Makalah Anggota - QUO VADIS WACANA PENGUATAN DPD RI - Mahyudin
Makalah Anggota - QUO VADIS WACANA PENGUATAN DPD RI - Mahyudin
LATAR BELAKANG
Peristiwa reformasi pada tahun 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa berujung pada perubahan
tampuk kekuasaan sekaligus merubah dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) hingga lebih menjamin tercapainya kedaulatan
rakyat serta perkembangan demokrasi modern.
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah serta
meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, maka dalam
rangka pembaharuan konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membentuk sebuah
lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembentukan DPD ini
dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan November 2001.
DPD adalah sebuah lembaga perwakilan seperti halnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun
sistem representasinya adalah mewakili masyarakat pada wilayah tertentu, dalam hal ini adalah
Provinsi-provinsi. Pasca reformasi, DPD merupakan alternatif baru bagi bentuk “utusan daerah”
di MPR, yang lebih merepresentasikan kepentingan daerah. Bila pada MPR sistem yang lama
anggota utusan daerah merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi, maka
anggota DPD dipilih melalui Pemilihan Umum (pemilu) melalui sistem distrik berwakil banyak.
Dalam sisitem ini, masyarakat langsung memilih nama kandidat, yang memang disyaratkan
sebagai calon independen (bukan pengurus Partai Politik).
PEMBAHASAN
Namun, bukan berarti dengan adanya keterbatasannya selama ini DPD tidak berbuat apa-apa.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh DPD sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Salah satu
contoh adalah telah banyak mengajukan rancangan undang-undang (RUU), namun tidak
memperoleh respon yang memadai dari DPR dan hanya dimasukkan ke dalam daftar tunggu di
program legislasi nasionl (Prolegnas). Hal ini menimbulkan kesan seoleh-olah RUU yang
diusulkan oleh DPD itu disamakan dengan RUU yang diajukan oleh masyarakat di luar lembaga
negara, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang juga memiliki bobot serta kualitas yang
baik.
Apa yang disebutkan dalam pasal 22D UUD 1945 di atas menunjukkan bahwa fungsi dan
kewenangan DPD sangat terbatas jika dikaitkan bahwa DPD adalah sebagai lembaga perwakilan
yang ditetapkan oleh UUD 1945. Hal itu merupakan kendala yang dihadapi DPD. Kendala itu
secara ringkas bisa disebutkan antara lain: kewenangannya di bidang legislasi hanya sebatas
mengusulkan dan membahas tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan; dalam bidang
pengawasan hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan;
tidak ada ketentuan yang mengatur hak DPD untuk meminta keterangan dari pejabat negara,
pejabat pemerintah dan lainnya seperti yang diberikan kepada DPR. Padahal anggota DPD
berkewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
dan daerah. Sementara ekspektasi kepada DPD besar sekali karena diharapkan dapat menjadi
solusi atas praktik sentralisme pada masa lalu yang dialami oleh masyarakat di daerah dengan
adanya ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan, pernah timbul gejolak di daerah yang dikenal
dengan pemberontakan daerah yang mengarah pada indikasi ancaman terhadap keutuhan wilayah
negara dan persatuan nasional. Di sinilah urgensi keberadaan DPD juga dimaksudkan untuk
memperkuat integrasi nasional dan mengembangkan demokrasi khususnya yang berkaitan
dengan daerah. Kini setelah cukup lama berselang, keberadaan DPD mulai dievaluasi
eksistensinya dalam memenuhi unsur sistem dua kamar parlemen (bikameral) dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Seperti misalnya pernah terlontar dalam Musyawarah Kerja Nasional Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) di Jakarta pada tahun 2013 yang salah satu usulnya merekomendasikan agar DPD
dibubarkan. Saran yang tentu saja sangat tidak popular dan sulit terwujud. Hal ini tak
mengherankan jika dilandasi karena DPD dianggap sebagai lembaga tinggi negara yang kurang
berfungsi mengingat kekuasaanya yang sangat kabur.
Namun kendati demikian, bagaimanapun eksistensi DPD adalah amanah konstitusi dan menjadi
fragmen dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan DPD niscaya memberikan harapan
baru demi semakin baiknya tata kelola pemerintahan dan semakin terwakilkannya suara rakyat
(daerah) di Parlemen.
Karena itu DPD yang juga merupakan bagian dari pilar demokrasi bangsa ini, yang harus
dilakukan sebenarnya adalah menambah kewenangannya dan bukan malah dibubarkan.
Kewenangan DPD mestinya diperkuat sebab DPD itu mewakili kepentingan daerah.
B. UPAYA PENGUATAN
Hingga saat ini DPD dianggap taat konstitusi karena tetap melaksanakan tugas sesuai amanat
yang sudah ada dalam konstitusi, meskipun secara berlanjut perlu diperjuangkan agar DPD
memiliki peran, fungsi dan kewenangan yang lebih kuat sebagai lembaga parlemen dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah serta dalam rangka penguatan demokrasi
di Indonesia.
Ini artinya diperlukan amandemen sekali lagi terhadap UUD 1945. Hal ini dimungkinkan
sebagaimana ketentuan pasal 37 ayat 1 UUD 1945. Usul itu tersebut dilandasi pertimbangan:
Bahwa DPD memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, karena itu
seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi. Usul pemberian kewenangan yang
memadai itu karena DPD sebagai lembaga negara kedudukannya sama dengan lembaga negara
lainnya. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, mustahil bagi DPD untuk memenuhi harapan
masyarakat dan daerah serta mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD. Penerapan
prinsip check and balances antar lembaga legislatif harus diwujudkan.
Dalam rangka penguatan kapasitas DPD yang memadai dan lebih mantap, diperlukan
penyempurnaan tatanan negara yang lebih menjamin kedaulatan rakyat dan prinsip cheks and
balances antar lembaga negara. Dalam kekuasaan legislatif, perlu ditata kembali prinsip
kesetaraan, saling mengontrol dan mengimbagi antara DPR dengan DPD. Tujuan ke arah
tersebut akan berujung perlunya melakukan perubahan UUD 1945 secara komprehensif, dan
dalam konteks DPD perlu penyempurnaan pasal 22 D.
Terlebih DPD telah memberikan penguatan kehidupan demokrasi, khususnya yang berkaitan
dengan daerah dengan menyerap aspirasi dan kepentingan daerah, serta memperjuangkan
kepentingan masyarakat dan daerah kepada Pemerintah atau di tingkat nasional. Hal ini niscaya
juga akan mendekatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antara masyarakat dengan
pemerintah. Pada kelanjutannya akan dapat memupuk dan memperkuat perasaan akan manfaat
pemerintah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Bahwa DPD juga menunjukkan
penguatan demokrasi dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain: Sistem pemilihan anggota
DPD dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Selain itu, DPD sebagai
perwakilan daerah menunjukkan akomodasi dan representasi wilayah artinya ada penyebaran
perwakilan dari seluruh wilayah/provinsi di Indonesia.
Penguatan DPD tak perlu lagi dikaitkan dengan bentuk federalisme dengan sistem perwakilan
bikameral. Memang benar bahwa banyak negara yang menganut federalisme menggunakan
sistem perwakilan bikameral, tetapi juga banyak negara yang berbentuk negara kesatuan
menganut sistem perwakilan bikameral. Penelitian yang dilakukan oleh IDEA hasilnya
menunjukkan bahwa dari 54 negara demokratis yang diteliti terdapat 22 negara yang menganut
sistem perwakilan unikameral, sedangkan sebanyak 32 negara memilih sistem bikameral.
Banyak juga negara dengan bentuk negara kesatuan memilih sistem bikameral di samping juga
ada yang memilih unikameral. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semua negara
demokratis yang memiliki wilayah luas memiliki dua majelis (bikameral) kecuali Muzambique.
Dalam konteks Indonesia, yang memiliki wilayah sangat luas, terdiri dari ribuan pulau dengan
tingkat heteroginitas tinggi, penduduknya banyak (empat besar di dunia), kiranya tidak salah jika
Indonesia memilih sistem bikameral. Eksistensi DPD yang kuat ke depan harus dipertahankan,
dan pilihan sistem perwakilan bikameral tidak perlu dikhawatirkan akan menuju federalisme.
Tentu saja harus secara berlanjut dilakukan sosialisasi aturan sistem ketatanegaraan yang
disepakati di samping juga menjaga dan memperkokoh jati diri bangsa, yaitu Pancasila, UUD
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.
Keterbatasan kewenangan DPD juga tidak sesuai semangat dan jiwa yang terkandung dalam
maksud dan tujuan diadakannya DPD sebagai lembaga perwakilan daerah serta perwujudan
prinsip check and balances. Berbagai upaya yang dilakukan, telah menunjukkan perkembangan
dengan sinyal positif hubungan DPR dan DPD. Hubungan yang baik itu diharapkan akan wujud
dalam kesederajatan dan kebersamaan DPR dan DPD dalam lembaga legislatif atas dasar prinsip
check and balances dalam kerangka melaksanakan Pancasila, UUD 1945, koridor kokohnya
NKRI yang berbhineka Tunggal Ika untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Atas dasar hal
tersebut di atas dan dengan niat yang kuat untuk mengembangkan demokrasi modern
berdasarkan konstitusi dalam tata kenegaraan, maka eksistensi DPD RI harus dipertahankan dan
diperkuat kapasitas kelembagaannya sebagai badan legislatif.
Melalui DPD ini diharapkan hubungan dengan otonomi daerah dan pusat dan
daerah,pembentukan,dan pemekaran serta penggabungan daerah ,pengelolaan sumber daya
alam,dan sumber daya ekonomi lainnya,serta yang berkaitan dengan perimbangan keungan pusat
dan daerah bisa berjalan dengan baik. Harus ada amandemen UUD 1945 terkait kewenangan
legislasi DPD. Konkretnya bahwa DPD adalah lembaga legislatif, selayaknya memiliki
kewenangan membuat undang-undang bersama DPR.
Menurut para pendujung konsep amandemen ini, tanpa ada perubahan terhadap UUD 1945,
maka sesanter apapun aspirasi masyarakat dan daerah yang dikawal anggota DPD, tetap tidak
mudah untuk ditindaklanjuti dan direalisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya amandemen UUD
1945 terkait kewengan DPD, diprediksi nasib masyarakat dan daerah tidak akan berubah
signifikan ke arah yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih menguatkan NKRI.
D. SINERGITAS DPD DALAM SISTEM KENEGARAAN INDONESIA KEDEPAN
Hakikinya, tujuan politik dan hukum adalah sama, yakni “mewujudkan kedamaian dalam hidup
bersama.” Yang kemudian menjadi dasar perbedaan antara politik dan hukum adalah sifat dari
keduanya, politik merupakan proses mencapai tujuan, sementara hukum merupakan produk akhir
(sementara) dari proses tersebut. Dengan kata lain, semua politik terarah untuk menimbulkan
hukum positif. UUD 1945 merupakan hasil dari proses politik hukum, yang mana dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara harus jadikan pedoman dari segala bentuk peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan DPD pada dasarnya termaktub dalam pasal 22D UUD 1945 yang menentukan
bahwa:
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kelemahan kewenangan DPD dalam UUD 1945 tidak dapat dipungkiri. Hal terebut karena DPD
tidak memiliki kekuatan untuk mengeluarkan keputusan yang sifatnya mengikat. DPD hanya
diberi kewenangan untuk ikut dalam pembahasan RUU tertentu dan tidak memiliki kewenangan
untuk memberikan persetujuan terhadap RUU untuk menjadi sebuah undang-undang. Jadi,
walaupun DPR dan Presiden dalam membentuk undang-undang terkait dengan kewenangan
DPD menggunakan posisi alamiah hukum (nalar filsafati hukum) tanpa diganggu oleh
kepentingan politik manapun tetap saja akan menghasilkan kewenangan DPD yang lemah.
Apalagi jika posisi alamiah hukum tersebut tarik menarik antara nalar filsafati dan kebutuhan
praktis partai politik, maka hal tersebut tentu akan menjadi faktor utama terhambatnya purifikasi
kewenangan DPD dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional menunjukkan betapa
sulitnya menjadi anggota DPD. Jika merujuk pada sebuah legitimasi, legitimasi anggota DPD
lebih besar kualitasnya dibandingkan dengan legitimasi anggota DPR. Seharusnya legitimasi
lembaga tersebut berbanding lurus dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Namun
logika hukum tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dituliskan oleh UUD 1945 yang
merupakan produk politik pada masa itu. Apa yang dikatakan Stephen Sherlock sesungguhnya
DPD Indonesia adalah perbandingan yang sangat aneh yang tidak pernah dia temukan belahan
dunia manapun, dimana DPD adalah percampuran antara tingginya legitimasi publik karena
dipilih secara langsung dengan rendahnya kualitas kewenangan.
Dari sudut pandang yang berbeda, Irman Putra Sidin berpendapat bahwa:
Nampaknya, antara Presiden, DPR dan DPD sesungguhnya adalah bagian dari warisan
subjek/unsur terbentuknya negara itu yang merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Presiden
itu sesungguhnya adalah ahli waris dari unsur pemerintahan yang berdaulat itu dalam
terbentuknya suatu negara. Presiden memegang kekuasaan kemerintahan. DPR sendiri lahir
dari unsur hak hak rakyat itu sendiri untuk mengatur dirinya sendiri guna melahirkan demos
dan kratein. Dimana DPD itu asal muasalnya? Asal muasal DPD itu berasal dari subjek/unsur
wilayah yang kemudian klaim sejarahnya mengalami fragmentasi dengan organisasai [sic]
organisasi mandiri bahkan otonom guna mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Hal inilah
kemudian menjadikan wilayah berubah menjadi cluster disebut daerah sebagai “fiksi yang
hidup”, yang kemudian melahirkan entita perwakilan yang punya aspirasi yang harus didengar,
dan diakomodasi.
Hal tersebut semakin menguatkan pentingnya DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
sehingga martabat DPD sebagai lembaga negara harus dinaikkan melalui kewenangan yang
setara dengan lembaga negara lainnya (Presiden dan DPR). Setara bukan berarti harus sama,
melainkan sesuai fungsinya masing-masing bukan sebagai auxiliary dari lembaga lain.
Purifikasi struktur parlemen ke arah bikameral memang perlu diwujudkan. Bikaremal pada
negara besar dan kompleks membutuhkan struktur parlemen 2 (dua) kamar. Menurut Laica
Marzuki pembentukan parleman bikameral (two houses parliament) menempatkan dua kamar
(two houses) pada kedudukan kelembagaan yang setara dan harmonis, dalam hal ini:
Kamar yang satu mengimbangi dan membatasi supremasi kamar yang lain (to curbs the other
chamber), demikian sebaliknya. Memperkuat dan memberdayakan peran daerah-daerah dalam
membangun sistem negara kesatuan (unitary state system).
Dari segi historis perkembangan struktur parlemen di negara-negara, eksperimen dengan metode
unicameral yang terkadang dicobakan selama masa rekonstruksi revolusioner harus berakhir
dengan dibentuknya kembali Kamar Kedua pada periode reksioner berikutnya, atau bahkan
ketika rezim revolusioner berlangsung lama.
Jika keputusan DPD menjadi jawaban untuk menyempurnakan struktur parlemen dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, maka wewenang Parlemen harus ditingkatkan kualitasnya. Benar
bahwa dalam perkembangannya, konsep bikameral banyak diterapkan di negara-negara federal,
namun begitu besar dan kompleksnya kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kedaulatan
rakyat sebagai landasan konstitusionalnya, maka kebutuhan akan kamar kedua menjadi
fundamental untuk mewujudkan prinsip “semua harus terwakili.”
Sebagaimana dikemukakan Jimly Asshiddiqie, bahwa Most unitary states tend to adopt the
unicameral system, but all federal states have bicameral structure of parliament. However, there
are also big unitary states with bicameral parliaments, although with an unequeal status.
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa, thus bicameral system is in general
classifies by some xperts in (a) strong bicameralism, and (b) soft bicameralism. Hamipir sama
dengan Giovanni Sartori yang membagi model bikameral menjadi tip model, yaitu: (1)
asymmetric bicameralism/weak bicameralism/soft bicameralism, yaitu dalam hal kekuatan salah
satu kamar lebih dominan terhadap kamar yang lainnya; (2) symmetric bicameralism atau
strong bicameralism, yaitu apabila kekuatan antara kamar nyaris sama kuat; dan (3) perfect
bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.
Terkait dengan tiga model bikameral yang dikemukakan Sartori, Denny Indrayana
berpandangan bahwa: weak bicameralism baiknya dihindari karena akan menghilangkan
tujuan dibentuknya bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol antarkamar. Bagaimanapun,
dominasi salah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari
sistem parlemen unicameral Sementara itu, di sisi lain, perfect bicameralism bukan pula
menjadi pilihan ideal karena wewenang yang terlalu imbang di antara Majelis Rendah dan
Majelis Tinggi, yang seakan-akan bertujuan melancarkan fungsi control antarkamar parlemen,
berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Karena itu, pilihannya adalah sistem
strong bicameralism.
Oleh karena itu, ke depan struktur parlemen kita sebaiknya mengarah kepada bikameralisme
yang bersifat strong bicameralism (tentu melalui amandemen UUD 1945). Soft bicamerilsm pada
substansinya telah kita praktikkan melalui parlemen saat ini. Gambaran kewenangan yang
dimiliki DPD memperlihatkan bahwa DPD merupakan lembaga yang mempunyai legitimasi
yang berkualitas namun “miskin” kewenangan. Tak heran jika berbagai kalangan mengatakan
bahwa DPD seolah-olah merupakan auxiliary terhadap DPR. Bangunan Strong Bicameralism
diharapkan mampu menjadi penopang utama dalam mewujudkan cita negara terkait dengan
otonomi daerah.
Inti dari penguatan lembaga legislatif adalah kewenangan legislasi. Dengan kata lain untuk
meningkatkan kualitas DPD, maka kewenangan DPD dalam hal legislasi perlu diperkuat, yakni
dengan memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut dalam proses persetuan bersama.
Praktik ketatanegaraan selama ini, keikutsertaan DPD hanya sampai kepada pembahasan RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama. Karena jika dikaji seluruh ketentuan norma dalam UUD 1945, kewenangan persetujuan
RUU menjadi undangundang hanya diberikan kepada Presiden dan DPR.
Pengembangan konsep pembentukan undang-undang secara utuh melalui tripartit (antara DPR,
DPD, dan Presiden) diharapkan mampu meningkatkan kualitas undang-undang di Indonesia. Jadi
kewenangan DPD tidak lagi hanya sampai kepada pembahasan semata, melainkan DPD
dimampukan untuk mengeluarkan keputusan yang sifatnya mengikat. Keputusan meningkatkan
kualitas DPD akan berimplikasi juga terhadap 2 (dua) pilihan:
1. DPD diberi kewenangan dalam pembentukan undang-undang tertentu
2. DPD diberi kewenangan dalam pembentunkan undang-undang (seluruh undang-undang)
Jelas semuanya mempunyai sistem hukum yang berbeda, baik itu klasifikasi peraturan
perundang-undangan yang akan terbagi 2 (dua) jika menganut DPD diberikan kewenangan
hanya terkait pembentukan undang-undang tertentu, bahkan sampai kepada relasi hubungan
DPD dan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
KESIMPULAN
Marwah Dewan Perwakilan Daerah dalam struktur parlemen dengan kondisi apapun, bahkan jika
suatu norma undang-undang terkait DPD dibentuk dengan menggunakan posisi alamiah hukum
(nalar filsafati hukum) tanpa diganggu oleh kepentingan politik manapun tetap saja akan
menghasilkan kualitas kewenangan yang lemah.
Hal tersebut terjadi akibat landasan konstitusional DPD itu sendiri yang menunjukkan bahwa
DPD tidak dapat mengeluarkan keputusan yang sifatnya mengikat. Nafas (sukma) pembentukan
DPD dalam struktur parlemen adalah mewujudkan parlemen yang berkualitas dengan metode
lembaga penyeimbang. Namun ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu
mendapat tentangan yang keras dari kelompok konservatif di PAH Perubahan UUD 1945 di
1999-2002.
Sinergitas DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ke depan perlu diperkuat melalui
purifikasi struktur parlemen yang mencerminkan strong bicameralism. Tentunya hal ini hanya
bias tercapai dengan amandemen terhadap UUD 1945. Sehingga akan berimplikasi pula pada
proses pembentukan undangundang (melibatkan DPR-DPD-Presiden) yang harmonis dan
berkualitas. Dengan kondisi tersebut maka potensi sistem presidensial dan struktur parlemen
yang baik dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangunan Strong Bicameralism dimaksud diharapkan mampu meningkatkan peran DPD sebagai
salah satu penopang utama dalam mewujudkan cita negara dalam bidang otonomi daerah dan
negara kesatuan.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia – Pasca Reformasi, Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu.
Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi: menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem
Presidensial Indonesia, ed 1-2. Jakarta: Rajawali Pers.
Strong, C.F. (Penj: Derta Sri Widowatie). Konstitusi-Konstitusi Politik Moder: Studi Perbandingan
tentang Sejarah dan Bentuk. Bandung: Nusa Media.
Toding, Adventus, 2017 , DPD dalam Struktur Parlemen Indonesia: Wacana Pemusnahan Versus
Penguatan