Anda di halaman 1dari 23

BAB II

1. Pengertian Al Hadist

Istilah hadits berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti berita atau cerita,

atau wacana. Hadits adalah catatan tradisi atau ucapan-ucapan Nabi

Muhammad. Umat muslim meyakini bahwa hadits merupakan kata-kata,

dan juga perbuatan serta persetujuan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Ketika hadits-hadits ini terkumpul, maka muncul gambaran yang lebih besar

atau disebut dengan sunnah.

Hadits ini diterima oleh umat muslim sebagai sumber hukum agama dan

pedoman moral setelah Al-Quran. Hadits atau sunnah ini bisa didefinisikan

sebagai biografi Nabi Muhammad yang diabadikan oleh ingatan para

sahabat-sahabatnya. Perkembangan hadits adalah elemen paling penting

selama tiga abad pertama dalam sejarah islam.

Hadits juga disebut sebagai tulang punggung dalam peradaban islam dan di

dalam agama islam otoritas hadits sebagai sumber hukum agama dan

pedoman hidup menempati urutan kedua setelah kitab suci Al-Quran.

Otoritas hadits berasal dari Al-Quran yang memerintahkan umat islam untuk

mentaati dan mengikuti ucapan Nabi Muhammad. Hal ini tertera dalam

surat An-nur ayat 54 dan surat Al-Ahzab ayat 21, yang berbunyi,

‫ُقْل َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َۚل َفِاْن َتَو َّلْو ا َفِاَّنَم ا َع َلْيِه َم ا ُح ِّمَل َو َع َلْيُك ْم َّم ا ُح ِّم ْلُتْۗم َو ِاْن ُتِط ْيُعْو ُه َتْهَتُد ْو ۗا‬

‫َو َم ا َع َلى الَّرُسْو ِل ِااَّل اْلَبٰل ُغ اْلُم ِبْيُن‬


“Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu

berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah

apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang

dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat

petunjuk. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan

jelas.”

‫َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفْي َر ُسْو ِل ِهّٰللا ُاْس َو ٌة َح َس َنٌة ِّلَم ْن َك اَن َيْر ُجوا َهّٰللا َو اْلَيْو َم اٰاْل ِخَر َو َذ َك َر َهّٰللا َك ِثْيًر ۗا‬

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Meskipun jumlah ayat yang berkaitan dengan hukum dalam Al-Quran tidak

terlalu banyak, hadits memberikan arahan tentang segala hal mulai dari

rincian kewajiban ritual seperti mandi, wudhu, dan tata cara sholat, sampai

bentuk salam yang benar hingga pentingnya berbuat baik kepada para

budak. Jadi, sebagian besar aturan syariah atau hukum islam berasal dari

hadits, bukan dari Al-Quran.

Berbeda dengan Al-Quran, tidak semua umat muslim meyakini akan

orisinalitas hadits atau tidak percaya semua catatan hadits. Hal ini datang

karena hadits tidak ditulis oleh para pengikut Nabi Muhammad segera

setelah kematiannya, namun hadits ditulis beberapa generasi kemudian.

Hadits disusun dan dikumpulkan menjadi kumpulan besar literatur Islam.

Koleksi-koleksi hadits yang berbeda akan menjadi pembeda dari berbagai

cabang agama Islam. Untuk memahami berbagai kumpuan hadits karya


berbagai imam terkemuka, Grameds dapat membaca Ensiklopedia Hadits

Ibadah.

2. Sejarah Hadist

Istilah hadits berasal dari akar bahasa Arab h-d-th yang memiliki arti

‘terjadi’ atau ‘melaporkan’ atau ‘berita’. Hal ini bisa diartikan bahwa hadits

merupakan sebuah berita atau catatan. Dari hadits ini datanglah sunnah atau

arahan yang mana umat Islam mengimani dan menyesuaikan diri dalam

perintah yang tertulis dalam hadits berdasarkan catatan atau perilaku Nabi

Muhammad.

Para sejarawan muslim mengungkapkan bahwa Khalifah Utsman bin Affan

(Khalifah ketiga dari kekhalifahan rashidun) yang dulunya selaku sekretaris

Nabi Muhammad, diyakini mendesak umat Islam untuk mencatat hadits-

hadits seperti yang disarankan oleh Nabi Muhammad kepada pengikutnya

untuk menuliskan kata-kata dan tindakannya. Namun sayangnya kerja keras

Khalifah Utsman bin Affan terpotong karena insiden pembunuhannya di

tangan tentara pada tahun 656 M. Menurut sejarawan, beberapa koleksi

hadits dikumpulkan pada zaman Umayyah.

Dalam hukum Islam, penggunaan hadits yang ada seperti yang dipahami

sekarang-sekarang ini datang secara bertahap. Mazhab-mazhab hukum

Islam menggunakan aturan-aturan dari sahabat Nabi Muhammad, keputusan

para Khalifah dan praktek-praktek yang telah diterima secara umum oleh
para ahli hukum Islam. Menjelang kematiannya, Khalifah Umar bin Khattab

memerintahkan umat Islam untuk mencari petunjuk dari Al-Quran.

Penggabungan hadits Nabi ke dalam Islam secara bertahap terjadi. Abu

Abdullah Muhammad bin idris al-Shafii atau yang biasa dikenal dengan Al-

Syafii menekankan otoritas akhir dari sebuah hadits Nabi Muhammad,

sehingga Al-Quran digunakan untuk ditafsirkan ke dalam hadits, bukan

sebaliknya. Al-Syafii ini menegaskan bahwa sunnah Nabi dan Al-Quran

berdiri secara sejajar, karena menurutnya perintah Nabi Muhammad adalah

perintah Tuhan.

Untuk melihat kumpulan hadits-hadits shahih bisa dilihat dalam buku Hadits

Shahih Bukhari dan Muslim yang disusun oleh Ulama Muhammad Fuád

Abdul Baqi.

3. Perbedaan hadis dengan al-qur’an

Seluruh umat muslim di dunia harus sepakat bahwasannya hadis menduduki

posisi penting dan strategis dalam kajian-kajian keislaman. Hal ini

dikarenakan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an di

dalam Islam.

Keduanya hadis atau al-Quran–selain ijma’ dan qiyas– merupakan sumber

hukum Islam menurut paham Ahlussunah Waljamaah. Al-Quran disebut

wahyu, ada lagi wahyu Allah tapi tidak boleh disebut al-Quran, yaitu hadis.
Meskipun sama-sama bersumber dari Allah, namun keduanya tidak

memiliki kedudukan yang sama.

Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadis Qudsi, selain prosesnya turunnya beda,

kedudukan dan fungsinyapun juga beda;

1. Al-Qur’an adalah mukjizat yang terjaga sepanjang masa dari segala

pengubahan, serta lafadznya dan seluruh isinya sampai taraf hurufnya,

tersampaikan secara mutawatir.

2. Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan maknanya saja. Ia harus

disampaikan sebagaimana adanya. Berbeda dengan hadits Qudsi,

yang bisa sampai kepada kita dalam hadis yang diriwayatkan secara

makna saja.

3. Dalam madzhab Syafi’i, mushaf Al-Qur’an tidak boleh dipegang

dalam keadaan berhadats kecil, serta tidak boleh dibaca saat

berhadats besar. Sedangkan pada hadis Qudsi, secara hukum, ia

boleh dibaca dalam kondisi berhadats.

4. Hadits Qudsi tentu tidak dibaca saat shalat, berbeda dengan ayat Al-

Qur’an.

5. Membaca Al-Qur’an, membacanya adalah ibadah, dan setiap huruf

mendapat sepuluh kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam banyak

hadits.
6. Al-Qur’an adalah sebutan yang memang berasal dari Allah, beserta

nama-nama Al-Qur’an yang lainnya.

7. Al-Qur’an tersusun dalam susunan ayat dan surat yang telah

ditentukan.

8. Lafadz dan makna Al-Qur’an sudah diwahyukan secara utuh kepada

Nabi Muhammad, sedangkan lafaz hadits qudsi bisa hanya

diriwayatkan oleh para periwayat secara makna.

4. Penulisan al hadist

Abdullah bin Amr bin Ash ra adalah salah seorang sahabat yang selalu

menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad Shallallahu

Alaihi Wasallam.

Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka

mengatakan, “Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi?

Sedang beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana

suka dan kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?”

Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka, jawab Rasulullah

Shallallahu Alaihi Wasallam, “Tulislah! Demi Zat yang nyawaku ada di

tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain hak.” (HR Abu


Dawud) dan Abu Hurairah pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun

sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia

menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.” (Fathul Baari: 1/217)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengizinkan Abdllah bin Amr bin

Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah

salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah

ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu

Alaihi Wasallam. Disebut dengan ‘Ash-Shadiqah” juga karena kitab ini

adalah yang paling terpercaya, ditetapi dan paling dikenal pada masa Nabi.

Abdullah bin Amru bin Ash terus menulis hadis setelah wafatnya Nabi dan

terus meluas sampai Abu Hurairah ra mengatakan, “Tidak ada seorang

Sahabat Nabi yang paling banyak menghafal hadis selain aku kecuali

Abdullah bin Amru karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis”. (HR.

At-Tirmidzi). Abdullah bin Amru bin Ash sangat protektif dengan Shahifah

ini, dia jaga dari kerusakan dan perubahan. Ia menyebutnya sebagai

hartanya yang paling dia cintai di dunia ini. Abdullah sengaja menyiapkan

kotak khusus untuk menjaga Shahifah, jika dia ingin menyampaikan hadis,

dia merujuk pada kotak tersebut.

Naskah hadits Ash-Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits, dan

dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya

yang bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadits-hadits tersebut

sebanyak 500 hadits.


Bila naskah Ash-Shadiqah ini tidak sampai kepada kita menurut bentuk

aslinya, dapat kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad (202

hadis), Sunan Abu Dawud (81 hadis), Sunan An-Nasai (53 hadis), Sunan

At-Tirmizi (35 hadis), dan Sunan Ibnu Majah (65 hadis).

Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-Sudusy

memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini lebih

kuhafal daripada surat Al-Baqarah.”

Riwayat lain menyebut bahwa Qatadah meriwayatkan hadis dari Shahifah

Sulaiman Al-Yaskuri, dan dia memiliki kitab dari Jabir bin Abdullah.

Bisa jadi Sulaiman Al-Yaskuri menukil dari Shahifah Jabir bin Abdullah

yang termasuk salah satu muridnya. Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa

Sulaiman sering duduk di majlis Jabir dan menulis dari Shahifahnya.

Jabir memiliki halaqah di masjid Nabawi yang diikuti banyak muridnya,

banyak yang menulis dari hadisnya, di antaranya Wahab bin Munabbih.

Imam Ahmad dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin

Munabbih keseluruhannya. Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-

hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa bab. kitab

ini telah ditahqiq oleh Muhammad Hamidullah.


Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak

tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi’i yang

muncul pada abad pertama.

Nas-nas yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan

di pihak lain bukanlah nas-nas yang saling bertentangan satu sama lain,

akan tetapi nas-nas itu dapat dikompromikan sebagai berikut.

Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi pada awal-awal Islam

untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan al-Quran. Tetapi,

setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang

mengenal al-Quran, maka hukum melarang menulisnya telah dihapus

dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian, hukum

menulisnya adalah boleh.

Bahwa larangan hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan

menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-

menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak

dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.

Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat

menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnya diberikan

kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.


Penjelasan di atas sekaligus sebagai bantahan kepada pengusung orientalis

yang memiliki anggapan bahwa hadits baru ditulis pada abad kedua atau

hadits tidak pernah ditulis pada masa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

Klasifikasi al-Hadist ( Shahih, Dha’if, dan Maudhu’)

Hadist Shahih

Pengertian Hadist Shahih

Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan


orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai
ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).

Syarat-syarat hadis shahih antara lain: a. Muttashil sanadnya b.Perawi-


perawinya adil c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan tidak syaz
e.yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah(illat yang mencacatkannya).

a. Hadis shahih terbagi atas dua:

1.shahih lidzatihi
2.shahih li ghairihi

d. Tidak terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya terutama


dalam masalah penentuan hukum sesuatu.
e. Kitab-kitab yang memuat hadis shahih, antara lain:

1) Shahih bukhari 7) Shahih Ibn Khuzaimah


2) Shahih muslim 8) Sunan Abu Daud
3) Mustadrak al-Hakim 9) Sunan at-Tirmidzi
4) Shahih Ibn Hibban 10) Sunan an-Nasa’i
5) Shahih Ibn Khuzaimah 11) Sunan Ibn Majah
6) Sunan Abu Daud

Hadist Dha’if

Pengertian Hadist Dha’if

Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu

lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if

maknawiyah.

Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati

syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”

Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan

hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.

Ditinjau dari segi, sebab-sebab kedha’ifannya, maka dapat dibagi kepada

dua bagian:

1. Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad,

yang tergolong didalamnya antara lain:

a. Mu’allaq

b. Mursal

c. Munqathi'

d. Mu'dhal

e. Mudallas

2. Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya, yang tergolong didalamnya

antara lain:

a. Maudhu' g. Mudhtharab

b. Munkar h. Mudarraj

c. Majhul i. mu'allal
d. Matruk j. Musalsal

e. Mubham k. Mukhtalith

f. Syadz l. mudha'af

c. Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai

pengamalan hadis dhaif, mengenai hal ini ada tiga pendapat:

1) Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail

a’mal maupun ahkam.

2) Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, hadis dhaif lebih kuat dari

ra’yu perorangan

3) Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam

masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat

d. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif

1) Ketiga Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir

2) Kitab al-Afrad, karya ad-Daruquthny

3) Kumpulan karya al-Khatib al-baghdadi

Hadist Maudhu’

Pengertian Hadist Maudhu’

Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut

istilah adalah:

”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada

rasulullah secara dusta”

Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis

dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih,

hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.
Hadis maudhu’ adalah “sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu

dinisbatkan kepada rasulullah secara dusta”

b. Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’

1). Pertentangan Politik

2). Usaha Kaum Zindiq

3). Sikap Fanatik Buta

4). Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat

5). Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam

6). Lobby dengan penguasa

7). Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan

c. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’

1) Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis

2) Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya

3) Adanya indikasi pada isi hadis

d. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’

Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari

orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali

disertai dengan penjelasan akan kemaudhu’annya Fsafsa

e. Kitab-kitab Hadis Maudhu’

1). al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi

2). al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi

3). Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani


D. Beberapa pedoman dalam memahami al hadist

Pengertian Metode Pemahaman Hadis Segala sesuatu butuh cara untuk

mengetahui maksud tertentu, begitupula dengan hadis Nabi, butuh metode

pemahaman agar hadis itu mampu diketahui, dimengerti, dipahami,

kemudian diamalkan. Di dalam kamus bahasa Indonesia, metode adalah

cara yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai

maksud (dalam ilmu pengetahuan tersebut); cara kerja yang teratur dan

bersistem untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah guna

mencapai maksud yang ditentukan. Metodologi juga berasal dari kata

‗method’ yang berarti cara atau tekhnik, metode juga diartikan sebagai cara

teratur yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan agar tercapai tujuan

sesuai yang dikehendaki.6Pemahaman berasal dari kata paham yang berarti

pengertian, pendapat atau pikiran, aliran atau haluan pandangan, mengerti

benar atau tahu benar, pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal).

Sementara pemahaman adalah proses, cara perbuatan memahami atau

memahamkan. Jadi, metode pemahaman hadis adalah cara yang ditempuh

sesorang untuk memahami hadis. Metodologi pemahaman hadis dalam buku

yang ditulis oleh Arifuddin Ahmad bahwa metodologi pemahaman diartikan

tekhnik interpretasi, dimana dibagi menjadi interpretasi tekstual, interpretasi

konteksual dan interpretasi intertesktual. Prinsip prinsip Metodologi

Memahami Hadis Memahami hadis tidak semudah dengan membalikkan

telapak tangan, sehingga ulama melakukan kajian secara serius mengenai

bagaimana cara untuk memahami hadis. Dari itu para ulama memberikan
beberapa prinsip umum sebagaimana tulisan dari Abdul Mustaqim dalam

memahami hadis Nabi saw.:

1. Prinsip jangan terburu buru menolak hadis yang dianggap bertentangan

dengan akal, sebelum melakukan penelitian yang mendalam.

2. Prinsip memahami hadis secara tematik (maudhu’i) sehingga

memperoleh gambaran utuh mengenai tema yang dikaji Ali Mustafa Yaqub

menyatakan hadis

saling menafsirkan karena sumbernya adalah Raasulullah dan untuk

memahaminya harus dengan melihat riwayat yang lain.

3. Prinsip bertumpu pada analisis kebahasaan, mempertimbangkan struktur

teks dan konteks.

4. Prinsip membedakan Antara ketentuan hadis yang bersifat legal formal

dengan aspek yang bersifat ideal moral (baca: sesatu yang hendak dituju),

membedakan sarana dan tujuan.

5. Prinsip bagaimana membedakan hadis yang bersifat lokal kultural,

temporal dan universal.

6. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw. apakah beliau sebagai manusia

biasa, nabi atau rasul, hakim, panglima perang, ayah dan lain sebagainya.

Sehingga pengkaji dan peneliti hadis harus cermat menangkap makna yang

terkandung dibalik teks tersebut.

7. Meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis, baik sanad dan matan,

serta berusaha memahami segala aspek yang terkait dengan metode

pemahaman hadis. 8. Memastikan bahwa teks hadis tersebut tidak

bertentangan dengan nash yang lebih kuat.


9. Menginterkoneksikan dengan teori teori sains modern untuk memperoleh

kejelasan makna tentang isyarat isyarat ilmiah yang terkadung dalam hadis

hadis sains.

E. Mengenal beberapa kitab al-hadist rujukan (kutub al-sittah)

MENGENAL KUTUBUS SITTAH

A. Kitab Shahih al-Bukhari

1. Biografi imam Bukhari

Imam Bukhari mempunyai nama lengkap Al-Imam Abu Abdullah

Muhammad Bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Al-Mughiroh Bin Bardizbah.

Kakek beliau yaitu Bardizbah mulanya beragama majusi, kemudian masuk

Islam dengan perantara al-Ju’fi. Oleh karena itu beliau juga memiliki nisbah

al-Ju’fi, beliau juga memiliki nisbah pada daerah kelahirannya yaitu

Bukhoro sehingga beliau dikenal dengan sebutan Imam Bukhari.

Imam Bukhari lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H, di Bukhoro.

Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih kanak-kanak, sehingga beliau

dirawat oleh ibunya seorang diri. Allah memberikan keistimewaan kepada

beliau berupa otak yang sangat cemerlang dan hati yang terjaga sehingga

beliau dapat dengan mudah untuk dapat mengambil ilmu dari para guru-

gurunya. Pada usianya yang masih muda (16 tahun) beliau telah mendatangi
hampir seluruh ulama yan ada di tempatnya. Beliau telah belajar dari Ibnu

Mubarak, Waki’, dan memahami pemikiran dari ahlu ra’yi tersebut.

Beliau merupakan teladan yang baik dalam pengembaraan mencari ilmu dan

hadits. Diriwayatkan bahwa beliau mengatakan: “aku menunjungi Syam,

Mesir, Hijaz, ke Jazirah dua kali, kemudian ke Bashrah empat kali, lalu aku

tinggal di Hijaz enam tahun. Aku sendiri tidak dapat menghitung berapa kali

aku masuk Kufah dan Baghdad bersama para ahli hadits”.

Imam Bukhari merupakan seorang imam yang memiliki ketajaman dan

kecermelangan otak yang sangat luar biasa. Sebagai bukti kecermelangan

otaknya ketika beliau pergi ke Baghdad, seluruh ulama’ Baghdad

berkumpul untuk menguji kemampuan beliau. Mereka mengumpulkan

seratus hadits, yang antara sanad dan matannya ditukar antara satu dengan

yang lainnya, kemudian seratus hadits tadi dibagi pada sepuluh penguji.

Sehingga setiap ulama memegang sepuluh hadits yang telah diputar balik

antara sanad dan matannya. Ketika imam Bukhari datang, masing-masing

dari kesepuluh orang ini bertanya kepada beliau mengenai hadits-hadits tadi,

dan setiap kali disebut sebuah hadits imam Bukhari berkata: “aku tidak

mengetahui hadits tersebut” demikianlah hingga mencapai seratus hadits.

Banyak orang yang tidak mengerti menyangka imam Bukhari tidak tahu

apa-apa, namun setelah semuanya selesai, beliau berkata pada orang

pertama yang menanyai beliau sepuluh hadits tadi dan mengatakannya,

bahwa hadits yang anda katakana dari fulan bin fulan adalah salah. Beliau

juga menyebutkan hadits yang benar dari Rasulullah saw. Imam Bukhari

menjawabnya satu per satu hingga tuntas sampai seratus tadi.


Mengenai ujian ini banyak diantara para hadirin yang berkomentar, bahwa

yang membuat takjub itu bukannya beliau hafal seratus hadits dengan matan

yang benar, namun yang menakjubkan adalah beliau juga hafal seratus

hadits yang diputar balikkan satu persatu. Mengenai kekuatan hafalan

beliau, Imam Ibnu Hajar mengatakan: “sekiranya engkau membuka

lembaran pujian para ulama’ yang hidup setelah masa beliau, sungguh akan

habis kertas dan sirnalah nafas, karena beliau seperti lautan yang tak

bertepi.”

Imam Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H di daerah

Samarkindi, dan dimakamkan pada Idul Fitri ba’da Dzuhur. Beliau memiliki

banyak karya peninggalan yang sangat berarti dalam khazanah keilmuan

Islam, terutama dalam bidang sunnah. Diantara karya-karya beliau adalah:

Al-Jami’ al-Shahih (Shahih Bukhari), Al-Adab al-Mufrad, Al-Tarikh al-

Shagir, Al-Tarikh al-Ausath, Al-Tarikh al-Kabir, Al-Tafsir al-Kabir, Al-

Musnad al-Kabir, Kitabul Ilal, Rof’ul Yadaini Fis Shalat, Birrul Walidain,

Kitabul Asyribah, Al-Qiraah Khalfu Imam, Kitabud Dhu’afa’, dan lain

sebagainya.

2. Tentang Kitab Shahih Bukhari

Para imam-imam hadits sebelum Imam Bukhari belum ada yang menuliskan

hadits secara khusus pada hadits shahih saja, namun masih berupa campuran

antara hadits shahih, hasan dan dha’if. Oleh karena itulah imam Bukhari

berinisiatif untuk menuliskan hadits-hadits shohih dan tidak memasukkan

hadits dha’if dalam sebuah kitabnya yaitu Al-Jami’ As-Shahih, yang secara

lengkap memiliki nama:


‫الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وسننه وأيامه‬

Oleh karena itulah imam Bukhari disebut sebagai imam hadits yang pertama

kali secara khusus menulis sebuah kitab hadits-hadits shahih.

Diantara faktor yang memotivasi beliau menulis kitab shahih adalah pada

suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan Rasululloh saw. seolah-olah

beliau berdiri di hadapan Rasulullah, ditangan belliau terdapat kipas yang

beliau kipaskan ke Rasulullah saw. Akhirnya beliau tanyakan pada ahli

tafsir mimpi, dan merka mengatakan bahwa imam Bukhari mengipaskan

(menghilangkan) dusta-dusta dari hadits Rasulullah saw. Hal inilah yang

memotivasi beliau untuk menuliskan sebuah kitab shahih. Ditambah lagi

dengan usulan dari syaikh beliau yaitu Ishaq Bin Rohawaih agar beliau

menulis kitab shahih:

‫لو جمعتم كتابا مختصرا بصحيح سنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

Lalu beliau mengatakan bahwa ungkapan ini membekas dalam hati, lalu aku

memulai menulis kitab shahih Bukhari.

Imam Bukhari sangat berhati-hati dalam memasukkan hadits-hadits ke kitab

shahihnya, setidaknya terdapat dua factor kehati-hatian yang beliau lakukan:

Dari segi keilmiahannya. Dimana beliau sangat menyeleksi hadits-hadits

dengan melakukan perbandingan dengan riwayat lain, menganalisanya

secara mendalam dan seterusnya. Hingga untuk menyelesaikan kitab ini

beliau membutuhkan waktu 16 tahun. Kedua, dari segi ruhiyah, dimana

beliau sendiri mengatakan, “aku tulis kitab shahih ini di masjidil haram, dan

aku tidak memasukkan satu haditspun kecuali aku melakukan istikharah


terlebih dahulu kepada Allah, aku sahalat dua rakaat terlebih dahulu, dan

aku bertabayyun mengenai keshahihannya.”

Imam Bukhari dikenal sebagai imam yang sangat hati-hati dalam

menshahihkan hadits. Karena persyaratan yang beliau tetapkan terhadap

hadits shahih itu merupakan syarat tertinggi diantara imam-imam hadits

lainnya. Selain kelima syarat hadits shahih, yaitu sanadnya bersambung,

perawinya harus adil dan dhabit, dan hadits tersebut bukan merupakan

hadits syadz atau mu’allal, imam Bukhari juga mempunyai syarat yang lain

dalam masalah ittisholu as-sanad. Bagi beliau tidak cukup bagi kedua

perawi hanya sekedar semasa, namun harus ada bukti bahwa mereka berdua

pernah bertemu walaupun hanya sekali. Syarat seperti ini sama dengan

syarat yang ditatapkan oleh syaikh beliau yaitu Ali Bin Al-Madini.

F. Al-hadist sebagai ajaran dalam agama islam

Umat islam memiliki empat sumber ajaran dan hukum, yaitu al-Qur'an,

hadis, ijma', serta qiyas. Dari ke-empat sumber hukum tersebut, dua di

antaranya (al-Qur'an dan Hadis) merupakan sumber hukum utama yang

dijadikan pedoman hidup bagi umat islam. Al-Qur'an sendiri berisi pedoman

dan petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia maupun akhirat.

Meskipun begitu, al-Qur'an tidak menjelaskannya secara rinci dalam artian

keterangan-keeterangan yang tercantum pada al-Qur'an masih sering bersifat

global.
Dikarenakan alasan ini, maka sudah tentu bahwa kita membutuhkan

penjelas yang lebih rinci atas kalamullah tersebut demi penerapan hukum

dan syari'at islam yang benar.

Oleh karenanya, sudah bukan hal asing lagi bagi kita atas pernyataan bahwa

al-Hadis yang merupakan sumber hukum kedua Umat Islam yang memilki

fungsi sebagai penjelas al-Qur'an.

G. kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:

1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan

sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti

berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan

dipindahkan dari seorang kepada orang lain.

2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari

Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan

(taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,

dan perkataan.

3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai

sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan

untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.

4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an


5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi

menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala

bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan

hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam

pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

H. daftar pustaka

Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta,
1999

Anda mungkin juga menyukai