Anda di halaman 1dari 4

Syubhat Demokrasi dan Pemungutan Suara

Syubhat-syubhat sekitar masalah Demokrasi dan Pemungutan Suara Mereka mengatakan: Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik. Bantahannya adalah: Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiyah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat);jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram. Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan. Maka jawabnya bahwa niat baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya. Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat: Niat ikhlas Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan (i`tikad baik saja) Mereka mengatakan: Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam Bantahannya: Ada sebuah pertanyaan ditujukkan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah islam? Sedangkan diawal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka Kami akan menegakkan daulah Islam hanya slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu menegakkannya pada diri mereka sendiri. Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang menerikkan slogan tersebut. Mereka mengatakan: Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan. Bantahannya: Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandeng tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam Al-Quran Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkan seolah-oleh kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permualaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya supaya mereka (orangorang Mukmin) kembali (kepada kekafiran). (Ali-Imran: 72)

Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah Subhanahu wa Taala telah mengatakan: Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah:120) Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang yahudi dan nashrani? Apakah mereka menetapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara-perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah Subhanahu wa Taala: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mumin. Inginkah kamu mengadaan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu?). (an-Nisaa:144) Mereka mengatakan: Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat. Bantahannya: Darurat menurut ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan behaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akan, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat. Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat? ] Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakana bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara iti hanya wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat, maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena mencari setitik maslahat. Mereka mengatakan: Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah). Bantahannya: Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan dawah kepada jalan Allah hanya tergantung ditangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berdawah kepada Allah dan didalam al-islah (pernaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada asSunnah sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasip umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar al-Ghifari ketika Rasulullah berpesan kepadanya:

Tetaplah engkau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh . Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Raulullah shallallahu alaihi wa sallam, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau; tetaplah engkau ditempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap ditempat tidak kemana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya? Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku:barangsiapa diantara umatmu (umat rasulullah) yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia berzina dan mencuri. (Mutafaqun alaih) Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar Al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui rasulullah. Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak acuh akan nasip rasulullah? Tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Tetaplah engkau ditempat, jangan pergi kemana-mana hingga aku datang! Keteguhan beliau diatas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupa ilmu tentang tauhid yang di bawa malaikat Jibril kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli Tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut saat itu!! Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat! (karena keteguhan diatas as-Sunnah itulah yang menyelamatkan umat-red) Berbahagialah ahlu sunnah (salifiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah. Mereka mengatakan: Bahwa mereka mengikuti kancah pemungutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan. Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling ringan demi terwujudnya maslahat yang lebih besar. Mereka mengatakan: Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatanya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara?. Apakah timbangana akal dan hawa nafsu?. Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk barat?. Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik. Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah memilih kemudharatan yang paling ringan. Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.

Jia jawabanya mereka mengetahgui, maka diakatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Diantaranya: Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang di alami oleh mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka. Maslahat yang ingin di capai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebaikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi: Menolak masfsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut. Syarat ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali melalui beliau shallallahu alaihi wa sallam? =============================================================== = Disalin dari Majalah :As-Sunnah 11/III/1420-1999 Gedung Umat Islam Lt II. Kartopuran No. 241 A Telp. (0271) 661998 Surakarta 571

Anda mungkin juga menyukai