Anda di halaman 1dari 9

Pelarian Terakhir

Amira Burhanudin, gadis belia berusia sepuluh tahun yang memiliki paras cantik
seperti namanya. Aku mengenalnya saat acara bersih desa, saat itu tubuh kecilnya
terjebak di antara kerumunan. Manusia yang berkerumun untuk melihat pawai
budaya dari jarak dekat tidak menyadari keadaannya, lebih tepatnya mereka
sengaja tak menghiraukan teriakan gadis kecil itu. Kulihat dia kesusahan untuk
keluar dari lingkaran manusia yang tidak tahu caranya berbaris dengan rapi, tanpa
aba-aba kuraih tangan sosok kecil yang hampir putus asa itu. Tangannya mungil
dan terasa dingin.

"Lepaskan aku!" Tangannya meronta-ronta di genggamanku. Matanya melotot


dan napasnya tersengal-sengal. Tidak disangka dia akan bersikap seperti ini, alih-
alih berterima kasih padaku atau tersenyum manis.

"Di mana orang tuamu?" Dengan nada kesal aku bertanya padanya.

Gadis ini aneh, batinku. Begitu aku bertanya, dia malah melotot ke arah sekitar,
celingukan dari kanan ke kiri berulang kali dan air mukanya sangat panik seolah-
olah dia sedang bersembunyi dari sesuatu, dari pembunuh sadis, dari anjing liar
atau setan dengan wajah yang hancur. Begitulah otakku menebak-nebak.

Jujur saja aku agak takut pada gadis ini. Dia hampir mirip dengan orang yang
kesurupan dengan tubuhnya yang gemetar hebat, bola matanya seolah ingin keluar
karena melotot, sekarang dia menggeram sambil merengek dan ia mulai mencakar
punggung tanganku. Mungkin salah satu dari tebakanku benar, bisa saja seseorang
ingin membunuhnya dan aku bisa ikut menjadi korban jika pembunuh itu berhasil
menemukan kami.

"Hei, Nak. Tenanglah ya?" Kuusap bahunya yang kurus. Rasa cemas mulai
menggerogoti benakku. "Tarik napas pelan-pelan," pintaku sebelum memeragakan
contoh mengambil napas. Aku tidak memedulikan tanganku yang terus-terusan
dicakar.
Jangan-jangan dia mengira aku ingin menculiknya. Astaga! Benar juga, karena
aku tiba-tiba menariknya begitu saja. "Jangan takut, aku cuma ingin membantumu
keluar dari kerumunan orang-orang tua itu, aku bukan penculik. Mana ada
penculik semanis diriku? Ga usah takut, aku tidak ," jelasku panjang lebar sambil
tersenyum kaku.

"Sungguh?" tanyanya dengan suara serak.

"Ya, aku bukan penjahat. Sekarang tolong ikuti gerakanku ya?" pintaku sekali
lagi. Kuambil satu tarikan napas sambil mengangkat kedua tanganku sebagai
isyarat memintanya untuk meniru.

Akhirnya gadis ini mau menurut. Aku terkikik karena ia malah kelamaan menahan
napas, ia persis seperti ikan terdampar yang sekarat saat mulutnya buka tutup
secara bergantian. Aku mengelus rambutnya yang basah, bau masam keringat
menusuk hidungku, dia sangat lengket dan sayangnya aku tidak punya tisu di
saku.

"Aku disiksa orang tuaku!" serunya tiba-tiba, tanganku dicengkeramnya kuat-


kuat. "Kumohon tolong aku," rengeknya sambil mendesah putus asa, kemudian ia
menangis hebat sampai tubuhku gemetar dibuatnya.

***

"Hei, Nur! Anak siapa yang kau bawa itu?"

Nenekku datang dari arah dapur, langkah kakinya sangat rapat karena memakai
jarik lusuh, bau sangit dari tubuhnya membuat hidungku risih. Dia pasti merebus
air sumur atau menanak nasi. Tangannya yang keriput meraba lenganku dan mata
sendunya bertanya-tanya padaku. Aku tahu dia kebingungan melihat gadis kecil
yang sedang tersedu-sedu di ruang tamu.

"Dia kabur dari orang tuanya," desahku sambil berpikir bagaimana caranya
membujuk nenek agar mengizinkan gadis itu tinggal di rumah untuk sementara.
“Terus, Nur? Kau mau menolongnya? Orang tuanya mungkin khawatir
mencarinya ke mana-mana. Mengapa tidak kau antarkan dia pulang dan mencari
tahu apa yang sebenarnya terjadi?”

“Nek, tubuhnya penuh luka. Aku yakin orang tuanya sering melakukan kekerasan
padanya,’’ jawabku penuh kekesalan.

“Kalau dia yang melakukan kesalahan?’’ tanya nenekku tetap dengan nada
bicaranya yang sabar.

“Kesalahan seperti apa yang membuat orang tua tega meninggalkan luka pada
tubuh putrinya? Dulu bapak dan ibu paling-paling hanya menjewer telingaku.’’

“Setiap orang tua berbeda, Nur.’’ Sorot mata nenek meredup. Aku tahu semua
orang tua berbeda, tapi aku yakin mereka akan mengasihi anaknya lebih dari rasa
amarah mereka sendiri ketika seorang anak membuat kesalahan.

“Beri dia minum, Nur,” ujar nenek dengan menyodorkan segelas air. Kami cepat-
cepat beranjak ke ruang tamu. Saat kami datang, anak itu memeluk lututnya erat-
erat, matanya sudah membengkak karena terlalu lama menangis. Kudengar nenek
menghela napas di sampingku, mungkin ia terkejut melihat kondisi perempuan
malang di depannya.

Pelan-pelan nenekku mendekati gadis itu. “Kenapa kau kabur dari rumah, Nak?”
tanyanya pelan-pelan setelah bersalaman.

“Sa... saya... saya disiksa, Nek.” Anak itu menjawab dengan tergagap.

Nenekku terdiam seribu bahasa sebelum aku melihatnya membuka slerekan gaun
anak itu. Sementara hatiku berdebar, bersiap-siap kalau gadis kecil itu mungkin
akan membabi buta, tapi ternyata dia anteng... bahkan saat nenek meraih tubuhnya
ke pangkuan.

“Ya Allah! Nur, cepat ambilkan salep atau obat-obatan lainnya!” titah nenek
dengan lantang, aku terkejut dibuatnya. Penasaran dengan apa yang dilihat nenek,
aku pun menggeser tubuhku untuk lebih dekat dengan mereka.
Oh, Tuhan! Punggung gadis itu setengah berlubang!

***

“Namaku Amira Burhanudin, Kak.”

“Ibu dan bapakku hanyalah seorang pemulung, kami sekeluarga adalah


tunawisma, kami berpindah-pindah rumah, kadang mengontrak rumah atau
menyewa rusun sempit sampai diusir-usir karena tak mampu membayar tagihan
tepat waktu. Bapakku sering mabuk, alih-alih membantu ibuku yang bekerja
seorang diri.’’

“Dulu ibu masih satu-satunya orang yang menyayangiku, sampai ia stres karena
bapak juga sering melakukan KDRT padanya, aku pun tumbuh sebagai anak
yang tidak terurus, ibuku bekerja sepanjang hari, pendapatannya pun hanya
cukup untuk membeli lauk pauk, kadang kami tidak makan beberapa hari, belum
lagi bapakku yang begitu tega merampas uang dari ibuku hanya untuk berjudi
atau membeli minuman.”

“Karena ibu stres, ia pun jarang bicara padaku. Aku bahkan mengira kalau ia
bisu, lebih tepatnya dipaksa membisu karena keadaan. Ibuku sempat ingin
berpisah dari bapak, tapi pria itu mencegahnya. Sampai pada suatu saat, kami
tinggal di desa ini, kata bapak di tempat ini banyak saudaranya, beliau juga
bilang mereka pasti bersedia membantu kami.”

“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sekejap kami bisa menempati
sebuah rumah tua, bapak bilang itu pemberian saudara, memang jauh dari kata
nyaman, tapi ibuku merasa tenang karena terbebas dari pikiran mahalnya uang
sewa, bapak mulai bekerja menggarap ladang sawah saudaranya, sementara
ibuku menjadi IRT. Aku pikir semuanya sudah baik-baik saja...”

“Pak Parto, ia paman bapakku, tiba-tiba dia datang ke rumah untuk menikahiku,
aku lebih terkejut lagi karena ternyata pernikahan itu adalah sebuah negosiasi
antara bapakku dengannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa, semenjak itu aku
selalu berusaha melarikan diri dari rumah, tapi orang tuaku atau orang-orang
suruhan pak Parto selalu berhasil menangkapku, begitu kembali aku dipukuli
bapak dan ibuku juga ikut menyiksaku.’’

“Kak, aku tidak ingin kembali. Sekarang aku berharap kalau ini adalah pelarian
terakhirku....”

***

“Bagaimana kita akan membantunya, Nur?’’ tanya Nenek, ia mengusap sisa ingus
di atas bibirnya. Baru kali ini kami menangis lagi, terakhir kali kami ditimpa
nelangsa adalah saat kepergian bapak dan ibuku.

“Untuk sementara biarkan dia tinggal di sini, Nek.”

“Nur, dia bilang si Parto itu punya orang-orang suruhan, mungkin mereka masih
mencari Mira. Nenek takut, Nur. Orang kaya mana punya kesulitan kalau
menginginkan sesuatu. Bagaimana kalau orang itu sampai membabi buta di sini?’

“Kita terlanjur mengenal Mira, Nek. Sekarang mau dilepas pun, mana tega hati
kita? Benar, bukan?”

“Nenek hanya khawatir kamu kenapa-napa, Nur. Aku hanya punya kamu selama
ini. Tanpamu bagaimana si tua ini bisa melanjutkan hidup sebatang kara. Ya Allah,
lindungilah kami dari mara bahaya.’’ Setelah berkata seperti itu, nenekku
menangis hebat. Segera kutarik tubuh rentanya dalam pelukan.

“Ya Allah, Nek. Tenanglah... semua akan baik-baik saja.”

***

Beberapa hari kemudian...

Saat itu aku terburu-buru pulang setelah jadwal kuliah siang usai. Mendadak
perasaanku tidak enak sama sekali dan benar saja, sesuatu memang benar-benar
terjadi di rumahku.

Kata tetanggaku, nenek sempat terkapar di ruang tamu dan punggungnya


mengalami cedera. Nenek berkata ada gerombolan orang yang masuk ke rumah
secara paksa, dia yang berusaha melawan didorong sampai terbentur meja kayu
dan orang-orang itu menyeret Mira pergi bersama mereka. Tetanggaku yang
melihat juga tidak bisa berbuat apa-apa, kata mereka algojo-algojo itu menenteng
senapan api.

“Siapa mereka, Nek?” Darahku sudah mendidih. Aku menghubungi petugas


keamanan desa, tapi nomornya tak bisa dihubungi.

“Mereka anak buah Parto, orang yang memaksakan perkawinan dengan Mira.”

“Siapa pun yang tahu rumah anak itu, tolong beritahu aku!” pintaku pada
beberapa tetangga yang berkerumun di depan rumah. Mereka sempat melihat Mira
beberapa kali.

“Dia anak dari pasangan tunawisma di ujung barat desa, sekarang mereka tinggal
di rumah kecil milik seorang pengusaha di sana. Kabarnya anak itu akan
dinikahkan oleh pengusaha tua yang tidak lain adalah si pemilik rumah,’’ jawab
seseorang yang kukenali sebagai janda kaya raya.

“Bik Rumi, tolong antarkan saya ke sana!” desakku tak bisa menunggu lebih lama
lagi.

Aku dibawa Bik Rumi ke sebuah desa kecil di sebelah barat, jalannya penuh
bebatuan besar, tak ada yang kudapati selain mengamati tingginya pepohonan,
daun-daunnya yang rimbun dan suara serangga yang seolah-olah memberiku
salam. Rasanya waktu semakin lambat mengurungku dalam kepungan rasa cemas.

“Bik, kenapa kau tahu soal Mira?” tanyaku dengan hati-hati.

“Teman dari temanku adalah istri tuanya Parto, wanita itu khawatir kalau Mira
jadi kesayangan suaminya, saking takutnya ia sampai curhat pada siapa saja,
pernikahan ini sudah menjadi buah bibir di beberapa kalangan sosialita beberapa
hari terakhir,’’ jelas Bik Rumi dengan bibir plastik yang selalu monyong setiap
kali bicara.
Kira-kira setengah jam kemudian, sampailah aku di sebuah tempat di mana orang-
orang berkerumun, aku mengernyitkan dahi mengamati dekorasi-dekorasi cantik.
Ya Allah! Pernikahan yang tidak diinginkan Mira benar-benar akan terjadi. Aku
menerobos keramaian, mencari-cari di mana keberadaan Mira, mungkin gadis itu
melaksanakan ijab kabul sembari tertunduk pasrah.

Aku tiba di tengah altar, namun tak ada yang kudapati di sini selain kuamati
orang-orang terisak. Aku bertanya-tanya di dalam benakku sebelum kesabaranku
menipis. Lalu kuserang orang-orang dan mencecar mereka dengan satu
pertanyaan.

“Di mana Mira?’’

Suaraku semakin tinggi. Sial! Bukannya menjawab, mereka malah semakin


kencang menangis. Kepalaku pusing sekali karena tidak bisa mencerna apa yang
sebenarnya terjadi, tiba-tiba saja lenganku ditarik dari belakang sebelum tamparan
keras mendarat di pipiku, aku hampir tersungkur dibuatnya. Seseorang yang
kuyakini sebagai ibunya Mira meneriakiku, tapi aku tak bisa mendengar jelas apa
yang ia katakan sementara kepalaku dihunjam rasa sakit.

Kesadaranku kembali ketika mataku melihat tubuh Mira digotong orang-orang di


atas keranda mayat, perutnya bersimbah darah dan matanya melotot persis tatapan
nyalang yang selalu ia tunjukkan selama ini.

“Mira!” jeritku histeris. Beberapa detik kemudian, aku gagal menjaga


kesadaranku. Aku tersungkur pingsan dan Mira perlahan-lahan lenyap dari
pandanganku. Mengapa jadi begini? Mengapa pelarian terakhirnya adalah
sebuah kematian?

***

Sebulan, setelah kematian Mira...

Hari itu tidak ada yang tahu Mira mengambil keputusan untuk mengakhiri
hidupnya diam-diam. Aku mengerti... mungkin dia sudah muak karena
kekecewaannya tak pernah dihiraukan.
Kuusap batu nisan kelabu yang bertuliskan namanya, pipiku terasa hangat saat air
mataku merembes. Rasanya baru kemarin aku dikaruniai adik untuk beberapa
hari, hidupku yang kesepian karena kehilangan bapak dan ibu sempat terobati
sebab kehadirannya, sekarang dukaku malah bertambah karena mengenangnya.

Mira, aku ingin bertanya... apakah hatimu sudah merasa damai sekarang?

The End
Biografi Penulis.

Tak kenal maka tak sayang, biar sayang kenalan dulu. Nama penanya adalah
Ainna, gadis kelahiran kota Jember, 22 Maret 2002. Pecinta kucing, bisa
menyanyi, dan sayangnya sedikit penakut. Sejak 2019, ia mulai menulis. Karya
cerpen pertamanya terbit di akhir Desember tahun 2020, ia menerbitkan beberapa
antologi cerpen dengan mengikuti beberapa event dari komunitas penulis dan
beberapa penerbit.

Anda mungkin juga menyukai