Anda di halaman 1dari 8

Ratap Tangis di Aljazair Sebuah perjuangan yang ternoda

ALJAZAIR adalah salah satu negara di Afrika Utara. Aljazair dijajah oleh Perancis yang membawa budaya dan agamanya di tengah-tengah kaum Muslimin yang berbahasa Arab. Sehingga gerakan dan kristenisasi berjalan gencar di sana. Keadaan Aljazair kurang lebih sama dengan keadaan negaranegara kaum Muslimin di dunia ini yang dijajah oleh imperialis barat. Jumiyah Al Ulama Al Muslimin Al Jazairiyyin dan perjuangannya. Pada tahun 1931 Syaikyh Abdul Hamid Badis bersama para ulama Aljazair lainnya mendirikan organisasi Jumiyah Al Ulama Al Muslimin Al Jazairiyyin dan berjuang untuk membangun dakwah Salafiyah di Aljazazir. Ide pendirian organisasi ini timbul pada tahun 1913 yang dikemukakan oleh Ibnu Badis dalam pertemuan dengan temannya dari Aljazair yang bernama Syaikh Muhammad Basyir Al Ibrahim pertemuan ini berlangsung di Madinah. Syaikh Basyir beliau juga seorang ulama Aljazair menceritakan bahwa rekannya Ibnu Badis mengajak berdiskusi dengannya setiap malam setelah shalat Isya di Masjid Nabawi. Beliau duduk di rumah Basyir sampai waktu berangkat shubuh dan berjamaah di Masjid Nabawi demikianlah kegiatan beliau setiap malam selama tiga bulan kunjungan Ibnu Badis di Madinah pada saat itu keadaan di Aljazair diliputi berbagai kebodohan terhadap agama, hingga bidah, syirik dan berbagai penyimpangan lainnya telah membudaya di sana. Thariqat Sufiyah menguasai kehidupan keagamaan di Aljazair. Syaikh Abdul Hamid Badis kemuadian mengibarkan bendera dakwah Salafiyah dengan menyerang Ahlul Bidah dan para penyeleweng agama dalam Mejelis-Majelis pengajian beliau di Aljazazir. Pada tahun 1925 beliau menerbitkan majalah Al Muntaqid, yang dengannya beliau menjelaskan manhaj Salafush Shalih dan membantah berbagai bidah yang sedang berkembang di sana. Kemudian beliau jujga menerbitkan majalah Asy Shihab. Melalui majalah ini beliau berupaya mengumpulkan dukungan berkenaan dengan upaya perbaikan umat Islam di Aljazair dengan mendirikan Al Jumiyah Al Ulama Al Jazairiyyin. Ide pendirian tersebut mendapat sambutan hangat dari para ulama seperti Syaikh Thayib Al Aqabi, Syaikh Mubarak Al Miliy, Syaikh Ar Rabbiy At Tabasiy dan lain-lain. Pada tahun 1931 melalui majalah Asy Shihab keluarlah undangan pertemuan di Al Jir (Ibukota Aljazair) pada tanggal 5 Mei hari Selasa bertepatan dengan tanggal 17 Dzulhijjah 1349 Hijriyah. Dalam pertemuan tersebut dibentuklah organisasi yang diberi nama Jumiyatul Ulama Al Jazairiyyin. Organisasi ini diketuai oleh Syaikh Abdul Hamid Badis dengan wakilnya Syaikh Muhammad Basyir Al Ibrahim. Mereka amat gencar mendidik kader-kader dengan mendirikan madrasah-madrasah di seluruh Aljazair, menerbitkan buku-buku agama dan terus menerbitkan majalah guna menyebarkan pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah dan meng-counter berbagai pemahaman dan pengamalan bidah di kalangan

umat Islam di Aljazair. Demikian juga mereka berjuang menghadang gerakan kristenisasi di kalangan Muslimin di Aljazair. Dakwah Salafiyah hidup subur di Aljazair, sehingga Ahlul Bidah merasa sangat terancam dengan dakwah ini. Lima tahun setelah berdirinya organisasi ini Syaikh Muhammad Basyir Al Ibrahim membentangkan program pokok organisasi ini sebagai berikut : 1. Memerangi thariqat sufiyah, karena tidak akan sempurna upaya perbaikan keadaan umat di Aljazair selama masih adanya thariqat sufiyah. 2. Menyebarkan upaya pengajaran di kalangan anak kecil dan orang dewasa yang terbebas dari campur tangan pemerintah Perancis. 3. Menghadang laju kristenisasi dan komunis di Aljazair. Dakwah Salafiyah di Aljazair dimulai oleh para ulama tersebut di atas, namun kemudian redup sepeninggal mereka, khususnya setelah kemerdekaan Aljazair dari Perancis. Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Tabligh di Aljazair. Dengan makin melemahnya dakwah Salafiyah, maka tumbuhlah dakwah khalifiyah Ikhwanul Muslimin di Aljazair. Umat Islam mulai lalai dari kewajiban menuntut ilmu Salafus Shaleh sebagaimana mereka pernah diajari oleh para ulama yang telah meninggal tersebut. Pada saat demikian mulailah tumbuh gerakan ikhwaniyah. Mayoritas kaum Muslimin yang bodoh menyambut gembira gerakan ini, hingga mereka seolah-olah lupa terhadap dakwah Salafiyah. Bersamaan dengan ini tumbuh dan berkembang pulalah gerakan Jamaah Tabligh dari India. Tokoh yang membawa dakwah Ikhwaniyah ini adalah seorang budayawan Aljazair yang bernama Malik bin Nabi. Majalah Al Bayan, London-Inggris, memuat sejarah tokoh ini yang ditulis oleh Muhammad Al Abdah dari edisi Nomor 14 tahun 1409 H/1988 M sampai dengan Nomor 23 tahun 1410H/1989 M. Beberapa saat setelah perkembangan dakwah ikhwaniyah, lahirlah dari mereka gerakan takfir (pengkafiran kaum Muslimin), karena pengaruh bukubuku Sayyid Qutub. Di samping itu Ikhwanul Muslimin akhirnya terpecah menjadi dua: satu golongan dinamakan Ikhwan Alamiyyin yang menginduk pada Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan satu golongan lainnya dikatakan Iqlimiyyin yang berdiri sendiri terpisah dari dari induknyya di Mesir. Golongan kedua ini dinamakan juga Ikhwanul Muslimin Al Jazaarah. Bersamaan dengan itu timbul pula gerakan sufiyyah yang bernama Jamaah Tabligh dari India. Kemudian ketika bangkit dakwah kaum Rafidhah (Syiah ekstrim) di Iran yang dipimpin oleh Khumaini, Ikhwanul Muslimin secara internasional menyambut dan mendukung revolusi ini. Termasuk pula di Aljazair, kaum Rafidhah dan dakwahnya masuk dengan sambutan yang hangat dari Ikhwanul Muslimin dengan alasan menyambut semangat revolusi Islam. Sementara itu aqidah yang mendominasi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah aqidah Asy Ariyyah. Ikhwanul Muslimin Al Jazaarah lebih kuat semangat fanatismenya dengan Asy Ariyyah ini dibandingkan dengan Ikhwanul Muslimin Alamyyin. Pada tahun 1400 H/1979 M tampilah seorang tokoh yang bernama Ali bin Hajj atau Ali Balhaaj. Ia adalah seorang orator yang mengajarkan aqidah dengan manhaj (sistem) Asy Ariyyah dan kemudian tampil dengan sedikiit

pemahaman Salafiyyah, sehingga yang ditonjolkan dalam dakwah Balhaaj ini bahwa Salafiyyah ini adalah dakwah dalam bidang aqidah semata. Pada waktu itu Ali Balhaaj masih sangat keras pertentangannya dengan Abbas Madani, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya, sementara dakwah salafiyyah mulai merebak di kampus-kampus perguruan tinggi dan masjidmasjid di Aljazair. Dakwah Salafiyyah ini dibawa oleh para alumni Universitas Islamiyyah Madinah Nabawiyah. Akan tetapi kemudian Ali Balhaaj ditokohkan sebagai pimpinan dakwah Salafiyyah. Hal ini merupakan awal malapetaka atas dakwah Salafiyyah di sana. Seseorang yang sangat labil dalam berpegang dengan pemahaman Salafiyyah justru dipercaya memimpin dakwah yang sangat berat dan besar musuhnya. Apalagi ia amat kuat latar belakang nasionalisme, Asy Ariyyah, dan semangat Ikhwanul Muslimin-nya. Pada tahun 1401 H/1980 M, muncul pula tokoh lain yang cenderung kepada jihad bersenjata, yaitu Mustafa Abu Yala dengan kelompok barunya Al Jamaah Al Islamiyyah. Kelompok ini tumbuh di Mesir dengan nama populernya Jamaatul Jihad dan menyebar hampir di seluruh negara Arab. Pada tahun itu pula terjadi demonstrasi besar-besaran di Universitas Aljier yang diadakan oleh berbagai kelompok Ikhwanul Muslimin tersebut yang menuntut diterapkannya Syariat Islam di Aljazair. Pada waktu itu Ali Balhaaj menampakkan sikap tidak setuju terhadap kegiatan demonstrasi ini dengan alasan demonstrasi tidak ada dalilnya di dalam Al Quran dan Al Hadits. Dan dalam rangka perkara ini dia benar dan menampakkan sikap Salafi-nya, akan tetapi dalam banyak pidatonya, kemudian menampakkan sikap seolah-olah menyetujui kegiatan demonstrasi tersebut. Hal ini dikarenakan labilnya pemahaman dia terhadap manjah Salaf, sehingga ia hanyut dengan barbagai pidato agitasi politik. Akhirnya pemerintah menangkapnyya bersama para agitator lainnya dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Setelah itu dakwah di Aljazair diberangus akibat peristiwa demonstrasi dan penangkapan tersebut. Begitu pula dakwah agitasi politik terhenti dengan berbagai malapetakanya.

Dakwah Salafiyyah bangkit kembali.


Dengan diberangusnya dakwah agitasi politik dan dijeblolskannya para tokoh dakwah tersebut ke penjara, orang mulai menyadari betapa butuhnya umat ini akan ilmu tentang agamanya. Para dai Salafiyyin kembali melancarkan upaya penyebaran ilmu agama, sehingga dengan demikian mulailah semarak di Aljazair semangat menuntut ilmu agama di masjid-masjid dan di halaqahhalaqah. Para dai Salafiyyin menyebarkan dakwah Salafiyyah dengan menyebarkan ilmu di seantero negeri yang merupakan negara terluas kedua di Afrika, sehingga semangat mencintai ilmu sangat tinggi dan meluas. Diceritakan oleh Abdul Malik bin Ahmad bin Al Mubarak Ramadhani Aljazair seorang thalibul ilmi bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany hafidhahullah di Amman, Yordania dalam suatu majelis mendapat telepon dari Aljazair sebanyak lima puluh kali yang menanyakan berbagai masalah dan meminta nasehat. Penyebaran kitab-kitab Ahlus Sunnah semakin gencar melalui berbagai pameran kitab yang dibanjiri oleh thulabul ilmi dan juga melalui pembagian kitab secara gratis dari kedutaan Saudi Arabia. Para alumnus Universitas Islam Madinah juga membawa kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah sebagai rujukan. Hal ini semua semakin memperbesar penyebaran

ilmu dan pemahaman Salafiyyah. Akibatnya berbagai kelompok hizbiyyun terpaksa juga membuka majlis-majlis ilmu walaupun sebelumnya mereka amat sinis terhadap ilmu dan ahlul ilmu. Kaum Sufiyyah semakin terjepit, sehingga mereka tidak berani lagi secara terang-terangan dalam menyatakan pemahaman dan keyakinannya. Kaum atheis Sosialis juga semakin tidak berdaya menghadapi semangat yang amat besar dari umat Islam untuk menuntut ilmu agama. Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi menceritakan bahwa satu majelis ilmu di masjid dihadiri oleh dua ribu orang dalam keadaan membawa kitab, setiap yang hadir siap untuk belajar dengan serius. Keadaan demikian terus berlangsung sampai segenap sistem masyarakat terpengaruh olehnya. Diceritakan bahwa pada satu daerah di Aljazair sebelah Barat telah dihancurkan enam puluh kubah yang dibangun di atas kubur dengan dibantu oleh para pejabat pemerintah setempat. Di kantor-kantor pemerintah ditegakkan shalat-shalat berjamaah pada jam-jam dinas. Pemerintah menetapkan peraturan yang mewajibkan setiap kantor usaha menyediakan masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Tempat-tempat mesum semakin sedikit, bahkan pemerintah menghukum orang Islam yang terang-terangan tidak berpuasa di siang hari pada bulan Ramadhan dengan hukuman resmi. Di parlemen mulai diperdebatkan dengan terbuka undang-undang pelanggaran khamer, olah raga di tempat umum bagi wanita dan berbagai permasalahan yang sesuai dengan syariat Islam. Tentara yang semula dilarang memelihara jenggot, mulai sebagian mereka menumbuhkan jenggot. Jilbab untuk Muslimah semakin memasyarakat, pakaian yang melambangkan keislaman seperti jubah dan imamah bagi lelaki bukan barang asing lagi. Hal ini semua adalah barakah yang Allah turunkan dengan sebab dakwah Salafiyyah mengajari umat ilmu tentang Quran dan Sunnah serta membangkitkan semangat beramal dengannya juga memberantas bidah, syirik, dan kejahilan. Keadaan ini terus berlangsung selama lima tahun dan dakwah Salafiyyah tidak diganggu atau dikotori oleh para dai agitator semacam Ali Balhaaj, Abbas Madani, dan kawankawannya, karena mereka semua meringkuk di penjara dan orang pun mulai melupakan mereka. Akhirnya, kaum sosialis yang memegang jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan mulai berfikir utuk membendung kemajuan dakwah Salafiyyah ini, karena mereka merasa sangat terancam dengan keruntuhan. Mereka paham bahwa dakwah ini tidak mungkin terbendung, kecuali dengan para tokoh singa podium yang dapat memutar arus kebangkitan Islam ke arah agitasi politik, sehingga dapat dengan mudah ditumpas oleh para musuh Islam yang tetap bercokol di jabatan-jabatan tinggi negara. Pilihan pun jatuh pada alternatif yang paling ringan resikonya bagi musuh Islam itu, yaitu dengan membebaskan para tokoh agitator yang sedang meringkuk di penjara seperti Ali Balhaaj dan kawan-kawannya. Ini adalah skenario mereka dalam upayanya menghancurkan dakwah Salafiyyah di Aljazair. Dari sinilah bermula kembali malapetaka atas kaum Muslimin di Aljazair. Kebangkitan Kembali Dakwah Agitasi Politik. Suasana kehidupan dalam penjara bagi Ali Balhaaj dan kawan-kawannya adalah suasana menumpuk kebencian dan dendam atau dalam istilah populernya adalah Barisan Sakit Hati (BSH). Semangat kebencian dan dendam semakin tinggi, karena sehari-harinya mereka melahap buku-buku

karya Sayyid Qutub, Hasan al Banna, Abdul Qadir Audah, Muhammad Al Ghazali. Juga buku-buku karya Doktor Yusuf Qardlawi. Sehingga ketika pada akhir tahun 1987 M/1407 H, Ali Balhaaj dan kawan-kawannya keluar penjara, mereka mulai bangkit kembali melancarkan dakwah agitasi politik. Abbas Madani yang semula berselisih dengan Balhaaj, bersatu demi tujuan dan program yang sama. Ia, Madani, adalah termasuk tokoh yang menyeru kepada persatuan Sunnah-Syiah sebagaimana umumnya para tokoh Ikhwanul Muslimin. Kedua orang ini segera membonceng massa dakwah salafiyyah, hingga terjadilah perpecahan di antara kaum salafiyyun karena termakan oleh agitasi politik lebih banyak sedangkan salafiyyin yang menyadari penyimpangan itu amat sedikit. Majelis-majelis ilmu yang penuh dengan pengunjung dijadikan ajang pelampiasan dan dendam terhadap pemerintah. Ummat digiring menuju lubang kebinasaan yang mengerikan. Di atas mimbar-mimbar agitasi politik inilah, ilmu dan ulama Ahlus Sunnah dilecehkan. Rakyat dijejali oleh kebencian dan kecurigaan terhadap pemerintah. Sehingga yang berkembang adalah sikap emosional dan mengikuti hawa nafsu tanpa bimbingan ilmu dan manhaj yang benar. Dengan demikian, Aljazair mulai dibayangi kerusuhan dan kegoncangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Semua ini merupakan makar kaum sosialis komunis terhadap Islam dan kaum Muslimin umumnya serta terhadap dakwah salafiyyah dan salafiyyin khususnya. Pada tahun 1989, melalui plebisit umum, pemerintah mengganti UndangUndang Dasar Negara lama dengan Undang-Undang Dasar baru yang diwarnai oleh Liberalisme murni. Hal ini berarti memberi peluang lebih luas bagi dakwah agitasi politik, karena negara mengakui dan memberi ijin berdirinya partai-partai politik. Dengan demikian dakwah agitasi politik yang semula hanya membonceng di berbagai majelis ilmu Salafiyyin sekarang mendapat kesempatan untuk tampil dengan wadah yang resmi. Dalam suasana demikian inilah berdiri partai FIS (Front Islamic de Sault) di Aljazair yang didirikan oleh Abbas Madani, Ali Balhaj, Bin Azus dan lain-lain. Sementara itu Ikhwanul Muslimin Al Iqlimiyyin membentuk Rabithah Ad Dakwah Al Islamiyyah unntuk menyatukan berbagai parpol, ormas, dan golongan Islam dalam wadah persatuan. FIS masuk dalam anggota organisasi ini yang didalamnya bergabung berbagai golongan akidah Sunny, Asyari, Rafidhi, Sufi, dan lain-lain. Semua golongan ini disatukan dengan sihir politik. Rabithah tersebut dipimpin oleh Ahmad Sahnun. Ali Balhaj pernah berkata ketika diwawancarai oleh Majalah Al Bayan, London (edisi 23 th. 1410 H/1989 M hal. 70) dalam sebuah wawancara : Apakah Rabithah juga dibangun di atas Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah atau mereka menerima siapa saja sekalipun bukan Sunny di dalam organisasi ini? Dia menjawab : Kami berupaya di dalam berbagai pertemuan organisasi ini untuk menjadikan Manhaj Ahlus Sunnah itu mendominasi majelis. Hanya ini yang dapat saya jawab sekarang dari pertanyaan Anda. Demikianlah jawaban diplomatis dari Ali Balhaj. Ikhwanul Muslimin Alamiyyin berkoalisi dengan partai-partai sosialis dan nasionalis. Perpecahan di kalangan salafiyyin semakin melebar, sehingga berkembang di kalangan mereka dan masyarakat, istilah salafiyah ilmiah dan salafiyah harakiyah. Pemahaman salaf yang sangat mengutamakan ilmu dan ahlul ilmi dicap sebagai salafiyah ilmiah. Sedangkan kelompok yang berpemahaman dengan akidah salaf dan dakwahnya adalah pergerakan

politik dinamakan salafiyah harakiyah. Demikianlah kenyataannya, dakwah salafiyah yang telah mencapai masa keemasan dan kegemilangannya diporak-porandakan oleh para politikus yang berbajuj salaf. Sampai di tingkat ini saja, musuh-musuh Islam telah berhasil membendung keberhasilan dakwah salafiyah melalui para agitator politik dari kalangan salafiyyin atau dengan ungkapan yang lebih tepat : Mereka adalah orang-orang yang menyusup ke dalam barisan salafiyin. Situasi terus berlangsung, musuh Islam tidak merasa puas dengan limit keberhasilan yang telah mereka capai. Pada tahun 1412 H/1991 M, pemilu diadakan di Aljazair yang berakhir dengan kemenangan FIS secara mutlak pada putaran pertama, sehingga presiden Jedid akhirnya dipaksa mengundurkan diri. Ketika ia mundur dari jabatannya, pihak militer mengumumkan keadaan darurat, sehingga pemilu dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Partai-partai politik diberangus dengan Undang-Undang Keadaan Darurat. Muhammad Bodiaf, tokoh sosialis nasionalis, yang sedang berada di tempat pengasingannya di Maroko, dipulangkan ke Aljazair untuk diangkat sebagai presiden Aljazair. Dua ratus orang aktivis FIS ditangkap dan bersamaan dengan itu munculah sayap militer FIS yang didominasi oleh pemikiran khawarij atau istilah lain ialah kaum reaksioner. Pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang terlibat dalam FIS dilakukan oleh pemerintah militer. Sedangkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang terlibat dengan pemerintah dilakukan oleh sayap militer FIS. Ali Balhaj dan Abbas Madani pada akhirnya tertangkap dan kembali meringkuk di penjara, karena mereka sudah tidak lagi dibutuhkan lagi dalam upaya musuh Islam menghancurkan dakwah salafiyah. Sekarang Balhaj telah menjadikan penjara sebagai tonggak prestasinya. Di dalam penjara, ia membagi ulama dengan istilah ulama sujun (ulama penjara) dan ulama suhun (piring nasi). Hal ini merupakan caranya menyindir ulama Ahlus Sunnah yang tidak menyetujui dakwah agitasi politik. Pertumpahan darah terus berlangsung, korban jiwa mencapai ratusan bahkan ribuan, itu tidak termasuk korban luka-luka. Rakyat dicekam ketakutan dan kengerian, hingga tumbuhlah dengan subur di kalangan rakyat jelata semangat Islam Phoby (ketakutan dalam Islam). Akhirnya mayoritas rakyat takut diajari ilmu tentang Islam. Akibatnya dakwah salafiyah hampir mandek total. Dakwah agitasi politik berakhir dengan ratap tangis para janda dan yatim rakyat jelata. Dakwah tersebut meninggalkan noda di bumi Aljazair dalam bentuk air mata dan darah kaum mustadlafin (kaum tertindas). Noda yang terparah dari itu adalah ketakutan rakyat jelata dari dakwah Islamiyah umumnya dan dakwah salafiyah khususnya. Kaum sufiyah yang semula tersisih di desa-desa dan tak berdaya menghadapi dakwah salafiyah, akhirnya diangkat oleh pemerintah sebagai imam-imam di masjid-masjid kota dan desa. Kubur-kubur yang dikeramatkan dan dahulu telah dihancurkan oleh duat salafiyin, kini dibangun kembali. Dakwah salafiyah di Aljazair menurun sampai ke titik nol. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.

Penutup.

Kisah dakwah di Aljazair saya angkat pada kesempatan kali ini karena gejala dan bibit yang sedang tumbuh di kalangan salafiyin di negeri kita ini hampir sama dengan tahapan malapetaka yang berjalan di Aljazair. Sesungguhnya apa yang terjadi di Aljazair dan yang sedang menggeliat di Indonesia, juga terjadi di banyak negeri-negeri muslim seperti Saudi Arabia. Di sana terjadi dengan tokohnya yang bernama Muhammad bin Abdillah Al Qahthany dan Juhaiman yang berakhir dengan pertumpahan darah yang memalukan di Masjidil Haram Mekkah Al Mukaramah pada tahun 1979. Kemudian sekarang terjadi lagi dengan tokohnya Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin yang kemudian pindah ke Birmingham, Inggris, Dr. Safar Hawali, Salman Al Audah, Dr. Muhammad Said Al Qahthany yang akhirnya meringkuk di penjara Saudi Arabia. Juga Dr. Nashir Al Umar, Aidl Al Qarny dan lain-lain. Di Kuwait timbul gerakan serupa dengan tokohnya Abdur Rahman Abdul Khaliq, Dr. Abdur Razaq As Sayiji dan lain-lain. Gerakan mereka semua mempunyai modus vivendi yang sama dengan apa yang terjadi di Aljazair. Hanya di Saudi dan di Kuwait lebih banyak ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah-nya, sehingga gerakan ini dengan pertolongan Allah dapat segera ditumpas atau paling tidak di-counter habis-habisan dan tidak sempat berakibat fatal terhadap dakwah salafiyah di sana. Sedangkan di Aljazair dan di Indonesia tidak ada ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mumpuni, sehingga berakibat fatal dan sangat dikuatirkan di Indonesia juga nantinya berakibat fatal terhadap dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Saya sebagai seorang Muslim ingin menasihati segenap kaum Muslimin umumnnya dan segenap salafiyin pada khususnya, berhati-hatilah terhadap pemikiran harakiyah siyasiah (pergerakan politik) yang membonceng dakwah salafiyah. Tokoh-tokoh pergerakan ini sudah bermunculan di Indonesia dengan baju salafiyin. Buku-buku sudah ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menyebarkan pemikiran jahat ini. Pidato-pidato, studi intensif (daurah) dengan mendatangkan tokoh-tokoh mereka dari dalam maupun luar negeri terus dengan gencar dilakukan. Pesantren-pesantren, masjid-masjid didirikan di Indonesia untuk menyebarkan racun pemikiran ini. Kaum salafiyin terpecah menjadi dua kelompok pemahaman yaitu salafiyin yang merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan salafiyin yang merujuk kepada pemikiran Abdur Rahman Abdul Khaliq, Salman Al Audah dan lain-lain. Kaum salafiyin yang merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah dicap sebagai ahlul ghuluw (ekstrim) dan muqalidin (suka bertaklid kepada orangperorang). Sedangkan salafiyin yang sudah teracuni pemikirannya oleh fikrah harakiyah siyasiyah menamakan diri dengan salafiyin munshifin (yang adil atau inshaf). Dengan demikian perjuangan kami adalah menyebarkan ilmu ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan meng-counter racun-racun pemikiran harakiyah siyasiyah. Racun-racun ini adalah bidah yang dikemas dengan penjelasan para ulama Ahlus Sunnah yang dipolitisir. Kami menganggap bahwa bahaya gerakan ini lebih besar bahayanya daripada gerakan ahlul bidah yang sesungguhnya karena bidah pemikiran ini lebih samar dan tidak diketahui oleh banyak orang. Imam Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Khalaf Al Barbahary yang meninggal pada tahun 329 H menasihatkan di dalam kitab beliau Syarhus Sunnah yang ditahqiq oleh Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi pada halaman 68 dan 69 point ke-7 dan ke-8 :

Berhati-hatilah dari bidah-bidah yang kecil dalam perkara agama. Karena bidah-bidah yang kecil itu akan menjadi besar. Demikian pula bidah yang terjadi pada umat ini. Semula ia adalah bidah kecil yang menyerupai kebenaran. Sehingga tertipu dengannya orang yang terperosok di dalamnya. Dan setelah terperosok ia tidak dapat keluar darinya. Lalu ia terus menjadi bidah yang besar dan pada akhirnya menjadi agama tersendiri yang dianut. Sehingga ia pun menyelisihi Ash Shirat Al Mustaqim dan kemudian keluar dari Islam. Maka telitilah olehmu semoga Allah merahmatimu- semua yang engkau dengar ucapannya (tentang agama) dari orang yang sejaman denganmu khususnya, janganlah kamu tergesa-gesa masuk (mengikuti) pada suatu ucapan atau pendapat sampai kamu pertanyakan dulu apakah para sahabat Nabi pernah berkata seperti itu atau ulama (ahlul hadits) pernah menyatakan demikian. Maka jika kamu mendapatkan riwayat dari mereka (para sahabat dan ulama), segeralah kamu berpegang dengannya dan jangan melanggarnya karena suatu alasan serta jangan kamu meninggalkan pendapatnya karena ingin memilih pendapat lain. Bila kamu berbuat demikian kamu akan masuk neraka!. Maraji : 1. As Siyasah baina Firasatil Mujtahidin Wa Takayyusil Murahiqin, oleh Abdullah bin Al Mubarak Ali Khadran Al Yamani 2. Bundel Majalah Al Bayan, London edisi 1 6, 7 12, 13 18, 19 24, 43 48. 3. Madarik An Nadhr Fi As Siyasah baina At Tathbiqat Asy Syariyyah wa Al Infialat Al Hammasiyyah, oleh Abdul Malik bin Ahmad bin Al Mubarak Ramadlani Al Jazairi. Buku ini telah di baca dan dipuji oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani. 4. Syarhus Sunnah, oleh Imam Al Barbahary. Tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
Ditulis Ulang Dari Salafy Edisi IX/Rabi'ul Akhir/1417/1996

Anda mungkin juga menyukai