Anda di halaman 1dari 12

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INJILI ABDI ALLAH

Tahun Ajaran 2023/2024

Semester/Prodi: 3 (Tiga)/Teologi

Mata Kuliah: REFORMED THEOLOGY

Dosen Pengampu: Lukman Purwanto, M.Th.

Mahasiswa: Samuel Togodly

NIM: 2277201077

Tugas: Laporan Baca Buku

IDENTITAS BUKU

Nama Buku : Menemukan Kembali Pengakuan Iman Reformed

Penulis : R. Scott Clark

Penerbit : Momentum (Momentum Christian Literature)

Tahun : 2020

Kota : Surabaya, Jawa Timur

Jumlah halaman buku: 348 Halaman


ISI PEMBAHASAN BUKU

Buku ini ditunjukan dan ditulis untuk menyadarkan, mengembalikan, dan memberikan
suatu pandangan dan pengakuan iman Reformed yang telah pudar atau hilang. Pengakuan
iman Reformed terdiri dari beberapa bagian yaitu Pengakuan Iman Belgia, Katekismus
Heidelberg, Kanon Dort, dan Pengakuan Iman Westminster, yang berdasar pada theology,
kesalehan, dan praktik. Digabung dari gereja-gereja Reformed dan Presbiterian yang
berkembang dari Amerika, hingga walaupun sekarang sudah ada banyak campuran dan
tambahan dalam gereja Reformed yang benar. Namun Daam hal ini yang terpenting adalah
suatu pengakuan Iman Reformed yang berdasar pada theology, kesalehan, dan praktiknya.
Untuk menemukan kembali pengakuan iman Reformed ini, telah dimulai pada tahun 1844,
yang telah dikemukakan secara umum oleh seorang professor dari Reformed Chuch, bernama
Phillip Schatt.
Gereja terus berkembang seiring perkembangan waktu maka tradisi gereja dari awal
hingga sekarang selalu berubah, hingga ada perubahan dalam gaya dan tradisi. Gereja Injili
mulai menggunakan alat musik, membuat koor Alkitab, dan menyanyikan lagunya. Hingga
sekarang bertambah penganut sekularisme, pluralisme, dan berbagai cabang dari Kristen
Katolik Roma dan Protestan yang tidak mengikuti gereja tradisional, tetapi suatu gereja
emerging. Sebenarnya tradisi gereja harus berdasar pada otoritas Alkitab yang diuji dan
dipahami dengan benar, dengan tidak menurunkan derajat Alkitab. Oleh sebab itu yang perlu
ada dalam gereja Reformed adalah ajaran Alkitab atau sola scriptura yang diakui sebagai
kebenaran yang mutlak. Maka ada banyak masyarakat, jemaat, para hamba Tuhan, penatua
yang kaget ketika sadar bahwa mereka bukan menganut tradisi dan iman Reformed yang
sesungguhnya, karena ada gereja-gereja yang mengajarkan Katekismus Heidelberg lebih dari
Alkitab.
Dengan sejarah gereja dan tradisi masa lampau, kita dapat melihat bahwa ada begitu
banyak perbedaan dan sering menjadi ketidaknyamanan dalam kehidupan orang Kristen
sekarang. Rasa tidak nyaman ini timbul dari kelompok Arminian, kelompok Amyraldian,
kelompok Calvinis ortodoks, dan kelompok Britanian. Kelompok-kelompok ini adalah mereka
yang menerima premis dari Calvin. Dari sini kita melihat bahwa perkembangan gereja
Reformed tidak mudah dan selalu ada hal-hal yang membingungkan dan juga mengacaukan
iman. Dua hal yang membuat kekacauan ini adalah, PKRP (pencarian kepastian religius palsu)
dan PPRP (pencarian pengalaman religius palsu), keduanya berasal dari era pencerahan.
Untuk itu para Reformator telah berusaha menemukan kembali pengakuan iman Reformed,
yang berdasar pada theology, kesalehan, dan praktik Reformed. Buku ini memberi penjelasan
bagi kita untuk mengerti dan menemukan iman Reformed yang sesungguhnya, yaitu yang
berdasar pada Alkitab.
Bab 2 membahas tentang Pencarian Kepastian Religius Palsu (PKRP), yang
merupakan upaya untuk mengenal Allah di luar wahyu-Nya dan mencapai kepastian epistemik
dan moral terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti. Beberapa
orang Reformed terlibat dalam PKRP, seperti mempertanyakan otoritas Alkitab terjemahan
bahasa Inggris dan menghadapi tantangan feminisme terhadap perbedaan peran gender.
Selanjutnya, bab menyebutkan beberapa contoh PKRP, seperti penafsiran 6/24 atas Kejadian
1, gerakan theonomi, dan moralisme kovenan. Moralisme kovenan disebut sebagai
manifestasi PKRP dengan merujuk pada "theologi kemenangan" yang memiliki keterkaitan
dengan moralisme dan rasionalisme. Juga mengulas tentang preterisme di dalam gereja
Reformed, yang percaya bahwa Kristus datang kembali pada tahun 70 Masehi. Penolakan
terhadap tawaran bebas Injil dan pertentangan mengenai pemahaman pembenaran gereja
Reformed juga menjadi bagian dari PKRP. Bab ini mencatat bahwa PKRP dapat ditemukan
dalam kontroversi-kontroversi internal gereja Reformed, terutama terkait dengan interpretasi
Alkitab, teologi moral, dan hubungan antara iman Kristen dan ilmu pengetahuan. Gerakan
theonomi dan upaya untuk menjatuhkan ilmu pengetahuan modern juga disebutkan sebagai
dampak PKRP. Kesimpulannya, bab ini menggambarkan bagaimana PKRP hadir dalam
gereja-gereja Reformed dan bagaimana hal ini memengaruhi pemahaman dan praktik teologi
mereka dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia kontemporer.
Membahas juga reaksi terhadap konsep likuiditas yang diusung oleh Bauman, dengan
menyoroti pencarian kepastian sebagai respons terhadap ketidakpastian dalam era
modernitas likuid. Dalam masyarakat modern, kepastian mengenai posisi sosial, tingkat sosial,
dan bahkan hubungan dengan yang ilahi menjadi semakin tidak jelas. Pencarian kepastian ini
tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah theologi Reformed.
Beberapa proposal radikal untuk merevisi doktrin-doktrin seperti Alkitab, Tritunggal, dan
pembenaran muncul sebagai upaya untuk mengatasi kebingungan dan tidak pastinya era
modernitas likuid. Namun, bab mencatat bahwa tidak semua upaya ini didasarkan pada
pengakuan iman Reformed, melainkan terkadang muncul dari pengaruh rasionalisme.
Beberapa orang Reformed, dalam upaya mencari kepastian, cenderung mengangkat
penafsiran atau penggunaan Alkitab tertentu di atas iman Reformed itu sendiri. Mereka
menggunakan penafsiran tersebut sebagai penanda ortodoksi dan sebagai perlindungan
terhadap musuh-musuh mereka. Berfokus pada pengaruh rasionalisme terhadap teologi,
kesalehan, dan praktik dalam lingkungan Reformed. Kesimpulannya, bab ini mencerminkan
kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh gereja-gereja Reformed dalam menghadapi
dinamika dan ketidakpastian dalam era modernitas likuid.
Buku menguraikan bahwa kontroversi teologis dan gerejawi dalam lingkungan
Reformed muncul sebagai respons terhadap tekanan dari budaya yang berkembang.
Pengaruh Pencarian Kepastian Religius Palsu (PKRP) terlihat dalam berbagai kontroversi,
seperti debat mengenai lamanya masa penciptaan, theonomi, dan pembenaran. Respons
terhadap tekanan sosial kontemporer ini, argumentasinya, mencerminkan semangat PKRP,
yang tidak selalu sejalan dengan identitas Reformed konfesional. Fundamentalisme, sebagai
respons terhadap tekanan budaya, sulit untuk didefinisikan dengan jelas. Diskusi mengenai
arti fundamentalisme melibatkan karakteristik seperti percaya pada ineransi Alkitab,
penginjilan, dan pramilenialisme. Namun, tesis menunjukkan bahwa bukan keyakinan pada
kebenaran Alkitab yang membuat seseorang menjadi fundamentalis, melainkan keyakinan
bahwa penafsiran pribadi atas Alkitab pasti benar. Perubahan makna istilah "fundamentalis"
dalam lima puluh tahun terakhir, terkait dengan cara berpikir yang sempit, penuh ketakutan,
dan nafsu untuk mendapatkan kepastian yang tidak sah. Penulis menyebutkan bahwa
fenomena ini bukan hal baru dalam kalangan Reformed Amerika dan mengutip pemikiran R.
B. Kuiper yang prihatin terhadap pengaruh fundamentalisme di kalangan Kristen Reformed.
Ditegaskan bahwa respons terhadap tekanan budaya yang mencari kepastian dapat
menyebabkan pergeseran dalam identitas dan prinsip-prinsip Reformed konfesional. Terdapat
upaya untuk mempertahankan kebenaran yang tidak bisa ditawar, namun demikian, penulis
menyarankan agar gereja tetap setia kepada theologi, kesalehan, dan praktik Reformed tanpa
menjadi dogmatis secara tidak sehat.
Namun, sejarawan lain, seperti Robert Westman, berpendapat bahwa Calvin mungkin
saja tahu tentang teori Copernicus. Pada akhirnya, sikap Calvin terhadap heliosentrisme tidak
dapat dipastikan dengan pasti. Bagaimanapun juga, pada abad ke-17, Galileo Galilei (1564-
1642) membuktikan bahwa teori Copernicus benar melalui pengamatan astronomis dan
menggunakan teleskop. Sayangnya, Galileo dihadapkan pada otoritas gereja Katolik yang
menganggap pandangan heliosentris bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Galileo dipaksa
untuk mencabut klaimnya dan dihukum penjara rumah selama sisa hidupnya. Perdebatan
mengenai heliosentrisme dan geosentrisme pada saat itu memiliki implikasi teologis, dan
orang-orang terpelajar, termasuk para teolog, harus mencari cara untuk mengintegrasikan
penemuan ilmiah dengan keyakinan agama mereka. Ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi
pada akhirnya, pandangan heliosentris diterima sebagai bagian dari pemahaman yang lebih
mendalam mengenai alam semesta.
Analogi ini digunakan untuk menyoroti bahwa Reformed telah menghadapi tantangan
serupa dalam menyatukan wahyu umum dan khusus, terutama dalam konteks teori evolusi.
Seperti heliosentrisme, teori evolusi membawa implikasi teologis yang signifikan. Reformed
harus bersikap bijaksana dan tekun dalam mengeksplorasi cara memahami dan
mengintegrasikan penemuan ilmiah tersebut tanpa mengorbankan prinsip-prinsip iman yang
mendasari keyakinan mereka. Tantangan tersebut seharusnya tidak membuat Reformed
mengabaikan atau mengecilkan wahyu umum. Sebaliknya, Reformed dapat memandangnya
sebagai cara Tuhan berbicara kepada kita melalui alam ciptaan, dan tugas kita adalah mencari
pemahaman yang benar dan sejalan dengan wahyu khusus. Pentingnya mendekati
perdebatan seperti ini dengan kerendahan hati, tekun dalam studi, dan keterbukaan terhadap
kemungkinan penemuan baru adalah kunci untuk mempertahankan integritas teologis
Reformed dalam menghadapi perubahan budaya dan ilmiah.
Buku ini juga membahas perdebatan seputar pandangan heliosentris dan geosentris
dalam konteks sejarah Gereja Reformed, terutama pada masa John Calvin. Beberapa pakar
berpendapat bahwa Calvin mungkin tahu tentang teori heliosentris, sementara yang lain
mengklaim sebaliknya. Dalam konteks ini, teks menyebutkan bahwa beberapa pakar
berpendapat Calvin mungkin menyatakan penolakan terhadap pandangan heliosentris,
terutama dalam khotbahnya tentang 1 Korintus 10:19-24. Namun, ada argumen lain yang
menyatakan bahwa Calvin sebenarnya sedang berbicara tentang seorang penyesat yang
bernama Sebastian Castellio. Pembahasan kemudian bergeser ke hasil pengamatan
astronom Tycho Brahe dan pengembangan pandangan heliosentris oleh Johannes Kepler.
Teori Copernicus kemudian dikembangkan oleh Brahe dan Kepler, yang hasil pengamatannya
semakin mendukung pandangan heliosentris. Selanjutnya, teks menyebutkan bahwa pada
tahun 1575, seorang murid Calvin, Lambert Daneau, mempublikasikan katekismus untuk
murid-muridnya, Christian Natural Philosophy. Dalam katekismus tersebut, Daneau mencoba
mempertahankan pandangan Alkitab tentang penciptaan dan filsafat alam. Daneau
berpendapat bahwa perpecahan di kalangan orang Kristen terjadi karena terlalu banyak orang
Kristen yang terpengaruh filsafat non-Kristen. Ia merasa perlu mengoreksi pandangan tersebut
dengan Firman Allah.
Juga ada kontroversi doktrin pembenaran dalam lingkungan gereja Reformed
konservatif selama 30 tahun. Kontroversi ini menunjukkan bahwa pengaruh pengakuan iman
Reformed semakin berkurang dan digantikan oleh Pengkhotbah Keselamatan yang Bersifat
Pribadi (PKRP). Doktrin pembenaran menjadi salah satu poin terpenting dalam kontroversi ini,
dan pemecatan serta tindakan lainnya mencerminkan pergolakan di dalam gereja. Pengakuan
iman Reformed, terutama Pasal-Pasal Iman Belgia (PIB) 22, menegaskan bahwa iman adalah
hasil karya Roh Kudus di dalam hati orang-orang terpilih, dan iman ini memeluk Yesus Kristus
sebagai satu-satunya Juruselamat. Pengakuan iman juga menekankan bahwa orang
dibenarkan hanya melalui iman (sola fide), tanpa kontribusi usaha manusia. Pembenaran
hanya melibatkan iman yang "hanyalah sarana untuk memeluk Kristus, kebenaran kita," dan
dasar pembenaran adalah Yesus Kristus, bukan tindakan beriman itu sendiri. Di bagian ini
menyoroti perbedaan antara pandangan Reformed dan pandangan Konsili Trente Katolik
Roma tahun 1547. Trente menyatakan bahwa kerja sama manusia memiliki peran dalam
pembenaran, sementara Reformed menolak kontribusi apapun selain iman dalam proses
tersebut. Kontroversi ini mencerminkan pergeseran dalam pengakuan iman Reformed, di
mana PKRP menggantikan norma teologi dan kesalehan yang sebelumnya dipegang oleh
pengakuan iman. Pergeseran ini tampaknya memicu pertentangan dan pembahasan intens di
dalam gereja Reformed konservatif.
Keruntuhan moral di zaman modern akhir mempengaruhi kondisi gereja, menantang
kebenaran iman dan kehidupan Kristen. Dalam menghadapi tekanan sosiokultural ini,
beberapa gereja Reformed mencari kepastian melalui doktrin dan praktik yang tidak selalu
sejalan dengan pengakuan iman Reformed. Bab ini membahas tiga gerakan yang
mencerminkan semangat fundamentalisme, dijelaskan sebagai Pengkhotbah Keselamatan
yang Bersifat Pribadi (PKRP). Gerakan-gerakan ini dianggap mencari kepastian epistemik dan
moral terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak memiliki jawaban pasti.
Pentingnya memahami bahwa kepastian sempurna bukanlah bagian dari esensi iman, dan
seseorang yang sungguh-sungguh percaya mungkin harus menunggu dan menghadapi
kesulitan sebelum mencapai kepastian tersebut. Namun, dengan bantuan Roh Kudus dan
penggunaan sarana-sarana umum, seseorang dapat memperoleh kepastian tanpa wahyu luar
biasa. Secara umum menyiratkan bahwa dalam menghadapi krisis yang dialami gereja, perlu
ada keseimbangan antara mencari kepastian dalam iman dan pengakuan iman Reformed
yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip Alkitab. Dalam bab-bab selanjutnya, kemungkinan
akan dibahas aspek-aspek lain dari krisis gereja.
Dalam Bab 3 membahas fenomena Pencarian Pengalaman Religius Palsu (PPRP),
yang dikritik oleh John Williamson Nevin pada tahun 1844. Nevin menganggap metode "kursi
kegelisahan" sebagai penyesatan yang menjurus ke Pelagianisme. Pencarian ini dapat
diidentifikasi sebagai salah satu gerakan klasik dalam sejarah teologi Kristen, dengan akar-
akar mistikisme dan keinginan untuk mengalami langsung visio Dei, penglihatan akan Allah.
Sejarah theologi abad pertengahan mencatat kisah-kisah tentang kebangkitan dan pengaruh
mistikisme, yang dianggap Luther dan Calvin sebagai keinginan untuk melihat Allah
"telanjang." Fenomena ini terlihat dalam berbagai gerakan seperti spiritualisme-Anabaptis,
spiritualisme akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, pietisme abad ke-17 dan abad ke-18,
serta revivalisme abad ke-18 dan ke-19. Pietisme masuk ke dalam kesalehan Reformed
kontemporer, terlihat dalam praktik mistikisme yang dianggap sebagai cara untuk memastikan
providensi Allah secara a priori. Praktik seperti mendengarkan "bunyi angin sepoi-sepoi basa"
dianggap sebagai penggantian mistikisme atau introspeksi. Namun, hal ini dianggap jauh dari
ajaran pengakuan iman Reformed. Pengakuan Iman Westminster (PIW) menunjukkan
alternatif yang berbeda dengan mengajarkan kita untuk selalu mencari kehendak moral Allah
di dalam Firman-Nya. PIW menekankan pentingnya memperhatikan Firman Allah sebagai
sarana umum, menjauhi wahyu yang luar biasa. Pengakuan ini juga menegaskan bahwa
hukum Taurat memberikan petunjuk tentang kehendak Allah dan kewajiban kita.
Kesimpulannya, PIW menekankan kebutuhan untuk bergantung pada Firman Allah sebagai
panduan utama dalam mencari kehendak dan kebenaran moral Allah, menolak praktik-praktik
mistik yang dianggap menyimpang dari ajaran Reformed.
Keberatan terhadap gerakan kebangunan rohani dalam konteks Reformed muncul dari
perbedaan pendekatan terhadap teologi dan kehidupan rohani. Ada perbedaan mendasar
antara pendekatan reformasi dan revivalisme. Reformasi, yang diwakili oleh teologi
Calvinisme, membawa orang berdosa kepada janji-janji ilahi yang objektif dan menyadarkan
akan kehadiran Roh Kudus di dalam diri mereka. Sebaliknya, revivalisme lebih fokus pada
pengalaman subjektif terlebih dahulu. Pietisme, yang bukan sama dengan kesalehan, menjadi
kritik terhadap ortodoksi dan mencari pengalaman Allah secara subjektif. Ini mencerminkan
ketidakpuasan terhadap agama yang objektif, seperti kesalehan Firman dan sakramen dalam
tradisi Reformed dan Lutheran klasik. Pendukung kebangunan rohani, seperti D. Martyn Lloyd-
Jones, menekankan pengalaman eksperimental masa kini akan curahan Roh Kudus yang
bersifat pribadi. Mereka menentang pandangan yang membatasi Roh Kudus hanya bekerja
melalui Firman, berpendapat bahwa pengalaman rohani melibatkan manifestasi yang lebih
luas dan langsung dari kuasa Roh Kudus. Namun, kritik terhadap kebangunan rohani juga
muncul, baik dari kalangan "Old Lights" seperti Charles Chauncy maupun dari teolog Calvinis
seperti John Thomson. Mereka mencela gairah dan penekanan pada pengalaman yang
dianggap mengganggu keseimbangan dan akal budi yang tenang. Pertentangan ini
mencerminkan perdebatan yang lebih besar dalam tradisi Reformed tentang peran
pengalaman rohani, gairah, dan otoritas Firman dalam kehidupan gereja. Ada upaya untuk
menemukan keseimbangan yang sesuai dengan ajaran dan tradisi Reformed.
Dalam penggabungan revivalisme dengan gereja-gereja Reformed, terjadi konflik
antara pendukung perkawinan ini dan orang-orang yang menganggap bahwa revivalisme
menjadi semacam "sentuhan" yang diperlukan untuk mencegah kekeringan dan kemandegan
teologi, kesalehan, dan praktik Reformed. Namun, perdebatan ini sebenarnya mencerminkan
pengadopsian paradigma subjektivisme revivalisme oleh sebagian orang, yang kemudian
menggunakan standar revivalisme untuk menilai tradisi Reformed. Revivalisme, sebagai
ekspresi subjektivisme religius, mewakili gerakan pencarian pengalaman langsung dengan
Allah. Berbagai pendekatan revivalisme dari George Whitefield hingga Sister Aimee
menciptakan tantangan terhadap tradisi Reformed, dengan kesalehan yang lebih ditekankan
pada peristiwa dan pengalaman khusus. Penggabungan ini menimbulkan pertanyaan
mendasar tentang pengalaman religius yang sesuai dengan ajaran Reformed. Sementara
beberapa melihat revivalisme sebagai penyimpangan, sebagian lain berpendapat bahwa itu
diperlukan untuk memperbarui kehidupan rohani. Namun, pertanyaan utama adalah sejauh
mana standar revivalisme, yang mencari pengalaman khusus dengan Allah, dapat diterima
dalam konteks tradisi Reformed yang menekankan pemahaman objektif dan empiris yang
mencerminkan standar-standar Reformed. Sejarah perdebatan ini mencerminkan konflik yang
lebih besar dalam tradisi Reformed seputar peran pengalaman rohani, gairah, dan otoritas
Firman dalam kehidupan gereja. Meskipun ada upaya untuk menemukan keseimbangan,
konflik ini mencerminkan tantangan dalam meresapi ajaran dan tradisi Reformed di tengah
perubahan dan tuntutan zaman.
Dalam konteks penggabungan revivalisme dengan gereja-gereja Reformed,
perbedaan pendekatan terhadap pengalaman religius menjadi jelas. Pendekatan Reformed
menekankan pemanfaatan sarana-sarana biasa yang telah diwahyukan Allah, tidak mengejar
pengalaman Allah terlepas dari konteks tersebut. Konsep perbedaan antara Pencipta dan
ciptaan menjadi dasar bagi pendekatan ini. Pandangan Reformed juga mencerminkan pada
penggunaan sarana biasa untuk mencapai tujuan rohaniah. Pengakuan iman Reformed
menegaskan bahwa perihal-perihal yang berkaitan dengan keselamatan dapat dipahami,
dipercayai, dan diperhatikan melalui sarana-sarana yang telah diwahyukan Allah, termasuk
Firman-Nya. Sejarah perdebatan dan konflik dalam tradisi Reformed seputar peran
pengalaman rohaniah, gairah, dan otoritas Firman mencerminkan tantangan dalam meresapi
ajaran dan tradisi Reformed di tengah perubahan dan tuntutan zaman. Sementara beberapa
mengadopsi paradigma subjektivisme revivalisme, yang mencari pengalaman langsung
dengan Allah, yang lain tetap mempertahankan pendekatan Reformed yang menekankan
pemahaman objektif dan empiris. Sebagai bagian dari upaya menemukan kembali identitas
Reformed, pertanyaan tentang bagaimana pemanfaatan cara-cara biasa dalam kehidupan
rohaniah dapat dilakukan menjadi sentral. Hal ini melibatkan pemahaman yang mendalam
tentang arti nama, penggunaan sarana-sarana biasa, dan bagaimana identitas seorang
Kristen didefinisikan dalam konteks komunitas kovenan. Dengan demikian, pencarian ini
melibatkan pemahaman yang lebih dalam tentang aspek-aspek fundamental theologi
Reformed dan bagaimana identitas rohaniah seseorang dikaitkan dengan praktik keagamaan
sehari-hari.
Dalam menyikapi kondisi gerakan Reformed modern, ditemukan bahwa hilangnya
ingatan, kosakata, dan akibatnya, aspek-aspek penting dari teologi, kesalehan, dan praktik
telah terjadi. Pemahaman teologis dan konsep-konsep tradisional harus diartikulasikan
kembali dengan bijak agar dapat diterjemahkan dengan tepat ke dalam konteks modern tanpa
mengorbankan substansi teologis. Pandangan Thomas Aquinas tentang analogi menunjukkan
kompleksitas dalam mencari hubungan antara Allah dan manusia. Meskipun mencoba
menghindari kategorisasi univokal dan ekuivokal, pendekatan Aquinas masih menimbulkan
ketidakjelasan dan ambiguitas. Pentingnya dialog dan pemahaman mendalam antara teolog
Kristen, khususnya dari tradisi Reformed, menjadi sangat relevan untuk meresapi dan
mengevaluasi berbagai pandangan teologis dan filosofis, seperti yang dilakukan oleh Aquinas.
Dalam rangka memulihkan tata bahasa dan menjaga identitas Reformed, ditekankan perlunya
terjemahan bukan hanya dalam konteks bahasa verbal, tetapi juga dalam penerjemahan
konsep dan pemahaman teologis. Memelihara akar teologis yang kuat dalam tradisi Reformed,
sambil menjembatani pemahaman dengan konteks modern, menjadi langkah konstruktif.
Dengan cara ini, gereja dapat membangun fondasi yang kokoh untuk menjawab tantangan
zaman, sambil tetap mempertahankan substansi teologis dalam bahasa yang dapat dipahami
oleh generasi saat ini.
Gagasan tentang bagian-bagian teologi dalam konteks Reformed mengarah pada
pemahaman bahwa wahyu Allah terdapat dalam dua tingkatan atau kategori utama: theologi
arketipal (theologia archetypa) dan theologi ektipal (theologia ectypa). Theologi arketipal
merupakan pemahaman Allah yang ada dalam pikiran-Nya sendiri, tidak dapat diketahui oleh
manusia, dan menjadi dasar bagi pengungkapan Allah kepada kita. Di sisi lain, theologi ektipal
adalah pengungkapan atau pemahaman wahyu yang diakomodasi kepada manusia, dengan
empat subbagian: theologi para malaikat, theologi orang-orang kudus, theologi kesatuan, dan
theologi peziarah. Pentingnya pemisahan antara theologi arketipal dan ektipal mencerminkan
pengakuan bahwa manusia sebagai ciptaan memiliki keterbatasan dalam memahami
keberadaan dan kehendak Allah. Dalam konteks ini, penekanan pada karakter analogis, bukan
univokal, dari pengetahuan kita tentang Allah menjadi landasan bagi pendekatan teologi
Reformed. Perbedaan pandangan antara theologi Reformed dan Lutheran muncul terutama
dalam pemahaman mereka tentang theologi arketipal dan ektipal. Sebagai contoh, perdebatan
antara teolog Reformed seperti Calvin dan Luther muncul dalam konsep tentang theologi salib
dan "theologi kita." Hal ini menciptakan dasar yang kuat untuk menjaga identitas dan substansi
teologi Reformed, sambil memahami perbedaan dan kesamaan dengan tradisi teologis
lainnya. Pendekatan ini memberikan dasar bagi pemahaman yang mendalam tentang sumber
dan ekspresi teologi, memastikan bahwa makna asli dan esensi teologis tetap terjaga dalam
konteks modern.
Dalam perkembangan teologi Reformed, konsep pembedaan antara theologi arketipal
(yang ada dalam pikiran Allah) dan theologi ektipal (yang diungkapkan kepada kita) tetap
menjadi elemen penting, sebagaimana diajarkan oleh para teolog klasik seperti Calvin dan
Luther. Meskipun demikian, variasi dan interpretasi yang berbeda muncul di kalangan teolog
Reformed seiring berjalannya waktu. Beberapa teolog, seperti Jonathan Edwards, cenderung
menambahkan aspek eksistensial atau subjektif dalam definisi teologi, menekankan
pengalaman pribadi dan dimensi eksistensial dalam kehidupan beragama. Namun, teolog lain,
seperti Francis Turretin, mempertahankan pembedaan kategoris dengan jelas. Penting untuk
diakui bahwa pergeseran penekanan ini mencerminkan dinamika dan variasi dalam tradisi
Reformed. Meskipun ada keragaman interpretasi, konsep pembedaan antara theologi
arketipal dan ektipal tetap menjadi fondasi untuk pemahaman teologi Reformed. Hal ini
mencerminkan upaya untuk memahami realitas sejati tentang Allah sebagaimana yang ada
dalam pikiran-Nya, sambil mengakui keterbatasan pemahaman manusia yang diungkapkan
melalui wahyu.
Dalam rangka memahami identitas "Reformed," kita diingatkan bahwa istilah tersebut
bukanlah hasil definisi yang kita tetapkan, melainkan suatu warisan yang diterima. Pembedaan
mendasar antara Allah dan ciptaan, serta konsep pembedaan kategoris antara theologi
arketipal dan ektipal, membentuk inti ajaran Reformed. Meskipun terdapat variasi interpretasi
di dalam tradisi ini, kerangka ini tetap menjadi fondasi pemahaman teologi Reformed. Konsep
pembedaan antara Allah dan ciptaan menolak pemahaman bahwa manusia berada dalam
kontinuitas langsung dengan Allah, menyatakan bahwa akses kita kepada Allah adalah melalui
perantaraan-Nya, terutama melalui Yesus Kristus dan wahyu yang diungkapkan dalam Injil.
Pembedaan kategoris ini juga menentang pandangan yang mengaburkan perbedaan antara
yang ilahi dan manusia, sehingga meruntuhkan pandangan bahwa manusia bisa memiliki
akses langsung terhadap keberadaan Allah. Pentingnya pemahaman ini dalam tradisi
Reformed adalah bahwa itu mengatasi tantangan dari berbagai aliran pemikiran, seperti
Pemikiran Kekristenan yang Rasionalis dan Pemikiran Pemulihan Kekristenan yang Praktis.
Pembedaan antara theologi arketipal dan ektipal membentuk dasar pemahaman Reformed
terhadap soteriologi, menegaskan pentingnya penebusan melalui pengilahian. Dalam
memahami identitas "Reformed," pertanyaan mendasar tentang bagaimana kita memahami
dan mengajarkan Alkitab, termasuk doktrin-doktrin esensial seperti theologi kovenan dan
doktrin pembenaran, ditentukan oleh pandangan gereja-gereja Reformed. Gereja-gereja ini
memegang peran penting dalam merumuskan pandangan teologis dan praktik keagamaan
yang "Reformed." Sebagai pewaris, pengubahan terhadap pandangan mendasar ini harus
memperoleh persetujuan gereja-gereja Reformed. Dengan demikian, identitas "Reformed"
lebih dari sekadar sebutan; itu mencerminkan komitmen terhadap ajaran dan praktik yang
diteruskan melalui generasi dan diakui oleh komunitas gereja Reformed.
Dalam mencari kembali identitas Reformed, terdapat pergeseran yang signifikan dalam
konteks zaman modern. Identitas Reformed yang dahulu lebih terfokus pada konsep "yang
satu" kini menghadapi tantangan eksklusivitas di era di mana betapa uniknya satu entitas
seringkali ditekankan. Pergeseran ini mencerminkan perubahan semangat zaman, dari
penekanan pada kebenaran universal menjadi subjektivitas yang beragam. Dalam konteks
pengakuan iman, praktik pengakuan identitas Reformed melibatkan pernyataan bersama
mengenai kepercayaan terhadap Allah dan prinsip-prinsip teologis. Sejarah Alkitab mencatat
praktik ini, baik dalam ajaran-ajaran tertentu maupun dalam peristiwa-peristiwa signifikan,
seperti dedikasi Bait Allah oleh Raja Salomo. Konsep pengakuan iman juga melibatkan aspek
korporat dan individual, seperti yang terlihat dalam kasus Yohanes yang menolak mengakui
Yesus karena takut dikeluarkan dari sinagoge. Perkembangan selanjutnya mengenai praktik
pengakuan iman di dalam gereja-gereja Reformed modern menunjukkan variasi pendekatan.
Mulai dari pemelukan sistem, pemelukan penuh, hingga pemelukan niat baik, masing-masing
menghadirkan tantangan dan pertanyaan seputar keseragaman dan tujuan pemelukan
tersebut. Pemahaman mengenai sistem doktrin, pandangan niat baik, dan pengecualian
terhadap Standar-standar Westminster menjadi fokus utama dalam mencari identitas
Reformed dalam konteks modern.
Dengan mengingat kembali pandangan tokoh-tokoh seperti Charles Hodge dan T.
David Gordon, serta melibatkan peran presbiter dalam menentukan pengecualian, gereja-
gereja Reformed berusaha menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan
keseragaman keyakinan. Tantangan terus muncul, terutama terkait dengan perubahan dalam
pandangan masyarakat modern yang cenderung subjektif. Dalam mencari identitas Reformed,
penting untuk memahami bahwa praktik pengakuan iman adalah cerminan dari perjalanan dan
perjuangan gereja-gereja Reformed dalam menghadapi pergeseran zaman. Dengan
melibatkan konsep pemelukan sistem, pemelukan penuh, dan pemelukan niat baik, gereja-
gereja ini terus berusaha menemukan kembali esensi identitas Reformed di tengah
kompleksitas tantangan modern.
Dalam proses kembali menjadi konfesional, langkah pertama yang diusulkan adalah
memulihkan penggunaan pengakuan iman sebagai penanda batasan. Meskipun terdapat
pertentangan terhadap konsep konfesionalisme, terdapat kekhawatiran bahwa
konfesionalisme dapat menyamakan otoritas pengakuan iman dengan otoritas Alkitab itu
sendiri. R. B. Kuiper mengingatkan akan bahaya konfesionalisme dan menggarisbawahi
pentingnya gereja untuk kembali kepada Alkitab. Namun, pandangannya dapat
disederhanakan, karena sejarah gereja-gereja Reformed menunjukkan pemahaman yang
lebih kompleks terkait pengakuan iman. Gereja-gereja Reformed memahami pengakuan iman
sebagai penanda batasan dan memandangnya sejajar dengan otoritas Alkitab, asalkan
pengakuan iman tersebut memang alkitabiah. Pentingnya memahami ortodoksi Reformed dan
menolak theologi Reformed mungkin menjadi kendala bagi beberapa denominasi arus utama
dalam memeluk identitas Reformed. Namun, individu dan gereja-gereja yang memahami dan
memeluk ortodoksi Reformed dapat terus mempraktikkan apa yang dilakukan oleh para
ortodoks di masa lalu. Kesimpulannya, untuk memperoleh kembali identitas Reformed,
tanggung jawab kita adalah menyatakan kembali pengakuan iman Reformed di masa kita.
Meskipun tantangan dan pertentangan mungkin muncul, penting untuk menjaga fokus pada
alasan-alasan memilih dan memeluk pengakuan iman Reformed dengan sepenuh hati dan
pikiran. Dengan demikian, langkah-langkah menuju konfesionalisme dapat diambil dengan
bijak untuk memelihara esensi identitas Reformed.
Bab ini menyajikan gambaran tentang berbagai gerakan dan pergeseran teologis
dalam sejarah gereja, khususnya di Amerika pada abad ke-19 hingga saat ini. Gerakan
Mercersberg, konversi ke Gereja Katolik Roma, dan fenomena gereja emerging menjadi fokus
pembahasan yang menggambarkan tantangan dan dinamika dalam pemeliharaan identitas
keagamaan. Gerakan Mercersberg muncul sebagai respons terhadap revivalisme dan
fundamentalisme pada abad ke-19. Tujuannya, meskipun masih diperdebatkan, mencakup
pemahaman kembali teologi pra-Reformasi dan pengamatan terhadap perkembangan masa
depan dengan pengaruh filsafat Hegelian. Konversi beberapa penganut gerakan Injili ke
Gereja Katolik Roma, seperti yang dilakukan oleh Thomas Howard dan Scott Hahn,
mencerminkan ketidakpuasan terhadap gerakan Injili dan keinginan untuk menemukan
elemen yang dirindukan dalam Gereja Katolik Roma. Pada tahun 1990-an, setelah runtuhnya
Tembok Berlin, muncul kontak langsung antara orang-orang Injili Amerika dengan bentuk-
bentuk Kekristenan yang sebelumnya tidak dikenal. Beberapa individu, seperti Peter Gilchrist,
menemukan kepuasan spiritual dalam gereja Ortodoks Timur, menyebabkan konversi dan
membawa rekan-rekan Injili lainnya.
Fenomena gereja emerging, sebagai respons terhadap fundamentalisme dan
revivalisme, menciptakan sintesis eklektik dan antar-tradisi. Gerakan ini menciptakan gaya
ibadah yang mencerminkan tren kekinian sambil menolak beberapa unsur fundamentalisme.
Rob Bell, seorang pendeta dari gerakan ini, menekankan kembali Kekristenan sebagai agama
Timur dan menciptakan pendekatan eklektik terhadap iman. Tantangan muncul ketika gerakan
emerging menunjukkan sifat eklektik dan sintesis antar-tradisi, terkadang menolak unsur-
unsur konfesionalisme. Meskipun ada keberagaman dalam gerakan ini, ada juga risiko
pencarian pengalaman religius palsu. Dalam menghadapi eksodus dari gerakan Injili dan
pasca-Injili, bab ini mengajak orang-orang Injili untuk mempertimbangkan perpindahan
teologis dan gereja menuju identitas Reformed. Terdapat pula perhatian terhadap orang-orang
Reformed yang mungkin mempertimbangkan jejak gerakan Injili atau pasca-Injili. Simpulan
dari bab ini mengajak untuk menyadari dinamika perubahan teologis, tantangan dalam
pemeliharaan identitas keagamaan, dan sukacita menjadi konfesional. Dengan merujuk pada
identitas Reformed, bab ini mengajak untuk mempertimbangkan kembali undangan kepada
orang-orang Injili untuk memilih Jenewa sebagai tempat yang tepat dalam perjalanan iman
mereka.
Pengakuan iman Reformed atau Calvinisme memiliki nilai positif yang signifikan dari
berbagai aspek, termasuk teologi, kesalehan, dan praktik. Pertama, keketegasan teologi
Reformed menonjol dengan menekankan ajaran-ajaran teologis yang mendalam, memberikan
dasar iman yang kokoh dan memperdalam pemahaman terhadap ajaran Kristen. Kedua, fokus
pada kedaulatan Tuhan dalam Calvinisme memberikan pengertian bahwa Tuhan
mengendalikan segala aspek kehidupan, meneguhkan keyakinan bahwa semua yang terjadi
sesuai dengan kehendak-Nya. Ketiga, pentingnya pengajaran Alkitab dalam tradisi Reformed
menekankan keterlibatan yang mendalam dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran
Alkitab dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, adanya tradisi liturgis yang kaya dalam
beberapa gereja Reformed menciptakan pengalaman ibadah yang mendalam dan
memberikan ruang bagi refleksi rohani. Kelima, konsep pengakuan dosa dan pertobatan
menjadi integral dalam ajaran Reformed, mendorong umat percaya untuk hidup dengan
rendah hati dan mencari pertobatan secara terus-menerus. Keenam, penghargaan terhadap
sejarah gereja dalam tradisi Reformed menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang
perkembangan gereja selama berabad-abad. Ketujuh, pendekatan pemikiran yang dalam
yang dianjurkan oleh Calvinisme merangsang pertumbuhan rohani yang matang dan
mendalam. Meskipun terdapat kesalahpahaman atau persepsi negatif, nilai-nilai positif ini
menjadi landasan bagi gereja Reformed untuk tumbuh dan berkembang lebih baik dalam
konteks gereja global.
Terdapat pernyataan mengenai situasi sulit ibadah Reformed, terutama di Amerika
Utara, yang disebabkan oleh perubahan liturgi dan penambahan elemen-elemen baru yang
dianggap sebagai tren baru. Poin ini mencerminkan kekhawatiran akan perubahan dalam
praktik ibadah. Penekanan pada pentingnya prinsip RPW dalam ibadah Reformed. Prinsip ini
menuntut agar ibadah hanya mencakup elemen-elemen yang jelas diatur atau dikehendaki
oleh Firman Tuhan. Terdapat dorongan untuk memulihkan praktik Reformed dalam ibadah
dengan kembali kepada prinsip-prinsip ini. Dibahas juga tentang nyanyian mazmur secara
eksklusif tanpa iringan musik. Beberapa pihak mendukung praktik ini, sementara yang lain
memiliki keberatan, seperti kurangnya kristosentrisitas dalam mazmur. Diskusi ini
mencerminkan perbedaan pendapat di dalam komunitas Reformed terkait praktik ibadah. Juga
menegaskan bahwa pengakuan iman Reformed merupakan dasar bagi prinsip RPW. Ini
menunjukkan bahwa prinsip ini bukanlah inovasi belaka, tetapi bagian integral dari keyakinan
gereja Reformed pada abad ke-16 dan ke-17. Ada dorongan untuk pemulihan atau penemuan
kembali prinsip-prinsip RPW melalui instruksi pastoral dan pendekatan yang membantu
jemaat memahami kembali prinsip-prinsip ini. Ini menunjukkan keinginan untuk menyatukan
komunitas Reformed dalam praktik ibadah yang konsisten dengan prinsip RPW. Klarifikasi
mengenai pertanyaan dan keberatan terkait pemahaman bahwa Mazmur kurang kristosentris
atau bersifat tipologis. Hal ini menunjukkan perlunya pengajaran dan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai hukum/Injil, theologi kovenan yang historis, dan hermeneutika yang
diterapkan dalam konteks ibadah Reformed.
Pada masa kini, kebaktian kedua dalam praktik Reformed mengalami kemunduran
yang signifikan. Beberapa gereja Reformed telah menghilangkan kebaktian kedua,
menciptakan dilema terkait apakah harus tetap berfokus pada kualitas atau bersaing dengan
bentuk-bentuk keagamaan yang lebih besar. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada zaman
kita, melainkan juga dalam sejarah gereja. Pemulihan kebaktian kedua diidentifikasi sebagai
solusi yang memerlukan pemenuhan dua syarat. Pertama, pemulihan doktrin konfesional
tentang hari Sabat Kristen menjadi kunci utama. Kedua, pentingnya penemuan kembali doktrin
Alkitab dan sakramen sebagai sarana anugerah yang diresmikan ilahi. Kedua syarat ini
dianggap sebagai dasar untuk memahami dan mengembalikan kebaktian kedua dalam praktik
Reformed. Terlepas dari perdebatan seputar peran perempuan dalam kepemimpinan gereja,
perhatian yang kurang diberikan terhadap keputusan sinode yang mengizinkan jemaat untuk
tidak mengadakan kebaktian kedua dianggap sebagai kekurangan besar. Salah satu
keputusan berkaitan dengan otoritas Alkitab di dalam gereja, sementara yang lain menyangkut
makna penting sarana-sarana anugerah dalam kehidupan gereja. Kesimpulannya, hilangnya
kebaktian kedua dalam gereja-gereja Reformed menyoroti perlunya memulihkan dua doktrin
konfesional: doktrin sarana anugerah dan doktrin hari Sabat. Pemahaman dan penerapan
kembali prinsip-prinsip ini dianggap sebagai langkah kunci untuk mengembalikan keberadaan
kebaktian kedua dalam konteks Reformed.
Pentingnya Hari Sabat dalam memahami kebaktian kedua tidak hanya terletak pada
kewajiban untuk mengadakan pelayanan pada hari tersebut, tetapi juga pada pemahaman
bahwa satu hari dari tujuh hari adalah milik Tuhan, sesuai dengan ajaran Alkitab (Matius 12:8).
Doktrin ini dianggap penting karena merupakan wahyu ilahi, meskipun muncul secara eksplisit
dalam Alkitab pada Keluaran 16. Beberapa kesulitan dalam menerima doktrin ini disorot,
seperti pertanyaan tentang narasi penciptaan yang bersifat deskriptif atau preskriptif,
kurangnya perintah eksplisit dalam Perjanjian Baru untuk merayakan hari Sabat, dan
kekurangan bukti praktik pasca-apostolik. Namun, pandangan bahwa hari Sabat bukan
sekadar perayaan kultural Yahudi atau legalisme gereja Roma disajikan sebagai argumen
mendukung. Pola historis gereja mula-mula, khususnya berkumpul pada hari Minggu,
dijelaskan sebagai refleksi pengertian Kitab Wahyu 1:10, di mana Yohanes menerima
penglihatan-penglihatannya pada hari pertama dalam setiap minggu sebagai tanda ke-Tuhan-
an Kristus. Penggunaan istilah "Hari Tuhan" dalam beberapa tulisan apokrifa Kristen juga
diperdebatkan, tetapi menunjukkan bahwa konsep ini memiliki posisi penting di kalangan
orang Kristen. Pengakuan-pengakuan iman Reformed, seperti Pengakuan Iman Helvetia II,
menegaskan hari Sabat Kristen sebagai hari persembahan, penyembahan, dan petunjuk
pengaturan tujun struktural akan kesempurnaan yang akan datang. Meskipun gereja-gereja
Reformed memiliki perbedaan dalam interpretasi hari Sabat, substansi doktrin ini tetap
konsisten. Dalam mengatasi kehilangan kebaktian kedua, pentingnya pemahaman akan hari
Sabat Kristen dan pengakuan doktrin konfesional menjadi fokus utama. Keseluruhan
pembahasan menekankan bahwa pemulihan kebaktian kedua memerlukan pemahaman dan
penerapan kembali doktrin hari Sabat Kristen dalam konteks Reformed.
Dalam kesimpulan, buku ini menguraikan tantangan yang dihadapi oleh gereja-gereja
Reformed, khususnya terkait dengan kebaktian kedua. Penulis membahas sejarah kehadiran
gereja, menyoroti kejatuhan kehadiran jemaat di kebaktian kedua, terutama dalam konteks
Amerika Utara. Tantangan ini disandingkan dengan pemahaman doktrin hari Sabat Kristen
dan pengakuan konfesional, terutama Pengakuan Iman Helvetia II. Buku ini menyajikan
argumen yang radikal, menyerukan kepada orang-orang Kristen Reformed untuk kembali
kepada akar-akar konfesional mereka. Pemahaman akan doktrin hari Sabat Kristen,
khususnya dalam konteks hari Sabat, dianggap sebagai kunci untuk memahami kebaktian
kedua. Meskipun kehadiran di gereja mungkin mengecewakan, penulis menekankan
pentingnya tetap setia pada prinsip-prinsip konfesional. Penulis mencatat bahwa pemakaian
kata "Reformed" dalam konteks modern tidak selalu mencerminkan kesetiaan terhadap
doktrin-doktrin historis gereja Reformed. Pemimpin-pemimpin "muda, bergairah, dan
Reformed" yang mungkin fokus pada soteriologi saja tidak selalu sejalan dengan konfesi
gereja Reformed secara keseluruhan. Dengan demikian, penulis mengajukan pertanyaan kritis
tentang penggunaan kata sifat "Reformed" di masa kini. Kesimpulannya, buku ini memang
memberikan suatu panggilan radikal untuk kembali kepada akar-akar konfesional gereja
Reformed. Ini juga mengingatkan pembaca akan pentingnya pemahaman doktrin hari Sabat
Kristen dan komitmen terhadap prinsip-prinsip konfesional sebagai fondasi untuk memahami
dan memulihkan kebaktian kedua.

Anda mungkin juga menyukai