Anda di halaman 1dari 12

ISTIHADLA H

Oleh : U m m u Ishaq Al Atsariyah

[ M U S LI M A H Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ] TARIF


Di kalangan w a nita ada yang m e n g eluarkan darah dari farjinya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan darah istihadlah. Al Ima m An Na w a wi rahimah ullah dala m Syarah-nya terhadap Shahih M uslim m e n g atakan : Istihadlah adalah darah yang m e n g alir dari ke m aluan w a nita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat. (Shahih M uslim bi Syarhin Na w a wi

4/17. Lihat pula Fathul Bari 1/511)


Al Ima m Al Q urthubi rahimah ullah m e n sifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang w a nita disebabkan urat yang terputus (Lihat Jami liAhka mil

Quran 3/57)
As Syaikh M u h a m m a d bin Shalih Al Utsaimin rahimah ullah m e m b erikan definisi

istihadlah dengan darah yang terus m e n erus keluar dari seorang w a nita dan tidak terputus sela m a- lamanya atau terputus sehari dua hari dala m sebulan. Dalilkeadaan yang perta m a (darahnya tidak terputus sela m a- lama nya) dibaw aka n Al Ima m Al Bukhari dala m Shahihnya dari hadits Aisyah radhiallahu 'anha , ia berkata :

Berkata Fathimah bintu Abi Hu baisy kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam : Wahai Rasulullah, sesungg uh nya aku tidak pernah suci . (HR. Bukhari no.

306, 328, dan M uslim 4/16-17) Dala m riwayat lain : Aku istihadlah tidak pernah
suci .

Adapu n dalilkeadaan kedua adalah hadits Ha m n a h bintu Jahsyin radhiallahu 'anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam dan m e n g a d u k a n keadaan dirinya :

Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras .

(HR. Ah m a d, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Ima m Ah m a d akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Ima m Al Bukhari penghasanannya) (Lihat Kitab Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah : Risalah fid Dimaith Thabiiyyah Lin Nisa hala man 40) ANT A R A DA R A H HAID DA N DA R A H ISTIHADLA H

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam diadukan oleh Ha m n a h radhiallahu 'anha tentang istihadlah yang m e ni m p a n y a, beliau berkata :

Yang de mikian hanyalah satu ganggu a n/dorongan dari setan.

Atau dala m riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hub aisy, beliau m e n g atakan tentang istihadlah :

Yang de mikian itu hanyalah darah dari urat bukan haid.

Hal ini m e n u njukkan bah w a istihadlah tidak sa m a dengan haid yang sifatnya ala mi, artinya m e sti diala mi oleh setiap w a nita yang nor m al sebagai salah satu tanda baligh. Na m u n istihadlah adalah satu penyakit yang m e ni m p a kau m ha w a dari perbuatannya syaithan yang berjalan di tubuh anak Ada m seperti jalannya darah. Syaithan ingin m e m b e rikan keraguan terhadap anak Ada m dala m pelaksanaan ibadahnya denga n segala cara. Kata Al Ima m As Shanani dala m Subulus Sala m (1/159 ) : Makna sabda Nabi : (Yang de mikian hanyalah satu dorongan/gangg ua n dari syaithan) adalah syaithan m e n d a p atkan jalan untuk m e m b u at kerancuan terhadapnya dala m perkara aga m a n y a, m a s a sucinya dan shalatnya hingga syaithan m e njadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.

Al Ima m As Shanani m elanjutkan : Hal ini tidak m e n afikkan sabda Na bi yang m e n g atakan bah w a darah istihadlah dari urat yang dina m a k a n aadzil karena di mu n gkinkan syaithan m e n d orong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.

(Subulus Sala m 1/159)


Keberadaan darah istihadlah bersa m a darah haid m erupaka n suatu m a s alah yang ru mit, kata Ibnu Tai miyyah, hingga harus dibedakan antara keduanya. Caranya bisa denga n adat (kebiasaan haid) atau dengan ta m yiz (me m b e d a k a n sifat darah).

Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid m eru pakan darah ala mi, biasa diala mi w a nita nor m al dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak ala mi (tidak m e sti diala mi setiap w a nita) dan keluarnya dari urat yang ada di sisirahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah :

1.

Perbedaan w arna. Darah haid u m u m n y a hita m sedangkan darah istihadlah

u m u m n y a m erah segar.

2. lunak.

Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah

3.

Kekentalannya. Darah istihadlah m e n g e ntal sedangkan darah haid sebaliknya.

4.

Aro m a n y a. Darah haid beraro m a tidak sedap/busuk.

KEA D A A N W A NIT A YA N G ISTIHADLA H


W a nita yang istihadlah ada beberapa keadaan :

Perta m a : Dia m e m iliki kebiasaan haid yang tertentu sebelu m ia ditimpa istihadlah.
Hingga tatkala keluar darah dari ke m aluannya untuk m e m b e d a k a n apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia ke m b ali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia m e ninggalkan shalat dan puasa di harihari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya huku m- huku m w a nita haid, adapu n di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah m a k a darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya huku m- huku m w a nita yang suci.

Misalnya : Seorang w a nita haidnya datang sela m a ena m hari di tiap a wal bulan. Ke m u dian dia ditimpa istihadlah di ma n a darahnya keluar terus-m e n erus. M ak a cara dia m e n etapkan apakah haid dan istihadlah adalah ena m hari yang a wal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu 'anha yang m e n g a b arkan kedatangan Fathima h bintu Abi Hub aisy guna m e n g a d u kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam :

W a h ai Rasulullah, sesunggu h ny a aku tidak suci m a k a apakah aku harus m e ninggalkan shalat? Nabi m e nja w a b : (Tidak, engkau tetap m e n g erjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haid m u tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu harihari yang engkau biasa haid, cucilah darah m u dan setelah itu shalatlah.

Dala m Shahih M uslim disebutkan bah w asa n ny a Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam berkata kepada U m m u Habibah bintu Jahsyin :

Dia mlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar harihari haid m u ke m u dian m a n dilah dan setelah itu shalatlah. (HR. M uslim 4/25-26)

De ng a n de mikian, w a nita yang keadaannya seperti ini dia m e ninggalkan shalat di harihari kebiasaan haidnya ke m u dian dia m a n di, setelah itu ia boleh m e n g erjakan shalat dan tidak usah m e m p e d ulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia huku m n y a sa m a denga n wa nita yang suci.

Keadaan kedua : W a nita itu tidak m e m iliki kebiasaan haid yang tertentu sebelu m ia
ditimpa istihadlah na m u n ia bisa m e m b e d a k a n darah. M a ka untuk m e m b e d a k a n antara darah haid dan darah istihadlah ialah m e m a k ai cara ta m yiz (me m b e d a k a n darah). Darah haid dikenal denga n w arnanya yang hita m dan beraro m a tidak sedap, bila dia dapatkan de mikian m a k a berlaku padanya huku m- huku m haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.

Misalnya seorang wa nita m elihat darah keluar dari ke m aluannya terus-m e n erus, akan tetapi sepuluh hari yang a w al dia m elihat darahnya hita m sedangkan selebihnya berwarna m erah, atau sepuluh hari a w al berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang aw al itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hu baisy :

Apabila darah itu darah haid m a k a dia berwarna hita m yang dikenal. Apabila de mikian berhentilah dari shalat. Na m u n bila bukan de mikian keadaanny a berw u dlulah dan shalatlah. (HR. Abu Daud, An Nasai, dan lainlain.

Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullah, lihat keterangannya dala m shahih Abu Daud 283, 284) MASALA H
Bila seorang w a nita yang istihadlah punya adat haid dan bisa m e m b e d a k a n sifat darah (ta myiz), m a n a k a h yang harus dia dahulukan, adat atau ta myiz? Dala m hal ini ada perbedaan pendap at di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat ta myiz yang didahulukan sebagai m a n a penda patnya Ima m M alik, Ah m a d, dan Syafii.Ada pula yang berpendap at adat didahulukan sebagai m a n a penda patnya Abu Hanifah dan penda pat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan m utaakhirin. Den g a n de mikian bila ada seorang w a nita m e m iliki adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari kee m p at dari adat-nya keluar darah berwarna m erah (sebagai m a n a darah istihadlah) na m u n pada hari kelima darah yang keluar ke m b ali berwarna hitam m a k a ia berpegan g dengan adat-nya yang lima hari, sehingga hari kee m p at (yang keluar darinya darah berwarna m erah) tetap terhitung dala m hari haidnya. W allahu Alam.

Keadaan ketiga : W a nita itu tidak m e m iliki kebiasaan haid (adat) dan tidak pula
dapat m e m b e d a k a n darahnya (ta m yiz) di m a n a darah keluar terus-m e n erus sejak a w al dia m elihat darah keluar dari ke m aluannya dan sifatnya satu atau sifat darah itu tidak jelas m a k a untuk m e m b e d a k a n haid dan istihadlahnya adalah dia m elihat kebiasaan kebanyakan w a nita yaitu dia m e n g a n g g a p dirinya haid sela m a ena m atau

tujuh hari pada setiap bulannya dan dim ulai sejak aw al dia m elihat keluarnya darah, adapu n selebihnya berarti istihadlah.

Misalnya seorang wa nita m elihat darah perta m a kalinya pada hari Ka mis bulan Ra m a d h a n dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya m a k a dia m e n g a n g g a p dirinya haid sela m a ena m atau tujuh hari, dim ulai dari hari Ka mis. Hal ini berdasarkan hadits Ha m n a h bintu Jahsyin radhiallahu 'anha , ia berkata :

Aku istihadlah banyak dan deras sekali.M ak a aku m e n d atangi Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam untuk m e m i nta fatwanya. Beliau bersabda :

Yang de mikian itu hanyalah satu ganggu a n dari syaithan m a k a berhaidlah engkau sela m a ena m atau tujuh hari, ke m u dian setelah lewat dari itu m a n dilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci m a k a shalatlah sela m a 24 atau 23 siang m ala m, puasalah dan shalatlah. M a ka hal tersebut m e n c uk u pi m u. De mikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagai m a n a para wa nita berhaid.

Kata Al Ima m As Shanani : Dala m hadits ini (untuk m e n e ntukan haid denga n yang selainnya) Nabi m e n g e m b alikan kepada kebiasaan u m u m n y a para w a nita.

(Subulus Sala m 1/159)


W a nita yang keadaan nya seperti ini ia m e n g a n g g a p dirinya suci sela m a 24 hari bila haidnya terhitung ena m hari atau ia m e n g a n g g a p dirinya suci sela m a 23 hari bila haidnya sela m a tujuh hari.

Untuk m e n e ntukan ena m atau tujuh hari bukan dengan seenaknya m e m ilih na m u n si w a nita m elihat kepada w a nita lain yang paling dekat kekerabatannya dengan nya dan berdekatan u m ur dengan nya dan dia sesuaikan. Al Ima m As Shanani m e n g atakan : Ucapan Nabi dala m hadits : ((Berhaidlah engkau sela m a ena m atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi m e n g atakan ena m atau tujuh, pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh m e m ilih antara ena m atau tujuh, pent.).Na bi m e n g atakan de mikian untuk m e n g u m u m k a n bah w asa nn ya bagi wa nita ada salah satu dari dua adat (ena m atau tujuh), di antara m ereka ada yang berhaid ena m hari dan ada yang tujuh hari. M a ka seorang w a nita itu m e n g e m b alikan kebiasaannya kepada w a nita yang sa m a usia dengan ny a dan m e m iliki keserupaan denga nnya. (Subulus Sala m halama n 160)

Berkata para ahli fiqih : Apabila w a nita yang istihadlah m e m iliki adat yang tetap dan pasti m a k a ia berhenti shalat dan puasa pada harihari adat-nya tersebut (bila ia

m elihat darah) karena adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak m e n g etahui adat-nya m a k a ia m elakukan ta myiz (me m b e d a k a n darah). Apabila ia tidak m a m p u m e m b e d a k a n darah m a k a ia m elihat kebiasaan u m u m n y a w a nita. (Bulughul

M ara m dengan catatan kaki yang berisi pe m b a h asan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassa m dan beberapa ulama Salaf halaman 54)
Bagai m a n a cara m e n e ntukan antara haid dan istihadlah bagi w a nita yang baru perta m a kali keluar darah dari ke m aluannya dan darah tersebut keluar terusm e n erus? M a k a bila ia m a m p u m elakukan ta myiz perkaranya m u d a h. Kalau ia tidak dapat m e m b e d a k a n antara darah haid denga n darah istihadlah m a k a ia m elihat keadaan u m u m n y a w a nita yang ada di sekitarnya yakni ia berhaid sela m a ena m atau tujuh hari setelah itu ia m a n di w alaupun darah m a sih terus m e n g alir.

Adapu n wa nita yang lupa w aktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat m e m b e d a k a n n y a se m e ntara darah terus m e n erus keluar, m a k a berselisih ula m a dala m urusannya. Ada yang berkata huku m n y a sa m a dengan w a nita baru haid yang tidak dapat m e m b e d a k a n darahnya. Ada yang berkata : Untuk kehatihatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi sua minya untuk m e n g g a ulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang m e n g atakan dia m e n etapkan harihari haidnya setiap a w al bulan dan jumlah harinya sa m a denga n wa nita di sekitarnya. Yang lain m e n g atakan dia harus berusaha sunggu hsungguh untuk m e m b e d a k a n darahnya se m a m p u dia dan berusaha m e n gingat keadaan haidnya. (Lihat Al M aj m u Syarhil M u h a dzdzab 2/396 dan

seterusnya) BER A P A KALI HAID SEHIN G G A BISA DIAN G G A P SEBA G AI ADAT


Tidak ada dalilyang jelas dala m hal ini.Adap un As Syaikh Ibnu Utsaimin berpenda pat mini m al tiga kali haid baru teranggap adat. Jadi misalnya seorang w a nita m e m iliki adat 5 hari. Di bulan Syaban ia haid sesuai adat-nya yaitu 5 hari. Na m u n di bulan Ra m a d h a n keluar darahnya sela m a tujuh hari m a k a hari ke-6 dan ke-7 dia tetap puasa karena darah yang keluar tersebut teranggap darah penyakit. Pada bulan Sya w al keluar lagi darahnya sela m a tujuh hari na m u n ia m e n g a n g g a p dirinya telah suci pada hari ke-5 sesuai adat-nya. Pada bulan berikutnya (Dzulqadah) ia haid lagi sela m a tujuh hari m a k a sekarang tahulah dia bah w a kebiasaan/adat-nya telah berubah m e njadi tujuh hari. Adapu n puasanya di bulan Ra m a d h a n (pada hari ke-6 dan ke-7 di atas) tidaklah sah dan harus diqadla. W allahu alam.

H U K U M - H U K U M ISTIHADL A H

Huku m w a nita yang istihadlah sebagai m a n a huku m w a nita yang suci, tidak ada bedanya kecuali pada hal berikut ini :

Perta m a : W a nita istihadlah bila ingin w u dlu m a k a ia m e n c uci bekas darah dari
ke m aluannya dan m e n a h a n darahnya dengan kain berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam kepada Ha m n a h.

Kedua : Dala m hal sengga m a dengan istriyang sedang istihadlah, ula m a telah
berselisih tentang kebolehannya, na m u n tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam adanya larangan, padahal banyak w a nita yang ditimpa istihadlah pada m a s a beliau. Dan juga Allah Taala berfirman :

Maka jauhilah (jangan m e n y etubuhi) para istriketika m ereka sedang haid. (Al

Baqarah : 222)
Dala m ayat di atas, Allah Taala hanya m e n y e b utkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk m e njauhi istri.(Risalah fid Dimaa halama n 50)

APA K A H W AJIB M A N DI SETIAP AK A N SH AL AT


Aisyah radhiallahu 'anha m e n g atakan bah w a U m m u Habibah istihadlah sela m a 7

tahun dan ia m e n a n y a ka n perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam . M a k a beliau m e m e rintahkan kepada U m m u m e n g atakan : Darah itu dari urat. Adalah U m m u Ha bibah untuk m a n di dan beliau Habibah m a n di setiap akan shalat.

(HR. Bukhari dala m Shahih-nya no m or 317 dan M uslim hala man 23)
Al Ima m M uslim m eriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Saad dari Ibnu Syihab dari Ur wa h dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata : Ibnu Syihab tidak m e n y e b utkan bah w a Rasulullah Shallallahu 'Alaihi W a Sallam m e m e rintahkan U m m u Ha bibah bintu Jahsyin untuk m a n di setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak U m m u Habibah sendiri.Den g a n de mikian Al Laits berpendap at m a n di

setiap akan shalat bagi w a nita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam . Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga m erupaka n penda patnya Ju m h ur Ula m a sebagai m a n a dinukilkan dari m ereka oleh Al Ima m An Na w a wi dala m Syarhu M uslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dala m Fathul Bari 1/533. Al Ima m An Na w a wi berkata : Ketahuilah tidak w ajib bagi wa nita istihadlah untuk m a n di ketika akan m e n g erjakan shalat, tidak pula wajib m a n di dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. De ng a n ini berpendap at Ju mh ur Ula m a dari kalangan Salaf dan Khalaf. (4/19-20)

Adapu n hadits yang ada ta m b a h a n lafadh :

Nabi m e m e rintahkannya (U m m u Habibah) untuk m a n di setiap akan shalat.

Adalah ta m b a h a n yang syadz karena Ibnu Ishaq --seorang perawi hadits ini- salah dala m m e m b a w a k a n riwayat se m e ntara para pera wi lainnya yang lebih kuat, m eriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh : Adalah U m m u Habibah

m a n di setiap akan shalat. Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Saad dan Sufyan Ibnu Uyainah --dua dari perawi yang kuat-- jelasjelas m e n g atakan dala m riwayat Abu Da ud bah w asa nn ya Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam tidak m e m e rintah U m m u Habibah untuk m a n di. (Lihat Jami Ahka min Nisa

1/220-221)
As Syaikh Shiddiq berkata dala m Syarah Ar Raudlah : Tidak datang dala m satu hadits pun (yang shahih) adanya ke w ajiban m a n di untuk setiap shalat (bagi w a nita istihadlah), tidak pula m a n di setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah ke w ajiban m a n di ketika selesai dari wa ktu haid yang biasanya (men urut adat) atau selesainya w aktu haid denga n ta m yiz sebagai m a n a datang dala m hadits Aisyah dala m Shahihain dan selainnya dengan lafadh : Maka apabila datang haid m u, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah. Adapu n dala m Shahih M uslim disebutkan U m m u Habibah m a n di setiap

akan shalat m a k a ini bukanlah hujjah karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam , bahkan yang ada, Nabi m e n g atakan kepadanya : Dia mlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haid m u ke m u dian (bila telah suci) m a n dilah. (Lihat Bulughul M ara m

hala man 53 dengan catatan kaki pe m b a h asan As Syaikh Al Albani dan lainlain)
M a n di setiap akan shalat bagi w a nita istihadlah m erupaka n suatu kesulitan se m e ntara kita tahu bah w a syariat ini m u d a h. Allah Taala berfirman :

Allah tidak m e njadikan bagi kalian dala m aga m a ini suatu kesulitan. (Al Hajj : 78)

Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagai m a n a dinukil dala m kitab Bulughul M ara m (hala m a n 53 denga n catatan kaki) bah w asa n nya m a n di setiap shalat ini hanyalah sunnah tidak w ajib m e n urut pendapat ima m yang e m p at, bahkan yang w ajib bagi w a nita istihadlah adalah w u dlu setiap shalat lima w aktu m e n urut penda pat jum h ur, di antaranya Abu Ha nifah, M alik, dan Ah m a d.

APA K A H W AJIB W U D L U SETIAP AK A N SH AL A T ?

Al Ima m Al Bukhari m eriwayatkan dengan sanadnya sa m p ai kepada Aisyah radhiallahu 'anha bah w asan n ya Fathimah bintu Abi Hu baisy datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam dan m e n g a d u k a n istihadlah yang m e ni m p a n y a dan ia bertanya : Apakah aku harus m e ninggalkan shalat? M a k a Nabi m e n g atakan :

Tidak itu hanyalah urat bukan haid, m a k a apabila datang haid m u tinggalkanlah shalat dan jika berlalu m a k a cucilah darah haid m u ke m u dian shalatlah. (HR.

Bukhari : 228)
Ha dits di atas dala m riwayat Nasai dari jalan Ha m m a d bin Zaid ada ta m b a h a n lafadh :

Berw udlulah

Setelah lafadh :

Cucilah darah haid m u

Sehingga dala m riwayat Nasai,lafadh hadits di atas adalah :

Cucilah darah haid m u, w u dlulah, dan shalatlah. (HR. Nasai 1/185)

Al Ima m M uslim ketika m eriwayatkan hadits ini dala m Shahih-nya (4/21) tanpa ta m b a h a n di atas sebagai m a n a Al Ima m Al Bukhari m e m b a w a k a n tanpa ta m b a h a n dan Al Ima m M uslim m e m b e rikan isyarat lema hn ya ta m b a h a n tersebut dengan ucapannya : Dala m hadits Ha m m a d bin Zaid ada ta m b a h a n yang ka mi tinggalkan penyebutannya.

Kata Al Ima m An Na w a wi rahimah ullah dala m Syarah M uslim m e n g utip ucapan Qa dli Iyyadl : Ta m b a h a n yang ditinggalkan penyeb utannya oleh Al Ima m M uslim adalah : ((wata wa dl dlai/berwudlulah)). An Nasai dan lainnya m e n y e b utkan ta m b a h a n ini, sedangkan Ima m M uslim m e m b u a n g n y a karena Ha m m a d, salah seorang pera wi hadits ini,bersendiri dala m m e n y e b utkan ta m b a h a n tersebut (adapun pera wi-perawi lain tidak m e n y e b ut ta m b a h a n : Berwudlulah pent.).An Nasai sendiri m e n g atakan : Ka mi tidak m e n g etahui adanya seorang pun selain Ha m m a d yang m e n g atakan/ m e n y e b utkan : Berwudlulah (Syarah M uslim 4/22)

De mikian pula Ima m Tirmidzi, Darimi, Ah m a d, dan Nasai sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan M alik m eriwayatkan tanpa ta m b a h a n di atas. (Lihat Jami Ahka min

Nisa 1/224, 226)

De ng a n de mikian jelaslah perintah w u dlu bukanlah datang dari Nabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam dan perintah yang datang dala m m a s alah ini adalah lema h sebagai m a n a dilemahkan oleh Ahli Ilmu. Na m u n jangan sa m p ai dipaha mi bah w a yang w ajib adalah m a n di setiap shalat dan sudah lewat penyeb utan ka mi tentang m a s alah m a n di bagi w a nita istihadlah ini.W alha m d ulillah.

ITIKAFNY A W A NITA YA N G ISTIHADLA H


Al Ima m Al Bukhari rahimah ullah m eriwayatkan dala m Shahih-nya sa m p ai pada Aisyah radhiallahu 'anha , ia berkata :

Beberapa istriNabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam itikaf bersa m a beliau, (salah seorang dari m ereka) dala m keadaan istihadlah dan ia m elihat keluarnya darah. Biasanya ia m eletakkan bejana di ba w a h n y a untuk m e n a m p u n g darah. (HR.

Bukhari no m or 309)
Dala m riwayat lain disebutkan bah w a istriNabi Shallallahu 'Alaihi W a Sallam itu m eletakkan bejana di ba w a h n y a untuk m e n a m p u n g darah dala m keadaan ia shalat.

(HR. Bukhari no m or 310)


Al Hafidh Ibnu Hajar dala m Syarah -nya terhadap Shahih Bukhari m e n g atakan : Dala m hadits ini m e n u njukkan bolehnya w a nita istihadlah berdia m di m a sjid, sah itikaf dan shalatnya dan boleh ia berhadats di m a sjid sela m a tidak m e n g otori.

(Fathul Bari 1/514) H U K U M JIMA (SEN G G A M A ) DE N G A N ISTRI YA N G SED A N G ISTIHADLA H


Dala m hal ini ada perselisihan pendap at. Ju m h ur m e m a n d a n g boleh, se m e ntara ada ula m a yang berpendap at tidak boleh kecuali bila m a s a istihadlahnya panjang. Dan ada yang tidak m e m b olehkannya sa m a sekali karena m e n y a m a k a n istihadlah denga n haid. Na m u n yang kuat dala m hal ini adalah pendapat jum h ur karena jelas w a nita istihadlah beda dengan w a nita haid dengan dalilyang ada dan tidak ada larangan dari Nabi untuk jima dengan istriyang istihadlah. Dan juga ada ayat umu m :

Istriistrikalian adalah ladang bagi kalian. (Al Baqarah : 223)

Al Ima m Al Bukhari m e m b a w a k a n ucapan Ibnu Abbas dala m kitab Shahih-nya dengan tanpa sanad yang m a k n a n y a w a nita istihadlah boleh digauli oleh sua minya sebagai m a n a ia dibolehkan untuk shalat se m e ntara shalat itu perkara yang agung.

(Shahih Bukhari. Kitabul Haid bab Apabila wanita haid m elihat dirinya suci)
Dala m Syarah -nya terhadap ucapan Ibnu Abbas di atas, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : Yakni bila w a nita istihadlah dibolehkan shalat m a k a kebolehan jima denga nnya lebih uta m a karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima.

(Fathul Bari 1/535)


Ibnu Qu da m a h rahimah ullah berkata dala m Al M u g h ni (1/339 ) : Diriwayatkan dari Ah m a d bolehnya m e n g g a uli istriyang istihadlah secara m utlak tanpa syarat dan ini m eru pakan pendapat kebanyakan ahli fiqih.

Al Ima m An Na w a wi rahimah ullah m e n g atakan dala m A l M aj m u Syarhil M u h a dzdzab (2/372 ) : Boleh dala m m a d z h a b ka mi untuk jima denga n istriyang sedang istihadlah pada saat dihuku mi sebagai suci, sekalipun darah (istihadlah) dala m keadaan m e n g alir.Da n hal ini tidak ada perselisihan di sisika mi .

Al Ima m As Shanani m e n y atakan boleh jima dengan istrtiyang sedang istihadlah m e n urut pendap at ju m hur ula m a karena wa nita yang istihadlah sa m a denga n w a nita yang suci dala m kebolehan shalat, puasa dan selain keduanya, m a k a de mikian pula dala m perkara jima. Da n jima tidak dihara m k a n kecuali ada dalil,se m e ntara tidak ada dalildala m perkara ini. (Subulus Sala m 1/157)

Al Ima m As Syaukani juga m e n y e b utkan penda pat jum h ur ini dala m kitabnya Nailul Authar (1/392)

H U K U M YA N G LAIN BA GI W A NIT A YA N G SED A N G ISTIHADLA H


Al Ima m An Na w a wi dala m Syarah M uslim (4/17) m e n g atakan bah w a dala m hal ibadah shalat, puasa, itikaf,m e m b a c a Al Quran, m e n y e ntuh m u s h af dan m e m b a w a n y a, sujud tilawah, dan sujud syukur m a k a w a nita yang istihadlah sa m a denga n wa nita yang suci, yakni boleh baginya untuk m elakukan nya dan hal ini m eru pakan perkara yang disepakati.

Al Ima m As Shanani m e n g atakan dengan m e n g utip ucapan Al Ima m An Na w a wi dala m Syarah M uslim : W a nita istihadlah apabila hendak shalat ia diperintah untuk berhatihati dala m m e njaga kebersihan dari hadats dan najis,m a k a seharusnya ia m e n c uci ke m aluannya sebelu m w u dlu dan taya m m u m dan ia su m p al ke m aluannya

denga n kapas atau kain untuk m e n c e g a h m e n y e b arnya najis dan m e n g urangi keluarnya darah. Apabila darah tidak tertahankan dengan cara tersebut, ia ikat ke m aluannya denga n kain dengan sekuatnya. Hal ini tidaklah wajib baginya na m u n

lebih uta m a bila ia lakukan dala m rangka m e n g urangi najis sesuai ke m a m p u a n, setelah itu ia berwu dlu. (Subulus Sala m 1/157)

De mikian m a s alah istihadlah yang dapat ka mi ku m p ulkan. W allahu alam bisha w w a b.

DAFT A R PUST A K A 1. Shahih M uslim bi Syarhin Na w a wi. Al Ima m An Na w a wi. Penerbit Darur

Rayyan litTurats.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Fathul Bari. Ibnu Hajar Al Asqalani. Penerbit Darul Ha dits. Jami liAhka mil Quran. Al Ima m Al Q urthubi. Penerbit Darul Kutub Ilmiyah. Subulus Sala m. Al Ima m As Shanani. Penerbit M a ktabah Al Irsyad. Bulughul M ara m. Ibnu Hajar. Al M aj m u Syarhil M u h a dzdzab. Al Ima m An Na w a wi. Risalah fid Dimaith Thabiiyyah lin Nisa. As Syaikh Shalih Al Utsaimin. Jami Ahka min Nisa. M usthafa Al Ada wi. Nailul Authar. Al Ima m Asy Syaukani.

Anda mungkin juga menyukai