Anda di halaman 1dari 4

Jam menunjukkan pukul sembilan malam.

Eve terpandang sedang terbaring di tempat


tidurnya. Ia sekejap kelihatan gelisah dan tidak tenang. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin.
Ternyata ia telah hanyut dalam mimpi buruknya saat ia sedang terlelap di malam itu. Di
dalam mimpinya, ia mendengar Ibunya memanggil-manggil namanya. Ia lalu mengikuti suara
itu, sampai di kamar Ibunya. Tepat berdiri di depan pintu kamar, ia terbayang kembali di
dalam mimipi, saat melihat Ibunya mati gantung diri di kamar itu.
Keringat dingin terus membasahi tubuhnya. Ia tampak semakin gelisah—bergerak lebih tidak
karuan. Desah Napasnya tergesa-gesa. Dalam mimpi itu, perlahan-lahan ia mencoba
membuka pintu kamar ibunya. Tapi entah mengapa, saat ingin membuka pintunya, ia merasa
seperti melihat bayang Ibunya yang masih hidup—berdiri dan memanggilnya dari dalam
kamar. Dan suara-suara itu masih terus-terusan menggema dari dalam situ. Mendadak Ibunya
bersuara, “Eve sayang, masuk Nak ... Bunda ada di sini. Menunggu kamu.” Suara Ibunya itu
lalu tertawa sinis.
Ia mencoba membukanya. Dan setelah ia membuka pintu kamar itu, ia dikejutkan dengan
penglihatan tentang kejadian masa lalu dari kematian Ibunya yang menyedihkan. Terlihat
jelas tepat di depan matanya, Ibunya menggantung dirinya sama persis seperti kejadian lalu.
Ia terdiam dan tubuhnya terbujur kaku di depan mayat ibunya yang tergantung di depan
matanya. Namun tiba-tiba saja, mata ibunya yang tertutup, terbuka lebar dan langsung
tersenyum kepada Eve dan ia mulai mengeluarkan suara serak memanggilnya
“Eveline …!”
Sontak membuat Eve menengadah ketika melihat ibunya yang sudah mati, hidup kembali dan
memanggil namanya. Tapi ia tak ada rasa takut sedikit pun. Dan bukan cuma itu saja, rasa
kaku yang menyelimuti di sekujur tubuhnya, sekejap hilang. Matanya mulai mengeluarkan
air mata. Dengan lembut Ibunya yang tinggal bayangan dalam mimpinya itu berkata, “Kamu
sudah besar, Nak.”
“Bu-bunda ….” gagapnya melihat kembali wajah Ibunya yang sudah mati.
“Kamu cantik, Nak,” ucap bayangan Ibunya dalam mimpinya.
Eve akhirnya meneteskan air mata dan membalas, “Aku rindu Bunda.”
“Jangan menangis, Nak. Bunda juga rindu padamu,” katanya lirih.
Lalu bayangan Ibunya yang tampak di dalam mimpinya itu, menjulurkan tangan kanannya
yang memegang sebuah hadiah ke arahnya dan memanggilnya dengan nama yang belum
pernah ia dengar.
“Eva ...!” ucapnya dengan suara yang menakutkan.
Ia kaget mendengar Ibunya memanggilnya dengan sebutan “Eva”, sebab dari kecil, Ibunya
tidak pernah memanggilnya dengan nama itu. Ia sekelebat ketindihan. Ia tidak bisa bergerak,
bicara, sampai napasnya sesak. Sialnya, tak ada satu pun di dalam kamarnya yang bisa
menyadarkannya
“Ini hadiahmu, Nak,” rayu bayangan ibunya itu.
Ia melihat tangan Ibunya memegang sebuah hadiah. Ia perlahan melangkah maju dari depan
kamar, menggapai tangannya. Ia tersenyum.
“Ambil, Nak.”
Sewaktu tangannya mencoba menggapai hadiah itu, hadiah itu mendadak menghilang dari
tangan bayangan ibunya itu. Lalu tangan itu dengan cepat menggenggam tangannya
“Bunda?!” katanya mengerutkan kening.
Tangan bayangan ibunya itu, mulai keras meremas tangannya. Ia menatap padanya. “Bu-
Bunda …!” Ia mulai merasa kesakitan. ”Bunda… Sa-kit!” Tangannya semakin keras
meremas tangan Eve.
“Bunda lepaskan!” katanya sambil merintih sakit.
Ia berusaha untuk melepaskan tangannya dari bayangan Ibunya. Ia beteriak, “Lepaskan!”
Tubuhnya yang ketindihan, makin tersiksa. Ia mengerang kesakitan. Wajah pucat dari
bayangan ibunya di dalam mimpi, sekejap berubah menjadi mengerikan.
“Kamu ikut aku Eva!” geramnya.
“Aku bukan “Eva” Bunda! Aku Eveline!”
Emosi bayangan Ibunya itu lebih bertambah. Ia menatap garang pada wajah Eve.
“Kamu … kamu … kamu!”
Luka bekas sayatan di lengan Eve mulai mengeluarkan darah. Eve lalu menjerit. Sembari
berteriak ia berusaha keras melepaskan genggaman tangannya dari bayang Ibunya yang
berubah menjadi jahat. Tubuhnya yang ketindihan perlahan bisa bergerak. Dan mulutnya
langsung mengeluarkan suara dan ia berteriak kuat. Bi Mira yang sedang membersihkan
piring kotor di dapur di lantai bawah, terkejut mendengar teriakannya dari atas. Eve berteriak
kesakitan lebih kuat.
Non Eve! Ucapnya tinggi. Bi Mira bergegas cepat ke kamar Eve di lantai atas. Sampai di
depan kamarnya, Bi Mira mengetok-ngetok pintunya dan memanggil-manggil namanya.
“Non … Non Eve … Non!”
Bi Mira mencoba membuka pintu kamarnya. Ternyata pintunya tidak dikunci. Ia langsung
masuk ke kamarnya. Betapa terkejut dirinya melihat keadaan Eve seperti sedang disiksa oleh
setan. Ia dengan cepat menghampirinya lalu berusaha membangunkannya.
Non Eve … bangun Non… bangun… Bangun! Katanya tegang sambil menggoyang-
goyangkan tubuhnya.
Bi Mira sekilas melihat tangan Eve perlahan membiru di bekas luka sayatan. Ia menjadi
bingung dan panik. Eve terus-terusan berteriak mengerang kesakitan. Sementara dalam
mimpinya, ia masih berusaha melepaskan tangannya dari bayang jahat Ibunya. Tangannya
semakin banyak mengeluarkan darah. Ia terus menjerit kesakitan. Dan secara spontan bayang
Ibunya yang jahat itu meneriakkan sebuah kalimat tajam yang sangat tidak terduga oleh Eve.
"Kamu si pendosa!" teriaknya keras.
Seketika itu juga, tangan Eve terlepas dari genggaman bayang Ibunya yang jahat di dalam
mimpinya itu. Ia sekilap terbangun membuka matanya dengan napas satu-satu. Bi Mira pucat.
“Non Eve … Non …!”
Eve terlihat syok sambil menghela napasnya. Matanya masih melongo ke atas. “Ini Bi
Mira ... Non Masih mendengar Bibi?” katanya sambil menyadarkannya.
Bi Mira melihat tangan Eve yang tadinya kebiruan, mulai normal kembali. Tapi Eve tidak
merespons perkataan Bi Mira. Ia masih terlihat seperti orang yang mati suri. Bi Mira tetap
berusaha untuk menyadarkannya. Dan tak lama kemudian ia tersadar dari mati surinya itu. Ia
melihat Bi Mira ada di sampingnya dalam wajah orang mati.
“Bi Mira,” ucapnya membuka mata perlahan-lahan.
Mendengar Eve memanggil namanya, Ia merasa lega melihat Eve berangsur pulih.
“Non Eve sudah sadar?” katanya mengelus-eluskan kepala Eve.
Ia kelihatan masih lemah. “Iya Bi.”
“Bi Mira sangat takut melihat Non ketindihan, barusan,” ungkapnya.
Ia memandang ke atas dengan napas yang masih sedikit terengah dan berkeringat.
“Bibi tadi mendengar teriakan Non Eve dari dapur. Bibi langsung cepat-cepat datang kemari.
Setelah Bibi sampai di kamar Non, Bibi takut setengah mati melihat kondisi Non. Bibi panik
dan tidak tahu harus berbuat apa. Jadi Bibi berusaha membangunkan Non,” katanya.
“Terima kasih Bi. Bibi sudah menjaga saya selama ini. Semenjak Ibu saya mati. (Menangis).
Bibi sudah seperti orang tua buat saya,” ucapnya.
Bi Mira kemudian memeluknya. “Ini sudah menjadi amanah dari ibu kamu sebelum beliau
tiada. Ini sudah tanggung jawabnya Bibi untuk merawat Non Eve hingga dewasa,” ujarnya.
“Terima kasih, Bi Mira,” ucapnya sambil menangis.
Bi Mira menganggukan kepala sembari matanya berkaca-kaca mendekap Eve.
Sesaat Bi Mira teringat kembali, saat melihat luka bekas sayatan benda tajam di lengannya.
“Non Eve, apa boleh Bibi bertanya sesuatu?”
“Apa, Bi?”
“Tadi Bibi sempat lihat di lengan Non Eve ada bekas luka sayatan. Apa Non Eve, mengiris
tangannya sendiri?”
Eve sempat terdiam mendengar pertanyaan dari Bi Mira. Tetapi tak lama, ia bicara.
“Iya Bi.”
Dengan berat hati ia membuka lengannya dan menjelaskannya kepada Bi Mira. “Aku sering
mengiris lengan aku untuk menghilangkan rasa sakit hati, karena kematian ibu. Sampai saat
ini pun, bayang-bayang hari itu … masih menyiksa aku, Bi,” ungkapnya lirih.
Bi Mira merasakan apa yang dirasakan Eve sejak ibunya meninggal. Akan tetapi ia tahu apa
yang dilakukan Eve, itu tidak baik.
“Non Eve … bibi mengerti apa yang Non rasakan sejak itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan
Non itu, menurut Bibi salah. Jika terjadi sesuatu sama Non, Bibi tidak bisa memaafkan diri
Bibi sendiri. Sebab Non adalah tanggung jawab Bibi dan juga amanah dari ibu kamu,” ujar Bi
Mira mengelus dahi Eve.
Eve merasa bersalah atas dirinya sendiri setelah mendengar perkataan dari Bi Mira. Ia
merenungi sikapnya itu.
“Bibi berharap mulai sekarang, kalau Non Eve merasa sedih, panggil Bibi, ya, Non?”
Ia tersenyum pendek dan matanya berkaca-kaca.
“Iya Bi.
“Non… Bibi rasa… pasti ada bekas darah dari tangan Non yang dibersihkan. Biar Bibi saja
yang membuangnya,” katanya.
“Bekas darahnya aku simpan di lemari pakaianku. Bibi bisa mengambilnya di situ.”
“Bibi ambil ya, Non. Bibi khawatir, nanti ketahuan sama, tuan.”
Eve Menganggukkan kepala, sembari Bi Mira mengambil bekas darahnya di lemari, ia
teringat tentang semua yang ia alami di dalam mimpinya. Ia merasa ada yang ganjil dengan
mimpinya itu. Ia heran kenapa Ibunya yang sudah mati tergantung itu, bisa bicara. Dan entah
mengapa, ia tiba-tiba menjadi sangat jahat dan ingin sekali menyakitinya.

Padahal waktu dulu Ibunya tidak pernah bersikap jahat seperti itu. Namun, Yang paling
membuat ia penasaran ketika ibunya menyebut nama “Eva” dan “si pendosa”. Ia semakin
bingung dengan semua yang dialaminya itu. Ia pun mencoba bertanya kepada Bi Mira.
“Bi, saya mau tanya sesuatu,” katanya.
“Mau tanya apa, Non?”
“Apa Bibi pernah mendengar nama “Eva” dari ibu?”
“Eva?” Sepertinya, Bibi pernah mendengar nama itu. Tapi, sudah lama sekali, Non. Bibi
sudah tidak ingat lagi.”
Eve merasa memang ada sesuatu tentang nama itu, tapi ia belum bisa memastikannya.
“Sebenarnya ada apa Non, sehingga Non bertanya tentang nama itu?”
“Tidak, Bi. Tidak apa-apa. Hanya saja nama itu tiba-tiba muncul di mimpi saya, Bi,” katanya.
Eve tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepada Bi Mira.
“Oh … begitu, ya, Non.”
Bi Mira menatap Eve di tempat tidurnya. Bi Mira masih bingung dengan keadaan Eve saat ia
terbangun dari ketindihan tidurnya.
Eva ... si pendosa siapa dia? Tanya Eve dalam hati.

Anda mungkin juga menyukai