Anda di halaman 1dari 5

Pengertian

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit jantung mematikan.
Penyebab utama terjadinya penyakit ini adalah penyempitan arteri koronaria. Penyempitan
terjadi karena adanya kondisi aterosklerosis atau spasme maupun kombinasi dari keduanya.
Penyakit jantung koroner masih menjadi masalah utama baik di negara maju maupun negara
berkembang. Kejadian ini dipicu oleh stres oksidatif terutama di mitokondria. Adanya
oksigen reaktif dan spesies nitrogen reaktif (ROS / RNS) dan dapat diidentifikasi dalam
sebagian besar merupakan kunci dalam patofisiologi aterosklerosis dan manifestasi klinis
konsekuensial dari penyakit kardiovaskular. Pengobatan penyakit jantung koroner adalah
dengan pengobatan farmakologis dan terapi non-farmakologis. Salah satu cara terapi non-
farmakologis adalah dengan mengkonsumsi antioksidan. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penggunaan antioksidan dapat mengurangi oksidasi LDL dan
menghambat proses pengerasan pembuluh darah.

Faktor Penyebab

Penyakit jantung koroner mempunyai beberapa faktor pemicu yang menyebabkan terjadinya
aterosklerosis. Faktor pemicu diklasifikasikan menjadi dua yaitu faktor-faktor risiko besar
(mayor risk factor) dan faktor-faktor risiko kecil (minor risk factor). Faktor-faktor risiko
besar meliputi (Majid, 2017):

1. Usia

Usia adalah faktor risiko yang paling terpenting dan 80% dari kematian akibat penyakit
jantung koroner terjadi pada orang dengan usia 65 tahun atau lebih. Meningkatnya usia
seseorang akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya penyakit jantung koroner.

Peningkatan usia berkaitan dengan penambahan waktu yang digunakan untuk proses
endapan lemak pada dinding pembuluh arteri. Selain itu, proses kerapuhan dinding pembuluh
darah tersebut semakin panjang, sehingga semakin tua seseorang, maka semakin besar
kemungkinan terserang penyakit jantung koroner karena sebelum usia 40 tahun terdapat
perbedaan antara pria dan wanita adalah 8:1, dan setelah 70 tahun perbandingannya adalah
1:1. Pada pria kejadian puncak manifestasi klinis penyakit jantung coroner pada usia 50-60
tahun, sedangkan pada wanita pada usia 60-70 tahun sehingga pada wanita sekitar 10-15
tahun lebih lambat dari pada pria dan risikonya meningkat secara drastis setelah masa
menopause (Supriono, 2008).
2. Jenis kelamin

Penyakit jantung koroner pada pria memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menderita
jantung koroner dari pada wanita, hampir setengah dari pria paruh baya dan sepertiga dari
wanita usia menengah sampai tua di Amerika berisiko terkena penyakit jantung koroner
(Sanshis-Gomar, dkk. 2016). Data dari Epidemilogy of coronary heart desease and acute
coronary syndrome bahwa orang yang berusia 40 tahun mempunyai risiko seumur hidup
terkena penyakit jantung koroner 49% pada pria dan 32% pada wanita (SanshisGomar, dkk.,
2016).

3. Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)

Pada pasien hipertensi, ditemukan terdapat defect dalam regulasi pengendalian


tekanan darah. Jantung dapat berkontribusi dalam terjadinya hipertensi melalui mekanisme
peningkatan cardiac output atau curah jantung karena aktivitas berlebih dari saraf simpatis.
Pembuluh darah berkontribusi dalam hipertensi melalui resisten pembuluh darah perifer
karena terjadi konstriksi akibat peningkatan aktivitas simpatis; regulasi abnormal dari tonus
vaskuler oleh, Nitrit Oksida, endotelin, dan faktor-faktor natriuretik; defek kanal ion di otot
polos pembuluh darah (Ramandityo, 2016).

4. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia (hyperlipoproteinemia) adalah tingginya kadar lemak dalam darah


(kolesterol, trigliserida maupun keduanya). Lemak atau lipid adalah zat yang kaya energi,
berfungsi sebagai sumber energi untuk proses metabolisme tubuh. Klien yang memiliki kadar
kolestrol lebih dari 300 ml/dl memiliki risiko 4 kali untuk menderita penyakit jantung
koroner dengan mereka yang kadarnya 200 ml/dl (Majid, 2017) pada penelitian Wongkar
(2018) bahwa terdapat hubungan antara profil lipid LDL.

5. Merokok

Merokok merupakan faktor terbesar yang memicu terjadinya penyakit jantung


koroner. Para perokok sigaret mempunyai 2-3 kali untuk meninggal karena penyakit jantung
koroner daripada yang bukan perokok. Seseorang yang merokok umumnya mengalami
penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein). Sehingga risiko terjadinya penebalan
dinding pembuluh darah meningkat (Majid, 2017). Keadaan ini pun bukan hanya dialami
oleh perokok sendiri (perokok aktif), tetapi juga oleh perokok pasif maupun orang
disekeliling perokok (Majid, 2017).
6. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang dimaksud adalah yang memiliki hubungan darah misalnya
ayah atau ibu. Indonesia, dikenal beberapa garis keturunan, salah satunya adalah matrilineal,
yang ada pada orang Minangkabau. Setiap orang Minangkabau memiliki suku yang
diturunkan oleh ibu kandung. Penderita dengan riwayat keluarga terkena penyakit jantung
dan pembuluh lebih berrisiko dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki
riwayat keluarga (Rahmadiana, 2014). Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya hubungan
antara riwayat penyakit keluarga dengan kejadian penyakit jantung koroner. Orang dengan
riwayat keluarga memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terkena penyakit jantung koroner
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga (OR = 5, p = 0,00) Rahmadiana,
2014).

Gejala Jantung Koroner

Ketika plak lemak di arteri koroner belum terlalu tebal, penyakit jantung koroner bisa
tidak menimbulkan gejala sama sekali. Gejala nyeri dada (angina) mungkin terjadi ketika
jantung harus bekerja lebih keras, misalnya saat sedang berolahraga.Jika arteri koroner sudah
tersumbat sepenuhnya, penyakit jantung koroner dapat menyebabkan gejala serangan
jantung, seperti:

 Nyeri dada yang menjalar ke lengan, dagu, atau punggung


 Keringat dingin
 Lemas
 Sesak napas
 Mual

Diagnosis
Sebagai langkah awal, dokter akan menanyakan gejala, riwayat kesehatan pasien dan
keluarganya, serta gaya hidup yang dijalani pasien, seperti merokok. Setelah itu, dokter akan
mengukur tekanan darah pasien, detak jantung, dan tanda vital lainnya.Selanjutnya, dokter
akan memeriksa kadar kolesterol pasien dengan terlebih dahulu meminta pasien berpuasa 12
jam sebelum tes agar hasilnya akurat.Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan menjalankan
beberapa pemeriksaan berikut:

Elektrokardiografi (EKG)
EKG bertujuan untuk merekam aktivitas listrik jantung pasien. Melalui EKG, dokter bisa
mengetahui apakah pasien pernah atau sedang mengalami serangan jantung. EKG juga dapat
membantu dokter menilai detak dan irama jantung pasien apakah tergolong normal atau
tidak.

Stress test
Bila gejala yang dialami pasien lebih sering muncul saat sedang beraktivitas, dokter akan
menyarankan stress test. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan jantung
bekerja saat beraktivitas.
Dalam stress test, pasien akan diminta berjalan di treadmill atau mengayuh sepeda statis
sambil menjalani pemeriksaan EKG, ekokardiografi, atau CT scan pada saat yang bersamaan.
Jika pasien tidak dapat beraktivitas, stress test dilakukan dengan mengonsumsi obat untuk
meningkatkan detak jantung.

Kateterisasi jantung dan angiografi koroner


Kateterisasi jantung dilakukan dengan memasukkan kateter melalui pembuluh darah di
lengan atau paha untuk diarahkan ke jantung. Setelah itu, dokter akan melakukan
prosedur angiografi koroner.
Angiografi koroner dilakukan dengan menggunakan foto Rontgen dan bantuan cairan kontras
untuk melihat aliran darah pada pembuluh darah koroner. Melalui pemeriksaan ini, dokter
dapat mengetahui bila ada penyumbatan di pembuluh darah koroner.

Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah pemeriksaan dengan menggunakan gelombang suara (USG), untuk
menampilkan gambaran jantung pasien di monitor. Selama menjalankan ekokardiografi,
dokter akan memeriksa apakah semua bagian dinding dan katup jantung berfungsi baik dalam
memompa darah.
Dinding jantung yang bergerak lemah dapat disebabkan oleh kekurangan oksigen, atau
kerusakan akibat serangan jantung. Hal tersebut bisa menjadi tanda penyakit jantung koroner.
Jika diperlukan, dokter dapat menjalankan beberapa pemeriksaan penunjang berikut untuk
menegakkan diagnosis penyakit jantung koroner:

 CT scan atau MRI, untuk melihat kondisi jantung dan pembuluh darah lebih detail
 Pemeriksaan radionuklir, untuk mengukur aliran darah ke otot jantung saat
beristirahat dan beraktivitas

Pengobatan Jantung Koroner

Salah satu obat yang digunakan pada pengobatan PJK adalah golongan statin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pola golongan statin digunakan oleh pasien
PJK di ICCU RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Pengumpulan data dilakukan secara
retrospektif menurut rekam medis pasien PJK tahun 2021. Penelitian ini merupakan
penelitian observasional dengan rancangan studi cross-sectional dengan sifat deskriptif.
Teknik total sampling ini digunakan dalam proses pengumpulan data, dan diperoleh 45
sampel pasien yang masuk pada kriteria inklusi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
penggunaan obat golongan statin yang digunakan pada pasien PJK di ICCU adalah
Atorvastatin (95,55%) dan Simvastatin (4,44%) dengan dosis yang digunakan adalah
Atorvastatin 20 mg (66,66%), Atorvastatin 40 mg (28,88%), dan Simvastatin 20 mg (4,4%).
Frekuensi penggunaan Atorvastatin dan Simvastatin di ICCU adalah 1 kali sehari secara per
oral. Kesimpulan pada penelitian ini adalah berdasarkan data rekam medis pasien PJK di
ruang ICCU RSUD dr. Soedarso Pontianak, obat golongan statin yang paling banyak
dikonsumsi adalah Atorvastatin dengan rata-rata penggunaan dosis Atorvastatin 20 mg pada
frekuensi pemberian 1 kali sehari secara per oral.

Daftar Pustaka

WN Santosa, B Baharuddin - Jurnal Kesehatan Dan Kedokteran, 2020 - journal.ubaya.ac.id

Amisi, W.G. 2018. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada
Pasien Yang Berobat Di Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou Manado 2018. BPS.

2017. Statistik Penderita Hipertensi pada Tahun 2017. (online),


(https://manadokota.bps.go.id/statictable/2017) diakses pada 6 Mei 2019

Djohan A. B. 2004. Penyakit jantung koroner dan hipertensi. (online),


(https://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf) diakses pada 22 Februari 2018

Kementerian Kesehatan RI, 2014, Situasi Kesehatan Jantung, Jakarta: Kementerian


Kesehatan RI.,

Anda mungkin juga menyukai