Anda di halaman 1dari 35

Landasan Dakwah Multikultural:

Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme Agama

LANDASAN DAKWAH MULTIKULTURAL: STUDI


KASUS FATWA MUI TENTANG PENGHARAMAN
PLURALISME AGAMA

Aris Kristianto Dedy Pradesa


STID Al-Hadid, Surabaya STID Al-Hadid, Surabaya
ariskristianto6@gmail.com depra19312@gmail.com

Abstrak: Studi ini berangkat dari gagasan dakwah multikultural yang relevan
dengan konteks Indonesia. Sebagai sebuah pendekatan dakwah berbasis
multikultural perlu memiliki landasan yang tepat dalam pelaksanaannya, karena
konsep multikultural bersinggungan dengan konsep pluralisme teologis yang
ternyata maknanya tidak tunggal. Sisi lain MUI sebagai Lembaga yang
mengeluarkan fatwa Nomor 7 Tahun 2005 tentang keharaman pluralisme. Di
sinilah perlunya pengkajian fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme teologis
sebagai landasan dakwah multikultural. Studi ini berfokus pada menelaah fatwa
MUI tentang pengharaman pluralisme agama dan keabsahan makna khusus
pluralisme agama, serta implikasi fatwa tersebut bagi pelaksanaan dakwah
multikultural. Metodologi studi secara kualitatif deskriptif dengan pendekatan
kepustakaan. Analisis berpijak pada konsep pluralisme, karakteristik dakwah
multikultural, serta kelembagaan MUI dan fatwanya. Hasil studi menunjukkan
bahwa pemaknaan pluralisme yang digagas MUI absah sebab berangkat dari
pengertian awal pemahaman masyarakat, sehingga fatwa tersebut dapat diterima
kebenarannya. Implikasi fatwa tersebut terletak pada tiga hal, yaitu perlunya
pengembangan materi antipluralisme dan promultikultural, pengembangan
strategi dakwah berbasis kultural dan mengedepankan kerukunan, penyikapan
perbedaan dengan dialog dan toleransi aktif untuk hidup Bersama.
Kata kunci: Dakwah multikultural, Fatwa MUI, Pluralisme agama

Abstract: This study is taken from a concept of multicultural da’wah relevant to the
Indonesian context. As an approach, multicultural da’wah needs to own the right
basis in its implementation, since the multicultural concept is related to the concept
of religious pluralism whose meaning is, in reality, not single. Meanwhile, MUI, as
an institution issuing Islamic decree (fatwa) in Indonesia, has issued a fatwa on the
prohibition for religious pluralism, its meaning legality, and its fatwa implication for
the implementation of multicultural da’wah. This study applies qualitative
descriptive method with library-research approach. Its analysis is based on the
pluralism concept, multicultural da’wah characteristics, the institution of MUI, and
its fatwa. The result shows that the definition of pluralism which was initiated by
MUI was legal because it derived from initial understanding and comprehension
available in society. Therefore, the truth of fatwa is acceptable. The fatwa implies
three matters, namely the necessity for developing anti-pluralism and pro-
multicultural materials, the development of cultural-based da’wah strategy
prioritizing social harmony, and treating differences by engaging in a dialogue and
active tolerance for living together.
Keywords: Multicultural da’wah, MUI fatwa, Religious pluralism

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 1


Aris
Kristianto

Pendahuluan eksklusivitas dan egoisme. Dengan


Keragaman budaya (multikultur) di mengatasnamakan kebenaran, mereka
Indonesia adalah sebuah realitas yang harus melakukan tindak kekerasan, bahkan
diterima dan disikapi dengan tepat. Dakwah penyerangan terhadap kelompok yang
sebagai upaya untuk mengajak, menyeru, berbeda pemikiran atau aliran.5 Munculnya
dan memberikan anjuran dengan persuasif, 1 kekerasan-kekerasan dalam kegiatan
dalam konteks Indonesia haruslah dakwah, ditengarai karena lemahnya kajian-
memperhatikan keragaman budaya kajian keagamaan (dakwah) di umat Islam,
masyarakat. Aktivitas dakwah di Indonesia karena landasan keilmuannya yang kurang
mestilah berparadigma multikultural, yaitu kokoh, sehingga dakwah berjalan apa
paradigma dakwah yang concern pada adanya tanpa ada desain yang teratur dan
penyampaian pesan dakwah dalam konteks sistematis.6 Untuk itu kesadaran dan
masyarakat yang plural, dengan penerimaan terhadap pluralitas dalam
mengedepankan dialog untuk mencari budaya dan agama masyarakat Indonesia
kesepahaman dan kesepakatan bersama penting untuk terus dikuatkan.
dari sekian banyak perbedaan.2 Pendekatan
dakwah berbasis multikultural mencoba Sisi lain penerimaan pluralitas sebagai basis
melihat keunikan dari yang banyak dan dakwah multikultural mendapatkan
berbeda-beda dalam keragaman itu tidak tantangan dari perdebatan pemikiran
harus dipaksa bersatu, tetapi tetap berjalan pluralisme agama. Kontroversi diametral
harmonis menjadi kesepahaman bersama antara agamawan dan akademisi terjadi
dan bertoleransi.3 Oleh karenanya pada masalah penerimaan pluralisme
pelaksanaan dakwah multikultural selalu agama sebagai landasan etika sosial yang
mengedepankan pendekatan yang ramah, baik sebagai harmoni kehidupan sosial
bisa mengayomi, dialogis, dengan antarumat beragama ataukah
mempertimbangkan budaya-budaya pendangkalan akidah. 7

masyarakat dan berpijak pada nilai


universal kemanusiaan, tanpa mengubah Plural yang berarti jamak, bukanlah istilah
maksud dan tujuan dakwah.4 dalam tradisi Islam. Sebagian umat Islam
dan aktivis dakwah bersedia menggunakan
Namun dalam praktiknya, kegiatan dakwah kata plural, pluralistik, atau pluralitas, tetapi
di Indonesia masih menghadapi kendala. menolak menggunakan istilah pluralisme.8
Sebagian aktivis dakwah, baik individu Sebab dalam pandangannya, plural adalah
maupun lembaga, masih menampakkan keragaman atau pengakuan terhadap

1
M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah Edisi Revisi, (Jakarta:
6
Kencana Prenadamedia Grup, 2016), 17-18. Abdul Basit, Filsafat Dakwah (Jakarta: Rajagrafindo
2
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Persada, 2013), 15.
7
Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam Aris Kristianto, “Pluralisme Agama di Indonesia:
(Jakarta: Kencana, 2011), 263-264. Studi tentang Tipologi Pluralisme Agama
3
Ibid., 263. Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
4
Nawawi, “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural,” Tahun 2005” (Disertasi, UIN Sunan Ampel Surabaya,
Komunika vol. 6, no. 1 (2012), pp. 2018), 3-5.
8
5
Rosidi, “Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Zuly Qodir, “Pemikiran Islam, Multikulturalisme dan
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Abdurrahman Kewargaan”, dalam Wawan Gunawan Abd. Wahid,
Wahid,” Analisis vol. 13, no. 2 (2013): 482. dkk, Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia
tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-
Muslim (Bandung: Mizan, 2015), 174-176.

2 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme Agama

keragaman perbedaan. Sementara Gagasan awal pluralisme teologis menurut


pluralisme berarti adalah paham atau aliran Parrinder dan Sharpe berasal dari tokoh-
yang menerima kebenaran semua agama tokoh India, yaitu Rammohan Ray (1772-
secara simile atau sejatinya berbeda tetapi 1833) awalnya penganut Hindu, kemudian
dianggap sama. Definisi pluralisme yang mempelajari konsep-konsep Islam, dan
semacam itu tentu membahayakan bagi menyimpulkan pemikiran Tuhan Yang Satu
keimanan seseorang. Oleh karenanya dalam dan persamaan antaragama. Demikian pula
dakwah mereka senantiasa menolak tokoh mistis Bengali, Sri Ramakrishna (1834-
pluralisme teologis namun bersedia 1886), pengalaman mengarungi
menerima pluralitas. pengembaraan spiritual antaragama
(passing over) dari Hindu ke Islam,
Definisi tersebut cukup beralasan kemudian Kristen kembali Hindu,
mengingat John Hick, salah seorang tokoh menyimpulkan berbedanya agama
pluralisme, menjelaskan bahwa bukanlah perbedaan yang berarti, karena
fenomenologi sejarah agama-agamasecara hanya masalah ekspresi.10
inheren
menampakkan adanya fakta pluralisme Waskito melihat pluralisme dapat dipahami
teologis pada tradisi dan variasinya pada tataran praktis dan ideologis.
sehingga terdapat relasi antarbudaya Pluralisme secara praktis dapat diartikan
dengan segala perbedaan dan komposisi sebagai sikap menerima dan menghargai
klaimnya. Pandangan paradigmatisnya perbedaan, dan toleransi, yang di dalam
dengan memperlawankan tren inklusivisme Islam disebut tasammuh ‘alal ikhtilāf (sikap
dan eksklusivisme dalam beragama. lapang dada dalam perbedaan pendapat).
Inklusivisme dalam beragama meyakini Sedang pluralisme dalam tataran ideologis
tradisi keagamaannya secara menyeluruh merupakan konsep kesamaan dan
benar, tetapi parsialnya terefleksikan pada kebenaran pada semua agama,
tradisi agama lain. Perkembangan lebih jauh perbedaannya hanya masalah interpretasi
dari inklusivisme yang mengakui adanya dan teknis.11
kebenaran di setiap tradisi agama dan Pluralisme teologis ini selanjutnya
kepercayaan ada pada pluralisme teologis. memengaruhi makna agama bagi
Sebaliknya, eksklusivisme dalam beragama pemeluknya. Insersi kesadaran pada konsep
meyakini tradisi partikular yang pluralisme ini berimplikasi luas pada
mengajarkan kebenaran dan mengandung netralitas agama. Akibatnya memunculkan
jalan keselamatan dan pembebasan tidak interpretasi dan kecurigaan semua pihak.12
pernah berubah. Artinya, keagamaan Akibatnya, pelaksanaan dakwah
sendirilah yang benar dan selainnya salah.9 multikultural yang bersinggungan dengan

dan Kerancuan Berfikir Bangsa (Jakarta: Pustaka Al-


9
John Hick, “Religious Pluralism”, dalam The Kautsar, 2010), 113.
Encyclopedia of Religion, ed. Mircea Eliade, et al. 12
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru dalam
(New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), 331. Beragama: Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama
10
Taslim H.M. Yasin, “Pluraslime Agama Sebuah Dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa
Keniscayaan,” Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 67.
vol. 15, no. 1 (2013):134-144.
11
Abu Muhammad Waskito, Cukup 1 Gus Dur Saja!
Sebuah Monumen Kontroversi, Kebodohan Sistemik

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 3


Aris
Kristianto

konsep pluralisme agama perlu memiliki Wacana pluralisme sebagai konsep interaksi
landasan yang kukuh. Ketidakpahaman antarumat beragama disikapi oleh Majelis
aktivis dakwah terhadap konsep pluralisme Ulama Indonesia (MUI) dengan
dapat mengakibatkan kekeliruan dalam dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 7 Tahun
dakwah multikultural. Ketika tidak bisa 2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan
membedakan ragam tipologi pluralisme, sekularisme agama. Rumusan fatwa yang
aktivis dakwah bisa terjebak pada makna dikeluarkan MUI melalui Munas VII Tahun
pluralisme agama yang samar, atau 2005 menyebutkan, definisi pluralisme
dibelokkan oleh pihak tertentu. Misalnya, agama adalah paham yang mengajarkan
pluralisme dalam arti teologis adalah semua agama sama, kebenarannya bersifat
penyatuan iman dari sekian perbedaan relatif sehingga setiap pemeluknya tidak
ajaran pada masing-masing agama bahkan boleh mengklaim hanya agama sendiri yang
identitas pemeluknya saling bertentangan benar, sedangkan agama lain salah dan
menjadi terabaikan. Akibatnya dakwah semua pemeluk akan masuk dan hidup
pendekatan multikultural yang mencoba berdampingan di surga.14 Kewenangan MUI
melihat perbedaan sebagai keunikan yang mengeluarkan fatwa sebagai institusi
tidak harus dipaksakan untuk disatukan, keagamaan, layak untuk dijadikan landasan
menjadi pemaksaan terhadap pluralisme itu dalam pelaksanaan dakwah di Indonesia.
sendiri. Perbedaan dan keunikan agama- Sebagaimana dalam penjelasannya, fatwa
agama yang seharusnya dilindungi sebagai MUI tersebut menegaskan klaim kebenaran
hak asasi manusia terpaksa melebur dalam agama sendiri dibenarkan, sejauh tetap
bentuk pemahaman baru ajaran agama. berkomitmen untuk saling menghargai dan
Dalam beberapa kasus, pluralisme dijadikan mewujudkan keharmonisan sesama umat
alat untuk mendangkalkan akidah umat beragama. Menolak pluralisme dan
Islam seperti mengikuti tata cara ibadah menerima pluralitas dengan toleransi dan
agama lain. Menurut Abdusshomad Buchori hidup damai berdampingan adalah sikap
(Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa yang benar karena pluralitas adalah
Timur), banyak laporan informasi yang kemajemukan agama sebagai hukum
diterima MUI Jawa Timur. Beberapa Kiai sejarah.15
turut hadir masuk gereja diundang Pendeta,
yang itu dilakukan dengan alasan toleransi Keharaman pluralisme oleh Fatwa MUI
dan pluralisme. Oleh karenanya beliau bukannya tanpa penolakan. Beberapa
menolak ketika Abdurrahman wahid (Gus kelompok yang pro pluralisme menolak
Dur) dianugerahkan gelar “Bapak asumsi dasar pluralisme yang dijadikan
Pluralisme.” Sebab menurutnya fenomena pijakan MUI. Kelompok propluralisme
tersebut bisa membuat kerancuan menolak pengertian pluralisme
pemahaman masyarakat awam, khususnya mengajarkan semua agama sama. Ulil
yang tidak memahami maksud pluralisme Abshar Abdalla, berpendapat bahwa
agama.13
19, 2014.
13
“Dukung Pahlawan Nasional, MUI Jatim Tolak Gus http://asshomadiyahcenter.blogspot.com/2011/10/m
Dur Bapak Pluralisme,” nuonline, February 27, 2017. ui-jatim-tolak-gelar-bapak-pluralisme.html
https://www.nu.or.id/post/read/21085/dukung- 14
Ma’ruf Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
pahlawan-nasional-mui-jatim-tolak-gus-dur-bapak- Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), 91.
pluralisme; Yunus, Mochammad. “MUI Jatim Tolak 15
Ibid., 95.
Gelar Bapak Pluralisme” Asshomadiyahcenter. April

4 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme Agama

pluralisme bukanlah undangan ke arah keagamaan penggunaan istilah ini


relativisme melainkan encounter of mengandung konsekuensi yang berbeda.
commitments, yaitu perjumpaan antarumat Sebagaimana pendapat Zuly Qodir
beragama yang beriman, berkomitmen kecenderungan penggunaan istilah
mendalam atas tradisi agama masing- pluralisme berkaitan dengan persoalan
masing bukan menyamakan semua keagamaan (keimanan) dan
agama.16 multikulturalisme terkait masalah sosial
budaya, dan politik.18
Dengan demikian terdapat keragaman
wacana pluralisme agama sehingga perlu Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005
kehati-hatian sikap bagi para aktivis merupakan respons MUI terhadap
dakwah. Dakwah berparadigma multikultural maraknya ajaran sekularisme, liberalisme,
memang tidak boleh mengingkari adanya dan pluralisme agama, khususnya agama
pluralitas (kemajemukan) dan Islam. Sampai dengan studi ini dibuat, MUI
mengembangkan pluralisme dalam tataran belum melakukan perubahan atau revisi
praktis, tanpa mereduksi iman. Misrawi terkait fatwa tersebut. Polemik terkait
menjelaskannya sebagai pluralisme yang fatwa tersebut berpusat pada pemaknaan
hanya melihat aspek sosiologis, khususnya pluralisme, yang sebagaimana disinggung di
untuk memaksimalkan peran sosial bagi atas, tidak semua pihak sepakat dengan
kelompok minoritas seperti toleransi, pemaknaan pluralisme oleh MUI sehingga
kesukarelaan, dan keadilan tanpa pretensi menolak fatwa tersebut. Oleh karenanya,
menggoyahkan iman.17 studi ini menganalisis lebih lanjut terkait
Dakwah multikultural yang berarti makna pluralisme di Indonesia dalam fatwa
penyampaian pesan dakwah pada tersebut, serta implikasinya dalam
masyarakat yang plural dalam budaya dan pelaksanaan dakwah multikultural.
agama, dengan mengedepankan dialog,
toleransi, dan mencari titik temu dalam Studi ini berangkat dari fenomena wacana
keragaman tidak boleh berakibat pada pluralisme yang perlu disikapi dengan hati-
reduksi atau pendangkalan iman. Relasi hati dalam pelaksanaan dakwah
pluralisme agama dalam tataran ideologi multikultural di Indonesia. Dengan demikian
dapat merusak akidah manakala dijadikan fokus masalah studi ini adalah: (1)
pijakan dalam dakwah multikultural. Tujuan bagaimana pluralisme agama menurut
dakwah untuk memperkukuh keimanan fatwa MUI yang menolak pluralisme dan
malah akan tidak tercapai dengan asumsi menerima pluralitas sebagai landasan
pemahaman pluralisme yang keliru. dakwah multikultural? apakah makna
Disinilah pentingnya landasan pemahaman pluralisme dalam fatwa tersebut absah? (2)
dan hukum tentang pluralisme yang telah bagaimana implikasi fatwa tersebut
difatwakan oleh MUI. Perlu penegasan terhadap penerapan dakwah multikultural
bahwa pluralisme tidak sama dengan di Indonesia? Tujuan dari studi ini adalah
multikultural. Dalam konteks sosial untuk
16
Ulil Abshar Abdalla, “Pluralisme dan Pluralitas: Dua
Sisi dari Koin Yang Sama,” Islamlib.com, diakses 10 Sosioreligius di Indonesia,” Dialogia Jurnal Studi Islam
Mei 2016, www.Islamlib.com/author/ulil.htm. dan Sosial vol. 9, no. 1 (Juni 2011): 21.
18
17
Zuhairi Misrawi, “Rethinking Pluralisme Telaah Zuly Qodir, “Pemikiran Islam, Multikulturalisme dan
Konsep dan Implementasi dalam kehidupan Kewargaan,” 185.

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 5


Aris
Kristianto

20
mendeskripsikan fatwa MUI tentang Ilman Nafi’a, “Fatwa Pluralisme dan Pluralitas Agama MUI
(Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam
pluralisme agama sebagai landasan dakwah Cirebon,” Holistik, vol. 14, no. 1 (2013): 125-150.
multikultural dan implikasi pelaksanaannya
di Indonesia. Secara praktis studi ini
bermanfaat sebagai wawasan bagi para
aktivis dakwah terkait fatwa MUI tentang
pluralisme agama dan implikasinya
terhadap pelaksanaan dakwah multikultural
di Indonesia.

Studi-studi sebelumnya terkait fatwa MUI


tentang pluralisme agama dan landasan
dakwah multikultural, di antaranya adalah,
pertama, skripsi berjudul “Analisis Fatwa
MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan
Sekularisme Agama.”19 Skripsi tersebut
bertujuan untuk memahami fatwa tersebut
dan mengetahui perbedaannya dengan
pemikiran Islam Liberal. Dengan metode
hukum normatif tertulis sebagaimana
fatwa, hasil penelitian menyimpulkan
bahwa fatwa tersebut menegaskan
pengharaman untuk mengikuti paham
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme.
Perbedaan mencolok fatwa tersebut
dengan pemikiran liberal yang
membolehkan pluralisme, liberalisme, dan
sekularisme adalah pada penekanan
kebebasan berpikir, HAM, dan pengakuan
kebenaran agama lain sebagai dasar
mewujudkan toleransi dan proeksistensi
kehidupan antarumat beragama.
Sementara MUI mengakui pluralitas, bukan
pluralisme, dengan toleransi dan
kerukunan. Skripsi tersebut dengan studi ini
sama-sama memahami fatwa MUI, hanya
ruang lingkup dan orientasinya yang
berbeda. Dalam studi ini ruang lingkupnya
hanya pada fatwa pluralisme agama yang
diorientasikan

19
Andi Permana, “Analisis Fatwa MUI Tentang
Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama,”
(Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

sebagai landasan dakwah (fatwa MUI) dan teologis atas pemikiran


multikultural di Indonesia. bebas, seperti liberalisme, sekularisme, dan
pluralisme,
Kedua, artikel jurnal berjudul
“Fatwa Pluralisme dan Pluralitas 21
Agus Ahmad Su’aidi, “Mengukur Kuasa Fikih dan
Agama MUI Dalam Perspektif Tokoh Teologi atas Pemikiran: Studi Kasus Fatwa
Pengharaman Liberalisme, Sekulerisme, dan
Islam Cirebon.”20 Studi tersebut Pluralisme,” Ijtihad Jurnal Wacana Hukum Islam dan
berangkat dari persoalan Kemanusiaan vol.10, no. 1 (Juni, 2010): 17-33.
kontroversi fatwa MUI tentang
keharaman pluralisme agama,
termasuk di kalangan tokoh Islam
Cirebon. Hasil studi menjelaskan
bahwa ada sebagian yang
memahami perbedaan antara
pluralisme dan pluralitas, sehingga
sebagaimana fatwa MUI mereka
menolak pluralisme dan menerima
pluralitas. Sebagian ada yang
memahami bahwa antara pluralitas
dan pluralisme memiliki pengertian
yang sama, yaitu pengakuan atas
kemajemukan atau keragaman
agama. Oleh karenanya baik
pluralitas maupun pluralisme tidak
bermasalah. Kesamaan artikel
tersebut dengan studi ini adalah
pada ruang lingkup fatwa pluralisme
agama, tetapi secara pendekatan
dan orientasi berbeda.

Ketiga, artikel jurnal berjudul


“Mengukur Kuasa Fikih dan Teologi
atas Pemikiran: Studi Kasus Fatwa
Pengharaman Liberalisme,
Sekularisme, dan Pluralisme.”21
Studi tersebut juga mempersoalkan
fatwa MUI yang dikaji dalam studi
ini. Di mana isme- isme yang
dilarang dalam fatwa tersebut
adalah bentuk kebebasan pemikiran
di masyarakat. Dalam
simpulannya
menyebutkan bahwa reaksi
konservatif dengan pendekatan fikih

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 159


Aris
Kristianto

tidak menyelesaikan persoalan, bahkan penelusuran studi ini, pengkajian fatwa MUI
merupakan alat yang salah. Sebagai tentang pluralisme agama sebagai landasan
gantinya studi tersebut menyarankan dakwah multikultural masih belum
pengujian pemikiran secara dialektika dilakukan. Studi ini menggunakan metode
ilmiah dan beradab. Sekalipun sama-sama kualitatif deskriptif, dengan subjek
membahas fatwa MUI, namun orientasi penelitian landasan dakwah multikultural
studi jelas berbeda. Artikel tersebut dan objek penelitian fatwa MUI tentang
merespons keberadaan fatwa yang pluralisme agama. Pendekatan utamanya
melarang pluralisme. Sementara studi ini studi pustaka, bersumber dokumen teks
mencoba memahaminya sebagai landasan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 tentang
dakwah multikultural. pluralisme, liberalisme dan sekularisme
agama; Buku Himpunan Fatwa Majelis
Keempat, artikel berjudul “Islam Rafimatan Ulama Indonesia (MUI) Sejak 1975, yang
Li ‘l-‘Ālamīn sebagai Landasan Dakwah tidak hanya berisi himpunan fatwa tetapi
Multikultural: Perspektif Muhammad juga tentang fatwa dan prosedur
22
Fethullah Gülen.” Tujuan artikel adalah menetapkan fatwa di MUI; buku-buku dan
untuk menganalisis konsep Fethullah Gülen artikel jurnal terkait yang membahas
mengenai rafimatan li ‘l-‘alamīn. Terdapat masalah pluralisme agama. Kerangka
tiga temuan penting, pertama, Islam konseptual merujuk pada konsep pluralisme
rafimatan li ‘l-‘alamīn itu direfleksikan agama, kelembagaan MUI, dan karakteristik
dengan cinta dan kasih. Kedua, Islam dakwah multikultural. Analisis data
rafimatan li ‘l-‘alamīn itu direfleksikan dilakukan secara kualitatif mengikuti model
dengan dialog antariman. Ketiga, Islam Miles dan Huberman yaitu mulai reduksi
rafimatan li ‘l-‘alamīn itu direfleksikan data (pemilahan data), penyajian data, dan
dengan toleransi. Kesamaannya dengan penarikan kesimpulan.23
studi ini adalah pada landasan dakwah
multikultural. Jika studi ini mengkaji fatwa
MUI tentang pluralisme agama sebagai
Pluralisme Agama
landasan, artikel tersebut mengkaji
Kata “pluralisme” terdiri dari kata dasar
pemikiran Islam rafimatan li ‘l-‘alamīn
“plural” artinya (form of a word) used of
Fethullah Gülen.
referring to more than one, jamak (lebih
dari satu),24 “isme” yang berarti “sistem
Signifikansi studi ini secara keseluruhan
kepercayaan berdasarkan politik, sosial,
adalah melengkapi kajian terhadap fatwa
atau ekonomi.25 Sehingga pluralisme secara
MUI tentang pluralisme agama, sekaligus
kebahasaan adalah sistem kepercayaan
keabsahan makna pluralisme dalam fatwa
terhadap realitas yang jamak. Dalam
tersebut, serta landasan dakwah
filsafat, pluralisme adalah konsep yang
multikultural. Yang mana sejauh
menjelaskan
22
Achmad Bisri, “Islam Rafimatan Li ‘l-‘Ālamīn sebagai
Landasan Dakwah Multikultural: Perspektif
Muhammad Fethullah Gülen.” Walisongo vol. 22, no. 24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
02 (2014): 479-494. Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta: Balai
23
Ismail Nawawi, Metode Penelitian Kualitatif, Pustaka, 1994), 884.
(Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 256-259. 25
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Offline Versi 1.1,
2010.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

bahwa realitas subtantif tidak monisme dan politik seperti Benjamin Franklin dan teolog
tidak pula dualisme melainkan beragam.26 seperti Havey Cox. Kedua, teologi global
(global theology), yaitu pluralisme agama
Keterlibatan agama dalam pluralisme yang merujuk pada rekonsepsi agama
berasal dari asumsi pendekatan ilmu sosial gagasan Wilfred Cantwel Smith dan
bahwa pluralisme agama sebagai kerangka hipotesis transformasi pemusatan diri
interaksi antarkelompok yang saling menuju Yang Maha Nyata (The Real) oleh
menghormati secara koeksistensi, yaitu John Hick. Meskipun memiliki perbedaan
hidup bersama tanpa konflik. Sebagaimana pandangan dan jalan tentang The Ultimate
pengertian dan gagasan pluralisme menurut Reality (Tuhan) dalam berbagai agama,
Farid Esack adalah pengakuan dan hakikatnya menuju keselamatan yang sama.
penerimaan tentang keberbedaan dan Ketiga, sinkretisme, yaitu perpaduan
keragaman lebih dari sekadar toleransi. Ada gagasan kebenaran dalam berbagai agama
unsur penerimaan cara dalam menanggapi secara teologis yang saling melengkapi.
dorongan pada sesuatu yang transenden.27 Keempat, hikmah abadi (perenial
Sementara John Hick secara fenomenologi philosophy, shophia perenis). Istilah Ibnu
melihat pluralisme agama merujuk kepada Khaldun, al-Ḥikmah al-Khālidah, yaitu
fakta sejarah agama-agama menunjukkan pluralisme yang berpijak pada keyakinan
pluralitas tradisi dan variasi di setiap untuk membedakan antara kebenaran dan
bagiannya. Pluralisme agama merupakan keberadaan/kenyataan. Jika kebenaran
perkembangan lebih jauh dari inklusivisme disebut hakikat transenden (transcendent
yang mengakui adanya kebenaran di setiap reality) adalah yang satu dan tidak mungkin
tradisi agama dan kepercayaan.28 diketahui, maka kenyataan disebut hakikat
keagamaan (religious reality) sebagai
Berbagai pemaknaan pluralisme manifestasi eksternal yang beragam dari
dikategorikan dalam dua pendekatan, yaitu hakikat transenden tersebut.29
teologi dan sosiologi. Pluralisme perspektif
sosiologi merupakan masalah politik Dari berbagai konsep menunjukkan teori
daripada agama. Konsep pluralisme pluralisme beragam dan kompleks, namun
berdasarkan identifikasi tren pemikiran terklasifikasikan dua faktor, pertama, faktor
menurut Anis Malik Thoha ada empat tren internal (ideologis), akibat tuntunan agama
pemikiran agama, pertama, humanisme pada kebenaran mutlak mengenai akidah,
sekular, yaitu mewujudkan koeksistensi doktrin dan sejarah. Sikap absolutisme
damai (peacefull co-existence) antaragama. agama yang wajar tanpa pertentangan ini
Sentralitas manusia sebagai subjek memunculkan teori relativisme agama
(antroposentris) gagasan William James dan sebagai pluralisme agama. Said Agil Husin Al
sekularisme sebagai asas koeksistensi damai Munawar menyebutkan, sejarah telah
antaragama yang direpresentasikan tokoh

26
Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, Solidarity Against Oppression (England: Oneworld
Volume 5 (New York: Mac Milan Publishing, 1967), Publication, 1997), xii.
363-364. 28
John Hick, “Religious Pluralism”, dalam The
27
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Encyclopedia of Religion, 337.
Islamic Perspective of Interreligious 29
Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama: Tinjauan

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 161


Aris
Kristianto

Kritis (Jakarta: Perspektif, 2006), 41-42.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

membuktikan tidak ada agama yang tidak tujuan tidak diraih melalui pengingkaran
melakukan klaim kebenaran mutlak.30 melainkan pengakuan terhadap perbedaan
sebagai konsekuensi atas keragaman dan
Kedua, faktor eksternal, meliputi (a) faktor kesatuan dalam pluralisme. Interaksi
sosio-politis. Pengembangan wacana antarumat beragama melalui mekanisme
sosiopolitis, demokratis, dan nasionalisme dialog dan kerja sama dalam kebaikan
melahirkan sistem negara bangsa ke arah dengan mengakui sepenuhnya hak-hak
globalisasi selama tiga abad. Pasca orang lain untuk berbeda sekaligus menolak
pemikiran liberalisme pengusung gagasan paksaan untuk konversi iman.33
kebebasan, toleransi, kesamaan, dan
pluralisme. Liberalisme tidak lagi terbatas
masalah politis bahkan politisasi dan Karakteristik Dakwah
intervensi agama secara sistematis.
Liberalisme memainkan watak universal
Multikultural
Multikultural sebagai keanekaragaman
dan komprehensifnya pada HAM sehingga
budaya termasuk bahasa, agama, adat
hak beragama dan berkeyakinan menjadi
istiadat, dan pola tatanan perilaku anggota
turut serta. Akibatnya, agama
masyarakatnya. Multikultural membangun
disubordinasikan pada kekuatan sistem di
nilai keragaman dan perbedaan budaya
luar agama hingga melupakan realitas
antarkelompok masyarakat dalam
agama;31 (b) faktor keilmuan modern.
mengekspresikan kebudayaan agar saling
Perkembangan studi perbandingan agama-
menghormati tanpa prasangka buruk dan
agama dunia mensyaratkan
permusuhan.34
perdamaian tanpa
mempersoalkan perbedaan keyakinan.
Kesadaran pada realitas dan kondisi
Evolusi politik dan ekonomi juga melahirkan
masyarakat yang heterogen serta makin
evolusi sosial budaya yang saling
mengglobal, membuat perlunya
memengaruhi.32
pendekatan dakwah yang bercorak
multikultural. Dakwah multikultural melihat
Ajaran Islam sendiri mengakui perbedaan
bahwa perbedaan muslim dan nonmuslim
sebagai gejala sosial dan keagamaan
sebagai objek dakwah adalah keunikan yang
universal tanpa dipengaruhi oleh sejarah
tidak harus dipaksakan untuk disatukan,
perang antaragama atau misi genosida baik
tetapi bagaimana tetap bisa berjalan secara
etnik, keagamaan, dan pemusnahan
harmonis, sehingga dakwah multikultural
peradaban. Pandangan tersebut merupakan
fokus pada penyampaian pesan dakwah
cerminan ayat Al-Qur’an mengenai
yang mengedepankan dialog, bukan
kebebasan memilih agama dan tugas
pemaksaan, serta tetap menjaga kerukunan
pengabdian kepada Tuhan tanpa
dan toleransi.35 Dakwah multikultural
intervensi atau paksaan. Beribadah kepada
Allah, Tuhan Pencipta alam semesta sebagai
33
Sheikh Rashid Ghanoushi, “Pluralisme dan
30
Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Monoteisme dalam Islam”, dalam Mansoor al-Jamri
Agama (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 207. (ed.), Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, 66-67.
34
31
Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama, 41-42. Willy Kimlicka, Kewargaan Multikultural (Jakarta:
32
Ibid., 43. LP3ES, 2003), 12

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 161


Aris
Kristianto

35
Ibid., 263.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

memiliki kekhasan yang berbeda dengan eksternal. Berbeda dengan pendekatan


dakwah konvensional. Ismail dan Hotman konvensional, pendekatan dakwah
menjelaskan empat ciri dakwah multikultural menilai fenomena konversi
multikultural, yaitu pertama, mengakui nonmuslim menjadi muslim bukan tujuan
sekaligus menghargai etno-religio pada utama dari dakwah itu sendiri melainkan
keunikan dan keragaman ini berbeda efek samping dari tujuan dakwah. Kedua,
dengan relativisme apalagi sinkretisme. dakwah multikultural sebagai kebijakan
Keragaman budaya dan keyakinan adalah publik dan politik, menggagas ide tentang
fakta bukan masalah, sehingga harus kesetaraan hak-hak warga negara (civil
diterima. Kedua, mengakui adanya titik right), termasuk kelompok minoritas.
kesamaan dalam keragaman etno-religio. Ketiga, dakwah multikultural dalam dimensi
Dalam keanekaragaman budaya dan sosial memilih untuk mengambil
kayakinan terdapat nilai-nilai pendekatan kultural ketimbang harakah
bersama(universal) yang dapat menjadi titik (gerakan). Keempat, dakwah multikultural
temu dalam membangun relasi sosial, juga konteks pergaulan global, menggagas ide
menerima adanya aspek-aspek yang tidak dialog antarbudaya dan keyakinan
mungkin dikompromikan. Terhadap adanya (intercultur-faith understanding). Kelima,
perbedaan perlu dilakukan pengelolaan perlunya penyegaran
untuk belajar hidup di dalamnya. Ketiga, kembali pemahaman doktrin- doktrin Islam
pendekatan multikultural mencoba klasik melalui reinterpretasi dan
memahami tingkah laku umat beragama rekonstruksi paham keagamaan sesuai
(mad’uw) sebagai fenomena kultur, perkembangan masyarakat global-
sehingga perbedaan-perbedaan keyakinan multikultural.37
dibingkai dalam konsep budaya toleransi,
kerja sama, dan harmoni sosial. Keempat, Dakwah multikultural yang dikembangkan
kemestian progresif dan dinamis dalam dari konsep multikulturalisme, yaitu paham
memahami agama. Bahwa setiap asas keragaman suatu bangsa tentang
kebudayaan agama adalah sebuah proses penataan sosial budaya secara egaliter
yang tumbuh dan berkembang secara akibat diskriminasi sosial dan budaya
berkelanjutan, sejalan dengan pemahaman terhadap kelompok minoritas,38
dan penghayatan terhadap agama.36 disalahartikan atau dikesankan identik
dengan pluralisme agama yang merujuk
Ismail dan Hotman mengusulkan beberapa pada kesamaan dan penyatuan dari
prinsip pendekatan dakwah multikultural, keragaman keyakinan agama. Akibatnya,
yaitu pertama, menekankan agar target penggunaan istilah pluralisme bagi pemeluk
dakwah lebih diarahkan pada agama-agama cukup sensitif di masyarakat
pemberdayaan kualitas umat dalam ranah sehingga MUI mengeluarkan fatwa terkait
internal, kerja sama, serta dialog hal tersebut.
antaragama dan budaya dalam ranah

36
Ismail dan Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa
Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta:
Kencana, 2011), 264-267. 38
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar
37
Ibid. Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media,

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 161


Aris
Kristianto

2011), 554.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

Kelembagaan dan Fatwa MUI bersikap waspada terhadap ancaman,41


MUI bukanlah lembaga pemerintahan, juga khususnya konteks usaha golongan lain
bukan merupakan organisasi masyarakat yang melakukan konversi iman, terlebih
atau partai politik. Dengan demikian MUI dengan meluasnya pemikiran pluralisme
tidak memiliki keanggotaan sebagaimana agama.
ormas atau parpol. Pengurus MUI terdiri Adapun tugas MUI adalah memberikan
atas para ulama dan cendekiawan muslim fatwa dan nasihat untuk umat Islam dan
yang dipandang bisa merepresentasikan pemerintahan Indonesia terkait persoalan-
ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia. persoalan keagamaan dan kebangsaan
Namun tetap MUI bukanlah perkumpulan secara umum. Selain itu diharapkan MUI
atau perhimpunan ormas-ormas Islam juga bisa mendorong persatuan umat
tersebut, melainkan organisasi atau muslim Indonesia, menjadi penengah
lembaga yang bersifat forum.39 Sehingga apabila terdapat perbedaan antara misalnya
secara struktural tidak ada hubungan pemerintah dan kaum ulama. MUI juga
dengan ormas-ormas Islam, sekalipun ada bertugas menjadi wakil atau utusan dalam
ulamanya yang menjadi pengurus MUI, musyawarah dan dialog antargolongan
namun lebih bersifat pribadi.40 Artinya agama di Indonesia.42 Secara fungsional
seorang ulama atau cendekiawan menjadi MUI memiliki empat fungsi, yaitu: (1)
pengurus MUI adalah karena menjadi wadah dialog dan musyawarah
kapabilitasnya, serta dipandang bisa para ulama, zu’amā’ dan cendekiawan Islam
mewakili ormasnya. Oleh sebab itu, guna membicarakan problematika
keberadaan MUI memiliki signifikansi keumatan dan kebangsaan, (2) menjadi
sebagai forum kolektif kepemimpinan umat wadah silaturahmi dan membangun
Islam, sekaligus sebagai jembatan ukhuwah ukhuwah Islamiyah; (3) sebagai
dan silaturahmi umat Islam Indonesia. representasi umat Islam dalam
hubungannya dengan konsultasi dan
Mudzhar mengungkapkan beberapa ciri komunikasi antarumat yang berbeda agama
umum terkait keberadaan dan peran di Indonesia; (4) memberikan dan
kelembagaan MUI, yaitu: (1) keberadaan mengeluarkan fatwa yang ditujukan untuk
lembaga MUI dapat diterima dengan baik umat Islam Indonesia dan pemerintahan,
oleh organisasi-organisasi Islam dan umat baik ketika diminta maupun tidak.43
Islam Indonesia pada umumnya; (2) MUI
senantiasa berupaya menjaga hubungan Keberadaan MUI lekat dengan fatwa. Dalam
yang baik dengan berbagai elemen tinjauan etimologis, fatwa berarti jawaban
masyarakat dan pemerintah; (3) terkait hukum yang dikeluarkan oleh mufti untuk
untuk menjaga akidah kaum muslim, MUI suatu permasalahan yang dimintakan
kepadanya. Dalam tinjauan terminologi,
39
Ainul Yaqin, Menolak Liberalisme Islam: Catatan menurut Yusuf Qardhawi, fatwa merupakan
Atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer.
(Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa
Timur, 2012), 225.
40
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, Fatwa Majelis Ulama Kemenrian Agama RI, 2012), 94.
41
Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis
Perundang-undangan (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS,
1993), 79.
42
Ibid., 63.
Volume 02 - No. 01 Juli 2020 163
Aris
Kristianto

43
Ibid., 38-40.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

penerangan hukum syara’ terkait persoalan perbincangan suatu masalah yang


tertentu, yang menjadi jawaban atas dipandang membutuhkan fatwa diharuskan
pertanyaan yang diajukan oleh peminta melandaskan pada pertimbangan dasar-
fatwa.44 Dengan demikian fatwa terkait dasar fatwa, pendapat para imam mahzab,
penjelasan status hukum peristiwa tertentu pendapat para ulama terkemuka yang
yang menjadi masalah atau pertanyaan, diperoleh dengan jalan penelitian
yang jawabannya melandaskan pada dalil- penafsiran Al-Qur’an; (c) pembahasan yang
dalil. Pengertian tersebut sejalan dengan merujuk ke atas adalah metode penafsiran
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa terkuat dan dipandang bermanfaat bagi
MUI yang menuliskan bahwa fatwa umat Islam; (d) Jika suatu masalah yang
merupakan jawaban atau penjelasan membutuhkan fatwa tidak bisa
masalah keagamaan dari ulama yang dilaksanakan secara prosedural, maka harus
berlaku secara umum. 45 Jawaban resmi diputuskan dengan penafsiran dan
atas pertanyaan dan persoalan terkait pertimbangan ijtihad; (e) otoritas dan
dogma atau hukum Islam mensyaratkan cakupan fatwa MUI terkait persoalan
keberadaan otoritas yang kredibel dalam keagamaan dan kemasyarakatan umat
memberikan fatwa (al-ijāzahli al-iftā’) yang Islam Indonesia secara umum. Persoalan
itu berada pada penerimaan secara luas keagamaan yang sekira relevan dengan
akan kapabilitas seseorang oleh dewan ahli wilayah tertentu dapat pula ditetapkan
hukum terkemuka. Aktivitas penetapan untuk wilayah lain; (f) Sidang Komisi Fatwa
fatwa tersebut dilakukan secara kolektif harus diikuti anggota komisi yang telah
oleh suatu lembaga yang dinamakan Komisi diangkat oleh pimpinan pusat MUI dan
Fatwa.46 Komisi Fatwa terdiri atas orang- pimpinan pusat MUI provinsi, serta bila
orang dengan kompetensi mengeluarkan diperlukan dapat mengundang para ahli;
fatwa terkait persoalan umum yang (g) Sidang Komisi Fatwa harus dilaksanakan
berhubungan dengan fikih, serta kebenaran saat ada kebutuhan dan atau permintaan
akidah.47 yang dipandang MUI secara kelembagaan
memerlukan fatwa. Permintaan tersebut
Dalam menetapkan fatwa terdapat dasar- dapat berasal dari masyarakat, lembaga
dasar metodologis yang dikenal dengan sosial, pemerintah, maupun MUI sendiri; (h)
istinbat hukum. Istinbat hukum yang sejalan dengan aturan Sidang Komisi Fatwa
menjadi landasan MUI diatur dalam bahwa bentuk fatwa untuk persoalan
keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tertentu harus diserahkan kepada Ketua
tanggal 2 Oktober 1997, yang isinya adalah MUI nasional dan provinsi; (i) pimpinan
berikut: (a) landasan dasar fatwa meliputi pusat MUI nasional/provinsi akan
Al- Qur’an, sunah yaitu perilaku, tradisi dan merumuskan kembali fatwa tersebut
kebiasaan nabi, ijmak yaitu kesepakatan menjadi bentuk Sertifikat Keputusan
pendapat di antara ulama-ulama, qiyās Penetapan Fatwa.48 Sudah tentu dasar-
yaitu penyimpulan dengan analogi; (b) dasar dan prosedur penetapan fatwa dalam
44
Yusuf Qarḍawi, Fiqh Prioritas, (Mansyurat Kuliah
keputusan MUI tersebut untuk masalah-
Da'wah Islamiyah, 1990), 203.
45 46
Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Ibid.
47
Sejak 1975, 5. Fatwa adalah bentuk tunggal. Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, 226.
Sedangkan bentuk jamaknya adalah fatāwā. 48
M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa
dan Perubahan Sosial, trans. Iding Rosyidin Hasan
(Jakarta: Teraju, 2002), 93-94.

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 165


Aris
Kristianto

masalah diluar persoalan keimanan dan Pada tanggal 26-29 Juli 2005 M atau 19-22
syariat (ibadah) memungkinkan untuk Jumadil Akhir 1426 H dilaksanakan
berbeda sehingga membutuhkan banyak Musyawarah Nasional (Munas) ke-VII MUI.
interpretasi dalam mencari solusi. Dalam Munas tersebut, Komisi Fatwa yang
dipimpin oleh K.H. Ma’ruf Amin
menetapkan sebelas keputusan fatwa, yang
Penjelasan Fatwa MUI Nomor salah satunya adalah mengharamkan
7 Tahun 2005 pluralisme (pandangan yang menganggap
1. Latar Belakang dan Tujuan semua agama sama), liberalisme, dan
MUI secara moral memiliki tanggung jawab sekularisme. Keluarnya fatwa tersebut tidak
untuk melindungi kaum muslim Indonesia bisa dipisahkan dengan konteks global dan
dari beragam serangan dan praktik-praktik lokal. Maraknya pemikiran dan gerakan
kemungkaran. Oleh karenanya dalam yang mengunggulkan pluralisme, serta
persoalan akidah perlu dijawab dalam liberalisme sebagai ajaran atau paham baru
sebuah fatwa bukan sekadar secara lisan sangatlah meresahkan. Ada kekhawatiran
sebagai nasihat atau rekomendasi. Maka apabila ajaran tersebut diikuti maka akan
sebagai upaya untuk melindungi dan menjauhkan umat dari agamanya sendiri,
menjaga umat Islam dari ajaran yang kehilangan jati diri, dan identitas
menyimpang, MUI merasa perlu untuk keberagamaannya, dan akhirnya meragukan
mengeluarkan fatwa terkait larangan atau kebenaran ajaran Islam itu sendiri karena
tidak bolehnya mengikuti ajaran berpikiran bahwa semua agama benar.51
liberalisme, sekularisme, dan pluralisme Pada level global terdapat desakan-desakan
agama yang tertuang dalam putusan Fatwa dari beberapa negara guna menciptakan
MUI Nomor 7 Tahun 2005.49 tatanan kehidupan kedamaian di dunia
lewat dialog intensif dan keterbukaan
Fatwa tersebut adalah respon ulama dalam antaragama. Di antaranya adalah dengan
persoalan akidah serta ibadah, yang membentuk dan menyelenggarakan forum-
diajukan oleh penanya atau peminta fatwa forum dan organisasi nonpemerintahan
sehubungan dengan adanya pranata- yang secara khusus menyebarkan dan
pranata sosial yang terus berkembang di mempromosikan pluralisme di masyarakat
masyarakat yang menunjukkan signifikansi dunia.52
pengaruhnya. Pada Bab VI Pedoman dan
Prosedur Penetapan Fatwa MUI disebutkan Keluarnya fatwa tersebut dinilai oleh
bahwa MUI memiliki wewenang sebagian kalangan sebagai bentuk tanggung
menetapkan fatwa terkait persoalan- jawab MUI dalam membentengi akidah
persoalan keagamaan, khususnya persoalan kaum muslim Indonesia. Hal tersebut
hukum/fikih dan akidah yang berhubungan terlihat dalam konsideran fatwa pada
dengan kemurnian dan kebenaran bagian pertimbangan yang berisi latar
keimanan umat Islam di Indonesia.50 belakang, alasan, dan pentingnya
ketetapan fatwa
49
Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, 18.
50
Ibid., 7.
51
Imam Subkhan. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di
Yogya: City of Tolerance (Yogyakarta: Impulse dan
Kanisius, 2007), 30.
52
Ibid., 31.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

tersebut,53 yaitu: Pertama, keberadaan kebutuhan dan dapat dijadikan petunjuk


fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 adalah bagi umat Islam Indonesia.54
terkait perkembangan ajaran liberalisme,
sekularisme, dan pluralisme. Kedua, ajaran- 2. Dasar Hukum Fatwa
ajaran tersebut telah meresahkan dan Pada bagian mengingat dalam konsideran
membingungkan masyarakat Islam di fatwa MUI berisi tentang dasar-dasar
Indonesia, oleh karenanya mereka meminta hukum (adillahal-ahkam) yang dijadikan
MUI untuk mengeluarkan fatwa terkait pijakan oleh Komisi Fatwa MUI.55 Secara
masalah tersebut. Ketiga, MUI menilai keseluruhan terdapat dua sumber yang
perlunya menetapkan fatwa terkait menjadi pijakan, yaitu56 pertama, firman
persoalan liberalisme, sekularisme, dan Allah SWT pada surah dan ayat,
pluralisme agama untuk menjawab sebagaimana dalam tabel berikut:

Tabel 1 – Ayat Al-Qur’an yang Menjadi Landasan Fatwa MUI


No Surah Ayat Isi (Terjemah)
1 Ali Imran 85 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi.”57
2 Ali Imran 19 “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam….”58
3 Al-Kafirun 6 “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”59

4 Al-Ahzab 36 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”60
5 Al- 8-9 Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
Mumtahana orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
h mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.61
6 An-Naml 77 Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.62

53 58
Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 7. Ibid., 65.
54 59
Ibid., 87. Ibid., 919.
55 60
Ibid., 90. Ibid., 598.
56 61
Ibid., 88-90. Ibid., 803.
57 62
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Ibid., 556.
Terjemahnya Juz 1-30 (Surabaya: Karya Agung, 2006),
76.

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 167


Aris
Kristianto

No Surah Ayat Isi (Terjemah)


7 Al-An’aam 116 Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah).63
8 Al- 71 Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
Mukminuu
dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
n
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu.64

Kedua, hadis Nabi saw. yang diriwayatkan paham yang meyakini bahwa semua agama
oleh Imam Muslim, tertulis dalam Shahih adalah sama, sehingga kebenaran agama
Muslim: “Demi Dzat Yang menguasai jiwa bersifat relatif. Implikasinya maka pemeluk
Muhammad, tidak ada seorang pun baik agama tidak diperkenankan mengklaim
Yahudi maupun Nasrani yang mendengar hanya agamanya sajalah yang benar
tentang diriku dari umat Islam ini, sedangkan yang lainnya salah. Pluralisme
kemudian ia mati dan tidak beriman agama juga berpendapat bahwa semua
terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia agamawan kelak akan bersama-sama hidup
akan menjadi penghuni neraka.”65 Dalam di surga. Pengertian tersebut berbeda
Shahih Muslim dan Bukhari juga dengan pluralitas yang berarti realitas sosial
diriwayatkan bahwa Nabi pernah menulis adanya keragaman berbagai pemeluk
dan mengirimkan surat- surat kepada pada agama di wilayah tertentu yang hidup
raja-raja nonmuslim, seperti Raja Najasyi di bersama dan berdampingan.67
Abesenia yang beragama Nasrani, Kaisar Kedua, ketentuan hukum. Pluralisme agama
Heraklius di Romawi yang juga beragama sebagaimana dijelaskan di atas adalah
Nasrani, Raja atau Kisra Persia yang ajaran atau paham yang tidak terdapat dan
memeluk Majusi. Dalam surat-suratnya bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya
Nabi mengajak mereka agar memeluk umat Islam diharamkan meyakini dan
ajaran Islam yang dibawanya.66 Selain itu mengikuti paham pluralisme agama. Hal
dalam pergaulan sosialnya, Nabi saw. juga tersebut menyangkut masalah akidah dan
menjalin hubungan sosial dengan ibadah, yang mana menurut MUI, umat
kelompok-kelompok nonmuslim, termasuk Islam harus memiliki sikap eksklusif. Dalam
komunitas Yahudi di Madinah, di Khaibar, arti tidak diperkenankan dan diharamkan
dan kaum Nasrani di Najran. untuk mencampuradukkan masalah akidah
dan ibadah dengan ajaran agama lain.
3. Ketetapan Hukum Fatwa MUI Ajaran pluralisme agama sudah
Pertama, dalam ketentuan umum Fatwa menyangkut masalah akidah dan ibadah.
MUI Nomor 7 Tahun 2005 dijelaskan bahwa Sementara bagi umat Islam yang hidup dan
pluralisme agama merupakan ajaran atau tinggal dengan pemeluk agama lain
diperlukan sikap inklusif

63
Ibid., 192.
64
Ibid., 482.
65
Hadits Riwayat, Muslim.
66
Ibid., Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari.
67
Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 91.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

untuk masalah-masalah sosial yang tidak pengertian para penganjurnya. Oleh sebab
berhubungan dengan akidah dan ibadah, itulah MUI dalam Munas VII merasa perlu
sehingga tetap melakukan pergaulan sosial menyikapi usul dari masyarakat dan para
dengan prinsip saling menghormati dan ulama agar menetapkan fatwa terkait
tidak saling merugikan.68 masalah pluralisme agama, untuk
menghindarkan umat Islam Indonesia dari
4. Penjelasan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun paham pluralisme agama.70 Keempat,
2005 diktum fatwa tentang pluralisme agama
Dalam bagian penjelasan Fatwa MUI Nomor terbagi dalam dua bagian yang tidak
7 Tahun 2005, terkait keharaman pluralisme terpisahkan, yaitu ketentuan umum dan
agama, antara lain:69 pertama, masyarakat ketentuan hukum. Dalam ketetapan hukum
Islam Indonesia saat ini tengah menghadapi merujuk pada pengertian pluralisme yang
serangan pemikiran (ghazwul fikr) di telah ditulis dalam ketentuan umum.
antaranya adalah dengan masuknya paham Pengertian pluralisme agama dalam
pluralisme agama. Serangan pemikiran ketentuan umum tersebut bersifat empiris,
tersebut membawa implikasi pada yang berarti bertitik tolak dari pengertian
kepercayaan dan keberagamaan umat yang terpahami di masyarakat luas,
Islam, karena pluralisme agama sehingga bukan pengertian yang tanpa
mengajarkan bahwa semua agama sama dasar dan mengada-ada, tetapi merespons
benarnya. Jika itu diyakini maka dapat dari yang selama ini telah disosialisasikan
mereduksi keimanan umat. Pluralisme secara luas oleh penganjur pluralisme
agama menganalogikan agama seperti agama di masyarakat.71
memakai baju, sehingga tergantung selera
dan bisa berganti-ganti. Ajaran yang Kelima, dalam fatwa MUI telah ditegaskan
demikian jelas merusak dan mengarah pada perbedaan pluralisme agama dan pluralitas
pendangkalan dan relativisme agama. agama yang berarti kemajemukan atau
Kedua, pluralisme agama berimplikasi pada keragaman agama di suau wilayah.
paham sinkretisme atau pencampuradukan Indonesia sebagai suatu masayarakat
agama. Hal tersebut tidak sejalan dengan dengan banyak agama adalah kenyataan
pengertian pluralisme agama yang pernah yang tidak dapat disangkal, sehingga semua
dibahas dalam forum dialog antarumat pihak termasuk umat Islam wajib menerima
beragama di Indonesia, yang digawangi kenyataan tersebut sebagai keniscayaan
oleh cendekiawan muslim A. Mukti Ali dan menyikapinya dengan mengembangkan
tahun pada tujuh puluhan, di mana sikap menghargai, toleran, dan siap
disepakati pengertian adanya klaim berdampingan dengan damai. Keenam,
kebenaran tiap agama, dan persetujuan dan fatwa MUI terkait pengharaman pluralisme
perbedaan (agree in disagreement). agama diorientasikan untuk membantah
dan menangkal paham relativisme agama,
Ketiga, ajaran pluralisme telah banyak yang menyatakan bahwa tidak ada
disosialisasikan secara aktif dan masif ke kebenaran absolut dalam agama, semuanya
dalam lembaga-lembaga pendidikan, yang bersifat relatif. Dalam fatwa tersebut justru
kemudian terpahami sebagaimana
70
Ibid., 93.
68
Ibid., 91-92. 71
Ibid., 94.
69
Ibid., 93-95.

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 169


Aris
Kristianto

menggarisbawahi bahwa tiap agama dapat kosong, tetapi memiliki basis empiris, serta
menyatakan klaim kebenarannya, tetapi melibatkan pula kalangan akademisi.
harus berkomitmen untuk menghargai Pengertian atau tipologi lain pluralisme
perbedaan, dan mewujudkan keharmonisan memang masih sebatas dalam ranah
di masyarakat yang plural.72 akademik, sehingga wajar jika masyarakat
muslim umumnya tidak memahami.
Sementara jika pemaknaan pluralisme yang
Kebenaran Fatwa MUI dan demikian (secara teologis) dibiarkan
Keabsahan Makna Pluralisme berkembang di masyarakat, tentu sangat
membahayakan. Dari situlah MUI
Agama
mengeluarkan fatwa pengharaman
Sebagaimana dijelaskan MUI bahwa istilah
pluralisme karena bermakna sebagai paham
pluralisme agama adalah istilah yang
relativisme keagamaan.
populer di masyarakat, namun tidak jarang
pengertiannya dibelokkan dan
Tentu saja pemaknaan pluralisme yang
disalahpahami. Sebagian ada yang
demikian oleh MUI mendapatkan
memaknai pluralisme agama sama dengan
pertentangan dan menjadi kontroversi di
pluralitas agama, ada juga yang memahami
kalangan akademisi, khususnya yang pro
nya sebagai toleransi keberagamaan. Dari
pluralisme. Mereka menilai fatwa tersebut
situlah MUI mendefiniskan pluralisme
berpotensi memicu konflik. Pertentangan
agama sebagai ajaran atau paham yang
tersebut karena terdapat perbedaan
menyatakan bahwa semua agama sama,
perspektif dalam memahami pluralisme.
sehingga mengarah pada relativisme
Sebagian akademisi mendekati secara
kebenaran agama. Menilik dari
sosiologis, pluralisme agama yaitu sebagai
perkembangan konsep pluralisme maka
suatu sikap keterbukaan dan secara aktif
definisi pluralisme MUI sejalan dengan yang
menerima realitas perbedaan agama. Alih-
dikemukakan oleh beberapa kalangan
alih menganjurkan pluralisme agama yang
pluralisme seperti John Hick, W.C. Smith,
pengertiannya bisa merancukan, maka MUI
dan lain-lain. Pluralisme yang mengarah
memilih dan mengakui pluralitas agama.
pada pembentukan agama baru atau
Pluralitas agama berarti keragaman atau
sinkretisme. Pluralisme yang didekati secara
kemajemukan agama sebagai hukum
teologis filosofis.
sejarah (sunatullah) yang tidak mungkin
terelakkan. Pluralitas agama adalah fakta
Dalam penjelasan fatwa MUI tersebut,
Indonesia, yang harus disikapi secara
pemaknaan pluralisme berangkat dari apa
toleran dan mengembangkan hidup
yang dipahami oleh masyarakat umum.
berdampingan dengan damai. Pluralisme
Dalam arti pemaknaan tersebut tidak
agama bukanlah arti lain dari Bhineka
dilakukan secara sepihak oleh MUI, tetapi
Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa
dengan menjaring pengertian-pengertian
Indonesia. Pengertian pluralisme yang
yang dipahami oleh masyarakat muslim.
berkembang di masyarakat justru
MUI dalam pemaknaannya terhadap
mengarahkan seseorang untuk
pluralisme tidak berangkat dari ruang
mempercayai relativisme kebenaran

72
Ibid., 95.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

karena semua agama sama dan sama-sama Telaah Konsep dan Implikasinya bagi Agama-Agama,”
benar. Sedangkan sikap terhadap pluralitas
agama menurut Islam adalah dengan
mengakui dan menghormatinya tanpa
bermaksud meyakini kebenaran masing-
masing agama, karena agama yang benar
adalah Islam. Sikap tersebut tertuang dalam
prinsip “bagimu agamamu dan bagiku
agamaku (lakum dinukum waliyadin).” Oleh
sebab itu istilah pluralisme agama yang
digunakan untuk alasan toleransi dan
kerukunan hidup antarumat beragama
layak ditolak oleh MUI. Sebab konsep
pluralisme yang lahir di negara Barat,
kemudian dikembangkan dan
disebarluaskan kelompok-kelompok pro
pluralisme maupun berpaham liberalisme
memiliki arah pengertian yang cenderung
berpotensi dipahami mencampuradukkan
agama.

Anis Malik Thoha berpendapat bahwa


istilah pluralisme agama dimengerti dan
dirancang dalam frame logical positvisme¸
serta mendukung sekularisme dan
liberalisme. Positivisme Barat
diketahui
mengesampingkan masalah-masalah
metafisik dan teologis, karena
kebenarannya tidak bisa diukur secara
faktual dan empiristik. Agama sekadar
dianggap respons manusia atau yang lazim
disebut religious experience dengan
menafikan mentah- mentah keberadaan
agama yang datangnya dari Tuhan.73
Sehingga term pluralisme agama adalah
term yang baku dan bersifat teknis (a
technical term). Untuk menjelaskan
definisinya tidak cukup sekadar merujuk
kamus bahasa, karena berdasarkan arti
dalam kamus, pluralisme yang berarti
menghargai dan menghormati perbedaan,

73
Thoha, Trend Pluralisme Agama, 125.
74
Anis Malik Thoha. “Doktrin Pluralisme Agama;

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 171


Aris
Kristianto

serta keunikan semua agama, mengharuskan pengakuan validitas dan


nyatanya pengertian tersebut
berbeda secara diametral dengan
Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial, vol. 9, no.1
pengertiannya secara teknis.74 (2011): 3.
75
Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama, 14.
76
Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, 61.
Lebih lanjut menurut Anis Malik
Thoha, pengertian pluralisme agama
yang tepat perlu dipahami dalam
arti sosiologis bukan teologis, yaitu
suatu keadaan hidup bersama atau
koeksistensi antaragama yang
berbeda- beda dalam satu wilayah
masyarakat dengan tetap
mempertahankan ciri-ciri dan
identitas khusus sebagai pokok
ajaran tiap agama.75 Namun
pengertian yang demikian tidak
cukup populer di masyarakat, sebab
para penganjur pluralisme agama
sendiri tidak membatasi pengertian
pluralisme agama sebatas secara
sosiologis semata. Oleh sebab itulah
menurut kesimpulan Ainul Yaqin
bahwa pengertian pluralisme agama
yang didefinisikan oleh MUI tidak
salah. Pengertian tersebut tidaklah
mengada-ada, bahkan pengertian
yang telah disusun MUI juga
mencakup dan sesuai dengan
pengertian dari yang dikembangkan
para penganjur pluralisme agama.76

Pemaknaan pluralisme agama tidak


bisa disejajarkan dengan makna
toleransi. Kedua konsep tersebut
berangkat dari realitas yang
berbeda. Dalam pluralisme agama
tidak sekadar ada pengakuan
eksistensi namun juga keabsahan
agama lain. John Hick menyebutnya
valid and authentic. Sedangkan
toleransi sebatas mengakui
eksistensi agama lain sebagai
fenomena keragaman tanpa
mereduksi kebenaran agama
masing-masing. Toleransi tidak
1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu
Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

otentisitas agama lain secara akidah. mengganggu akidah umat Islam yang hadir
Eksistensi semua agama diakui dan diterima dalam perayaan tersebut. Oleh sebab itu
tanpa adanya paksaan. Namun diyakini pelaksanaan kerukunan antarumat
tidak semua agama benar. Di Islam beragama dan perbaikan toleransi tidak bisa
diajarkan bahwa di luar golongan Islam dilaksanakan dalam ranah akidah dan
adalah termasuk golongan yang merugi di ibadah, tetapi dalam aktivitas-aktivitas
akhirat kelak. Sehingga keberadaan agama sosial, kebangsaan, dan kerja sama dalam
lain diakui, tetapi kebenarannya ditolak. persoalan kehidupan dunia lainnya.
Mengakui pluralitas tetapi tidak mengakui
pluralisme agama. Pemaknaan pluralisme agama yang
didefinisikan cenderung menggiring pada
Makna pluralisme agama juga tidak bisa ajaran relativisme dan sinkretisme tersebut
disamakan dengan kerukunan antarumat sangat beralasan. Yang apabila dibiarkan
beragama. Penyamaan tersebut membawa efek pada pendangkalan akidah.
dikhawatirkan berakibat pada kekeliruan Pengakuan terhadap kesamaan atau
yang kemudian bisa menimbulkan konflik kebenaran semua agama, terlebih dengan
dan disharmoni di masyarakat. Hal tersebut analogi mengenakan baju yang bisa
seperti mengulang kasus fatwa kehadiran berganti-ganti, dapat berimplikasi bahwa
orang Islam dalam perayaan Natal umat setiap individu tidak perlu mengikuti agama
Kristiani. Fatwa tersebut dikeluarkan tertentu, dia boleh berpindah-pindah atau
tanggal berganti-ganti selayaknya ganti baju.
7 Maret 1982 guna menyikapi maraknya Implikasi lebih jauh adalah individu akan
undangan-undangan perayaan Natal yang memandang bahwa agama bisa tidak
dihadiri oleh orang-orang Islam. Dalam diperlukan atau hanya sekadar untuk
fatwa tersebut dinyatakan bahwa haram memenuhi kebutuhan spiritualitas saja,
hukumnya bagi orang Islam untuk turut yang itu nantinya bisa diganti dengan yang
hadir dan terlibat dalam upacara perayaan lainnya. Sehingga peran agama menjadi
Natal. Hal tersebut karena ada yang kecil dan dapat terhapus dalam kehidupan
menyamakan antara perayaan Natal manusia. Oleh karenanya dapat dimengerti
dengan peringatan Maulid Nabi apabila MUI mengeluarkan fatwa untuk
Muhammad yang dipandang tidak bersifat melarang paham pluralisme agama yang
ibadah. Namun terdapat pula kasus secara definisi bermakna teologis, dan
penyelenggaraan perayaan Natal secara dapat menggerus eksistensi iman umat
formal di lembaga pendidikan maupun Islam.
instansi pekerjaan.77
Ditinjau dari metodologi hukum,
Dalam konteks kerukunan beragama yang keberadaan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun
berharap mengarahkan umat Islam dalam 2005 sebagaimana dijelaskan di atas,
kekristenan, maka ulama justru melandaskan pada metode mana yang
menganggapnya sebagai ancaman langsung paling kuat, atau unggul (bukan asal
kristenisasi. Mereka memandang bahwa memilih). Menetapkan hukum dengan
bagi umat Kristen, perayaan Natal sesuatu yang tidak berdasar (unggul) sama
merupakan rangkaian ibadah yang apabila
diikuti dapat

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 173


Aris
Kristianto

77
Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
117.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

seperti menetapkan hukum dengan dasar bangsa asing dari Barat, yang dipelopori
selain hukum Allah. Jadi kalau ada pendapat Portugis, Belanda, dan Inggris menjadikan
berbeda, dicari mana yang terunggul.78 wilayah Nusantara sebagai jajahannya
Sebagaimana Keputusan Ijtimak Ulama sampai pada abad keduapuluh. Kesadaran
Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun kebangsaan kemudian tumbuh dan
2003 tentang taswiyat al-manhaj berkembang yang memuncak pada Kongres
(penyamaan pola pikir dalam masalah- Pemuda Kedua dengan Sumpah Pemuda
masalah keagamaan) menyatakan bahwa pada 28 Oktober 1928. Dari situ ada
perbedaan yang bisa diwajari dan kebulatan tekad dan kesadaran bersama
ditoleransi adalah sifatnya dalam majal al- untuk mewujudkan persatuan sebagai jalan
ikhtilaf (wilayah perbedaan) sehingga melawan penjajah. Kemudian, pada 17
diupayakan mencari titik temu untuk keluar Agustus 1945 wilayah bekas jajahan
dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf). Belanda tersebut dapat merdeka dan lahir
Sedangkan perbedaan di luar majal al- dengan nama Republik Indonesia. Para
ikhtilaf tidak digolongkan sebagai pendiri bangsa telah menyadari keragaman
perbedaan, melainkan merupakan masyarakatnya dan bersepakat menjadikan
penyimpangan atau penyelewengan ajaran Pancasila sebagai dasar negara, dengan
Islam, seperti munculnya perbedaan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang
terhadap masalah yang sudah jelas dan berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
pasti (ma’lum min al-din bi al-dlarurah),79 Filosofi dasar negara dan semboyan
dalam hal akidah. tersebut adalah wujud dari kesadaran
kemajemukan jati diri bangsa Indonesia.80

Implikasi Fatwa Sebagai Dakwah multikultural sebagai paradigma


Landasan Dakwah Multikultural dakwah yang relatif baru dikembangkan
relevan untuk konteks Indonesia yang
di Indonesia
multikultural. Namun dalam
Sejak dahulu, wilayah Nusantara atau
pelaksanaannya harus memperhatikan
Indonesia dikenal memiliki keragaman
landasan terkait, salah satunya adalah fatwa
budaya, etnis, suku, dan agama, sehingga
MUI tentang pengharaman pluralisme
corak multikultural bukanlah sesuatu yang
agama. Hal tersebut penting, sebab konsep
baru. Keragaman keyakinan dan agama di
dakwah multikultural yang dikembangkan
Indonesia mendapatkan pengaruh dari
dari konsep multikulturalisme perlu
banyak kebudayaan, seperti kebudayaan
menegaskan posisinya terkait hubungan
Hindu, Budha, Islam, dan Nasrani dari
atau perbedaannya dengan pluralisme.
Eropa. Wilayah Nusantara yang terdiri atas
Sebagian kalangan ada yang mengganti
kerajaan-kerajaan, mulai dari Sriwijaya,
istilah pluralisme dalam makna sosiologis
Majapahit, Samudra Pasai, Demak,
dengan multikulturalisme, sebagaimana
Mataram, dan sebagainya. Sejak abad
yang dilaksanakan oleh Forum
keenambelas dengan kedatangan para
Persaudaraan
78
Ibid.
79
Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 80
841. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 173


Aris
Kristianto

Sejarah (Bandung: Mizan bekerjasama


dengan Maarif Institute, 2009), 246

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

Umat Beragama (FPUB) di Yogyakarta.81 sehingga perlu mengembangkan sikap


Para aktivis dakwah Indonesia yang hidup bersama dengan damai dan toleransi
melaksanakan pendekatan multikultural aktif sebagai suatu wawasan kebangsaan.
perlu menjadikan fatwa MUI tentang Melalui pengembangan materi
pengharaman pluralisme sebagai landasan dakwah
dakwahnya. Sebab MUI sebagai perwakilan antipluralisme dan promultikultural yang
kepemimpinan kolektif umat Islam kontekstualnya berpijak pada kenyataan
Indonesia, telah memberikan responsnya masyarakat Indonesia yang heterogen dan
terkait permasalahan keberadaan gagasan rasional, maka diharapkan terbentuk
pluralisme yang bercorak relativisme pemahaman yang tepat di masyarakat dan
dengan menetapkan fatwa haram terhadap khususnya pelaku dakwah.
pluralisme agama. Fatwa tersebut dapat
menjadi asumsi dan rambu-rambu umum Mengikuti klasifikasi Bhiku Parekh tentang
dalam pelaksanaan dakwah multikultural. empat cakupan pembahasan
82
multikultural, maka dakwah multikultural
Untuk itu dengan keberadaan fatwa MUI di Indonesia dapat dimasukkan sebagai
sebagaimana di atas, berimplikasi terhadap kelompok counter of diversity, yaitu
beberapa aspek dalam pelaksanaan dakwah komunitas yang memberikan alternatif nilai
multikultural di Indonesia. Pertama, para di masyarakat terkait perkembangan
aktivis dakwah multikultural harus wacana multikultural karena adanya
menyadari bahwa paham pluralisme yang pengaruh sebelumnya, seperti pemikiran
bercorak relativisme dan sinkretisme ada, pluralisme agama yang menyatakan semua
disosialisasikan dan terus berkembang di agama sama.
masyarakat Indonesia, termasuk di
kalangan umat Islam Indonesia.. Hal mana Kedua, dalam fatwa MUI disebutkan
yang menjadi landasan bagi MUI dalam menolak pluralisme dan menerima
memaknai pluralisme itu sendiri. Kesadaran pluralitas. Hal tersebut sebenarnya sejalan
dan pemahaman ini penting, agar nantinya dengan karakteristik dakwah multikultural
aktivitas dakwah multikultural tidak justru yang menghargai perbedaan, dan
mengarah ke pluralisme, yang bisa membingkainya dalam konsep budaya
berakibat menimbulkan polemik dan toleransi dan harmoni sosial. Maka
resistensi di masyarakat. Sehingga sejak implikasinya adalah bahwa dalam
awal bisa ditegaskan bahwa corak dakwah pelaksanaan dakwah multikultural harus
yang dikembangkan bukanlah berpaham mengembangkan pendekatan yang bersifat
pluralisme. Hal tersebut di antaranya dapat dialogis dan tanpa pemaksaan. Hal tersebut
dilakukan dengan pengembangan materi berarti strategi dan komunikasi dakwah
dakwah yang menjelaskan tentang makna disusun dengan memperhatikan peta
pluralitas dan nilai keharaman pluralisme dimensi perbedaan budaya antara Dai dan
teologis sebagaimana dijelaskan MUI, serta mad’uw. Melalui analisis peta tersebut
menjelaskan realitas pluralitas dan dapat dikembangkan strategi dan pola
multikultural yang ada di Indonesia, komunikasi dakwah yang ramah, di
antaranya dengan memanfaatkan media-
81
Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya,
media kultural di masyarakat, seperti seni,
100.

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 173


Aris
Kristianto

82
Bhiku Parekh, Rethinking Multiculturalism (London:
Sage Publication, 2007), 176.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Aris
Kristianto

dan sebagainya. Hal tersebut sejalan kembali kesesuaiannya dengan fikih


dengan berbagai pendekatan dakwah dakwah, apakah ada pembatasan yang
multikultural yang digagas Ismail dan demikian dalam konteks tertentu. Walhasil
Hotman, yang salah satunya menyebutkan sebagai sebuah gagasan dakwah,
menggunakan perangkat kultural dalam pendekatan multikultural perlu untuk terus
dakwah daripada yang bersifat mendapatkan penguatan melalui
harakah/gerakan. Contoh konkret sebuah pengkajian akademik dan praktis.
pemahaman dan penghayatan dakwah
multikultural adalah peristiwa Fatfi al-
Makkah. Nabi tidak melakukan upaya balas Kesimpulan
dendam melainkan Beliau memberi
Gagasan dakwah multikultural yang
kebebasan umat untuk mengikuti
bersinggungan dengan konsep pluralisme
agamanya. Agama-agama lain diakui
perlu memperhatikan fatwa MUI tentang
keberadaannya dengan interaksi sosial
pluralisme agama sebagai salah satu
antarumat beragama yang toleran dan
landasan pelaksanaannya. Dari maraknya
saling menghargai, sehingga
ajaran pluralisme agama yang terus
menggambarkan moral keberagamaan yang
dikumandangkan di masyarakat, dan
dialogis dan terbuka.83
dikhawatirkan akan mengakibatkan
terjadinya pendangkalan akidah sebagai
Ketiga, implikasi lebih lanjut terkait
implikasi dari pemahaman menyamakan
pengharaman pluralisme dan penerimaan
semua agama, yang juga menghilangkan
pluralitas adalah terkait penyikapan
identitas kebenaran Islam, maka MUI
terhadap perbedaan pemikiran dalam
mengeluarkan fatwa Nomor 7 Tahun 2005
dakwah multikultural. Adanya perbedaan
tentang keharaman pluralisme agama.
pemikiran dalam dakwah, perlu disikapi
Dengan mempertimbangkan ketentuan
dengan dialog, keterbukaan, dengan
umum yang bersifat empiris, maka
orientasi pada pemecahan masalah. Apabila
berdasarkan Al-Qur’an dan hadis yang
tidak didapatkan titik temu, maka tidak
dijadikan sumber hukum dan dalil dalam
boleh ada pemaksaan atau intimidasi,
memutuskan hukum pluralisme agama,
melainkan penerimaan dan penghargaan
maka pluralisme agama dalam perspektif
terhadap perbedaan.
MUI adalah ajaran yang bertentangan
dengan Islam sehingga bernilai haram.
Dengan keberadaan fatwa MUI yang
Makna pluralisme yang disampaikan oleh
mengharamkan pluralisme agama maka
MUI dalam fatwa tersebut absah karena
secara prinsip lima pendekatan dakwah
berasal dari pengertian asalnya dan
multicultural yang digagas oleh Ismail dan
berangkat dari pemahaman real di
Hotman, masih relevan untuk dilaksanakan.
masyarakat. Meskipun menolak pluralisme
Namun hal tersebut tetap perlu ditinjau
agama, Majelis Ulama Indonesia menerima
dengan landasan hukum selainnya yang
pluralitas sebagai kenyataan yang harus
terkait. Sebagai catatan terkait arah dakwah
yang mengusulkan bersifat lebih ke internal
dengan berorientasi kualitas perlu ditinjau

83
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 74.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

disikapi dengan toleransi atau hidup kultural Dai dan mad’uw. Ketiga, dalam
berdampingan dengan umat beragama lain. menyikapi perbedaan adalah melalui dialog,
keterbukaan, dengan orientasi pemecahan
Implikasi keberadaaan fatwa MUI tentang masalah.
pengharaman pluralisme bagi pelaksanaan
dakwah multikultural di Indonesia, di Sebagai hasil rekomendasi dari studi ini
antaranya menyangkut tiga hal, yaitu, adalah perlunya penguatan konsep dakwah
pertama, perlunya kesadaran bagi aktivis multikultural dengan pengembangan studi
dakwah multikultural terkait paham yang bersifat akademik maupun praktik di
pluralisme melalui materi dakwah lapangan. Hal tersebut menjadi tugas dan
antipluralisme, sisi lain perlu tantangan bagi akademisi dan praktisi
mengembangkan materi dakwah yang dakwah di Indonesia. Mengingat Indonesia
bercorak promultikultural. Kedua, terkait adalah negara multikultural, maka
metode dakwah bercorak kultural, yang pendekatan dakwah multikultural perlu
disusun atas dasar analisis peta dimensi untuk terus dikembangkan.

Bibliografi
Abdalla, Ulil Abshar. “Pluralisme dan Pluralitas: Dua Sisi dari Koin Yang Sama.” Islamlib. Mei 10,
2016. http://islamlib.com/gagasan/pluralisme/pluralisme-dan-pluralitas-dua-sisi-dari-
koin-yang-sama/.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Amin, Ma’ruf. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2011.
Arifin, Syamsul. Merambah Jalan Baru dalam Beragama: Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama
Dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Aziz, M. Ali. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2016.
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan. Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenrian
Agama RI, 2012.
Basit, Abdul. Filsafat Dakwah. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013.
Bisri, Achmad. “Islam Rafimatan Li ‘l-‘Ālamīn sebagai Landasan Dakwah Multikultural:
Perspektif Muhammad Fethullah Gülen.” Walisongo vol. 22, no. 02 (2014): 479-494.
DOI: 10.21580/ws.22.2.290.
Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Juz 1-30. Surabaya: Karya Agung, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta:
Balai
Pustaka, 1994.
“Dukung Pahlawan Nasional, MUI Jatim Tolak Gus Dur Bapak Pluralisme.” nuonline. February
27, 2017. https://www.nu.or.id/post/read/21085/dukung-pahlawan-nasional-mui-jatim-
tolak-gus-dur-bapak-pluralisme.
Edwards, Paul. The Encyclopedia of Philosophy, Volume 5. New York: Mac Milan Publishing, 1967.
Volume 02 - No. 01 Juli 2020 175
Aris
Kristianto

Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against
Oppression. England: Oneworld Publications, 1997.
Ghanoushi, Sheikh Rashid. “Pluralisme dan Monoteisme dalam Islam.” Dalam Mansoor al-
Jamri (ed.). Islamisme, Pluralisme dan Civil Society. Terj. Machnun Husein. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007.
Hick, John. “Religious Pluralism.” Dalam Mircea Eliade (Ed.), et al. The Encyclopedia of Religion,
New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995.
Hooker, M.B. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Translated by Iding
Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju, 2002.
Ismail, A. Ilyas dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Offline Versi 1.1, 2010.
Kimlicka, Willy. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES, 2003.
Kristianto, Aris. “Pluralisme Agama di Indonesia: Studi Tentang Tipologi Pluralisme Agama
Nonindifferent Pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005.” Disertasi, UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2018.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi
Sejarah. Bandung: Mizan dan Maarif Institute, 2009.
Misrawi, Zuhairi. “Rethinking Pluralisme Telaah Konsep dan Implementasi dalam kehidupan
Sosioreligius di Indonesia.” Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial vol. 9, no. 1 (Juni 2011).
Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (edisi dwibahasa). Jakarta: INIS, 1993.
Nafi’a, Ilman. “Fatwa Pluralisme dan Pluralitas Agama MUI Dalam Perspektif Tokoh Islam
Cirebon.” Holistik vol. 14, no. 1 (2013): 125-150. DOI: 10.24235/holistik.v14i1.184.
Nawawi, “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural.” Komunika vol. 06, no.01 (Januari-Juni:
2012). DOI: 10.24090/komunika.v6i1.347.
Nawawi, Ismail. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya,
2012. Parekh, Bhiku. Rethinking Multiculturalism. London: Sage Publication, 2007.
Permana, Andi. “Analisis Fatwa MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme
Agama.” Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Qodir, Zuly. “Pemikiran Islam, Multikulturalisme dan Kewargaan.” Dalam Wawan Gunawan
Abd. Wahid, dkk, Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat,
Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung: Mizan, 2015.
Qarḍawi, Yusuf. Fiqh Prioritas. Mansyurat Kuliah Da'wah Islamiyah, 1990.
Rosidi, “Dakwah Multikultural di Indonesia:Studi Pemikiran dan Gerakan Dakwah
Abdurrahman Wahid.” Analisis vol. 13, no. 2 (2013): 481-500. DOI:
10.24042/ajsk.v13i2.708.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2011.
Su’aidi, Agus Ahmad. “Mengukur Kuasa Fikih dan Teologi Atas Pemikiran: Studi Kasus Fatwa
Pengharaman Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme,” Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan vol. 10, no. 1 (2010): 17-33. DOI: 10.18326/ijtihad.v10i1.17-33.

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu


Landasan Dakwah Multikultural:
Studi Kasus Fatwa MUI Tentang Pengharaman Pluralisme

Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya: City of Tolerance. Yogyakarta:
Impulse (Institut for Multiculturalism and Pluralism Studies) dan Kanisius, 2007.
Thoha, Anis Malik. Trend Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2006.
. “Doktrin Pluralisme Agama: Telaah Konsep dan Implikasinya bagi Agama-
Agama.” Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial vol. 9, no.1 (2011): 1-14.
http://irep.iium.edu.my/23866/1/Doktrin_Pluralisme_Agama.pdf.
Waskito, Abu Muhammad. Cukup 1 Gus Dur Saja!: Sebuah Monumen Kontroversi, Kebodohan
Sistemik dan Kerancuan Berfikir Bangsa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Yasin, Taslim H.M. “Pluraslime Agama Sebuah Keniscayaan.” Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin vol. 15, no. 1 (2013):134-144. DOI: 10.22373/substantia.v15i1.4890.
Yaqin, Ainul. Menolak Liberalisme Islam: Catatan Atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer.
Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur, 2012.
Yunus, Mochammad. “MUI Jatim Tolak Gelar Bapak Pluralisme” Asshomadiyahcenter. April 19,
2014. http://asshomadiyahcenter.blogspot.com/2011/10/mui-jatim-tolak-gelar-bapak-
pluralisme.html.

Volume 02 - No. 01 Juli 2020 177


Aris
Kristianto

1 INTELEKSIA – Jurnal Pengembangan Ilmu

Anda mungkin juga menyukai