96-Article Text-512-1-10-20200831
96-Article Text-512-1-10-20200831
Abstrak: Studi ini berangkat dari gagasan dakwah multikultural yang relevan
dengan konteks Indonesia. Sebagai sebuah pendekatan dakwah berbasis
multikultural perlu memiliki landasan yang tepat dalam pelaksanaannya, karena
konsep multikultural bersinggungan dengan konsep pluralisme teologis yang
ternyata maknanya tidak tunggal. Sisi lain MUI sebagai Lembaga yang
mengeluarkan fatwa Nomor 7 Tahun 2005 tentang keharaman pluralisme. Di
sinilah perlunya pengkajian fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme teologis
sebagai landasan dakwah multikultural. Studi ini berfokus pada menelaah fatwa
MUI tentang pengharaman pluralisme agama dan keabsahan makna khusus
pluralisme agama, serta implikasi fatwa tersebut bagi pelaksanaan dakwah
multikultural. Metodologi studi secara kualitatif deskriptif dengan pendekatan
kepustakaan. Analisis berpijak pada konsep pluralisme, karakteristik dakwah
multikultural, serta kelembagaan MUI dan fatwanya. Hasil studi menunjukkan
bahwa pemaknaan pluralisme yang digagas MUI absah sebab berangkat dari
pengertian awal pemahaman masyarakat, sehingga fatwa tersebut dapat diterima
kebenarannya. Implikasi fatwa tersebut terletak pada tiga hal, yaitu perlunya
pengembangan materi antipluralisme dan promultikultural, pengembangan
strategi dakwah berbasis kultural dan mengedepankan kerukunan, penyikapan
perbedaan dengan dialog dan toleransi aktif untuk hidup Bersama.
Kata kunci: Dakwah multikultural, Fatwa MUI, Pluralisme agama
Abstract: This study is taken from a concept of multicultural da’wah relevant to the
Indonesian context. As an approach, multicultural da’wah needs to own the right
basis in its implementation, since the multicultural concept is related to the concept
of religious pluralism whose meaning is, in reality, not single. Meanwhile, MUI, as
an institution issuing Islamic decree (fatwa) in Indonesia, has issued a fatwa on the
prohibition for religious pluralism, its meaning legality, and its fatwa implication for
the implementation of multicultural da’wah. This study applies qualitative
descriptive method with library-research approach. Its analysis is based on the
pluralism concept, multicultural da’wah characteristics, the institution of MUI, and
its fatwa. The result shows that the definition of pluralism which was initiated by
MUI was legal because it derived from initial understanding and comprehension
available in society. Therefore, the truth of fatwa is acceptable. The fatwa implies
three matters, namely the necessity for developing anti-pluralism and pro-
multicultural materials, the development of cultural-based da’wah strategy
prioritizing social harmony, and treating differences by engaging in a dialogue and
active tolerance for living together.
Keywords: Multicultural da’wah, MUI fatwa, Religious pluralism
1
M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah Edisi Revisi, (Jakarta:
6
Kencana Prenadamedia Grup, 2016), 17-18. Abdul Basit, Filsafat Dakwah (Jakarta: Rajagrafindo
2
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Persada, 2013), 15.
7
Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam Aris Kristianto, “Pluralisme Agama di Indonesia:
(Jakarta: Kencana, 2011), 263-264. Studi tentang Tipologi Pluralisme Agama
3
Ibid., 263. Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7
4
Nawawi, “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural,” Tahun 2005” (Disertasi, UIN Sunan Ampel Surabaya,
Komunika vol. 6, no. 1 (2012), pp. 2018), 3-5.
8
5
Rosidi, “Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Zuly Qodir, “Pemikiran Islam, Multikulturalisme dan
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Abdurrahman Kewargaan”, dalam Wawan Gunawan Abd. Wahid,
Wahid,” Analisis vol. 13, no. 2 (2013): 482. dkk, Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia
tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-
Muslim (Bandung: Mizan, 2015), 174-176.
konsep pluralisme agama perlu memiliki Wacana pluralisme sebagai konsep interaksi
landasan yang kukuh. Ketidakpahaman antarumat beragama disikapi oleh Majelis
aktivis dakwah terhadap konsep pluralisme Ulama Indonesia (MUI) dengan
dapat mengakibatkan kekeliruan dalam dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 7 Tahun
dakwah multikultural. Ketika tidak bisa 2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan
membedakan ragam tipologi pluralisme, sekularisme agama. Rumusan fatwa yang
aktivis dakwah bisa terjebak pada makna dikeluarkan MUI melalui Munas VII Tahun
pluralisme agama yang samar, atau 2005 menyebutkan, definisi pluralisme
dibelokkan oleh pihak tertentu. Misalnya, agama adalah paham yang mengajarkan
pluralisme dalam arti teologis adalah semua agama sama, kebenarannya bersifat
penyatuan iman dari sekian perbedaan relatif sehingga setiap pemeluknya tidak
ajaran pada masing-masing agama bahkan boleh mengklaim hanya agama sendiri yang
identitas pemeluknya saling bertentangan benar, sedangkan agama lain salah dan
menjadi terabaikan. Akibatnya dakwah semua pemeluk akan masuk dan hidup
pendekatan multikultural yang mencoba berdampingan di surga.14 Kewenangan MUI
melihat perbedaan sebagai keunikan yang mengeluarkan fatwa sebagai institusi
tidak harus dipaksakan untuk disatukan, keagamaan, layak untuk dijadikan landasan
menjadi pemaksaan terhadap pluralisme itu dalam pelaksanaan dakwah di Indonesia.
sendiri. Perbedaan dan keunikan agama- Sebagaimana dalam penjelasannya, fatwa
agama yang seharusnya dilindungi sebagai MUI tersebut menegaskan klaim kebenaran
hak asasi manusia terpaksa melebur dalam agama sendiri dibenarkan, sejauh tetap
bentuk pemahaman baru ajaran agama. berkomitmen untuk saling menghargai dan
Dalam beberapa kasus, pluralisme dijadikan mewujudkan keharmonisan sesama umat
alat untuk mendangkalkan akidah umat beragama. Menolak pluralisme dan
Islam seperti mengikuti tata cara ibadah menerima pluralitas dengan toleransi dan
agama lain. Menurut Abdusshomad Buchori hidup damai berdampingan adalah sikap
(Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa yang benar karena pluralitas adalah
Timur), banyak laporan informasi yang kemajemukan agama sebagai hukum
diterima MUI Jawa Timur. Beberapa Kiai sejarah.15
turut hadir masuk gereja diundang Pendeta,
yang itu dilakukan dengan alasan toleransi Keharaman pluralisme oleh Fatwa MUI
dan pluralisme. Oleh karenanya beliau bukannya tanpa penolakan. Beberapa
menolak ketika Abdurrahman wahid (Gus kelompok yang pro pluralisme menolak
Dur) dianugerahkan gelar “Bapak asumsi dasar pluralisme yang dijadikan
Pluralisme.” Sebab menurutnya fenomena pijakan MUI. Kelompok propluralisme
tersebut bisa membuat kerancuan menolak pengertian pluralisme
pemahaman masyarakat awam, khususnya mengajarkan semua agama sama. Ulil
yang tidak memahami maksud pluralisme Abshar Abdalla, berpendapat bahwa
agama.13
19, 2014.
13
“Dukung Pahlawan Nasional, MUI Jatim Tolak Gus http://asshomadiyahcenter.blogspot.com/2011/10/m
Dur Bapak Pluralisme,” nuonline, February 27, 2017. ui-jatim-tolak-gelar-bapak-pluralisme.html
https://www.nu.or.id/post/read/21085/dukung- 14
Ma’ruf Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
pahlawan-nasional-mui-jatim-tolak-gus-dur-bapak- Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), 91.
pluralisme; Yunus, Mochammad. “MUI Jatim Tolak 15
Ibid., 95.
Gelar Bapak Pluralisme” Asshomadiyahcenter. April
20
mendeskripsikan fatwa MUI tentang Ilman Nafi’a, “Fatwa Pluralisme dan Pluralitas Agama MUI
(Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam
pluralisme agama sebagai landasan dakwah Cirebon,” Holistik, vol. 14, no. 1 (2013): 125-150.
multikultural dan implikasi pelaksanaannya
di Indonesia. Secara praktis studi ini
bermanfaat sebagai wawasan bagi para
aktivis dakwah terkait fatwa MUI tentang
pluralisme agama dan implikasinya
terhadap pelaksanaan dakwah multikultural
di Indonesia.
19
Andi Permana, “Analisis Fatwa MUI Tentang
Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama,”
(Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
tidak menyelesaikan persoalan, bahkan penelusuran studi ini, pengkajian fatwa MUI
merupakan alat yang salah. Sebagai tentang pluralisme agama sebagai landasan
gantinya studi tersebut menyarankan dakwah multikultural masih belum
pengujian pemikiran secara dialektika dilakukan. Studi ini menggunakan metode
ilmiah dan beradab. Sekalipun sama-sama kualitatif deskriptif, dengan subjek
membahas fatwa MUI, namun orientasi penelitian landasan dakwah multikultural
studi jelas berbeda. Artikel tersebut dan objek penelitian fatwa MUI tentang
merespons keberadaan fatwa yang pluralisme agama. Pendekatan utamanya
melarang pluralisme. Sementara studi ini studi pustaka, bersumber dokumen teks
mencoba memahaminya sebagai landasan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 tentang
dakwah multikultural. pluralisme, liberalisme dan sekularisme
agama; Buku Himpunan Fatwa Majelis
Keempat, artikel berjudul “Islam Rafimatan Ulama Indonesia (MUI) Sejak 1975, yang
Li ‘l-‘Ālamīn sebagai Landasan Dakwah tidak hanya berisi himpunan fatwa tetapi
Multikultural: Perspektif Muhammad juga tentang fatwa dan prosedur
22
Fethullah Gülen.” Tujuan artikel adalah menetapkan fatwa di MUI; buku-buku dan
untuk menganalisis konsep Fethullah Gülen artikel jurnal terkait yang membahas
mengenai rafimatan li ‘l-‘alamīn. Terdapat masalah pluralisme agama. Kerangka
tiga temuan penting, pertama, Islam konseptual merujuk pada konsep pluralisme
rafimatan li ‘l-‘alamīn itu direfleksikan agama, kelembagaan MUI, dan karakteristik
dengan cinta dan kasih. Kedua, Islam dakwah multikultural. Analisis data
rafimatan li ‘l-‘alamīn itu direfleksikan dilakukan secara kualitatif mengikuti model
dengan dialog antariman. Ketiga, Islam Miles dan Huberman yaitu mulai reduksi
rafimatan li ‘l-‘alamīn itu direfleksikan data (pemilahan data), penyajian data, dan
dengan toleransi. Kesamaannya dengan penarikan kesimpulan.23
studi ini adalah pada landasan dakwah
multikultural. Jika studi ini mengkaji fatwa
MUI tentang pluralisme agama sebagai
Pluralisme Agama
landasan, artikel tersebut mengkaji
Kata “pluralisme” terdiri dari kata dasar
pemikiran Islam rafimatan li ‘l-‘alamīn
“plural” artinya (form of a word) used of
Fethullah Gülen.
referring to more than one, jamak (lebih
dari satu),24 “isme” yang berarti “sistem
Signifikansi studi ini secara keseluruhan
kepercayaan berdasarkan politik, sosial,
adalah melengkapi kajian terhadap fatwa
atau ekonomi.25 Sehingga pluralisme secara
MUI tentang pluralisme agama, sekaligus
kebahasaan adalah sistem kepercayaan
keabsahan makna pluralisme dalam fatwa
terhadap realitas yang jamak. Dalam
tersebut, serta landasan dakwah
filsafat, pluralisme adalah konsep yang
multikultural. Yang mana sejauh
menjelaskan
22
Achmad Bisri, “Islam Rafimatan Li ‘l-‘Ālamīn sebagai
Landasan Dakwah Multikultural: Perspektif
Muhammad Fethullah Gülen.” Walisongo vol. 22, no. 24
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
02 (2014): 479-494. Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta: Balai
23
Ismail Nawawi, Metode Penelitian Kualitatif, Pustaka, 1994), 884.
(Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 256-259. 25
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Offline Versi 1.1,
2010.
bahwa realitas subtantif tidak monisme dan politik seperti Benjamin Franklin dan teolog
tidak pula dualisme melainkan beragam.26 seperti Havey Cox. Kedua, teologi global
(global theology), yaitu pluralisme agama
Keterlibatan agama dalam pluralisme yang merujuk pada rekonsepsi agama
berasal dari asumsi pendekatan ilmu sosial gagasan Wilfred Cantwel Smith dan
bahwa pluralisme agama sebagai kerangka hipotesis transformasi pemusatan diri
interaksi antarkelompok yang saling menuju Yang Maha Nyata (The Real) oleh
menghormati secara koeksistensi, yaitu John Hick. Meskipun memiliki perbedaan
hidup bersama tanpa konflik. Sebagaimana pandangan dan jalan tentang The Ultimate
pengertian dan gagasan pluralisme menurut Reality (Tuhan) dalam berbagai agama,
Farid Esack adalah pengakuan dan hakikatnya menuju keselamatan yang sama.
penerimaan tentang keberbedaan dan Ketiga, sinkretisme, yaitu perpaduan
keragaman lebih dari sekadar toleransi. Ada gagasan kebenaran dalam berbagai agama
unsur penerimaan cara dalam menanggapi secara teologis yang saling melengkapi.
dorongan pada sesuatu yang transenden.27 Keempat, hikmah abadi (perenial
Sementara John Hick secara fenomenologi philosophy, shophia perenis). Istilah Ibnu
melihat pluralisme agama merujuk kepada Khaldun, al-Ḥikmah al-Khālidah, yaitu
fakta sejarah agama-agama menunjukkan pluralisme yang berpijak pada keyakinan
pluralitas tradisi dan variasi di setiap untuk membedakan antara kebenaran dan
bagiannya. Pluralisme agama merupakan keberadaan/kenyataan. Jika kebenaran
perkembangan lebih jauh dari inklusivisme disebut hakikat transenden (transcendent
yang mengakui adanya kebenaran di setiap reality) adalah yang satu dan tidak mungkin
tradisi agama dan kepercayaan.28 diketahui, maka kenyataan disebut hakikat
keagamaan (religious reality) sebagai
Berbagai pemaknaan pluralisme manifestasi eksternal yang beragam dari
dikategorikan dalam dua pendekatan, yaitu hakikat transenden tersebut.29
teologi dan sosiologi. Pluralisme perspektif
sosiologi merupakan masalah politik Dari berbagai konsep menunjukkan teori
daripada agama. Konsep pluralisme pluralisme beragam dan kompleks, namun
berdasarkan identifikasi tren pemikiran terklasifikasikan dua faktor, pertama, faktor
menurut Anis Malik Thoha ada empat tren internal (ideologis), akibat tuntunan agama
pemikiran agama, pertama, humanisme pada kebenaran mutlak mengenai akidah,
sekular, yaitu mewujudkan koeksistensi doktrin dan sejarah. Sikap absolutisme
damai (peacefull co-existence) antaragama. agama yang wajar tanpa pertentangan ini
Sentralitas manusia sebagai subjek memunculkan teori relativisme agama
(antroposentris) gagasan William James dan sebagai pluralisme agama. Said Agil Husin Al
sekularisme sebagai asas koeksistensi damai Munawar menyebutkan, sejarah telah
antaragama yang direpresentasikan tokoh
26
Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, Solidarity Against Oppression (England: Oneworld
Volume 5 (New York: Mac Milan Publishing, 1967), Publication, 1997), xii.
363-364. 28
John Hick, “Religious Pluralism”, dalam The
27
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Encyclopedia of Religion, 337.
Islamic Perspective of Interreligious 29
Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama: Tinjauan
membuktikan tidak ada agama yang tidak tujuan tidak diraih melalui pengingkaran
melakukan klaim kebenaran mutlak.30 melainkan pengakuan terhadap perbedaan
sebagai konsekuensi atas keragaman dan
Kedua, faktor eksternal, meliputi (a) faktor kesatuan dalam pluralisme. Interaksi
sosio-politis. Pengembangan wacana antarumat beragama melalui mekanisme
sosiopolitis, demokratis, dan nasionalisme dialog dan kerja sama dalam kebaikan
melahirkan sistem negara bangsa ke arah dengan mengakui sepenuhnya hak-hak
globalisasi selama tiga abad. Pasca orang lain untuk berbeda sekaligus menolak
pemikiran liberalisme pengusung gagasan paksaan untuk konversi iman.33
kebebasan, toleransi, kesamaan, dan
pluralisme. Liberalisme tidak lagi terbatas
masalah politis bahkan politisasi dan Karakteristik Dakwah
intervensi agama secara sistematis.
Liberalisme memainkan watak universal
Multikultural
Multikultural sebagai keanekaragaman
dan komprehensifnya pada HAM sehingga
budaya termasuk bahasa, agama, adat
hak beragama dan berkeyakinan menjadi
istiadat, dan pola tatanan perilaku anggota
turut serta. Akibatnya, agama
masyarakatnya. Multikultural membangun
disubordinasikan pada kekuatan sistem di
nilai keragaman dan perbedaan budaya
luar agama hingga melupakan realitas
antarkelompok masyarakat dalam
agama;31 (b) faktor keilmuan modern.
mengekspresikan kebudayaan agar saling
Perkembangan studi perbandingan agama-
menghormati tanpa prasangka buruk dan
agama dunia mensyaratkan
permusuhan.34
perdamaian tanpa
mempersoalkan perbedaan keyakinan.
Kesadaran pada realitas dan kondisi
Evolusi politik dan ekonomi juga melahirkan
masyarakat yang heterogen serta makin
evolusi sosial budaya yang saling
mengglobal, membuat perlunya
memengaruhi.32
pendekatan dakwah yang bercorak
multikultural. Dakwah multikultural melihat
Ajaran Islam sendiri mengakui perbedaan
bahwa perbedaan muslim dan nonmuslim
sebagai gejala sosial dan keagamaan
sebagai objek dakwah adalah keunikan yang
universal tanpa dipengaruhi oleh sejarah
tidak harus dipaksakan untuk disatukan,
perang antaragama atau misi genosida baik
tetapi bagaimana tetap bisa berjalan secara
etnik, keagamaan, dan pemusnahan
harmonis, sehingga dakwah multikultural
peradaban. Pandangan tersebut merupakan
fokus pada penyampaian pesan dakwah
cerminan ayat Al-Qur’an mengenai
yang mengedepankan dialog, bukan
kebebasan memilih agama dan tugas
pemaksaan, serta tetap menjaga kerukunan
pengabdian kepada Tuhan tanpa
dan toleransi.35 Dakwah multikultural
intervensi atau paksaan. Beribadah kepada
Allah, Tuhan Pencipta alam semesta sebagai
33
Sheikh Rashid Ghanoushi, “Pluralisme dan
30
Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Monoteisme dalam Islam”, dalam Mansoor al-Jamri
Agama (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 207. (ed.), Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, 66-67.
34
31
Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama, 41-42. Willy Kimlicka, Kewargaan Multikultural (Jakarta:
32
Ibid., 43. LP3ES, 2003), 12
35
Ibid., 263.
36
Ismail dan Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa
Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta:
Kencana, 2011), 264-267. 38
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar
37
Ibid. Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2011), 554.
43
Ibid., 38-40.
masalah diluar persoalan keimanan dan Pada tanggal 26-29 Juli 2005 M atau 19-22
syariat (ibadah) memungkinkan untuk Jumadil Akhir 1426 H dilaksanakan
berbeda sehingga membutuhkan banyak Musyawarah Nasional (Munas) ke-VII MUI.
interpretasi dalam mencari solusi. Dalam Munas tersebut, Komisi Fatwa yang
dipimpin oleh K.H. Ma’ruf Amin
menetapkan sebelas keputusan fatwa, yang
Penjelasan Fatwa MUI Nomor salah satunya adalah mengharamkan
7 Tahun 2005 pluralisme (pandangan yang menganggap
1. Latar Belakang dan Tujuan semua agama sama), liberalisme, dan
MUI secara moral memiliki tanggung jawab sekularisme. Keluarnya fatwa tersebut tidak
untuk melindungi kaum muslim Indonesia bisa dipisahkan dengan konteks global dan
dari beragam serangan dan praktik-praktik lokal. Maraknya pemikiran dan gerakan
kemungkaran. Oleh karenanya dalam yang mengunggulkan pluralisme, serta
persoalan akidah perlu dijawab dalam liberalisme sebagai ajaran atau paham baru
sebuah fatwa bukan sekadar secara lisan sangatlah meresahkan. Ada kekhawatiran
sebagai nasihat atau rekomendasi. Maka apabila ajaran tersebut diikuti maka akan
sebagai upaya untuk melindungi dan menjauhkan umat dari agamanya sendiri,
menjaga umat Islam dari ajaran yang kehilangan jati diri, dan identitas
menyimpang, MUI merasa perlu untuk keberagamaannya, dan akhirnya meragukan
mengeluarkan fatwa terkait larangan atau kebenaran ajaran Islam itu sendiri karena
tidak bolehnya mengikuti ajaran berpikiran bahwa semua agama benar.51
liberalisme, sekularisme, dan pluralisme Pada level global terdapat desakan-desakan
agama yang tertuang dalam putusan Fatwa dari beberapa negara guna menciptakan
MUI Nomor 7 Tahun 2005.49 tatanan kehidupan kedamaian di dunia
lewat dialog intensif dan keterbukaan
Fatwa tersebut adalah respon ulama dalam antaragama. Di antaranya adalah dengan
persoalan akidah serta ibadah, yang membentuk dan menyelenggarakan forum-
diajukan oleh penanya atau peminta fatwa forum dan organisasi nonpemerintahan
sehubungan dengan adanya pranata- yang secara khusus menyebarkan dan
pranata sosial yang terus berkembang di mempromosikan pluralisme di masyarakat
masyarakat yang menunjukkan signifikansi dunia.52
pengaruhnya. Pada Bab VI Pedoman dan
Prosedur Penetapan Fatwa MUI disebutkan Keluarnya fatwa tersebut dinilai oleh
bahwa MUI memiliki wewenang sebagian kalangan sebagai bentuk tanggung
menetapkan fatwa terkait persoalan- jawab MUI dalam membentengi akidah
persoalan keagamaan, khususnya persoalan kaum muslim Indonesia. Hal tersebut
hukum/fikih dan akidah yang berhubungan terlihat dalam konsideran fatwa pada
dengan kemurnian dan kebenaran bagian pertimbangan yang berisi latar
keimanan umat Islam di Indonesia.50 belakang, alasan, dan pentingnya
ketetapan fatwa
49
Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, 18.
50
Ibid., 7.
51
Imam Subkhan. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di
Yogya: City of Tolerance (Yogyakarta: Impulse dan
Kanisius, 2007), 30.
52
Ibid., 31.
4 Al-Ahzab 36 “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”60
5 Al- 8-9 Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
Mumtahana orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
h mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.61
6 An-Naml 77 Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.62
53 58
Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 7. Ibid., 65.
54 59
Ibid., 87. Ibid., 919.
55 60
Ibid., 90. Ibid., 598.
56 61
Ibid., 88-90. Ibid., 803.
57 62
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Ibid., 556.
Terjemahnya Juz 1-30 (Surabaya: Karya Agung, 2006),
76.
Kedua, hadis Nabi saw. yang diriwayatkan paham yang meyakini bahwa semua agama
oleh Imam Muslim, tertulis dalam Shahih adalah sama, sehingga kebenaran agama
Muslim: “Demi Dzat Yang menguasai jiwa bersifat relatif. Implikasinya maka pemeluk
Muhammad, tidak ada seorang pun baik agama tidak diperkenankan mengklaim
Yahudi maupun Nasrani yang mendengar hanya agamanya sajalah yang benar
tentang diriku dari umat Islam ini, sedangkan yang lainnya salah. Pluralisme
kemudian ia mati dan tidak beriman agama juga berpendapat bahwa semua
terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia agamawan kelak akan bersama-sama hidup
akan menjadi penghuni neraka.”65 Dalam di surga. Pengertian tersebut berbeda
Shahih Muslim dan Bukhari juga dengan pluralitas yang berarti realitas sosial
diriwayatkan bahwa Nabi pernah menulis adanya keragaman berbagai pemeluk
dan mengirimkan surat- surat kepada pada agama di wilayah tertentu yang hidup
raja-raja nonmuslim, seperti Raja Najasyi di bersama dan berdampingan.67
Abesenia yang beragama Nasrani, Kaisar Kedua, ketentuan hukum. Pluralisme agama
Heraklius di Romawi yang juga beragama sebagaimana dijelaskan di atas adalah
Nasrani, Raja atau Kisra Persia yang ajaran atau paham yang tidak terdapat dan
memeluk Majusi. Dalam surat-suratnya bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya
Nabi mengajak mereka agar memeluk umat Islam diharamkan meyakini dan
ajaran Islam yang dibawanya.66 Selain itu mengikuti paham pluralisme agama. Hal
dalam pergaulan sosialnya, Nabi saw. juga tersebut menyangkut masalah akidah dan
menjalin hubungan sosial dengan ibadah, yang mana menurut MUI, umat
kelompok-kelompok nonmuslim, termasuk Islam harus memiliki sikap eksklusif. Dalam
komunitas Yahudi di Madinah, di Khaibar, arti tidak diperkenankan dan diharamkan
dan kaum Nasrani di Najran. untuk mencampuradukkan masalah akidah
dan ibadah dengan ajaran agama lain.
3. Ketetapan Hukum Fatwa MUI Ajaran pluralisme agama sudah
Pertama, dalam ketentuan umum Fatwa menyangkut masalah akidah dan ibadah.
MUI Nomor 7 Tahun 2005 dijelaskan bahwa Sementara bagi umat Islam yang hidup dan
pluralisme agama merupakan ajaran atau tinggal dengan pemeluk agama lain
diperlukan sikap inklusif
63
Ibid., 192.
64
Ibid., 482.
65
Hadits Riwayat, Muslim.
66
Ibid., Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari.
67
Amin, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 91.
untuk masalah-masalah sosial yang tidak pengertian para penganjurnya. Oleh sebab
berhubungan dengan akidah dan ibadah, itulah MUI dalam Munas VII merasa perlu
sehingga tetap melakukan pergaulan sosial menyikapi usul dari masyarakat dan para
dengan prinsip saling menghormati dan ulama agar menetapkan fatwa terkait
tidak saling merugikan.68 masalah pluralisme agama, untuk
menghindarkan umat Islam Indonesia dari
4. Penjelasan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun paham pluralisme agama.70 Keempat,
2005 diktum fatwa tentang pluralisme agama
Dalam bagian penjelasan Fatwa MUI Nomor terbagi dalam dua bagian yang tidak
7 Tahun 2005, terkait keharaman pluralisme terpisahkan, yaitu ketentuan umum dan
agama, antara lain:69 pertama, masyarakat ketentuan hukum. Dalam ketetapan hukum
Islam Indonesia saat ini tengah menghadapi merujuk pada pengertian pluralisme yang
serangan pemikiran (ghazwul fikr) di telah ditulis dalam ketentuan umum.
antaranya adalah dengan masuknya paham Pengertian pluralisme agama dalam
pluralisme agama. Serangan pemikiran ketentuan umum tersebut bersifat empiris,
tersebut membawa implikasi pada yang berarti bertitik tolak dari pengertian
kepercayaan dan keberagamaan umat yang terpahami di masyarakat luas,
Islam, karena pluralisme agama sehingga bukan pengertian yang tanpa
mengajarkan bahwa semua agama sama dasar dan mengada-ada, tetapi merespons
benarnya. Jika itu diyakini maka dapat dari yang selama ini telah disosialisasikan
mereduksi keimanan umat. Pluralisme secara luas oleh penganjur pluralisme
agama menganalogikan agama seperti agama di masyarakat.71
memakai baju, sehingga tergantung selera
dan bisa berganti-ganti. Ajaran yang Kelima, dalam fatwa MUI telah ditegaskan
demikian jelas merusak dan mengarah pada perbedaan pluralisme agama dan pluralitas
pendangkalan dan relativisme agama. agama yang berarti kemajemukan atau
Kedua, pluralisme agama berimplikasi pada keragaman agama di suau wilayah.
paham sinkretisme atau pencampuradukan Indonesia sebagai suatu masayarakat
agama. Hal tersebut tidak sejalan dengan dengan banyak agama adalah kenyataan
pengertian pluralisme agama yang pernah yang tidak dapat disangkal, sehingga semua
dibahas dalam forum dialog antarumat pihak termasuk umat Islam wajib menerima
beragama di Indonesia, yang digawangi kenyataan tersebut sebagai keniscayaan
oleh cendekiawan muslim A. Mukti Ali dan menyikapinya dengan mengembangkan
tahun pada tujuh puluhan, di mana sikap menghargai, toleran, dan siap
disepakati pengertian adanya klaim berdampingan dengan damai. Keenam,
kebenaran tiap agama, dan persetujuan dan fatwa MUI terkait pengharaman pluralisme
perbedaan (agree in disagreement). agama diorientasikan untuk membantah
dan menangkal paham relativisme agama,
Ketiga, ajaran pluralisme telah banyak yang menyatakan bahwa tidak ada
disosialisasikan secara aktif dan masif ke kebenaran absolut dalam agama, semuanya
dalam lembaga-lembaga pendidikan, yang bersifat relatif. Dalam fatwa tersebut justru
kemudian terpahami sebagaimana
70
Ibid., 93.
68
Ibid., 91-92. 71
Ibid., 94.
69
Ibid., 93-95.
menggarisbawahi bahwa tiap agama dapat kosong, tetapi memiliki basis empiris, serta
menyatakan klaim kebenarannya, tetapi melibatkan pula kalangan akademisi.
harus berkomitmen untuk menghargai Pengertian atau tipologi lain pluralisme
perbedaan, dan mewujudkan keharmonisan memang masih sebatas dalam ranah
di masyarakat yang plural.72 akademik, sehingga wajar jika masyarakat
muslim umumnya tidak memahami.
Sementara jika pemaknaan pluralisme yang
Kebenaran Fatwa MUI dan demikian (secara teologis) dibiarkan
Keabsahan Makna Pluralisme berkembang di masyarakat, tentu sangat
membahayakan. Dari situlah MUI
Agama
mengeluarkan fatwa pengharaman
Sebagaimana dijelaskan MUI bahwa istilah
pluralisme karena bermakna sebagai paham
pluralisme agama adalah istilah yang
relativisme keagamaan.
populer di masyarakat, namun tidak jarang
pengertiannya dibelokkan dan
Tentu saja pemaknaan pluralisme yang
disalahpahami. Sebagian ada yang
demikian oleh MUI mendapatkan
memaknai pluralisme agama sama dengan
pertentangan dan menjadi kontroversi di
pluralitas agama, ada juga yang memahami
kalangan akademisi, khususnya yang pro
nya sebagai toleransi keberagamaan. Dari
pluralisme. Mereka menilai fatwa tersebut
situlah MUI mendefiniskan pluralisme
berpotensi memicu konflik. Pertentangan
agama sebagai ajaran atau paham yang
tersebut karena terdapat perbedaan
menyatakan bahwa semua agama sama,
perspektif dalam memahami pluralisme.
sehingga mengarah pada relativisme
Sebagian akademisi mendekati secara
kebenaran agama. Menilik dari
sosiologis, pluralisme agama yaitu sebagai
perkembangan konsep pluralisme maka
suatu sikap keterbukaan dan secara aktif
definisi pluralisme MUI sejalan dengan yang
menerima realitas perbedaan agama. Alih-
dikemukakan oleh beberapa kalangan
alih menganjurkan pluralisme agama yang
pluralisme seperti John Hick, W.C. Smith,
pengertiannya bisa merancukan, maka MUI
dan lain-lain. Pluralisme yang mengarah
memilih dan mengakui pluralitas agama.
pada pembentukan agama baru atau
Pluralitas agama berarti keragaman atau
sinkretisme. Pluralisme yang didekati secara
kemajemukan agama sebagai hukum
teologis filosofis.
sejarah (sunatullah) yang tidak mungkin
terelakkan. Pluralitas agama adalah fakta
Dalam penjelasan fatwa MUI tersebut,
Indonesia, yang harus disikapi secara
pemaknaan pluralisme berangkat dari apa
toleran dan mengembangkan hidup
yang dipahami oleh masyarakat umum.
berdampingan dengan damai. Pluralisme
Dalam arti pemaknaan tersebut tidak
agama bukanlah arti lain dari Bhineka
dilakukan secara sepihak oleh MUI, tetapi
Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa
dengan menjaring pengertian-pengertian
Indonesia. Pengertian pluralisme yang
yang dipahami oleh masyarakat muslim.
berkembang di masyarakat justru
MUI dalam pemaknaannya terhadap
mengarahkan seseorang untuk
pluralisme tidak berangkat dari ruang
mempercayai relativisme kebenaran
72
Ibid., 95.
karena semua agama sama dan sama-sama Telaah Konsep dan Implikasinya bagi Agama-Agama,”
benar. Sedangkan sikap terhadap pluralitas
agama menurut Islam adalah dengan
mengakui dan menghormatinya tanpa
bermaksud meyakini kebenaran masing-
masing agama, karena agama yang benar
adalah Islam. Sikap tersebut tertuang dalam
prinsip “bagimu agamamu dan bagiku
agamaku (lakum dinukum waliyadin).” Oleh
sebab itu istilah pluralisme agama yang
digunakan untuk alasan toleransi dan
kerukunan hidup antarumat beragama
layak ditolak oleh MUI. Sebab konsep
pluralisme yang lahir di negara Barat,
kemudian dikembangkan dan
disebarluaskan kelompok-kelompok pro
pluralisme maupun berpaham liberalisme
memiliki arah pengertian yang cenderung
berpotensi dipahami mencampuradukkan
agama.
73
Thoha, Trend Pluralisme Agama, 125.
74
Anis Malik Thoha. “Doktrin Pluralisme Agama;
otentisitas agama lain secara akidah. mengganggu akidah umat Islam yang hadir
Eksistensi semua agama diakui dan diterima dalam perayaan tersebut. Oleh sebab itu
tanpa adanya paksaan. Namun diyakini pelaksanaan kerukunan antarumat
tidak semua agama benar. Di Islam beragama dan perbaikan toleransi tidak bisa
diajarkan bahwa di luar golongan Islam dilaksanakan dalam ranah akidah dan
adalah termasuk golongan yang merugi di ibadah, tetapi dalam aktivitas-aktivitas
akhirat kelak. Sehingga keberadaan agama sosial, kebangsaan, dan kerja sama dalam
lain diakui, tetapi kebenarannya ditolak. persoalan kehidupan dunia lainnya.
Mengakui pluralitas tetapi tidak mengakui
pluralisme agama. Pemaknaan pluralisme agama yang
didefinisikan cenderung menggiring pada
Makna pluralisme agama juga tidak bisa ajaran relativisme dan sinkretisme tersebut
disamakan dengan kerukunan antarumat sangat beralasan. Yang apabila dibiarkan
beragama. Penyamaan tersebut membawa efek pada pendangkalan akidah.
dikhawatirkan berakibat pada kekeliruan Pengakuan terhadap kesamaan atau
yang kemudian bisa menimbulkan konflik kebenaran semua agama, terlebih dengan
dan disharmoni di masyarakat. Hal tersebut analogi mengenakan baju yang bisa
seperti mengulang kasus fatwa kehadiran berganti-ganti, dapat berimplikasi bahwa
orang Islam dalam perayaan Natal umat setiap individu tidak perlu mengikuti agama
Kristiani. Fatwa tersebut dikeluarkan tertentu, dia boleh berpindah-pindah atau
tanggal berganti-ganti selayaknya ganti baju.
7 Maret 1982 guna menyikapi maraknya Implikasi lebih jauh adalah individu akan
undangan-undangan perayaan Natal yang memandang bahwa agama bisa tidak
dihadiri oleh orang-orang Islam. Dalam diperlukan atau hanya sekadar untuk
fatwa tersebut dinyatakan bahwa haram memenuhi kebutuhan spiritualitas saja,
hukumnya bagi orang Islam untuk turut yang itu nantinya bisa diganti dengan yang
hadir dan terlibat dalam upacara perayaan lainnya. Sehingga peran agama menjadi
Natal. Hal tersebut karena ada yang kecil dan dapat terhapus dalam kehidupan
menyamakan antara perayaan Natal manusia. Oleh karenanya dapat dimengerti
dengan peringatan Maulid Nabi apabila MUI mengeluarkan fatwa untuk
Muhammad yang dipandang tidak bersifat melarang paham pluralisme agama yang
ibadah. Namun terdapat pula kasus secara definisi bermakna teologis, dan
penyelenggaraan perayaan Natal secara dapat menggerus eksistensi iman umat
formal di lembaga pendidikan maupun Islam.
instansi pekerjaan.77
Ditinjau dari metodologi hukum,
Dalam konteks kerukunan beragama yang keberadaan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun
berharap mengarahkan umat Islam dalam 2005 sebagaimana dijelaskan di atas,
kekristenan, maka ulama justru melandaskan pada metode mana yang
menganggapnya sebagai ancaman langsung paling kuat, atau unggul (bukan asal
kristenisasi. Mereka memandang bahwa memilih). Menetapkan hukum dengan
bagi umat Kristen, perayaan Natal sesuatu yang tidak berdasar (unggul) sama
merupakan rangkaian ibadah yang apabila
diikuti dapat
77
Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
117.
seperti menetapkan hukum dengan dasar bangsa asing dari Barat, yang dipelopori
selain hukum Allah. Jadi kalau ada pendapat Portugis, Belanda, dan Inggris menjadikan
berbeda, dicari mana yang terunggul.78 wilayah Nusantara sebagai jajahannya
Sebagaimana Keputusan Ijtimak Ulama sampai pada abad keduapuluh. Kesadaran
Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun kebangsaan kemudian tumbuh dan
2003 tentang taswiyat al-manhaj berkembang yang memuncak pada Kongres
(penyamaan pola pikir dalam masalah- Pemuda Kedua dengan Sumpah Pemuda
masalah keagamaan) menyatakan bahwa pada 28 Oktober 1928. Dari situ ada
perbedaan yang bisa diwajari dan kebulatan tekad dan kesadaran bersama
ditoleransi adalah sifatnya dalam majal al- untuk mewujudkan persatuan sebagai jalan
ikhtilaf (wilayah perbedaan) sehingga melawan penjajah. Kemudian, pada 17
diupayakan mencari titik temu untuk keluar Agustus 1945 wilayah bekas jajahan
dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf). Belanda tersebut dapat merdeka dan lahir
Sedangkan perbedaan di luar majal al- dengan nama Republik Indonesia. Para
ikhtilaf tidak digolongkan sebagai pendiri bangsa telah menyadari keragaman
perbedaan, melainkan merupakan masyarakatnya dan bersepakat menjadikan
penyimpangan atau penyelewengan ajaran Pancasila sebagai dasar negara, dengan
Islam, seperti munculnya perbedaan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang
terhadap masalah yang sudah jelas dan berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
pasti (ma’lum min al-din bi al-dlarurah),79 Filosofi dasar negara dan semboyan
dalam hal akidah. tersebut adalah wujud dari kesadaran
kemajemukan jati diri bangsa Indonesia.80
82
Bhiku Parekh, Rethinking Multiculturalism (London:
Sage Publication, 2007), 176.
83
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 74.
disikapi dengan toleransi atau hidup kultural Dai dan mad’uw. Ketiga, dalam
berdampingan dengan umat beragama lain. menyikapi perbedaan adalah melalui dialog,
keterbukaan, dengan orientasi pemecahan
Implikasi keberadaaan fatwa MUI tentang masalah.
pengharaman pluralisme bagi pelaksanaan
dakwah multikultural di Indonesia, di Sebagai hasil rekomendasi dari studi ini
antaranya menyangkut tiga hal, yaitu, adalah perlunya penguatan konsep dakwah
pertama, perlunya kesadaran bagi aktivis multikultural dengan pengembangan studi
dakwah multikultural terkait paham yang bersifat akademik maupun praktik di
pluralisme melalui materi dakwah lapangan. Hal tersebut menjadi tugas dan
antipluralisme, sisi lain perlu tantangan bagi akademisi dan praktisi
mengembangkan materi dakwah yang dakwah di Indonesia. Mengingat Indonesia
bercorak promultikultural. Kedua, terkait adalah negara multikultural, maka
metode dakwah bercorak kultural, yang pendekatan dakwah multikultural perlu
disusun atas dasar analisis peta dimensi untuk terus dikembangkan.
Bibliografi
Abdalla, Ulil Abshar. “Pluralisme dan Pluralitas: Dua Sisi dari Koin Yang Sama.” Islamlib. Mei 10,
2016. http://islamlib.com/gagasan/pluralisme/pluralisme-dan-pluralitas-dua-sisi-dari-
koin-yang-sama/.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Amin, Ma’ruf. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2011.
Arifin, Syamsul. Merambah Jalan Baru dalam Beragama: Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama
Dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Aziz, M. Ali. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2016.
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan. Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenrian
Agama RI, 2012.
Basit, Abdul. Filsafat Dakwah. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013.
Bisri, Achmad. “Islam Rafimatan Li ‘l-‘Ālamīn sebagai Landasan Dakwah Multikultural:
Perspektif Muhammad Fethullah Gülen.” Walisongo vol. 22, no. 02 (2014): 479-494.
DOI: 10.21580/ws.22.2.290.
Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Juz 1-30. Surabaya: Karya Agung, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta:
Balai
Pustaka, 1994.
“Dukung Pahlawan Nasional, MUI Jatim Tolak Gus Dur Bapak Pluralisme.” nuonline. February
27, 2017. https://www.nu.or.id/post/read/21085/dukung-pahlawan-nasional-mui-jatim-
tolak-gus-dur-bapak-pluralisme.
Edwards, Paul. The Encyclopedia of Philosophy, Volume 5. New York: Mac Milan Publishing, 1967.
Volume 02 - No. 01 Juli 2020 175
Aris
Kristianto
Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against
Oppression. England: Oneworld Publications, 1997.
Ghanoushi, Sheikh Rashid. “Pluralisme dan Monoteisme dalam Islam.” Dalam Mansoor al-
Jamri (ed.). Islamisme, Pluralisme dan Civil Society. Terj. Machnun Husein. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2007.
Hick, John. “Religious Pluralism.” Dalam Mircea Eliade (Ed.), et al. The Encyclopedia of Religion,
New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995.
Hooker, M.B. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Translated by Iding
Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju, 2002.
Ismail, A. Ilyas dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Offline Versi 1.1, 2010.
Kimlicka, Willy. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES, 2003.
Kristianto, Aris. “Pluralisme Agama di Indonesia: Studi Tentang Tipologi Pluralisme Agama
Nonindifferent Pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005.” Disertasi, UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2018.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi
Sejarah. Bandung: Mizan dan Maarif Institute, 2009.
Misrawi, Zuhairi. “Rethinking Pluralisme Telaah Konsep dan Implementasi dalam kehidupan
Sosioreligius di Indonesia.” Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial vol. 9, no. 1 (Juni 2011).
Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (edisi dwibahasa). Jakarta: INIS, 1993.
Nafi’a, Ilman. “Fatwa Pluralisme dan Pluralitas Agama MUI Dalam Perspektif Tokoh Islam
Cirebon.” Holistik vol. 14, no. 1 (2013): 125-150. DOI: 10.24235/holistik.v14i1.184.
Nawawi, “Dakwah dalam Masyarakat Multikultural.” Komunika vol. 06, no.01 (Januari-Juni:
2012). DOI: 10.24090/komunika.v6i1.347.
Nawawi, Ismail. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya,
2012. Parekh, Bhiku. Rethinking Multiculturalism. London: Sage Publication, 2007.
Permana, Andi. “Analisis Fatwa MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme
Agama.” Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Qodir, Zuly. “Pemikiran Islam, Multikulturalisme dan Kewargaan.” Dalam Wawan Gunawan
Abd. Wahid, dkk, Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat,
Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung: Mizan, 2015.
Qarḍawi, Yusuf. Fiqh Prioritas. Mansyurat Kuliah Da'wah Islamiyah, 1990.
Rosidi, “Dakwah Multikultural di Indonesia:Studi Pemikiran dan Gerakan Dakwah
Abdurrahman Wahid.” Analisis vol. 13, no. 2 (2013): 481-500. DOI:
10.24042/ajsk.v13i2.708.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2011.
Su’aidi, Agus Ahmad. “Mengukur Kuasa Fikih dan Teologi Atas Pemikiran: Studi Kasus Fatwa
Pengharaman Liberalisme, Sekularisme, dan Pluralisme,” Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan vol. 10, no. 1 (2010): 17-33. DOI: 10.18326/ijtihad.v10i1.17-33.
Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya: City of Tolerance. Yogyakarta:
Impulse (Institut for Multiculturalism and Pluralism Studies) dan Kanisius, 2007.
Thoha, Anis Malik. Trend Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2006.
. “Doktrin Pluralisme Agama: Telaah Konsep dan Implikasinya bagi Agama-
Agama.” Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial vol. 9, no.1 (2011): 1-14.
http://irep.iium.edu.my/23866/1/Doktrin_Pluralisme_Agama.pdf.
Waskito, Abu Muhammad. Cukup 1 Gus Dur Saja!: Sebuah Monumen Kontroversi, Kebodohan
Sistemik dan Kerancuan Berfikir Bangsa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Yasin, Taslim H.M. “Pluraslime Agama Sebuah Keniscayaan.” Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin vol. 15, no. 1 (2013):134-144. DOI: 10.22373/substantia.v15i1.4890.
Yaqin, Ainul. Menolak Liberalisme Islam: Catatan Atas Berbagai Wacana dan Isu Kontemporer.
Surabaya: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur, 2012.
Yunus, Mochammad. “MUI Jatim Tolak Gelar Bapak Pluralisme” Asshomadiyahcenter. April 19,
2014. http://asshomadiyahcenter.blogspot.com/2011/10/mui-jatim-tolak-gelar-bapak-
pluralisme.html.