Anda di halaman 1dari 25

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

DISFAGIA

Disusun Oleh:

Zuhra Ayu Ramadhani C014222097

Nur Inda Rahmani C014222189

Supervisor Pembimbing:

dr. Rumaisah Hasan, Sp. KFR, N.M(K), AIFO-K, FEMG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Zuhra Ayu Ramadhani
NIM : C014222097
Nama : Nur Inda Rahmani
NIM : C014222189

Judul Referat : Disfagia

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 2 Desember 2023


Supervisor Pembimbing

dr. Rumaisah Hasan, Sp. KFR, N.M(K), AIFO-K, FEMG

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 2
1. Definisi ........................................................................................................................................... 2
2. Anatomi.......................................................................................................................................... 2
3. Fisiologis proses menelan ............................................................................................................. 9
4. Etiologi ......................................................................................................................................... 11
5. Epidemiologi ................................................................................................................................ 12
6. Diagnosis ...................................................................................................................................... 13
7. Penangan rehabilitasi pada pasien disfagia…………………………………………………...15
8. Komplikasi……………………………………………………………………………………....17
9. Prognosis………………………………………………………………………………………...18
BAB 3 PENUTUP................................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 20

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein yang
artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering digunakan adalah
kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam lambung.1,2
Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada semua kelompok usia dan sering
berhubungan dengan multiple systemic disorders (misalnya: diabetes melitus,
hipertiroidisme, lupus eritematosus, dermatomiositis, stroke, serta penyakit Parkinson dan
Alzheimer).1,3
Terdapatnya disfagia dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi, infeksi
saluran napas, bertambahnya jumlah hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh sebab itu,
diagnosis dan penanganan dini terhadap disfagia sangat penting dilakukan.4-6
Disfagia adalah suatu kondisi umum yang dapat berdampak signifikan terhadap
kualitas hidup pasien dan dapat dikaitkan dengan penyakit ini komplikasi yang signifikan
seperti pneumonia aspirasi, penurunan berat badan, dan malnutrisi. Ada dua jenis disfagia,
orofaringeal dan disfagia esofagus, yang biasanya disebabkan oleh keduanya gangguan
struktural atau motilitas. Mungkin juga disfagia disebabkan oleh kelainan lokal atau sistemik.
Disfagia mewakili sebuah gejala alarm yang memerlukan evaluasi segera. Secara
keseluruhan, pengobatan bervariasi dan didasarkan pada mekanisme yang mendasarinya.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Disfagia didefinisikan sebagai keterlambatan abnormal pergerakan bolus makanan
dari orofaring ke gaster.7 Kondisi ini menyebabkan pasien mengalami kesulitan menelan.8
Disfagia merupakan gejala umum yang ditemukan di masyarakat, namun disfagia biasanya
merupakan suatu proses patologis yang sedang terjadi.
Disfagia didefinisikan secara obyektif sebagai keterlambatan abnormal dalam transit
bolus cair atau padat selama tahap menelan orofaringeal atau esofagus. Keterlambatan ini
bisa bersifat sementara, berlangsung selama beberapa detik, atau manifestasi paling
parahnya berupa penundaan tetap, misalnya pada impaksi makanan. Periodisitasnya juga
dapat sangat bervariasi, terjadi setiap tahun atau setiap kali upaya menelan. Namun
demikian, jika uji transit esofagus seperti radiografi barium, skintigrafi nuklir, atau
impedansi multisaluran dilakukan, harus ada bukti jelas adanya transpor bolus lambat yang
tidak normal pada titik antara mulut dan lambung. Demikian pula, tes penilaian anatomi atau
motilitas orofaring dan esofagus akan menunjukkan temuan yang jelas berhubungan dengan
disfagia objektif.
Disfagia yang didefinisikan secara subyektif adalah sensasi keterlambatan transit bolus
cair atau padat selama tahap menelan orofaringeal atau esofagus (masing-masing disfagia
orofaringeal dan esofagus). Hal ini mungkin berbeda dengan pengukuran objektif disfagia
karena berbagai mekanisme fungsi sensorik esofagus dapat menjelaskan sensasi disfagia
tanpa penundaan transit bolus. Misalnya, pada pasien dengan disfagia fungsional, gejalanya
mungkin mencerminkan perasaan bolus melewati esofagus, bahkan dengan transit normal.
Demikian pula, gejala yang disebabkan oleh penundaan transit bolus yang sebenarnya dapat
diperkuat atau dilemahkan melalui disfungsi saraf sensorik sehingga tampak tidak
proporsional atau bertahan lebih lama, masing-masing, penundaan transit bolus yang
berumur pendek.7 Sebaliknya, kelainan lain dapat bermanifestasi dengan fungsi esofagus
yang hiposensitif, sehingga pasien tidak merasakan keparahan maupun durasi impaksi bolus
seperti yang terjadi pada akalasia tahap akhir.8
2. Anatomi Faring dan Esofagus
a. Faring
Faring adalah struktur konduktif yang terletak di garis tengah leher. Saluran ini
merupakan struktur utama, selain rongga mulut, yang dimiliki oleh dua sistem organ,
yaitu saluran pencernaan (GIT) dan saluran pernapasan. Berbentuk corong dengan
2
ujung atasnya lebih lebar dan terletak tepat di bawah permukaan bawah tengkorak,
dan ujung bawahnya lebih sempit dan terletak pada tingkat vertebra serviks keenam
(C6) di mana dimulainya esofagus di bagian belakang dan bawah. laring terletak di
sisi anteriornya. Integritas otot-membrannya memungkinkannya memediasi beberapa
fungsi vital yang berkaitan dengan sistem organ, misalnya menelan makanan,
konduksi udara, dan produksi suara.9,10,11
Secara regional, faring terbagi menjadi tiga bagian mulai dari superior hingga
inferior: - nasofaring, terletak di belakang lubang hidung posterior (choanae),
orofaring, terletak di belakang bukaan rongga mulut, dan laringofaring, terletak di
belakang. saluran masuk laring. Pertama, nasofaring hanya berhubungan dengan
saluran pernapasan saat udara melewatinya dari rongga hidung. Selain itu, di dalam
permukaan lateral bagian belakang nasofaring, terdapat dua bukaan, satu di kedua
sisinya, yang disebut saluran pendengaran (saluran Eustachius atau saluran
faringotimpani) yang dikelilingi oleh peninggian selaput lendir yang disebut
peninggian tuba. Saluran ini terhubung ke telinga tengah (rongga timpani) di bagian
posterior dan terutama berfungsi untuk menyamakan tekanan dan memfasilitasi
drainase sekret dari telinga tengah. Kedua, orofaring merupakan kelanjutan dari
rongga mulut dan berfungsi mengalirkan bolus menuju ke bawah.
Saat bolus keluar dari rongga mulut, otot-otot langit-langit lunak berkontraksi
untuk menutup choanae sehingga makanan tidak masuk ke rongga hidung. Secara
bersamaan, epiglotis (tulang rawan tunggal di bagian atas laring) didorong ke
anterior untuk menutup saluran masuk laring sehingga mencegah makanan
memasuki saluran udara.
Empat arteri dari masing-masing arteri karotis eksterna mensuplai faring
dengan darah kaya oksigen yaitu arteri faring asendens, tonsilar (cabang dari arteri
facial), arteri maksilaris, dan lingual. Drainase vena dibentuk oleh vena faring yang
mengalirkan faring ke vena jugularis interna. Drainase limfatik pada faring adalah
drainase langsung, yang berarti getah bening mengalir langsung menuju kelenjar
getah bening serviks dalam (DCLNs). Kelenjar getah bening serviks dalam adalah
kelompok kelenjar getah bening yang terletak di sepanjang jalur vena jaguar internal
atau drainase tidak langsung menuju kelenjar getah bening serviks dalam melalui
kelenjar getah bening retrofaringeal (terletak di belakang faring) atau kelenjar getah
bening paratrakeal (sepanjang perjalanan trakea).
Terdapat cincin jaringan limfoid yang dibentuk oleh empat kelompok getah

3
bening yang disebut cincin Waldeyer. Cincin ini melindungi pintu masuk GIT dan
saluran pernapasan. Struktur ini dibentuk di bagian superior oleh tonsil faring, juga
dikenal sebagai kelenjar adenoid, di atap nasofaring. tonsilla palatina dan tonsilla
tuba (di sekitar saluran pendengaran) membentuk dinding lateral cincin. Di bagian
inferior, cincin terbentuk oleh tonsil lingualis pada permukaan posterior lidah.
Faring menerima serabut saraf sensorik dan motorik. Serabut sensorik (aferen)
mempersarafi membran mukosa ketiga bagian faring dan mengirimkan sensasi
umum (nyeri, suhu, tekanan, dan sentuhan). Faring hidung menerima suplai saraf
dari divisi kedua saraf kranial kelima (bagian rahang atas saraf trigeminal atau CN
V2). Faring mulut mendapat suplai dari saraf kranial kesembilan (saraf
glossopharyngeal atau CN IX), dan faring laring menerima suplai dari saraf laring
internal yang merupakan cabang dari saraf laring superior dari saraf kranial
kesepuluh (saraf vagus atau CNX ). Otot-otot faring menerima suplai motorik
(eferen) dari saraf kranial kesembilan dan kesepuluh. Otot stylopharyngeus adalah
satu-satunya otot yang dipersarafi oleh saraf glossopharyngeal. Saraf vagus
mempersarafi semua otot lainnya.
Otot-otot faring sangat penting bagi faring untuk memenuhi berbagai fungsi
normal dan diperlukan. Otot-otot faring, seperti telah disebutkan sebelumnya, dapat
digambarkan sebagai empat otot konstriktor (superior, tengah, inferior dan
cricopharyngeus) dan tiga otot kelompok longitudinal (stylopharyngeus,
palatopharyngeus, dan salpingopharyngeus). Otot konstriktor superior berasal dari
lempeng pterigoid medial, hamulus pterigoid, ligamen pterigomandibular, dan garis
mylohyoid mandibula. Ini dimasukkan ke dalam tuberkulum faring tulang oksipital
dan raphe faring (serat garis tengah) di posterior. Ini membantu penutupan langit-
langit lunak saat menelan dan yang paling penting adalah mendorong bolus ke arah
bawah. Otot konstriktor tengah berasal dari bagian inferior ligamen stylohyoid dan
kornua minor dan mayor tulang hyoid. Ini dimasukkan ke dalam raphe faring dan
berfungsi untuk mendorong bolus ke bawah.
Otot konstriktor inferior berasal dari lamina kartilago tiroid dan kartilago
krikoid laring. Ini dimasukkan ke dalam raphe faring dan mendorong bolus ke
bawah. Otot krikofaringeus berasal dari bagian terbawah otot konstriktor inferior dan
bertindak sebagai sfingter di ujung inferior faring. Ini berkontribusi untuk mencegah
refluks faring dari isi esofagus.
Otot stylopharyngeus berasal dari proses styloid tulang temporal dan masuk ke

4
permukaan posterior tulang rawan tiroid laring. Ini membantu mengangkat faring
saat menelan. Otot palatopharyngeus berasal dari aponeurosis palatine dan masuk ke
permukaan posterior tulang rawan tiroid. Selain meninggikan faring saat menelan,
saat berkontraksi, lengkung palatofaring tertarik ke medial. Selain itu, ia mendorong
bolus selama deglutisi. Otot salpingopharyngeus berasal dari saluran pendengaran
dan dilanjutkan dengan substansi otot palatopharyngeus. Dengan bantuan dua otot
sebelumnya, ia mengangkat faring saat proses menelan berlangsung.12,13,14

Gambar 1. Struktur Anatomi dari Faring

b. Esofagus
Kerongkongan, secara historis juga dieja esofagus, adalah organ sistem
pencernaan berbentuk tabung dan memanjang yang menghubungkan faring ke
lambung. Kerongkongan adalah organ yang dilalui makanan untuk mencapai
lambung untuk pencernaan lebih lanjut. Ini mengikuti jalur yang berjalan di belakang
trakea dan jantung, di depan tulang belakang, dan melalui diafragma sebelum
memasuki perut.15,16
5
Kerongkongan dibagi menjadi tiga segmen anatomi: serviks, toraks, dan perut.
Segmen serviks dimulai dari krikofaringeus dan berakhir di takik suprasternal.
Segmen ini terletak tepat di belakang trakea, yang bergabung melalui jaringan ikat
longgar. Di bagian posterior, fasia prevertebralis menghubungkan esofagus ke badan
vertebra serviks keenam hingga kedelapan. Saluran toraks dapat ditemukan di sisi
kiri vertebra serviks keenam. Selubung karotis dan kutub bawah kelenjar tiroid
lateral dapat ditemukan di lateral esofagus di bagian bawah leher. Segmen toraks
terletak di antara kolom vertebra dan trakea di mediastinum superior, memanjang
dari takik suprasternal hingga diafragma. Saat esofagus diikuti ke arah distal,
esofagus melewati belakang lengkung aorta setinggi diskus intervertebralis T4
hingga T5 dan memasuki mediastinum posterior. Segmen terakhir, segmen perut,
berjalan dari diafragma hingga fundus lambung. Segmen ini turun dan melewati crus
kanan diafragma setinggi vertebra toraks kesepuluh dan masuk ke kardia lambung
setinggi vertebra toraks kesebelas.
Organ ini biasanya memiliki panjang sekitar sembilan hingga sepuluh inci (23
hingga 25 cm) pada orang dewasa yang sudah dewasa, dengan sfingter terletak di
masing-masing ekstremitas proksimal dan distal, lumen yang dilapisi mukosa dan
jaringan ikat, serta komposisi luar otot polos. Sfingter yang terletak di anterior,
sfingter esofagus bagian atas, memungkinkan aliran makanan satu arah ke dalam
esofagus, dan di anterior, sfingter esofagus bagian bawah memungkinkan aliran
makanan satu arah ke dalam lambung.
Fungsi utama kerongkongan adalah mengangkut makanan yang masuk ke
mulut melalui tenggorokan dan masuk ke lambung. Fungsi ini dimulai di bagian
paling awal kerongkongan, mengikuti beberapa kuncup pengecap yang terletak di
organ tersebut, di sfingter esofagus bagian atas (UES). UES, juga disebut sfingter
faringoesofagus, adalah kumpulan jaringan otot melingkar yang biasanya tetap
tertutup dalam posisi berkontraksi. Selama menelan, otot-otot berelaksasi sementara
dan memungkinkan lewatnya bahan atau bolus berupa makanan, minuman, lendir,
dan air liur ke kerongkongan. Selanjutnya, bolus bergerak ke badan esofagus.
Gerakan peristaltik mendorong bolus ke esofagus melalui peristaltik primer dan
sekunder. Selama tahap menelan faring, dinding otot faring berkontraksi memberikan
gerakan peristaltik awal bolus yang kuat dan mengirimkan bolus melalui UES
dengan energi kinetik. Gelombang peristaltik ini berlanjut ke esofagus dan
membentuk peristaltik primer. Jika peristaltik primer tidak cukup untuk membawa

6
bolus ke lambung, yang disadari oleh tubuh sebagai kelanjutan dari distensi esofagus
setelah peristaltik primer, peristaltik sekunder dimulai dan berlanjut hingga bolus
berhasil dipindahkan ke lambung. Sfingter esofagus bagian bawah (LES), juga
disebut sfingter jantung dan sfingter kardioesofagus, terletak sedikit lebih dari satu
inci (sekitar 3 cm) di proksimal pertemuan esofagus dengan lambung. Mirip dengan
UES, LES biasanya berkontraksi dan menutup, terutama mencegah isi lambung
memasuki badan esofagus. LES dikendalikan tanpa disengaja dan dipicu untuk
membuka selama gerak peristaltik esofagus, sehingga memungkinkan bolus yang
didorong masuk ke lambung dan menyelesaikan fungsi utama esofagus. Meskipun
fungsi utama esofagus adalah untuk mengalirkan bahan dari mulut dan tenggorokan
ke lambung, esofagus juga merupakan sarana untuk mengeluarkan bahan dari tubuh
dari lambung dan keluar melalui mulut jika terjadi muntah. bersendawa, dan pada
saat refleks muntah dimulai. Namun, fungsi ini biasanya tidak diinginkan karena
makanan yang dikeluarkan melalui jalur ini dapat mengakibatkan malnutrisi dan
kemungkinan kerusakan pada esofagus akibat asam lambung.
Esofagus kaya akan suplai darah arteri ditambah dengan drainase vena, yang
bersifat segmental. Esofagus serviks dan UES disuplai dengan darah melalui cabang
arteri tiroid inferior. Esofagus toraks disuplai oleh arteri esofagus aorta yang berada
di cabang terminal arteri bronkial. Segmen perut dan LES disuplai darah melalui
arteri lambung kiri dan cabang arteri frenikus kiri. Arteri ini mengalir ke submukosa
esofagus sebagai jaringan padat. Darah vena kemudian mengalir ke vena cava
superior dari pleksus submukosa tersebut. Sistem azygous menyediakan drainase
untuk segmen proksimal dan distal esofagus sedangkan bagian tengah esofagus
menerima drainase melalui tambahan vena lambung kiri yang bercabang dari vena
portal.
Saluran getah bening dan kelenjar getah bening bersama-sama menyediakan
drainase limfatik ke esofagus. Saluran dimulai secara endotel atau sebagai kantung
buta yang juga bersifat endotel. Mereka kemudian berkumpul ke saluran getah
bening yang lebih besar sepanjang esofagus (ortogonal terhadap bidang transversal).
Arah aliran ditentukan oleh pasangan katup semilunar di saluran ini. Saluran-saluran
ini kemudian bergabung di berbagai area untuk masuk ke kelenjar getah bening
regional masing-masing. Drainase terjadi di tiga bagian esofagus, dipecah menjadi
tiga bagian, dengan interkoneksi signifikan yang ada di antara setiap segmen.
Drainase ke dalam saluran toraks dari kelenjar getah bening serviks bagian dalam

7
dilakukan dengan drainase segmen ketiga proksimal esofagus. Drainase ke nodus
mediastinum superior dan posterior dicapai melalui saluran limfatik bagian tengah
ketiga esofagus. Akhirnya, saluran limfe di bagian paling ketiga distal esofagus
akhirnya mengalir ke kelenjar getah bening lambung dan seliaka.
Persarafan esofagus melibatkan sistem saraf simpatis dan parasimpatis, dengan
persarafan primer bersumber dari saraf vagus dan saraf tulang belakang (dari segmen
T1 hingga T10) melalui batang simpatis toraks dan serviks. Saraf vagus terutama
bertanggung jawab atas fungsi motorik parasimpatis otot dan kelenjar esofagus. Saraf
rantai toraks dan serviks terutama merupakan persarafan simpatis dan berfungsi
untuk membantu penyempitan pembuluh darah, kontraksi UES dan LES, relaksasi
dinding otot, seiring dengan peningkatan aktivitas kelenjar dan peristaltik. Kedua
saraf memungkinkan adanya sensasi, dengan saraf vagus mendeteksi tekanan yang
dapat menyebabkan rasa sakit dan batang simpatis secara langsung merasakan rasa
sakit.
Kira-kira sepertiga proksimal esofagus terutama terdiri dari otot rangka
sedangkan dua pertiga distalnya terdiri dari otot polos. Serabut otot esofagus bersifat
dua arah, dengan lapisan luar berjalan memanjang dan lapisan dalam terdiri dari serat
melingkar. Lapisan otot bagian dalam memungkinkan terjadinya kontraksi peristaltik
yang menggerakkan bolus ke bawah esofagus dan lebih tebal daripada lapisan luar.
Penebalan dan tumpang tindih otot-otot internal pada titik esofagus di bawah
diafragma sebelum lambung membentuk dan fungsi LES. Secara proksimal, otot
cricopharyngeus, thyropharyngeus, dan craniocervical membentuk dan fungsi UES
dengan orientasi berlawanan dari serat ototnya masing-masing.18,19

Gambar 2. Struktur Anatomi dari Esofagus

8
3. Fisiologis Proses Menelan
Proses menelan dibagi menjadi 4 fase yaitu: 1) fase persiapan oral; 2) fase oral; 3)fase
faringeal; dan 4) fase esofageal.20,21
a. Fase persiapan oral
Selama fase persiapan oral makanan dimanipulasi dan dikunyah. Proses
mengunyah sendiri merupakan suatu pola siklik berulang dari gerakan rotasi lateral
otototot labial dan mandibular. Lidah memosisikan makanan di atas gigi saat gigi
atas dan bawah bertemu dan menghancurkan material diatasnya. Makanan akan jatuh
ke arah medial menuju lidah dan lidah akan mengembalikan material tersebut ke atas
gigi pada saat mandibula dibuka. Selama mengunyah, lidah mencampur makanan
dengan saliva. Tekanan dalam otot bukal akan menutup sulkus lateral dan mencegah
makanan jatuh ke arah lateral ke dalam sulkus di antara mandibula dan pipi.
b. Fase oral
Fase oral diawali saat lidah memulai pergerakan posterior dari bolus makanan.
Selama fase ini lidah mendorong bolus ke arah posterior sampai terjadi pemicuan
fase faring. Bagian tengah lidah secara berurutan menekan bolus ke arah posterior
melawan palatum durum. Suatu fase oral yang normal membutuhkan otot labial yang
intak untuk memastikan penutupan bibir yang sempurna sehingga mencegah
makanan keluar dari rongga mulut; pergerakan lidah yang lengkap untuk mendorong
bolus ke posterior; otot bukalis yang intak untuk memastikan material tidak jatuh ke
dalam sulkus lateralis; dan otot palatum yang normal serta kemampuan untuk
bernapas secara normal melalui hidung. Oral transit time adalah waktu yang dihitung
sejak awal pergerakan lidah untuk memulai fase oral sampai saat bolus head
melewati titik antara arkus faringeus anterior dan titik dimana batas bawah
mandibula menyilang dasar lidah, dengan nilai normal sekitar 1-1,5 detik. Pada saat
lidah bergerak membawa bolus ke arah posterior, reseptor sensorik pada orofaring
dan lidah sendiri dirangsang untuk mengirimkan informasi sensorik ke korteks dan
batang otak. Selanjutnya, pusat pengenalan sensorik pada medula dalam nukleus
traktus solitaris mengidentifikasi stimulus menelan dan mengirimkan informasi ke
nukleus ambigus yang kemudian menginisiasi fase faringeal. Pada saat bolus head
melewati setiap titik yang terletak antara arkus faringeus bagian anterior dan daerah
dimana dasar lidah melintasi tepi bawah mandibula, fase oral berakhir dan fase
faringeal dipicu.
c. Fase faringeal

9
Fase faringeal dimulai saat terjadi proses pemicuan. Pada fase ini terjadi
beberapa aktifitas: 1) elevasi dan retraksi velum serta penutupan sempurna dari port
velopharyngeal untuk mencegah masuknya material ke dalam rongga hidung; 2)
elevasi dan pergerakan anterior dari hioid dan laring; 3) penutupan laring oleh 3
sfingter untuk mencegah masuknya material ke dalam jalan napas; 4) terbukanya
sfingter krikofaringeal untuk memungkinkan masuknya material dari faring ke
esofagus; 5) melandainya dasar lidah untuk membawa bolus ke faring diikuti retraksi
dasar lidah untuk menyentuh bagian anterior dari bulging posterior dinding faring;
dan 6) kontraksi dari atas ke bawah yang progresif dari otototot konstriktor faringeal.
Pharyngeal transit time adalah waktu yang dihitung sejak bolus bergerak dari titik
dimana fase faringeal dipicu melewati cricopharyngeal juncture ke dalam
esofagus,dengan nilai normal 0,35-0,48 detik, dan maksimum bisa sampai 1 detik.
d. Fase esofageal
Waktu transit esofageal diukur dari saat bolus memasuki esofagus pada UES,
melewatinya, dan masuk ke dalam lambung melalui LES, dengan nilai normal
bervariasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang dimulai pada puncak esofagus
mendorong bolus dengan pola berurutan ke arah kaudal sepanjang esofagus sampai
LES terbuka dan memungkinkan bolus memasuki lambung. Fase esofageal ini tidak
dapat diintervensi dengan terapi latihan atau teknik kompensasi apapun; oleh sebab
itu, bila ditemukan kecurigaan adanya gangguan pada fase esofageal, penderita perlu
dirujuk ke ahli gastroenterologi sehingga bisa dilakukan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut.

Gambar 3. Fisiologis Proses Menelan

10
4. Etiologi
Disfagia dapat terjadi pada satu atau lebih fase menelan dan dapat disebabkan oleh
berbagai macam penyebab (Tabel 1). Penderita dengan gangguan neurologik lebih sering
mengalami gangguan pada fase oral.22
a. Disfagia Orofaring
Disfagia Orofaring (OPD) digambarkan sebagai ketidakmampuan untuk memulai
menelan,mengakibatkan kegagalan transfer bolus dari mulut ke kerongkongan.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai hal kelainan neurologis dan otot,
termasuk stroke akut, sklerosis lateral amiotrofik, Huntington penyakit, penyakit
Parkinson, miastenia gravis, polimiositis, dan distrofi miotonik. Untuk ini pasien,
gangguan menelan dapat menyebabkan aspirasi yang mengancam jiwa. Meskipun
disfagia biasanya terjadi disertai dengan banyak manifestasi gangguan neurologis
dan/atau otot lainnya, OPD mungkin terjadi menjadi satu-satunya manifestasi
nyata.22
b. Disfagia Esofagus
Disfagia Esofagus (DE) ditandai dengan kesulitan dalam mengangkut bahan yang
tertelan ke kerongkongan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan mekanis
atau motorik. Kumpulan kelainan sebelumnya mencakup penyebab intrinsik yang
menghalangi aliran luminal (cincin atau jaring, striktur peptik, karsinoma
esofagus, dan sebagainya) atau penyebab ekstrinsik yang juga dapat menyumbat
esofagus melalui kompresi dinding (tumor ekstraesofagus, pembesaran kelenjar
getah bening, tulang belakang).instrumentasi, dan sebagainya). Rangkaian
kelainan yang terakhir, gangguan motorik akibat kegagalan peristaltik (akalasia,
skleroderma) atau perkembangan peristaltik abnormal (difus spasme esofagus
[DES]).22

11
Tabel 1. Penyebab Disfagia

5. Epidemiologi
Hanya sedikit penelitian berbasis populasi yang tersedia mengenai prevalensi disfagia
di masyarakat.23 Ada beberapa faktor struktural, sosial ekonomi, usia, dan jenis kejadian
disfagia.24,25 Berdasarkan data yang terbatas, prevalensi disfagia pada populasi umum
diperkirakan sekitar 20%, dan diperkirakan mempengaruhi hingga 50% di seluruh dunia.
66% orang berusia di atas 60 tahun.26 Disfagia lebih banyak terjadi pada wanita
dibandingkan pria pada semua kelompok umur.23 Populasi yang lebih tua, pasien dengan
riwayat stroke, penyakit Alzheimer, atau sklerosis lateral amiotrofik lebih mungkin
melaporkan disfagia.27 Pada populasi yang lebih muda, disfagia sering dikaitkan dengan
penyakit sistemik yang mendasarinya, seperti penyakit autoimun, penyakit refluks
gastroesofagus (GERD), atau esofagitis eosinofilik. Meskipun prevalensinya tinggi, hanya
separuh pasien disfagia yang melaporkan gejalanya ke dokter.27 Prevalensi disfagia pada
populasi lansia dilaporkan bervariasi dari 13,8% hingga 20,1%.26,27 Penelitian lain
menemukan sekitar 50% lansia yang dirawat mengalami gangguan menelan.28 Walau
prevalensi disfagia pada lansia cukup banyak, sebagian besar penderitanya tidak
mendapatkan penanganan yang tepat. Hal ini karena identifikasi yang kurang baik dan
asumsi keluhan terkait disfagianya merupakan bagian normal dari penuaan, sehingga mereka
tidak mencari pertolongan medis atau tidak menyebutkan keluhan terkait disfagia saat
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.24
Data mengenai prevalensi disfagia di Indonesia belum tersedia dengan baik sehingga
12
beban kesehatan yang muncul juga belum diketahui. Selain itu, identifikasi disfagia
orofaring bisa menjadi cukup sulit karena memerlukan pemeriksaan yang spesifik dan
persepsi lansia yang menganggap keluhan terkait disfagia merupakan bagian normal dari
proses menua yang mereka alami.
Disfagia adalah gejala peringatan dan bukan merupakan bagian dari penuaan normal.
Setiap laporan baru mengenai disfagia harus memerlukan pendekatan sistematis untuk
membantu diagnosis dan pengobatan.

6. Diagnosis
a) Anamnesis
Data harus dikumpulkan dari riwayat kesehatan umum penderita. Riwayat
neurologik yang mungkin berhubungan dengan beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan disfagia seperti multiple sclerosis, stroke, serta penyakit Parkinson dan
Alzheimer harus ditanyakan.
Operasi yang pernah dialami penderita pada kepala dan leher juga perlu
ditanyakan. Semua pengobatan yang sedang dijalani penderita harus dicatat. Obat-
obatan dengan efek samping seperti sedasi, kelemahan otot, dan disorientasi dapat
menyebabkan disfagia. Selain itu, faktor psikososial juga dapat memengaruhi proses
menelan, terutama pada orangtua.21
Keluhan subyektif penderita dapat membantu menegakkan diagnosis disfagia,
yaitu antara lain: air liur yang mengalir berlebihan; batuk atau kesedakan saat makan;
terkumpulnya makanan pada pipi, di bawah lidah, atau pada palatum durum; suara
serak; suara cegukan setelah makan atau minum atau beberapa kali membersihkan
kerongkongan; susah mengontrol gerakan lidah; kelemahan otot wajah; harus
menelan beberapa kali untuk satu bolus makanan; slurred speech; adanya perasaan
makanan seperti tertahan di leher atau dada; dan waktu mengunyah serta waktu
makan yang lebih lama.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum sangat penting dilakukan untuk melihat adanya
penyakit kardiopulmoner, gastrointestinal, atau neurologik yang dapat memengaruhi
fungsi menelan. Pemeriksaan dilakukan juga terhadap status mental, kemampuan
bekerjasama, dan fungsi bahasa penderita. Saraf kranialis harus dinilai secara
teliti.21,29
Pemeriksaan terhadap fungsi pernapasan meliputi tanda-tanda obstruksi atau
restriksi seperti takipnea, stridor, penggunaan otot pernapasan tambahan, dan
13
pergerakan dinding dada yang asimetris. 21,29
Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan struktur pada kepala dan leher perlu
dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa secara bilateral; juga kekuatan otot-otot
wajah. Otot maseter dan temporalis dipalpasi saat penderita diminta menggigit atau
mengunyah. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada saat pemeriksaan saraf kranialis.29
Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan inspeksi intraoral untuk melihat lesi,
sisa makanan, atau kelainan struktural. Palpasi dengan sarung tangan pada dasar
mulut, gusi, fosa tonsiler, bahkan lidah, untuk menyingkirkan adanya tumor. Adanya
atrofi, kelemahan, dan fasikulasi lidah dicatat. Kekuatan lidah bisa diukur dengan
menempatkan jari pada pipi bagian luar dan menahan lidah penderita yang diminta
untuk menekan pipi dari dalam.
Palatum diinspeksi untuk melihat posisi simetris pada saat istirahat dan saat
fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi untuk menimbulkan refleks muntah, sambil
memperhatikan apakah palatum mole dan dinding faring berkontraksi secara
simetris. Adanya refleks primitif (sucking, biting, dan snout) perlu dicatat.
Terdapatnya refleks-refleks ini pada orang dewasa mengindikasikan adanya
kerusakan pada kedua hemisfer atau lobus frontalis yang menyebabkan kelemahan
oral motor control.29
c) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk mendiagnosis gangguan


menelan ialah: videofluorographic swallowing study (VFSS), fiberoptic endoscopic
evaluation of swallowing (FEES), dan ultrasonografi.
 Videofluorographic swallowing study (VFSS)
Videofluorographic swallowing study merupakan baku emas untuk
mengevaluasi proses menelan. Pada pemeriksaan ini penderita diminta untuk
duduk dengan nyaman dan diberikan makanan yang dicampur barium agar
tampak radiopak. Saat penderita sedang makan dan minum dilakukan
observasi gambaran radiologik pada monitor video dan direkam.
 Fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES)
FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu hipofaringeal, dan
mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop dimasukan melalui hidung
melewati nasofaring dan ditempatkan di dalam laringofaring di atas pita suara
palsu. Bolus berbentuk cair dan padat diberi warna hijau sehingga mudah
14
dilihat.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi digunakan untuk menilai fungsi oral saja, yaitu fungsi
lidah dan oral transit time; juga gerakan tulang hioid. Metode ini merupakan
suatu pemeriksaan yang noninvasif dan hanya menggunakan cairan dan
makanan biasa.

7. Penanganan Rehabilitasi Pada Penderita Disfagia


Terdapat beberapa cara penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu: teknik
postural, modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan, modifikasi diet,
compensatory swallowing maneuver, teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness,
stimulasi elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan yang digunakan.
a. Teknik postural
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan
tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia. Sebaiknya
terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang dialami
penderita sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik postural yang
digunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head rotation, head tilt, dan lying
down.
b. Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan
Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus
yang besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang mengalami
gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan untuk setiap bolus.
Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat akan
menyebabkan terkumpulnya bolus di dalam laring dan menyebabkan aspirasi
sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara lambat akan
mengurangi terjadinya aspirasi.29
c. Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah menyebabkan
aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum terjadinya refleks
menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat lunak lebih aman karena
kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih kecil. Selain itu, bolus yang lebih
kental meningkatkan pergerakan lidah dan membantu mempercepat terjadinya
inisiasi fase faringeal.2,17
15
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan
diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali menelan. Penderita
juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan makanan
kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan pilihan.18
d. Compensatory swallowing maneuver
Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari proses
menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:2,19
- Effortful swallow: bertujuan memperbaiki gerakan dasar lidah ke arah
posterior selama fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan
menggerakan lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu perjalanan bolus
melewati rongga faring.
- Supraglotic swallow: bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama
proses menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau minuman di
tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik napas dalam kemudian
ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil tetap menahan napas, dan batuk
dengan segera setelah menelan.
- Super-supraglotic swallow: dirancang untuk menutup pintu masuk jalan
napas secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke anterior, ke bagian
dasar dari epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta menutup erat pita suara
palsu.
- Mandehlson maneuever: penderita diminta untuk merasakan adanya sesuatu
bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian melakukan proses
menelan kembali (menggunakan dry swallow atau dengan 1 ml air) tetapi diminta
untuk menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian menelan dan rileks.

e. Teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness


Terdapat beberapa jenis teknik yang meliputi:2,19,20
1. Menekan sendok ke arah bawah melawan lidah saat pemberian makanan ke dalam
mulut.
2. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti bolus dingin,
bolus dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa yang kuat seperti jus lemon
3. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses mengunyah tersebut akan

16
memberikan stimulasi oral.
4. Memberikan volume bolus yang besar.
5. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan stroking pada arkus
faringeus anterior. Stroking dilakukan menggunakan kaca laring berukuran 00 (telah
dimasukan dalan es selama ±10 detik) pada arkus faringeus anterior dari bagian dasar
ke arah atas sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini diangap bisa memberikan stimulus
sensorik ke batang otak dan korteks sehingga saat penderita sudah mulai fase oral,
maka fase faringeal akan terpicu lebih cepat.
f. Stimulasi elektrikal
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan memberikan
stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas
otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini
menunjukkan bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman untuk
penderita disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES ini
efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker pada kepala dan
leher, serta multipel sklerosis.
g. Terapi Latihan
Terapi latihan digunakan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup
gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita
suara. Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain: latihan LGS rahang,
latihan penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan metode Shaker.
h. Penyesuaian peralatan yang digunakan
Beberapa peralatan telah dibuat untuk membantu penderita disfagia, termasuk
penderita yang juga mengalami kelemahan ekstremitas atas yang akan memengaruhi
kemandirian penderita untuk makan. Peralatan tersebut misalnya gelas dengan
sedotan, nose cutout cup, plate guard, sedotan, serta garpu dan sendok yang
dimodifikasi.20,32

8. Komplikasi
Komplikasi disfagia dapat berupa aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, obstruksi
jalan napas bila bolus berukuran cukup besar yang memasuki jalan napas, dan
kematian.2,31

17
9. Prognosis
Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke atau traumatic brain injury memiliki
potensi untuk pulih. Mann et al. mendapatkan bahwa sekitar 87% penderita stroke
kembali ke diet semula setelah 6 bulan, tetapi hasil videofluroskopi menunjukkan
terdapat 51% penderita yang tetap menunjukkan adanya gangguan pada proses menelan.
Penderita dengan kondisi yang statis atau progresif seperti amyothropic lateral sclerosis,
multipel sklerosis, muskular distrofik, dan Parkinsonisme harus dievaluasi secara
periodik, dengan mempertimbangkann pemberian nonoral feeding.20,30

18
BAB 3

PENUTUP

Diagnosis dan penanganan dini penderita disfagia sangat diperlukan. Penanganan


disfagia dalam bidang rehabilitasi medik bertujuan untuk mempertahankan asupan nutrisi
yang adekuat dan memaksimalkan proteksi terhadap jalan napas; dalam hal ini sangat
diperlukan kerjasama tim rehabilitasi dengan bidang spesialisasi lainnya.
Disfagia sangat umum dan saat ini sedang dipertimbangkan gejala alarm yang memerlukan
evaluasi segera. Memahami perbedaan OPD dan DE dapat mengarahkan pengujian yang
lebih tepat dan menegakkan diagnosis banding. Sebagian besar kasus DE dapat dievaluasi
dengan endoskopi atas tanpa memerlukan barium sebelumnya esofagram. Pengobatan
tergantung pada patofisiologi yang menyebabkan disfagia. ssssssssssssssssssssssssssssssssss

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Skavaria AM, Schroeder-lopez RA. Dysphagia Management. In: Gillen G, Burkhard A,


editors. Stroke Rehabilitation: A Functional Based Approach. St Louis: Mosby, 1998; p.
407-22.
2. Longemann JA. Evaluation and Treatment of Swallowing Disorder (Second Edition).
Austin: Pro-ed, 1998.
3. Fass R, Gasiorowska A. Current approach to dysphagia. Gastroenterology and Hepatology
Journal. 2009;5:269-79.
4. Falsetti P, Acciai C, Palilla R, Bosi M, Carpinteri F, Zingarelli A, et al. Oropharyngeal
dysphagia after stroke: Incidence, diagnosis and clinical predictor in patients admitted to
neurorehabilitation unit. Journal of Stroke and Cerebrovascular Disease. 2009;18:329-35.
5. Martino R, Foley N, Bhogal S, Diamant N, Speechley M, Teasell R. Dysphagia after
stroke incidence, diagnosis and pulmonary complication. Stroke. 2005;36:2756-63.
6. Hamiddon BB. Risk factors and outcome of dysphagia after an acute ischaemic stroke.
Med J Malaysia. 2006;61:553-57.
7. Abdel Jalil AA, Katzka DA, Castell DO. Approach to the patient with dysphagia. Am J
Med 2015;128:1138 e1117-1123.
8. Yamada’s Handbook of Gastroenterology. 3 ed: Wiley-Blackwell, 2013.
9. Sakamoto Y. Gross anatomical observations of attachments of the middle pharyngeal
constrictor. Clin Anat. 2014 May;27(4):603-9.
10. Heyd C, Yellon R. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island (FL): May
1, 2023. Anatomy, Head and Neck, Pharynx Muscles.
11. Ball M, Hossain M, Padalia D. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL): Jul 25, 2023. Anatomy, Airway.
12. Kagaya H, Yokoyama M, Saitoh E, Kanamori D, Susa C, German RZ, Palmer JB. Isolated
pharyngeal swallow exists during normal human feeding. Tohoku J Exp Med. 2015
May;236(1):39-43
13. Shaw SM, Martino R. The normal swallow: muscular and neurophysiological control.
Otolaryngol Clin North Am. 2013 Dec;46(6):937-56.
14. Casale J, Shumway KR, Hatcher JD. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Mar 17, 2023. Physiology, Eustachian Tube Function.
15. Rizvi S, Wehrle CJ, Law MA. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL): Jul 24, 2023. Anatomy, Thorax, Mediastinum Superior and Great Vessels.

20
16. Bains KNS, Kashyap S, Lappin SL. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Jul 24, 2023. Anatomy, Thorax, Diaphragm.
17. Mahabadi N, Goizueta AA, Bordoni B. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
Treasure Island (FL): Oct 17, 2022. Anatomy, Thorax, Lung Pleura And Mediastinum.
18. Bardo DME, Biyyam DR, Patel MC, Wong K, van Tassel D, Robison RK. Magnetic
resonance imaging of the pediatric mediastinum. Pediatr Radiol. 2018 Aug;48(9):1209-
1222.
19. Ilahi M, St Lucia K, Ilahi TB. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL): Jul 24, 2023. Anatomy, Thorax, Thoracic Duct.
20. Zorowitz RD. Speech therapy and disorder of deglutition. In: Lazar RB, editor. Principles
of Neurologic Rehabilitation. Chicaggo: Mc Graw-Hill, 1997; p. 491-511.
21. Miller RM, Groher M, Yorkston KM, Rees TS, Palmer JB. Speech, language, swallowing
and auditory rehabilitation. In: Delisa JA, Gans BM, Walsh NE. editors. Physical Medicine
and Rehabilitation, Principle and Practise, Volume 1 (Fourth Edition). Philadelphia:
Lippincot Williams and Wilkins, 2005; p. 1025-50.
22. Prasad GA. Clinical approach to a patient with dysphagia. Medicine update. Available
from: http://www.apiindia.org/pdf/medicine_update_2007/63.pdf.
23. Cho SY, Choung RS, Saito YA, Schleck CD, Zinsmeister AR, Locke GR, 3rd, et al.
Prevalence and risk factors for dysphagia: a USA community study. Neurogastroenterol
Motil 2015;27:212-219.
24. Spieker MR. Evaluating dysphagia. Am Fam Physician 2000;61:3639-3648.
25. Eslick GD, Talley NJ. Dysphagia: epidemiology, risk factors and impact on quality of life-
-a population-based study. Aliment Pharmacol Ther 2008;27:971-979.
26. Johnston BT. Oesophageal dysphagia: a stepwise approach to diagnosis and management.
Lancet Gastroenterol Hepatol 2017;2:604-609.
27. Wilkins T, Gillies RA, Thomas AM, Wagner PJ. The prevalence of dysphagia in primary
care patients: a HamesNet Research Network study. J Am Board Fam Med 2007;20:144-
150.
28. Sleisenger and Fordtran’s gastrointestinal and liver disease : pathophysiology, diagnosis,
management. In: Feldman M FL, Brandt LJ, ed. Volume 1. 10th ed: Elsevier Saunders,
2016; 185-193.
29. Palmer JB, Pelletier CA, Matsuo K. Rehabilitation of patient with swallowing disorder. In:
Braddom RL, editor. Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2007; p. 581-600.

21
30. Mann G, Hankey GJ, Cameron D. Swallowing function after stroke: Prognosis and
prognostic factors at 6 months. Stroke. 1999;30;744-8.
31. Tan J. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St Louis: Mosby,
1998:515-37.
32. Jelm JM. Treatment of feeding and swallowing disorders in children: An overview. In:
Cherney LR, editor. Clinical Management of Dysphagia in Adults and Children (Second
Edition). Maryland: Aspen Publisher, 1994; p.185-98

22

Anda mungkin juga menyukai