Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Cairan

1. Cairan Tubuh

Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat
tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan
partikel – partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam
larutan. Cairan can elektrolit akan masuk kedalam tubuh melalui makanan,
minuman dan cairan intravena dan di distribusi ke seluruh bagian
tubuh(Rudi, 2013). Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan
ekstrasel. Dua pertiga bagian (67%) dari cairan tubuh berada di dalam sel
(cairan intrasel/CIS) dan sepertiganya (33%) berada di luar sel (cairan
ekstrasel/ CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang
meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan, dan cairan intersisial
yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua
kompartmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati cairan tubuh,
yaitu cairan transel. Namun, volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan
sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll (Sherwood, 2012).
Cairan tubuh berpindah antara kedua kompartemen untuk
mempertahankan keseimbangan nilai cairan. Pergerakan cairan tubuh
ditentukan oleh beberapa proses transpor yaitu difusi, transpor aktif, filtrasi,
dan osmosis. Difusi adalah proses pergerakan partikel dalam dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan
Transport Aktif adalah bahan bergerak dari konsentrasi rendah ke tinggi.
Banyak zat terlarut penting ditransport secara aktif melewati membran sel
meliputi natrium, kalium, hidrogen, glukosa dan asam amino. Filtrasi
adalah merembesnya suatu cairan melalui selaput permeable. Arah
perembesan adalah dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi ke daerah
dengan tekanan yang lebih rendah. Osmosis adalah gerakan air melewati

5
6

membran semipermeable dari area dengan konsentrasi zat terlarut rendah ke


area dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Osmosis dapat terjadi
melewati semua membran bila konsentrasi zat terlarut pada kedua area
berubah (Poter & Perry, 2006).

2. Keseimbangan Cairan

Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang


normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen interaseluler
dan ekstraseluler. Di dalam tubuh sesorang yang sehat volume cairan tubuh
dan komponen kimia dari cairan tubuh selalu berada dalam kondisi dan
batas yang nyaman. Dalam kondisi normal intake cairan sesuai dengan
kehilangan cairan tubuh yang terjadi. Kondisi sakit dapat menyebabkan
gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Dalam rangka
mempertahankan fungsi tubuh, tubuh akan kehilangan cairan yaitu melalui
proses penguapan ekspirasi, penguapan kulit, ginjal, ekskresi proses
metabolism. Cairan dalam tubuh dikatakan seimbang apabila antara cairan
yang masuk dan cairan yang keluar tubuh sama atau dengan toleransi
kelebihan atau kekurangan + 50 ml (Rudi, 2013)
Pengaturan keseimbangan cairan terjadi melalui mekanisme haus
hormone anti deuretik, hormone aldosterone, prostaglandin, dan
glukokortikoid. Pada keadaan normal, seseorang mengonsumsi air rata –
rata sebanyak 2000 – 2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun
makanan padat dengan kehilangan cairan rata – rata 250 ml dari feses, 800
– 1500 ml dari urin, dan hamper 600 ml kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss) yaitu dari kulit dan paru – paru (Rudi,
2013). Keseimbangan cairan dan elektrolid dipengaruhi oleh beberapa
factor yaitu usia, suhu/ temperature lingkungan, kondisi psikologis (stress),
keadaan sakit, dan diet (Ambarwati 2014).
7

3. Gangguan Keseimbangan Cairan

Ketidak seimbangan atau gangguan kesimbangan cairan dapat


terjadi apabila mekanisme kompensasi tubuh tidak mampu
mempertahankan homeostasis. Gangguan keseimbangan cairan dapat
berupa deficit volume cairan dan sbaliknya.
a. Deficit volume cairan
Deficit volume cairan adalah suatu kondisi ketidakseimbangan
yang ditandai dengan defisiensi cairan dan elektrolit di ruang ekstrasel,
namun proporsi antara keduanya (cairan dan elektrolit) mendekati
normal. Hipovolemia takanan osmotik mengalami perubahan sehingga
cairan interstisial masuk ke ruang intravascular. Akibatnya ruang
interstisial menjadi kosong dan cairan intra sel masuk ke ruang
interstisial sehingga mengganggu kehidupan sel (Ambarwati, 2014).
Deficit volume cairan merupakan perubahan cairan tubuh yang
paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah
kehilangan cairan pada pasien gangguan gastrointestinal, cedera pada
jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus,
dan luka bakar. Pada keadaan akut akan menimbulkan tanda gangguan
pada system persyarafan dan jantung(Rudi, 2013)
b. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan adalah kondisi ketidakseimbangan yang
ditandai dengan kelebihan cairan dan natrium di ruang ekstrasel.
Kondisi ini dikenal dengan hypervolemia. Manifestasi klinis yang
kerap muncul terkait kondisi ini adalah peningkatan volume darah dan
edema. Edema terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan
penurunan tekanan osmotik. Edema yang sering muncul adalah edema
pada daerah mata, jari, dan pergelangan kaki. Edema pitting adalah
edema yang muncul didaerah perifer. Jika area tersebut ditekan, maka
akan terbentuk cekungan yang tidak langsung hilang jika dilepaskan.
Sedangkan edema non – pitting adalah sebaliknya, pada edema non –
pitting cairan dalam jaringan tidak dapat dialihkan ke area lain dengan
8

penekanan jari. Ini karena edema non – pitting tidak menunjukan


kelebihan cairan ekstrasel, melainkan kondisi infeksi atau trauma yang
menyebabkan pengumpulan cairan di permukaan jaringan. Kelebihan
cairan vascular meningkatkan tekanan hidrostatik dan tekanan cairan
pada permukaan interstisial (Ambarwati, 2014).

4. Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan transeluler berwarna


jernih yang mengelilingi otak dan medula spinalis. CSS bersirkulasi di
ruang subaraknoid, dan memberikan perlindungan kepada otak terhadap
getaran fisik (Corwin, 2009). Cairaan serebrospinal disekresi oleh pleksus
koroideus yang terdapat di setiap ventrikel. Cairan serebrospinal yang
dihasilkan jernih dan tidak berwarna yang terdiri dari air, elektrolit dan gas
oksigen , karbondioksid yang terlarut, glukosa, beberapa leukosit
(terutama limfosit), dan sedikit protein. Cairan ini berbeda dengan cairan
ekstraseluler lainnya karena mengandung kadar natrium dan klorida yang
lebih tinggi, sedangkan kadar glukosa dan kaliumnya rendah (Muttaqin,
2008). CSS diproduksi dan direabsorbsi terus – menerus dalam SSP.
Volume total CSS di seluruh rongga serebrospinal sekitar 125 ml,
sedangkan kecepatan sekresi pleksus koroideus sekitar 500 sampai 750 ml
per hari. Adanya tekanan pada cairan serebrospinal akan memengaruhi
kecepatan proses pembentukan cairan dan resistensi reabsorbsi oleh vili
araknoidalis (Price, 2006).
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran,
menjaga jaringan SSP yang sangat halus dari benturan terhadap struktur
tulang yang mengelilinginya dan dari cidera mekanik. Juga berfungsi
dalam pertukaran nutrient antara plasma dan kompartemen selular (Hudak,
Gallo, 2010).
9

5. Sirkulasi otak

SSP (Sistem Saraf Pusat) seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat
bergantung pada keadekuatan aliran darah untuk nutrisi dan pembuangan
sisa metabolismenya. Suplai darah arteria ke otak merupakan suatu jalinan
pembuluh – pembuuh darah yang bercabang – cabang yang berhubungan
erat dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat
untuk sel (Muttaqin, 2008).
Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20%
pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya
(Price&Wilson, 2006). Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri
karotis interna dan arteri vertebralis. Dari dalam rongga kranium, keempat
arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu
sirkulus Willisi. Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan arteri
basilar dan karotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua arteri
serebral, arteri komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan
kedua arteri komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan
darah bersirkulasi dari satu hemisfer ke hemisfer yang lain dan dari bagian
anterior ke posterior otak. Ini merupakan sistem yang memungkinkan
sirkulasi kolateral jika satu pembuluh darah arteri mengalami penyumbatan.
Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem: kelompok vena interna
yang mengumpulkan darah ke vena galen dan sinus rektus, dan kelompok
vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer otak yang mencurahkan
darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan
seterusnya ke vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung.

B. Konsep Stroke

1. Pengertian

Stroke adalah gangguan fungsi otak baik itu sebagian atau


menyeluruh akibat tersumbatnya aliran darah atau pecahnya pembuluh
darah tertentu di otak, sehingga menyebabkan sel-sel otak kekurangan
10

darah, oksigen, atau zat-zat makanan dan akhirnya dapat menyebabkan


kematian sel-sel otak dalam waktu yang singkat (Dourman, 2013).
Sedangkan menurut Batticaca (2009) stroke adalah suatu keadaan
yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang
menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.

2. Klasifikasi

Menurut (Junaidi, 2011), stroke dibagi menjadi dua yaitu :


a. Stroke perdarahan ( hemoragik)
Stroke hemoragik adalah stroke yang diakibatkan oleh
pembuluh darah yang pecah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan merembes ke daerah otak dan merusaknya. Menurut
letaknya, stroke hemoragik dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Perdarahan subarachnoid (PSA) adalah perdarahan yang terjadi
didalam selaput otak.
2) Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah peredaran darah yang terjadi
didalam jaringan otak.

b. Stroke Non Hemoragik (Stroke Iskemik)


Stroke non hemoragik adalah stroke yang diakibatkan oleh
penyumbatan di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke
otak. Stroke non hemoragik berdasarkan penyebabnya, yaitu :
1) Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh
karena trombosis di arteri karotis interna.
2) Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
emboli yang pada umunya berasal dari jantung.
11

3. Etiologi

Menurut Smeltzer, Mardella, Yulianto (2013) stroke biasanya


diakibatkan oleh salah satu kejadian ini:
a. Trombosis serebral
Arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral
adalah penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan
penyebab paling umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral
bervariasi. Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa
pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan
beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari
haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral. Secara umum,
thrombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan
bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh
dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endocarditis,
infeksi, penyakit jantung rematik, dan infark miokard, serta infeksi
pulmonal adalah tempat-temapt asal emboli. Mungkin saja bahwa
pemasangan katup jantung prostetik dapat mencetuskan stroke, karena
dapat meningkatkan insiden embolisme setelah prosedur ini. Risiko
stroke setelah pemasangan katup dapat dikurangi dengan terapi
antikoagulan, pascaoperatif. Kegagalan pacu jantung, fibrilasi atrium
dan kardioversi unyuk fibrilasi atrium adalah kemungkinan penyebab
lain dari emboli serebral dan stroke. Emboli biasanya menyumbat
arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi
serebral.
Awitan hemiparesis dan hemiplegia tiba-tiba dengan atau
tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit
jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebri.
12

c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama
karena konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
Manifestasi paling umum SIS (Stroke Intraserebral).

4. Patofisiologi

Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan


perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20%
adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan
subaraknoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma akibat hipertensi kronik. Hal ini paling sering terjadi di
daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik
menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100 – 400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut
berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma. Pada
kebanyakan penderita, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba
menyebabkan rupture pada arteri yang kecil. Keluarnya darah dari
pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriol dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal
ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).
Volume perdarahan yang besar mengakibatkan kebocoran atau hilangnya
protein ke dalam jaringan sehingga menurunkan tekanan osmotik cairan
interstisial sehingga berakibat mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan
ekstravaskuler dan akumulasi cairan ini disebut dengan edema (Smeltzer
& Bare, 2002). Akibat dari pecahnya pembuluh otak menyebabkan
perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan
penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan,
sehingga otak akan membengkak (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak dapat mempengaruhi komponen yang ada
ruang intracranial. Menurut hukum Monroe – Killie pada orang dewasa
13

otak berada dalam tengkorak yang volumenya selalu konstan. Ruang


intrakranial terdiri atas parenkim otak sekitar 83%, darah 6%, dan cairan
serebrospinal (LCS) 11%. Peningkatan volume salah satu komponen akan
dikompensasi oleh penurunan volume komponen lainnya untuk
mempertahankan tekanan yang konstan. Jaringan otak pada dasarnya tidak
dapat dimampatkan, jadi peningkatan tekanan intrakranial karena
pembengkakan otak akan mengakibatkan ekstrusi LCS dan darah
(terutama vena) dari ruang intrakranial, fenomena ini disebut kompensasi
spasial. LCS memegang peranan pada kompensasi ini karena LCS dapat
dibuang dari ruang intrakranial ke rongga spinalis. Bila mekanisme
kompensasi ini lemah, maka akan terjadi sedikit peningkatan volume dan
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial(Smith, M. 2008).
Edema serebral mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intra kranial (TIK). Adanya peningkatan TIK mengakibatkan penurunan
kesadaran yang kemudian menimbulkan vasospasme arteri serebral
sehingga terjadi infark jaringan karena tidak bisa dialiri oleh darah.
Akibatnya terjadi gangguan perfusi jaringan serebral yang menyebabkan
deficit neurology (Rendy, 2012). Perdarahan pada otak dapat berakibat
kematian. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer
otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan
kebatang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga
kasus perdarahan otak dinukleus kaudatus, thalamus, dan pons. (Misbach,
2011).

5. Faktor resiko

Menurut Nurarif & Kusuma (2013) faktor resiko stroke dapat


dikategorikan kedalam faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan
dapat dimodifikasi:
a. Faktor yang tidak dapat dirubah
1) Jenis kelamin : pria lebih sering ditemukan menderita stroke
disbanding wanita
14

2) Usia : semakin tinggi usia semakin tinggi pula resiko terserang


penyakit stroke
3) Keturunan : adanya riwayat keluarga yang terkena stroke
b. Faktor yang dapat diubah
1) Hipertensi merupakan factor resiko utama
2) Penyakit jantung
3) Kolesterol tinggi
4) Obesitas
5) Diabetes mellitus
6) Stress emosional
7) Merokok
8) Peminum alkohol
9) Obat-obatan terlarang
10) Aktivitas yang tidak sehat

C. Asuhan keperawatan gangguan keseimbangan cairan

1. Pengkajian

Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas


klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.
a. ldentitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
15

c. Riwayat Keperawatan Sekarang


Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak,
pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri
kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
d. Riwayat Keperawatan Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat keperawatan keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,
diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psiko, sosio dan spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam
16

keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul


pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak
berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.
Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan kepercayaan, klien
biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang
tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mernengaruhi
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi
stabilitas emosi serta pikiran klien dan keluarga. Perawat juga
memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah,
keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang
akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem
dukungan individu.
g. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
17

dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik


pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi
thoraks didapatkan tactil fremitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan
darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif
(tekanan darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area
yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
a) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang
paling mendasar dan parameter yang paling penting yang
membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
18

disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk


membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian Glasgow
Coma Scale (GCS) sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian
asuhan.
b) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
c) Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan saraf kranial I-XII.
(1) Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
(2) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau
lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
(3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan
paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan
penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi
yang sakit.
(4) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral,
19

serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan


eksternus.
(5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
(6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
(7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
(8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
(9) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
d) Pengkajian Refleks
Menurut Harsono (2005), pemeriksaan dengan rangsangan
untuk mengetahui fungsi neuromuscular.
(1) Refleks Biceps
Menempatkan ibu jari diatas tendon biceps, dengan
menggunakan refleks hammer ketuk tepat diatas tendon biceps.
Normalnya lengan bawah ada refleks untuk ekstensi
(2) Refleks Triseps
Dengan menggunakan refleks hammer ketuk tendon triceps
diatas siku. Normalnya lengan bawah ekstensi
(3) Refleks Patella
Pasien duduk dengan posisi menggantung, dengan refleks
hammer ketuk tendon patella, normalnya ekstensi tungkai bawah.
(4) Refleks Superficial
Buat rangsangan pada daerah perut pasien, dimulai dari
daerah lateral kemudian memutar. Normalnya akan terjadi
bilateral movement dan abdominal contact
(5) Cornea Refleks
20

Dengan menggunakan kassa yang dipilin, sentuh


corneoscleral. Normalnya kelopak mata akan menutup
(6) Refleks Palatum dan Faringeal
Sentuh jaringan lunak pada palatum dan laring. Normalnya
akan terjadi kontraksi palatum
(7) Brachioradialis Refleks
Pasien duduk dengan tangan dalam keadaan diantara
supinasi dan pronasi diatas paha pasien. Ketuk brachioradialis
(tepat diatas pergelangan tangan) dengan refleks hammer.
Normalnya tangan fleksi atau lengan bawah pronasi
(8) Achilles Refleks
Kaki pasien digantung, satu tangan memegang ujung kaki
pasien lalu ketuk tendon achilles (tepat diatas tumit bagian
belakang) dengan refleks hammer. Normalnya akan terjadi plantar
fleksi.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia
urin sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril. Inkontinensia urina yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai
muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
21

Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan


neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit Upper Motoric Neuron dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan
O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka
turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda
dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke mengalami masalah mobilitas fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa keprawatan

Menurut NANDA (2015) diagnosa keperawatan pada pasien


dengan gangguan keseimbangan cairan pada pasien stroke hemoragik
adalah :
a. Penurunan kapasitas adaptif intracranial berhubungan dengan
kerusakan serebrovaskular.
b. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
gangguan serebrovaskular.
22

3. Intervensi Keperawatan
Menurut NANDA (2015) kriteria hasil dari rencana tindakan
untuk menangani kasus gangguan keseimbangan cairan pada pasien
stroke hemoragik adalah sebagai berikut :
a. Menunjukan status sirkulasi yang membaik ditandai dengan tekanan
sistol dan diastol dalam rentang yang diharapkan 120/80 mmHg,
tidak ada peningkatan tekanan darah yang tiba – tiba, tidak ada
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial <15 mmHg.
b. Menunjukan kemampuan kognitif yang membaik ditandai dengan
berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan, menunjukkan
perhatian dan orientasi.
c. Menunjukan kemampuan sensori dan motorik kranial yang utuh
ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan tidak ada
gerakan involunter.
NIC (2015) menyebutkan bahwa intervensi yang dapat diberikan
pada pasien yaitu :
a. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Tingkat kesadaran merupakan indikator terbaik adanya
perubahan neurologi.
b. Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologi terhadap
aktivitas.
Pemantauan pada tekanan intrakranial memberikan informasi
yang membantu intervensi untuk mencegah iskemia cerebral
sekunder, mencegah agar pasien tidak mengalami herniasi otak,
serta membantu dalam memandu penggunaan terapi yang
kemungkinan dapat membahayakan seperti hiperventilasi dan
manitol. Pemantauan dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Pemantauan secara langsung adalah dengan
menggunakan alat seperti kateter intraventrikel, alat serat optik, dan
monitor epidural. Sedangkan pemantauan tidak langsung dengan
23

melihat manifestasi klinis dari peningkatan tekanan intracranial


(Morton, Fontaine, Hudak, Gallo, 2011).
c. Monitor tanda-tanda vital.
Dalam keadaan normal autoregulasi mempertahankan
keadaan tekanan darah sistemik yang berubah secara fluktuasi. Jika
terjadi kegagalan dalam autoregulasi akan menyebabkan kerusakan
vaskuler serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan
tekanan yang diikuti dengan peningkatan tekanan darah
intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK (Muttaqin 2008).

d. Posisikan kepala Head up (elevasi kepala) 30-45o


Pada posisi kepala yang dielevasi 30-45o akan
mengoptimalkan venous return (aliran balik vena) dari kepala,
sehingga akan membantu mengurangi peningkatan TIK.
Pengaturan posisi kepala dan leher pada posisi netral, dimaksudkan
untuk menghindari kompresi arteri dan vena jugularis serta
mengurangi tekanan hidrostatis CSS (Japardi, 2004).
e. Kolaborasi pemberian osmotic diuretic (manitol, urea)
Efek segera dari ekspansi plasma yang dimiliki manitol,
yaitu mengurangi viskositas darah, meningkatkan CBF (Cerebral
Blood Flow) dan metabolism oksigen serebral, memungkinkan
penurunan diameter arteriol serebral. Keadaan ini mengurangi
volume darah serebral dan tekanan intracranial (Morton, Fontaine,
Hudak, Gallo, 2011).
f. Monitor input dan output cairan
Asupan cairan meliputi cairan oral (NGT dan oral), cairan
parenteral (obat – obat intravena), makanan yang mengandung air,
irigasi kateter. Sedangkan haluaran cairan meliputi urine (volume,
kepekatan), feses (jumlah, konsistensi), drainase, dan Insesible
24

water loss ( IWL). Mencatat intake dan output cairan dilakukan


untuk mngetahui keseimbangan cairan (Smeltzer & Bare, 2002).

g. Evaluasi

Evaluasi dilakukan secara formatif untuk mengetahui respon


pasien terhadap tindakan yang telah diberikan dan juga secara
sumatif untuk mengevaluasi tindakan keperawatan sesuai tujuan
pemberian intervensi dan dilakukan sesuai dengan kerangka kerja.
Evaluasi Sumatif menggunakan format SOAP (Muttaqin, 2008)
Evaluasi hasil dari tindakan keperawatan yang diharapkan
pada pasien stroke adalah pasien menunjukan status sirkulasi yang
membaik yang ditandai dengan tekanan darah dalam rentang yang
diharapkan yaitu 120/80, tidak terjadi tanda – tanda peningkatan
tekanan intracranial. Menunjukkan kemampuan sensori dan motorik
kranial yang utuh serta menunjukan kemampuan kognitif yang
membaik (NANDA, 2015)

Anda mungkin juga menyukai