Anda di halaman 1dari 5

Brigita XI IPA 1 05

Tak Semua seperti yang Terlihat

Ia adalah seorang perempuan yang berprestasi, ramah, periang, dan banyak orang yang
menyukainya. Kinala Arnesya namanya, namun ia lebih akrab dipanggil Nala oleh sebagian
besar temannya. Prestasinya amat sulit dikalahkan oleh teman sebayanya bahkan hingga ia
duduk di bangku kelas 2 SMA. Nala dan sahabat karibnya, Aksa, selalu berebut peringkat satu
ataupun dua.
Tak hanya di bidang akademik, Nala juga memiliki kelebihan dalam bidang non
akademik. Ia pernah memenangkan lomba berpidato dan membaca puisi di sekolahnya. Selain
itu, ia aktif dalam organisasi Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK) sebagai sekretaris.
Ditambah, ia juga cukup mahir dalam permainan bola basket namun hanya menjadikan olahraga
tersebut sebagai hobi.
Dilahirkan dari keluarga yang berada, tak membuat dirinya menjadi pribadi yang angkuh.
Melainkan hak istimewa yang dimilikinya ini memudahkan dirinya untuk mengembangkan
potensi diri sekaligus berbuat baik kepada sesama. Pertanyaan apapun mengenai pelajaran dari
temannya pasti akan Nala jelaskan secara rinci dan mendetail.
Nala memiliki tiga orang sahabat yang sangat dekat dengannya. Pertama, Aksa Raditya
yang merupakan sahabat yang paling lama mengenali dirinya. Selain memiliki nilai akademis
yang tinggi, Aksa juga berprestasi dalam olahraga, khususnya basket. Bahkan, ia sempat
mengikuti kejuaraan di tingkat provinsi yang pada saat itu, memiliki sekitar 90 tim basket dari
berbagai SMA sebagai pesaingnya. Kemudian, ada Giandra yang merupakan anggota band
sekolah sebagai pemain gitar bass. Terakhir, ada Meira yang menjadi tempatnya untuk bercerita
akan segala hal yang terjadi. Meira, atau yang lebih akrab disapa Mey, merupakan seorang yang
cukup rewel dan berbanding terbalik dengan Nala yang lebih tenang. Tak kalah dari sahabatnya,
Mey juga berprestasi sebagai anggota cheerleader di sekolahnya. Keempat sahabat ini sangat
diakui prestasinya dan saling mengembangkan diri untuk lebih baik lagi.
Suatu ketika, Nala ditunjuk oleh gurunya untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional
(OSN) dalam mata pelajaran fisika. Gurunya melakukan hal tersebut dikarenakan nilainya dalam
fisika yang melebihi siswa lain secara konsisten. Nala pun menyanggupi hal ini dan mulai
mempersiapkan dengan baik. Dalam masa persiapan, Nala juga belajar bersama dengan Araluna,
atau lebih sering dipanggil Luna.
Hari terus berganti dan beberapa bulan berlalu. Nala sering menghabiskan waktu dengan
Luna serta terkadang beberapa siswa lainnya untuk mempersiapkan OSN. Bahkan, mereka
berdua beberapa kali belajar di perpustakaan dan kafe bersama-sama. Tantangan yang mereka
hadapi tentunya tidak mudah karena mereka harus tetap seimbang antara persiapan olimpiade,
pelajaran sekolah, dan untuk Nala, ia memiliki tanggung jawab dalam organisasi MPK.
Awal bulan Mei telah tiba dan sebentar lagi, Nala dan Luna akan menghadapi OSN yang
telah mereka persiapkan beberapa bulan lalu. Mereka telah melewati berbagai tahap seleksi dan
oleh karena itu, mereka menjadi perwakilan tingkat nasional dari DKI Jakarta. Aksa, Mey, dan
Gian menyemangati Nala dengan berbagai buah tangan dan kata-kata penyemangat agar ia dapat
Brigita XI IPA 1 05

melakukannya dengan baik. Nala sangat bersyukur memiliki teman yang sangat suportif terhadap
dirinya dan hal ini membuatnya lebih termotivasi untuk memenangkan olimpiade.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Nala dan Luna telah mempersiapkan segala
keperluan untuk pergi ke kota Bandung sebagai tempat pelaksanaan kompetisi. Sebelum
meninggalkan Jakarta, orang tua Nala beserta adiknya berdoa bersama agar dapat meraih hasil
yang terbaik.
Nala dan Luna pun memasuki ruang ujian dengan mantap. Tak lupa, mereka meminta
penyertaan Tuhan supaya dapat mengerjakannya dengan baik. Seratus dua puluh menit lamanya
telah berlalu dan hal ini menandakan pengerjaan soal telah selesai.
Setelah olimpiade selesai, mereka memutuskan untuk mengeksplorasi kota Bandung dan
segala pesonanya. Mereka menghabiskan hari dengan menikmati jalan Braga yang membuat
Bandung sukses dikenal sebagai Kota Kembang. Mereka menyusuri jalanan sambil menikmati
kuliner dan sekedar melihat-lihat orang berlalu-lalang. Esoknya, mereka mengunjungi Gunung
Tangkuban Perahu. Perjalanannya cukup memakan waktu dan ketika mencapai tujuan utama,
mereka dapat merasakan dinginnya kawasan gunung sekaligus menikmati indahnya karya Sang
Pencipta. Setelah beberapa waktu, mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta untuk pulang.
Setelah kembalinya mereka ke Jakarta, banyak teman dan guru yang sangat antusias
terhadap keduanya. Aksa, Mey, dan Gian menyambut Nala dengan sangat bahagia, bahkan Mey
berlari memeluknya begitu saja sambil berteriak.
"Nala akhirnya kamu balik juga! Sudah lama banget rasanya kamu pergi, aku kangen,
deh. Pas kamu sibuk lomba, aku jadi bingung siapa lagi yang bisa aku ganggu." Mey
mengucapkannya keras-keras dan tertawa kecil di akhir kalimatnya.
"Kan ada Aksa sama Gian." Balas Nala sambil tersenyum sebal dan membalas pelukan
Mey.
"Setiap kali aku mau cerita mereka langsung pura-pura sibuk, huh!" Kata Mey sambil
melotot ke arah keduanya.
Aksa dan Gian tentunya tidak terima dengan perkataan Mey. Oleh karena itu, Aksa
membalasnya. "Habis ceritamu tidak ada yang penting. Buang-buang waktu aja."
"Setuju! Masa kemarin dia cerita ada kucing jalanan mengeong berisik sekali lalu jadi
aku yang dia marahi. Lebih baik aku latihan band," ucap Gian yang menyetujui ucapan
kawannya itu.
Tentunya Mey tidak tinggal diam. Ia langsung mengomeli kedua sahabatnya itu dengan
nada bicara yang cukup tinggi. Nala yang melihatnya hanya tertawa. Ia merindukan suasana ini
di mana ia bisa berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya.
Hasil kemenangan olimpiade pun telah diumumkan pada hari berikutnya. “Selamat
kepada Kinala Arnesya dari kelas XI MIPA 1 yang berhasil meraih medali emas dalam
Olimpiade Sains Nasional di bidang fisika!”
Banyak teman Nala yang berbondong-bondong menuju kelasnya untuk mengucapkan
selamat. Di lain sisi, seorang siswi yang sedang duduk di kursi yang tak jauh dari Nala menatap
tidak suka. Luna merasa bahwa dirinyalah yang pantas mendapatkan posisi tersebut dan
Brigita XI IPA 1 05

bukannya Nala. Sepanjang hari, ia merasa kesal dan suasana hatinya sangat buruk untuk
melakukan apapun.
Esoknya, Nala tidak masuk sekolah karena suatu kepentingan. Mulai hari itulah Luna
menyebarkan berita yang tidak benar mengenai Nala. Rumor itu pun cepat beredar ke seluruh
penjuru sekolah.
“Menurutku sih ya, si Nala bayar jurinya supaya menang. Mentang-mentang keluarganya
banyak uang,” ucap Luna kepada teman-temannya.
“Tapi ‘kan Nala memang pintar, Na. Setiap hari belajar terus,” sahut salah seorang
temannya yang cukup keberatan.
“Gak menutup kemungkinan kalau dia menyogok ‘kan?” Balas Shenna, sahabat terdekat
Luna yang tak mau kalah menjelekkan Nala.
Aksa yang duduk lumayan berdekatan dengan mereka pun mendengar pembicaraan
tersebut dengan jelas. Namun, dia diam saja sambil menahan amarah di dalam dadanya. Di
waktu yang sama, Gian dan Mey datang ke kelas XI MIPA 1 untuk mengajak Aksa ke kantin.
Mey yang mendengar itu langsung membelalakan matanya dan berjalan cepat ke arah kumpulan
anak-anak tersebut.
“Kalian ngomongin apa tentang Nala? Nyogok? Kamu ‘tuh kalau gak mampu dapet
medali emas jangan sebar rumor gak jelas, deh!” Mey dengan suaranya yang lantang langsung
mengeluarkan emosinya.
“Kok kamu seenaknya, Mey? Nilai fisikaku aja lebih tinggi dari kamu! Lagian ‘kan kamu
juga gak tahu kalau misalnya saja dia benar-benar nyogok.” Balas Luna yang tidak mau kalah
dengan argumen Mey.
“Buat apa nilai bagus tapi sikap jelek kayak kamu?”
Di saat itu juga, seluruh anak yang masih berada di dalam kelas tercengang dengan
balasan Mey yang begitu tegas. Gian yang sedari tadi hanya menonton sambil menunggu Mey
selesai dengan perdebatan tersebut pun mendekat. Ia mencoba menarik kedua sahabatnya untuk
segera pergi ke kantin. Awalnya Mey memberontak, namun setelah beberapa kali mencoba untuk
mengajaknya keluar, ketiganya pun segera keluar kelas. Luna menatap kepergian mereka dengan
raut wajah yang tidak menyenangkan.
Beberapa hari setelahnya, Nala masuk sekolah dengan perasaan yang cukup
membingungkan. Ia merasa bahwa suasana di sekitarnya tidak terlalu baik dan ia tidak tahu
mengapa. Nala sudah bertanya kepada ketiga sahabatnya namun mereka justru menjawab tidak
ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.
“Nanti kita ketemuan di kafe biasa deket rumahnya Nala, ya.” Ujar Aksa di tengah
pembicaraan mereka saat istirahat.
Sore menjelang malam, Nala telah berganti pakaian dari seragam sekolah menjadi
pakaian kasual. Ia telah sampai di kafe dan matanya hanya dapat menemukan Aksa yang duduk
menunggu sambil meminum segelas kopi. Ketika penglihatan mereka saling bertemu, Nala pun
langsung menanyakan ke mana Mey dan Gian.
Brigita XI IPA 1 05

“Mey sibuk sama cheerleader-nya, terus si Gian tiba-tiba malah main futsal. Tapi itu gak
penting buat sekarang, Kin. Aku mau kasih tahu kalau kamu diomongin yang aneh sama Luna.”
Aksa pun menceritakan kepada Kina, panggilan khusus dari Aksa, tentang hal yang didengarnya
dari Luna dan apa yang dilakukan Mey saat itu.
“Sa, tapi kamu tahu ‘kan aku sendiri nyiapin OSN ini sekeras apa?” Itulah kalimat
balasan terhadap cerita Aksa tadi.
“Aku yang paling tahu kamu. Aku tahu sebanyak apa hal yang harus kamu korbanin buat
jadi kamu yang sekarang. Makanya aku gak mungkin percaya sama dia, justru aku marah banget
tapi masih aku tahan.”
Mendengar itu, hati Nala terasa lebih tenang. Namun di lain sisi, ia merasa tidak percaya
dengan apa yang baru disampaikan oleh Aksa karena ia dan Luna baik-baik saja saat terakhir kali
mereka bertemu. Selepasnya, Aksa membayar minuman yang mereka pesan dan mengantarkan
Nala ke rumahnya meskipun sepanjang perjalanan ia hanya melamun.
Nala tiba di rumahnya dan kemudian membersihkan dirinya. Ia terduduk di sebelah
pinggir kasurnya dan termenung. Jika hal yang dikatakan Aksa benar, maka apa kesalahan yang
diperbuat Nala hingga Luna berbuat demikian? Apakah salah jika memenangkan kompetisi?
Atau mungkinkah Nala pernah melakukan kesalahan kepada Luna? Banyak pertanyaan dalam
pikirannya yang pada akhirnya membuat ia lelah dan jatuh terlelap.
Esok paginya, Nala sampai ke kelas dan telinganya tak sengaja mendengar pembicaraan
Luna dengan teman-temannya. “Kalau fisika doang mah aku juga bisa. Tapi kalau jurinya aja
sudah disogok mana mungkin aku punya kesempatan untuk menang?”
Mendengar hal itu, ia semakin percaya dengan perkataan Aksa kemarin. Aksa pun
berpindah tempat dengan murid lain ke sebelah Nala.
“Kin, udah ya, gak usah didengerin. Mereka iri aja sama kamu.” Ucap Aksa pelan kepada
Nala.
Pagi berganti siang, dan siang pun beranjak sore. Matahari hampir terbenam, namun Aksa
masih sibuk mempersiapkan dirinya untuk pertandingan basket dalam tiga minggu yang akan
datang. Ia merasa haus dan kakinya secara spontan melangkah ke kantin sekolah. Orang yang
sama sekali tak ingin ditemuinya tiba-tiba saja muncul di sampingnya. Luna, ia baru saja
menyelesaikan kegiatan jurnalistik dan memiliki tujuan yang sama dengan Aksa.
Ia tidak bergeming di samping Aksa dan hendak berbalik pulang. Namun, Aksa
memanggil namanya dan ia pun membalikkan badannya.
“Kenapa? Gak terima sama ucapanku waktu itu? Atau jangan-jangan ucapanku ada
benarnya?” Luna langsung menanyakan berbagai hal yang ada di kepalanya.
“Bukan. Aku paham kalau kamu kecewa sama kekalahan kamu. Tapi itu gak ada sangkut
pautnya sama Kina. Dia berusaha keras, wajar kalau dia menang.” Balas Aksa sambil membuka
tutup botol minumnya.
“Aku juga belajar susah payah, sampai kurang tidur karena jam 1 pagi aku baru selesai.”
Brigita XI IPA 1 05

“Persiapan Kina lebih matang dari kamu. Beberapa bulan yang lalu berturut-turut, dia
bahkan tidur sampai jam 5 pagi kalau bukan aku yang ingetin. Pernah dia sampai mimisan
bahkan demam. Tapi dia gak pernah ngeluh, dia orang paling tangguh yang aku kenal.”
Luna diam sebentar sambil mencerna perkataan lawan bicaranya tersebut. Tak lama
setelahnya, Aksa melanjutkan perkataannya.
“Dari kecil, Kina memang pekerja keras. Kamu tahu kenapa? Dia mau adiknya bangga
sama dia. Kalau kamu lihat Kina kadang absen, dia itu nemenin adiknya di rumah sakit.
Adiknya, Dara, mengidap leukemia cukup lama.” Aksa menghela napasnya sebentar dan
melanjutkan kalimatnya. “Seharusnya aku gak kasih tahu kamu tentang ini, tapi kamu udah
keterlaluan banget karena rasa irimu.”
“Aku baru tau, Sa. Maaf kalau memang sikapku ini sangat tidak pantas, sebenarnya aku
tidak menyukainya sejak lama. Karena aku gak akan pernah bisa jadi lebih baik dari dia.”
“Bukan aku yang seharusnya dengar permintaan maaf dari kamu, tapi Kina.” Sebelum
pergi, ia berkata lagi. “Meskipun Kina dari keluarga berada, dia gak pernah dimanja. Apalagi
kamu bilang orang tuanya nyogok. Tolong pikir dulu sebelum bicara.”
Aksa pun mengakhiri perbincangan itu dengan melangkah kembali menuju lapangan
sekolah sambil meninggalkan Luna yang terdiam di tempatnya.
Seperti yang dikatakan Aksa, ia bertekad untuk meminta maaf secara langsung kepada
Nala. Ia berada di dalam kelas hanya berdua dengan Nala setelah pulang sekolah. Kedua pasang
mata itu saling beradu pandang dan memperlihatkan mata Luna yang telah berair.
“Na, kamu kenapa? Kok tiba-tiba nangis? Aku ada salah sama kamu?” Nala justru
mengkhawatirkan kondisi temannya itu dan hal ini membuat Luna semakin tersedu.
“Kamu kenapa harus peduli sama aku, sih? ‘Kan kamu tahu aku udah jahat sama kamu.”
Nala kemudian menenangkan temannya itu dan berkata bahwa ia tidak benci sama sekali,
namun hanya sedikit kecewa. Ada ruang dalam hatinya yang tersayat ketika mendengar bahwa
Luna yang menyebarkan rumor buruk tentang dirinya.
“Aku minta maaf sama kamu, Nal. Gak seharusnya aku nyebarin yang aneh-aneh tentang
kamu padahal aku tahu kamu selalu baik ke siapa aja. Maaf aku malah nyalahin kamu padahal
gak ada sangkut pautnya sama kekalahan aku. Usaha kamu lebih keras, kamu pantes dapet
medali itu.”
Nala tertegun dengan perkataan kawannya itu. Ia menarik Luna ke dekapannya dan
dibalasnya. Hubungan mereka pun membaik dan dari sinilah berita buruk tentang Nala tak
pernah diungkit lagi. Luna memberi tahu segala hal yang dikatakan Aksa kepadanya dan
kemudian menawarkan diri untuk menjenguk Dara. Nala dengan berbaik hati menerimanya dan
untuk beberapa waktu ke depan, mereka berteman baik tanpa niat untuk saling menjatuhkan.

Anda mungkin juga menyukai