakologi ulasan bergambar,
Kedokteran EGC, Jakarta
Jasin. 1991. “Klasifikasi Hewan Coba Dalam Buku Zoologi Vertebrata”.
Sriwijaya : Surabaya.
Katzung, G, B. 2002. “Buku Farmakologi Dasar dan Klinik”. Salemba Medika :
Jakarta.
Malole, M.B, M dan Pramono. C.S.U. 1989). “Penggunaan Hewan-Hewan
Percobaan di Laboratorium”. Pusat antar Universitas Bioteknologi, IPB :
Bogor.
Mutschler, E. 2000. “Dalam Buku Dinamika Obat”. Penerbit ITB : Bandung.
Mycek. J Mary. 2001. “Farmakologi Ulasan Bergambar”. Widya Medika : Jakarta

Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2015, Obat-Obat Penting, PT Elex Media
Kompoitindo Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai