Anda di halaman 1dari 25

1

DAFTAR ISI

Pendahuluan ……………………………………………………………………………………………………….. 3
Analisa Situasi Faktual………………………………………………………………………………………….. 5
Analisa Materi Muatan UU TPKS, KUHP, RUU MHA ………………………………………………... 12
Rekomendasi ………………………………………………………………………………………………………. 15
Referensi …………………………………………………………………………………………………………….. 23

2
KERTAS KERJA
Ruang Keadilan dan Jaminan Perlindungan Perempuan Adat
dari Kekerasan Seksual
Disusun oleh Kemitraan

I. PENDAHULUAN
Kekerasan Seksual (KS) terhadap perempuan, khususnya Perempuan Adat adalah sebuah
kenisbian, dan seringkali tersamarkan dengan alasan aib atau bagian praktik adat. Atas nama
pembangunan dan peningkatan pendapatan, kebijakan, baik perundangan dan proyek
pembangunnan, serta investasi juga turut berkontribusi signifikan kepada kekerasan itu sendiri.
Kekerasan seksual terhadap perempuan adat makin tersamarkan. Nafi,T.H, dkk (2016) dalam
penelitiannya menemukan fakta bahwa praktik nilai yang ada juga mengalami pergeseran
pemaknaan tradisi atau adat misalnya pembayaran belis di Kab Timur Tengah Utara. Sebelumnya
belis menjadi tanda sahnya perkawinan dan menjaga status keluarga secara adat, namun kini belis
berubah menjadi alat tawar-menawar yang menjadikan perempuan seperti komoditi : “telah
terlepas dari adat, dan perempuan telah di beli. Ini juga ditunjang dengan penegakan hukum dari
korban kekerasan itu sendiri”.1 Sejumlah penelitian lainnya menunjukkan tingkat kerawanan
perempuan adat menjadi korban kekerasan seksual, diantaranya;
- Pertama
Riset Australian National University (2018) tentang kekerasan seksual di masyarakat adat,
diantaranya Indonesia, menemukan fakta diantaranya bahwa masyarakat adat berisiko lebih
tinggi mengalami kekerasan seksual dibandingkan dengan kelompok non-adat di wilayah yang
sama.
- Kedua
Penelitian Pusat Studi Wanita Universitas Indonesia (2015) menemukan KS terhadap
perempuan di masyarakat adat seringkali terjadi karena adanya kepercayaan dan praktik yang

1
Dari Peran Hukum Adat dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di
Kupang, Atambua, dan Waingapu (hal 234), penulis Nafi, T. H., Nurtjahyo, L. I., Kasuma, I., Parikesit,
T., & Putra, G. P., 2016, Jurnal Hukum & Pembangunan.
3
merugikan perempuan. Kajian tersebut menunjukkan bahwa KS terhadap perempuan di kalangan
masyarakat adat biasanya tidak dilaporkan karena faktor kebudayaan dan kepercayaan.
- Ketiga
Publikasi lainnya adalah International Indigenous Policy Journal di tahun 2019
menunjukkan bahwa perempuan adat di Indonesia sangat rentan mengalami kekerasan seksual
yang dilakukan oleh aparat keamanan, pejabat pemerintah, dan perusahaan yang beroperasi di
wilayah adat mereka.

***

Tiga perundangan, pertama Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual


(TPKS), kedua Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan ketiga
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA), belum mengatur
perlindungan Perempuan Adat dari kekerasan seksual, dan menjadikan kearifan lokalnya sebagai
salah satu sumber dalam penyusunannya. Hal ini diperlukan sebagai jawaban terkait
perlindungan dan penegakan hukum bagi perempuan adat yang menjadi korban kekerasan. Dalam
kesehariannya, masyarakat hukum adat, perempuan adat sebagai satu komponennya,
menggunakan aturannya dalam penyelesaian persoalan yang dihadapi. Komunitas lokal yang
hidup di pedesaan juga menggunakan aturan serupa. Ada tiga hal penting terkait kebijakan negara
atas kekerasan perempuan adat adalah memastikan prinsip dan praktik baik terakomodir dalam
perundangan terkait kekerasan terhadap perempuan, hukum adat yang hidup dan menjadi bagian
dari hukum nasional wajib melindungi hak perempuan adat korban kekerasan seksual, dan
mendorong praktik adat yang menjadi sumber kekerasan secara bertahap ditinggalkan.
Berangkat dari situasi ini, Kemitraan dalam Program Estungkara, menyusun kertas kerja
yang bertujuan mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam masyarakat adat serta
memberikan rekomendasi atas ketiga perundangan tersebut. Kertas kerja ini disusun berdasarkan
tuturan pengalaman dan pengetahuan para pendamping, dan data sekunder pendukung, sehingga
mengkonstruksi kebutuhan perempuan adat. Ada-pun metode penyusunan kertas kebijakan ini
adalah mereview ketiga perundangan yang ada. Aspek yang ditelaah: definisi kekerasan seksual,
peran masyarakat hukum adat dan kelembagaannya, serta ruang partisipasi masyarakat hukum
adat dalam pencegahan, perlindungan, dan penegakan hukum khususnya peradilan adat. Unsur

4
lainnya adalah peluang bagi mekanisme kearifan lokal dalam perundangan, UU TPKS dan UU
KUHP, dan kebijakan sektoral lainnya. Kajian ini juga menemukan bahwa kearifan lokal termasuk
kelembagaan masyarakat hukum adat belum masuk dalam perundangan yang ada, bahkan RUU
MHA lebih menitikberatkan kepada registrasi masyarakat adat dan hubungan dengan sumber
daya alam. Tahapan kedua dari metode adalah mendiseminasi temuan dan mengumpulkan
pendapat para pendamping masyarakat hukum adat.

II. ANALISA SITUASI FAKTUAL


Temuan Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM di 7 lokasi dialog tahun 2016 menyatakan
konflik sumber daya alam tidak sekedar menyebabkan kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan
bencana alam, namun juga menjadi sumber kekerasan berbasis gender terhadap Perempuan Adat.
Kajian PEREMPUAN AMAN2 tentang kekerasan berbasis gender atas sumber daya alam
menunjukkan bahwa kekerasan seksual dalam ragam jenis, semisal pernikahan paksa,
perdagangan manusia dilatar belakangi adanya konflik sumber daya alam yang berkepanjangan.
Fakta ini dikuatkan dengan pandangan Grossmann,K.,dkk dalam tulisannya Contested
development in Indonesia: Rethinking ethnicity and gender in mining, 2017. Contohnya dalam
industry ekstraktif di Kalimantan, masyarakat adat mengalami kerugian berupa kehilangan tanah
dan pendapatan. Perempuan dalam hal ini menjadi yang paling terdampak karena mereka harus
berjalan lebih jauh untuk mendapat makanan, memperoleh air bersih sembari masih harus menjaga
anak dan peran domestic lainnya. Terkait relasi dengan perusahaan, laki-laki yang paling banyak
dilibatkan dalam negosiasi dan perempuan memperoleh akses terbatas atas hasil dari negosiasi.
Fenomena ini marak terjadi dalam industri ekstraktif yang didukung oleh peraturan perundangan
yang terkait sumber daya alam dan iinvestasi, semisal Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing.3

2 Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN) adalah organisasi sayap Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dideklarasikan pada tanggal 16 April 2012 di Tobelo, Halmahera Utara
Propinsi Maluku Utara.
3 Lihat Grossmann,K.,dkk (2017), Kekerasan terhadap Perempuan Adat bersumber dari pemanfaatan sumber

daya alam.
5
II.1. Perempuan Adat Dan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan
Rekomendasi Umum Komite Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW)4 No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan mendefinisikan
kekerasan terhadap perempuan sebagai:5 “kekerasan yang ditujukan terhadap seorang perempuan
karena ia perempuan atau yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Ini termasuk
tindakan yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, mental, atau seksual, ancaman
tindakan tersebut, pemaksaan, dan perampasan kebebasan lainnya.”
Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 19 kemudian diperbarui dengan Rekomendasi
Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap
Perempuan. Penggunaan istilah “kekerasan berbasis gender terhadap perempuan” menggantikan
istilah “kekerasan terhadap perempuan” untuk memperjelas penyebab dan dampak dari kekerasan
berbasis gender. Penggantian ini digunakan pula untuk semakin memperkuat pemahaman
tentang kekerasan tersebut sebagai masalah sosial -bukan individu-, yang membutuhkan
tanggapan yang komprehensif.
Kertas kerja ini menyadari sepenuhnya bahwa Kekerasan Seksual (KS) adalah salah satu
bentuk dari Kekerasan berbasis gender (KBG). Jeanne Ward dalam Nafi,T.H,dkk., (2016) juga
menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan berbasis gender itu sendiri.
Secara detail, itu diuraikan sebagai berikut6:

(GBV refers to) any harm that is perpetrated against a person’s will; that has a negative impact on
the physical or physicological health, development, and identity of the person; and that is the result
of gender powered inequities that exploit distinctions between males and females, among males and
among females. Although not exclusive to women and girls, GBV principally affects them across all
cultures. Violence may be physical, physicological, economic or sociocultural.

4 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on The
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) pada 1979 dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (UU 7/1978).
5 Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan paragraf 2.
6 Nafi,T.H.,dkk, op.cit hal 237

6
Data baseline Kemitraan menunjukan bahwa sebanyak 423 responden mengetahui adanya
tindakan kekerasan terhadap perempuan di komunitasnya. Bentuk kekerasan berbasis gender
terhadap perempuan terus berkembang,7 pendamping Perempuan Adat8, mengidentifikasi
sekurang-kurang, namun tidak terbatas, yaitu:
1. Tindakan atau kelalaian yang dimaksudkan atau mungkin menyebabkan atau mengakibatkan
kematian, kerugian, penderitaan fisik, seksual, psikologis atau ekonomi terhadap perempuan,
ancaman tindakan tersebut, pelecehan, pemaksaan, dan perampasan kebebasan secara
sewenang-wenang.
2. Pembelaan hukum atau faktor-faktor yang meringankan berdasarkan budaya, agama atau hak
istimewa laki-laki, seperti 'kehormatan', penyelesaian secara tradisional, pengampunan dari
keluarga korban/penyintas. Perkawinan korban dengan pelaku kekerasan seksual.
Pendamping menuturkan,9 jika pelaku adalah elite adat, maka pengadilan adat seringkali tidak
mampu memberikan sanksi pada pelaku. Jika korban memilih untuk menempuh jalur hukum
negara, Ia acapkali dihadapkan pada proses penyelidikan dan penyidikan yang membuat
korban justru tertekan.
3. Praktik-praktik berbahaya yaitu perkawinan anak (child marriage), pemaksaan perkawinan
(forced marriage), pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation).
Salah seorang pendamping menuturkan:10 “Perkawinan anak kerap terjadi dengan alasan
aturan adat. Perempuan dinikahkan paksa dan umum terjadi pada umur di bawah 17 tahun. Ini
disebabkan pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki terbatas dan adanya larangan
untuk bekerja keluar kampung. Alasan umum yang disampaikan adalah apa yang hendak
dilakukan setelah tamat sekolah menengah, selain berdiam di rumah. Selain itu, tugas
perempuan adalah mengerjakan pekerjaan domestik.” Dalam banyak kasus, perkawinan anak
tidak dicatat dalam dokumen administasi kependudukan. Pendamping lainnya
menambahkan:11 “Perempuan, sering belum mengalami menstruasi saat dinikahkan. Ada kasus,

7 CEDAW/C/GR/35: Gender-Based Violence Against Women, paragraf 17-31.


8 FGD pada tanggal 13 Desember 2022.
9 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.
10 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.
11 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.

7
perempuan yang sudah dinikahkan baru mendapatkan haid setelah dua atau tiga tahun
menikah.”
4. Pelanggaran hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Seorang pendamping
menuturkan, Perempuan adat yang menjadi sasaran program keluarga berencana kerap hanya
diperkenalkan alat kontrasepsi tertentu, seperti suntik. “Suntik KB membantu mereka untuk
tidak mendapat menstruasi pada periode tertentu. Disisi lain Perempuan Adat jadi tidak
direpotkan harus berulang-kali menuju sumber air yang jauh, karena keterbatasan fasilitas MCK
untuk membersihkan” tambahnya.12
Tabel.
Contoh Kekerasan Seksual Perempuan Adat13
Jenis Kekerasan Penyebab terjadinya Kasus Pelaku
• Stigma perempuan hanya • Anggota Keluarga
• Pernikahan di berperan di ruang • Anggota Lembaga Adat
bawah umur; domestik • Aparat
Faktor
• Pernikahan paksa; • Perempuan tidak • Anggota komunitas
Internal memiliki pengetahuan
• Perkosaan; yang tidak memiliki
• Pelecehan reproduksi; hubungan kekerabatan

• Wilayah kelola yang • Pekerja migran lokal,


beralih fungsi dan seperti pekerja
merubah pengetahuan perusahaan, guru;
• Perkosaan;
Faktor perempuan • Pihak luar komunitas
• Pelecehan;
• Politik Hukum SDA yang yang tidak menetap
Eksternal • Penggunaan alat berdampak kepada • Aparat pemerintah
kontrasepsi
hukum dan program dengan program
ekonomi keluarga berencana

Selain itu, sejak Juni-September 2020, PEREMPUAN AMAN melakukan riset kekerasan
berbasis gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Riset yang dilakukan di beberapa
komunitas adat dari tujuh provinsi ini menemukenali empat bentuk kekerasan yang dialami
Perempuan Adat yaitu: 1.) Perempuan tidak terlibat dalam keputusan di tingkat adat dan rentan
diskriminatif, 2.) Pembagian kerja secara seksual, 3.) Penghargaan yang rendah akan pengetahuan

12Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.


13 FGD, pada tanggal 13 Desember 2022
8
perempuan, 4.) Laki-laki sebagai kepala keluarga. Para pendamping juga menuturkan KS mulai
meningkat ketika ada industri ekstraktif di wilayah adat.
Data Baseline Program Estungkara yang melibatkan 13,923 masyarakat adat di 7 provinsi
mendukung temuan diatas. Temuan penting dari proses tersebut adalah sebanyak 54%
perempuan adat merasa bahwa penyebab ketidaksetaraan partisipasi laki-laki dan perempuan
dalam perencanaan pembangunan adalah karena perempuan dianggap tidak memiliki kapasitas.
Sementara itu sebanyak 87% responden menyatakan bahwa nilai dan budaya juga menjadi faktor
pembeda peran laki-laki dan perempuan yang kemudian melanggengkan patriarki terutama
dalam pengelolaan SDA.
Dari uraian di atas, Perempuan Adat memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan yang bukan masyarakat adat, yaitu: pertama karena statusnya sebagai
masyarakat adat baik karena kebijakan negara maupun stigma terhadap masyarakat adat. kedua
karena gendernya di komunitas masyarakat adatnya sendiri. Dalam mengklaim keadilan
Perempuan Adat menghadapai dilema: jika memilih menggunakan mekanisme hukum adatnya,
belum tentu memiliki posisi setara dalam pengambilan keputusan. Sementara, jika menempuh
upaya keadilan formal negara, Perempuan Adat tidak memiliki akses atau bahkan dianggap
melawan adat.

II.2. Praktik Baik Hukum Adat dan Peradilan Adat


Di tengah kerentanan Perempuan Adat, MHA dengan kearifan lokalnya dan hukum adat
sudah mengatur bagaimana agar KS tersebut dapat dihindari. Jika sudah terjadi, selain mengatur
sanksi untuk pelaku, diikuti dengan pemulihan kondisi korban, termasuk mengembalikan
keharmonisan komunitas. Praktik ini dapat ditemui dalam uraian berikut: 14
1. Pendamping Perempuan Adat menuturkan:15 “Kain bagi Orang Sumba tidak sekedar menutupi
tubuh manusia, namun juga memberikan pesan untuk menjaga manusia, terutama perempuan.
Pesan ini menjadi mitigasi kepada mereka khususnya, jika kain menjadi belis, adalah melindungi
perempuan dari segala hal yang buruk.” Mitigasi lainnya adalah tradisi pahilir. Pencegahan
kekerasan seksual di kalangan keluarga terdekat. Tradisi ini melarang adanya kontak fisik

14 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.


15 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.
9
antar anggota keluarga, seperti orang tua dan menantu yang berlawanan jenis. Ada jarak dalam
melakukan komunikasi untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
2. Di Mentawai, pendamping Perempuan Adat menuturkan:16 “mereka memiliki kearifan
pengaturan dan pemanfaatan ruang untuk mencegah kekerasan seksual.” Di wilayah kelola
pangan: seperti ladang padi, kebun keladi, hilir sungai dan kawasan hutan sekunder adalah
wilayah Hak Kolektif Perempuan Adat. Tradisi lain berupa penanda-penanda. Jika di ladang,
ada keranjang yang digantung di pohon, itu penanda ada perempuan yang sedang bekerja. Jika
laki-laki yang akan melintas, maka ia wajib bersiul sebagai tanda ada orang yang akan lewat.
3. Pendamping lainnya menuturkan terkait hubungan dalam keseharian sarat dengan aturan
tentang hubungan manusia dengan manusia. Pada Orang Rimba, salah satu tradisi mereka
adalah sumba mato. Ini adalah aturan di mana seseorang tidak diperkenankan melihat sesuatu
yang dilarang dalam adat mereka. Tradisi lainnya, antara lain; tidak diperkenankan mengambil
dokumentasi perempuan, kecuali mendapatkan izin, perempuan setelah melahirkan hingga sang
anak dapat berjalan tidak dapat disentuh suaminya, pasca melahirkan pekerjaan domestik
perempuan dikerjakan pria.17
4. Peradilan adat merupakan ruang komunikasi antara komunitas, dan menempatkan laki-laki
dan perempuan pada posisi yang setara. Di Sigi, peradilan adat tidak dapat dilaksanakan jika
perempuan yang mengemban posisi sebagai Tina Ngata belum hadir.18 Pendamping juga
menambahkan mengenai tradisi komunikasi antar anggota keluarga yang berbeda lawan jenis,
dan mereka dengan pihak luar juga sangat kuat. Contoh pria yang telah berkeluarga tidak
diperkenankan makan di luar rumah. Mereka harus makan siang di rumah masing-masing.19
5. Peradilan adat mengakui dan merespon salah satu kasus yang terjadi di komunitas Suku Anak
Dalam, dimana peradilan adat memberlakukan sanksi adat bagi pelaku tindak pelecehan
seksual yang telah berlangsung lama di komunitas tersebut. Pihak adat bahkan dengan tegas
mengusir pelaku dari lokasi tempat tinggal.

16 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.


17 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.
18 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.
19 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.

10
Restitusi di Komunitas SAD

Sekitar tahun 2020, CSO yang mendampingi komunitas Suku Anak


Dalam menemukan adanya kasus pelecehan seksual yang dialami 5
anak perempuan di komunitas tersebut. Kejadian ini dilakukan oleh pihak
luar yang menjadi guru ngaji (69) yang sudah tinggal lama dan dianggap
sebagai bagian dari komunitas. Menggali informasi awal dari anak-anak
pun tidak mudah, karena mereka menutup diri, mereka takut
menyampaikan kejadian yang dialaminya kepada orangtua.

Setelah kasus ini dibuka, akhirnya penyelesaian dilakukan oleh lembaga


adat setempat. Putusan adat yang juga melibatkan pemerintah desa
memutuskan untuk mengusir pelaku keluar dari lokasi pemukiman. Dalam
komunitas adat SAD, biasanya hasil putusan sidang adat juga
memberikan konsekuensi kepada pelaku seperti membayar beras sekian
gantang (ukuran satuan beras dalam 1 gantang setara dengan 8 kilo),
serta 100 butir kelapa dan selemak semanis artinya bumbu-bumbu lain.

Sekilas, contoh-contoh di atas seperti diskriminasi berupa pembatasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 1 CEDAW, yang berbunyi: “...pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang
dilakukan atas dasar jenis kelamin yang memiliki dampak atau dengan tujuan untuk mengurangi
atau mengabaikan pengakuan, penikmatan dan penggunaan oleh perempuan, terlepas dari status
perkawinannya, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi dan kemerdekaan
fundamental mereka di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan lainnya.”
Orang non-adat akan mengatakan pola pendekatan di atas lebih berorientasi pada
pendekatan protektif, yang kemudian menimbulkan pembatasan pada perempuan. Salah satu
pendamping Perempuan Adat memberi tafsir lain, contoh-contoh di atas bukan pembatasan
melainkan:20 “Harus melihat konteks, ada satu kasus misal kita mengajak perempuan untuk
mengikuti pelatihan di Bogor tapi harus ditemani oleh laki-laki. Itu jelas pembatasan. Lihat
konteks wilyahnya, pemaknaan, pengalaman di belakangnya”.

20 Data olahan: FGD pada 13 Desember 2022.


11
III. ANALISA MATERI MUATAN UU TPKS, KUHP dan RUU MHA

Peraturan perundang-undangan tidak cukup memberikan ruang kekhasan MHA terkait KS


terhadap perempuan, yaitu: kekhasan MHA, lembaga dan peradilan adat, restitusi, prinsip
harmonisasi antara manusia dan alam sekitarnya dalam keseharian, dan peran laki-laki dan
perempuan dalam dalam penyelesaian kasus.

III.1. Kekhasan MHA


UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 menegaskan: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”. Praktik kearifan lokal juga diakui dalam Konstitusi: Pasal 28I
ayat 3, yang berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban” dan Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi: “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
MHA adalah kelompok masyarakat yang memiliki sistem pengaturan wilayah yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ini berpengaruh kepada hukum, sistem sosial, budaya dan
keyakinannya. De Facto MHA masih mempraktikkan kearifan lokalnya. Penerapan kearifan
lokalnya tidak terlepas dari relasi mereka dengan ruang hidup. Mayoritas mendiami daerah di
sekitar dan dalam kawasan hutan21. Kearifan lokal ini juga mewarnai kehidupan penduduk
perkotaan atau pedesaan (bukan MHA) yang memiliki ikatan nilai dengan komunitas asalnya
dan/atau pengaruh kuat budaya agraria.
UU TPKS tidak menjadikan kearifan lokal menjadi sumber hukum pengaturannya. Selain
itu, sebagai subjek hukum, MHA tidak dimasukkan kedalam salah satu unsur dalam definisi
tentang salah seorang dan/atau korban.

21 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menyatakan bahwa ada sekitar
25,863 desa yang berada di sekitar dan dalam kawasan hutan dengan luasan sekitar 9.2 juta hektar.
Penduduknya sebagian masih berada dalam garis kemiskinan, lebih kurang 1.7 juta jiwa (mediaindonesia.com,
10 Maret 2019).
12
KUHP memasukkan living law yang kontroversial. Ketentuan living law malah berpotensi
menciptakan ancaman bagi MHA. Penjelasan Pasal 2 KUHP menyebut hukum yang hidup diartikan
sebagai hukum pidana adat dan dikompilasi dalam Peraturan Daerah (Perda). Tapi kekuatan
hukum penjelasan pasal masih diperdebatkan, sehingga memungkinkan ada tafsir yang memuat
norma selain hukum adat. Bisa jadi pada daerah tertentu hukum yang hidup bukan dari MHA, tapi
hukum dari kelompok mayoritas. Sehingga hukum kelompok mayoritas dan elit daerah berpotensi
menyingkirkan MHA.
RUU MHA walau-pun menjadi lex specialis bagi MHA, namun rancangan ini memfokus
kepada pengadministrasian masyarakat hukum adat untuk mendapatkan hak konstitusi dan hak
sebagai warga negara. Hubungan antara MHA dengan SDA terutama yang merupakan salah satu
potensi peluang terjadinya KS terhadap perempuan diabaikan. Pengaturannnya lebih kepada
status, akses dan tata kelolanya. Ruang bagi jaminan perlindungan Perempuan Adat dan hak
kolektif Perempuan Adat terlebih dari KS justru diabaikan.

III.2. Lembaga dan Peradilan Adat


Lembaga Adat dan Peradilan Adat memiliki peran penting dalam penyelesaian kasus di
tingkat kampung. Lembaga ini selain berada dekat dengan mereka, juga dipandang murah dan
menerapkan sistem termasuk bahasa yang mudah mereka pahami. Namun perannya hilang sejak
UU Darurat No 1/1951.
UU Darurat No 1/1951, Pasal 5 ayat (3) huruf b berbunyi: “Hukum materiil sipil dan untuk
sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula
daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku
untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : … “ Konsekuensinya penerapan hukum
pidana adat diserahkan kepada Pengadilan Negeri. KUHP masih menggunakan pola yang sama
dengan UU Darurat No 1/1951, KUHP masih membayangkan penggunaan, tafsir, dan penegakan
terhadap hukum adat akan dilakukan oleh institusi negara.
UU TPKS tidak mengatur tentang peran Lembaga Adat dan Peradilan Adat serta
mengunifikasi penyelesaian melalui pengadilan umum, kecuali kasus anak. Pasal 23 UU TPKS
menyatakan: “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar
proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang”.

13
Sementara di RUU MHA, lembaga adat fokus kepada persoalan yang terkait kehidupan
masyarakat secara umum, tanpa penekanan kepada kasus kekerasan seksual kepada anggota
masyarakat yang disebabkan hukum adatnya. Pengadilan adatnya juga dibatasi pada penyelesaian
sengketa baik itu internal dan eksternal. RUU MHA di BAB X mengunakan frasa sengketa. Istilah
sengketa secara implisit menunjukkan bahwa pengaturan lebih condong pada proses peradilan
perdata.

III.3. Restitusi
Merujuk UU TPKS, definisi Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/ atau imateriel yang diderita Korban atau
ahli warisnya. Dalam UU TPKS, restitusi lebih kepada hak kebendaaan dan individual sifatnya
sementara KUHP dan RUU MHA tidak mengatur restitusi. Peraturan perundang-undangan jelas
tidak menerapkan untuk mengembalikan “harmoni”. Prinsip harmonisasi adalah salah satu
prinsip yang diakui dalam penegakan hukum di masyarakat adat. Secara sederhana diartikan
sebagai pengembalian situasi komunitas seperti sebelum terjadinya sebuah peristiwa atau kasus,
termasuk kekerasan. Sehingga kasus yang ada tidak semata menjadi beban dari pelaku dan
korban, namun menjadi beban bersama anggota komunitas.
Bagi MHA, KS terhadap perempuan adalah peristiwa yang berhubungan antara manusia
yang satu dengan lainnya, dan antara para pihak dengan lingkungannya, serta antara manusia
dengan Sang Pencipta.

Bersih Kampung

Hubungan luar nikah antara dua orang yang tidak memiliki hubungan sah
secara adat dan hukum lainnya. Kasus ini dibawa dalam peradilan adat. Sanksi
yang dijatuhkan adalah keduanya dicambuk dengan sejenis rumput khusus
yang hidup di tepi sungai dalam jumlah tertentu. Setelah, keduanya bersama
warga kampung memotong babi, sebagai hewan suci, dan darahnya diteteskan
pada jalan yang dilewati. Kemudian, darah yang tersisa dihanyutkan di sungai.
Tindakan ini dilakukan untuk membersihkan kampung dari konsekwensi

14
perbuatan kedua pelaku, karena perbuatan mereka telah menimbulkan
gangguan kepada kehidupan dan hubungan antar manusia, manusia dengan
alam, dan manusia dengan pencipta.

IV. REKOMENDASI
Analisa di atas memberikan gambaran tentang KS terhadap perempuan dan materi muatan
peratuan perundang-undangan terkait. MHA tidak memperoleh hak-haknya secara utuh karena
tidak bisa menjalankan hukum adatnya melalui peradilan adat. Ada praktik-praktik buruk di
dalam MHA, namun ada nilai-nilai baik yang bisa dipetik. Adalah tugas pemerintah Indonesia
untuk memastikan praktik-praktik buruk itu tidak berulang melalui produk hukum dan kebijakan
yang ada serta memasukkan kearifan lokal dari hukum adat.
Sementara, secara normatif, konstruksi dalam UU Darurat No 1/1951 s/d RUU MHA (versi
DPR) menyeragamkan gagasan atas proses bersengketa di MHA, tetapi juga menegasikan karakter
alamiah pihak yang bersengketa dalam memilih forum penyelesaian (forum shopping) menjadi
unifikasi.
Kertas Kerja ini secara umum merekomendasikan ketiga perundang-undangan diatas
memasukkan kearifan lokal; restitusi tidak hanya kepada korban tapi juga keluarga korban dan
komunitasnya serta revitalisasi lembaga adat dan peradilan adat untuk mampu mencegah
terjadinya KS. Catatan penting lainnya yang harus dipahami oleh lembaga adat dan dipraktikkan
dalam peradilan adat adalah: menemukenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan adat
termasuk kekerasan seksual dan meningkatkan kesadaran pemimpin lembaga adat dan peradilan
adat terkait keadilan gender dan perspektif perlindungan korban. Secara mendetail rekomendasi
tersebut adalah:

1. UU TPKS
Kertas kerja ini merekomendasikan revisi UU TPKS dan/atau turunannya dengan
mengakomodir kearifan lokal serta memberikan masukan untuk UU TPKS sesuai analisa di
atas. Di jangka pendek, UU TPKS bisa digunakan oleh MHA, terutama dengan
mendayagunakan:

15
a. Bab VI tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di
Pusat dan Daerah, pasal 72,73 dan 77 UU TPKS
Mandat bagian ini memberikan ruang kepada kelembagaan lokal untuk terlibat dalam
skema ini. Dalam aturan turunannya kelembagaan lokal, semisal lembaga adat, kepala
kampung, dapat dilibatkan. Pelibatan dalam elemen terkecil di komunitas sangat penting
mempertimbangkan hubungan antara komunitas dengan pimpinannya (Tokoh Adat,
Kepala Kampung), keterbatasan pemerintah dari segi sumber daya manusia dan
pendanaan. Sehingga, lembaga yang hidup di masyarakat adat perlu dilibatkan. Pelibatan
ini diawali dengan asesment dan merevitalisasi kelembagaan adat dengan penyesuaian
terkait prinsip hak asasi manusia, prinsip saksi dan korban.
b. Pasal 79 jo Pasal 85 UUTPKS tentang Pencegahan Tindak Kekerasan Seksual
MHA memiliki praktik pengetahuan dalam mencegah KS terhadap perempuan. Praktik baik
ini dapat disinergikan dalam UU ini. Dalam uraian pasal selanjutnya, ruang bagi masyarakat
terbuka, namun perlu penyesuaian dengan prinsip yang ada dikelompok mereka;
Pendayagunaan pasal-pasal di atas perlu diikuti dengan penambahan dan/atau perubahan
pasal atas UU TPKS beserta turunannya adalah sebagai berikut:

Tabel.
Usulan Perubahan dan/atau Masukan UUTPKS dan Turunannya

Perubahan dan/atau
Tema Pasal
Masukan

Huruf b

Huruf b bahwa kekerasan seksual


bertentangan dengan nilai
bahwa kekerasan seksual
ketuhanan, kemanusian,
bertentangan dengan nilai
dan prinsip masyarakat
ketuhanan, dan
Bagian Menimbang hukum adat terhadap
kemanusian, serta
perempuan serta
mengganggu keamanan
mengganggu keamanan,
dan ketentraman;
ketentraman, dan
keseimbangan hidup

16
1 angka 1 Tindak Pidana Kekerasan
Seksual adalah segala
Tindak Pidana Kekerasan perbuatan yang
Seksual adalah segala memenuhi unsur tindak
perbuatan yang pidana sebagaimana
memenuhi unsur tindak diatur dalam Undang-
pidana sebagaimana Undang ini dan/atau
diatur dalam Undang- norma masyarakat hukum
Undang ini dan perbuatan adat , dan perbuatan
kekerasan seksual lainnya kekerasan seksual lainnya
sebagaimana diatur dalam sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Undang-Undang
sepanjang ditentukan sepanjang ditentukan
dalam Undang-Undang ini. dalam Undang-Undang ini.

Korban adalah orang,


keluarga dan/atau
1 angka 4 masyarakat hukum adat
yang mengalami
Korban adalah orang yang penderitaan frsik, mental,
mengalami penderitaan kerugian ekonomi,
Ketentuan Umum frsik, mental, kerugian gangguan keseimbangan
ekonomi, dan f atau hubungan antar anggota
kerugian sosial yang komunitas dan
diakibatkan Tindak lingkungannya, dan /atau
Pidana Kekerasan Seksual. kerugian sosial yang
diakibatkan Tindak
Pidana Kekerasan Seksual.

1 angka 9
Masyarakat adalah
perseorangan, Keluarga, Masyarakat adalah
kelompok organisasi perseorangan, keluarga,
sosial, dan/ atau kelompok organisasi
organisasi sosial, masyarakat hukum
kemasyarakatan, adat, dan/atau organisasi
termasuk lembaga kemasyarakatan,
penyedia layanan berbasis termasuk lembaga
masyarakat. penyedia layanan berbasis
masyarakat

17
Restitusi adalah
pembayaran ganti
kerugian yang dibebankan
1 angka 20 kepada pelaku atau pihak
ketiga berdasarkan
Restitusi adalah penetapan atau putusan
pembayaran ganti
pengadilan yang
kerugian yang dibebankan
berkekuatan hukum tetap,
kepada pelaku atau pihak
atas kerugian materiel
ketiga berdasarkan
dan/ atau imateriel yang
penetapan atau putusan
diderita Korban atau ahli
pengadilan yang warisnya, termasuk
berkekuatan hukum tetap, pengembalian
atas kerugian materiel keseimbangan hubungan
dan/ atau imateriel yang antar anggota komunitas
diderita Korban atau ahli dan lingkungannya yang
warisnya. telah ditetapkan dalam
putusan pengadilan adat
serta dibebankan kepada
pelaku, dan komunitas

Pasal X
Masyarakat hukum adat
adalah satuan masyarakat
yang memiliki kekhasan
dari aspek budaya, sosial,
- dan kelembagaannya serta
konsisten menjalankan
kekhasannya yang tidak
bertentangan dengan
prinsip hak asasi manusia,
pancasila dan UUD

Pasal XX
Norma masyarakat hukum
adat adalah sistem yang
mengatur kehidupan
anggota komunitas yang
sesuai dengan prinsip hak
asasi manusia, pancasila
dan UUD

Pasal XXX

18
Hukum adat adalah salah
satu sumber hukum UU
TPKS sepanjang tidak
bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia, Pancasila
dan UUD
Pasal 23
Pasal 23

Perkara Tindak Pidana


Perkara Tindak Pidana
Kekerasan Seksual tidak
Kekerasan Seksual tidak
dapat dilakukan
dapat dilakukan
penyelesaian di luar proses
penyelesaian di luar proses
peradilan, kecuali
peradilan, kecuali
terhadap pelaku Anak dan
terhadap pelaku Anak
hukum adat sebagimana
sebagaimana diatur dalam
diatur dalam Undang-
Undang-undang”.
undang”.

Pasal 3O
(1) Korban Tindak Pidana Pasal 3O
Kekerasan Seksual berhak
(1) Korban, Keluarga
mendapatkan Restitusi
Korban dan Komunitas
dan layanan Pemulihan.
Korban Tindak Pidana
(2) Restitusi sebagaimana
Kekerasan Seksual berhak
dimaksud pada ayat (1)
mendapatkan Restitusi
berupa:
dan layanan Pemulihan.
a. ganti kerugian atas
(2) Restitusi sebagaimana
kehilangan kekayaan atau
dimaksud pada ayat (1)
penghasilan;
berupa:
b. ganti kerugian yang
a. ganti kerugian atas
ditimbulkan akibat
kehilangan kekayaan atau
penderitaan yang
penghasilan;
berkaitan langsung
sebagai akibat Tindak b. ganti kerugian yang
Pidana Kekerasan ditimbulkan akibat
Seksual; penderitaan yang
berkaitan langsung
c. penggantian biaya
sebagai akibat Tindak
perawatan medis dan/
Pidana Kekerasan
atau psikologis; dan/ atau
Seksual;
d. ganti kerugian atas
kerugian lain yang
19
diderita Korban sebagai c. penggantian biaya
akibat Tindak Pidana perawatan medis dan/
Kekerasan Seksual. atau psikologis;
d. ganti kerugian atas
kerugian lain yang
diderita Korban sebagai
akibat Tindak Pidana
Kekerasan Seksual.
Dan/atau
e. Pengembalian
keseimbangan hubungan
antar anggota komunitas
dan lingkungannya

Pasal X
Jenis tindak pidana
kekerasan seksual
mencangkup konsep
tindak pidana yang di anut
Tindak Pidana Kekerasan
Masyarakat Hukum Adat
Seksual
sepanjang tidak
bertentangan dengan
prinsip hak asasi manusia,
Pancasila dan UUD

2. RUU MHA
Kertas kebijakan ini merekomendasikan RUU ini menjadi lex specialis bagi pengaturan
MHA, sekaligus rujukan bagi perundangan lainnya. Pasal-pasal atau bab yang mengatur hak
Perempuan Adat dan peran lembaga penyelesaian konflik seperti peradilan adat perlu diperkuat
dengan perlindungan Perempuan Adat dari KS. Naskah ini mendorong penguatan atas pasal
sebagai berikut:
Tabel.
Usulan Perubahan dan/atau Masukan RUU MHA
(Kekhususan Perlindungan Hak Perempuan Adat
dari Kekerasan Seksual)

20
Perubahan dan/atau
Tema Pasal
Masukan
B
bahwa pada kenyataan
b saat ini hak masyarakat
bahwa pada kenyataan hukum adat dan
saat ini hak masyarakat masyarakat tradisional,
hukum adat dan khususnya perempuan
masyarakat tradisional belum sepenuhnya
belum sepenuhnya terlindungi yang
terlindungi yang mengakibatkan
mengakibatkan keberadaannya
keberadaannya terpinggirkan, serta
Menimbang
terpinggirkan, serta munculnya konflik
munculnya konflik sosial dan konflik
sosial dan konflik agraria di wilayah adat
agraria di wilayah adat yang juga berkontribusi
sehingga perlu kepada kekerasan
dilakukan upaya terhadap perempuan
pengakuan, sehingga perlu
perlindungan, dan dilakukan upaya
pemberdayaan; pengakuan,
perlindungan, dan
pemberdayaan;
Pasal X
Perempuan Adat wajib
mendapatkan jaminan
perlindungan hak
khusus karena
Ketentuan Umum
kerentanan atas
kekerasan baik yang
disebabkan faktor dari
dalam komunitas,
maupun luar komunitas
Pasal XX
Peradilan adat adalah
salah satu pranata di
bidang hukum dalam
menyelesaikan konflik
yang terjadi antar

21
anggota komunitas
dan/atau anggota
dengan pihak luar
Pasal x
Peradilan adat
menyelesaikan kasus
yang bersifat individu
Penyelesaian Sengketa
maupun komunal yang
berdampak kepada
keseimbangan nilai
komunitas

3. KUHP
KUHP masih meneruskan semangat klasik yang dimulai oleh UUDRT 1/1951. Setelah
menghapus eksistensi pengadilan adat, UUDRT 1/1951 menempatkan hukum adat sebagai bahan
untuk digunakan dalam sistem peradilan formal. Sebagai materi yang pemaknaannya dilekatkan
pada tafsir negara (penegak hukum), hukum adat rentan untuk dikonstruksikan secara selektif
dan tidak utuh. Mekanisme Peradilan Adat ini tidak lepas dari tantangan seperti, misalnya,
pertentangannya dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), hak-hak kelompok rentan dan
minoritas, serta bias gender. Namun, kertas kebijakan ini tetap merekomendasikan MHA bisa
menjalankan haknya secara penuh termasuk terkait hukum adat dan peradilan adat.

22
V. REFERENSI

Australian National University. (2018). Sexual violence in Indigenous communities. Diakses dari
https://www.anu.edu.au/news/all-news/sexual-violence-in-indigenous-communities

Grossmann, K., Padmanabhan, M., & von Braun, K. (2017). Contested development in Indonesia:
Rethinking ethnicity and gender in mining. Advances

Harahap, A. P., Putra, D. A., Kurniawan, A., & Aiman, M. (2022). Sanksi Adat Penyelesaian Kasus
Pelecehan Seksual Di Desa Kungkai Kabupaten Merangin Jambi. Wajah Hukum, 6(2), 294-304.

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Indonesia).


Diakses tanggal 21 November 2022 dari
https://ham.go.id/download/konvensi-mengenai-penghapusan-segala-bentuk-diskriminasi-
terhadap-perempuan-ind/

Laudjeng, H. (2003). Mempertimbangkan peradilan adat. HuMa.

Nafi, T. H., Nurtjahyo, L. I., Kasuma, I., Parikesit, T., & Putra, G. P. (2016). Peran hukum adat dalam
penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Kupang, Atambua, dan
Waingapu. Jurnal Hukum & Pembangunan, 46(2), 233-255.

Nurtjahyo, L. I. (2020). Partisipasi Perempuan Dalam Proses Pengambilan Keputusan di Dewan


Adat Terkait Dengan Penyelesaian Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan: Kisah Dari
Atambua, Sumba Timur, Rote dan Labuan Bajo. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(1), 106-123.

Rato, D. (2015). Revitalisasi Peradilan Adat Pada Masyarakat Ngada Berbasis Kearifan
Lokal. Yustisia Jurnal Hukum, 4(2), 335-348.

Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat (Indonesia).


Diakses tanggal 21 November 2022 dari
https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ2-20171106-094054-7086.pdf

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Indonesia).
Diakses tanggal 21 November 2022 dari
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Indonesia).
Diakses tanggal 5 Januari 2023 dari
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/234935/uu-no-1-tahun-2023

Inkuiri Nasional Komnas HAM: Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan

23
Diakses tanggal 7 Desember 2022 dari
https://www.komnasham.go.id/files/20160530-inkuiri-nasional-komisi-nasional-
%24N60YN.pdf

Data Baseline Estungkara. KEMITRAAN, 2022

24
25

Anda mungkin juga menyukai