Anda di halaman 1dari 923

KOMPILASI

ATURAN

PERATURAN BIDANG
ORGANISASI
KEMASYARAKATAN

DIREKTORAT ORGANISASI KEMASYARAKATAN


DIREKTORAT JENDERAL POLITIK DAN PUM
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
AFTAR ISI
01 UUD 1945

02 UU 17/2013

03 UU 16/2017

04 UU 16/2001

05 UU 28/2004

06 STAATSBLAD 1870 NOMOR 64

07 PP 58/2016

08 PP/59/2016

09 ATURAN TEKNIS ORMAS SKT

09A PERMENDAGRI 56/2017

09B PERMENDAGRI 57/2017

09C PERMENDAGRI 58/2017

10 ATURAN TEKNIS ORMAS PEKUMPULAN

10A PERMENKUMHAM 3/2016

10B PERMENKUMHAM 10/2019


AFTAR ISI
11 ATURAN TEKNIS ORMAS YAYASAN

11A PP 63/2008

11B PP 2/2013

11C PERMENKUMHAM 2/2016

11D PERMENKUMHAM 13/2019

12 ATURAN TEKNIS KEUANGAN ORMAS

12A PERPRES 18/2017

12B PERMENDAGRI 38/2008

13 PUTUSAN MK

13A PUTUSAN MK 82 TAHUN 2013

13B PUTUSAN MK 3 TAHUN 2014

13C PUTUSAN MK NOMOR 2-PUU-XVI-2018

14 DRAF REVISI PP TANGGAL 13 JUNI 2023


1
UUD 1945
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEKRETARIAT JENDERAL
­­­­­­­­­­­­­­­­­­

UNDANG­UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DALAM SATU NASKAH

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEKRETARIAT JENDERAL
­­­­­­­­­­­­­­­­­­

UNDANG­UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM SATU NASKAH

UNDANG­UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1945

PEMBUKAAN

(Preambule)

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri­kemanusiaan dan peri­keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah


kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang­Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

UNDANG­UNDANG DASAR

BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN

Pasal 1

(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang­


Undang Dasar. ***)

(3) Negara Indonesia adalah negara hukum. ***)

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan


Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang­undang. ****)

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima


tahun di ibu kota negara.

(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara


yang terbanyak.

Pasal 3

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan


Undang­Undang Dasar. ***)

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil


Presiden. ***/****)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang­Undang
Dasar. ***/****)

BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

Pasal 4

(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut


Undang­Undang Dasar.

(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.

Pasal 5

(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang­undang kepada Dewan


Perwakilan Rakyat *)

(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang­


undang sebagaimana mestinya.

Pasal 6

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. ***)

(2) Syarat­syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undang­undang. ***)

Pasal 6A

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat. ***)

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum. ***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden. ***)

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden. ****)

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undang­undang. ***)

Pasal 7

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan. *)

Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa


jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
***)

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah


Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang­kurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh sekurang­kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan


seadil­adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling
lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu
diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil


Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk


memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***)

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian


Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang­kurangnya
3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang­kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat. ***)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan


Rakyat.***)

Pasal 8

(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya. ***)

(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat­lambatnya dalam


waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon
yang diusulkan oleh Presiden. ***)

(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama­sama.
Selambat­lambatnya tigapuluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai polotik yang psangan calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya. ****)

Pasal 9

(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah


menurut agama, atau berjanji dengan sungguh­sungguh dihadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):


“ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik­baiknya dan
seadil­adilnya, memegang teguh Undang­Undang Dasar dan menjalankan
segala undang­undang dan peraturannya dengan selurus­lurusnya serta
berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”.

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh­sungguh akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan
sebaik­baiknya dan seadil­adilnya, memegang teguh Undang­Undang Dasar
dan menjalankan segala undang­undang dan peraturannya dengan selurus­
lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa” . *)

(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak
dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh­sungguh di hadapan
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh
pimpinan Mahkamah Agung. *)

Pasal 10

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,


Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Pasal 11

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan


perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. ****)

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang


menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang­undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. ***)

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan


undang­undang. ***)

Pasal 12

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat­syarat dan akibatnya


keadaan bahaya ditetapkan dengan undang­undang.

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 13

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.

(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan


Dewan Perwakilan Rakyat. *)

(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)

Pasal 14

(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan


pertimbangan Mahkamah Agung. *)

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. *)

Pasal 15

Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain­lain tanda kehormatan yang
diatur dengan undang­undang. *)

Pasal 16

Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas


memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutanya
diatur dalam undang­undang. ****)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Dihapus. ****)

BAB V
KEMENTERIAN NEGARA

Pasal 17

(1) Presiden dibantu oleh menteri­menteri negara.

(2) Menteri­menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. *)

(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. *)

(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur


dalam undang­undang. ***)

BAB VI
PEMERINTAH DAERAH

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah­daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap­tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang­undang. **)

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota­anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. **)

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing­masing sebagai Kepala Pemerintah


Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. **)

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas­luasnya, kecuali urusan


pemerintahan yang oleh undang­undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan­
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang­undang. **)

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah


provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan Undang­undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. **)

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang­
undang. **)

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan­satuan pemerintahan daerah


yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang­
undang. **)

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan­kesatuan masyarakat hukum


adat serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang­undang. **)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB VII
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 19

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. **)

(2) Susunan Dewan Perwakilan rakyat diatur dengan undang­undang. **)

(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. **)

Pasal 20

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang­


undang. *)

(2) Setiap rancangan undang­undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat


dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. *)

(3) Jika rancangan undang­undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,


rancangan undang­undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. *)

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang­undang yang telah disetujui


bersama untuk menjadi undang­undang. *)

(5) Dalam hal rancangan undang­undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang­undang tersebut disetujui, rancangan undang­undang
tersebut sah menjadi undang­undang dan wajib diundangkan. **)

Pasal 20A

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan. **)

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal­pasal
lain Undang­Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. **)

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal­pasal lain Undang­Undang Dasar ini,
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang­undang. **)

Pasal 21

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan


undang­undang. *)

Pasal 22

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang­undang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan


Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.

Pasal 22A

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang­undang


diatur dengan undang­undang. **)

Pasal 22B

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya,


yang syarat­syarat dan tata caranya diatur dalam undang­undang. **)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB VIIA ***)
DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Pasal 22C

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum. ***)

(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama
dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.


***)

(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan


undang­undang. ***)

Pasal 22D

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan


Rakyat rancangan undang­undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. ***)

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang­undang yang


berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat atas rancangan undang­undang anggaran pendapatan
dan belanja negara dan rancangan undang­undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama. ***)

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan


undang­undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya,
yang syarat­syarat dan tata caranya diatur dalam undang­undang. ***)

BAB VIIB ***)


PEMILIHAN UMUM

Pasal 22E

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,


jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ***)

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan


Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. ***)

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. ***)

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. ***)

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang­
undang. ***)

BAB VIII
HAL KEUANGAN

Pasal 23

(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang­undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar­
besarnya kemakmuran rakyat. ***)

(2) Rancangan undang­undang anggaran pendapatan dan belanja negara


diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. ***)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
***)

Pasal 23A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang­undang. ***)

Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang­undang. ****)

Pasal 23C

Hal­hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang­undang.


***)

Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang­
undang. ****)

BAB VIIIA ***)


BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 23E

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan


negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
***)

(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan


Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sesuai dengan kewenangannya. ***)

(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan


dan/atau badan sesuai dengan undang­undang. ***)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 23F

(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden. ***)

(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota. ***)

Pasal 23G

(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi. ***)

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan
undang­undang. ***)

BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 24

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ***)

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)

(3) Badan­badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman


diatur dalam undang­undang. ****)

Pasal 24A

(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji


peraturan perundang­undangan di bawah undang­undang terhadap
undang­undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang­undang. ***)

(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden. ***)

(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
***)

(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung


serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang­undang. ***)

Pasal 24B

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan


pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. ***)

(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di


bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
***)

(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan


undang­undang. ***)

Pasal 24C

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang­undang
terhadap Undang­Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang­Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. ***)

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan


Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang­Undang Dasar. ***)

(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi


yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing­masing tiga orang

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden. ***)

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi. ***)

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta


ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang­
undang. ***)

Pasal 25

Syarat­syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim


ditetapkan dengan undang­undang.

BAB IXA **)


WILAYAH NEGARA

Pasal 25A****)

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan


yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas­batas dan hak­haknya
ditetapkan dengan undang­undang. **)

BAB X
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK **)

Pasal 26

(1) Yang menjadi warga negara ialah orang­orang bangsa Indonesia asli dan
orang­orang bangsa lain yang disahkan dengan undang­undang sebagai
warga negara.

(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia. **)

(3) Hal­hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang­
undang. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 27

(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan


pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

(2) Tiap­tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.

(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara. **)

Pasal 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan


lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang­undang.

BAB XA **)
HAK ASASI MANUSIA

Pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup


dan kehidupannya. **)

Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan


melalui perkawinan yang sah. **)
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. **)

Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan


dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. **)
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya. **)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. **)

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. **)

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. **)

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. **)

Pasal 28E

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. **)

(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran


dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. **)

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat. **)

Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi


untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **)

Pasal 28G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. **)

(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk


memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. **)

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan


pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang­wenang oleh siapa pun. **)

Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. **)

(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu. **)

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. **)

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia


adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. **)

(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan­undangan.
**)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. **)

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang­undang dengan
maksud semata­mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai­nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis. **)

BAB XI
AGAMA

Pasal 29

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap­tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing­masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

BAB XII
PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA **)

Pasal 30

(1) Tiap­tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. **)

(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem


pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. **)

(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. **)

(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya,
syarat­syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan diatur dengan undang­undang. **)

BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****)

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. ****)

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. ****)

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan


nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang­undang. ****)

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang­kurangnya dua


puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. ****)

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan


menjunjung tinggi nilai­nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia. ****)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 32

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban


dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam
mengembangkan nilai­nilai budayanya. ****)

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan


budaya nasional. ****)

BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL****)

Pasal 33

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas


kekeluargaan.

(2) Cabang­cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi


dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ****)

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang­undang. ****)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak­anak terlantar dipelihara oleh negara. ****)

(2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. ****)

(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan


dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang­undang. ****)

BAB XV
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA , SERTA
LAGU KEBANGSAAN **)

Pasal 35

Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Pasal 36

Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.

Pasal 36A

Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka


Tunggal Ika. **)

Pasal 36B

Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. **)

Pasal 36C

Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,


serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang­undang. **)

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB XVI
PERUBAHAN UNDANG­UNDANG DASAR

Pasal 37

(1) Usul perubahan pasal­pasal Undang­Undang Dasar dapat diagendakan


dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh
sekurang­kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. ****)

(2) Setiap usul perubahan pasal­pasal Undang­Undang Dasar diajukan secara


tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya. ****)

(3) Untuk mengubah pasal­pasal Undang­Undang Dasar, sidang Majelis


Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang­kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****)

(4) Putusan untuk mengubah pasal­pasal Undang­Undang Dasar dilakukan


dengan persetujuan sekurang­kurangnya limapuluh persen ditambah satu
anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. ****)

(5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan. ****)

ATURAN PERALIHAN

Pasal I

Segala peraturan perundang­undangan yang ada masih tetap berlaku


selama belum diadakan yang baru menurut Undang­Undang Dasar ini. ****)

Pasal II

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang­Undang Dasar dan belum diadakan yang baru
menurut Undang­Undang Dasar ini. ****)

Pasal III

Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat­lambatnya pada 17 Agustus 2003


dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
****)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
ATURAN TAMBAHAN

Pasal I

Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan


terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil
putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003. ****)

Pasal II

Dengan ditetapkannya perubahan Undang­Undang Dasar ini, Undang­


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan
dan pasal­pasal. ****)

_________

*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
2
UU 17/2013
-1-

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan


mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, setiap orang
wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain
dalam rangka tertib hukum serta menciptakan keadilan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
c. bahwa sebagai wadah dalam menjalankan kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,
organisasi kemasyarakatan berpartisipasi dalam
pembangunan untuk mewujudkan tujuan nasional dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu
diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Organisasi
Kemasyarakatan;
Mengingat . . .
-2-

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas
adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan
untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
2. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah
peraturan dasar Ormas.
3. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat ART
adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD
Ormas.
4. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Pemerintah . . .
-3-

5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,


dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri.

BAB II
ASAS, CIRI, DAN SIFAT
Pasal 2

Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan


kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pasal 4
Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan
demokratis.

BAB III
TUJUAN, FUNGSI, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 5

Ormas bertujuan untuk:


a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa;

d. melestarikan . . .
-4-

d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan


budaya yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan
toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.

Pasal 6

Ormas berfungsi sebagai sarana:


a. penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota
dan/atau tujuan organisasi;
b. pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan
tujuan organisasi;
c. penyalur aspirasi masyarakat;
d. pemberdayaan masyarakat;
e. pemenuhan pelayanan sosial;
f. partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau
g. pemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 7

(1) Ormas memiliki bidang kegiatan sesuai dengan AD/ART


masing-masing.
(2) Bidang kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan sifat, tujuan, dan fungsi Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 8

Ormas memiliki lingkup:


a. nasional;
b. provinsi; atau
c. kabupaten/kota.
BAB IV . . .
-5-

BAB IV
PENDIRIAN
Pasal 9

Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau


lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.

Pasal 10

(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat


berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berbasis anggota; atau
b. tidak berbasis anggota.

Pasal 11

(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 ayat (1) huruf a dapat berbentuk:
a. perkumpulan; atau
b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a didirikan dengan berbasis
anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b didirikan dengan tidak berbasis
anggota.

Pasal 12

(1) Badan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 ayat (1) huruf a didirikan dengan memenuhi
persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang
memuat AD dan ART;
b. program . . .
-6-

b. program kerja;
c. sumber pendanaan;
d. surat keterangan domisili;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; dan
f. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa
kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan.
(2) Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dilakukan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
meminta pertimbangan dari instansi terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum
perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang.

Pasal 13

Badan hukum yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


ayat (1) huruf b diatur dan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

(1) Dalam upaya mengoptimalkan peran dan fungsinya, Ormas


dapat membentuk suatu wadah berhimpun.
(2) Wadah berhimpun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak harus tunggal, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang.

BAB V . . .
-7-

BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 15

(1) Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah


mendapatkan pengesahan badan hukum.
(2) Pendaftaran Ormas berbadan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal telah memperoleh status badan hukum, Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan
surat keterangan terdaftar.

Pasal 16
(1) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b
dilakukan dengan pemberian surat keterangan terdaftar.
(2) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memenuhi persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengurus;
d. surat keterangan domisili;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas;
f. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan
atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
(3) Surat keterangan terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh:
a. Menteri bagi Ormas yang memiliki lingkup nasional;
b. gubernur bagi Ormas yang memiliki lingkup provinsi;
atau
c. bupati/walikota bagi Ormas yang memiliki lingkup
kabupaten/kota.
Pasal 17 . . .
-8-

Pasal 17

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) wajib melakukan
verifikasi dokumen pendaftaran paling lama 15 (lima belas)
hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen
pendaftaran.
(2) Dalam hal dokumen permohonan belum lengkap Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meminta Ormas pemohon untuk
melengkapinya dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja terhitung sejak tanggal penyampaian
ketidaklengkapan dokumen permohonan.
(3) Dalam hal Ormas lulus verifikasi, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberikan surat keterangan terdaftar dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

Pasal 18

(1) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum yang tidak


memenuhi persyaratan untuk diberi surat keterangan
terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan
pendataan sesuai dengan alamat dan domisili.
(2) Pendataan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh camat atau sebutan lain.
(3) Pendataan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. nama dan alamat organisasi;
b. nama pendiri;
c. tujuan dan kegiatan; dan
d. susunan pengurus.

Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan


pendataan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
Pasal 17, dan Pasal 18 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI . . .
-9-

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 20

Ormas berhak:
a. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara
mandiri dan terbuka;
b. memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan
lambang Ormas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi;
d. melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi;
e. mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan
dan kegiatan organisasi; dan
f. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta, Ormas lain, dan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan keberlanjutan organisasi.

Pasal 21

Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma
kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan
akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.

BAB VII . . .
- 10 -

BAB VII
ORGANISASI, KEDUDUKAN, DAN KEPENGURUSAN
Bagian Kesatu
Organisasi
Pasal 22

Ormas memiliki struktur organisasi dan kepengurusan.

Pasal 23

Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


huruf a memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah provinsi di
seluruh Indonesia.
Pasal 24

Ormas lingkup provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


huruf b memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

Pasal 25

Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 huruf c memiliki struktur organisasi dan kepengurusan
paling sedikit dalam 1 (satu) kecamatan.

Pasal 26
Ormas dapat memiliki struktur organisasi dan kepengurusan di
luar negeri sesuai dengan kebutuhan organisasi dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 27
Ormas dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua . . .
- 11 -

Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 28

Ormas berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia


yang ditentukan dalam AD.

Bagian Ketiga
Kepengurusan
Pasal 29

(1) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara


musyawarah dan mufakat.
(2) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua atau sebutan lain;
b. 1 (satu) orang sekretaris atau sebutan lain; dan
c. 1 (satu) orang bendahara atau sebutan lain.
(3) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertugas dan bertanggung jawab
atas pengelolaan Ormas.

Pasal 30
(1) Struktur kepengurusan, sistem pergantian, hak dan
kewajiban pengurus, wewenang, pembagian tugas, dan hal
lainnya yang berkaitan dengan kepengurusan diatur dalam
AD dan/atau ART.
(2) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan, susunan
kepengurusan yang baru diberitahukan kepada
kementerian, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan
kepengurusan.

Pasal 31 . . .
- 12 -

Pasal 31
(1) Pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan dari
kepengurusan tidak dapat membentuk kepengurusan
dan/atau mendirikan Ormas yang sama.
(2) Dalam hal pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk
kepengurusan dan/atau mendirikan Ormas yang sama,
keberadaan kepengurusan dan/atau Ormas yang sama
tersebut tidak diakui oleh Undang-Undang ini.

Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi,
kedudukan, dan kepengurusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 sampai dengan Pasal 31 diatur dalam AD dan/atau
ART.

BAB VIII
KEANGGOTAAN
Pasal 33

(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota


Ormas.
(2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.
(3) Keanggotaan Ormas diatur dalam AD dan/atau ART.

Pasal 34

(1) Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang


sama.
(2) Hak dan kewajiban anggota Ormas diatur dalam AD
dan/atau ART.

BAB IX . . .
- 13 -

BAB IX
AD DAN ART ORMAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35

(1) Setiap Ormas yang berbadan hukum dan yang terdaftar


wajib memiliki AD dan ART.
(2) AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi.

Bagian Kedua
Perubahan AD dan ART Ormas
Pasal 36

(1) Perubahan AD dan ART dilakukan melalui forum tertinggi


pengambilan keputusan Ormas.
(2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaporkan kepada kementerian, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak terjadinya perubahan AD dan ART.

BAB X . . .
- 14 -

BAB X
KEUANGAN
Pasal 37

(1) Keuangan Ormas dapat bersumber dari:


a. iuran anggota;
b. bantuan/sumbangan masyarakat;
c. hasil usaha Ormas;
d. bantuan/sumbangan dari orang asing atau lembaga asing;
e. kegiatan lain yang sah menurut hukum; dan/atau
f. anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan belanja daerah.
(2) Keuangan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
(3) Dalam hal melaksanakan pengelolaan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ormas menggunakan
rekening pada bank nasional.

Pasal 38

(1) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola dana dari


iuran anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a, Ormas wajib membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar
akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau
ART.
(2) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola
bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas wajib
mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara
berkala.
(3) Sumber keuangan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XI . . .
- 15 -

BAB XI
BADAN USAHA ORMAS
Pasal 39

(1) Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan


hidup organisasi, Ormas berbadan hukum dapat mendirikan
badan usaha.
(2) Tata kelola badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam AD dan/atau ART.
(3) Pendirian badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XII
PEMBERDAYAAN ORMAS
Pasal 40

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan


pemberdayaan Ormas untuk meningkatkan kinerja dan
menjaga keberlangsungan hidup Ormas.
(2) Dalam melakukan pemberdayaan Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah menghormati dan mempertimbangkan aspek
sejarah, rekam jejak, peran, dan integritas Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. fasilitasi kebijakan;
b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
c. peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(4) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a berupa peraturan perundang-undangan yang
mendukung pemberdayaan Ormas.

(5) Penguatan . . .
- 16 -

(5) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) huruf b dapat berupa:
a. penguatan manajemen organisasi;
b. penyediaan data dan informasi;
c. pengembangan kemitraan;
d. dukungan keahlian, program, dan pendampingan;
e. penguatan kepemimpinan dan kaderisasi;
f. pemberian penghargaan; dan/atau
g. penelitian dan pengembangan.
(6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat berupa:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. pemagangan; dan/atau
c. kursus.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 41

(1) Dalam hal pemberdayaan, Ormas dapat bekerja sama atau


mendapat dukungan dari Ormas lainnya, masyarakat,
dan/atau swasta.
(2) Kerja sama atau dukungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pemberian penghargaan, program,
bantuan, dan dukungan operasional organisasi.

Pasal 42

(1) Pemerintah membentuk sistem informasi Ormas untuk


meningkatkan pelayanan publik dan tertib administrasi.
(2) Sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau instansi
terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dalam negeri.
(3) Ketentuan . . .
- 17 -

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi Ormas


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING
Pasal 43

(1) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat


melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara
asing atau warga negara asing bersama warga negara
Indonesia; atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.

Pasal 44
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a
wajib memiliki izin Pemerintah.
(2) Izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. izin prinsip; dan
b. izin operasional.
(3) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri setelah memperoleh
pertimbangan tim perizinan.
(4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45 . . .
- 18 -

Pasal 45

(1) Untuk memperoleh izin prinsip, ormas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a harus
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan
Indonesia;
b. memiliki asas, tujuan, dan kegiatan organisasi yang
bersifat nirlaba.
(2) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang.
(3) Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin
prinsip berakhir.

Pasal 46

(1) Izin operasional bagi ormas sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 43 ayat (2) huruf a hanya dapat diberikan setelah
ormas mendapatkan izin prinsip.
(2) Untuk memperoleh izin operasional, ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a harus memiliki
perjanjian tertulis dengan Pemerintah sesuai dengan
bidang kegiatannya.
(3) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan tidak melebihi jangka waktu izin prinsip dan
dapat diperpanjang.
(4) Perpanjangan izin operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum izin operasional tersebut berakhir.

Pasal 47
(1) Badan hukum ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (2) huruf b dan huruf c disahkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia setelah
mendapatkan pertimbangan tim perizinan.
(2) Selain . . .
- 19 -

(2) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-


undangan di bidang yayasan, pengesahan badan hukum
yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau
warga negara asing bersama warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf b
wajib memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. warga negara asing yang mendirikan ormas tersebut
telah tinggal di Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut;
b. pemegang izin tinggal tetap;
c. jumlah kekayaan awal yayasan yang didirikan oleh
warga negara asing atau warga negara asing bersama
warga negara Indonesia, yang berasal dari pemisahan
harta kekayaan pribadi pendiri paling sedikit senilai
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang
dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan
hukum pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan
tersebut;
d. salah satu jabatan ketua, sekretaris, atau bendahara
dijabat oleh warga negara Indonesia; dan
e. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan ormas
berbadan hukum yayasan yang didirikan tidak
merugikan masyarakat, bangsa, dan/atau negara
Indonesia.
(3) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang yayasan, pengesahan badan hukum
yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf c,
wajib memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. badan hukum asing yang mendirikan yayasan tersebut
telah beroperasi di Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut;
b. jumlah kekayaan awal yayasan yang didirikan badan
hukum asing yang berasal dari pemisahan sebagian
harta kekayaan pendiri yang dijadikan kekayaan awal
yayasan paling sedikit senilai Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) yang dibuktikan dengan surat
pernyataan pengurus badan hukum pendiri mengenai
keabsahan harta kekayaan tersebut;
c. salah . . .
- 20 -

c. salah satu jabatan ketua, sekretaris, atau bendahara


dijabat oleh warga negara Indonesia; dan
d. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan ormas
berbadan hukum yayasan yang didirikan tidak
merugikan masyarakat, bangsa, dan/atau negara
Indonesia.

Pasal 48

Dalam melaksanakan kegiatannya, ormas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) wajib bermitra dengan
Pemerintah dan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia atas izin Pemerintah.

Pasal 49

Pembentukan tim perizinan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (1) dikoordinasikan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
luar negeri.

Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, tim perizinan, dan
pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 49
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) berkewajiban:
a. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-
undangan;

c. menghormati . . .
- 21 -

c. menghormati dan menghargai nilai-nilai agama dan adat


budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia;
d. memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia;
e. mengumumkan seluruh sumber, jumlah, dan penggunaan
dana; dan
f. membuat laporan kegiatan berkala kepada Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dan dipublikasikan kepada masyarakat
melalui media massa berbahasa Indonesia.

Pasal 52
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. melakukan kegiatan intelijen;
d. melakukan kegiatan politik;
e. melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan
diplomatik;
f. melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan
organisasi;
g. menggalang dana dari masyarakat Indonesia; dan
h. menggunakan sarana dan prasarana instansi atau lembaga
pemerintahan.

BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 53

(1) Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas Ormas atau


ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dilakukan pengawasan
internal dan eksternal.
(2) Pengawasan . . .
- 22 -

(2) Pengawasan internal terhadap Ormas atau ormas yang


didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan mekanisme
organisasi yang diatur dalam AD/ART.
(3) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah, dan/atau
Pemerintah Daerah.

Pasal 54
(1) Untuk menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas,
setiap Ormas atau ormas yang didirikan oleh warga negara
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
memiliki pengawas internal.
(2) Pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi untuk menegakkan kode etik organisasi dan
memutuskan pemberian sanksi dalam internal organisasi.
(3) Tugas dan kewenangan pengawas internal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam AD dan ART atau
peraturan organisasi.

Pasal 55

(1) Bentuk pengawasan oleh masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) dapat berupa pengaduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan oleh masyarakat,


Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah terhadap Ormas atau
ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB XV . . .
- 23 -

BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA ORGANISASI
Pasal 57

(1) Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas, Ormas


berwenang menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang
diatur dalam AD dan ART.
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi
mediasi atas permintaan para pihak yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 58
(1) Dalam hal mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat
ditempuh melalui pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan
upaya hukum kasasi.
(3) Sengketa Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan perkara dicatat di pengadilan negeri.
(4) Dalam hal putusan pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diajukan upaya hukum kasasi,
Mahkamah Agung wajib memutus dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.

BAB XVI
LARANGAN
Pasal 59

(1) Ormas dilarang:


a. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan
bendera atau lambang negara Republik Indonesia
menjadi bendera atau lambang Ormas;
b. menggunakan . . .
- 24 -

b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut


yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut
lembaga pemerintahan;
c. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang,
bendera negara lain atau lembaga/badan internasional
menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas;
d. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol
organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera,
atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang; atau
e. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda
gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau
tanda gambar Ormas lain atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama,
ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau
e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang
penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun
sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(4) Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila.
BAB XVII . . .
- 25 -

BAB XVII
SANKSI
Pasal 60

(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup


tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif
kepada Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 59.
(2) Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan upaya
persuasif sebelum menjatuhkan sanksi administratif kepada
Ormas yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Pasal 61

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60


ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian bantuan dan/atau hibah;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan
status badan hukum.

Pasal 62

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61


huruf a terdiri atas:
a. peringatan tertulis kesatu;
b. peringatan tertulis kedua; dan
c. peringatan tertulis ketiga.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan tertulis
tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
(3) Dalam hal Ormas telah mematuhi peringatan tertulis
sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
mencabut peringatan tertulis dimaksud.
(4) Dalam . . .
- 26 -

(4) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kesatu


dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan
peringatan tertulis kedua.
(5) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis kedua
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan
peringatan tertulis ketiga.

Pasal 63

(1) Dalam hal Ormas pernah dijatuhi peringatan tertulis kesatu


sebanyak 2 (dua) kali, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dapat menjatuhkan peringatan tertulis kedua.
(2) Dalam hal Ormas pernah dijatuhi peringatan tertulis kedua
sebanyak 2 (dua) kali, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dapat menjatuhkan peringatan tertulis ketiga.

Pasal 64

(1) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis ketiga


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (5) dan
Pasal 63 ayat (2), Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menjatuhkan sanksi berupa:
a. penghentian bantuan dan/atau hibah; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak memperoleh bantuan dan/atau
hibah, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

Pasal 65

(1) Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara


kegiatan terhadap Ormas lingkup nasional, Pemerintah wajib
meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan
hukum, Pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi
penghentian sementara kegiatan.
(3) Dalam . . .
- 27 -

(3) Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara


kegiatan terhadap Ormas lingkup provinsi atau
kabupaten/kota, kepala daerah wajib meminta
pertimbangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan
tingkatannya.

Pasal 66

(1) Sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b dijatuhkan untuk
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Dalam hal jangka waktu penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Ormas dapat
melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan Ormas.
(3) Dalam hal Ormas telah mematuhi sanksi penghentian
sementara kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dapat mencabut sanksi penghentian
sementara kegiatan.

Pasal 67

(1) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi


sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan
surat keterangan terdaftar.
(2) Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib meminta
pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebelum
menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Mahkamah Agung wajib memberikan pertimbangan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diterimanya permintaan pertimbangan hukum.

Pasal 68 . . .
- 28 -

Pasal 68

(1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi


penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pemerintah menjatuhkan
sanksi pencabutan status badan hukum.
(2) Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan setelah adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum.
(3) Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia.

Pasal 69

(1) Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya salinan putusan pembubaran
Ormas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Pasal 70

(1) Permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diajukan ke
pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan
tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Permohonan pembubaran Ormas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan kepada ketua pengadilan negeri
sesuai dengan tempat domisili hukum Ormas dan panitera
mencatat pendaftaran permohonan pembubaran sesuai
dengan tanggal pengajuan.

(3) Permohonan . . .
- 29 -

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus


disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah, permohonan
pembubaran Ormas berbadan hukum tidak dapat diterima.
(5) Pengadilan negeri menetapkan hari sidang dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
pendaftaran permohonan pembubaran Ormas.
(6) Surat pemanggilan sidang pemeriksaan pertama harus
sudah diterima secara patut oleh para pihak paling lambat
3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang.
(7) Dalam sidang pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), Ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk
membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di
persidangan.

Pasal 71

(1) Permohonan pembubaran Ormas sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 70 ayat (1) harus diputus oleh pengadilan negeri
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan dicatat.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari atas
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(3) Putusan pembubaran Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.

Pasal 72

Pengadilan negeri menyampaikan salinan putusan pembubaran


Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 kepada
pemohon, termohon, dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 73 . . .
- 30 -

Pasal 73

(1) Putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 71 hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi.
(2) Dalam hal putusan pengadilan negeri tidak diajukan upaya
hukum kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
salinan putusan pengadilan negeri disampaikan kepada
pemohon, termohon, dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung
sejak putusan diucapkan.

Pasal 74

(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73


ayat (1) diajukan dalam jangka waktu paling lama
14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan
pengadilan negeri diucapkan dan dihadiri oleh para pihak.
(2) Dalam hal pengucapan putusan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dihadiri oleh
para pihak, permohonan kasasi diajukan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak salinan
putusan diterima secara patut oleh para pihak.
(3) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didaftarkan pada pengadilan negeri yang telah memutus
pembubaran Ormas.
(4) Panitera mencatat permohonan kasasi pada tanggal
diterimanya permohonan dan kepada pemohon diberikan
tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera.
(5) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi
kepada panitera pengadilan dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permohonan
dicatat.

Pasal 75 . . .
- 31 -

Pasal 75
(1) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori
kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 kepada
termohon kasasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi
didaftarkan.
(2) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi
kepada panitera pengadilan paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak tanggal memori kasasi diterima.
(3) Panitera pengadilan wajib menyampaikan kontra memori
kasasi termohon kepada pemohon kasasi dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal
kontra memori kasasi diterima.
(4) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori
kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara
yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung dalam jangka
waktu paling lama 40 (empat puluh) hari terhitung sejak
tanggal permohonan kasasi didaftarkan atau paling lama
7 (tujuh) hari sejak kontra memori kasasi diterima.

Pasal 76
(1) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
ayat (5) tidak terpenuhi, ketua pengadilan negeri
menyampaikan surat keterangan kepada Mahkamah Agung
yang menyatakan bahwa pemohon kasasi tidak mengajukan
memori kasasi.
(2) Penyampaian surat keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
hari kerja sejak berakhirnya batas waktu penyampaian
memori kasasi.

Pasal 77
(1) Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi
dan menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan
kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
(2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
harus diputus dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.

Pasal 78 . . .
- 32 -

Pasal 78
(1) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan
putusan kasasi kepada panitera pengadilan negeri dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan kasasi diputus.
(2) Pengadilan negeri wajib menyampaikan salinan putusan
kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pemohon kasasi, termohon kasasi, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) hari kerja terhitung sejak putusan kasasi diterima.

Pasal 79
Dalam hal ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 atau Pasal 52, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional;
e. pembekuan izin prinsip;
f. pencabutan izin prinsip; dan/atau
g. sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 80
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 78
berlaku secara mutatis mutandis terhadap penjatuhan sanksi
untuk ormas berbadan hukum yayasan yang didirikan oleh
warga negara asing atau warga negara asing bersama warga
negara Indonesia, atau yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.

Pasal 81 . . .
- 33 -

Pasal 81
(1) Setiap orang yang merupakan anggota atau pengurus
Ormas, atau anggota atau pengurus ormas yang didirikan
oleh warga negara asing, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama melakukan tindak pidana, dipidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang yang merupakan anggota atau pengurus
Ormas, atau anggota atau pengurus ormas yang didirikan
oleh warga negara asing, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama melakukan tindakan yang menimbulkan
kerugian bagi pihak lain, pihak yang dirugikan berhak
mengajukan gugatan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai penjatuhan sanksi Ormas,
ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lainnya, dan
Ormas badan hukum yayasan yang didirikan warga negara
asing atau warga negara asing bersama warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 80
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 83
Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku:
a. Ormas yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya
Undang-Undang ini tetap diakui keberadaannya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini;
b. Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad
1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen)
yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tetap diakui keberadaan dan
kesejarahannya sebagai aset bangsa, tidak perlu melakukan
pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. surat . . .
- 34 -

c. Surat keterangan terdaftar yang sudah diterbitkan sebelum


Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai akhir
masa berlakunya; dan
d. ormas yang didirikan oleh warga negara asing, warga negara
asing bersama warga negara Indonesia, atau badan hukum
asing yang telah beroperasi harus menyesuaikan dengan
ketentuan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 84
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan Ormas, dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang Undang ini.

Pasal 85
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 3298) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 86
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

Pasal 87
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .
- 35 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 116

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN

I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara individu
ataupun kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai perwujudan hak asasi manusia.
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya
secara individu maupun kolektif, setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia lainnya dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis.
Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas dengan segala
bentuknya hadir, tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah
perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia, Ormas
merupakan wadah utama dalam pergerakan kemerdekaan di antaranya
Boedi Oetomo, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lain yang
didirikan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Peran dan rekam jejak
Ormas yang telah berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut
mengandung nilai sejarah dan merupakan aset bangsa yang sangat penting
bagi perjalanan bangsa dan negara.

Dinamika . . .
-2-

Dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan


membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan
jumlah Ormas, sebaran dan jenis kegiatan Ormas dalam kehidupan
demokrasi makin menuntut peran, fungsi dan tanggung jawab Ormas untuk
berpartisipasi dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Peningkatan peran dan fungsi Ormas dalam
pembangunan memberi konsekuensi pentingnya membangun sistem
pengelolaan Ormas yang memenuhi kaidah Ormas yang sehat sebagai
organisasi nirlaba yang demokratis, profesional, mandiri, transparan, dan
akuntabel.
Pancasila merupakan dasar dan falsafah dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, setiap warga Negara, baik
secara individu maupun kolektif, termasuk Ormas wajib menjadikan
Pancasila sebagai napas, jiwa, dan semangat dalam mengelola Ormas.
Pengakuan dan penghormatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar dan falsafah
berbangsa dan bernegara, tetap menghargai dan menghormati
kebhinnekaan Ormas yang memiliki asas perjuangan organisasi yang tidak
bertentangan dengan Pancasila, dan begitu pula Ormas yang menjadikan
Pancasila sebagai asas organisasinya.
Pergaulan internasional membawa konsekuensi terjadinya interaksi antara
Ormas di suatu negara dan negara lain. Kehadiran Ormas dari negara lain
di Indonesia harus tetap menghormati kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara,
serta tetap menghormati nilai sosial budaya masyarakat, patuh dan tunduk
pada hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang
mengatur Ormas yang didirikan warga negara asing dan badan hukum
asing yang beroperasi di Indonesia.
Dinamika Ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut pengelolaan dan
pengaturan hukum yang lebih komprehensif. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44) yang ada saat ini sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan penggantian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Undang-Undang . . .
-3-

Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan terdiri atas 19 Bab


dan 87 Pasal. Undang-undang ini mengatur mengenai: pengertian; asas,
ciri, dan sifat; tujuan, fungsi, dan ruang lingkup; pendirian; pendaftaran;
hak dan kewajiban; organisasi, kedudukan, dan kepengurusan;
keanggotaan; AD dan ART; keuangan; badan usaha; dan pemberdayaan
Ormas. Selain itu, Undang-Undang ini mengatur mengenai ormas yang
didirikan oleh warga negara asing ataupun ormas asing yang beraktivitas di
Indonesia; pengawasan; penyelesaian sengketa organisasi; larangan; dan
sanksi. Pengaturan tersebut diharapkan dapat menjadi aturan yang lebih
baik dan memberikan manfaat kepada sistem kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g . . .
-4-

Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “mewujudkan tujuan negara” adalah
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial”.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15 . . .
-5-

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
-6-

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42 . . .
-7-

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan politik” adalah kegiatan yang
mengganggu stabilitas politik dalam negeri, penggalangan dana
untuk jabatan politik, atau propaganda politik.
Huruf e . . .
-8-

Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana pada instansi
atau lembaga Pemerintahan”, antara lain kantor, kendaraan
dinas, pegawai, dan peralatan dinas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa izin” adalah tanpa izin dari
pemilik nama, pemilik lambang, atau bendera negara,
lembaga/badan internasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat 2 . . .
-9-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan „‟ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila‟‟ adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-
leninisme.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghentian bantuan dan/atau hibah”
adalah penghentian oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah atas bantuan dan/atau hibah yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Huruf c
Penghentian sementara kegiatan dalam ketentuan ini tidak
termasuk kegiatan internal, seperti rapat internal Ormas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67 . . .
- 10 -

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “permohonan” tidak dapat diartikan
sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte, tetapi
harus diperiksa secara contentiusa, yaitu pihak yang
berkepentingan harus ditarik sebagai termohon untuk memenuhi
asas audi et alteram partem.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75 . . .
- 11 -

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5430


3
UU 16/2017
SALINAN

rJRES IDEI{
REPusrttr tNDohtEsl/\

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2017

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMEzuNTAH PENGGANTI UNDANG -UNDANG


NOMOR 2 TAHUN 2OT7 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan Negara


Kesatuan Republik Ir.rdonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun L945, negara wqiib menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa;
b. bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan negara
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor L7 Tahun 2OL3 tentang Organisasi
Kemasyarakatag pada tanggal 10 Juli 2Ol7;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2OLT tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OL3
tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-
Undang;
Mengingat.
rJRES IDEN
REFU13LIK INDOI.{EsIA

-2-
Mengingat: 1.
iasal 5 ayat (1), Pasal 2A, pasal 22 ayat..(2)Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945;

2. Undang-Undang Nomor LT Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nornor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5a30);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN


PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2OI7 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN MENJADI UNDANG.UNDANG.

Pasal 1

Peraturan Pemerintatr Pengganti undang-Und,ang Nomor 2


Tahun 2Ot7 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2oL3 tentang organisasi Kemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OIZ
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Repubrik Indonesia
Nomor 6084) ditetapkan menjadi Undang-Undang dan
melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan aari
Undang-Undang ini.

Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal d.iundangkan.

Agar
rJRES IDEN
RET,UBLIK INDOI.IEIiI/\

-3-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2OL7

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2Ol7

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OI7 NOMOR 239

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Plt. Asisten Deputi Bidang Pemerintahan Dalam
Otonomi Daerah, Deputi Bidang
Peryndang-undangan,

.stuti Sukardi
rJRES IDEN
REFU htLlt( | trt Dr}trlESt/\

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2OL7

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG


NOMOR 2 TAHUN 2OL7 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2OL3 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
MENJADI UNDANG.UNDANG

I. UMUM

Dalam r€rngka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik tndonesia


berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun I9+5, negara w4jib menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa. Atas dasar pertimbangan tersebut, Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2OI7 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan pada tanggal 10 Juli 2017.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2OLT


tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OL3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan telah mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Ralryat pada tanggal 24 Oktober 2017 berdasarkan ketentuan
Pasal 22 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sehingga perlu ditetapkan menjadi Undang-Undang.
undang-undang ini pada prinsipnya mengatur mengenai penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2Ol7
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menj adi Undang-Undang.

II. PASAL
ffi
REPUISLII( INDOhIE[iIA

-2-
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6139


ffi
frREg IDEI'l
REPUKILII{ INDOhIESIA.

LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2OL7
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG.UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2OI7 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OL3
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
MENJADI UNDANG-UNDANG

PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2AL7
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang a. bahwa negara berkewajiban melindungi kedauiatan


Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi
kemasyarakatan yang didasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan perbuatan yang sangat tercela
dalam pandangan moraliias bangsa- Indonesia terlepas
dari latar belakang etnis, agama, dan kebangsaan
pelakunya;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ot3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan mendesak untuk segera
dil.akukan perubahan karena belum mengatur secara
komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 194S sehingga terjadi
kekosongan hukum dalam hal penerap€rn sanksi Vang
efektif;
d.bahwa...
ffi
rJRES IDEN
RrPusut( il{DoI.tEStA

2-

d. bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang


dalam kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar organisasi
kemasyarakatan yang telah terdaftar dan telah disahkan
Pemerintah, dan bahkan secara faktual terbukti ada asas
organisasi kemasyarakatan dan kegiatannya yang
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 7945;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ol3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan belum menganut asas
contraius.actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan
sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila
dan .Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2OL3 tentang Organisasi
Kemasyarakatan;
Mengingat 1. Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun L945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OI3 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5a30);

MEMUTUSKAN:

MenetapKan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG


TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17
TAHUN 2OI3 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor tZ
Tahun 2oL3 tentang organisasi Kemasyarakatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OL3 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5430) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan .
ffi
PRES IDEr{
Ri:puBltt( tNDol..tE$lA

.3-

1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubatr sehingga berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya
disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD
adalah peraturan dasar Ormas.
3. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat
ART adalah peraturan yang dibentuk sebagai
penjabaran AD Ormas.
4. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.
2. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan natna, lambang, bendera, atau
atribut yang sama dengan narna, lambang,
bendera, atau atribut lembaga pernerintahan;

b. menggunakan
PRES IDEl.{
RETJUEILIIl INIDOI!ESIA

4-

b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang,


bendera negara lain atau lembaga/badan
internasional menjadi narna, lambang, atau
bendera Ormas; dan/atau
c. menggunakan n€una, lambang, bendera, atau
tanda gambar yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nEuna,
lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain
atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak
manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan / atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan pennusuhan terhadap suku,
agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyatatrgunaan, penistaan, atau
penodaan terhadap agama yang dianut di
Indonesia;
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, atau
merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan
wewenartg penegak hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-und angan.
t4l Ormas dilarang:
a. menggunakan narrra, lambang, bendera, atau
simbol organisasi yang mempunyai persamaErn
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
n€una, lambang, bendera, atau simbol organisasi
gerakan separatis atau organisasi terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancarrr
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
dan/atau
c. menganut.
rJRES IDEN
REpusltr( tNtDot!Etit/A

-5-

c. menganut, mengembangkan, serta. menyebarkan


ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila.

3. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 60
(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59
ayat (1) dan ayat (21dijatuhi sanksi administratif.
(21 Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan
ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana.

4. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 61
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan; dan/atau
c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
(21 Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal a3 ayat l2l
selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga
dikenakan sanksi keimigrasian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (2) berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh
Menteri; atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri
yang menyelenggarakan urusarr pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.

(a) Dalam
rJRES IDEN
REPUEILII( II{DOI{E$IA

-6-
(4) Dalam melakukan pencabutan . . sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dapat meminta
pertimbangan dari instansi terkait.

5. Ketentuan Pasal 62 diubatr sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 62
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud datam
Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu)
kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan
tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusarr pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian
kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi
penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat l2l, Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan peinerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya melakukan pencabutan surat
keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum.

6. Ketentuan Pasal 63 dihapus.

7. Ketentuan Pasal 64 dihapus.

8. Ketentuan Pasal 65 dihapus.

9. Ketentuan Pasal 66 dihapus.

10. Ketentuan Pasal 67 dihapus.

11. Ketentuan Pasal 68 dihapus.


12. Ketentuan
ffi
PREg lDEI{
REPUHLII( INDoI!EsIA

-7 -

L2. Ketentuan Pasal 69 dihapus.

13. Ketentuan Pasal 70 dihapus.

14. Ketentuan Pasal 71 dihapus.

15. Ketentuan Pasal 72 dihapus.


16, Ketentuan Pasal T3 dihapus.

17. Ketentuan Pasal 74 dihapus.

18. Ketentuan Pasal 75 dihapus.

19. Ketentuan Pasal 76 dihapus.

20. Ketentuan Pasal 77 dihapus.

2L. Ketentuan Pasal 78 dihapus.

22. Ketentuan Pasal 79 dihapus.

23. Ketentuan Pasal 80 dihapus.

24. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 80A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 80A
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3)
huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

25. Ketentuan Pasal 81 dihapus.

26. Di antara BAB XVII dan BAB XVIII disisipkan 1 (satu)


BAB, yakni BAB XVIIA yang berbunyi sebagai berikut:

BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA

27 . Di antara .
REPU
ffiPRES I DEN
t:,Lll( | lrtDClhtEgtA

-8-
27. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan.l (satu) pasal,
yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82A
(1) Setiap orarlg yang menjadi anggota dan/atau
pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara
langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3)
huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
1 (satu) tahun.
l2l Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau
pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara
langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
.sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3)
huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.
(3) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana
tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan pidana.

28. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal,


yatni Pasal 83A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 83A
Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor L7 Tahun 2OL3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini.

Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar .
ffi
REfTUEILIK lNDr}t.tEStA

-9 -

Agar setiap orang mengetahuinya, nlgmerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1O Juli 2Ol7
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2Ol7
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OI7 NOMOR 138


PRES IDEI{
RElrUElLll( il\DOtrtESt/\

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2OL7
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OL3
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

I. UMUM
Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
"Kemudian daripada itu unhtk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia Aang melindungi segenap bangsa Indoruesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dqn unfitk memajukan kesejahteraan rtmum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia Aqng
berdasarkan kem.erdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosfal, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ifit dalam suafit Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Aang terbenfuk dalam suattt
susunan Negara Republik Indonesia Aang berkedaulatan rakyat dengan
berdasdr kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Aang adil d.an
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakgatan Aang dipimpin oleh hikmat
kebijal<sanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilary serta d.engan
meuujudkan suatu Keadilan sosral bagi seluruh rakgat Ind.onesia".

wujud dari bunyi alinea keempat undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain telah dicantumkan di dalam
Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun lg41
yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Ndgara Kesatuan Republik
Indonesia.

Untuk
FIRESIDEN
REpuBltK tNDoruEsl/\

-2-
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemerintah telah mengundangkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ot3 tentang Organisasi Kemasyarakatan
dan undang-Undang Nomor 9 Tatrun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka umum. Di dalam kedua Undang-Undang
tersebut telah dicantumkan hak-hak setiap warga Negara sebagai bentuk
perlindungan Pemerintah terhadap hak d.sasi manusia (HAM). Namun
demikian, di dalam rangka perlindungan hak asasi manusia tersebut, setiap
warga negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi orang lain.

Penegasan mengenai perlindungan hak asasi manusia dan kewajiban asasi


manusia telah dicantumkan di dalam Pasal 28J yang berbunyi:
(1) Setiap orang utajib menglrcrmati hak asasf manusia orang lain d"alam tertib
ke hidup an b er masg ar aka\ b erb ang s a, dan b erneg ar a.
(2) Dalam menjalankan lwk dan kebebasannga, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasart Aang ditetapkan dengan undang-undang dengan
malcsud sematiz-mata unhtk menjamin pengalstan serta penglwrmatan
atas hak'dan kebebasan orang lain dan unhtk memenuhi tuntutan Aang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, niloi-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suafit masgarakat demakratis.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak bersifat absolut (relatif). Hal ini sejalan dengan
pandangan ASEAN di dalam butir pertama dan kedua Bangkok Declaration
on Human Rights 1993.

"First tlere is the matter of fair apptication: tlrc approach to human rights tr;,rs
to be '6alanced'; 'double standard.s in the implementation of human r@hts' are
to be auoided; 'concern' ls expressed about the prioritg accorded 'one categorg
of rights'; 'economic, social, atltural, ciuil and political rights' are
interdependent and 'indiuisible and rrutst tlwrefore be 'addressed in an
integrated and balance m.anner'. The barelg disguised subtert here is thnt ciuil
and political ights (with their assertions of democratic and protest rights) lnue
been uronglg prioritised bg the supporters of lrumnn ights in tle Global North
tttith tle result that tle subject of human rights ofien appears exhausted once
th.e issue of democratic freedom l:r,s been fuUA uentilated. In fact from tle
Bangkok perspectiue,. social and economic rights are of at least equal
importanceo.

Second.
T.lRESIDEN
RErruBttx u\DaNE$lA

-3-
Second the declaration introduces the notion of regional ualues as potentiatty in
opposition to human rights. Ttte 'diuerse and rich qtltures and traditioni 'of
Asia need to be better recognised.. '[Qconfrontation and. th.e imposition if
incompatible ualues' are to be auoided. Tlwugh'unh)ersal in nature', hrtman
rights must, as the, substance of the declaration went on to sag, 'be considered.
in the antert of a dynamic and euoluing process of international norm-setting,
bearing in mind tl.rc signifrcance of national and regional partia,ttarities and.
u arious historical, cttltural and religious b ackgrounds" .

Berdasarkan Deklarasi HAM ASEAN di Bangkok tersebut menegaskan


bahwa Deklarasi HAM universal dalam konteks ASEAN harus
mempertimbangkan kekhususan yang bersifat regional dan nasional dan
berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama, sehingga penafsiran
Deklarasi HAM Universal tidak seharusnya ditafsirkan dan diwujudkan
secara bertentangan dengan ketiga latar belakang dimaksud.

Perkembangan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana


diuraikan, baik dari aspek nasional, regional, maupun internasional telah
membedakan perlindungan hak asasi manusia dalam keadaan normal
(damai) dan dalam keadaan darurat (emergencgl. Di dalam hukum nasional,
Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan beberapa Undang-Undang lain terkait
perlindungan hak asasi manusia serta Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang merupakan keadaan yang
mengecualikan perlindungan hak asasi manusia. Pengecualian tersebut
secara konstitusional dilandaskan pada Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut:
oDalam hal ifutal kegentingdn
Aang m.emaksa, Presiden berhak menetapkan
p erafitran p e me rintah s e b ag ai p e ng g anti undang -undang " .

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


Nomor 138/Puu-vrl/2oo9, dijelaskan 3 (tiga) persyaratan keadaan yang
harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,'yakni sebagai
berikut:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalaLr hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga tedadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. KekosongErn hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan c€rra rnernbuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup 1"T" sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
Ketiga .
JRESIDEN
REtrut3LtK il{DC)t{EstA

-4-
Ketiga karakteristik "hal ihwal kegentingan yang memaksa" tersebut
juga sejalan dengan artikel 4 Internationat Ciuenant on Ciuil' and. politicat
Rights (ICCPR), sebagai berikut:

"In time of public effLergencA which threatens the life of the nation and. tlrc
exbtence of which is offtciallg proctaim.ed., tle States Parties to the present
Couenant may take rleesures derogating from their obligations und"er the
present Couenant to the ertent strbtlg required by ttte exigencies of the
sifuation, prouided that such measures are not inconsistent iitn fiieir other
obligations under international law and d"o not inuolue discrimination solelg on
the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin".

Merujuk pada artikel 4 ICCPR di atas, jelas bahwa yang dimaksud


dengan "hal ihwal kegentingan yang memaksa" adalah termasul "tlveatens
*E lW of tlw nation and th.e existence of uthich is offrciallg proclaimed.
(ancaman terhadap masa depan kehidupan bangsa Indonesia dan
keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia). Penilaian atas ancaman
terhadap kehidupan bangsa Ind,onesia dan eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan merujuk pada Artikel 4 ICCPR dan dikuatkan
dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun L945, sehingga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam
rangka melindungi hak asasi manusia dengan alasan khusus situasi dalam
keadaam darurat tersebut.

Keadaan darurat yang dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan


Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain kegiatan Ormas tertentu
yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain, ucapan,
pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun tertulis, meialui
media , elektronik ataupun tidak memakai media elektronik, yang
menimbulkan kebencian baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap
mereka yang termasuk ke dalam penyelenggara nega-ra. Tindakan tersebut
merupakan tindakan potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota
masyarakat sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk
dicegah dan diatasi aparat penegak hukum.

Pelanggaran terhadap asas-asas Ormas yang telah menegaskan tidak


bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat
dicelakan oleh pengurus atau Ormas yang bersangkutan karena telah
melanggar kesepakatan para pendiri Negara Kesatuan Republik Ind.onesia,
sebagaimana telah diwujudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelanggaran terhadap asas Ormas
yang telah mengakui Pancasila dan Undang-Und.ang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, merupakan wujud pikiran, niat jahaiyang semula
telah ada sejak Ormas tersebut didaftarkan.
Maksud . . .
rJRES IDET{
REPUEtLil( | trt DotrtEgt/l

-5-

Maksud dan tujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


ini adalah untuk membedakan dan sekaligus melindungi ormas yang
mematuhi dan konsisten dengan asas dan tujuan Ormls berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Iiepublik Ind.onesia Tahun
1945 dan Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara liepublik Indonesia
Tahun 1945. Peraturan Pemerintah Pengganti Unaang-tindang ini telah
memisahkan kedua golongan Ormas tersebut dan diJertai dengan jenis
sanksi dan penerapannya yang bersifat luar biasa.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 59
Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanpa iztn" adalah tanpa izin
dari pemilik narna, pemilik lambang, atau bendera
negara, lembaga/badan internasional.
Huruf c
Cukup jelas.

Ayat (2)
rJRES IDE}{
REPUBLIK II{DoI'.IEsIA

-6-
Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)

Huruf a
Yang dimaksud dengan ."tindakan permusuhan" adalah
ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara
lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik
maupun tidak melalui media elektronik yang
menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok
tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke
penyelenggara negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Hu.ruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang menjadi tugas
dan wewenang penegak hukum" adalah tindakan
penangkapan, penahanan dan membatasi kebebasan
bergerak seseorang karena latar belakang etnis, agErma
dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku,

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "melakukan kegiatan separatis"
adalah kegiatan yang ditujukan untuk memisahkan
bagian dari atau seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau menguasai bagian atau seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik atas
dasar etnis, agama, maupun ras.

Huruf c
frRES lDEf{
REF!UElLll( tNDOt.tEStA

-7-

'"tTjr* dimaksud dengan ,,ajaran atau paham yang


bertentangan dengan Pancasila" antara lain ajaran
ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham
lain yang bertujuan mengg€u1ti/mengubah pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Angka 3
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 61
Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "penjatuhan sanksi administratif


berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan
pencabutan status badan hukum" adalah sanksi yang
bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh
Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-
nyata mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia.Tahun t945, sehingga
Pemerintah berwenang melakukan pencabutan.
Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan
status badan hukum Ormas sudah sesuai dengan asas
contrarius actrts, sehingga pejabat yang berwenang
menerbitkan surat keterangan/surat keputusan juga
berwenang untuk melakukan pencabutan,
Ayat (a)
Yang dimaksud dengan "instansi terkait" adalah
kementerian/lembaga di bawah koordinasi menteri yang
membidangi sinkronisasi dan koordinasi urusan
pemerintahan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Angka 5 .
. PRESIDEN
REPUEILIK INDOhIESIA

-8-
Angka 5
Pasal 62
Cukup jelas.

Angka 6
Pasal 63
Dihapus.

Angka 7
Pasal 64
Dihapus.

Angka 8
Pasal 65
Dihapus.
Angka 9
Pasal 66
Dihapus.

Angka 10
Pasal 67
Dihapus.
Angka 11
Pasal 68
Dihapus.
Angka 12
Pasal 69
Dihapus.
Angka 13
Pasal 70
Dihapus.

Angka L+. . .
ffi
PRES IDEN
REtruEtLlK il{D(}t{EstA

-9 -

Angka 14
Pasal 71
Dihapus.

Angka 15
Pasd 72
Dihapus.
Angka 16
Pasal 73
Dihapus.

Angka 17
Pasal 74
Dihapus.

Angka 18
Pasal 75
Dihapus.
Angka 19
Pasal 76
Dihapus.

Angka 20
Pasal 77
Dihapus.

Angka 21
Pasal 78
Dihapus.
Angka22
Pasal 79
Dihapus.

Angka 23
rJRES IDEN
REPUEILIK II\DoI.IESI/\

-10
Angka 23
Pasal 80
Dihapus.

Angka 24
Pasal 80A
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 81
Dihapus.
Angka 26

Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 82A
Ayat (1)

Yang dimaksud "dengan sengaja', adalah adanya niat atau


kesengajaan dalam bentuk apapun (kesengajaan dengan
kemungkinan, keseng4jaan dengan maksud/tujuan, arrr
kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu, kesengajaan telah
nyata dari adanya "persiapan perbuatan" luoorbereidingings
handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan
adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat.

Yang dimaksud dengan "secara langsung atau tidak


langsung" adalah pernyataan pikiran dan atau kegiatan
Ormas yang sejak pendaftaran untuk disahkan sebagai
badan hukum atau bukan badan hukum, telah memiliki niat
jahat (mens-real atau itikad tidak baik yang terkandung di
balik pernyataan tertulis pengakuan sebagai Ormas yang
berasaskan Pancasila dan undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun L94S yang dinyatakan dan
tercantum di dalam Anggaran Dasar ormas, namun di dalam
kegiatannya terkandung pikiran' atau perbuatan yang
b-ertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Oasa,
Negara Republik Indonesia Tahun Lg4S.

Ayat (2)
PRES IDET{
RErJU BLII( II\DoI!EsIA

- 11-

Ayat (2)

Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 83A
Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6084


4
UU 16/2001
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG
YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan
dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Yayasan;
b. bahwa Yayasan di Indonesia telah berkembang pesat dengan berbagai kegiatan,
maksud, dan tujuan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai
dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
kepada masyarakat, perlu membentuk Undang-undang tentang Yayasan;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN.

BAB I …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota.
2. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Yayasan.
3. Kejaksaan adalah Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Yayasan.
4. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin untuk menjalankan pekerjaan sebagai akuntan
publik.
5. Hari adalah hari kerja.
6. Menteri adalah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 2

Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas .

Pasal 3

(1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya
dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan
Pengawas.

Pasal 4

Yayasan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam
Anggaran Dasar.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -

Pasl 5 …

Pasal 5

Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan
berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung
kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap
Yayasan.

Pasal 6

Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam rangka
menjalankan tugas Yayasan.

Pasal 7

(1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan
yayasan.
(2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif
dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari
seluruh nilai kekayaan Yayasan.
(3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota
Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 8

Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan
maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II
PENDIRIAN
Pasal 9

(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -

pendirinya, sebagai kekayaan awal.


(2) Pendirian …

(2) Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan
dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.
(4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
(5) Dalam hal Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan oleh orang asing atau
bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan tersebut diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10

(1) Dalam pembuatan akta pendirian Yayasan, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat
kuasa.
(2) Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat bertindak
mewakili pemberi wasiat.
(3) Dalam hal surat wasiat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilaksanakan, maka atas
permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau penerima
wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.

Pasal 11

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.
(2) Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagai badan
hukum dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan.
(3) Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.

Pasal 12

(1) Pengesahan akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diajukan oleh pendiri
atau kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal …

(3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) pengesahan
diberikan atau tidak diberikan dalam jangka waktu:
a. paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan
pertimbangan diterima dari instansi terkait; atau
b. setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan
pertimbangan kepada instansi terkait tidak diterima.

Pasal 13

(1) Dalam hal permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditolak,
Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada pemohon
mengenai penolakan pengesahan tersebut.
(2) Alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bahwa permohonan yang
diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau peraturan
pelaksanaannya.

Pasal 14

(1) Akta pendirian memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu.
(2) Anggaran Dasar Yayasan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan tempat kedudukan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. jangka waktu pendirian;
d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang
atau benda;
e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas;
g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -

k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah


pembubaran.

(3) Keterangan …

(3) Keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang-kurangnya nama,
alamat, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan Pendiri, Pembina, Pengurus,
dan Pengawas.
(4) Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi Pendiri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Yayasan tidak boleh memakai nama yang:


a. telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; atau
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
(2) Nama Yayasan harus didahului dengan kata “Yayasan”.
(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, kata “wakaf” dapat ditambahkan setelah kata
“Yayasan”.
(4) Ketentuan mengenai pemakaian nama Yayasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

(1) Yayasan dapat didirikan untuk jangka waktu tertentu atau tidak tertentu yang diatur dalam
Anggaran Dasar.
(2) Dalam hal Yayasan didirikan untuk jangka waktu tertentu, Pengurus dapat mengajukan
perpanjangan jangka waktu pendirian kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu pendirian Yayasan.

BAB III
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 17

Anggaran Dasar dapat diubah, kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan.

Pasal 18
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -

(1) Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina.
(2) Rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan, apabila dihadiri
oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Pembina.
(3) Perubahan …

(3) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris
dan dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 19

(1) Keputusan rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan rapat berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak tercapai, keputusan ditetapkan berdasarkan persetujuan paling sedikit 2/3
(dua per tiga) dari seluruh jumlah anggota Pembina yang hadir.

Pasal 20

(1) Dalam hal korum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) tidak tercapai, rapat Pembina
yang kedua dapat diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal rapat Pembina
yang pertama diselenggarakan.
(2) Rapat Pembina yang kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sah, apabila dihadiri oleh lebih
dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh anggota Pembina.
(3) Keputusan rapat Pembina yang kedua sah, apabila diambil berdasarkan persetujuan suara
terbanyak dari jumlah anggota Pembina yang hadir.

Pasal 21

(1) Perubahan Anggaran Dasar yang meliputi nama dan kegiatan Yayasan harus mendapat
persetujuan Menteri.
(2) Perubahan Anggaran Dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada Menteri.

Pasal 22

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 secara mutatis mutandis berlaku juga
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -

bagi permohonan perubahan Anggaran Dasar, pemberian persetujuan, dan penolakan atas perubahan
Anggaran Dasar.

Pasal 23 …

Pasal 23

Perubahan Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan pada saat Yayasan dinyatakan dalam keadaan pailit,
kecuali atas persetujuan kurator.

BAB IV
PENGUMUMAN

Pasal 24

(1) Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran
Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan permohonannya oleh Pengurus
Yayasan atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik Indonesia dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan yang disahkan
atau perubahan Anggaran Dasar yang disetujui.
(3) Ketentuan mengenai besarnya biaya pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25

Selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 belum dilakukan, Pengurus Yayasan
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas seluruh kerugian Yayasan.

BAB V
KEKAYAAN

Pasal 26
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -

(1) Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau
barang.
(2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari :
a. sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
b. wakaf;
c. hibah;
d. hibah …

d. hibah wasiat; dan


e. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan.
(4) Kekayaan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan untuk
mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Pasal 27

(1) Dalam hal-hal tertentu Negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
ORGAN YAYASAN
Bagian Pertama
Pembina

Pasal 28

(1) Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada
Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -

(3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat
anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan
Yayasan.
(4) Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota
Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Keputusan …
(5) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) sah apabila dilakukan sesuai
dengan ketentuan mengenai korum kehadiran dan korum keputusan untuk perubahan Anggaran
Dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.

Pasal 29

Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas.

Pasal 30

(1) Pembina mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.


(2) Dalam rapat tahunan, Pembina melakukan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban
Yayasan tahun yang lampau sebagai dasar pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan
Yayasan untuk tahun yang akan datang.

Bagian Kedua
Pengurus
Pasal 31

(1) Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.


(2) Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan
perbuatan hukum.
(3) Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.

Pasal 32
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -

(1) Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka
waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. seorang ketua;
b. seorang sekretaris; dan
c. seorang bendahara.
(3) Dalam hal Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selama menjalankan tugas melakukan
tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan keputusan rapat
Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir.
(4) Ketentuan …
(4) Ketentuan mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar.

Pasal 33

(1) Dalam hal terdapat penggantian Pengurus Yayasan, Pembina wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengurus Yayasan.

Pasal 34

Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian Pengurus dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan
dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian,
atau penggantian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
pembatalan diajukan.
Pasal 35

(1) Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan
tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
(2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan dan tujuan Yayasan.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengurus dapat mengangkat
dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -

Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.


(5) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam
menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan
kerugian Yayasan atau pihak ketiga.

Pasal 36

(1) Anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila:


a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang
bersangkutan; atau
b. anggota …
b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan
dengan kepentingan Yayasan.
(2) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berhak mewakili
Yayasan ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 37

(1) Pengurus tidak berwenang:


a. mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
b. mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan
c. membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
(2) Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam melakukan perbuatan hukum
untuk dan atas nama Yayasan.

Pasal 38

(1) Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan,
Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal perjanjian tersebut
bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.

Pasal 39

(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -

secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.


(2) Anggota Pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan yang
menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan pengadilan,
maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.

Bagian Ketiga …

Bagian Ketiga
Pengawas

Pasal 40

(1) Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat
kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.
(2) Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang,
tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan
perbuatan hukum.
(4) Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.

Pasal 41

(1) Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan
rapat Pembina.
(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan umum, Pengadilan
dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian tersebut.

Pasal 42

Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -

Yayasan.
Pasal 43

(1) Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, wajib dilaporkan secara tertulis kepada
Pembina.
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima, Pembina wajib
memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan membela diri.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Pembina wajib:
a. mencabut …

a. mencabut keputusan pemberhentian sementara; atau


b. memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan.
(5) Apabila Pembina tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4), pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum.

Pasal 44

(1) Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka
waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Ketentuan mengenai susunan, tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
Pengawas diatur dalam Anggaran Dasar.

Pasal 45

(1) Dalam hal terdapat penggantian Pengawas Yayasan, Pembina wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengawas Yayasan.

Pasal 46

Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -

dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian,
dan penggantian Pengawas tersebut.
Pasal 47

(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengawas dalam melakukan tugas
pengawasan dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
(2) Anggota Pengawas Yayasan yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.

(3) Setiap …

(3) Setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan
yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau Negara berdasarkan putusan
Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan manapun.

BAB VII
LAPORAN TAHUNAN

Pasal 48

(1) Pengurus wajib membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan mengenai
hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha Yayasan.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pengurus wajib membuat dan
menyimpan dokumen keuangan Yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung
administrasi keuangan.

Pasal 49

(1) Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku Yayasan
ditutup, Pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat
sekurang-kurangnya:
a. laporan keadaan dan kegiatan Yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil yang
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -

telah dicapai;
b. laporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan
aktivitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan.
(2) Dalam hal Yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi Yayasan, transaksi tersebut wajib dicantumkan dalam laporan tahunan.

Pasal 50

(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditandatangani oleh Pengurus dan Pengawas
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
(2) Dalam hal terdapat anggota Pengurus atau Pengawas tidak menandatangani laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka yang bersangkutan harus menyebutkan alasannya
secara tertulis.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh rapat Pembina.

Pasal 51 …
Pasal 51

Dalam hal dokumen laporan tahunan ternyata tidak benar dan menyesatkan, maka Pengurus dan
Pengawas secara tanggung renteng bertanggungjawab terhadap pihak yang dirugikan.

Pasal 52

(1) Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan.
(2) Ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan dalam surat
kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang:
a. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, atau pihak lain sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih; atau
b. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) atau lebih.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(4) Hasil audit terhadap laporan tahunan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
disampaikan kepada Pembina Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada Menteri dan
instansi terkait.
(5) Bentuk ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun sesuai dengan
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -

BAB VIII
PEMERIKSAAN TERHADAP YAYASAN

Pasal 53

(1) Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam
hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a. melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b. lalai dalam melaksanakan tugasnya;

c. melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau


d. melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang
berkepentingan disertai alasan.
(3) Pemeriksaan …
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dapat dilakukan berdasarkan
penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.

Pasal 54

(1) Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2).
(2) Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan
mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli
sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
(3) Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan Yayasan tidak dapat
diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 55

(1) Pemeriksa berwenang memeriksa semua dokumen dan kekayaan Yayasan untuk kepentingan
pemeriksaan.
(2) Pembina, Pengurus, Pengawas, dan pelaksana kegiatan serta karyawan Yayasan, wajib
memberikan keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -

(3) Pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada pihak
lain.
Pasal 56

(1) Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua
Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
(2) Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.

BAB IX
PENGGABUNGAN
Pasal 57

(1) Perbuatan hukum penggabungan Yayasan dapat dilakukan dengan menggabungkan 1 (satu) atau
lebih Yayasan dengan Yayasan lain, dan mengakibatkan Yayasan yang menggabungkan diri
menjadi bubar.
(2) Penggabungan …

(2) Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
memperhatikan:
a. ketidakmampuan Yayasan melaksanakan kegiatan usaha tanpa dukungan Yayasan lain;
b. Yayasan yang menerima penggabungan dan yang bergabung kegiatannya sejenis; atau
c. Yayasan yang menggabungkan diri tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Anggaran Dasarnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
(3) Usul penggabungan Yayasan dapat disampaikan oleh Pengurus kepada Pembina.
(4) Penggabungan Yayasan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan rapat Pembina yang
dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina dan disetujui paling
sedikit oleh 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina yang hadir.

Pasal 58

(1) Pengurus dari masing-masing Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang akan menerima
penggabungan menyusun usul rencana penggabungan.
(2) Usul rencana penggabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam rancangan
akta penggabungan oleh Pengurus dari Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang akan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -

menerima penggabungan.

Pasal 59

Pengurus Yayasan hasil penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dalam surat kabar
harian berbahasa Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggabungan
selesai dilakukan.
Pasal 60

(1) Rancangan akta penggabungan Yayasan dan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang
menerima penggabungan wajib disampaikan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(3) Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon
secara tertulis disertai alasannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 61 …

Pasal 61

Ketentuan mengenai tata cara penggabungan Yayasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
PEMBUBARAN

Pasal 62

Yayasan bubar karena:


a. jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
b. tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
c. putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2) tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3) harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -

dicabut.

Pasal 63

(1) Dalam hal Yayasan bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a dan
huruf b, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan.
(2) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, Pengurus bertindak selaku likuidator.
(3) Dalam hal Yayasan bubar, Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk
membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.
(4) Dalam hal Yayasan sedang dalam proses likuidasi, untuk semua surat keluar, dicantumkan frasa
"dalam likuidasi" di belakang nama Yayasan.

Pasal 64

(1) Dalam hal Yayasan bubar karena putusan Pengadilan, maka Pengadilan juga menunjuk likuidator.
(2) Dalam hal pembubaran Yayasan karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang
Kepailitan.
(3) Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian,
wewenang, kewajiban, tugas dan tanggung jawab, serta pengawasan terhadap Pengurus, berlaku
juga bagi likuidator.
Pasal 65 …
Pasal 65

Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan Yayasan yang bubar atau
dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukan wajib mengumumkan
pembubaran Yayasan dan proses likuidasinya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.

Pasal 66

Likuidator atau kurator dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses
likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.

Pasal 67

(1) Likuidator atau kurator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal proses
likuidasi berakhir wajib melaporkan pembubaran Yayasan kepada Pembina.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -

(2) Dalam hal laporan mengenai pembubaran Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
pengumuman hasil likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tidak dilakukan, bubarnya
Yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga.

Pasal 68

(1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan
tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar.

(2) Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan
tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan
kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan
tersebut.
BAB XI
YAYASAN ASING

Pasal 69

(1) Yayasan asing yang tidak berbadan hukum Indonesia dapat melakukan kegiatannya di wilayah
Negara Republik Indonesia, jika kegiatan Yayasan tersebut tidak merugikan masyarakat, bangsa,
dan Negara Indonesia.
(2) Ketentuan …
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 70

(1) Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga
dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan
yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 71

(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah:
a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia; atau
b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi
terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5
(lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini Yayasan tersebut wajib
menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat
1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
(3) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan
Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

BAB XIV …

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 72

(1) Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau
sumbangan masyarakat yang diperolehnya sebagai akibat berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan wajib mengumumkan ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) yang mencakup kekayaannya selama 10 (sepuluh) tahun sebelum
Undang-undang ini diundangkan.
(2) Pengumuman ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menghapus
hak dari pihak yang berwajib untuk melakukan pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan apabila
ada dugaan terjadi pelanggaran hukum.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -

Pasal 73

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 112


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG
YAYASAN

I. UMUM

Pendirian Yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam
masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud
untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah
mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan
untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Sejalan dengan kecenderungan
tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan Yayasan yang
tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara
Pengurus dengan Pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk
menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara
melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum karena belum ada hukum
positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada
masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan
fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang ini menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan
hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan
dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum
setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau
pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan
suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya
Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

Dalam rangka …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -

Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, permohonan


pendirian Yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. Di samping itu Yayasan
yang telah memperoleh pengesahan harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ketentuan ini dimaksudkan pula agar registrasi Yayasan dengan pola penerapan administrasi hukum
yang baik dapat mencegah praktak perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan yang dapat merugikan
masyarakat.
Untuk mewujudkan mekanisme pengawasan publik terhadap Yayasan yang diduga
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang, Anggaran Dasar, atau merugikan
kepentingan umum, Undang-undang ini mengatur tentang kemungkinan pemeriksaan terhadap
Yayasan yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak
ketiga yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ tersebut serta
pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ Yayasan dimaksudkan untuk menghindari
kemungkinan konflik intern Yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan Yayasan
melainkan juga pihak lain.
Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan Yayasan dilakukan sepenuhnya oleh
Pengurus. Oleh karena itu, Pengurus wajib membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada
Pembina mengenai keadaan keuangan dan perkembangan kegiatan Yayasan. Selanjutnya, terhadap
Yayasan yang kekayaannya berasal dari Negara, bantuan luar negeri atau pihak lain, atau memiliki
kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam Undang-undang ini, kekayaannya wajib diaudit oleh
akuntan publik dan laporan tahunannya wajib diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia.
Ketentuan ini dalam rangka penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas pada masyarakat.
Dalam Undang-undang ini diatur pula mengenai kemungkinan penggabungan dan
pembubaran Yayasan baik karena atas inisiatif organ Yayasan sendiri maupun berdasarkan
penetapan atau putusan Pengadilan dan peluang bagi Yayasan asing untuk melakukan kegiatan di
wilayah Negara Republik Indonesia sepanjang tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara
Republik Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -

Cukup jelas
Pasal 2 …
Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang bersifat sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor
tetap.

Pasal 4
Dalam hal kedudukan Yayasan disebutkan nama desa atau yang dipersamakan dengan itu, harus
disebutkan pula nama kecamatan, kabupaten, kota dan propinsi.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain
hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup,
kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan atau badan hukum.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -

Ayat (2) …

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Apabila terdapat surat wasiat yang berisi pesan untuk mendirikan Yayasan, maka hal
tersebut dianggap sebagai kewajiban yang ditujukan kepada mereka yang ditunjuk dalam surat
wasiat selaku penerima wasiat, untuk melaksanakan wasiat.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
Ayat (2)
huruf a
Cukup jelas

huruf b
Cukup jelas

huruf c
Cukup jelas

huruf d
Yang dimaksud dengan istilah "benda" adalah benda berwujud dan benda tidak
berwujud yang dapat dinilai dengan uang.

huruf e
Cukup jelas

huruf f
Cukup jelas

huruf g
Cukup jelas

huruf h
Cukup jelas

huruf i
Cukup jelas

huruf j
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -

huruf k
Cukup jelas

Ayat (3) …
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -

Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
Ayat (2)
Permohonan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dapat
diajukan secara langsung atau dikirimkan melalui surat tercatat.

Ayat (3)
Besarnya biaya pengumuman diperhitungkan sesuai dengan besarnya kekayaan
Yayasan.

Pasal 25
Maksud dari Pasal ini adalah Pemberian sanksi perdata kepada Pengurus, karena Pengurus tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
huruf a
Yang dimaksud dengan "sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat" adalah
sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima Yayasan, baik dari Negara, masyarakat, maupun
dari pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

huruf b
Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah wakaf dari orang atau dari badan hukum.

huruf c
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah hibah dari orang atau dari badan hukum.

huruf d
Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan tidak boleh
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -

bertentangan dengan ketentuan hukum waris.

huruf e
Yang dimaksud dengan "perolehan lain" misalnya deviden, bunga tabungan bank,
sewa gedung, atau perolehan dari hasil usaha Yayasan.

Ayat (3) …
Ayat (3)
Kekayaan Yayasan yang berasal dari wakaf tidak termasuk harta pailit.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Bantuan Negara untuk Yayasan dilakukan sesuai dengan jiwa ketentuan Pasal 34
Undang-Undang Dasar 1945.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan bahwa Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya
harus menjadi Pembina. Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh Pengurus atau Pengawas.

Ayat (4)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31 …
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang
tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara Pembina, Pengurus dan Pengawas yang
dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pelaksana kegiatan" adalah Pengurus harian Yayasan yang
melaksanakan kegiatan Yayasan sehari-hari.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5) …

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Jika Pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, Anggaran
Dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum
tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/atau Pengawas, misalnya untuk
menjaminkan kekayaan Yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit.

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 31 ayat (3)

Pasal 41 …

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini mewajibkan Yayasan melaporkan secara rinci tentang berbagai
transaksi yang dilakukan oleh Yayasan dengan pihak lain. Hal tersebut merupakan cerminan dari
asas keterbukaan dan akuntabilitas pada masyarakat yang harus dilaksanakan oleh Yayasan
dengan sebaik-baiknya.

Pasal 50 …

Pasal 50
Ayat (1)
Laporan harus ditandatangani oleh semua Pengurus dan Pengawas karena laporan
tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas dalam melaksanakan
tugasnya.
Apabila diantara Pengurus atau Pengawas ada yang tidak menandatangani, alasan atau
penyebab tidak menandatangani laporan tersebut harus dijelaskan secara tertulis sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh rapat Pembina.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pengesahan laporan oleh rapat Pembina berarti pemberian pelunasan dan pembebasan
tanggung jawab kepada Pengurus dan kepada Pengawas, selama tahun buku yang bersangkutan.

Pasal 51
Yang dimaksud dengan “pihak yang dirugikan” adalah Yayasan yang bersangkutan, masyarakat,
dan/atau Negara.

Pasal 52
Ayat (1)
Penempelan ikhtisar laporan tahunan Yayasan pada papan pengumuman ditempatkan
sedemikian rupa sehingga dapat dibaca oleh masyarakat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -

Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar bantuan yang diterima oleh Yayasan atau
Yayasan yang mempunyai kekayaan dalam jumlah tertentu, dapat diketahui oleh masyarakat
sesuai dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ahli" adalah mereka yang memiliki keahlian sesuai dengan
masalah yang akan diperiksa.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61 …

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan bahwa kekayaan Yayasan yang dibubarkan harus
dibereskan (likuidasi). Dengan pembubaran tersebut, keberadaan Yayasan masih tetap ada
sampai pada saat likuidator dibebaskan dari tanggung jawab.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 64
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam hal pembubaran Yayasan berdasarkan putusan Pengadilan, penunjukan likuidator
ditetapkan oleh Pengadilan, sedangkan penunjukan kurator hanya apabila Yayasan dinyatakan
pailit.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66 …
Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -

Ayat (3)
"Pihak yang berkepentingan" adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung
dengan Yayasan.

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4132


5
UU 28/2004
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan


mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus 2002, namun Undang-
undang tersebut dalam perkembangannya belum menampung
seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat,
serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan berbagai
penafsiran, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
undang tersebut;

b. bahwa perubahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin


kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman
yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4132);
Dengan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 2 -

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-


UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan, penjelasan umum, dan penjelasan pasal dalam


Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4132), diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 3 substansi tetap dan penjelasannya diubah


sehingga rumusan penjelasan Pasal 3 adalah sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal Angka 1 Undang-
undang ini.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 5

(1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun


kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-
undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah,
maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai
dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
(2) Pengecualian …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 3 -

(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan
bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium,
dalam hal Pengurus Yayasan :

a. bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan


Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan

b. melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan


penuh.

(3) Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagai-


mana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai
dengan kemampuan kekayaan Yayasan.”

3. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 11

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta


pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.

(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan
kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian
Yayasan tersebut.

(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib


menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri
dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan
ditandatangani.

(4) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 4 -

(4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat meminta
pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap.

(5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib


menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan
pertimbangan diterima.

(6) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan


biaya yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.”

4. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 12

(1) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 11 ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Menteri.

(2) Pengesahan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), diberikan atau ditolak dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan diterima secara lengkap.

(3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 11 ayat (4), pengesahan diberikan atau ditolak
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan
pertimbangan dari instansi terkait diterima.

(4) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 5 -

(4) Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak


diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada
instansi terkait.”

5. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni


Pasal 13A, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 13A
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama
Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum
menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng.”

6. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 24
(1) Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan
hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui
atau telah diberitahukan wajib diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian
Yayasan disahkan atau perubahan Anggaran Dasar disetujui
atau diterima Menteri.
(3) Tata cara mengenai pengumuman dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.”
7. Pasal 25 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 6 -
7. Pasal 25 dihapus.

8. Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 32

(1) Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan


keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali.

(2) Pengurus Yayasan dapat diangkat kembali setelah masa


jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditentukan dalam Anggaran Dasar.

(3) Susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas :


a. seorang ketua;
b. seorang sekretaris; dan
c. seorang bendahara.

(4) Dalam hal Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


selama menjalankan tugas melakukan tindakan yang oleh
Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan
keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat
diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tata cara


pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengurus
diatur dalam Anggaran Dasar.”

9. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 33

(1) Dalam hal terjadi penggantian Pengurus, Pengurus yang


menggantikan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Menteri.
(2) Pemberitahuan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 7 -

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib


disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian Pengurus
Yayasan.”

10. Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 34

(1) Pengurus Yayasan sewaktu-waktu dapat diberhentikan


berdasarkan keputusan rapat Pembina.

(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian


Pengurus dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas
permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan
umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian tersebut dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal permohonan pembatalan diajukan.”

11. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga berbunyi berikut :

“Pasal 38

(1) Yayasan dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi


yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus,
dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja
pada Yayasan.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku


dalam hal perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya
maksud dan tujuan Yayasan.”

12. Pasal 41 dihapus.


13. Ketentuan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 8 -

13. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 44

(1) Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan


keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali.

(2) Pengawas Yayasan dapat diangkat kembali setelah masa


jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditentukan dalam Anggaran Dasar.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tata cara


pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas
diatur dalam Anggaran Dasar.”

14. Ketentuan Pasal 45 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 45

(1) Dalam hal terjadi penggantian Pengawas, Pengurus


menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Menteri.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib


disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian Pengawas
Yayasan.”

15. Ketentuan Pasal 46 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 46

(1) Pengawas Yayasan sewaktu-waktu dapat diberhentikan


berdasarkan keputusan rapat Pembina.
(2) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 9 -
(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian
Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas
permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan
umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian Pengawas tersebut dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.”

16. Ketentuan Pasal 52 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 52

(1) Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan


pengumuman di kantor Yayasan.

(2) Ikhtisar laporan keuangan yang merupakan bagian dari


ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa
Indonesia bagi Yayasan yang :
a. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri,
dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih, dalam 1 (satu) tahun buku;
atau
b. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau
lebih.

(3) Laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), wajib diaudit oleh Akuntan Publik.

(4) Hasil audit terhadap laporan keuangan Yayasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada Pembina
Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada
Menteri dan instansi terkait.
(5) Laporan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

(5) Laporan keuangan disusun sesuai dengan Standar Akuntansi


Keuangan yang berlaku.”

17. Ketentuan Pasal 58 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 58

(1) Pengurus dari masing-masing Yayasan yang akan


menggabungkan diri dan yang akan menerima
penggabungan menyusun usul rencana penggabungan.

(2) Usul rencana penggabungan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dituangkan dalam rancangan akta penggabungan
oleh Pengurus dari Yayasan yang akan menggabungkan diri
dan yang akan menerima penggabungan.

(3) Rancangan akta penggabungan harus mendapat persetujuan


dari Pembina masing-masing Yayasan.

(4) Rancangan akta penggabungan sebagaimana dimaksud pada


ayat (3), dituangkan dalam akta penggabungan yang dibuat
di hadapan Notaris dalam bahasa Indonesia.”

18. Ketentuan Pasal 60 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 60

(1) Dalam hal penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan


Anggaran Dasar yang memerlukan persetujuan Menteri,
maka akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan wajib
disampaikan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan
dengan dilampiri akta penggabungan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan


dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(3) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

(3) Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan tersebut


harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis disertai
alasannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

(4) Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan dalam


jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
perubahaan Anggaran Dasar dianggap disetujui dan Menteri
wajib mengeluarkan keputusan persetujuan.”

19. Ketentuan Pasal 68 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 68

(1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain


yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang
bubar.

(2) Kekayaan sisa hasil likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), dapat diserahkan kepada badan hukum lain yang
mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang bubar,
apabila hal tersebut diatur dalam Undang-undang mengenai
badan hukum tersebut.

(3) Dalam hal kekayaan sisa hasil likuidasi tidak diserahkan


kepada Yayasan lain atau kepada badan hukum lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kekayaan
tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya
dilakukan sesuai dengan kegiatan Yayasan yang bubar.”

20. Ketentuan Pasal 71 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 71

(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang :


a. telah …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

a. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan


dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau
b. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai
izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak
tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut
wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan
Undang-undang ini.

(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh
status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran
Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan
mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka
waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
Undang-undang ini mulai berlaku.

(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib


diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun
setelah pelaksanaan penyesuaian.

(4) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam


jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat
menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat
dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas
permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”

21. Ketentuan Pasal 72 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 72 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -
“Pasal 72

(1) Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan


Negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan
masyarakat yang diperolehnya sebagai akibat berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan wajib mengumumkan
ikhtisar laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) yang mencakup kekayaannya selama 10
(sepuluh) tahun sebelum Undang-undang ini diundangkan.

(2) Pengumuman ikhtisar laporan tahunan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), tidak menghapus hak dan dari pihak
yang berwajib untuk melakukan pemeriksaan, penyidikan,
dan penuntutan, apabila ada dugaan terjadi pelanggaran
hukum.”

22. Di antara Pasal 72 dan Pasal 73 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni


Pasal 72 A dan Pasal 72 B, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 72 A

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan Anggaran


Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan
ayat (2) yang belum disesuaikan dengan ketentuan Undang-
undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.

Pasal 72 B

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, permohonan


pengesahan akta pendirian Yayasan, permohonan perubahan
Anggaran Dasar Yayasan, dan pemberitahuan penyesuaian
Anggaran Dasar Yayasan yang telah diterima Menteri, diproses
berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.”

23. Penjelasan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

23. Penjelasan Umum Alinea Ketiga, frase “atau pejabat yang


ditunjuk”, di antara frase “Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia” dan frase “Ketentuan tersebut” dihapus.

24. Penjelasan Umum Alinea Keempat, frase “dapat diajukan kepada


Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Yayasan” di antara frase “permohonan pendirian Yayasan” dan
frase “Di samping itu”, diganti menjadi frase “diajukan kepada
Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan
tersebut.”

25. Penjelasan Umum Alinea Ketujuh, frase “ Yayasan yang


kekayaannya berasal dari Negara,” di antara frase ”Selanjutnya,
terhadap” dan frase “bantuan luar negeri atau pihak lain,” diubah
menjadi frase “Yayasan yang memperoleh bantuan dari Negara,”
dan frase “laporan tahunannya wajib diumumkan” di antara frase
“oleh akuntan publik dan” dan frase “dalam surat kabar
berbahasa Indonesia”, diubah menjadi frase “laporan keuangannya
wajib diumumkan”.

Pasal II

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak


tanggal diundangkan.

Agar …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 115.

Salinan sesuai dengan aslinya,


Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan

ttd

Lambock V. Nahattands
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN

I. UMUM

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada


tanggal 6 Agustus 2001, sejak berlaku pada tanggal 6 Agustus 2002 dalam
perkembangannya ternyata belum menampung seluruh kebutuhan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat.

Di samping itu, terhadap beberapa substansi Undang-undang tentang Yayasan


dalam masyarakat masih terdapat berbagai penafsiran sehingga dapat
menimbulkan ketidakpastian dan ketidaktertiban hukum.

Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan


dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta
memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan,
sehingga dapat mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam
rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

Selain itu, mengingat peranan Yayasan dalam masyarakat dapat menciptakan


kesejahteraan masyarakat, maka penyempurnaan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan pula agar Yayasan tetap dapat berfungsi
dalam usaha mencapai maksud dan tujuannya di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.

II. PASAL …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan
Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung
tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau
melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan
kekayaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa kekayaan Yayasan, termasuk hasil kegiatan usaha
Yayasan, merupakan kekayaan Yayasan sepenuhnya untuk
dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan Yayasan,
sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas Yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima
gaji, upah, atau honorarium.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “terafiliasi” adalah hubungan
keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai
derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal.

Huruf b …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “secara langsung dan penuh”
adalah melaksanakan tugas kepengurusan sesuai dengan
ketentuan hari dan jam kerja Yayasan bukan bekerja
paruh waktu (part time).
Ayat (3)
Cukup jelas

Angka 3
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan bahwa permohonan pengesahan badan hukum
Yayasan melalui Notaris dimaksudkan untuk mempermudah
pelayanan kepada masyarakat dalam pengajuan permohonan
pengesahan akta pendirian Yayasan di daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Angka 4
Pasal 12
Cukup jelas

Angka 5 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 4 -
Angka 5
Pasal 13A
Cukup jelas

Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas

Angka 7
Cukup jelas

Angka 8
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini dalam Anggaran Dasar Yayasan
dimuat berapa kali jangka waktu 5 (lima) tahun bagi Pengurus
untuk dapat diangkat kembali.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Angka 9
Pasal 33
Cukup jelas

Angka 10
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 11 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 5 -

Angka 11
Pasal 38
Cukup jelas.

Angka 12
Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini dalam Anggaran Dasar Yayasan
dimuat berapa kali jangka waktu 5 (lima) tahun bagi Pengawas
untuk dapat diangkat kembali.
Ayat (3)
Cukup jelas

Angka 14
Pasal 45
Cukup jelas

Angka 15
Pasal 46
Cukup jelas

Angka 16
Pasal 52
Ayat (1)
Penempelan ikhtisar laporan keuangan Yayasan pada papan
pengumuman ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat
dibaca oleh masyarakat.

Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 6 -
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar bantuan yang
diterima oleh Yayasan atau Yayasan yang mempunyai kekayaan
dalam jumlah tertentu, dapat diketahui oleh masyarakat sesuai
dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Angka 17
Pasal 58
Cukup jelas

Angka 18
Pasal 60
Cukup jelas

Angka 19
Pasal 68
Cukup jelas
Angka 20
Pasal 71
Ayat (1)
Jangka waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada Yayasan tersebut untuk
menentukan apakah akan meneruskan atau tidak keberadaan
Yayasan. Jika akan diteruskan, dalam jangka waktu tersebut
Yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan
Undang-undang ini.
Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah
pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan Yayasan.

Angka 21
Pasal 72
Cukup jelas

Angka 22
Pasal 72 A
Cukup jelas
Pasal 72 B
Cukup jelas

Angka 23
Cukup jelas

Angka 24
Cukup jelas

Angka 25
Cukup jelas

Pasal II
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4430.


6
STAATSBLAD 1870
NOMOR 64
Staatsblad 1870 Nomor 64
PERKUMPULAN-PERKUMPULAN

BERBADAN HUKUM

(Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) Keputusan Raja 28 Maret 1870, S - 1870-64.


Catatan: dengan S. 1904-272 telah ditentukan: Hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk orang
Indonesia, yang timbul karena masuk sebagai anggota atau ikut serta dalam pengurus suatu
perkumpulan menurut Keputusan Raja 28 Maret 1870 No. 2 (S. No. 64), Hukum Perdata untuk
Indonesia, Conform untuk perkumpulan-perkumpulan Indonesia, S. 1939-570 danjuga S. 1939 -
569 pasal 43 sebelurnnya. Pas. 1. (s.d.u. dg. S. 1927-251, 252, S. 1937-572) Tiada perkumpulan
orang- orang, di luar yang dibentuk menurut peraturan umum, bertindak o atau oleh pejabat yang
ditunjuk oleh Gubernur Jenderal. (Sebagai penguasa telah ditunjuk Directeur van Justitie (kini:
Mentei Kehakiman) dalam S. 1937-573. Alinea 2 dicabut berdasarkan S. 1933-89.)

Pasal 2.

Pengakuan dilakukan dengan menyetujui statuta atau reglemen-reglemen perkumpulan. Statuta


atau reglemen berisi tujuan, dasar-dasar, lingkungan kerja dan ketentuan-ketentuan lain
perkumpulan

Pasal 3.

(s.d.u. dg. S. 1937-572.) Penolakan Pengakuan hanya dilakukan berdasarkan kepentingan umum.
Keputusan disertai dengan alasan- alasan.

Pasal 4.

Perubahan atau penggantian statuta yang telah disetujui memerlukan persetujuan lebih lanjut.

Pasal 5.

Statuta yang disetujui, perubahan atau pergantian diumumkan dalam surat kabar resmi.

Pasal 5a.

(s.d.t. dg. S. 1933-89.) Perkumpulan yang didirikan untuk waktu tertentu, yang statutanya atau
reglemennya disetujui, juga setelah habis waktu yang ditentukan dalam statuta dan reglemen itu
tanpa persetujuan lebih lanjut dipandang sebagai badan hukum, bila sepanjang perbuatan-
perbuatan, dan tingkah laku anggota-anggotanya atau pengurusnya menunjukkan bahwa
perkumpulan itu, setelah waktu yang ditentukan, tetap ada (pasal 2, 4, 5 bis, 6, 7 bis). Dengan S-
1933-84, Pasal 11 ditentukan sebagai berikut:

KETENTUAN PERALIHAN
(1) Pasal 5a yang ditentukan dalam pasal 1 huruf b berlaku juga untuk perkumpulan-
perkumpulan, yang pada saat berlakunya ordonansi ini (8 Maret 1933) karena lewat waktu yang
ditentukan dalam statutanya atau reglemennya tidak lagi berbadan hukum, tetapi masih ada
sebagai perkumpulan.

(2) Perkumpulan seperti dimaksud dalam ayat yang lalu dianggap tidak pernah kehilangan sifat
badan hukumnya dengan ketentuan, bahwa dalam pada itu diperoleh pihak-pihak ketiga.

Pasal 5 bis

(s. d. t. dg. S. 1913-432; s. d. u. dg. S. 1919 -27; S. 1935-85,

574.) Perkumpulan yang oleh Gubernur Jenderal dinyatakan bertentangan dengan ketertiban
umum, kehilangan sifat badan hukum karena pernyataan itu.

Pasal 6.

Penyimpangan dari statuta-statuta yang telah disetujui memberikan kewenangan kepada kejaksaa
untuk menuntut di depan hakim Perdata pernyataan gugurnya sifat badan hukum perkumpulan
itu. Pengesahan barang-barang perkumpulan yang badan hukumnya dinyatakan gugur dilakukan
di bawah pengawasan hakim, yang menyatakan gugurya ditentukan tentang harta pertinggalan
yang dikuasai.

Pasal 7.

oleh balai harta peninggalan, yang demi hukum bertugas mengenai pengurusannya, dan utang-
utangnya dibayar, maka sisanya, bila ada, diberikan kepada mereka, yang pada saat pernyataan
gugur menjadi anggota perkumpulan atau kepada yang berhak, masing-masing untuk bagian
yang mereka bayarkan kepada perkumpulan

Pasal 7 bis

(s.d.t. dg. S. 1913-432; s.d.u. dg. S. 1919-27.) Ketentuan dalam alinea ketiga pasal 6 dan 7 juga
berlaku, bila perkumpulan kehilangan sifatnya sebagai badan hukum sesuai dengan ketentuan 6
dilakukan oleh hakim, yang berwenang memeriksa tuntutan kejaksaan berdasarkan alinea
pertama pasal itu.

Pasal 8.

Perkumpulan-perkumpulan, yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum
atau tidak diakui menurut peraturan ini dengan demikian tidak dapat melakukan tindakan-
tindakan perdata. yang didapat atas namanya, terhadap negara dan terhadap pihak ketiga
dipandang mengikuti orang-orang yang menutup perjanjian dan menerima barang-barang
sekalipun juga bahwa perjanjian-perjanjian itu dan dasar hukum orang-orang yang bertindak
hanya sebagai. kuasa atau pengurus perkumpulan.
Pasal 9.

Hubungan para anggota perkumpulan satu sama lain, yang tidak dapat ditentukan oleh mereka
dan ketentuan-ketentuan umum hukum perdata. Ketentuan-ketentuan pasal 1663-1664 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tetap berlaku bagi perkumpulan ini, sekalipun tidak dipandang
sebagai badan hukum.

Pasal 10.

(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang lalu tidak berlaku bagi perseroan-
perseroan perdata atau firma-firma, maskapai saling menanggung atau saling menjamin dan
perusahaan kapal. Ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang tetap berlaku terhadap hal-hal ini. (s.d.t. dg. S. 1927-157.)
Ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang lalu juga tidak berlaku terhadap gereja-gereja atau
perkumpulan- perkumpulan gereja dan bagian-bagiannya yang berdiri sendiri.

Pasal 11.

Perkumpulan-perkumpulan, yang telah berdiri sebelum berlakunya peraturan ini, dikenakan


undang-undang yang mengatur pendiriannya.
7
PP 58/2016
SALINAN

PRES I DEN
REPUELIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 58 TAHUN 2016
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19, Pasal 40


ayat(71, Pasal 42 ayat (3), Pasal 50, Pasal 56, Pasal 57 ayat (3),
dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ol3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 20 13 tentang Organisasi Kemasyarakatan;

Mengingat 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 lahun 2Ol3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2Ol3 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5a30);

MEMUTUSKAN:

McNetapKan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN


UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OI3 TENTANG
O RGANI SASI KEMASYARAKATAN.

BAB I
PRtrS IDEI\
I( I I\ DON ESIA
RtrF'I,J L:ILI

-2-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
4. Dewan Perwakilan Ralryat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat
daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Surat Keterangan Terdaftar yang selanjutnya disingkat
SKT adalah dokumen yang diterbitkan oleh Menteri
yang menyatakan Ormas tidak berbadan hukum telah
terdaftar pada administrasi pemerintahan.
6. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah
peraturan dasar Ormas.
7. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat
ART adalah peraturan yang dibentuk sebagai
penjabaran AD Ormas.

8. Pemberdayaan
PITIS IDEI\
l( I N Dot\l ESI/\
nl::IrLi Elt-l

-3-

8. Pemberdayaan Ormas adalah upaya untuk


meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan
Ormas dengan menciptakan kondisi yang
memungkinkan Ormas dapat tumbuh berkembang
secara sehat, mandiri, akuntabel, dan profesional.
9. Sistem Informasi Ormas adalah seperangkat tatanan
yang meliputi data, informasi, sumber daya manusia,
dan teknologi yang saling berkaitan dan dikelola secara
terintegrasi yang berguna untuk mendukung
manajemen pelayanan publik dan tertib administrasi.
10. Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen
untuk menjamin agar kinerja Ormas berjalan sesuai
dengan tujuan dan fungsi Ormas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
11. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa internal
Ormas yang difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk memperoleh kesepakatan atas
permintaan para pihak yang bersengketa.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.
13. Hari adalah hari kerja.

Pasal 2
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia
atau lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.

Pasal 3
(1) Ormas dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
(21 Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat berbentuk perkumpulan atau
yayasan.

Pasal 4
PRES I DEN
REPUISt-II( INDOI\ESIA

-4-

Pasal 4
(1) Ormas tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dapat memiliki struktur
kepengurusan berj enjang atau tidak berj enj ang.
(21 Struktur kepengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam AD/ART Ormas.

BAB II
PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5
(1) Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan pengesahan badan hukum dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia.
(21 Pengesahan badan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundan g-undangan.
(3) Dalam hal Ormas telah mendapat pengesahan badan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memerlukan SKT.

Pasal 6
Ormas tidak berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan SKT.

Pasal 7
SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh
Menteri.

Pasal8...
PRES IDEI{
REItrU ELII(. IN DOI.JESIA

-5-

Pasal 8
(1) Pendaftaran Ormas yang memiliki struktur
kepengurusan berjenjang sebagaimana dimaksud
daiam Pasal 4 ayat(1) dilakukan oleh pengurus Ormas
di tingkat pusat.
(21 Pengurus Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaporkan keberadaan kepengurusannya di daerah
kepada Pemerintah Daerah setempat dengan
melampirkan SKT dan kepengurusan di daerah'

Pasal 9
ormas yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum
sebagaimana d.imaksud dalam Pasal 5 ayat (1), pengurus
Ormls melaporkan keberadaan kepengurusannya di daerah
kepada pemLrintah Daerah setempat dengan melampirkan
suiat keputusan pengesahan status badan hukum dan
susunan kepengurusan di daerah.

Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 10
(1) Ormas mengajukan permohonan pendaftaran secara
tertulis kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat disampaikan melalui gubernur
bupati/walikota pada unit layanan administrasi
"t",
di provinsi atau kabuPaten/kota'
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan dan ditandatangani oleh pendiri
dan pengurus Ormas.
(4) Dalam hal pendiri meninggal dunia atau berhalangan
tetap, perrnohonan pendaftaran Ormas dapat diajukan
dan ditandatangani oleh pengurus Ormas.

Pasal 1L
PRES IDEN
REFTUE]LII( INDONESI,A

-6-

Pasal 11

Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 harus dilampiri:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengums;
d. surat keterangan domisili sekretariat Ormas;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas;
f. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan
atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.

Pasal 12
AD dan ART sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan Pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi.

Pasal 13
(1) Susunan pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. ketua atau sebutan lain;
b. sekretaris atau sebutan lain; dan
c. bendahara atau sebutan lain.

(2) Seluruh...
irRr_s illEI..l
F..]EF]U ELI I( i NI DO I\I ESIA

-7 -

(21 Seluruh pengurus sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan anggota Ormas berkewarganegaraan
Indonesia.

Pasal 14
(1) Petugas unit layanan administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memeriksa
kelengkapan permohonan pendaftaran.
(2) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi
kelengkapan, berkas permohonan dikembalikan
kepada pemohon.

Pasal 15
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) yang telah memenuhi
kelengkapan dicatat oleh petugas unit layanan
administrasi dalam daftar registrasi permohonan.
{21 Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
sejak permohonan pendaftaran dicatat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan atau
menolak penerbitan SKT.
(3) Dalam penerbitan atau penolakan SKT, Menteri dapat
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait
sesuai dengan bidang Ormas.
(41 Keputusan penerbitan SKT atau surat penolakan
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Menteri melalui
petugas unit layanan administrasi kepada pemohon.

Bagian Ketiga
Perubahan SKT
Pasal 16
Pengurus Ormas harrrs mengajukan perubahan SKT apabila
terjadi perubahan nama, bidang kegiatan, nomor pokok
wajib pajak, dan/atau alamat Ormas.

Pasal 17
PRES IDEI\
REPLIBLIl( INDOT{ESIA

-8-

Pasal 17
(1) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 diajukan secara tertulis kepada
Menteri melalui unit layanan administrasi.
(2) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada gubernur
dan/ atau bupati/walikota.
(3) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh pengurus Ormas dan
dilengkapi bukti pendukung permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Pasal 18
(1) Petugas unit layanan administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) memeriksa
kelengkapan permohonan perubahan SKT.
(2) Dalam hal permohonan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi
kelengkap&fl,' berkas permohonan perubahan SKT
dikembalikan kepada pemohon.

Pasal 19
(1) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dicatat
dalam daftar registrasi permohonan perubahan SKT.
(21 Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak permohonan perubahan SKT dicatat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
menerbitkan atau menolak perubahan SKT.
(3) Dalam penerbitan atau penolakan perubahan
SKT, Menteri dapat berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait sesuai dengan bidang
Ormas.
(41 Keputusan penerbitan atau penolakan perubahan
SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan oleh Menteri melalui petugas unit
layanan administrasi kepada pemohon.

Pasal 20
If I{E:S IDEN
I?trPUBLIl( INDOT!ESIA

-9-

Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan atau
perubahan SKT, format, penomoran, dan pejabat
penandatangan SKT, serta ketentuan pelaporan kegiatan
Ormas diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB III
PEMBERDAYAAN

Pasal 21
Pemberdayaan Ormas dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan, daya tahan, dan kemandirian Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 22
(1) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dilakukan oleh Ormas yang bersangkutan.
(2) Dalam melakukan pemberdayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Ormas dapat bekerja sama
dengan:
a. Ormas lainnya;
b. masyarakat; dan/atau
c. swasta.

Pasal 23
(1) Pemberdayaan Orrnas yang dilakukan dengan cara
bekerja sama dengan Ormas lainnya, masyarakat,
atau swasta sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
ayat (21 dapat berupa pemberian penghargaan,
program, bantuan, dan dukungan operasional
organisasi.
(2) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan prinsip
kemitraan, kesetaraan, kebersamaan, dan saling
menguntungkan.

Pasal24...
PRES IDEN
REIfUBLII( INDONESIA

- 10-

Pasal24
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan
Pemberdayaan Ormas melalui fasilitasi kebijakan,
penguatan kapasitas kelembagaan, dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
(2) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibiayai dari APBN dan/atau APBD.

Pasal 25
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dilakukan kepada:
a. Ormas yang berbadan hukum; dan
b. Ormas yang terdaftar.

Pasal 26
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 harus:
a. selaras dengan program perencanaan pembangunan
nasional dan/ atau program perencanaan pembangunan
daerah;
b. menghormati dan mempertimbangkan aspek sejarah,
rekam jejak, peran, dan integritas Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 27
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB IV
PRES I DEN
REPUE,LII( INDONESIA

- 11-

BAB IV
SISTEM INFORMASI ORMAS

Pasal 28
(1) Pemerintah membentuk Sistem Informasi Ormas
untuk meningkatkan pelayanan publik dan tertib
administrasi.
(2) Pengelolaan Sistem Informasi Ormas memuat data dan
informasi tentang keberadaan, kegiatan, dan informasi
lain yang dibutuhkan.
(3) Sistem Informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (21 diintegrasikan dan dikoordinasikan oleh
Menteri.

Pasal 29
(1) Data dan informasi Ormas dikelola oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri, kementerian terkait sesuai
dengan bidang Ormas, atau instansi terkait sesuai
dengan lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.
(21 Kementerian atau instansi terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memberikan data atau
informasi yang diperlukan oleh Menteri secara berkala
6 (enam) bulan sekali.

Pasal 30
(1) Pengolahan data dan informasi Ormas dilakukan
dengan menggunakan sistem komputerisasi yang
memiliki kemampuan terhubung secara online sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(21 Dalam hal pengelolaan Sistem Informasi Ormas
belum memiliki infrastruktur dengan sistem
komputerisasi, pengolahan data dan informasi
Orrnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara manual.

Pasal 31 .
PRES IDEN
F{EI]UE}LII( INDONESIA

-t2_

Pasal 31
(1) Pengamanan informasi Ormas dilakukan untuk
menjamin agar informasi Ormas:
a. tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b. terjaga kerahasiaannya.
(21 Pengamanan informasi Ormas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan standar
pengamanan.
(3) Kerahasiaan informasi Ormas dan standar
pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 32
Sistem Informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau
instansi terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan
oleh Menteri.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sistem
Informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (21diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
PERIZINAN, TIM PERIZINAN, DAN PENGESAHAN
ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

Pasal 34
(1) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;

b. badan
PIIES IDEN
REPIJEILII( INDOI{ESIA

-13-

b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga


negara asing atau warga negara asing bersama
warga negara Indonesia; atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.

Pasal 35
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
huruf a wajib memiliki izin prinsip dan izin
operasional.
(2) lzin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri dan izin
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 36
Badan hukum yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) huruf b dan huruf c disahkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia setelah mendapatkan
pertimbangan tim perizinan.

Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, tim perizinan,
dan pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan
Pasal 36 diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

BAB VI
PRES I DEN
REPUBLIK INDONESIA

-14-

BAB VI
PENGAWASAN

Pasal 38
(1) Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta
menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas
atau ormas yang didirikan oleh warga negara asing
dilakukan Pengawasan.
(2t Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara internal dan eksternal.

Pasal 39
(1) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) dilakukan oleh pengawas internal.
(2) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi menegakkan kode etik organisasi dan
memutuskan pemberian sanksi dalam internal
organisasi sesuai dengan AD/ART Ormas.

Pasal 40
Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah,
dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 4 1
(1) Bentuk Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 berupa pengaduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri, menteri/pimpinan
lembaga terkait, gubernur, dan/ atau bupati/ walikota.
(3) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disampaikan secara tertulis dan/atau
tidak tertulis.

Pasal42...
PRES I DEN
REPUE}LII( INDONESIA

-15-

Pasal 42
(1) Pengaduan masyarakat secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4l ayat (3) difasilitasi oleh unit
pelayanan pengaduan masyarakat pada
kementerian/lembaga danlatau Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengaduan masyarakat secara tidak tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4I
ayat (3) dapat
disampaikan melalui aparatur Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah setempat.

Pasal 43
(1) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (21 paling sedikit memuat informasi
mengenai subjek, objek, dan materi pengaduan.
(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus objektif dan dapat
dipertan ggun gj awabkan.

Pasal 44
(1) Kementerian/lembaga sesuai dengan lingkup tugas
dan fungsinya menindaklanjuti pengaduan
masyarakat secara terkoordinasi dengan
kementerian / lembaga terkait.
(2) Gubernur dan bupati/walikota menindaklanjuti
pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) secara terkoordinasi.

Pasal 45
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dilakukan sesuai dengan jenjang
pemerintahan.

(2) Pengawasan
PRES Ii]EI..I
RE:FUBLll( llrlDol\ESIA

16-

(2) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh:
a. Menteri untuk Ormas berbadan hukum Indonesia
dan tidak berbadan hukum; dan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri bagi ormas
berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain.
(3) Pengawasan eksternal oleh pemerintah provinsi
dikoordinasikan oleh gubernur.
(4) Pengawasan eksternal oleh pemerintah
kabupaten/kota dikoordinasikan oleh
bupati/walikota.

Pasal 46
Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal45
dilakukan secara terencana dan sistematis, baik sebelum
maupun sesudah terjadi pengaduan masyarakat.

Pasal 47
(1) Pelaksanaan Pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 dilaksanakan melalui
monitoring dan evaluasi oleh tim terpadu.
(2) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri, menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
luar negeri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.

BAB VII
MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA ORMAS

Pasal 48
(1) Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas,
penyelesaiannya dilakukan sesuai mekanisme yang
diatur dalam AD atau AD dan ART Ormas yang
bersangkutan.

(2) Dalam...
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t7-

(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, Pemerintah
dapat memfasilitasi Mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa.

Pasal 49
(1) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang berbadan hukum
disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia.
(2) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang tidak berbadan
hukum, disampaikan kepada Menteri melalui
gubernur dan/ atau bupati/walikota.

Pasal 50
(1) Menteri dapat mendelegasikan kepada gubernur
atau bupati/walikota untuk memfasilitasi Mediasi
penyelesaian sengketa Ormas.
(21 Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan domisili terdaftarnya Ormas.

Pasal 51
(1) Permintaan para pihak kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) disampaikan secara
tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa.
(21 Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melampirkan resume permasalahan yang
dipersengketakan.

Pasal 52
(1) Pemerintah sebagai mediator mempersiapkan jadwal
pertemuan Mediasi dalam jangka waktu 5 (lima) hari
sejak diterimanya surat permohonan.

(2) Jadwal
PRES I DEN
RtrPUELII( INDOI!ESIA

-18-

(2) Jadwal pertemuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) harus disepakati oleh para pihak yang
bersengketa.

Pasal 53
(1) Pemerintah wajib mendorong para pihak untuk
menyelesaikan sengketa dengan itikad baik secara
musyawarah dan mufakat.
(21 Mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (21 dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 54
(1) Jika Mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian,
para pihak dibantu oleh Pemerintah merumuskan
kesepakatan perdamaian.
(2t Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara
kesepakatan serta ditandatangani oleh para pihak dan
Pemerintah.

Pasal 55
Kesepakatan perdamaian yang telah ditandatangani para
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
bersifat mengikat para pihak.

Pasal 56
(1) Jika Mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasa1 53 ayat 12) tidak tercapai
kesepakatan, para pihak dapat menempuh
penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri terkait
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Pasal57...
PRES I DEN
REPUBLII( INDONESI/\

-19-

Pasal 57
Dalam hal sengketa yang terjadi di internal Ormas yang
berpotensi perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan baik perorangan maupun kelompok yang dapat
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan pencegahan agar tidak terjadi konflik tanpa
permintaan yang bersengketa.

BAB VIII
SANKSI

Pasal 58
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan
sanksi administratif kepada Ormas yang melanggar
kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2l dan Pasal 59 Undang-Undang.
(2) Sebelum menjatuhkan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah terlebih dahulu
melakukan upaya persuasif
(3) Upaya persuasif sebagaimana dimaksud pada ayat (21
berupa:
a. pemanggilan pengurus Ormas untuk dimintai
klarifikasi;
b. menyampaikan kepada Ormas bahwa
pelanggaran yang dilakukan merupakan tindakan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
c. meminta kepada Ormas untuk tidak mengulangi
pelanggaran;
d. meminta pengurus Ormas untuk menjaga
ketertiban umum serta persatuan dan kesatuan
bangsa;
e. meminta kepada Ormas untuk mematuhi
peraturan perundan g-undangan.

Pasal 59
Pl{[:S lDEl{
t:{EtrLJ t-it-t t( I N Dot\ EStA

-20-

Pasal 59
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) terdiri atas:
a. peringatantertulis;
b. penghentian bantuan dan/atau hibah;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pencabutan SKT atau pencabutan status badan hukum.

Pasal 60
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 huruf a diberikan secara berjenjang sesuai
dengan tempat kejadian pelanggaran.
(21 Pelanggaran yang terjadi di wilayah kabupaten/kota,
peringatan tertulis diberikan oleh bupati/walikota.
(3) Pelanggaran yang terjadi di lebih dari satu
kabupaten/kota dalam wilayah provinsi, peringatan
tertulis diberikan oleh gubernur.
(4) Pelanggaran yang terjadi di lebih dari satu provinsi,
peringatan tertulis diberikan oleh:
a. Menteri untuk Ormas yang tidak berbadan hukum;
atau
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia untuk Ormas yang berbadan hukum.

Pasal 61
(1) Setiap peringatan tertulis yang diberikan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4)
diberitahukan kepada gubernur yang menjadi tempat
terjadinya pelanggaran dan/atau kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi rnanusia bagi Ormas yang
berbadan hukum.

(2) Setiap
PRES I DEN
REPUEILIl( INDONESIA

-21 -

(21 Setiap peringatan tertulis yang diberikan oleh


bupati/walikota dan gubernur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3) dilaporkan kepada
Menteri dan/atau kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia bagi Ormas yang
berbadan hukum.

Pasal62
(1) Dalam hal Ormas telah mematuhi peringatan tertulis
sebelum berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat mencabut
peringatan tertulis dimaksud.
(2) Pencabutan peringatan tertulis yang diberikan oleh
Menteri atau menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (41
diberitahukan kepada gubernur atau bupati/walikota.
(3) Pencabutan peringatan tertulis yang diberikan oleh
gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal60 ayat (2) atau ayat (3) dilaporkan kepada
Menteri dan/atau kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia bagi Ormas yang
berbadan hukum.

Pasal 63
(1) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis
ketiga, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
menjatuhkan sanksi berupa:
a. penghentian bantuan danf atau hibah; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan.
12) Penghentian bantuan dan/atau hibah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan di setiap
jenjang pemerintahan yang diperoleh Ormas.

Pasal 64
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-22-

Pasal 64
Penghentian bantuan dan/atau hibah oleh gubernur
dan/atau bupati/walikota dilaporkan kepada Menteri
dan/atau kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia bagi
Ormas yang berbadan hukum.

Pasal 65
Dalam hal Ormas tidak memperoleh bantuan dan/atau
hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
huruf a Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c.

Pasal 66
(1) Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
Ormas oleh Pemerintah wajib meminta pertimbangan
hukum dari Mahkamah Agung.
(21 Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari Mahkamah Agung tidak memberikan
pertimbangan hukum, Pemerintah berwenang
memberikan sanksi penghentian sementara kegiatan.
(3) Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
Ormas oleh gubernur terlebih dahulu dimintakan
pertimbangan pimpinan DPRD provinsi, kepala
kejaksaan tinggi, dan kepala kepolisian daerah.
(41 Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
Ormas oleh bupati/walikota terlebih dahulu
dimintakan pertimbangan pimpinan DPRD
kabupatenf kota, kepala kejaksaan negeri, dan kepala
kepolisian wilayah.
(s) Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari pimpinan DPRD, kepala kejaksaan, dan
kepala kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (41 tidak memberikan pertimbangan,
gubernur dan bupati/walikota berwenang mernberikan
sanksi penghentian sementara kegiatan.

Pasal 67
PRES I DEN
REPUBLIK INDONESIA

-23-

Pasal 67
(1) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak
mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota dapat menjatuhkan
sanksi pencabutan SKT.
(2) Pencabutan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terlebih dahulu dimintakan pertimbangan hukum
kepada Mahkamah Agung.

Pasal 68
(1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi
sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dapat menjatuhkan
sanksi pencabutan status badan hukum.
(21 Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan
hukum.

Pasal 69
Pencabutan status badan hukum Ormas, pembubaran
Ormas berbadan hukum, dan proses hukum pembubaran
Ormas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 70
Dalam hal ormas berbadan hukum yayasan asing atau
sebutan lainnya melanggar kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan Pasal 52
Undang-Undang, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi:
a. peringatan tertulis;
b. penghentiankegiatan;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional;
e. pembekuan . .
{,ffi
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-24-

e. pembekuan izin prinsip;


f. pencabutanizinprinsip; dan/atau
g. sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 71
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap ormas
berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal72
(1) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan Ormas,
pengurus Ormas memberitahukan perubahan
kepengurusan dimaksud kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.
(21 Pemberitahuan perubahan kepengurusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
terjadinya perubahan kepengurusan.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 73
Sistem Informasi Ormas yang terhubung secara online
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus sudah
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Pasal 74
Peraturan Pemerintah mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar
{ru
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-25-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 261

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Bidang Pemerintahan Dalam
dan Otonomi Daerah,
Depu m dan Perundang-undangan,
\

Bt-
{iw
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 58 TAHUN 2016
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

I. UMUM
Undang-Undang Nomor t7 Tahun 2Ol3 tentang Organisasi
Kemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut Pasal 19 mengenai
tata cara pendaftaran dan pendataan Ormas, Pasal 40 ayat (7) mengenai
pemberdayaan Ormas, Pasal 42 ayat (3) mengenai Sistem Informasi Ormas,
Pasal 50 mengenai perizinart, tim perizinan, dan pengesahan Ormas yang
didirikan oleh warga negara asing, Pasal 56 mengenai pengawasan oleh
masyarakat dan Pemerintah serta Pemerintah Daerah terhadap Ormas,
Pasal 57 ayat (3) mengenai tata cara Mediasi, dan Pasal 82 mengenai
penjatuhan sanksi bagi Ormas, ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lainnya, dan Ormas badan hukum yayasan yang didirikan warga
negara asing atau warga negara asing bersama dengan warga negara
Indonesia.
Pendaftaran Ormas dalam Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur
Ormas yang tidak berbadan hukum dimaksudkan untuk pencatatan dalam
administrasi pemerintahan dengan diberikan SKT oleh Pemerintah yang
diselenggarakan oleh Menteri. Sedangkan materi muatan mengenai
pendataan Ormas dalam Peraturan Pemerintah ini tidak diatur, karena
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82lPUU-XI l2Ol3
dinyatakan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ol3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemberdayaan Ormas dimaksudkan untuk memberikan kemampuan
dan daya tahan serta peningkatan kemandirian Ormas. Pemberdayaan tidak
hanya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tetapi dilakukan
juga oleh Ormas, masyarakat, dan swasta.

Dalam
PRES IDEN
REPUELIK INDONESIA

-2-

Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan tertib


administrasi, Pemerintah membentuk Sistem Informasi Ormas. Sistem
Informasi Ormas yang dibentuk oleh Pemerintah dikembangkan oleh
kementerian atau instansi terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan
oleh Menteri.
Pengawasan Ormas dilakukan secara internal dan eksternal.
Pengawasan internal dilakukan oleh Ormas tersebut sesuai dengan AD/ART
Ormas, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh masyarakat,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat berupa pengaduan yang disampaikan baik tertulis maupun tidak
tertulis. Untuk meningkatkan dan mengefektifkan pengawasan, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan monitoring dan evaluasi dalam rangka
deteksi dini sebelum terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh ormas.
Penyelesaian sengketa Ormas pada prinsipnya diselesaikan oleh
Ormas itu sendiri. Pemerintah dapat memediasi apabila diminta oleh para
pihak yang bersengketa. Permintaan para pihak untuk Ormas yang berbadan
hukum diajukan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, sedangkan yang
tidak berbadan hukum diajukan kepada Menteri.
Sanksi diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
lingkup tugas dan kewenangannya kepada ormas yang melakukan
pelanggaran. Sanksi dalam Peraturan Pemerintah ini adalah sanksi
administratif. Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebelum menjatuhkan
sanksi administratif kepada ormas melakukan upaya persuasif.
Adapun materi muatan mengenai perizinan, tim perizinan, dan
pengesahan Ormas yang didirikan oleh warga negara asing serta tata cara
pengenaan sanksi terhadap ormas berbadan hukum yayasan asing atau
sebutan lain diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri, tetapi
implementasi Peraturan Pemerintah tersebut merupakan satu kesatuan dali
Peraturan Pemerintah ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
PI{ES lDEt\
FtE[:]t,l BLI ti I l'..l f)ot\l tasl/-\

-3-

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Yang dimaksud dengan "kepengurusannya di daerah"
kepengurusan di daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 1 1
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14. . .
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-4-

Pasal 14
. Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "unit layanan administrasi" adalah unit
layanan yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 2 1
Cukup jelas.

Pasal22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "prinsip kemitraan" adalah hubungan kerja
sama saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling
menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan
untuk mencapai tujuan bersama.

Yang
PRES I DEN
IlEPIJBLI}(. II!DONESIA

-5-

Yang dimaksud dengan "prinsip kesetaraan" adalah persamaan hak


dan kewajiban dalam melaksanakan kerja sama.
Yang dimaksud dengan "prinsip kebersamaan" adalah kerja sama
dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama.
Yang dimaksud dengan "prinsip saling menguntungkan" adalah
kerja sama menguntungkan kedua belah pihak dan tidak ada yang
dirrrgikan hak dan kepentingannya dalam melaksanakan kegiatan.

Pasal24
Ayat (1)
Pemberdayaan Ormas melalui fasilitasi kebijakan dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman dan meningkatkan peran serta
Ormas dalam perumusan dan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan.

Pemberdayaan Ormas melalui penguatan kapasitas kelembagaan


dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan Ormas agar dapat
menganalisa lingkungannya, mengidentifikasikan masalah,
kebutuhan, dan peluang-peluang untuk kemandirian dan
kesinambungan Ormas.
Pemberdayaan Ormas melalui peningkatan kapasitas sumber daya
manusia dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahLr.an,
keahlian, pengalaman, kompetensi, profesionalisme, etika, dan
moralitas pengurus dan/atau anggota Ormas dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
PRES IDEN
REPUELIK INDONESIA

-6-

Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "aspek sejarah" adalah peran serta Ormas di
masa lalu dalam penentuan keadaan sekarang serta arah di masa
depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan "rekam jejak" adalah semua hal yang telah
dilakukan oleh organisasi di masa lalu yang menunjukkan sikap
perilaku dan perbuatan organisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Yang dimaksud dengan "peran" adalah keikutsertaan Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat atau bernegara.
Yang dimaksud dengan "integritas" adalah potensi dan kemampuan
Ormas yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.

Pasal 27
Cukup je1as.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Kementerian terkait" adalah kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang terkait dengan
bidang kegiatan Ormas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
PRESIOEN
REPU BLIK INDONESIA

-7-
Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 4O
Cukup jelas.

Pasal 4 I
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "difasilitasi" meliputi penatausahaan,
penerimaan, dan pemantauan tindak lanjut pengaduan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
PRES I DEN
IIEIfLJBLII( INDONESIA

-8

Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "monitoring dan evaluasi" adalah deteksi
dini, peringatan dini, dan pencegahan dini.
Ayat (21
Yang dimaksud dengan "tim terpadu tingkat pusat" adarah tim yang
terdiri atas unsur kementerian/lembaga terkait.
Yang dimaksud dengan "tim terpadu tingkat daerah" adalah tim
yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, kepolisian, kejaksaan,
dan badan intelijen negara di daerah serta unsur terkait lainnya
sesuai kebutuhan.

Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "sengketa internal Ormas" adalah sengketa
kepengurusan Ormas.
Ayat (21
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "resume permasalahan" adalah kronologi
terjadinya sengketa di internal Ormas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
PRES IDEI{
REPUBLII( INDONESIA

-9 -

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "undang-Undang" adalah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2073 tentang organisasi Kemasyarakatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "setiap peringatan tertulis" adalah
peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
PRES IDEI\
REFJU EILII( INDONESI,T\

-10-

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Yang dimaksud dengan "Undang-Undang" adalah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2ol3 tentang organisasi Kemasyarakatan.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memberitahukan perubahan
kepengurusan" adalah ormas memberitahukan perubahan
kepengurusan kepada pejabat penandatangan SKT sesuai dengan
tempat terdaftar Ormas dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup je1as.

Pasal 74
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5958


8
PP 59/2016
SALINAN

PRES IDEN
REPUBLII( INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 59 TAHUN 2016

TENTANG

ORGANISASI KEMASYARAKATAN
YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh warga


negara asing di Indonesia perlu menghormati kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi manfaat bagi
masyarakat, bangsa dan negara, serta tetap menghormati
nilai sosial budaya masyarakat, patuh dan tunduk pada
hukum yang berlaku di Indonesia;
b. bahwa untuk menciptakan tertib administrasi
penyelenggaraan organisasi kemasyarakatan yang didirikan
oleh warga negara asing di Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu mengatur mengenai pemberian
perizinan, tim perizinan, dan pertimbangan pengesahan
badan hukum organisasi kemasyarakatan yang didirikan
oleh warga negara asing serta tata cara pengenaan sanksi
bagi organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yayasan
asing atau sebutan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 44
sampai dengan Pasal 49 dan Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2Ol3 tentang Organisasi Kemasyarakatan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Organisasi Kemasyarakatan yang
Didirikan oleh Warga.Negara Asing;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang
{,D
PRESIDEN
REPUBLII( INDONESIA

-2

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5430);

MEMUTUSI(AN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ORGANISASI


KEMASYARAKATAN YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA
ASING.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan
tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
2. Tim Perizinan adalah tim antarkementerian yang
membantu menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri dalam pelaksanaan
perizinan ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan
lain serta memberikan pertimbangan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia atas permohonan pengesahan
yayasan yang didirikan oleh warga negara asing.
3. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
. Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Menteri
PIRESIDEI\
[?EtfuBLtt.(. It{DONEStA

-3-

4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan


pemerintahan di bidang luar negeri.
5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang men3idi
kewenangan daerah otonom.

Pasal 2
(1) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga
negara asing atau warga negara asing bersama warga
negara Indonesia; atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh' badan
hukum asing.

Pasal 3
ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hurufl terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang
mengelola dana secara mandiri; dan
b. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang
melaksanakan program kegiatan dari lembaga donor."irrg.

BAB II
PERIZINAN ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH
WARGA NEGARA ASING

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
(1) ormas badan hukumyayasan asing atau sebutan lain wajib
memiliki izin Pemerintah pusat.
(2)Izin. . .
#%\,
%^-ry"''#
-ffi4p544ff

PRES IDEI\
REPUBLIK II!DONESIA

-4-

(2) lzinPemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berupa:
a. izin prinsip; dan
b. izin operasional.
(3) lzin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a diberikan oleh Menteri setelah memperoleh
pertimbangan Tim P erizinan.
(4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Tirn Perizinan

Pasal 5
(1) Tim Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) beranggotakan unsur yang terdiri atas:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesekretariatan negara;
f. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
g. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
bidang teknis terkait.
(21 Tim Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Menteri.
(3) Anggota Tirn Perizinan sebagairnana dirnaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6. .
ffi *W--69_!:i'

Fr t;l ti: !i I D E l.t


F{ Elf, L.l lll-l l(. I l.l DO lrl IIS I A

-5-

Pasal 6
(1) Tim Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
mempunyai tugas:
a. membantu Menteri dalam pelaksan aan perizinan ormas
badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. memberikan pertimbangan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia atas permohonan
pengesahan yayasan yang didirikan oleh warga negara
asing; dan
c. melaksanakan tugas lain yang diperintahkan
oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata kerja Tim
Perizinan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Izin Prinsip
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh izin prinsip, ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain harus memenuhi
persyaratan paling sedikit:
a. ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
dari negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan Indonesia; dan
b. memiliki asas, tujuan, dan kegiatan organisasi yang
bersifat nirlaba.
(21 Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang.
(3) Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin
prinsip berakhir.

Pasal 8
ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain harus
mempunyai tempat kedudukan manajemen efektif dan
berkantor pusat di negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan Indonesia
Pasal9...
*,itn,
6E,{i{io

#l--'rffi-$h
,,i{,,h,:J,

Itrt{ES lDEl''l
I?EPU BLI ti I l{ DC)l\l ESI/-\,

-6-

Pasal 9
Izin prinsip bagi ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a diperoleh melalui tahapan:
a. pengajuan permohonan;
b. verifikasi dokumen;
c. pertimbangan dari Tim Perizinan; dan
d. penerbitan.

Pasal 10
(1) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal t huruf a dilakukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia oleh ketua atau pengurus ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain kepada Menteri.
(21 Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
dilengkapi dengan dokumen persyaratan paling sedikit:
a. surat permohonan untuk melakukan kegiatan di
Indonesia;
b. surat keterangan mengenai rencana pembukaan
kantor perwakilan di Indonesia;
c. surat pernyataan mengenai asas, tujuan, dan kegiatan
organisasi yang bersifat nirlaba;
d. surat penunjukan kepala perwakilan di Indonesia dari
' kantor pusat organisasi;
e. surat rekomendasi dari perwakilan negara tempat
kedudukan kantor pusat organisasi;
f. salinan akta pendirian organisasi yang dilegalisasi oleh
otoritas yang berwenang di negara asal organisasi
didirikan;
o
b' anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
h. profil yang berisi informasi mengenai visi, misi,
struktur organisasi, dan staf;
i. sumber dan jumlah dana yang tersedia;
j. perencanaan pengelolaan keuangan;

k. surat
i!..
t '.t.t,
i,''i:H';',
( ':j. _._ ,.,r ,, ;irrir
::i::. "r.,,r'.1,r:-:. liiill
ri, r :ll,ft",ii
." :.i
jilii
.i( r ..

;,lii ,. r'' '1.


.i:'.;:'
;,'iilil',- 5l+r,'
v'-..' .-. '

trREStDEi,l
i.iiii::1,.I l1lL-! lr. ! I'InC, I I i::S|,^.

-7 -

k. surat pernyataan bahwa sumber pendanaan tidak


berasal dari kegiatan yang melawan hukum dan tidak
digunakan untuk kegiatan yang melawan hukum, serta
tidak diperoleh dari hasil pencarian dana di wilayah
Republik Indonesia;
l. rencana dan program kerja yang akan dilakukan di
Indonesia;
m. rencana kerja sama dengan Pemerintah Pusat dan
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia;
n. rencana tempat kedudukan kantor perwakilan pusat di
ibu kota negara atau ibu kota provinsi; dan
o. rencana tempat kedudukan kantor operasional.
(3) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b, dilengkapi dengan dokumen persyaratan paling
sedikit:
a. surat permohonan untuk melakukan kegiatan di
Indonesia;
b. surat perintah kerja dari lembaga donor kepada badan
hukum yayasan asing atau sebutan lain pelaksana
kerja sama;
c. surat rekomendasi dari perwakilan negara tempat
kedudukan kantor pusat organisasi;
d. salinan akta pendirian organisasi yang dilegalisasi oleh
otoritas yang berwenang di negara asal organisasi
didirikan;
e. profil yang berisi informasi mengenai visi, misi,
struktur organisasi, dan staf;
sumber dan jumlah dana untuk melaksanakan
kegiatan;
o
b. surat pernyataan bahwa sumber pendanaan tidak
berasal dari kegiatan yang melawan hukum dan tidak
digunakan untuk kegiatan yang melawan hukum, serta
tidak diperoleh dari hasil pencarian dana di wilayah
Republik Indonesia;
h. rencana dan program kerja yang akan dilakukan di
Indonesia; dan
1. rencana tempat kedudukan kantor operasional di
Indonesia.

Pasal 11
ri-.ii. . :i .

6-tii;"tt'"a ' r.r1tl,,,


i.i,Li l.i iiilii -
",i{-,'t:,',r..,.:ii.';, lliJi
J::li .'l:iiiil: i:'j',',
ilir'i., i "t-:11..a,.,
,j:!.';'
'_i,iii;r.+...
L ii1::.lql-,r,.: .'

IJI{ES IDEI,I
REPUEL.II( II.IDOI.IIISIA

-8-

Pasal 11

(1) Dalam hal persyaratan pengajuan permohonan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 telah lengkap,
Menteri menugaskan Tim Perizinan untuk melakukan
verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal t huruf b.
(2) Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memeriksa kebenaran dan keabsahan
persyaratan pengajuan permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.

Pasal 12
(1) Dalam hal verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 telah terpenuhi, pemohon menyampaikan
paparan visi, misi, dan rencana kegiatan di Indonesia di
hadapan Tim Perizinan.
(2) Paparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk mengetahui motivasi, kapasitas, rencana kegiatan,
pendanaan, kesiapan pemohon, dan menyesuaikan dengan
program Pemerintah Pusat.

Pasal 13
(1) Dalam hal paparan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) telah disampaikan, Tim Perizinan
memberikan pertimbangan kepada Menteri.
(2) Dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Tim Perizinan menyelenggarakan pertemuan
paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Pertimbangan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa pertimbangan untuk menerima atau
menolak izin prinsip.

Pasal 14
(1) Berdasarkan pertimbangan Tim Perizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Menteri menyampaikan
keputusan mengenai pemberian atau penolakan izin
prinsip.
(2) Dalam
.I:rt i-:' .? t.,
.r:rl{k-{(\r':.:J!,r!
/L-di{'' n '{i'r,i),
iS,n
-(iirisF+--_\llt
,,1:,.,.1_
rrili i+.[
4":r .{,Er&.i j}lli
I!-4,.
r.ti[; '' \ -+l:,!\?
rr
tril:-e_n-r -,i!jt'.'
- hIiie"'/_-.i,':4:21' '
'r J' -r

rJRES IDEI..I
REFU t3t_tl(. It.tDot..lEStA

-9-

(2) Dalam hal izin prinsip diberikan, Menteri memberikan izin


kepada pemohon untuk bermitra dengan 1 (satu)
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
(3) Dalarn hal izin prinsip ditolak, pemohon tidak dapat
melakukan kegiatannya di wilayah Indonesia.
(41 Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
didelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk.

pasal 15
(1) Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dilakukan melalui pengajuan permohonan
secara tertulis dengan Bahasa Indonesia kepada Menteri
dengan melampirkan persyaratan paling sedikit:
a. laporan kegiatan dan laporan keuangan akhir; dan
b. rekomendasi dari kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra kerja sama.
(21 Dalam hal permohonan perpanjangan izin prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, maka:
a. Tim Perizinan merekomendasikan pemohon untuk
bermitra dengan 1 (satu) kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian terkait;
b. Menteri memberitahukan kepada pemohon dan
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
terkait perihal perpanjangan.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan izin prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, pemohon
tidak dapat melakukan kegiatannya di wilayah Indonesia.

Bagian Keempat
Izin Operasional

Pasal 16
(1) Izin operasional bagi ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain hanya dapat diberikan seterah ormas
mendapatkan izin prinsip.

(2) Untuk
ffi
'lii.;fu,-,1i.,i.i.r'

tf,RES tDEt,t
IIEIfULILII( II.IDOIIESIA

-10-

(2) Untuk memperoleh izin operasional, ormas badan hukum


yayasan asing atau sebutan lain harus memiliki:
a. perjanjian tertulis dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang
kegiatannya; dan
b. rencana kerja tahunan dengan Pemerintah Daerah
setempat
(3) lzin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan tidak melebihi jangka waktu izin prinsip dan
dapat diperpanjang.
(4) Perpanjangan izin operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin
operasional berakhir.
(s) Dalam hal ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan
lain hanya melakukan kegiatan dengan
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
tidak diberlakukan.
(6) Ormas yang telah memiliki perjanjian tertulis dan rencana
kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). dan
ayat (5) dianggap teiah memiliki izin operasional.

Pasal 17
(1) Pengqjuan permohonan izin operasional diajukan secara
tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh ketua atau pengurus
ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
kepada menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen persyaratan paling
sedikit:
a. perjanjian tertulis dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang
kegiatannya;
b. nomor rekening bank nasional yang digunakan untuk
kegiatan ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain; dan
c. nomor pokok wajib pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
ttii.[--'':Y+,i
".+,
{$ "*ui,* 'it}
,,,tiri,o,l,
)ui!|?
.,.tr;';tr-:(,.,,ir"-

PRL.S IDEI..I
lQEtrLl BLIN ll.{DOt\t ESIA

_ 11_

Pasal 18
(1) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud daram
Pasal 16 ayat (2) huruf a harus memuat paling sedikit:
a. tujuan kerja sama;
b. ruang iingkup kerja sama;
c. wilayah kerja sama;
d. lembaga pelaksana;
e. arahan program;
f. rencana kegiatan;
o
b' kewajiban para pihak;
h. batasan aktivitas ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain dan stafnya;
i. status perlengkapan dan material pendukung;
j. kedudukan para pihak;
k . penyelesaian sengketa; dan
l. masa berlaku.
(21 Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dibahas dalam rapat antarkementerian yang
dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain dan dihadiri oleh
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

Pasal 19
(1) Pengajuan permohonan izin operasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal lZ wajib dibahas dalam
rapat antarkementerian yang dikoordinasikan oleh
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang
menjadi mitra ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain dan dihadiri oleh kementerian/rembaga
pemerintah nonkementerian terkait.
(2) ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan rain yang
akan melakukan kegiatan di daerah wajib memberitahukan
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri.

Pasal 20
*riu$' ';i:li:i..
i'ifl A "''*hr

if,ffi).}}
,]l+.1. ,1.,r,i,+
',, i{?ri'}_. I;.-,
-'
:.-=.

PRES IDEI.I
RElrUBl-.1 l( ll\lDt)l'lESlA

-t2_

Pasal 20
Berdasarkan hasil pembahasan dalam rapat antarkementerian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat ( 1),
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang
menjadi mitra dan Pemerintah Daerah terkait menyampaikan
keputusan mengenai pemberian atau penolaka n izin operasional
kepada ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain.

Pasal 2 1
Dalam hal permohonan izin operasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ditolak, menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada pemohon disertai alasan
penolakan.

Pasal 22
Perpanjangan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) harus disampaikan oleh pengurus ormas badan
hukum yayasan asing atau sebutan lain kepada
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang
menjadi mitra dengan melampirkan persyaratan paling sedikit:
a. perjanjian tertulis baru dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang
kegiatannya;
b. laporan kegiatan dan laporan keuangan akhir; dan
c. nomor rekening bank nasional yang digunakan untuk
kegiatan.

Pasal 23
Ketentuan mengenai materi muatan dan pembahasan perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku mutatis
mutandis terhadap perjanjian tertulis baru sebagaimana
dirnaksud dalam Pasal 22 h:urt;f a.

Pasal24
PIlESIDEI\
REFU BLI f(. I l{ DOt\l ESl,r\

-13-

Pasal24
Dalam hal perpanjangan izin operasional disetujui, ormas yang
meneruskan kegiatannya di daerah wajib melaporkan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri.

Bagian Kelima
Personel Ormas yang Didirikan
oleh Warga Negara Asing

Pasal 25
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang
telah mendapatkan izin prinsip dan izin operasional dapat
menjalankan kegiatannya di wilayah Indonesia.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menjalankan kegiatannya di wilayah Indonesia wajib
mempekerj akan staf berkewargane garaan Indone sia.
(3) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat
mengajukan permohonan penugasan staf
berkewarganegaraan asing paling banyak 3 (tiga) orang.
(4) Permohonan penugasan staf berkewarganegaraan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diqiukan kepada Tim
Perizinan melalui kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra.
(5) Setiap staf berkewarganegaraan asing yang telah disetujui
oleh Tim Perizinan untuk bekerja pada ormas yang
didirikan oleh warga negara asing wajib tunduk dan patuh
pada perjanjian tertulis dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang menjadi mitra dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Permohonan penugasan staf berkewarganegaraan asing
tersebut tidak melebihi masa berlaku izin operasional.
(7) Dalam hal izin operasional tersebut diperpanjang, masa
penugasan staf berkewarganegaraan asing tidak melebihi
5 (lima) tahun dan penugasannya tidak dapat diperpanjang
kembali.

(8) Dalam...
. :.,,
.il,!ii':r '."i '
..
r,','.s.ilir.
.:l'.ir.ij "
:.

i,r:ir' i .,ri i.r


!:jrr , iii-i '
r1
'i:jii.i
-i
i,l;' ri:,i;;i 1,::' li$ti
rJjr1 .,:''.,;+i;\ .illll
1;;'t:,, i \ ,ri;.';''
'f;iirll;. .,!:!i',''

lf, l"i l.:,':i I D E. l.l


[.]L:i:rt l Lit-1 1,. l l lt]]r-t t.l l:-S l,:r

-14-

(8) Dalam hal penugasan staf berkewarganegaraan asing


sebagaimana dirnaksud pada ayat (4) tetaf
diusulkan untuk diperpanjang, penugasan staf
berkewarganegaraan asing harus tunduk pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerj aan
dan keimigrasian.
(e) Perpanjangan penugasan staf berkewarganegaraan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (S) harui
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
yang menjadi mitra.

BAB III
PERTIMBANGAN PENGESAHAN BADAN HUKUM YAYASAN
YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

Pasal 26
(1) ormas badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c hanya dapat disahkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia setelah
mendapatkan pertimbangan Tirn p erizinan.
(2) Untuk memperoleh pertimbangan Tim perizinan, ormas
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (2) huruf b dan huruf c mengajukan permohonan
kepada Menteri selaku koordinator Tim perizinan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
dengan melampirkan persyaratan paling sedikit:
a. surat permohonan pertimbangan pengesahan;
b. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan yayasan yang
didirikan tidak merugikan masyarakat, -bangsa,-dan
negara Indonesia;
c. identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang
sah; dan
d. struktur kepengurusan yayasan.

Pasal 27
,.',"ih{ilo,i.t$"
Nrti l'i\ '\th
tti=tffi'Jifi
'tfun* "|tdP'

FrHt:Slt"lEl..l
Ftfi::PL.l BLI l( I l'n D()1,! ESl,r\

-15-

Pasal 27
(1) Tim Perizinan menyampaikan keputusan mengenai hasil
pertimbangan kepada ormas badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Dalam hal hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon.

BAB IV
SANKSI

Pasal 28
Dalam hal ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 dan Pasal 52 Undang-Undang tentang Organisasi
Kemasyarakatan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentiankegiatan;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional;
e. pembekuan izin prinsip;
f. pencabutan izin prinsip; dan/atau
g. sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 29
(1) Sebelum menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Pemerintah pusat dan/atau
Pemerintah Daerah terlebih dahulu melakukan upaya
persuasif secara terkoordinasi.
(2) Upaya persuasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. pemanggilan pengurus ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain untuk dimintai klarifikasi;

b.menyampaikan...
i'("

#_ /ii
Ilii:+{f
^';+ii'u.
'{*lr
qL }ffi"",i#
-'i'iF+ll.*
't7*
:;t{!|
'''i-^" -"

PRr:S;lilEl.l
IQEPU li: I l{ D$l.l ESIA
L:-lLl

-16-

b. menyampaikan kepada ormas badan hukum yayasan


asing atau sebutan lain bahwa pelanggaran yang
dilakukan merupakan tindakan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
c. meminta kepada ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain untuk tidak mengulangi
pelanggaran;
d. meminta pengurus ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain untuk menjaga ketertiban umum
serta persatuan dan kesatuan bangsa; dan
e. meminta kepada ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 30
(1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf e, dan
huruf f.
(2) Menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf c dan huruf d.
(3) Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, yakni
melalui pembatalan persetujuan rencana kerja tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b.

Pasal 3 1
Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3o dilaksanakan sebagai
berikut:
a. pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dapat melakukan secara
bertahap dan/atau tidak bertahap;
b. penjatuhan sanksi oleh pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal go ayat (g) ditakukan setelah
berkoordinasi dengan Menteri melalui Tirn perizi.nan;

c. pembatalan
Ar"]tiiiti,,,.,ili*ir"

ffi #
'**flr,gp-...4io

13I?ESIDEI\I
ft[:t-u BL-tr( I tn D{)l..t EStr\

-t7-

c. pembatalan perjanjian tertulis oleh menteri/pimpinan


lembaga pemerintah nonkementerian dilakukan setelah
berkoordinasi dengan Menteri melalui Tim Perizinan; dan
d. penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 dilakukan melalui keputusan.

Pasal 32
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjatuhan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan
Pasal 31 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan
kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

Pasal 33
Penjatuhan sanksi administratif untuk ormas yang didirikan
oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan sesuai dengan
ketentuan penjatuhan sanksi administratif terhadap Ormas
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OlA tentang
Organisasi Kemasyarakatan.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar
FRES IDEN
REPIJBLII( INDONESIA

_18_

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesii

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN


2OI6NOMOR 262

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Bidang pemerintahan Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah,
Deputi dan irerundang-undangan,
ffi(rm

t Karyono
$, ,,$,

tfr,.ffi
'lil#;*--.,4w*j
#
F[i:[::sItiEl''!
tilEF,LI tf t..l ti. I Nt DO t.,t F:$tA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 TAHUN 2016

TENTANG

O RGANI SASI KEMASYARAKATAN


YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

I. UMUM

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OL3 tentang Organisasi


Kemasyarakatan mengamanatkan bahwa pengaturan lebih lanjut
Pasal 43 sampai dengan Pasal 49 mengenai perizirtan, Tim Perizinan, dan
pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara asing ditetapkan
dengan suatu Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini mengatur ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain, serta ormas yang didirikan oleh warga negara asing,
atau warga negara asing bersama dengan warga negara Indonesia, atau oleh
badan hukum asing.
Perizir:.an ormas yang didirikan oleh warga negara asing
dimaksudkan untuk memastikan bahwa kegiatan ormas badan hukum
yayasan asing sejalan dengan program pembangunan nasional.
Tim Perizinan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada
ormas yang didirikan oleh warga negara asing dengan sebaik-baiknya dan
menjadi wadah koordinasi bagi kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dalam pembuatan pertimbangan perizinan bagi ormas yang
didirikan oleh warga negara asing.
Pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara asing
dimaksudkan untuk memastikan bahwa kegiatan ormas badan hukum
yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau warga negara asing
bersama dengan warga negara Indonesia atau badan hukum asing sejalan
dengan visi misi Pemerintah Pusat dalam menjalankan program
pembangunan.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur tentang pengenaan sanksi
bagi ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang tidak
memenuhi ketentuan mengenai kewajiban dan larangan sebagaimana diatur
dalam Pasal51 dan Pasal52 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ol3 tentang
organisasi Kemasyarakatan'
II. ,ASAL . . .
$ffi
-6{Wi&,#

PIlES IDEI\I
t?EPU Bt_il( tI.tDot.tEStA

-2-

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 1 1
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal14...
W
ITEPU
PRES IDEI'I
HLil( il!DOt!ESt4\

3-

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perjanjian tertulis" adalah memorandum
saling pengertian yang ditandatangani oleh ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain dan pihak kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang menjadi mitra.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkait'' adalah kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan, keamanan, pemerintahan dalam negeri, luar
negeri, keuangan, danf atau kesekretariatan negara.

Pasal 19
,$i.li,, n'. .

ffi$h
n{f;*[*J@

[]RES IDEt\l
l( I I,l DON ESIA
t-lE[:,tJ BL-l

-4-

Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkaif' adalah kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan, keamanan, pemerintahan dalam negeri, luar
negeri, keuangan, dan/atau kesekretariatan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal31...
If RES IDEI{
REPUBLIl,( II{DONESIA

-5-

Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian" adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5959


9
ATURAN TEKNIS
ORMAS SKT
SALINAN

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 56 TAHUN 2017
TENTANG
PENGAWASAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI LINGKUNGAN
KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa keberadaan organisasi kemasyarakatan harus


memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan
negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas organisasi kemasyarakatan perlu dilakukan
pengawasan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pengawasan Organisasi
Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam
Negeri dan Pemerintah Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang


Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5430);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5887);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 261, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5958);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2016 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh Warga
Negara Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 262, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5959);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG
PENGAWASAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI
LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN
PEMERINTAH DAERAH.
-3-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
4. Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen untuk
menjamin agar kinerja Ormas berjalan sesuai dengan
tujuan dan fungsi Ormas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5. Tim Terpadu adalah tim yang dibentuk oleh pemerintah
dan pemerintah daerah dalam upaya pengawasan Ormas.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.
7. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri.
8. Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus
Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka
Dekonsentrasi.
-4-

Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk:
a. menjamin aktivitas Ormas berjalan secara efektif dan
efisien sesuai dengan rencana dan program kerja serta
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. meningkatkan kinerja dan akuntabilitas Ormas; dan
c. menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas atau
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing.

BAB II
MEKANISME PENGAWASAN

Pasal 3
(1) Untuk melaksanakan tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan Pengawasan secara internal dan
eksternal.
(2) Pengawasan secara internal dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan secara eksternal dilakukan oleh masyarakat,
Menteri, gubernur dan bupati/wali kota.

Pasal 4
(1) Pengawasan dilakukan terhadap Ormas yang berbadan
hukum dan/atau tidak berbadan hukum.
(2) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di antaranya dapat berupa Ormas yang didirikan
oleh warga negara asing.
(3) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga
negara asing atau warga negara asing bersama warga
negara Indonesia; dan/atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.
-5-

Pasal 5
(1) Bentuk Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan melalui
pengaduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan kepada Menteri, menteri/pimpinan lembaga
terkait, gubernur, dan/atau bupati/wali kota.
(3) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat disampaikan secara tertulis dan/atau tidak
tertulis.

Pasal 6
(1) Pengaduan masyarakat secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) difasilitasi oleh unit
pelayanan pengaduan masyarakat pada
kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal unit layanan pengaduan di Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia,
pengaduan masyarakat dapat disampaikan melalui
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik.
(3) Pengaduan masyarakat secara tidak tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dapat disampaikan
melalui aparatur pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah setempat.

Pasal 7
(1) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) paling sedikit memuat informasi mengenai
subjek, objek, dan materi pengaduan.
(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 8
(1) Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum menindaklanjuti pengaduan
masyarakat.
-6-

(2) Gubernur dan bupati/wali kota melalui Kepala


Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di tingkat
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota
menindaklanjuti pengaduan masyarakat.
(3) Tindak lanjut pengaduan masyarakat dilakukan secara
terkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait
dan/atau Pemerintah Daerah.

Pasal 9
(1) Pengawasan eksternal yang dilaksanakan oleh Menteri,
gubernur dan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan sesuai dengan jenjang
pemerintahan.
(2) Pelaksanaan Pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh:
a. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum;
b. Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di
provinsi; dan/atau
c. Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di
kabupaten/kota.

Pasal 10
(1) Menteri mengoordinasikan Pengawasan eksternal
terhadap Ormas berbadan hukum Indonesia dan tidak
berbadan hukum.
(2) Gubernur mengoordinasikan Pengawasan eksternal di
daerah provinsi.
(3) Bupati/Wali Kota mengoordinasikan Pengawasan
eksternal di daerah kabupaten/kota.

Pasal 11
Pengawasan eksternal terhadap ormas berbadan hukum
yayasan asing atau sebutan lain, dikoordinasikan oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang luar negeri
-7-

Pasal 12
(1) Pengawasan eksternal oleh Menteri, gubernur dan
bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), dilakukan secara terencana dan sistematis baik
sebelum maupun setelah terjadi pengaduan masyarakat.
(2) Pelaksanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan melalui monitoring dan evaluasi.

Pasal 13
(1) Untuk meningkatkan pelaksanaan Pengawasan Ormas
dibentuk Tim Terpadu.
(2) Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas:
a. Tim Terpadu Nasional;
b. Tim Terpadu Provinsi; dan
c. Tim Terpadu Kabupaten/Kota.
(3) Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melibatkan instansi vertikal.

Pasal 14
(1) Tim Terpadu Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf a, memiliki susunan keanggotaan,
yang terdiri atas:
a. Pengarah : Menteri Dalam Negeri.
b. Ketua : Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri.
c. Sekretaris : Direktur Organisasi
Kemasyarakatan Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan
Umum Kementerian Dalam Negeri.
d. Anggota : 1. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di
Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan.
2. Unsur Pejabat Struktural
-8-

setingkat Eselon I yang


membidangi Ormas di
Kementerian Hukum dan HAM.
3. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di
Kementerian Sosial.
4. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di
Kementerian Luar Negeri.
5. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di
Kementerian Agama.
6. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di Markas
Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
7. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di Kejaksaan
Agung.
8. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di Markas
Besar Tentara Nasional
Indonesia.
9. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di Badan
Intelijen Negara.
(2) Tim Terpadu Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
-9-

Pasal 15
(1) Tim Terpadu Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf b, memiliki susunan keanggotaan, yang
terdiri atas:
a. Penanggung : Gubernur.
Jawab
b Ketua : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik.
c. Sekretaris : Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik.
d. Anggota : 1. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Komando
Daerah Militer.
2. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Kepolisian
Daerah.
3. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Kejaksaan
Tinggi.
4. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Badan
Intelijen Daerah.
5. Pejabat Struktural setingkat
Eselon III yang membidangi
Ormas di provinsi dan/atau
instansi vertikal terkait lainnya
sesuai kebutuhan.
(2) Tim Terpadu Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
- 10 -

Pasal 16
(1) Tim Terpadu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c, memiliki susunan
keanggotaan, yang terdiri atas:
a. Penanggung : Bupati/Wali Kota.
Jawab
b. Ketua : Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan
lainnya.
c. Sekretaris : Kepala Bidang/Kepala Seksi
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik atau sebutan lainnya.
d. Anggota : 1. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon IV yang
membidangi Ormas di Komando
Distrik Militer.
2. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon IV yang
membidangi Ormas di
Kepolisian Resor.
3. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon IV yang
membidangi Ormas di
Kejaksaan Negeri.
4. Pejabat Struktural setingkat
eselon IV di kabupaten/kota
dan/atau instansi vertikal
terkait lainnya sesuai
kebutuhan.
(2) Tim Terpadu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Wali
Kota.

BAB III
PELAPORAN

Pasal 17
(1) Gubernur melaporkan hasil Pengawasan di provinsi
kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum.
- 11 -

(2) Bupati/Wali Kota melaporkan hasil Pengawasan di


kabupaten/kota kepada gubernur melalui Kepala
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik.
(3) Laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan
atau sewaktu-waktu diperlukan.

BAB IV
PENDANAAN

Pasal 18
(1) Pendanaan Pengawasan Ormas yang dilakukan oleh
Menteri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Pendanaan pengawasan Ormas yang dilakukan oleh
gubernur dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi.
(3) Pendanaan Pengawasan Ormas yang dilakukan oleh
bupati/wali kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai pemantauan organisasi masyarakat asing
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 49 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemantauan Orang
Asing dan Organisasi Masyarakat Asing di Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 455), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 20
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 12 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2017

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TJAHJO KUMOLO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1051.


Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,

ttd

WIDODO SIGIT PUDJIANTO


Pembina Utama Madya (IV/d)
NIP. 19590203 198903 1 001.
SALINAN

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 57 TAHUN 2017
TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI ORGANISASI
KEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 dan


Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, perlu
mengatur pendaftaran dan pengelolaan sistem informasi
organisasi kemasyarakatan;
b. bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun
2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi
Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam
Negeri dan Pemerintah Daerah, sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan peraturan perundang-undangan
sehingga perlu diganti;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pendaftaran
dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi
Kemasyarakatan;
-2-

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang


Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5035);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5430);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5887);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 261, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5958);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI
ORGANISASI KEMASYARAKATAN.
-3-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Surat Keterangan Terdaftar yang selanjutnya disingkat
SKT adalah dokumen yang diterbitkan oleh Menteri yang
menyatakan Ormas tidak berbadan hukum telah
terdaftar pada administrasi pemerintahan.
3. Pendaftaran adalah proses pencatatan terhadap Ormas
yang tidak berbadan hukum untuk pencatatan dalam
administrasi pemerintahan dengan persyaratan tertentu
untuk diberikan SKT oleh Pemerintah yang
diselenggarakan oleh Menteri.
4. Sistem Informasi Ormas yang selanjutnya disebut
SIORMAS adalah seperangkat tatanan yang meliputi
data, informasi, sumber daya manusia, dan teknologi
yang saling berkaitan dan dikelola secara terintegrasi
yang berguna untuk mendukung manajemen pelayanan
publik dan tertib administrasi.
5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
6. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah
peraturan dasar Ormas.
7. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat
ART adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran
AD Ormas.
-4-

8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan


pemerintahan dalam negeri.
9. Kementerian adalah kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
10. Hari adalah hari kerja.

Pasal 2
(1) Ormas dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
(2) Pengaturan Ormas berbadan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 3
(1) Peraturan Menteri ini mengatur pendaftaran Ormas yang
tidak berbadan hukum dan pengelolaan SIORMAS.
(2) Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbasis anggota atau
tidak berbasis anggota.

Pasal 4
(1) Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat memiliki struktur
kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang.
(2) Struktur kepengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam AD/ART Ormas.

BAB II
PENDAFTARAN

Pasal 5
Ormas tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan SKT.
-5-

Pasal 6
SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diterbitkan oleh
Menteri.

Pasal 7
(1) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dan
memiliki struktur kepengurusan berjenjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh
pengurus Ormas di tingkat pusat kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(2) Pengurus Ormas yang tidak berbadan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melaporkan
keberadaan kepengurusannya di daerah kepada
Pemerintah Daerah setempat dengan melampirkan SKT
dan kepengurusan di daerah.

Pasal 8
Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dan
memiliki struktur kepengurusan tidak berjenjang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan
oleh pengurus Ormas sesuai dengan domisili sekretariatnya.

BAB III
TATA CARA PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
Pendaftaran Ormas dilakukan melalui tahapan:
a. pengajuan permohonan;
b. pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen
Pendaftaran; dan
c. penerbitan SKT atau penolakan permohonan
Pendaftaran.
-6-

Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Permohonan

Pasal 10
(1) Pengurus Ormas mengajukan permohonan pendaftaran
secara tertulis kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi Kementerian dengan tembusan kepada
gubernur dan bupati/wali kota.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disampaikan melalui gubernur atau
bupati/wali kota pada unit layanan administrasi di
daerah provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Permohonan pendaftaran melalui bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tembusan
kepada Gubernur.
(4) Permohonan pendaftaran melalui Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan tembusan kepada
bupati/wali kota.
(5) Unit layanan administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di antaranya terdiri dari perwakilan Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(6) Unit layanan administrasi di daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di
antaranya terdiri dari perwakilan Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
(7) Dalam hal unit layanan administrasi di daerah provinsi
atau daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum tersedia, permohonan pendaftaran
disampaikan melalui Badan/Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik atau sebutan lainnya di daerah provinsi atau
daerah kabupaten/kota.
(8) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diajukan dan ditandatangani oleh
pendiri dan pengurus Ormas.
-7-

(9) Dalam hal pendiri meninggal dunia atau berhalangan


tetap, permohonan pendaftaran Ormas dapat diajukan
dan ditandatangani oleh pengurus Ormas.

Pasal 11
(1) Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan dengan
melampirkan persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh Notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengurus;
d. surat keterangan domisili sekretariat Ormas;
e. Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Ormas;
f. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan
atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
(2) Selain persyaratan permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ormas
melampirkan:
a. formulir isian data Ormas;
b. surat pernyataan tidak berafiliasi secara kelembagaan
dengan Partai Politik;
c. surat pernyataan bahwa nama, lambang, bendera,
tanda gambar, simbol, atribut, dan cap stempel yang
digunakan belum menjadi hak paten dan/atau hak
cipta pihak lain serta bukan merupakan milik
Pemerintah;
d. rekomendasi dari kementerian yang melaksanakan
urusan di bidang agama untuk Ormas yang memiliki
kekhususan bidang keagamaan;
e. rekomendasi dari kementerian dan/atau perangkat
daerah yang membidangi urusan kebudayaan untuk
Ormas yang memiliki kekhususan bidang kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan
f. surat pernyataan kesediaan atau persetujuan dari
pejabat negara, pejabat pemerintahan, dan/atau
-8-

tokoh masyarakat yang bersangkutan, yang namanya


dicantumkan dalam kepengurusan Ormas.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dan huruf c ditandatangani oleh ketua dan
sekretaris Ormas atau sebutan pengurus lainnya.

Pasal 12
AD dan ART sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi.

Pasal 13
(1) Susunan pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. ketua atau sebutan lain;
b. sekretaris atau sebutan lain; dan
c. bendahara atau sebutan lain.
(2) Seluruh pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan anggota Ormas berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 14
Kelengkapan dokumen susunan pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c mencakup:
a. biodata pengurus organisasi, yaitu ketua, sekretaris dan
bendahara atau sebutan lainnya;
b. pas foto pengurus organisasi berwarna, ukuran 4 x 6
(empat kali enam), terbaru dalam 3 (tiga) bulan terakhir;
c. foto copy Kartu Tanda Penduduk Elektronik pengurus
organisasi; dan
-9-

d. surat keputusan tentang susunan pengurus Ormas


secara lengkap yang sah sesuai dengan AD/ART Ormas.

Pasal 15
(1) Surat keterangan domisili sekretariat Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d,
dikeluarkan oleh lurah/kepala desa setempat atau
sebutan lainnya.
(2) Surat keterangan domisili sekretariat Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat lampiran:
a. bukti kepemilikan, atau surat perjanjian kontrak atau
ijin pakai dari pemilik/pengelola; dan
b. foto kantor atau sekretariat Ormas, tampak depan
yang memuat papan nama.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pemeriksaan Kelengkapan dan Keabsahan
Dokumen Pendaftaran

Pasal 16
(1) Unit layanan administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) memeriksa kelengkapan
permohonan Pendaftaran.
(2) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi kelengkapan:
a. petugas unit layanan administrasi Kementerian
melakukan pencatatan dalam daftar registrasi
permohonan; atau
b. petugas unit layanan administrasi daerah provinsi
dan/atau daerah kabupaten/kota, melakukan
pencatatan dan membuat tanda terima permohonan.
(3) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi kelengkapan,
berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon.
- 10 -

Pasal 17
(1) Pemeriksaan kelengkapan permohonan Pendaftaran yang
telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2), dilakukan melalui pemeriksaan
keabsahan dokumen Pendaftaran.
(2) Untuk pengajuan permohonan Pendaftaran melalui unit
layanan administrasi Kementerian, pemeriksaan
keabsahan dokumen Pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan oleh Menteri melalui Direktur
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(3) Untuk pengajuan permohonan Pendaftaran melalui unit
layanan administrasi daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota, dan pemeriksaan keabsahan dokumen
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh gubernur atau bupati/wali kota melalui
Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
(4) Hasil pemeriksaan keabsahan dokumen Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dituangkan dalam
formulir keabsahan dokumen.
(5) Formulir keabsahan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disertai dengan surat pengantar dari Kepala
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik provinsi atau
kabupaten/kota, dikirimkan kepada Menteri melalui unit
layanan administrasi Kementerian.
(6) Pengiriman formulir keabsahan dokumen Pendaftaran
dan surat pengantar dari Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik provinsi atau kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat disampaikan
melalui pos atau melalui media elektronik.
(7) Unit layanan administrasi Kementerian melakukan
pencatatan hasil pemeriksaan dokumen Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam daftar
registrasi permohonan.
- 11 -

Pasal 18
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak
permohonan pendaftaran dicatat di unit layanan
administrasi Kementerian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), Menteri memberikan
atau menolak penerbitan SKT.

Bagian Keempat
Tata Cara Penerbitan SKT atau Penolakan Permohonan
Pendaftaran

Pasal 19
(1) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 diterima, Direktur Jenderal
Politik dan Pemerintahan Umum atas nama Menteri
menerbitkan SKT.
(2) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ditolak, Direktur Jenderal
Politik dan Pemerintahan Umum atas nama Menteri
menerbitkan surat penolakan dengan disertai alasan
penolakan.
(3) Dalam penerbitan SKT atau penolakan permohonan
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Menteri dapat berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga sesuai dengan bidang Ormas.
(4) Penerbitan SKT atau surat penolakan permohonan
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), disampaikan oleh Menteri melalui petugas unit
layanan administrasi kepada pemohon.
(5) Penerbitan SKT atau penolakan permohonan Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan
kepada gubernur dan bupati/wali kota di wilayah
domisili sekretariat Ormas.
- 12 -

Pasal 20
(1) SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, memuat:
a. nomor SKT;
b. nama organisasi;
c. tanggal berdiri organisasi;
d. bidang kegiatan organisasi;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama organisasi;
f. alamat organisasi;
g. masa berlaku SKT;
h. nama instansi yang menerbitkan; dan
i. nama dan tanda tangan pejabat.
(2) SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicetak dalam
kertas yang bertanda khusus dengan ukuran F4.
(3) Penulisan SKT dengan menggunakan jenis huruf
bookman old style dengan huruf 12 (dua belas).
(4) Kertas bertanda khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), menggunakan nomor seri dan/atau huruf, yang
diletakkan pada halaman belakang samping kiri bagian
bawah.
(5) SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditandatangani oleh pejabat yang menangani Ormas 1
(satu) tingkat di bawah Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum atas nama Menteri.

Pasal 21
Masa berlaku SKT selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal ditandatangani.

Pasal 22
Format tentang formulir isian data Ormas, formulir
keabsahan dokumen, Surat Pernyataan, SKT dan petunjuk
pengisian SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf a, Pasal 17 ayat (4), Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 20 tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
- 13 -

BAB IV
TATA CARA PERPANJANGAN DAN PERUBAHAN SKT

Pasal 23
(1) Pengurus Ormas dapat mengajukan permohonan
perpanjangan SKT Ormas untuk SKT Ormas yang telah
berakhir masa berlakunya.
(2) Tata cara pendaftaran Ormas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 21 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap tata cara perpanjangan SKT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 24
Pengurus Ormas harus mengajukan perubahan SKT apabila
terjadi perubahan nama, bidang kegiatan, Nomor Pokok
Wajib Pajak, dan/atau alamat Ormas.

Pasal 25
(1) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ditandatangani oleh pengurus Ormas dan
dilengkapi bukti pendukung.
(2) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat diajukan kepada Menteri melalui
unit layanan administrasi Kementerian.
(3) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat disampaikan melalui gubernur atau
bupati/wali kota pada unit layanan administrasi di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).

Pasal 26
Tata cara pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan
dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 dan Pasal 17, berlaku secara mutatis mutandis terhadap
tata cara pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan
dokumen permohonan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
- 14 -

Pasal 27
(1) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari
sejak permohonan perubahan SKT dicatat dalam daftar
registrasi permohonan perubahan SKT oleh unit layanan
administrasi Kementerian, Menteri menerbitkan atau
menolak perubahan SKT.
(2) Penerbitan atau penolakan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi
dengan kementerian/lembaga terkait sesuai dengan
bidang Ormas.
(3) Penerbitan atau penolakan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri
melalui petugas unit layanan administrasi kepada
pemohon.
(4) Penerbitan atau penolakan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditembuskan kepada gubernur
dan bupati/wali kota di wilayah domisili sekretariat
Ormas.

Pasal 28
Perubahan SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27,
tidak mengubah masa berlaku SKT yang telah diterbitkan
sebelumnya.

Pasal 29
Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyimpan
dokumen kelengkapan permohonan, perpanjangan dan
perubahan SKT Ormas yang diajukan melalui unit layanan
administrasi di daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota
kepada Menteri.
- 15 -

BAB V
PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI ORMAS

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 30
(1) Menteri melalui Direktorat Jenderal Politik Dan
Pemerintahan Umum membentuk SIORMAS untuk
meningkatkan pelayanan publik dan tertib administrasi.
(2) SIORMAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengelolaan data dan informasi, sumber daya manusia
dan teknologi.
(3) SIORMAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diintegrasikan dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 31
(1) Pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dilakukan dengan menggunakan
sistem komputerisasi yang memiliki kemampuan
terhubung secara online.
(2) Dalam hal pengelolaan SIORMAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum memiliki infrastruktur dengan sistem
komputerisasi, pengelolaan data dan informasi Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara manual.
(3) Pengelolaan data secara manual sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui:
a. pengiriman data dan informasi ormas melalui pos;
b. pengiriman data dan informasi ormas secara
langsung; atau
c. pengiriman data dan informasi ormas secara
elektronik.
(4) Pengiriman data sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a, huruf b, dan huruf c ditujukan kepada Menteri
melalui Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan
Umum.
- 16 -

Bagian Kedua
Data dan Informasi

Pasal 32
Pengelolaan SIORMAS memuat data dan informasi tentang
keberadaan, kegiatan, dan informasi lain yang dibutuhkan.

Pasal 33
Menteri mengoordinasikan data dan informasi Ormas yang
diperlukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dari
Kementerian, instansi terkait, dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya.

Pasal 34
Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyimpan dan
mengamankan data dan informasi Ormas yang diajukan
kepada Menteri.

Pasal 35
(1) Pengamanan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan untuk menjamin:
a. tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b. terjaga kerahasiaannya.
(2) Pengamanan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan
standar pengamanan.
(3) Kerahasiaan informasi Ormas dan standar pengamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Ketiga
Teknologi

Pasal 36
(1) Teknologi SIORMAS meliputi perangkat keras dan
perangkat lunak.
- 17 -

(2) Perangkat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


antara lain:
a. komputer;
b. printer;
c. scanner;
d. modem;
e. server; dan
f. perangkat lain yang diperlukan.
(3) Perangkat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disediakan oleh masing-masing Pemerintah Daerah.
(4) Perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah Aplikasi SIORMAS.
(5) Perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disediakan oleh Kementerian.

Bagian Keempat
Sumber Daya Manusia

Pasal 37
(1) Operasional SIORMAS dilakukan oleh operator yang
memiliki kompetensi.
(2) Operator yang memiliki kompetensi sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) perlu didukung dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(3) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui bimbingan
teknis, sosialisasi, dan konsultasi.

Pasal 38
Operator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ditetapkan
dengan keputusan Menteri, keputusan gubernur, dan
keputusan bupati/wali kota.
- 18 -

BAB VI
PELAPORAN KEGIATAN ORMAS

Pasal 39
Ormas menyampaikan laporan perkembangan organisasi
dan kegiatan organisasi setiap 6 (enam) bulan sekali yang
ditandatangani ketua dan sekretaris atau sebutan lainnya
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota.

Pasal 40
Laporan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 meliputi:
a. nama dan jenis kegiatan;
b. tempat dan waktu kegiatan; dan
c. hal-hal lain yang dianggap perlu.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 41
(1) Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum melakukan pembinaan dan
pengawasan Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan
hukum secara nasional.
(2) Gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik di provinsi melakukan pembinaan dan
pengawasan Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan
hukum di daerah provinsi dalam wilayahnya.
(3) Bupati/Wali Kota melalui Kepala Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik di kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan pendaftaran
Ormas yang tidak berbadan hukum di daerah
kabupaten/kota dalam wilayahnya.

Pasal 42
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dilakukan melalui koordinasi, bimbingan, pendidikan
- 19 -

dan pelatihan, supervisi, dan konsultasi dan


pengembangan SIORMAS.
(2) Koordinasi, bimbingan, pendidikan dan pelatihan,
supervisi, dan konsultasi dan pengembangan SIORMAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
berjenjang.

BAB VIII
PENDANAAN

Pasal 43
(1) Pendanaan Pendaftaran dan pengelolaan SIORMAS di
lingkungan Kementerian dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Pendanaan Pendaftaran dan pengelolaan SIORMAS di
daerah provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Provinsi.
(3) Pendanaan Pendaftaran dan pengelolaan SIORMAS di
daerah kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, SKT yang
telah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhir masa berlakunya.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di
Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah
- 20 -

Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012


Nomor 446), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 46
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2017

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TJAHJO KUMOLO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1052.


Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,

ttd

WIDODO SIGIT PUDJIANTO


Pembina Utama Madya (IV/d)
NIP. 19590203 198903 1 001.
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 57 TAHUN 2017
TENTANG
PENDAFTARAAN DAN PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI
ORGANISASI KEMASYARAKATAN

FORMAT TENTANG FORMULIR ISIAN DATA ORMAS, FORMULIR KEABSAHAN


DOKUMEN, SURAT PERNYATAAN, SURAT KETERANGAN TERDAFTAR DAN
PETUNJUK PENGISIAN SURAT KETERANGAN TERDAFTAR

A. Formulir Isian Data Ormas

FORMULIR ISIAN DATA ORMAS

1. Nama Organisasi : (diisi sesuai nama ormas yang tertuang dalam


Anggaran Dasar)
2. Bidang Kegiatan : (diisi sesuai dengan bidang kegiatan ormas)
3. Alamat Kantor/Sekretariat : (sesuai domisili ormas)
4. Tempat dan Waktu Pendirian : (tempat pendirian dan waktu pendirian ormas
sesuai akta notaris atau statuta)
5. Asas Ciri Organisasi : (tidak bertentangan dengan Pancasila)
6. Tujuan Organisasi :
7. Nama Pendiri :
8. Nama Pembina : (jika ada)
9. Nama Penasehat : (jika ada)
10. Nama Pengurus :
a. Ketua/Sederajat :
b. Sekretaris/Sederajat :
c. Bendahara/Sederajat :
11. Masa Bhakti Kepengurusan : (sesuai dengan Surat Keputusan ormas)
12. Keputusan Tertinggi Organisasi : (sesuai dengan Anggaran Dasar)
13. Unit/cabang/Sayap Otonom : (jika ada sesuai dengan AD dan ART)
Organisasi
14. Usaha Organisasi : (jika ada)
15. Sumber Keuangan : (berasal dari dalam negeri/ luar negeri)
16. Lambang/logo Organisasi :

Lambang/logo Ormas

17. Bendera Organisasi : (jika ada)

Bendera Ormas
- 22 -

B. Formulir Keabsahan Dokumen

FORMULIR KEABSAHAN DOKUMEN


1. Nama Organisasi : (diisi sesuai nama ormas yang tertuang dalam
Anggaran Dasar)
2. Nama Notaris : (diisi sesuai dengan akta pendirian)
3. Nomor dan Tgl Akta Notaris : (diisi sesuai dengan akta pendirian)
4. Nomor dan Tgl Surat Permohonan : (disertai perihal surat)
5. Bidang Kegiatan : (diisi sesuai dengan bidang kegiatan ormas)
6. Program Kerja Ormas : (diisi sesuai dengan program kerja ormas)
7. Alamat Kantor/Sekretariat : (sesuai domisili ormas)
8. Tempat dan Waktu Pendirian : (tempat pendirian dan waktu pendirian ormas
sesuai akta notaris)
9. Asas Ciri Organisasi : (tidak bertentangan dengan Pancasila)
10. Tujuan Organisasi :
11. Nama Pendiri : (nama, NIK, agama, kewarganegaraan, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, alamat, nomor telepon/hp,
pekerjaan)
12. Nama Pembina : (jika ada)
13. Nama Penasehat : (jika ada)
14. Biodata Pengurus :
a. Ketua/Sebutan lain : (nama, NIK, agama, kewarganegaraan, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, alamat, nomor telepon/hp,
pekerjaan)
b. Sekretaris/Sebutan lain : (sda)
c. Bendahara/Sebutan lain : (sda)
15. Masa Bakti Kepengurusan : (sesuai dengan Surat Keputusan ormas)
16. Keputusan Tertinggi Organisasi : (sesuai dengan Anggaran Dasar)
17. Unit/Cabang : (disebutkan jumlah dan sebaran cabang)
18. NPWP : (atas nama Ormas)
19. Sumber Keuangan : (berasal dari dalam negeri/ luar negeri)
20. Lambang/logo Organisasi : (dilampirkan berwarna)

21. Bendera Organisasi : (foto dilampirkan berwarna)


(tempat pengajuan) , (tanggal/bulan/tahun)
Pejabat Pemeriksa Kepala Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik
(provinsi/kabupaten/kota)
ttd
ttd

Nama stempel Nama


Pangkat Pangkat
NIP NIP
- 23 -

C. Surat Pernyataan

KOP SURAT ORMAS

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


1. Nama : …………………….(nama lengkap)

Jabatan : Ketua/sederajat
Nomor KTP/SIM/Identitas Lain : …………………….

2. Nama : …………………….(nama lengkap)

Jabatan : Sekretaris/sederajat
Nomor KTP/SIM/Identitas Lain : …………………….
Dengan ini menyatakan bahwa:
a. tidak berafiliasi secara kelembagaan dengan partai politik tertentu;
b. tidak terjadi konflik kepengurusan;
c. nama, lambang, bendera, tanda gambar, simbol, atribut, dan/atau cap
stempel yang digunakan belum digunakan oleh Ormas lain;
d. bersedia menertibkan kegiatan, pengurus, dan/atau anggota organisasi;
e. bersedia menyampaikan laporan perkembangan dan kegiatan organisasi
setiap akhir tahun;
f. bertanggungjawab terhadap keabsahan dan keseluruhan isi, data dan
informasi dokumen/berkas yang diserahkan; dan
g. tidak akan melakukan penyalahgunaan SKT.
Demikian pernyataan dibuat dengan sebenar-benarnya dalam keadaan sadar
tanpa tekanan/paksaan dari pihak manapun, bertanggungjawab dan bersedia
dituntut secara hukum sebagai akibat dari pernyataan ini.
(nama tempat, tanggal, bulan, tahun)
..........................., ..... ........................................ ..........

Ketua, Sekretaris,

Materai
Rp. 6.000
(ditandatangani)
(Cap stempel dan ditandatangani)
(Nama Lengkap) (Nama Lengkap)
………………………… …………………………
- 24 -

D. Surat Keterangan Terdaftar

Halaman depan

Lambang Kementerian Dalam Negeri

KEMENTERIAN DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA

SURAT KETERANGAN TERDAFTAR


Nomor: (lihat petunjuk pengisian nomor 1)

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan; Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan; Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor: XX Tahun 2017; dan Surat Permohonan (nama organisasi
pemohon) nomor (nomor surat), tanggal (tanggal surat), perihal (perihal surat) setelah
diadakan penelitian dokumen/berkas, dengan ini Kementeri Dalam Negeri menyatakan
bahwa:
Nama Organisasi : (lihat petunjuk pengisian nomor 2)
Tanggal Berdiri : (lihat petunjuk pengisian nomor 3)
Bidang Kegiatan : (lihat petunjuk pengisian nomor 4)
NPWP : (lihat petunjuk pengisian nomor 5)
Alamat Sekretariat : (lihat petunjuk pengisian nomor 6)
Telp.………………;Faks.………………;E-mail …………………

Telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan dan Surat Keterangan Terdaftar


ini berlaku sejak tanggal ditandatangani sampai dengan (tanggal bulan tahun).
Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan, kesalahan, penyimpangan,
penyalahgunaan dan pelanggaran hukum, akan dilakukan perbaikan dan/atau
pencabutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikian Surat Keterangan Terdaftar ini diberikan untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Jakarta, ..... .................................

an.Menteri Dalam Negeri


Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum
u.b.
Direktur Organisasi Kemasyarakatan,

..............................................
Pangkat ...................
NIP. ........................

Tembusan disampaikan kepada Yth: (lihat petunjuk pengisian nomor 7)


1. Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan);
2. …….
3. …….
4. ……
- 25 -

Halaman Belakang

Tanda Khusus
nomor seri dan/atau huruf
- 26 -

E. Petunjuk Pengisian SKT

Petunjuk Pengisian
1. Nomor SKT
Contoh: 01-00-00/0001/XI/2017

Tahun

Bulan: huruf romawi

Nomor Urut SKT dalam buku induk: 4 digit


Tetap
Tetap
Kode Khusus

2. Nama Ormas diisi sesuai yang tercantum dalam Anggaran Dasar, dalam hal
nama berbahasa asing/bahasa daerah, ditambahkan arti dalam bahasa
Indonesia.
3. Tanggal berdiri diisi sesuai dengan tanggal berdirinya yang tercantum
dalam Akte Pendirian/statuta.
4. Bidang Kegiatan diisi sesuai dengan bidang kegiatan sifat kekhususan
Ormas.
5. NPWP adalah Nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas.
6. Alamat Sekretariat diisi berdasarkan surat keterangan domisili.
7. Tembusan SKT disampaikan kepada Yth:
a. Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan);
b. Gubernur …. (sesuai domisili ormas yang mengajukan)
c. Bupati/Wali kota.. (sesuai domisili ormas yang mengajukan)
d. Arsip

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TJAHJO KUMOLO
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,

ttd

WIDODO SIGIT PUDJIANTO


Pembina Utama Madya (IV/d)
NIP. 19590203 198903 1 001.
SALINAN

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 58 TAHUN 2017
TENTANG
KERJA SAMA KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH DAERAH
DENGAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN BADAN ATAU LEMBAGA
DALAM BIDANG POLITIK DAN PEMERINTAHAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mengoptimalkan pemeliharaan persatuan


dan kesatuan bangsa, diperlukan kerja sama antara
pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota dengan organisasi
kemasyarakatan dalam bidang politik dan umum;
b. bahwa organisasi kemasyarakatan dalam bidang politik
dan umum wajib menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa serta berpartisipasi dalam pencapaian tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun
2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi
Kemasyarakatan dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan
Politik Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009
tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri
-2-

dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi


Kemasyarakatan dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan
Politik Dalam Negeri sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang
Kerja Sama Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Badan
atau Lembaga Dalam Bidang Politik dan Pemerintahan
Umum;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang


Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5430);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5887);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
-3-

Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 261, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5958);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KERJA
SAMA KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH
DAERAH DENGAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN
BADAN ATAU LEMBAGA DALAM BIDANG POLITIK DAN
PEMERINTAHAN UMUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Kerja Sama adalah kesepakatan antara
menteri, gubernur, bupati/wali kota dengan organisasi
kemasyarakatan bidang politik dan pemerintahan umum,
untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang
politik dan pemerintahan umum, berdasarkan
kewenangan dan peran masing-masing pihak, yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban.
2. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
3. Badan atau Lembaga adalah badan atau lembaga yang
bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
-4-

5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan


pemerintahan dalam negeri.
6. Kementerian adalah Kementerian Dalam Negeri.

Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi kerja sama
Kementerian dan Pemerintah Daerah dengan Ormas dan
Badan atau Lembaga dalam bidang politik dan
pemerintahan umum.

BAB II
KERJA SAMA

Bagian Kesatu
Subjek Kerja Sama

Pasal 3
Para pihak yang menjadi subjek kerja sama meliputi:
a. Kementerian dengan Ormas yang terdaftar dan/atau
Ormas yang berbadan hukum;
b. Kementerian dengan Badan/Lembaga;
c. Pemerintah Daerah dengan Ormas yang terdaftar
dan/atau Ormas yang berbadan hukum; dan
d. Pemerintah Daerah dengan Badan/Lembaga.

Bagian Kedua
Objek Kerja Sama

Pasal 4
Objek kerja sama terdiri atas:
a. politik dalam negeri dan kehidupan demokrasi, serta
organisasi masyarakat;
b. penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila,
wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional,
penanganan konflik sosial, kewaspadaan nasional,
kerukunan antar suku dan intra suku, ras, dan golongan
lainnya, ketahanan ekonomi, ketahanan pangan dan
-5-

kesenjangan ekonomi, ketahanan sosial kemasyarakatan,


ketahanan seni dan budaya, kerukunan umat beragama
dan penghayat kepercayaan;
c. penguatan kehadiran kembali negara untuk melindungi
segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara;
d. pembangunan tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya;
e. pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan;
f. penguatan kehadiran negara dalam melakukan reformasi
sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan terpercaya;
g. peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia;
h. peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar
internasional;
i. perwujudan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik;
j. revolusi mental; dan
k. peneguhan kebhinnekaan dan penguatan restorasi sosial
Indonesia.

Bagian Ketiga
Bentuk Kerja sama

Pasal 5
Bentuk kerja sama dapat dilaksanakan melalui kegiatan:
a. dialog atau sejenisnya;
b. halaqoh;
c. pagelaran, festival seni dan budaya;
d. jambore, perkemahan, dan napak tilas;
e. perlombaan seperti lomba pidato, cipta lagu, lagu
kebangsaan dan jalan sehat;
f. pemberdayaan masyarakat;
g. pelatihan masyarakat;
-6-

h. sosialisasi, diseminasi, asistensi dan bimbingan teknis;


dan/atau
i. pendidikan politik bagi masyarakat.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 6
(1) Dalam melakukan kerja sama, Kementerian dan
Pemerintah Daerah berhak:
a. mendapatkan laporan hasil pelaksanaan kegiatan dan
laporan penggunaan anggaran;
b. mendapatkan pemberitahuan pelaksanaan kegiatan
melalui Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik
provinsi dan/atau kabupaten/kota atau sebutan
lainnya; dan
c. menetapkan Ormas atau Badan/Lembaga yang
melakukan kerja sama.
(2) Dalam melakukan kerja sama, Kementerian dan
Pemerintah Daerah wajib:
a. memberikan fasilitas anggaran kegiatan; dan
b. memberikan pembinaan dan dukungan kelancaran
kegiatan.

Pasal 7
(1) Dalam melakukan kerja sama, Ormas atau
Badan/Lembaga berhak:
a. mendapatkan fasilitas anggaran kegiatan; dan
b. mendapatkan pembinaan dan dukungan kelancaran
kegiatan.
(2) Dalam melakukan kerja sama, Ormas atau
Badan/Lembaga wajib:
a. melaksanakan Perjanjian Kerja Sama dengan iktikad
baik;
b. melakukan penggunaan keuangan dan menyusun
laporan pertanggungjawaban keuangan;
c. menyampaikan laporan hasil pelaksanaan kegiatan;
-7-

d. mempertangungjawabkan secara formil dan materil


atas pelaksanaan kegiatan; dan
e. memberitahukan pelaksanaan kegiatan kepada Kepala
Badan/kantor Kesatuan Bangsa dan Politik atau
sebutan lainnya di tingkat daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota.

BAB IV
JANGKA WAKTU

Pasal 8
Waktu pelaksanaan kerja sama dilaksanakan sesuai
kesepakatan dalam Perjanjian Kerja Sama.

BAB V
TAHAPAN KERJA SAMA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
Kerja sama dilakukan melalui tahapan:
a. persiapan;
b. pelaksanaan; dan
c. pelaporan.

Pasal 10
(1) Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a,
dilaksanakan melalui tahapan:
a. perencanaan kerja sama;
b. pengajuan kelengkapan administrasi;
c. penelitian kelengkapan administrasi; dan
d. penetapan.
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
b, dilaksanakan melalui tahapan:
a. pelaksanaan kegiatan kerja sama; dan
b. supervisi.
-8-

(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c,


dilaksanakan melalui tahapan:
a. pelaporan kegiatan kerja sama; dan
b. penelitian laporan hasil pelaksanaan kegiatan kerja
sama.
(4) Untuk mendukung pelaksanaan penelitian kelengkapan
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dan penelitian laporan hasil pelaksanaan kegiatan kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b:
a. Menteri membentuk tim verifikasi kementerian melalui
keputusan Menteri.
b. gubernur membentuk tim verifikasi provinsi melalui
keputusan gubernur.
c. bupati/wali kota membentuk tim verifikasi daerah
kabupaten/kota melalui Keputusan bupati/wali kota.

Bagian Kedua
Persiapan

Paragraf 1
Perencanaan Kerja Sama

Pasal 11
Para pihak yang akan melakukan kerja sama wajib membuat
perencanaan kerja sama.

Pasal 12
(1) Perencanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 terdiri dari:
a. perencanaan teknis; dan
b. perencanaan penggunaan anggaran.
(2) Perencanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), disusun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-9-

Paragraf 2
Pengajuan Kelengkapan Administrasi

Pasal 13
Pengajuan kerja sama oleh Ormas atau Badan/Lembaga
dapat ditujukan kepada:
a. Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum;
b. gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik di tingkat daerah provinsi; dan
c. bupati/wali kota melalui Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di tingkat daerah
kabupaten/kota.

Pasal 14
(1) Dalam hal Ormas atau Badan/Lembaga memiliki struktur
kepengurusan berjenjang, pengajuan kerja sama dapat
dilakukan oleh kepengurusan daerah kepada gubernur
dan bupati/wali kota di wilayah setempat, dengan
ketentuan:
a. memiliki kepengurusan daerah yang jelas di wilayah
administrasi daerah setempat;
b. memiliki surat keterangan domisili dari lurah/kepala
desa setempat atau sebutan lainnya;
c. berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah
Daerah yang bersangkutan;
d. telah melaporkan keberadaannya kepada Pemerintah
Daerah setempat; dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
rekening aktif dari bank nasional atas nama
kepengurusan di daerah.
(2) Dalam hal Ormas atau Badan/Lembaga yang memiliki
struktur kepengurusan tidak berjenjang dilakukan oleh
pengurus.
- 10 -

Pasal 15
(1) Pengajuan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, harus memiliki kelengkapan persyaratan umum
paling sedikit:
a. surat usulan kerja sama;
b. dokumen usulan kerja sama;
c. salinan akte notaris pendirian;
d. salinan surat keterangan terdaftar (SKT) atau surat
pengesahan badan hukum;
e. salinan surat keputusan susunan pengurus;
f. surat keterangan domisili terbaru dari lurah/kepala
desa setempat atau sebutan lainnya;
g. salinan buku tabungan atau giro dari bank nasional
atas nama Ormas atau badan/lembaga;
h. surat keterangan rekening aktif dari bank nasional;
i. salinan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama
Ormas dan surat keterangan terdaftar wajib pajak;
j. surat pernyataan tidak terjadi konflik internal yang
dibubuhi materai; dan
k. surat pernyataan tidak berafiliasi dengan partai politik
yang dibubuhi materai.
(2) Selain kelengkapan persyaratan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur dan
bupati/wali kota mempertimbangkan persyaratan khusus
meliputi:
a. tidak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan
ideologi Pancasila;
b. telah melakukan kerja sama secara simultan dengan
pemerintah dan Pemerintah Daerah;
c. melakukan aktivitas yang sejalan dengan program
pemerintah dan Pemerintah Daerah;
d. berperan aktif di masyarakat;
e. tidak terlibat dalam perbuatan yang melanggar hukum;
f. tidak terlibat dalam perbuatan yang mengganggu
ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
g. melaksanakan kewajiban dan mematuhi larangan
dalam undang-undang yang terkait dengan Organisasi
- 11 -

Kemasyarakatan; dan/atau
h. tidak melakukan tindakan permusuhan terhadap
suku, agama, ras, atau golongan.

Paragraf 3
Penelitian Kelengkapan Administrasi

Pasal 16
(1) Tim verifikasi Kementerian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4) huruf a, melakukan penelitian
kelengkapan administrasi terhadap pengajuan kerja sama
oleh Ormas atau badan/lembaga kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(2) Tim verifikasi daerah provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, melakukan penelitian
kelengkapan administrasi terhadap pengajuan kerja sama
oleh Ormas atau Badan/Lembaga kepada gubernur
melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di
tingkat daerah provinsi.
(3) Tim verifikasi daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c, melakukan
penelitian kelengkapan administrasi terhadap pengajuan
kerja sama oleh Ormas atau Badan/Lembaga kepada
bupati/wali kota melalui Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di tingkat daerah
kabupaten/kota.

Pasal 17
Penelitian kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, meliputi:
a. kelengkapan persyaratan umum;
b. persyaratan khusus; dan
c. dokumen perencanaan kerja sama.
- 12 -

Paragraf 4
Penetapan

Pasal 18
(1) Ormas atau Badan/Lembaga yang memenuhi kelengkapan
administrasi dan telah dilakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ditetapkan sebagai
pelaksana kerja sama melalui Keputusan Menteri.
(2) Ormas atau Badan/Lembaga yang memenuhi kelengkapan
administrasi dan telah dilakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), ditetapkan sebagai
pelaksana kerja sama melalui keputusan gubernur.
(3) Ormas atau Badan/Lembaga yang memenuhi kelengkapan
administrasi dan telah dilakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), ditetapkan sebagai
pelaksana kerja sama melalui keputusan bupati/wali kota.

Pasal 19
(1) Keputusan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, dilanjutkan dengan penandatanganan
Perjanjian Kerja Sama para pihak.
(2) Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Direktur Organisasi Kemasyarakatan atas nama Direktur
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum dengan ketua
Ormas atau Badan/Lembaga atau sebutan lainnya, untuk
Ormas atau Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1).
b. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik atau sebutan
lainnya atas nama gubernur dengan ketua Ormas atau
Badan/Lembaga atau sebutan lainnya, untuk Ormas atau
Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2).
c. Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik atau
sebutan lainnya atas nama bupati/wali kota dengan
ketua Ormas atau Badan/Lembaga atau sebutan lainnya,
untuk Ormas atau badan/lembaga sebagaimana
- 13 -

dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3).

Pasal 20
(1) Dalam hal kepentingan tertentu, Ormas atau
Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
dapat melakukan kerja sama lebih dari 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun anggaran.
(2) Kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada:
a. Ormas atau Badan/Lembaga yang menjalankan
program berkesinambungan terkait pencegahan dan
penanganan masalah yang mengancam keamanan
nasional dan stabilitas politik nasional;
b. Ormas atau Badan/Lembaga yang menjalankan
program kegiatan di daerah yang memiliki kekhususan
dan daerah perbatasan antarnegara; dan/atau
c. Ormas atau Badan/Lembaga yang melaksanakan
program strategis nasional.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan

Paragraf 1
Pelaksanaan Kegiatan Kerja Sama

Pasal 21
Ormas atau badan/lembaga wajib melaksanakan kerja sama
setelah menandatangani Perjanjian Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19.

Pasal 22
(1) Pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, ditindaklanjuti dengan kegiatan kerja sama.
(2) Kegiatan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib diawali dengan menyanyikan Lagu Indonesia
Raya.
- 14 -

Pasal 23
(1) Pelaksanaan kegiatan kerja sama antara Menteri dengan
Ormas atau Badan/Lembaga, wajib memberitahukan
kepada Pemerintah Daerah setempat.
(2) Pelaksanaan kegiatan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihadiri oleh Pemerintah Daerah setempat
yang dapat diwakili oleh Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di daerah
kabupaten/kota.

Paragraf 2
Pembicara Utama dan Supervisi

Pasal 24
(1) Pelaksanaan kegiatan kerja sama antara Menteri dengan
Ormas atau Badan/Lembaga yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dilakukan
dengan melibatkan Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum sebagai pembicara utama.
(2) Pelaksanaan kegiatan kerja sama antara Pemerintah
Daerah dengan Ormas atau Badan/Lembaga yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah
setempat yang dapat diwakili oleh Kepala Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota sebagai
pembicara utama.
(3) Pelaksanaan kegiatan kerja sama yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana pada ayat
(1) dan ayat (2) perlu dilakukan supervisi.
(4) Supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali Kota sesuai
dengan kewenangannya.
- 15 -

Bagian Keempat
Pelaporan

Pasal 25
(1) Ormas atau Badan/Lembaga pelaksana kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), wajib
menyampaikan laporan kegiatan kerja sama kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum.
(2) Ormas atau Badan/Lembaga pelaksana kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), wajib
menyampaikan laporan kegiatan kerja sama kepada
Gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi.
(3) Ormas atau Badan/Lembaga pelaksana kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), wajib
menyampaikan laporan kegiatan kerja sama kepada
bupati/wali kota melalui Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di daerah
kabupaten/kota.

Pasal 26
Pelaporan kegiatan kerja sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 memuat:
a. surat penyampaian laporan kegiatan
b. pendahuluan;
c. maksud dan tujuan;
d. hasil kegiatan;
e. penggunaan anggaran;
f. permasalahan;
g. rekomendasi dan saran;
h. penutup; dan
i. lampiran.
- 16 -

Pasal 27
(1) Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) dilakukan penelitian hasil pelaksanaan
kegiatan kerja sama oleh tim verifikasi Kementerian.
(2) Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) dilakukan penelitian hasil pelaksanaan
kegiatan kerjasama oleh tim verifikasi daerah provinsi.
(3) Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (3) dilakukan penelitian hasil pelaksanaan
kegiatan kerja sama oleh tim verifikasi daerah
kabupaten/kota.

Pasal 28
Penelitian laporan hasil pelaksanaan kegiatan kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dilakukan setelah
kegiatan dilaksanakan, melalui penelitian dokumen
pertanggungjawaban administrasi dan keuangan.

BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 29
(1) Dalam hal terjadi perselisihan kerja sama antara
Kementerian, Pemerintah Daerah provinsi, atau
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Ormas atau
Badan/Lembaga, diselesaikan sesuai kesepakatan yang
diatur dalam Perjanjian Kerja Sama.
(2) Apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak terselesaikan, perselisihan
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 17 -

BAB VII
PERUBAHAN KERJA SAMA

Pasal 30
Para pihak dapat melakukan perubahan kerja sama
berdasarkan kesepakatan para pihak yang melakukan kerja
sama.

BAB VIII
BERAKHIRNYA KERJA SAMA

Pasal 31
Kerja sama berakhir apabila:
a. berakhirnya masa perjanjian;
b. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang
ditetapkan dalam perjanjian;
c. tujuan kerja sama telah tercapai;
d. terdapat perubahan mendasar yang mengakibatkan
perjanjian kerja sama tidak dapat dilaksanakan;
e. Ormas atau Badan/Lembaga tidak melaksanakan atau
melanggar ketentuan perjanjian;
f. dibuat perjanjian baru yang menggantikan perjanjian
lama;
g. muncul norma baru dalam peraturan perundang-
undangan; atau
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 32
(1) Pendanaan kerja sama Kementerian dengan Ormas atau
Badan/Lembaga dalam bidang politik dan pemerintahan
umum dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Pendanaan kerja sama Pemerintah Daerah provinsi
dengan Ormas atau Badan/Lembaga dalam bidang politik
- 18 -

dan pemerintahan umum dibebankan pada Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
(3) Pendanaan kerja sama Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dengan Ormas atau Badan/Lembaga
dalam bidang politik dan pemerintahan umum
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Pendanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) dapat bersumber dari pendanaan
lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 33
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap:
a. kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian dengan
Ormas atau Badan/Lembaga; dan
b. kerja sama yang dilakukan oleh Gubernur dengan
Ormas atau Badan/Lembaga.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap:
a. kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
dengan Ormas atau Badan/Lembaga; dan
b. kerja sama yang dilakukan oleh bupati/wali kota
dengan Ormas atau badan/lembaga.
(3) Bupati/wali kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan Ormas atau badan/lembaga.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan antara lain dengan:
a. pemberian pedoman;
b. standardisasi;
c. sosialisasi;
d. perencanaan;
e. pengembangan;
- 19 -

f. bimbingan;
g. asistensi; dan/atau
h. pendidikan dan pelatihan.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan kerja
sama diatur dengan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh
Menteri melalui Direktur Jenderal politik dan pemerintahan
umum atau oleh Gubernur, Bupati, Wali Kota melalui Kepala
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik.

Pasal 35
Menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan Ormas atau
Badan/Lembaga yang melakukan kerja sama bertanggung
jawab menyimpan dan memelihara naskah asli kerja sama.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 36
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Perjanjian Kerja Sama yang telah ada tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya kerja sama; dan
b. Perjanjian Kerja Sama yang akan dilakukan atau
diperpanjang disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 37
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan
- 20 -

dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri,


sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama
Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dengan
Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya
Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 291),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 38
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 21 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2017

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TJAHJO KUMOLO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1053.


Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,

ttd

WIDODO SIGIT PUDJIANTO


Pembina Utama Madya (IV/d)
NIP. 19590203 198903 1 001.
10
ATURAN TEKNIS
ORMAS
PEKUMPULAN
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.115, 2016 KEMENKUMHAM. Badan Hukum. Pengajuan.
Persetujuan Perubahan. Anggaran Dasar
Perkumpulan. Pencabutan.

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2016
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PERKUMPULAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan dan tertib


administrasi badan hukum Perkumpulan maka
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum
Perkumpulan perlu diganti;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tata
Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum
dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar
Perkumpulan;

Mengingat : 1. Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-


Perkumpulan Berbadan Hukum;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran

www.peraturan.go.id
2016, No.115 -2-

Negara Republik Indonesia Nomor 4916);


3. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 84);
4. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1473);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PERKUMPULAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perkumpulan adalah badan hukum yang merupakan
kumpulan orang didirikan untuk mewujudkan kesamaan
maksud dan tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan dan tidak membagikan
keuntungan kepada anggotanya.
2. Sistem Administrasi Badan Hukum yang selanjutnya
disingkat SABH adalah sistem pelayanan administrasi
badan hukum secara elektronik yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
3. Pemohon adalah Notaris yang diberikan kuasa untuk
mengajukan permohonan pengesahan badan hukum
Perkumpulan melalui SABH.
4. Format Isian adalah bentuk pengisian data yang
dilakukan secara elektronik untuk permohonan
pengajuan pemakaian nama Perkumpulan, pengesahan
badan hukum dan pemberian persetujuan perubahan

www.peraturan.go.id
2016, No.115
-3-

anggaran dasar, penyampaian pemberitahuan perubahan


anggaran dasar dan perubahan data Perkumpulan.
5. Format Isian Pengajuan Pemakaian Nama Perkumpulan
yang selanjutnya disebut Format Pengajuan Nama adalah
format isian untuk pengajuan nama Perkumpulan yang
akan dipakai dalam pendirian Perkumpulan ataupun
perubahan nama Perkumpulan.
6. Format Isian Pendirian yang selanjutnya disebut Format
Pendirian adalah format isian untuk permohonan
pengesahan badan hukum Perkumpulan.
7. Format Isian Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan
yang selanjutnya disebut Format Perubahan adalah
format isian untuk permohonan persetujuan perubahan
anggaran dasar Perkumpulan.

BAB II
PERMOHONAN PENGAJUAN NAMA PERKUMPULAN

Pasal 2
Permohonan pengesahan badan hukum Perkumpulan harus
didahului dengan pengajuan nama Perkumpulan.

Pasal 3
(1) Pemohon mengajukan permohonan pemakaian nama
Perkumpulan kepada Menteri melalui SABH.
(2) Pengajuan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengisi Format Pengajuan Nama
Perkumpulan.
(3) Format Pengajuan Nama Perkumpulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas Pemohon; dan
b. nama Perkumpulan yang dipesan.

Pasal 4
(1) Nama Perkumpulan yang dipesan harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.

www.peraturan.go.id
2016, No.115 -4-

(2) Pemohon wajib mengisi formulir pernyataan yang berisi


bahwa nama Perkumpulan yang dipesan telah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
Pemohon bertanggung jawab penuh terhadap nama
Perkumpulan yang dipesan.

Pasal 5
(1) Nama Perkumpulan yang telah disetujui oleh Menteri
diberikan persetujuan pemakaian nama secara
elektronik.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Perkumpulan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
untuk 1 (satu) nama Perkumpulan.

Pasal 6
Dalam hal nama tidak memenuhi persyaratan pengajuan dan
pemakaian nama Perkumpulan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Menteri dapat menolak
nama Perkumpulan tersebut secara elektronik.

Pasal 7
Nama Perkumpulan yang telah mendapat persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berlaku untuk
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

Pasal 8
Format Pengajuan Nama Perkumpulan dan tata cara
pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 serta
surat pernyataan dan tata cara pengisiannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

www.peraturan.go.id
2016, No.115
-5-

BAB III
PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM
PERKUMPULAN

Pasal 9
(1) Permohonan pengesahan badan hukum Perkumpulan
diajukan oleh Pemohon kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan melalui SABH.

Pasal 10
(1) Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Perkumpulan, Pemohon harus
mengajukan permohonan secara elektronik kepada
Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengisi Format Pendirian.

Pasal 11
(1) Pemohon wajib membayar biaya permohonan pengesahan
badan hukum Perkumpulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 sebelum mengisi Format Pendirian.
(2) Biaya pengesahan badan hukum Perkumpulan
dibayarkan melalui bank persepsi.
(3) Besarnya biaya pengesahan badan hukum Perkumpulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 12
(1) Pengisian Format Pendirian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 juga dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa surat pernyataan secara elektronik dari

www.peraturan.go.id
2016, No.115 -6-

pemohon tentang dokumen untuk pendirian


Perkumpulan yang telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
pendirian Perkumpulan.
(4) Dokumen untuk pendirian Perkumpulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi:
a. salinan akta pendirian Perkumpulan atau salinan
akta perubahan pendirian Perkumpulan yang
diketahui oleh Notaris sesuai dengan aslinya;
b. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Perkumpulan yang ditandatangani
pengurus Perkumpulan dan diketahui oleh
lurah/kepala desa setempat atau dengan nama
lainnya;
c. sumber pendanaan Perkumpulan;
d. program kerja Perkumpulan;
e. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa
kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan;
f. notulen rapat pendirian Perkumpulan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk
memperoleh kartu nomor pokok wajib pajak.

Pasal 13
(1) Pemohon wajib mengisi surat pernyataan secara
elektronik yang menyatakan data isian pengesahan
badan hukum Perkumpulan dan keterangan mengenai
dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta bertanggung jawab
penuh terhadap data isian dan keterangan tersebut.
(2) Dalam hal Format Pendirian Perkumpulan dan dokumen
pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan
tidak berkeberatan atas permohonan pengesahan badan
hukum Perkumpulan secara elektronik.

www.peraturan.go.id
2016, No.115
-7-

Pasal 14
(1) Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Perkumpulan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal pernyataan tidak berkeberatan dari Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemohon secara elektronik.
(3) Notaris dapat langsung melakukan pencetakan sendiri
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perkumpulan, menggunakan kertas berwarna putih
ukuran F4/Folio dengan berat 80 (delapan puluh) gram.
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh
Notaris serta memuat frasa yang menyatakan “Keputusan
Menteri ini dicetak dari SABH”.

Pasal 15
Dalam hal Format Pendirian pengesahan badan hukum
Perkumpulan yang dilengkapi dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, Keputusan
Menteri tersebut dicabut.

Pasal 16
Format Pendirian dan tata cara pengisiannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 serta surat pernyataan dan tata
cara pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB IV
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN
DASAR PERKUMPULAN

Pasal 17
(1) Perubahan anggaran dasar harus mendapat persetujuan
Menteri.

www.peraturan.go.id
2016, No.115 -8-

(2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi:
a. nama Perkumpulan;
b. kegiatan Perkumpulan;
c. organ Perkumpulan;
d. kedudukan dan/atau alamat Perkumpulan;
dan/atau
e. data lainnya yang tercantum dalam anggaran dasar
Perkumpulan.
(3) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dimuat atau dinyatakan dalam akta Notaris
dalam Bahasa Indonesia.

Pasal 18
Perubahan anggaran dasar yang diputuskan di luar rapat
anggota atau nama lainnya harus dinyatakan dalam akta
Notaris.

Pasal 19
Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) diajukan oleh
Pemohon melalui SABH dengan cara mengisi Format
Perubahan dilengkapi keterangan mengenai dokumen
pendukung.
Pasal 20
Jika dalam permohonan persetujuan perubahan anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 terdapat
perubahan nama Perkumpulan, permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar diajukan setelah pemakaian nama
memperoleh persetujuan dari Menteri.

Pasal 21
Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 13
sampai dengan Pasal 15, berlaku secara mutatis mutandis
untuk tata cara permohonan persetujuan perubahan
anggaran dasar.

www.peraturan.go.id
2016, No.115
-9-

Pasal 22
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 juga harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan anggaran dasar yang
telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan anggaran dasar Perkumpulan.
(4) Dokumen perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan oleh Notaris, yang
meliputi:
a. minuta akta perubahan Anggaran Dasar
Perkumpulan;
b. notulen rapat anggota atau sebutan lain;
c. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan
penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak
Perkumpulan;
d. bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan
anggaran dasar dan pengumumannya; dan
e. surat pernyataan tidak dalam sengketa dan pailit.
(5) Ketentuan mengenai surat pemberitahuan tahunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c tidak
berlaku bagi Perkumpulan yang melakukan perubahan
anggaran dasar di bawah 1 (satu) tahun setelah nomor
pokok wajib pajak diterbitkan.

BAB V
PERMOHONAN SECARA NONELEKTRONIK

Pasal 23
(1) Dalam hal permohonan pengesahan badan hukum,
permohonan perubahan anggaran dasar, atau

www.peraturan.go.id
2016, No.115 -10-

permohonan perubahan data Perkumpulan tidak dapat


diajukan secara elektronik karena disebabkan oleh:
a. Notaris yang tempat kedudukannya belum tersedia
jaringan internet; atau
b. SABH tidak berfungsi sebagaimana mestinya
berdasarkan pengumuman resmi oleh Menteri,
Pemohon dapat mengajukan permohonan secara manual.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan melampirkan:
a. dokumen pendukung; dan/atau
b. surat keterangan dari kepala kantor telekomunikasi
setempat yang menyatakan bahwa tempat
kedudukan Notaris yang bersangkutan belum
terjangkau oleh fasilitas internet.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, permohonan
perubahan anggaran dasar Perkumpulan yang telah diajukan
dan sedang diproses sebelum Peraturan Menteri ini mulai
berlaku, diproses berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perkumpulan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2014
tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 394), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

www.peraturan.go.id
2016, No.115
-11-

Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2015

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

www.peraturan.go.id
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.660, 2019 KUMHAM. Pengajuan Permohonan Pengesahan
Badan Hukum. Persetujuan Perubahan Anggaran
Dasar Perkumpulan. Tata Cara. Perubahan.

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA
PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PERKUMPULAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa mayoritas permasalahan hukum dari badan


hukum perkumpulan disebabkan oleh penggunaan nama
Perkumpulan yang dianggap merugikan pihak lain;
b. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 3 Tahun 2016 sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat sehingga perlu
diubah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan
Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran
Dasar Perkumpulan;

www.peraturan.go.id
2019, No.660 -2-

Mengingat : 1. Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum


(Staatsblad 1870:64);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5430) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6139);
4. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 84);
5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1473) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 1135);
6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan

www.peraturan.go.id
2019, No.660
-3-

Anggaran Dasar Perkumpulan (Berita Negara Republik


Indonesia Tahun 2016 Nomor 115);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN
BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR PERKUMPULAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan
Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 115) diubah
sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 4
(1) Nama Perkumpulan yang dipesan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, harus
memenuhi syarat:
a. menggunakan huruf latin;
b. paling sedikit terdiri dari 3 (tiga) kata;
c. terdiri dari rangkaian huruf yang membentuk
kata;
d. tidak menggunakan angka dan tanda baca;
e. tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan/atau kesusilaan;
f. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan
serta kegiatan sebagai Nama Perkumpulan; dan
g. tidak mempunyai arti sebagai Perkumpulan
atau memiliki arti yang sama dengan

www.peraturan.go.id
2019, No.660 -4-

Perkumpulan, badan hukum, persekutuan


perdata, atau entitas lain yang bukan
merupakan kewenangan Menteri untuk
mengesahkan.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), nama Perkumpulan tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemohon wajib mengisi formulir pernyataan yang
berisi bahwa nama Perkumpulan yang dipesan telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan Pemohon bertanggung jawab penuh
terhadap nama Perkumpulan yang dipesan.

2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 2 (dua) pasal,


yakni Pasal 4A dan Pasal 4B sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4A
(1) Nama Perkumpulan yang dipesan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dapat
disertai dengan singkatan nama.
(2) Singkatan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh sama dengan nama Perkumpulan dan
singkatan nama Perkumpulan lain yang telah
terdaftar dalam Daftar Perkumpulan.
(3) Singkatan nama sebagaimana dimaksud ayat (1)
berupa:
a. singkatan yang terdiri atas huruf depan dari
setiap kata Nama Perkumpulan; atau
b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama
Perkumpulan.

Pasal 4B
Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan
atas pengajuan Nama Perkumpulan yang disampaikan
oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

www.peraturan.go.id
2019, No.660
-5-

3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 5
(1) Nama Perkumpulan yang telah disetujui oleh
Menteri diberikan persetujuan pemakaian nama
secara elektronik.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Perkumpulan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya diberikan untuk 1 (satu) nama Perkumpulan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan secara elektronik kepada Pemohon
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengajuan diterima.

4. Diantara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 7A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7A
(1) Nama Perkumpulan yang telah berakhir status
badan hukumnya dihapus dari Daftar Perkumpulan
yang ada pada pangkalan data Direktorat Jenderal
Administrasi Umum.
(2) Nama Perkumpulan yang telah berakhir status
badan hukumnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diajukan permohonan kembali oleh
Pemohon lain.

Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

www.peraturan.go.id
2019, No.660 -6-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 2019

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2019

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

www.peraturan.go.id
11
ATURAN TEKNIS
ORMAS YAYASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2008
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan


ayat (5), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat (4), Pasal 27 ayat (2),
Pasal 61, dan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4132) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4430);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN


UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Nama Yayasan adalah nama diri dari Yayasan yang
bersangkutan.

2. Penggabungan . . .
-2-

2. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan


oleh satu Yayasan atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan Yayasan lain yang mengakibatkan beralihnya
karena hukum semua aktiva dan pasiva dari Yayasan
yang menggabungkan diri kepada Yayasan yang menerima
penggabungan dan Yayasan yang menggabungkan diri
bubar karena hukum tanpa diperlukan likuidasi.
3. Daftar Yayasan adalah daftar yang diadakan oleh Menteri
yang memuat catatan resmi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan Yayasan.
4. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan.
5. Orang Indonesia adalah orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia.
6. Orang Asing adalah orang perseorangan asing atau badan
hukum asing.
7. Menteri adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.

BAB II
PEMAKAIAN NAMA YAYASAN

Pasal 2
(1) Setiap Yayasan harus mempunyai nama diri.
(2) Nama Yayasan yang telah didaftar dalam Daftar Yayasan
tidak boleh dipakai oleh Yayasan lain.
(3) Nama Yayasan dari Yayasan yang telah berakhir status
badan hukumnya harus diberitahukan kepada Menteri
untuk dihapus dari Daftar Yayasan oleh likuidator,
kurator, atau Pengurus Yayasan.

Pasal 3
(1) Kata “Yayasan” hanya dapat dipakai oleh:
a. Yayasan yang diakui sebagai badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1)
Undang-Undang; dan
b. Yayasan . . .
-3-

b. Yayasan yang didirikan berdasarkan Undang-


Undang.
(2) Kata “Yayasan” sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dicantumkan di depan Nama Yayasan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, kata
“wakaf” dapat ditambahkan setelah kata “Yayasan”.
(4) Kata “wakaf” tidak dapat ditambahkan setelah kata
“Yayasan” jika Yayasan bukan sebagai Nazhir.

Pasal 4
(1) Pemakaian Nama Yayasan ditolak jika:
a. sama dengan Nama Yayasan lain yang telah terdaftar
lebih dahulu dalam Daftar Yayasan; atau
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau
kesusilaan.
(2) Ketentuan mengenai alasan penolakan pemakaian Nama
Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga bagi Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (1) Undang-Undang yang memberitahukan kepada
Menteri mengenai penyesuaian Anggaran Dasar Yayasan
yang bersangkutan.
(3) Dalam hal pemakaian Nama Yayasan ditolak berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Yayasan
dapat mengajukan pemakaian nama lain.

Pasal 5
(1) Nama Yayasan dicatat dalam Daftar Yayasan apabila:
a. akta pendirian Yayasan telah disahkan oleh Menteri;
b. Anggaran Dasar Yayasan telah disesuaikan dengan
Undang-Undang dan penyesuaian tersebut telah
diberitahukan kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang;
atau
c. akta perubahan Anggaran Dasar yang memuat
perubahan Nama Yayasan telah disetujui oleh
Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Daftar
Yayasan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III . . .
-4-

BAB III
KEKAYAAN AWAL YAYASAN

Pasal 6
(1) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang
Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan
pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(2) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang
Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang
berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri,
paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Pasal 7
Pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai
keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan
bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan
Yayasan.

BAB IV
PENDIRIAN YAYASAN BERDASARKAN SURAT WASIAT

Pasal 8
Pendirian Yayasan berdasarkan surat wasiat harus dilakukan
dengan surat wasiat terbuka.

Pasal 9
Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilaksanakan sebagai berikut:
a. pendirian Yayasan langsung dimuat dalam surat wasiat
yang bersangkutan dengan mencantumkan ketentuan
Anggaran Dasar Yayasan yang akan didirikan; atau
b. pendirian Yayasan dilaksanakan oleh pelaksana wasiat
sebagaimana diperintahkan dalam surat wasiat oleh
pemberi wasiat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah ini.

BAB V . . .
-5-

BAB V
SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN YAYASAN OLEH ORANG ASING

Pasal 10
(1) Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia
dapat mendirikan Yayasan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang
Asing bersama Orang Indonesia selain berlaku Peraturan
Pemerintah ini berlaku juga ketentuan peraturan
perundang-undangan lain.

Pasal 11
(1) Yayasan yang didirikan oleh orang perseorangan asing
harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a. identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang
sah;
b. pemisahan sebagian harta kekayaan pribadi pendiri
yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit
senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
dibuktikan dengan surat pernyataan pendiri
mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan
c. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan Yayasan
yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa,
dan negara Indonesia.
(2) Yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing harus
memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a. identitas badan hukum asing pendiri Yayasan yang
dibuktikan dengan keabsahan badan hukum pendiri
Yayasan tersebut;
b. pemisahan sebagian harta kekayaan pendiri yang
dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit
senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan
hukum pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan
tersebut; dan

c. surat . . .
-6-

c. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang


bersangkutan bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan
tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia.

Pasal 12
(1) Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang
Asing bersama Orang Indonesia, salah satu anggota
Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau
bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia.
(2) Anggota Pengurus Yayasan yang didirikan oleh Orang
Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia wajib
bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan
asing harus pemegang izin melakukan kegiatan atau
usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan
pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(4) Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan
asing yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), karena hukum berhenti dari
jabatannya.
(5) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Pengurus yang
menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal terjadinya lowongan jabatan tersebut harus sudah
diangkat penggantinya.

Pasal 13
(1) Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang
berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di
Indonesia harus pemegang izin melakukan kegiatan atau
usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan
pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(2) Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang
berkewarganegaraan asing yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena
hukum harus meninggalkan wilayah negara Republik
Indonesia.

Pasal 14 …
-7-

Pasal 14
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan
Pasal 13 ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat korps diplomatik
beserta keluarganya yang ditempatkan di Indonesia.

BAB VI
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN
DAN PERSETUJUAN AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN

Pasal 15
(1) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk
memperoleh status badan hukum Yayasan diajukan
kepada Menteri oleh pendiri atau kuasanya melalui
notaris yang membuat akta pendirian Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri:
a. salinan akta pendirian Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
c. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa
setempat;
d. bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama
Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang
memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan
sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
e. surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan
kekayaan awal tersebut;
f. bukti penyetoran biaya pengesahan dan
pengumuman Yayasan.
(3) Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian
Yayasan untuk memperoleh status badan hukum Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan
kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung
sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.

Pasal 16 ...
-8-

Pasal 16
(1) Permohonan persetujuan perubahan Anggaran Dasar
Yayasan mengenai nama dan kegiatan Yayasan diajukan
kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya
melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran
Dasar Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris; dan
c. bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan
Anggaran Dasar dan pengumumannya.

Pasal 17
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, mulai berlaku sejak tanggal persetujuan
Menteri.

BAB VII
TATA CARA PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
DAN PERUBAHAN DATA YAYASAN

Pasal 18
(1) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan
selain perubahan nama dan kegiatan Yayasan
disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan
untuk dicatat dalam Daftar Yayasan dan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri :
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
c. bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar dan pengumumannya.

(3) Selain . . .
-9-

(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


Yayasan yang:
a. mengubah tempat kedudukan harus melampirkan
surat pernyataan tempat kedudukan Yayasan yang
ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui
oleh lurah atau kepala desa setempat;
b. memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri,
dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun
buku atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) atau lebih harus melampirkan pengumuman
surat kabar yang memuat ikhtisar laporan tahunan
dan tembusan hasil audit laporan tahunan.

Pasal 19
(1) Pemberitahuan perubahan data Yayasan disampaikan
kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya
dengan melampirkan dokumen yang memuat perubahan
tersebut.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku sejak tanggal perubahan data dicatat dalam
Daftar Yayasan.

BAB VIII
SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN NEGARA KEPADA YAYASAN

Pasal 20
(1) Bantuan negara adalah bantuan dari negara kepada
Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.

Pasal 21 ...
- 10 -

Pasal 21
(1) Bantuan negara hanya dapat diberikan kepada Yayasan
jika Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan
kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sesuai dengan alokasi dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat dalam
bentuk:
a. uang; dan/atau
b. jasa dan/atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan
uang yang dilakukan dengan cara hibah atau dengan
cara lain.
(3) Pelaksanaan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
(1) Bantuan negara kepada Yayasan dapat diberikan tanpa
adanya permohonan atau atas dasar permohonan dari
Yayasan.
(2) Bantuan negara kepada Yayasan yang diberikan tanpa
adanya permohonan dari Yayasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Bantuan negara yang diberikan kepada Yayasan atas
dasar permohonan, diajukan secara tertulis oleh Pengurus
Yayasan kepada:
a. menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan
Yayasan; atau
b. gubernur, bupati, atau walikota di tempat kedudukan
Yayasan dan/atau di tempat Yayasan melakukan
kegiatannya.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilampiri dokumen:
a. fotokopi Keputusan Menteri mengenai status badan
hukum Yayasan;

b. fotokopi . . .
- 11 -

b. fotokopi Keputusan Menteri mengenai persetujuan


perubahan Anggaran Dasar Yayasan, surat
penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran
Dasar Yayasan, dan/atau surat penerimaan
pemberitahuan perubahan data Yayasan, jika ada;
c. fotokopi Tambahan Berita Negara Republik Indonesia
yang memuat Anggaran Dasar Yayasan;
d. keterangan mengenai nama lengkap dan alamat
Pengurus Yayasan;
e. fotokopi laporan keuangan Yayasan selama 2 (dua)
tahun terakhir secara berturut-turut sesuai dengan
Undang-Undang;
f. keterangan mengenai program kerja Yayasan yang
sedang dan akan dilaksanakan; dan
g. pernyataan tertulis dari instansi teknis yang
berwenang di bidang kegiatan Yayasan.
(5) Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah
nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota meneliti
kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan mencari fakta atau keterangan tentang keadaan
Yayasan yang bersangkutan dari pihak lain yang dapat
dipertanggungjawabkan akurasinya.
(6) Selain fakta atau keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), masyarakat dapat pula menyampaikan data atau
keterangan secara tertulis kepada menteri terkait atau
pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur,
bupati, atau walikota mengenai Yayasan yang akan
menerima bantuan negara dengan cara mengemukakan
fakta yang diketahuinya.

Pasal 23
Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah
nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota dilarang
memberikan bantuan negara kepada Yayasan jika bantuan
tersebut akan memberikan keuntungan kepada:
a. perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung
dimiliki atau dikendalikan oleh Pembina, Pengurus,
Pengawas, atau pelaksana harian Yayasan; atau
b orang atau badan usaha mitra kerja Yayasan atau pihak
lain yang menerima penyertaan dari Yayasan.
Pasal 24 ...
- 12 -

Pasal 24
(1) Yayasan yang menerima bantuan negara wajib membuat
dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setiap 1
(satu) tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan
lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati,
atau walikota yang memberikan bantuan tersebut.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan.

Pasal 25
(1) Bantuan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
hanya dapat digunakan oleh Yayasan sesuai dengan
maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan berdasarkan
Anggaran Dasar dan sesuai dengan program kerja
Yayasan.
(2) Penggunaan bantuan negara yang telah diterima oleh
Yayasan tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab anggota
Pengurus Yayasan secara tanggung renteng.
(3) Bantuan negara yang diterima oleh Yayasan dilarang
dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak
langsung kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, atau
pihak lain.
(4) Tanggung jawab perdata sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapus tanggung jawab
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB IX
SYARAT DAN TATA CARA YAYASAN ASING MELAKUKAN KEGIATAN
DI INDONESIA

Pasal 26
(1) Yayasan asing dapat melakukan kegiatan di Indonesia
hanya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
(2) Yayasan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk melakukan kegiatannya di Indonesia harus
bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang
Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang
sama dengan yayasan asing tersebut.
(3) Kemitraan . . .
- 13 -

(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus


aman dari aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti.
(4) Kemitraan antara yayasan asing dan Yayasan yang
didirikan oleh Orang Indonesia dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X
TATA CARA PENGGABUNGAN YAYASAN

Pasal 27
(1) Penggabungan Yayasan dilakukan dengan cara
penyusunan usul rencana Penggabungan oleh Pengurus
masing-masing Yayasan.
(2) Usul rencana Penggabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. keterangan mengenai Nama Yayasan dan tempat
kedudukan Yayasan yang akan melakukan
Penggabungan;
b. penjelasan dari masing-masing Yayasan mengenai
alasan dilakukannya Penggabungan;
c. ikhtisar laporan keuangan Yayasan yang akan
melakukan Penggabungan;
d. keterangan mengenai kegiatan utama Yayasan dan
perubahan selama tahun buku yang sedang berjalan;
e. rincian masalah yang timbul selama tahun buku
yang sedang berjalan;
f. cara penyelesaian status pelaksana harian, pelaksana
kegiatan, dan karyawan Yayasan yang akan
menggabungkan diri;
g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
h. keterangan mengenai nama anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas; dan
i. rancangan perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang
menerima Penggabungan, jika ada.

Pasal 28 …
- 14 -

Pasal 28
(1) Rencana Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 merupakan bahan penyusunan rancangan
akta Penggabungan oleh Pengurus Yayasan yang akan
melakukan Penggabungan.
(2) Rancangan akta Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pembina
masing-masing Yayasan.
(3) Rancangan akta Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dituangkan dalam akta Penggabungan yang
dibuat di hadapan notaris, dalam bahasa Indonesia.

Pasal 29
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan tidak diikuti dengan
perubahan Anggaran Dasar maka Pengurus Yayasan yang
menerima Penggabungan wajib menyampaikan akta
Penggabungan kepada Menteri.
(2) Penggabungan mulai berlaku terhitung sejak tanggal
penandatanganan akta Penggabungan atau tanggal yang
ditentukan dalam akta Penggabungan.
(3) Tanggal yang ditentukan dalam akta Penggabungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih akhir
dari tanggal akta Penggabungan.

Pasal 30
Dalam hal Penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan
Anggaran Dasar, akta perubahan Anggaran Dasar disusun
oleh Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan dan
harus mendapat persetujuan dari Pembina yang menerima
Penggabungan.

Pasal 31
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan diikuti dengan
perubahan Anggaran Dasar yang tidak memerlukan
persetujuan Menteri, Pengurus Yayasan wajib
memberitahukan perubahan Anggaran Dasar kepada
Menteri dengan dilampiri salinan akta perubahan
Anggaran Dasar dan salinan akta Penggabungan.
(2) Perubahan …
- 15 -

(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal
pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar diterima
Menteri atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam
akta Penggabungan.

Pasal 32
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan disertai perubahan
Anggaran Dasar yang mencakup ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang,
Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib
menyampaikan akta perubahan Anggaran Dasar kepada
Menteri untuk mendapat persetujuan, dengan dilampiri
salinan akta perubahan Anggaran Dasar dan salinan akta
Penggabungan.
(2) Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mulai berlaku sejak tanggal perubahan Anggaran
Dasar disetujui oleh Menteri atau tanggal kemudian yang
ditetapkan dalam persetujuan Menteri.

Pasal 33
Hasil Penggabungan Yayasan wajib diumumkan oleh Pengurus
Yayasan yang menerima Penggabungan dalam 1(satu) surat
kabar harian berbahasa Indonesia, paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal Penggabungan berlaku.

BAB XI
BIAYA

Pasal 34
Biaya pembuatan akta pendirian dan/atau akta perubahan
Anggaran Dasar Yayasan ditetapkan berdasarkan nilai
ekonomis dan sosiologis sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Jabatan Notaris.

Pasal 35 ...
- 16 -

Pasal 35
Biaya pengesahan akta pendirian, biaya persetujuan
perubahan Anggaran Dasar, biaya penerimaan pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar, dan pengumumannya dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 36
(1) Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya
Undang-Undang dan tidak diakui sebagai badan hukum
dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2)
Undang-Undang, harus mengajukan permohonan
pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam premise aktanya disebutkan asal-usul pendirian
Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan.
(3) Perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang belum memperoleh status
badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota
organ Yayasan secara tanggung renteng.

Pasal 37
(1) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang diakui sebagai
badan hukum menurut ketentuan Pasal 71 ayat (1)
Undang-Undang dilakukan oleh organ Yayasan sesuai
dengan Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan.
(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah
seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat
penyesuaian yang dibuktikan dengan :
1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani
oleh Pengurus Yayasan; atau
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik bagi Yayasan yang laporan tahunannya
wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang;
b. data . . .
- 17 -

b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus,


dan Pengawas yang diangkat pada saat penyesuaian.
(3) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada
Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui
notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar
Yayasan.
(4) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang
memuat akta pendirian Yayasan atau bukti
pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan
izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
d. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa
setempat;
e. neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua
anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik
mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian;
f. pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan
tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya
berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri,
dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan
g. bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan
pengumumannya.

Pasal 38
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 mulai berlaku sejak tanggal dicatatnya
perubahan Anggaran Dasar tersebut dalam Daftar Yayasan.

Pasal 39 ...
- 18 -

Pasal 39
Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan”
di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya
serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-
Undang.

Pasal 40
(1) Yayasan asing yang telah melakukan kegiatan di
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 26 setelah lewat jangka waktu 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku dapat dihentikan kegiatannya oleh
instansi yang berwenang atau kejaksaan untuk
kepentingan umum.

Pasal 41
Yayasan yang kekayaannya berasal dari bantuan negara yang
diberikan sebagai hibah, bantuan luar negeri, dan/atau
sumbangan masyarakat yang diterima sebelum Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku menjadi kekayaan Yayasan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar . . .
- 19 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 134


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2008
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

I. UMUM
Keberadaan Yayasan dalam masyarakat untuk mencapai berbagai
kegiatan, maksud, dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan telah berkembang pesat dan makin beragam coraknya.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata
hukum dalam rangka mencapai kegiatan, maksud, dan tujuannya, telah
diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut bahwa beberapa ketentuan
perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan
tersebut sebagaimana dimaksud dalam:
1. Pasal 9 ayat (4) mengenai biaya pembuatan akta notaris pendirian
Yayasan.
2. Pasal 9 ayat (5) mengenai pendirian Yayasan oleh orang asing atau
bersama-sama orang asing serta mengenai syarat dan tata cara
pendirian Yayasan.
3. Pasal 14 ayat (4) mengenai jumlah minimum harta kekayaan awal
yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri Yayasan.
4. Pasal 15 ayat (4) mengenai pemakaian nama Yayasan.
5. Pasal 27 ayat (2) mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan
Negara kepada Yayasan.
6. Pasal 61 mengenai tata cara penggabungan Yayasan.
7. Pasal 69 ayat (2) mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing
melakukan kegiatan di Indonesia.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas maka penyusunan
pengaturan pelaksanaannya diatur dalam satu Peraturan Pemerintah,
yakni Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan. Hal tersebut dimaksudkan, agar Peraturan Pemerintah
ini dengan mudah dipahami oleh masyarakat khususnya pengguna.
Adapun ...
-2-

Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Peraturan


Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan,
meliputi :
1. Ketentuan Umum;
2. Pemakaian Nama Yayasan;
3. Kekayaan Awal Yayasan;
4. Pendirian Yayasan Berdasarkan Surat Wasiat;
5. Syarat dan Tata Cara Pendirian Yayasan oleh Orang Asing;
6. Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Akta Pendirian dan
Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
7. Tata Cara Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan
Perubahan Data Yayasan;
8. Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Negara Kepada Yayasan;
9. Syarat dan Tata Cara Yayasan Asing Melakukan Kegiatan di
Indonesia;
10. Tata Cara Penggabungan Yayasan;
11. Biaya;
12. Ketentuan Peralihan; dan
13. Ketentuan Penutup.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nama diri” adalah nama dari
Yayasan yang bersangkutan.
Contoh Nama Yayasan antara lain: Yayasan Jhonson and
Jhonson, Yayasan Al-Muttaqin, Yayasan Matahari, dan
Yayasan Rumah Abu Oei.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yayasan yang telah selesai likuidasinya, diberitahukan
kepada Menteri oleh likuidator.
Yayasan yang dinyatakan pailit dan telah selesai likuidasinya,
diberitahukan kepada Menteri oleh kurator.
Yayasan ...
-3-

Yayasan yang menggabungkan diri, pembubarannya


diberitahukan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan yang
menerima Penggabungan.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sama”, adalah sama dalam
pengucapan atau tulisan. Dalam hal demikian maka
nama tersebut dapat ditambah dengan nama desa,
dan/atau nama kabupaten/kota atau ditambah nama
lain sebagai ciri pembeda dengan nama yang sama
dengan nama Yayasan tersebut, misalnya, “Yayasan
Diponegoro Semarang” berbeda dengan “Yayasan
Diponegoro Buba’an Semarang”.
Huruf b
Contoh:
- Nama Yayasan yang bertentangan dengan
ketertiban umum, misalnya Yayasan Togel.
- Nama Yayasan yang bertentangan dengan
kesusilaan, misalnya Yayasan Pekerja Seks
Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Yayasan” pada ayat ini termasuk
Yayasan yang oleh ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-
Undang tidak diakui sebagai badan hukum.
Yang dimaksud dengan “nama lain” adalah nama yang
berbeda dengan nama semula atau dengan menambahkan
nama desa/kelurahan, kecamatan, atau kata lainnya pada
Nama Yayasan yang ditolak tersebut sehingga tampak
perbedaannya.
.
Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6 ...
-4-

Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "senilai" adalah apabila harta
kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah,
nilai harta kekayaan tersebut sama dengan Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "senilai" adalah apabila harta
kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah,
nilai harta kekayaan tersebut sama dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 7
Yang dimaksud dengan “keabsahan harta kekayaan” adalah harta
kekayaan yang diperoleh tidak dengan cara melawan hukum,
misalnya, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang.

Pasal 8
Yang dimaksud dengan “surat wasiat terbuka” adalah surat wasiat
yang dibuat di hadapan notaris sesuai dengan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan
lain”, misalnya, peraturan perundang-undangan di bidang
keimigrasian atau ketenagakerjaan.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "izin melakukan kegiatan atau
usaha", misalnya:
- izin . . .
-5-

- izin kerja;
- izin melakukan penelitian;
- izin belajar;
- izin melakukan kegiatan keagamaan;
- izin usaha sesuai dengan Undang-Undang tentang
Penanaman Modal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah suami atau istri
beserta anaknya.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perubahan data Yayasan” adalah
perubahan yang bukan merupakan perubahan Anggaran
Dasar.
Contoh: - Perubahan nama Pembina, Pengurus, dan/atau
Pengawas Yayasan.
- Perubahan alamat lengkap Yayasan yang
diberitahukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 …
-6-

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
- Yang dimaksud dengan “bantuan negara dalam
bentuk jasa”, antara lain, berupa pelatihan,
beasiswa atau pemberian bantuan konsultasi
yang dinilai dengan uang.
- Yang dimaksud dengan “bantuan negara dalam
bentuk lain” dapat berupa tanah, gedung, atau
aset lain yang dimiliki negara dan/atau daerah
termasuk fasilitas yang diberikan oleh negara
dan/atau daerah.
- Yang dimaksud dengan “cara lain”, antara lain
sewa.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan atau
badan hukum.

Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) tahun sekali” adalah pada
akhir tahun buku selama pemberian bantuan atau
penggunaan bantuan berlangsung.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk
kegiatan penelitian dan pengembangan.
Ayat (2) . . .
-7-

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “aspek politis” adalah kegiatan
yayasan harus sesuai dengan politik luar negeri dalam
bingkai dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan kebhinekaan masyarakat
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “aspek yuridis” adalah kegiatan
yayasan asing tidak bertentangan dengan semua ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “aspek teknis” adalah kegiatan
yayasan tesebut dapat terlaksana dengan baik di lapangan.
Yang dimaksud dengan “aspek sekuriti” adalah kegiatan
yayasan tidak ditujukan untuk kegiatan intelejen asing yang
dapat merugikan keamanan bangsa dan negara.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 ...
-8-

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Anggaran Dasar Yayasan yang
bersangkutan” adalah Anggaran Dasar Yayasan yang diakui
sebagai badan hukum dan belum disesuaikan dengan
Undang-Undang.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “seluruh kekayaan Yayasan”
adalah baik berupa kekayaan awal Yayasan maupun
kekayaan yang diperoleh setelah Yayasan didirikan
sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan
Yayasan pada saat penyesuaian, sehingga pada saat
penyesuaian dapat terjadi nilai seluruh kekayaan
Yayasan kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang” adalah pemberitahuannya 1
(satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian, dengan batas akhir
penyesuaiannya 6 Oktober 2008.

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) ...


-9-

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah
baik instansi yang memberikan izin untuk melakukan
kegiatan di Indonesia maupun instansi yang memberikan izin
orang asing masuk ke Indonesia.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4894


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 63 TAHUN 2008


TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Yayasan wajib menyesuaikan Anggaran


Dasarnya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, agar memperoleh
status badan hukum Yayasan atau tetap diakui
sebagai Yayasan yang berbadan hukum;
b. bahwa sampai saat ini masih terdapat Yayasan yang
belum menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam huruf
a;
c. bahwa untuk memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam mendaftarkan pendirian dan/atau
perubahan Anggaran Dasar Yayasan dalam rangka
penyesuaian dengan Undang-Undang tentang
Yayasan perlu menyempurnakan beberapa ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008
tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang
Yayasan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang . . .
-2-

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4132) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4430);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4894);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS


PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 63 TAHUN 2008
TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG
YAYASAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63


Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang
Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4894) diubah sebagai berikut:

1. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15A

Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian


Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dan kekayaan awal Yayasan berasal dari Yayasan yang
sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan
namanya, permohonan pengesahan dilampiri:
a. salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise
aktanya menyebutkan asal-usul pendirian Yayasan
termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan;

b. laporan . . .
-3-

b. laporan kegiatan Yayasan paling sedikit selama 5


(lima) tahun terakhir secara berturut-turut yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui
oleh instansi terkait;
c. surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan
tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau
berdasarkan putusan pengadilan;
d. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah
dilegalisir oleh notaris;
e. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa
setempat;
f. pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang
memuat keterangan nilai kekayaan pada saat
penyesuaian Anggaran Dasar;
g. surat pernyataan Pengurus mengenai keabsahan
kekayaan Yayasan; dan
h. bukti penyetoran biaya pengesahan dan
pengumuman Yayasan.

2. Ketentuan Pasal 18 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4)


sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan


selain perubahan nama dan kegiatan Yayasan
disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan
untuk dicatat dalam Daftar Yayasan dan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
c. bukti penyetoran biaya penerimaan
pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dan
pengumumannya.

(3) Selain . . .
-4-

(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) Yayasan yang:
a. mengubah tempat kedudukan harus melampirkan
surat pernyataan tempat kedudukan Yayasan
yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan
diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
b. memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri,
dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu)
tahun buku atau mempunyai kekayaan di luar
harta wakaf sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) atau lebih harus
melampirkan pengumuman surat kabar yang
memuat ikhtisar laporan tahunan dan tembusan
hasil audit laporan tahunan.
(4) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal
diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar Yayasan oleh Menteri.

3. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah dan ditambah 1 (satu)


ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 19

(1) Pemberitahuan perubahan data Yayasan disampaikan


kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau
kuasanya dengan melampirkan dokumen yang
memuat perubahan tersebut.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mulai berlaku sejak tanggal keputusan rapat atau
tanggal kemudian yang ditetapkan dalam keputusan
rapat yang sah memutuskan perubahan data
tersebut.
(3) Menteri berdasarkan pemberitahuan perubahan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
pencatatan perubahan data dan menerbitkan surat
penerimaan pemberitahuan perubahan data.

4. Di antara . . .
-5-

4. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19A

Menteri hanya dapat menerima perubahan Anggaran


Dasar dan/atau perubahan data Yayasan yang dilakukan
oleh anggota organ yang telah diberitahukan kepada
Menteri.

5. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 ditambah 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37A

(1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk
Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata
“Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-
turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar
masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran
Dasarnya; dan
b. belum pernah dibubarkan.
(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan
mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada
saat penyesuaian, yang dibuktikan dengan:
1) laporan keuangan yang dibuat dan
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan
tersebut; atau
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik bagi Yayasan yang laporan
keuangannya wajib diaudit sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang;
b. data mengenai nama dari anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat
perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran
Dasar tersebut.

(3) Pemberitahuan . . .
-6-

(3) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan
kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau
kuasanya melalui notaris yang membuat akta
perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(4) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar
yang dilakukan dalam rangka penyesuaian
dengan ketentuan Undang-Undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang
memuat akta pendirian Yayasan atau bukti
pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri
dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun
berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran
Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan
diketahui oleh instansi terkait;
d. surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa
Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela
atau berdasarkan putusan pengadilan;
e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
f. surat pernyataan tempat kedudukan disertai
alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh
Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau
kepala desa setempat;
g. neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua
anggota organ Yayasan atau laporan akuntan
publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat
penyesuaian;
h. pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar
laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian
kekayaannya berasal dari bantuan negara,
bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 Undang-Undang; dan
i. bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan
Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.

6. Ketentuan . . .
-7-

6. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 38

Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 37A mulai berlaku
sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan
pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan oleh
Menteri.

7. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 39

Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri


sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat
menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-
Undang dan tidak lagi melakukan kegiatannya sesuai
dengan Anggaran Dasar selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut, harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan
sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . . .
-8-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 2

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,

ttd

Lydia Silvanna Djaman


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 63 TAHUN 2008


TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN

I. UMUM
Keberadaan Yayasan dalam masyarakat untuk mencapai kegiatan,
maksud, dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan telah berkembang pesat dan makin beragam coraknya.
Sehubungan dengan hal tersebut untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata
hukum dalam rangka mencapai kegiatan, maksud, dan tujuannya, telah
diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.
Yayasan wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
agar tetap diakui sebagai badan hukum. Namun sampai saat ini banyak
Yayasan yang belum menyesuaikan Anggaran Dasarnya berdasarkan
Undang-Undang tersebut. Oleh karena itu perlu diberikan kesempatan
kepada Yayasan-Yayasan yang ada untuk segera menyesuaikan dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1
Pasal 15A
Cukup jelas.

Angka 2 . . .
-2-

Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Pengurus Yayasan”
adalah pengurus yang berhak mewakili Yayasan
sesuai Anggaran Dasar Yayasan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 3
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemberitahuan” adalah
pemberitahuan yang dapat dibuktikan dengan tanda
terima yang sah.
Yang dimaksud dengan “perubahan data Yayasan”
adalah perubahan yang bukan merupakan perubahan
Anggaran Dasar.
Contoh: - Perubahan nama Pembina, Pengurus,
dan/atau Pengawas Yayasan.
- Perubahan alamat lengkap Yayasan yang
diberitahukan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tanggal kemudian” adalah
tanggal setelah tanggal keputusan rapat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 4
Pasal 19A
Cukup jelas.

Angka 5 . . .
-3-

Angka 5
Pasal 37A
Cukup jelas

Angka 6
Pasal 38
Cukup jelas.

Angka 7
Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5387


BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.114, 2016 KEMENKUMHAM. Yayasan. Pengajuan.
Perubahan. Anggaran Dasar. Penyampaian
Perubahan. Pencabutan.

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2016
TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR SERTA PENYAMPAIAN
PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN DATA
YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan dan tertib


administrasi badan hukum Yayasan maka Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 5 Tahun
2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan
perlu diganti;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tata
Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum
dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta
Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar
dan Perubahan Data Yayasan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4132) sebagaimana telah diubah

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -2-

dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang


Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4430);

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang


Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4894) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5387);
4. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 84);
5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1473);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR SERTA PENYAMPAIAN
PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN
PERUBAHAN DATA YAYASAN.

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-3-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan
yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
2. Sistem Administrasi Badan Hukum yang selanjutnya
disingkat SABH adalah sistem pelayanan administrasi
badan hukum secara elektronik yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
3. Pemohon adalah Notaris yang diberikan kuasa untuk
mengajukan permohonan pengesahan badan hukum
Yayasan melalui SABH.
4. Format Isian adalah bentuk pengisian data yang
dilakukan secara elektronik untuk permohonan
pengajuan pemakaian nama Yayasan, pengesahan badan
hukum dan pemberian persetujuan perubahan anggaran
dasar, penyampaian pemberitahuan perubahan anggaran
dasar dan perubahan data Yayasan.
5. Format Isian Pengajuan Pemakaian Nama Yayasan yang
selanjutnya disebut Format Pengajuan Nama adalah
format isian untuk pengajuan nama Yayasan yang akan
dipakai dalam pendirian Yayasan ataupun perubahan
nama Yayasan.
6. Format Isian Pendirian yang selanjutnya disebut Format
Pendirian adalah format isian untuk permohonan
pengesahan badan hukum Yayasan.
7. Format Isian Perubahan Anggaran Dasar dan/atau Data
Yayasan yang selanjutnya disebut Format Perubahan
adalah format isian untuk permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar, pemberitahuan anggaran
dasar, dan/atau data Yayasan.

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -4-

BAB II
PERMOHONAN PENGAJUAN NAMA YAYASAN
Pasal 2
Permohonan Pengesahan Badan Hukum Yayasan harus
didahului dengan pengajuan nama Yayasan.

Pasal 3
(1) Pemohon mengajukan permohonan pemakaian nama
Yayasan kepada Menteri melalui SABH.
(2) Pengajuan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengisi Format Pengajuan Nama
Yayasan.
(3) Format Pengajuan Nama Yayasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. nomor pembayaran persetujuan pemakaian nama
Yayasan dari bank persepsi; dan
b. nama Yayasan yang dipesan.

Pasal 4
(1) Pemohon wajib membayar terlebih dahulu biaya
persetujuan pemakaian nama Yayasan melalui bank
persepsi untuk 1 (satu) nama Yayasan yang akan
disetujui.
(2) Besarnya biaya persetujuan pemakaian nama Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Biaya yang telah dibayarkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal dibayarkan.
(4) Biaya yang telah dibayarkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dapat ditarik kembali.

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-5-

Pasal 5
(1) Nama Yayasan yang dipesan harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemohon wajib mengisi formulir pernyataan yang berisi
bahwa nama Yayasan yang dipesan telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
bertanggung jawab penuh terhadap nama Yayasan yang
dipesan.

Pasal 6
(1) Nama Yayasan yang telah disetujui oleh Menteri
diberikan persetujuan pemakaian nama secara
elektronik.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Yayasan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
untuk 1 (satu) nama Yayasan.

Pasal 7
Dalam hal nama tidak memenuhi persyaratan pengajuan dan
pemakaian nama Yayasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri dapat menolak nama Yayasan
tersebut secara elektronik.
Pasal 8
Nama Yayasan yang telah mendapat persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berlaku untuk
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

Pasal 9
Format Pengajuan Nama Yayasan dan tata cara pengisiannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 serta surat pernyataan

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -6-

dan tata cara pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB III
PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM YAYASAN

Pasal 10
(1) Permohonan pengesahan badan hukum Yayasan
diajukan oleh Pemohon kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan melalui SABH.

Pasal 11
(1) Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, Pemohon harus mengajukan
permohonan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari terhitung sejak tanggal akta pendirian
ditandatangani.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengisi Format Pendirian.

Pasal 12
(1) Pemohon wajib membayar biaya permohonan pengesahan
badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 sebelum mengisi Format Pendirian.
(2) Biaya pengesahan badan hukum Yayasan dibayarkan
melalui bank persepsi.
(3) Besarnya biaya pengesahan badan hukum Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-7-

Pasal 13
(1) Pengisian Format Pendirian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) juga dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa surat pernyataan secara elektronik dari
pemohon tentang dokumen untuk pendirian Yayasan
yang telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
pendirian Yayasan.
(4) Dokumen untuk pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi
a. salinan akta pendirian Yayasan;
b. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah/kepala desa
setempat atau dengan nama lainnya;
c. bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama
Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang
memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan
sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
d. surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan
kekayaan awal tersebut;
e. bukti penyetoran biaya persetujuan pemakaian
nama, pengesahan, dan pengumuman Yayasan;
f. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa
kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan;
dan
g. surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk
memperoleh kartu nomor pokok wajib pajak dan
laporan penerimaan surat pemberitahuan tahunan
pajak.
(5) Selain melengkapi dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bagi Yayasan yang Pendirinya
orang asing, orang asing bersama-sama dengan orang
Indonesia, atau badan hukum asing harus melampirkan

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -8-

surat rekomendasi yang diterbitkan oleh Kementerian


yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
luar negeri atau instansi terkait.
(6) Bagi Yayasan yang didirikan berdasarkan surat wasiat,
selain melampirkan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemohon juga harus
melampirkan dokumen pendukung berupa akta wasiat
yang terdaftar pada Pusat Daftar Wasiat.
(7) Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian
Yayasan yang kekayaan awalnya berasal dari Yayasan
yang sudah tidak dapat menggunakan kata ”Yayasan” di
depan namanya, permohonan pengesahan selain
melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) juga harus melampirkan:
a. salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise
aktanya menyebutkan asal usul pendirian Yayasan
termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan;
b. laporan kegiatan Yayasan paling singkat 5 (lima)
tahun terakhir secara berturut-turut yang
ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan
diketahui oleh instansi terkait;
c. surat pernyataan pengurus Yayasan bahwa Yayasan
tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau
berdasarkan putusan pengadilan;
d. fotokopi nomor pokok wajib pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
e. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah/kepala desa
setempat atau dengan nama lainnya;
f. pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang
memuat keterangan nilai kekayaan pada saat
penyesuaian anggaran dasar;
g. pernyataan Pengurus mengenai keabsahan
kekayaan Yayasan; dan
h. bukti penyetoran biaya pengesahan dan
pengumuman Yayasan.

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-9-

Pasal 14
(1) Pemohon wajib mengisi surat pernyataan secara
elektronik yang menyatakan data isian pengesahan
badan hukum Yayasan dan keterangan mengenai
dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta Pemohon
bertanggung jawab penuh terhadap data isian dan
keterangan tersebut.
(2) Dalam hal Format Pendirian Yayasan dan dokumen
pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan
tidak berkeberatan atas permohonan pengesahan badan
hukum Yayasan secara elektronik.

Pasal 15
(1) Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Yayasan dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
pernyataan tidak berkeberatan dari Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemohon secara elektronik.
(3) Notaris dapat langsung melakukan pencetakan sendiri
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Yayasan, menggunakan kertas berwarna putih ukuran
F4/Folio dengan berat 80 (delapan puluh) gram.
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh
Notaris serta memuat frasa yang menyatakan “Keputusan
Menteri ini dicetak dari SABH”.

Pasal 16
Dalam hal Format Pendirian pengesahan badan hukum
Yayasan yang dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Keputusan Menteri tersebut
dicabut.

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -10-

Pasal 17
Format Pendirian dan tata cara pengisiannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 serta surat pernyataan dan tata
cara pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB IV
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN

Pasal 18
(1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat
persetujuan Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. nama Yayasan; dan
b. kegiatan Yayasan.
(3) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dimuat atau dinyatakan dalam akta Notaris
dalam Bahasa Indonesia.
(4) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
Menteri, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal akta Notaris yang
memuat perubahan anggaran dasar.
(5) Apabila jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) telah lewat, permohonan
persetujuan perubahan anggaran dasar tidak dapat
diajukan kepada Menteri.

Pasal 19
Perubahan anggaran dasar yang diputuskan pembina di luar
rapat pembina harus dinyatakan dalam akta Notaris.

Pasal 20
Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) diajukan oleh
Pemohon melalui SABH dengan cara mengisi Format

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-11-

Perubahan dilengkapi keterangan mengenai dokumen


pendukung.
Pasal 21
Jika dalam permohonan persetujuan perubahan anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 terdapat
perubahan nama Yayasan, permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar diajukan setelah pemakaian nama
memperoleh persetujuan dari Menteri.

Pasal 22
Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan badan
hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan
Pasal 14 sampai dengan Pasal 16, berlaku secara mutatis
mutandis untuk tata cara permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar Yayasan.

Pasal 23
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 juga harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan anggaran dasar yang
telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan anggaran dasar Yayasan.
(4) Dokumen perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan oleh Notaris, yang
meliputi:
a. minuta akta perubahan anggaran dasar Yayasan;
b. notulen rapat Pembina atau keputusan pembina di
luar rapat pembina;
c. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan
penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak
Yayasan;

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -12-

d. bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan


anggaran dasar dan pengumumannya;
e. biaya persetujuan pemakaian nama Yayasan, jika
perubahan dilakukan terhadap nama Yayasan; dan
f. surat pernyataan tidak dalam sengketa dan pailit.
(5) Ketentuan mengenai surat pemberitahuan tahunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c tidak
berlaku bagi Yayasan yang melakukan perubahan
anggaran dasar di bawah 1 (satu) tahun setelah nomor
pokok wajib pajak diterbitkan.

BAB V
PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
YAYASAN DAN PERUBAHAN DATA YAYASAN

Bagian Kesatu
Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan

Pasal 24
(1) Perubahan anggaran dasar Yayasan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 cukup diberitahukan oleh
Pemohon kepada Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar Yayasan bagi Yayasan yang
sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan
namanya cukup diberitahukan oleh Pemohon kepada
Menteri.
(3) Permohonan pemberitahuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diajukan oleh Pemohon melalui SABH dengan cara
mengisi Format Perubahan dilengkapi dengan dokumen
pendukung.

Pasal 25
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) juga harus
dilengkapi dengan dokumen pendukung yang
disampaikan secara elektronik.

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-13-

(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan anggaran dasar yang
telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan anggaran dasar Yayasan.
(4) Dokumen perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi:
a. minuta akta perubahan anggaran dasar Yayasan;
b. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan
penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak
Yayasan;
c. bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dan pengumumannya;
dan
d. surat pernyataan tidak dalam sengketa dan pailit.
(5) Ketentuan mengenai surat pemberitahuan tahunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak
berlaku bagi Yayasan yang melakukan perubahan
anggaran dasar di bawah 1 (satu) tahun setelah nomor
pokok wajib pajak diterbitkan.
(6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Yayasan yang:
a. mengubah tempat kedudukan harus melampirkan
surat pernyataan tempat kedudukan Yayasan yang
ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan
diketahui oleh lurah/kepala desa setempat atau
dengan nama lain; dan
b. memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri,
dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun
buku atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf
sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) atau lebih harus melampirkan pengumuman
surat kabar yang memuat ikhtisar laporan tahunan
dan tembusan hasil audit laporan tahunan.

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -14-

(7) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) harus melampirkan:
a. surat pernyataan dari pengurus:
1) masih melakukan kegiatan sesuai anggaran
dasarnya paling sedikit selama 5 (lima) tahun
berturut-turut sebelum penyesuaian anggaran
dasar dan tidak pernah dibubarkan; dan
2) tidak dalam sengketa dan pailit.
b. laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani
oleh pengurus Yayasan tersebut atau laporan
keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
bagi Yayasan yang laporan keuangannya wajib
diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang;
c. data mengenai nama dari anggota pembina,
pengurus, dan pengawas yang diangkat pada saat
perubahan dalam rangka penyesuaian anggaran
dasar tersebut.
d. minuta akta perubahan seluruh anggaran dasar
yang dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
ketentuan Undang-Undang;
e. fotokopi Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan
atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan
negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi
terkait;
f. laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun
berturut-turut sebelum penyesuaian anggaran dasar
yang ditandatangani oleh pengurus dan diketahui
oleh instansi terkait;
g. fotokopi nomor pokok wajib pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh Notaris;
h. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah/kepala desa
setempat atau nama lainnya atau pengelola gedung;

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-15-

i. neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua


anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik
mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian;
j. bukti pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar
laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian
kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan
luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-
Undang; dan
k. bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan
anggaran dasar Yayasan dan pengumumannya.

Pasal 26
(1) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan
badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 16, berlaku
secara mutatis mutandis untuk tata cara permohonan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar Yayasan.
(2) Surat penerimaan pemberitahuan dari Menteri wajib
ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris
serta memuat frasa yang menyatakan “Surat Penerimaan
Pemberitahuan ini dicetak dari SABH”.

Bagian Kedua
Pemberitahuan Perubahan Data Yayasan

Pasal 27
(1) Perubahan data Yayasan cukup diberitahukan oleh
Pemohon kepada Menteri.
(2) Perubahan data Yayasan dengan mengisi Format
Perubahan pada SABH.
(3) Perubahan data Yayasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. perubahan pembina;
b. perubahan atau pengangkatan kembali pengurus
dan/atau pengawas; dan
c. perubahan alamat lengkap.

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -16-

Pasal 28
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) juga harus dilengkapi dengan
dokumen pendukung yang disampaikan secara
elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan data Yayasan yang telah
lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan data Yayasan.
(4) Dokumen perubahan data Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan oleh Notaris, untuk:
a. perubahan pembina, berupa:
1. minuta akta tentang perubahan pembina; dan
2. fotokopi identitas pembina.
b. perubahan atau pengangkatan kembali pengurus
dan/atau pengawas, berupa:
1. minuta akta tentang perubahan atau
pengangkatan kembali pengurus dan/atau
pengawas; dan
2. fotokopi identitas pengurus dan/atau
pengawas.
c. perubahan alamat lengkap, berupa:
1. minuta akta tentang perubahan alamat;
2. surat pernyataan dari pengurus Yayasan yang
diketahui oleh lurah/kepala desa atau dengan
nama lain atau pengelola gedung; dan
3. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan
laporan penerimaan surat pemberitahuan
tahunan pajak Yayasan.

Pasal 29
(1) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan
badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 sampai dengan Pasal 16, berlaku secara mutatis

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-17-

mutandis untuk tata cara permohonan pemberitahuan


perubahan data Yayasan.
(2) Surat penerimaan pemberitahuan dari Menteri wajib
ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris
serta memuat frasa yang menyatakan “Surat Penerimaan
Pemberitahuan ini dicetak dari SABH”.

Pasal 30
Pengisian Format Perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 24 dapat dilakukan juga
secara bersama dengan pengisian Format Perubahan data
Yayasan.

BAB VI
PERMOHONAN SECARA NONELEKTRONIK

Pasal 31
(1) Dalam hal permohonan pengesahan badan hukum,
permohonan perubahan anggaran dasar, atau
permohonan perubahan data Yayasan tidak dapat
diajukan secara elektronik disebabkan oleh:
a. Notaris yang tempat kedudukannya belum tersedia
jaringan internet; atau
b. SABH tidak berfungsi sebagaimana mestinya
berdasarkan pengumuman resmi oleh Menteri,
Pemohon dapat mengajukan permohonan secara manual.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan melampirkan:
a. dokumen pendukung; dan/atau
b. surat keterangan dari kepala kantor telekomunikasi
setempat yang menyatakan bahwa tempat
kedudukan Notaris yang bersangkutan belum
terjangkau oleh fasilitas internet.

www.peraturan.go.id
2016, No.114 -18-

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, permohonan
perubahan anggaran dasar dan perubahan data Yayasan yang
telah diajukan dan sedang diproses sebelum Peraturan
Menteri ini mulai berlaku, diproses berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Yayasan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 5 Tahun 2014
tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 393), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 34
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

www.peraturan.go.id
2016, No.114
-19-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2016

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

www.peraturan.go.id
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.709, 2019 KUMHAM. Permohonan Pengesahan Badan
Hukum. Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar.
Penyampaian Pemberitahuan. Perubahan
Anggaran Dasar dan Perubahan Data Yayasan
Tata Cara. Perubahan.

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN
DASAR SERTA PENYAMPAIAN PEMBERITAHUAN PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN DATA YAYASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan tertib hukum dan tertib


administrasi dalam penggunaan nama Yayasan agar
tercipta kepastian hukum dan tidak merugikan
masyarakat, perlu mengubah ketentuan mengenai nama
badan hukum Yayasan;
b. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan
Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian
Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan
Perubahan Data Yayasan belum mengakomodir
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
sehingga perlu diubah;

www.peraturan.go.id
2019, No.709 -2-

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan
Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta
Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar
dan Perubahan Data Yayasan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4132) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4430);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5430) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6139);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

www.peraturan.go.id
2019, No.709
-3-

Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4894) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5387);
5. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 84);
6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1473) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 1135);
7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan
Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan
Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Yayasan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1135);

www.peraturan.go.id
2019, No.709 -4-

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN
BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR SERTA PENYAMPAIAN PEMBERITAHUAN
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN DATA
YAYASAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan
Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian
Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan
Data Yayasan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 114) diubah sebagai berikut:

1. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 5 disisipkan 1 (satu)


ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 5
(1) Nama Yayasan yang dipesan harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(1a) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), nama Yayasan harus
memenuhi syarat:
a. menggunakan huruf latin;
b. minimal terdiri dari 3 (tiga) kata;
c. terdiri dari rangkaian huruf yang membentuk
kata;
d. tidak menggunakan angka dan tanda baca;
e. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan
serta kegiatan sebagai nama Yayasan;

www.peraturan.go.id
2019, No.709
-5-

f. tidak bertentangan dengan ketertiban umum


dan/atau kesusilaan; dan
g. tidak mempunyai arti sebagai Yayasan atau
memiliki arti yang sama dengan Yayasan,
badan hukum, persekutuan perdata, atau
entitas lain yang bukan merupakan
kewenangan Menteri untuk mengesahkan.
(2) Pemohon wajib mengisi formulir pernyataan yang
berisi bahwa nama Yayasan yang dipesan telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan bertanggung jawab penuh terhadap
nama Yayasan yang dipesan.

2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A
(1) Nama Yayasan yang diajukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat disertai dengan
singkatan nama.
(2) Singkatan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh sama dengan nama Yayasan dan
singkatan nama Yayasan lain yang telah terdaftar
dalam Daftar Yayasan.
(3) Singkatan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berupa:
a. singkatan yang terdiri atas huruf depan Nama
Yayasan; atau
b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama
Yayasan.

www.peraturan.go.id
2019, No.709 -6-

2. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 6 disisipkan 1 (satu)


ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 6
(1) Nama Yayasan yang telah disetujui oleh Menteri
diberikan persetujuan pemakaian nama secara
elektronik.
(1a) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemohon dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengajuan diterima.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Yayasan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya untuk 1 (satu) nama Yayasan.

3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 7
Menteri dapat memberikan persetujuan, penolakan, atau
pelarangan atas pengajuan Nama Yayasan yang
disampaikan oleh Pemohon.

4. Diantara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A
Nama Yayasan yang telah berakhir status badan
hukumnya dihapus dari Daftar Yayasan yang ada pada

www.peraturan.go.id
2019, No.709
-7-

basis data Sistem Administrasi Badan Hukum dan dapat


diajukan permohonan kembali oleh pemohon lain.

Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2019

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2019

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

www.peraturan.go.id
12
ATURAN TEKNIS
KEUANGAN ORMAS
SALINAN

^uur#i,io,',?i5n,u'o

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ],8 TAHUN 2017

TENTANG

TATA CARA PENERIMAAN DAN PEMBERIAN SUMBANGAN OLEH


ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa unsur pendanaan merupakan salah satu


faktor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga
upaya penanggulangan tindak pidana terorisme
harus diikuti dengan upaya pencegahan terhadap
pendanaan terorisme;
b. bahwa organisasi kemasyarakatan dapat dijadikan
sebagai saranabaik langsung maupun tidak
langsung untuk menerima dan memberikan
sumbangan yang berkaitan dengan tindak pidana
pendanaan terorisme, sehingga perlu diatur tata cara
penerimaan dan pemberian sumbangan oleh
organisasi kemasyarakatan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara
Penerimaan dan Pemberian Sumbangan oleh
Organisasi Kemasyarakatan dalam Pencegahan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme;

Mengingat 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-2-
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OL3 Nomor 50, Tambahan
kmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 54O6);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2Ol3 Nomor 116,
Tambahan kmbaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5430);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 261,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5958);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2016 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh
Warga Negara Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OL6 Nomor 262, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5959);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG TATA CARA


PENERIMAAN DAN PEMBERIAN SUMBANGAN OLEH
ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME.

BAB I
PRESIDEN
REPU BLII( INDONESIA

-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:


1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya
disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
2. Sumbangan adalah dana yang diberikan untuk
kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan,
pendidikan, kesejahteraan, dan kepentingan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berupa semua aset atau benda
bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan
cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk
dalam format digital atau elektronik, alat bukti
kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset
atau benda tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas
pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang
dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang,
saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat
pengakuan utang.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau
kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
4. Pemberi Sumbangan adalah orang perseorangan
atau Korporasi yang memberikan Sumbangan.

5. Penerima .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-
5. Penerima Sumbangan adalah orang perseorangan
atau Kbrporasi yang menerima Sumbangan.
6. Tindak Pidana Pendanaan Terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
yang mengatur pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pendanaan terorisme.
Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda
fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.

Pasal 2
(1) Lingkup Ormas yang diatur dalam Peraturan
Presiden ini meliputi:
a. Ormas yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan dapat menerima Sumbangan dari luar
negeri dan/ atau memberikan Sumbangan ke luar
negeri; dan
b. Ormas yang sumber keuangannya secara
signifrkan atau sebagian besar berasal dari
sumbangan masyarakat baik untuk keperluan
operasional, kas, maupun kegiatan Ormas yang
bersangkutan.
(2) Ormas .
PRESIDEN
R EPU B LII(
INDONESIA

-5-
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi
Ormas yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum.

BAB II
TATA CARA PENERIMAAN SUMBANGAN

Pasal 3
(1) Ormas yang akan menerima Sumbangan wajib
melakukan identilikasi terhadap Pemberi
Sumbangan.
(2) Identilikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal:
a. Sumbangan yang diberikan paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau yang
nilainya setara dengan itu;
b. Sumbangan yang akan diterima berasal dari
Pemberi Sumbangan yang berkewargzrnegaraan
atau berdomisili di negara yang dinyatakan belum
memadai dalam melaksanakan konvensi dan
standar internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; atau
c. Sumbangan yang akan diterima dimaksudkan
untuk diberikan kepada Penerima Sumbangan di
negara yang dinyatakan belum memadai dalam
melaksanakan konvensi dan standar
internasional di bidang pencegal.an dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

(3) Negara .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-
(3) Negara yang dinyatakan belum memadai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c sesuai dengan informasi yang disampaikan
oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan kepada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri.

Pasal 4
(1) Ormas Penerima Sumbangan melakukan identilikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melalui
pengumpulan informasi Pemberi Sumbangan.
(21 Pengumpulan informasi mengenai Pemberi
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
paling sedikit mencakup:
a. bagi orang perseorangan:
1) nama lengkap;
2) tempat dan tanggal lahir;
3) nomor identitas diri;
4) alamat tempat tinggal;
5) pekerjaan;
6) kewarganegaraan;
7) jenis kelamin;
8) tujuan pemberian Sumbangan; dan
9) bentuk dan nilai Sumbangan.
b. bagi Korporasi:
l) nama Korporasi;
2l susunan pengurus Korporasi;
3) identitas pengurus Korporasi;
4l Nomor Pokok Wajib Pajak atau Dokumen
sejenis bagi Korporasi asing;
5) alamat kedudukan Korporasi;
6) status Korporasi;

7) tqiuan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7 -

7) tujuan pemberian Sumbangan; dan


8) bentuk dan nilai Sumbangan.
(3) Dalam hal Sumbangan berasal dari lembaga
internasional, organisasi internasional, atau
perwakilan negara asing, Ormas wajib meminta
informasi mengenai nama dan alamat kedudukan
lembaga internasional, organisasi internasional, atau
perwakilan negara asing.

Pasal 5
Ormas wajib menolak menerima Sumbangan jika:
a. Pemberi Sumbangan menolak untuk memberikan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
atau
b. identitas Pemberi Sumbangan termasuk dalam orang
atau Korporasi yang tercantum dalam daftar terduga
teroris dan organisasi teroris yang dikeluarkan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 6

Ormas wajib menyimpan catatan informasi identitas


Pemberi Sumbangan paling singkat 5 (lima) tahun sejak
tanggal transaksi penerimaan Sumbangan selesai
dilakukan.

BAB III
TATA CARA PEMBERIAN SUMBANGAN

Pasal 7
(1) Ormas yang akan memberikan Sumbangan wajib
melakukan identifikasi dan verifikasi calon Penerima
Sumbangan.

(2) Identifikasi .
PRESIDEN
REPUBLIK IN DO N ESIA

-8-
(21 Identifikasi dan verilikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) dilakukan dalam hal calon Penerima
Sumbangan berkewarganegaraan atau berdomisili di
negara yang dinyatakan belum memadai dalam
melaksanakan konvensi dan standar internasional di
bidang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.
(3) Negara yang dinyatakan belum memadai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
informasi yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan kepada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri.

Pasal 8
(1) Ormas Pemberi Sumbangan melakukan identilikasi
sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 7 melalui
pengumpulan informasi calon Penerima Sumbangan.
(2t Pengumpulan informasi mengenai calon Penerima
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
paling sedikit mencakup:
a. bagi orang perseorangan:
l) nama lengkap;
2) tempat dan tanggal lahir;
3) nomor identitas;
4) alamat tempat tinggal;
5) pekerjaan;
6) kewargane garaai;
7) jenis kelamin; dan
8) bentuk dan nilai Sumbangan.
b. bagi Korporasi:
1) nama Korporasi;

2) susunan .
PRESIDEN
REPUBLII( INDONESIA

-9-
2) susunan pengurus Korporasi;
3) identitas pengurus Korporasi;
4) Nomor Pokok Wajib Pajak atau Dokumen
sejenis bagi Korporasi asing;
5) alamat kedudukan Korporasi;
6) status Korporasi;
7) tqjuan penerimaan Sumbangan; dan
8) bentuk dan nilai Sumbangan.

Pasal 9
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dilakukan melalui penelitian terhadap Dokumen
yang memuat informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dengan sumber informasi dan/atau
Dokumen lainnya yang dapat dipercaya serta
memastikan bahwa data tersebut merupakan data
terkini.
(21 Ormas dapat melakukan klarifikasi dengan calon
Penerima Sumbangan untuk meneliti dan meyakini
keabsahan dan kebenaran Dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal diperlukan, Ormas dapat meminta kepada
calon Penerima Sumbangan untuk memberikan lebih
dari I (satu) Dokumen identitas yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan
kebenaran identitas calon Penerima Sumbangan.

Pasal 10
Ormas dilarang memberikan Sumbangan jika:
a. calon Penerima Sumbangan menolak untuk
memberikan informasi dan Dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8; atau

b. identitas
PRESIDEN
R EPU B LII(
INDONESIA

- 10-
b. identitas calon Penerima Sumbangan termasuk
dalam orang atau Korporasi yang tercantum dalam
daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang
dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.

Pasal 1 I
Ormas wajib menyimpan catatan informasi identitas
Penerima Sumbangan paling singkat 5 (lima) tahun
sejak tanggal transaksi pemberian Sumbangan selesai
dilakukan.

BAB IV
KER.IA SAMA PENERIMAAN DAN
PEMBERIAN SUMBANGAN

Pasal 12
(t) Dalam hal Ormas yang menerima Sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau
memberikan Sumbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tujuan untuk
disalurkan melalui suatu kerja sama wajib
melakukan identilikasi dan verilikasi terhadap orang
perseorangan atau Korporasi.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk kerja sama dengan asosiasi Ormas.
(3) Identifikasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi informasi mengenai nama,
alamat, dan kedudukan orang perseorangan atau
Korporasi.

Pasal 13. . .
PRESIOEN
REPU BLII( INDONESIA

- 11-
Pasal 13

(l) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12


ayat (1) dilakukan melalui penelitian terhadap
Dokumen yang memuat informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayal (3) dengan sumber
informasi dan/ atau Dokumen lainnya yang dapat
dipercaya serta memastikan bahwa data tersebut
merupakan data terkini.
(21 Ormas dapat melakukan klarifikasi dengan orang
perseorangan atau Korporasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) untuk meneliti dan meyakini
keabsahan dan kebenaran Dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal diperlukan, Ormas dapat meminta kepada
calon Penerima Sumbangan untuk memberikan lebih
dari satu Dokumen identitas yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang, untuk memastikan
kebenaran identitas calon Penerima Sumbangan.

Pasal 14

Ormas dilarang melakukan kerja sama dengan orang


perseorangan atau Korporasi yang:
a. menolak untuk memberikan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
b. identitasnya termasuk dalam orang atau Korporasi
yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan
organisasi teroris yang dikeluarkan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia berdasarkan penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

BABV.
-$",D
PRESIDEN
REPU BLII< INDONESIA

-12-
BAB V
PENGAWASAN

Pasal 15
(1) Pengawasan terhadap penerimaan atau pemberian
Sumbangan oleh Ormas dalam pencegahan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme dilakukan oleh
Menteri.
(21 Dalam melakukan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Menteri bekerja sama


dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan.
(3) Dalam hal diperlukan, Menteri dapat berkoordinasi
dengan menteri atau pimpinan lembaga terkait
sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 16
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
dalam bentuk:
a. meminta laporan kepada Ormas mengenai
penerimaan dan pemberian Sumbangan; dan
b. meminta klarilikasi atau penjelasan mengenai
penerimaan dan pemberian Sumbangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan hasil penilaian risiko Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme.

Pasal 17
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme terkait
penerimaan dan pemberian Sumbangan oleh Ormas
dapat dilakukan kerja sama pertukaran informasi.

(2) Pelaksanaan .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-13-
(21 Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
nasional dilakukan melalui forum koordinasi lintas
instansi terkait yang difasilitasi oleh Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan.
(3) Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
internasional dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang hubungan luar
negeri dan perjanjian internasional.

Pasal 18

Dalam rangka pengawasan, kementerian yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan melakukan edukasi kepada Ormas mengenai
pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
berdasarkan hasil penilaian risiko.

Pasal 19

Ormas yang tidak melaksanakan ketentuan dalam


Peraturan Presiden ini dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan'

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t4-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Febntari 20 17

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2017
MENTERI HUKUM DAN HAKASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 31

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten i Bidang Politik, Hukum, dan
Bidang Hukum dan
undangan,
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 38 TAHUN 2008
TENTANG
PENERIMAAN DAN PEMBERIAN
BANTUAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN
DARI DAN KEPADA PIHAK ASING

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : bahwa untuk menertibkan administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan


yang berkaitan dengan penerimaan dan pemberian bantuan organisasi
kemasyarakatan dari dan kepada pihak asing sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakataan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang Penerimaan dan Pemberian Bantuan Organisasi Kemasyarakatan
Dari dan Kepada Pihak Asing;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi


Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3298);
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4324);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3331);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4597);
8. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia;
9. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 25 Tahun 2008;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PENERIMAAN DAN


PEMBERIAN BANTUAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DARI DAN
KEPADA PIHAK ASING.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat
warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk
berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Pihak asing adalah pemerintah luar negeri, pemerintah negara bagian atau pemerintah
daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi di bawahnya,
organisasi multilateral, lembaga internasional, organisasi kemasyarakatan luar negeri,
serta badan usaha milik pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan
badan swasta di luar negeri.
3. Bantuan Pihak Asing adalah bantuan yang berasal dari pemerintah luar negeri,
pemerintah negara bagian atau pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-
Bangsa atau organisasi multilateral lainnya termasuk badan-badannya, organisasi atau
lembaga internasional, organisasi kemasyarakatan luar negeri, serta badan usaha milik
pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan badan swasta di luar negeri.
4. Hibah adalah penerimaan dari pemerintah luar negeri, pemerintah negara bagian atau
pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi
multilateral lainnya termasuk badan-badannya, organisasi atau lembaga internasional,
organisasi kemasyarakatan luar negeri, serta badan usaha milik pemerintah
negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan badan swasta di luar negeri dalam
bentuk rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang
tidak perlu dikembalikan.
5. Pinjaman adalah penerimaan dari pemerintah luar negeri, pemerintah negara bagian
atau pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi
multilateral lainnya termasuk badan-badannya, organisasi atau lembaga internasional,
organisasi kemasyarakatan luar negeri, serta badan usaha milik pemerintah
negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan badan swasta di luar negeri.
6. Naskah Perjanjian Hibah, selanjutnya disingkat NPH adalah naskah perjanjian antara
pemberi hibah dan penerima hibah.
7. Naskah Perjanjian Penerusan Hibah, selanjutnya disingkat NPPH adalah naskah
perjanjian antara Pemerintah atau kuasanya dengan organisasi kemasyarakatan dalam
rangka penerusan hibah dari pihak asing.
8. Naskah Perjanjian Pinjaman, yang selanjutnya disingkat NPP, adalah naskah perjanjian
atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman dari
Pihak asing kepada Organisasi Kemasyarakatan.

BAB II
SUMBER, JENIS, BENTUK DAN SIFAT BANTUAN
DARI PIHAK ASING

Pasal 2
(1) Bantuan pihak asing bersumber dari:
a. pemerintah luar negeri;
b. pemerintah negara bagian atau pemerintah daerah di luar negeri;
c. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi di bawahnya;
d. organisasi multilateral;
e. lembaga internasional;
f. organisasi kemasyarakatan luar negeri; dan/atau
g. badan usaha milik pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri.
(2) Bantuan dari pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari negara
yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara Republik Indonesia.

Pasal 3
(1) Bantuan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat berupa:
a. uang;
b. barang; dan/atau
c. jasa tenaga ahli.
(2) Bantuan pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. hibah; dan/atau
b. pinjaman.

Pasal 4
(1) Bantuan jasa tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c sesuai
ketentuan perundang-undangan di bidang keimigrasian dan ketenagakerjaan.
(2) Hibah berupa uang dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dikenakan pajak, bea dan/atau cukai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5
(1) Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, hanya dalam bentuk
barang bergerak dan wajib dikembalikan.
(2) Pinjaman dalam bentuk barang bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk kegiatan pameran, peragaan, penelitian dan/atau kegiatan pendidikan.

Pasal 6
(1) Bantuan dari pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersifat tidak mengikat.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh digunakan untuk kegiatan
yang:
a. bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. mengganggu dan/atau mengancam kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. mengganggu dan/atau memecah belah persatuan, kesatuan, dan kerukunan
nasional;
d. mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
e. menimbulkan keresahan sosial, kekacauan perekonomian nasional dan
daerah;dan/atau
f. terkait dengan kegiatan intelijen, pencucian uang, terorisme, dan separatisme.

BAB III
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PENERIMAAN BANTUAN DARI PIHAK ASING
Bagian Kesatu
Persyaratan

Pasal 7
(1) Untuk dapat menerima bantuan dari pihak asing, organisasi kemasyarakatan harus
terdaftar di:
a. Departemen Dalam Negeri; atau
b. instansi pemerintah lainnya; dan/atau
c. pemerintah daerah.
(2) Selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), organisasi kemasyarakatan dapat
menerima bantuan pihak asing dengan persyaratan:
a. ada kesesuaian bantuan dengan ruang lingkup kegiatan organisasi kemasyarakatan;
b. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan maksud dan
tujuan pemberian bantuan; dan
c. bantuan dan kegiatan yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Tata Cara
Paragraf 1
Umum

Pasal 8
(1) Bantuan pihak asing dikelompokkan dalam jenis:
a. bantuan pihak asing yang dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan
melalui Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah bersumber dari pemerintah negara
bagian atau pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
organisasi multilateral lainnya termasuk badan-badannya, serta badan usaha milik
pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan organisasi
kemasyarakatan luar negeri dan badan swasta di luar negeri.
b. bantuan pihak asing yang dapat diberikan langsung kepada organisasi
kemasyarakatan bersumber dari organisasi kemasyarakatan luar negeri dan badan
swasta di luar negeri.
(2) Bantuan dari pihak asing berupa hibah dapat diterima dengan cara:
a. langsung; atau
b. tidak langsung.
(3) Bantuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara:
a. pengiriman uang melalui rekening bank; atau
b. pemberian uang/barang kepada penerima bantuan.
(4) Bantuan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara:
a. penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional;
b. penerusan dari Pemerintah; atau
c. penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 9
(1) Bantuan dari pihak asing berupa pinjaman dapat diterima dengan cara:
a. langsung; atau
b. tidak langsung.
(2) Bantuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara
pemberian barang kepada penerima bantuan.
(3) Bantuan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara:
a. penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional;
b. penerusan dari Pemerintah; atau
c. penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.

Paragraf 2
Penerimaan Bantuan Dengan Cara Langsung

Pasal 10
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan asing secara langsung wajib
melaporkan rencana penerimaan bantuan kepada:
a. Menteri Dalam Negeri, untuk organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya
nasional;
b. Menteri Dalam Negeri melalui gubernur, untuk organisasi kemasyarakatan yang
cakupan wilayah kerjanya provinsi; atau
c. Menteri Dalam Negeri melalui bupati/walikota dengan tembusan gubernur, untuk
organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya kabupaten/kota.

Pasal 11
Laporan rencana penerimaan bantuan asing meliputi:
a. asal sumber bantuan;
b. maksud dan tujuan bantuan;
c. sifat dan jenis bantuan;
d. jumlah dan jangka waktu bantuan;
e. rencana pemanfaatan bantuan;
f. ketersediaan dana pendamping yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan dan
rencana penggunaannya;
g. nomor rekening bank nasional dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan asing;
dan
h. Nomor Pokok Wajib Pajak dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan asing.

Pasal 12
Menteri Dalam Negeri dapat memberikan persetujuan rencana penerimaan bantuan asing
bagi organisasi kemasyarakatan setelah berkoordinasi dengan departemen/lembaga
pemerintah non departemen terkait untuk mendapatkan pertimbangan.

Pasal 13
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diberikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. pimpinan departemen/lembaga Pemerintah non departemen terkait.

Paragraf 3
Penerimaan Bantuan Berupa Pinjaman
Pasal 14
(1) Dalam hal bantuan berupa pinjaman, persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah perjanjian pemberian pinjaman antara
pihak pemberi bantuan asing dengan organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan penerima bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.

Pasal 15
Naskah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. para pihak;
b. obyek;
c. tujuan dan dampak;
d. ruang lingkup , yang meliputi:
1) kelompok sasaran;
2) wilayah/tempat pelaksanaan kegiatan;
3) jadwal kegiatan;
4) jumlah dan keahlian tenaga kerja asing dan domestik;
5) besaran, jenis, sifat dan bentuk bantuan;
e. hak dan kewajiban para pihak;
f. jangka waktu kerjasama;
g. pemantauan dan pelaporan;
h. pengakhiran perjanjian;
i. keadaan memaksa; dan
j. penyelesaian perselisihan.

Pasal 16
(1) Organisasi kemasyarakatan yang menerima bantuan asing dapat bekerja sama dengan
organisasi kemasyarakatan lain dalam melaksanakan kegiatannya.
(2) Organisasi kemasyarakatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Paragraf 4
Penerimaan Bantuan Berupa Hibah

Pasal 17
(1) Dalam hal bantuan berupa hibah, persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ditindaklanjuti dengan naskah perjanjian hibah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Salinan naskah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.

Paragraf 5
Penerimaan Bantuan Melalui Penerusan
Dari Organisasi Kemasyarakatan Afiliasi Internasional
Pasal 18
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan dengan cara tidak langsung
melalui penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional wajib melaporkan
rencana penerimaan bantuan dimaksud kepada:
a. Menteri Dalam Negeri, untuk organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya
nasional;
b. Menteri Dalam Negeri melalui gubernur, untuk organisasi kemasyarakatan yang
cakupan wilayah kerjanya provinsi;
c. Menteri Dalam Negeri melalui bupati/walikota dengan tembusan gubernur, untuk
organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya kabupaten/kota.

Pasal 19
Laporan rencana penerimaan bantuan asing meliputi:
a. asal sumber bantuan;
b. maksud dan tujuan bantuan;
c. sifat dan jenis bantuan;
d. jumlah dan jangka waktu bantuan;
e. rencana pemanfaatan bantuan;
f. ketersediaan dana pendamping yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan dan
rencana penggunaannya;
g. nomor rekening bank nasional dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan luar
negeri; dan
h. Nomor Pokok Wajib Pajak dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan luar
negeri.

Pasal 20
Menteri Dalam Negeri dapat memberikan persetujuan rencana penerimaan bantuan asing
bagi organisasi kemasyarakatan setelah berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri dan
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait untuk mendapatkan pertimbangan.

Pasal 21
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diberikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. pimpinan departemen/lembaga Pemerintah non departemen terkait.

Pasal 22
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditindaklanjuti dengan penyusunan
naskah perjanjian antara pihak pemberi bantuan dengan organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.
(4) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.

Pasal 23
Organisasi kemasyarakatan yang menerima bantuan dari pihak asing melalui penerusan
dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional dapat bekerjasama dengan organisasi
kemasyarakatan lain dalam melaksanakan kegiatannya.

Paragraf 6
Penerimaan Bantuan Melalui Penerusan Dari Pemerintah

Pasal 24
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan dengan cara tidak langsung
melalui penerusan dari Pemerintah:
a. ditunjuk oleh Pemerintah cq. departemen mitra kerja pihak sumber bantuan asing; atau
b. mengajukan permohonan kepada Pemerintah cq. departemen mitra kerja pihak sumber
bantuan asing.

Pasal 25
Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dilakukan setelah
Memorandum Saling Pengertian (MSP) antara Pemerintah cq. departemen mitra kerja
dengan pihak sumber bantuan asing.

Pasal 26
Organisasi kemasyarakatan penerima bantuan dengan cara tidak langsung melalui
penerusan dari Pemerintah harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.

Pasal 27
(1) Penunjukan organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a
ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah perjanjian antara pihak sumber bantuan
asing dengan organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan penerima bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen mitra kerja pemberi bantuan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.
(4) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.

Paragraf 7
Penerimaan Bantuan Melalui Penerusan Dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 28
Penerimaan bantuan asing dengan cara tidak langsung kepada organisasi kemasyarakatan
melalui penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan dengan cara:
a. departemen yang akan menerima bantuan asing memberitahukan kepada pemerintah
daerah untuk menunjuk organisasi kemasyarakatan yang akan menerima penerusan
bantuan asing;
b. pemerintah daerah menunjuk organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan
asing berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh depatemen yang akan
meneruskan bantuan.

Pasal 29
Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan setelah Memorandum Saling
Pengertian (MSP) antara Pemerintah cq. departemen mitra kerja dengan pihak pemberi
bantuan asing.

Pasal 30
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan dengan cara tidak langsung
melalui penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Pasal 31
(1) Penunjukan organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah perjanjian antara pemberi bantuan dengan
organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak kepada Menteri Dalam
Negeri dengan tembusan kepada:
a. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen mitra kerja pemberi bantuan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.

BAB IV
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PEMBERIAN BANTUAN KEPADA PIHAK ASING
Bagian Kesatu
Persyaratan

Pasal 32
Organisasi kemasyarakatan yang akan memberikan bantuan kepada pihak asing harus
mendapat persetujuan Pemerintah.

Pasal 33
(1) Untuk dapat memberi bantuan kepada pihak asing, organisasi kemasyarakatan harus
terdaftar di:
a. Departemen Dalam Negeri;
b. instansi pemerintah lainnya; atau
c. pemerintah daerah.
(2) Bantuan kepada pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan kepada penerima bantuan di negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan negara Republik Indonesia.
(3) Bantuan kepada pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
diberikan dengan syarat:
a. ditujukan untuk kegiatan kemanusiaan;
b. tidak bersumber dari hasil tindak pidana dan/atau bertujuan menyembunyikan atau
menyamarkan hasil tindak pidana;
c. tidak dipergunakan untuk kegiatan melawan hukum di negara penerima bantuan dan
hukum internasional;
d. tidak mengganggu hubungan diplomatik dengan negara penerima bantuan; dan/atau
e. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di
dalam negeri.
Bagian Kedua
Tata Cara

Pasal 34
(1) Bantuan kepada pihak asing dapat diberikan dengan cara:
a. langsung; atau
b. tidak langsung.
(2) Bantuan langsung kepada pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan cara:
a. pengiriman uang melalui rekening bank;
b. pemberian uang/barang kepada penerima bantuan; atau
c. bantuan jasa tenaga kerja.
(3) Bantuan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:
a. penerusan melalui organisasi kemasyarakatan di negara penerima;
b. penerusan melalui pemerintah negara penerima; atau
c. penerusan melalui pemerintah daerah atau negara bagian di negara penerima.

Pasal 35
Organisasi kemasyarakatan yang akan memberikan bantuan dengan cara langsung ke
pihak asing wajib melaporkan rencana pemberian bantuan dimaksud kepada:
a. Menteri Dalam Negeri, untuk organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan yang
cakupan wilayah kerjanya nasional;
b. Menteri Dalam Negeri melalui gubernur, untuk organisasi kemasyarakatan pemberi
bantuan yang cakupan wilayah kerjanya provinsi;
c. Menteri Dalam Negeri melalui bupati/walikota dengan tembusan gubernur, untuk
organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan yang cakupan wilayah kerjanya
kabupaten/kota.

Pasal 36
Laporan rencana pemberian bantuan meliputi:
a. maksud dan tujuan bantuan;
b. sifat dan jenis bantuan;
c. pihak penerima bantuan;
d. informasi tentang sumber bantuan;
e. jumlah dan jangka waktu bantuan; dan
f. rencana pemanfaatan pemberian bantuan.

Pasal 37
Menteri Dalam Negeri dapat memberikan persetujuan rencana pemberian bantuan kepada
pihak asing oleh organisasi kemasyarakatan setelah berkoordinasi dengan departemen/
lembaga pemerintah non departemen terkait untuk mendapatkan pertimbangan.

Pasal 38
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 diberikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. pimpinan departemen/lembaga Pemerintah non departemen terkait.

Pasal 39
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ditindaklanjuti dengan penyusunan
naskah perjanjian pemberian bantuan antara pihak pemberi bantuan dengan pihak
penerima bantuan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak naskah kerjasama ditandatangani.
(4) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.

BAB V
INFORMASI PELAKSANAAN KEGIATAN

Pasal 40
(1) Pelaksanaan penerimaan bantuan asing dan pemberian bantuan kepada pihak asing
oleh organisasi kemasyarakatan diinformasikan kepada masyarakat melalui media
publik.
(2) Informasi melalui media publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan.
(3) Hasil pelaksanaan kegiatan organisasi kemasyarakatan yang menerima bantuan asing
dan kegiatan pemberian bantuan kepada pihak asing diinformasikan secara menyeluruh
dan periodik kepada masyarakat.
(4) Penyampaian informasi hasil pelaksanaan kegiatan organisasi kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui pagelaran/pameran hasil
karya organisasi kemasyarakatan.
(5) Menteri Dalam Negeri memfasilitasi dan mengkoordinasikan penyelenggaraan
pagelaran/pameran hasil karya organisasi kemasyarakatan.

BAB VI
PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Pasal 41
(1) Pemantauan kegiatan pemberian bantuan dari dan kepada pihak asing dilakukan
bersama oleh Menteri Dalam Negeri dan organisasi kemasyarakatan yang
bersangkutan.
(2) Hasil pemantauan menjadi bahan masukan untuk evaluasi efektifitas dan efisiensi
pendayagunaan bantuan dan pemberian bantuan kepada pihak asing.
(3) Menteri Dalam Negeri mengkoordinasikan penyelenggaraan rapat koordinasi tahunan
evaluasi kerjasama antara organisasi kemasyarakatan dengan pihak asing.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari
penerimaan bantuan asing atau pemberian bantuan kepada pihak asing yang sedang
berlangsung, tetap dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15-8-2008
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd.
H. MARDIYANTO
13
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
PUTUSAN
Nomor 82/PUU-XI/2013

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang diwakili oleh


Prof. Dr. Din Syamsudin dan Dr. Abdul Mu’ti M.Ed, yang bertindak
dalam jabatannya sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Pimpinan Pusat
Persyarikatan Muhammadiyah

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 12 September 2013
memberi kuasa kepada 1). Dr. Syaiful Bakhri, S.H., MH., 2). Dr. Trisno
Rahardjo, S.H., M. Hum., 3). Dr. Danang Wahyu Muhammad, S.H., M.Hum., 4).
Dr. Natangsa Surbakti, S.H., M.H., 5). Noor Ansyari. S.H., 6). Ibnu Sina
Chandranegara, S.H., 7). Bachtiar, S.H., 8). Mochamad Iksan, S.H., M.H., 9).
Sudaryono, S.H., M.Hum., 10). Iwan Satriawan, S.H., M.CL., 11). Muhammad
Najih, S.H., MH., 12). Aris Budi Cahyono, S.H., 13). Mujahid Latief, S.H., MH.,
14). Iswanto, S.H., M.Hum., 15). Jamil Burhan, S.H., 16). Saptono Hariadi, S.H.

Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Umum, yang tergabung dalam Tim
Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
yang beralamat di Jalan Menteng Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, baik sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[1.3] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengar keterangan Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar keterangan ahli Pemohon;
Mendengar keterangan saksi dan ahli Presiden;
Membaca kesimpulan tertulis Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan


surat permohonan bertanggal 13 September 2013, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
17 September 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
416/PAN.MK/2013 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan
Nomor 82/PUU-XI/2013 pada tanggal 23 September 2013, yang telah diperbaiki
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Oktober 2013,
menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


1. Bahwa Indonesia telah membuat sejarah baru dalam membentuk sistem
bernegara yang modern, salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi.
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi
diharapkan mampu menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum
sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Mahkamah Konstitusi juga
diharuskan mampu memberi keseimbangan (checks and balances)
antara lembaga negara dan menyelesaikan sengketa konstitusional, agar
hukum dasar yang terkandung dalam UUD 1945 tetap terjaga;

2. Bahwa sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana tercantum


dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
memiliki 4 (empat) kewenangan, dan 1 (satu) kewajiban yaitu:
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya


diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.

3. Bahwa kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi


kemudian dikuatkan dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)
yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
e. wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.

4. Bahwa Pemohon dalam hal ini mengajukan pengujian konstitusional atas


Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
terhadap UUD 1945 di hadapan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan
kewenangannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK;

5. Bahwa kewenangan mengadili oleh Mahkamah Konstitusi atas


permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 ini telah
sesuai dengan ketentuan, maka Pemohon meminta kepada Majelis
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan kewenangan Mahkamah


Konstitusi ini untuk mengadili permohonan Pemohon;

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

1. Bahwa Pemohon adalah Pemohon Badan Hukum Privat sebagaimana


dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemohon diwakili oleh Prof. Dr. Din
Syamsudin, warga negara Indonesia, yang bertindak dalam jabatannya
sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah;

2. Bahwa Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada


tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18
November 1912 Miladiyah, yang memiliki identitas gerakan islam dan
Da’wah Amar Ma’ruf Nahi munkar, berasas Islam, dan bersumber pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah, dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya, sehingga dengan dasar hukum sebagai badan hukum, identitas
dan tujuan Persyarikatan Muhammadiyah kemudian mendirikan berbagai
amal usaha dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, sebagai
wujud dari badan hukum, identitas dan tujuan Persyarikatan
Muhammadiyah dimaksud;

3. Bahwa Persyarikatan Muhammadiyah sebagai sebuah badan hukum yang


berbentuk perkumpulan dan/atau persyarikatan yang telah mendapatkan
pengakuan pertama kali dari Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana
ternyata dalam Gouvernement Besluit Nomor 81, tanggal 22 Agustus
1914, juncto Gouvernement Besluit Nomor 40, tanggal 16 Agustus 1920
juncto Gouvernement Besluit Nomor 36, tanggal 2 September 1921;

4. Bahwa besluit-besluit tersebut kemudian ditetapkan dengan


Rechtpersoonlightheit van Vereeningingingen (K.B.van 28 Maret stb.70-64
ars : 5a (Ingev stb. 33-80);

5. Bahwa sebagai sebuah badan hukum yang berbentuk perkumpulan


dan/atau persyarikatan, Muhammadiyah memiliki kegiatan-kegiatan
diberbagai bidang kehidupan kemasyarakatan yang telah diakui dan
ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia seperti:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

a. Bidang Keagamaan sebagaimana dalam Surat Pernyataan Menteri


Agama Nomor 1 Tahun 1971, tanggal 9 September 1971;
b. Bidang Pendidikan Dan Pengajaran sebagaimana dalam Surat
Pernyataan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23628/
MPK/74, tanggal 24 Juli 1974;
c. Bidang Kesehatan yang di dalamnya termasuk kegiatan dibidang
Rumah Sakit, Balai Pengobatan dan lain-lain sebagaimana dalam
surat pernyataan Menteri Kesehatan Nomor 155/Yan.Med/Um/1998,
tanggal 22 Februari 1988;

6. Bahwa sebagai sebuah badan hukum privat yang telah mendapatkan


pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana tersebut di
atas, Perkumpulan dan/atau Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak
dalam bidang keagamaan/dakwah dan sosial kemasyarakatan, pendidikan
dan pengajaran serta kesehatan, telah pula melakukan Perubahan
Anggaran Dasar-nya, Perubahan mana telah mendapatkan Persetujuan
dari Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-
88.AH.01.07. Tahun 2010 tanggal 23 Juni 2010 tentang Perubahan
Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah;

7. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka syarat permohonan Pemohon


sebagai Badan Hukum Privat telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK, yang menyatakan: “Pemohon adalah Pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara”.

8. Bahwa selain ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK diatur pula syarat dalam
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang tentang Kedudukan
Hukum diatur sebagai berikut, “Pemohon dalam pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 adalah:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

a) perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang


mempunyai kepentingan sama
b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjnag masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
c) badan hukum publik atau badan hukum privat
d) lembaga negara

9. Bahwa oleh karena itu syarat permohonan Pemohon telah terpenuhi dalam
permohonan ini, sedangkan untuk hak konstitusional menurut penjelasan
Pasal 51 ayat (1) adalah hak-hak yang diberikan oleh UUD 1945,
Yurisprodensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan putusan-putusan selanjutnya, memberikan penafsiran
terhadap Pasal 51 ayat (1) UU MK terkait dengan hak konstitusional.
Dalam yurisprudensi dijelaskan sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat
spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud tidak akan
atau tidak lagi terjadi.

10. Bahwa meskipun Pemohon telah mempunyai kedudukan khusus


sebagaimana ditentukan dalam Pasal 83 huruf b Undang-Undang a quo,
yang menyatakan: “Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan
Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan
Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang berdiri sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan konsisten
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap diakui
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa, tidak perlu


melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini;” Namun, tidak berarti Pemohon tidak terikat kepada Undang-Undang
a quo khususnya ketentuan yang mengatur dan mengenai di luar
mekanisme, syarat dan proses pendaftaran, oleh karena itu Pemohon
mempunyai hak konstitusional sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945
yakni:
Pasal 28 UUD 1945
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”
Pasal 28A UUD 1945
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.”
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”

11. Bahwa hak konstitusional Pemohon dirugikan atas berlakunya Undang-


Undang a quo khususnya:
Pasal 1 angka 1
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan,
kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 4
Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis.
Pasal 5
Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.
Pasal 8
Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; atau c. kabupaten/kota.
Pasal 9
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih,
kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.
Pasal 10
(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berbasis
anggota; atau b. tidak berbasis anggota.
Pasal 11
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf a dapat berbentuk: a. perkumpulan; atau b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a didirikan dengan berbasis anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b didirikan dengan tidak berbasis anggota.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 21
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan
serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel;
dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Pasal 23
Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Pasal 24
Ormas lingkup provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pasal 25
Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf c memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit dalam
1 (satu) kecamatan.
Pasal 29
(1) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah
dan mufakat.
(2) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua atau sebutan lain;
b. 1 (satu) orang sekretaris atau sebutan lain; dan
c. 1 (satu) orang bendahara atau sebutan lain.
(3) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan Ormas.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 30
(1) Struktur kepengurusan, sistem pergantian, hak dan kewajiban
pengurus, wewenang, pembagian tugas, dan hal lainnya yang
berkaitan dengan kepengurusan diatur dalam AD dan/atau ART.
(2) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan, susunan kepengurusan
yang baru diberitahukan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan
kepengurusan.
Pasal 31
(1) Pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan
tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau mendirikan Ormas
yang sama.
(2) Dalam hal pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk kepengurusan
dan/atau mendirikan Ormas yang sama, keberadaan kepengurusan
dan/atau Ormas yang sama tersebut tidak diakui oleh Undang-Undang
ini.
Pasal 33
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas.
(2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.
Pasal 34
(1) Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 35
(1) Setiap Ormas yang berbadan hukum dan yang terdaftar wajib memiliki
AD dan ART.
(2) AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling
sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan internal; dan


h. pembubaran organisasi.
Pasal 36
(1) Perubahan AD dan ART dilakukan melalui forum tertinggi pengambilan
keputusan Ormas.
(2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan AD dan ART.
Pasal 38
(1) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola dana dari iuran
anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a,
Ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai
dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD
dan/atau ART.
(2) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola bantuan/sumbangan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b,
Ormas wajib mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara
berkala.
(3) Sumber keuangan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan
Ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan
hidup Ormas.
(2) Dalam melakukan pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menghormati
dan mempertimbangkan aspek sejarah, rekam jejak, peran, dan
integritas Ormas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(3) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. fasilitasi kebijakan;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan


c. peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(4) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
berupa peraturan perundang-undangan yang mendukung
pemberdayaan Ormas.
(5) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b dapat berupa:
a. penguatan manajemen organisasi;
b. penyediaan data dan informasi;
c. pengembangan kemitraan;
d. dukungan keahlian, program, dan pendampingan;
e. penguatan kepemimpinan dan kaderisasi;
f. pemberian penghargaan; dan/atau g. penelitian dan
pengembangan.
(6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c dapat berupa:
a. pendidikan dan pelatihan; b. pemagangan; dan/atau c. kursus.
Pasal 57
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas
permintaan para pihak yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
(1) Dalam hal mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui
pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan upaya
hukum kasasi.
(3) Sengketa Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diputus
oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan perkara dicatat di
pengadilan negeri.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

(4) Dalam hal putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada


ayat (3) diajukan upaya hukum kasasi, Mahkamah Agung wajib
memutus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera
Mahkamah Agung.
Pasal 59
(1) Ormas dilarang:
b. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera
atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau
lambang Ormas;
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama
dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga
pemerintahan;
d. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara
lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang,
atau bendera Ormas;
e. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang; atau
f. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain
atau partai politik.
(3) Ormas dilarang: menerima dari atau memberikan kepada pihak mana
pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

12. Bahwa berdasarkan pengujian Undang-Undang dengan perkara Nomor


36/PUU-X/2012 dan perkara Nomor 38/PUU-IX/2013 Mahkamah telah
memberikan legal standing kepada Pemohon dalam mengajukan
pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang, baik yang mempunyai
kepentingan langsung dan/atau tidak langsung pada Pemohon

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

13. Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana disebutkan di atas, maka jelas


bahwa Pemohon memiliki kualitas dalam dan kepentingan konstitusional
dalam Pengujian Undang-Undang a quo;

III. Alasan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas


A. Pengkerdilan Makna kebebasan berserikat melalui Pembentukan UU
Ormas
1. Bahwa pada mulanya, prinsip kebebasan atau kemerdekaan
berserikat ditentukan dalam Pasal 28 UUD 1945 (pra reformasi) yang
berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”. Pasal 28 ini sama sekali belum memberikan jaminan
konstitusional secara tegas dan langsung, melainkan hanya
menyatakan akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Namun,
setelah reformasi, melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun
2000, jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam Pasal
28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan
jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of
association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan
kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak
hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap
orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di
Indonesia.
2. Bahwa setiap orang diberi hak untuk bebas membentuk atau ikut serta
dalam keanggotaan atau pun menjadi pengurus organisasi dalam
kehidupan bermasyarakat dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Untuk itu, kita tidak lagi memerlukan pengaturan oleh Undang-Undang
untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap
orang untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja
syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan,
penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi
itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan Undang-Undang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

beserta peraturan pelaksanaannya. Namun sudah tentu pembentukan


peraturan perundang-undangan yang baru semestinya tidak
menjadikan kemerdekaan berserikat menjadi terbatasi dan justru
menjadi sangat birokratis. Namun, dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (UU
17/2013) jelas telah menjadikan kebebasan berserikat ditafsirkan
sempit oleh pembentuk Undang-Undang. Kemerdekaan berserikat
yang ditentukan oleh UUD 1945 tidaklah dapat ditafsirkan sempit atau
restriktif, sehingga negara yang semestinya memberikan jaminan dan
perlindungan bukan justru memberikan pembatasan yang akan
berujung kepada disintergrasi.

3. Bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal


10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat
(2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal
36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat
(1) dan ayat (3) huruf a UU 17/2013 jelas dan terang bertentangan
dengan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dikarenakan
kehadiran suatu Undang-Undang yang berfungsi memberikan
pembatasan hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul telah
dikebiri melalui Undang-Undang a quo telah khususnya pasal a quo
yang juga bermakna Undang-Undang a quo tidak memberikan
perlindungan segenap bangsa Indonesia;

4. Bahwa pengaturan sebagaimana terkontruksi dalam Pasal 5, Pasal 8,


Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 33, Pasal
34, Pasal 38 UU 17/2013 merupakan wujud arogansi pembentuk
Undang-Undang dalam merumuskan norma bemaksud mengatur.
Pengaturan yang berlebihan dari hal tujuan, simbol, lambang, hingga
urusan rumah tangga Ormas menjadi objek pengaturan yang
berlebihan yang justru terkesan berlebih-lebihan. Kemerdekaan
berserikat yang dijaminkan oleh UUD 1945 seolah-olah menjadi
ancaman bagi negara dan seolah-olah pembentuk Undang-Undang
sedang mengatur mengenai partai politik. Hal ini jelas bertentangan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
16

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dengan Pasal 28A UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.” dan Pasal 29 UUD 1945: (1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”

B. Pembatasan Kemerdekaan Berserikat yang berlebih-lebihan


1. Bahwa perumusan tujuan organisasi sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 5 Undang-Undang a quo, jelas sesuatu hal yang berlebih-
lebihan. Persyaratan tujuan yang bersifat kumulatif merupakan fantasi
pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan tujuan pembentukan
Undang-Undang dan bahkan pembentukan Ormas itu sendiri.
Bagaimana mungkin seluruh tujuan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 5 Undang-Undang a quo dapat dipenuhi secara keseluruhan
dan bagaimana pula membuktikannya apabila syarat tersebut menjadi
dasar pembentukan Ormas. Ketentuan ini jelas mengada-ada dan
justru tidak memberikan jaminan dan perlindungan hukum
sebagaimana dijaminkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
2. Bahwa perumusan definisi dan sifat Ormas sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 Undang-Undang a quo jelas
merupakan kekacauan legislasi dan fantasi belaka. Hal ini dikarenakan
Undang-Undang telah terlampau jauh menentukan bahwa Ormas
bersifat sukarela. Kesukarelaan tidak menjadi dasar seseorang masuk
kedalam suatu Ormas, ada sebagaian Ormas yang mengharuskan
calon anggota untuk memberikan kontribusi terhadap adanya
kehendak seseorang yang bergabung ke dalam Ormas sehingga

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

tidaklah tepat Ormas ditentukan sedemikian rupa. Selain itu, dalam


Pasal 4 Undang-Undang a quo Ormas juga dinyatakan bersifat
nirlaba, pada dalam Pasal 39 Undang-Undang a quo justru
merumuskan bahwa Ormas diperbolehkan mendirikan badan usaha.
Ketentuan ini sesungguhnya telah bertentangan satu sama lain yang
menunjukkan adanya kekacauan norma. Adanya ketidakpastian yang
demikian itu merupakan pelanggaran hak konstitusional Pemohon.
Selain itu dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang a quo, adanya
persamaan agama tidak terumuskan dalam UU Ormas, maka
pertanyaannya, apakah Ormas yang didirikan berdasarkan persamaan
agama bukan merupakan ormas?, ketentuan yang diskriminatif ini
justru kembali bertabrakan terhadap Pasal 5 Undang-Undang a quo
yang justru menjadikan pelaksanaan keyakinan terhadap agama
merupakan salah satu tujuan pembentukan Ormas. Ketentuan-
ketentuan yang semacam ini jelas telah bertentangan dengan Pasal
28A UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal 28C ayat (2) UUD
1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.”Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.” dan Pasal 29 UUD 1945: (1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”

3. Bahwa pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 21,


Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal
33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39 Undang-
Undang a quo merupakan pengaturan yang represif dan jelas-jelas
mengekang kemerdekaan berserikat yang telah dijaminkan dalam
UUD 1945. Pembatasan Ormas yang hanya mempunyai lingkup
nasional merupakan jelas wujud pengkerdilan makna kebebasan
berserikat yang justru tidak sepatutnya menjadi esensi dalam

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pengaturan UU Ormas. Selain itu, pengaturan yang represif


sebagaimana ditentukan dalam pengaturan mengenai format
kepengurusan dan jumlah kepengurusan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-
Undang a quo merupakan bentuk miskonsepsi pembentuk Undang-
Undang dalam memahami apa itu Ormas. Pengaturan yang demikian
itu, merupakan bentuk penngaturan untuk pembentukan organisasi
yang ditujukan untuk meraih kekuasaan negara atau partai politik,
sedangkan ormas bukanlah partai politik, pengaturan yang sedemikian
itu jelas mengancam esensi dari jaminan kemerdekaan berserikat
sebagaimana telah dijaminkan oleh UUD 1945 melalui Pasal 28E ayat
(3), yaitu: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat.

C. Pengaturan yang tidak memberikan kepastian hukum


1. Bahwa Undang-Undang a quo yang terdiri dari 87 pasal, hanya 48
pasal yang relevan dengan pengaturan Ormas, sedangkan sisanya
tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari
konstitusi (8 pasal), KUHP, KUHAP, KUHPerdata (7 pasal), UU
Yayasan (41 pasal), UU KIP (7 pasal), UU Anti Pencucian Uang (6
pasal), dan Undang-Undang terkait anti terorisme (6 pasal). Bahkan
Undang-Undang 17/2013 mencaplok materi pengaturan yang
seharusnya menjadi wilayah RUU Perkumpulan (33 pasal). Bahkan
sebagian besar berkonstruksi “norma administratif” yang jelas Undang-
Undang a quo jelas mempunyai tujuan membatasi dibandingkan
memberikan jaminan terhadap kemerdekaan berserikat yang sudah
seharusnya dibatalkan;
2. Bahwa mengenai mekanisme pendaftaran bagi Ormas yang tidak
berbadan hukum seharusnya tidak perlu di level Undang-Undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 35,
dan Pasal 36 Undang-Undang a quo, cukup melalui aturan teknis
kementerian sektoral. Itupun hanya berlaku bagi Ormas yang ingin
mengajukan dan mengelola sebagian anggaran APBN/APBD.
Pengaturan dalam bentuk Undang-Undang jelas menunjukan arogansi
pembentuk Undang-Undang agar mempersempitkan pemaknaan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kemerdekaan berserikat yang perbuatan demikian jelas bertentangan


dengan UUD 1945 dan merugikan hak dan kepentingan konstitusional
Pemohon.
3. Bahwa pengakuan seperti “hak dan kewajiban” Ormas sebagaimana
termuat dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang a quo adalah
contoh “norma administratif”. Tanpa itu pun, sudah ada konstitusi yang
mewadahi dan AD/ART Ormas yang akan menjabarkannya lebih lanjut
(Pasal 20 huruf a, huruf c, dan huruf d Undang-Undang a quo).
Bahkan ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual/HAKI (yang
tersebar pada UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, atau
Rahasia Dagang) sudah lebih dari cukup untuk mewadahi Ormas
memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan lambang
ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b Undang-
Undang a quo. Ketentuan yang demikian inilah jelas bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
4. Bahwa mengenai hak Ormas untuk mendapatkan perlindungan hukum
terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf e Undang-Undang a quo sudah lebih dari
cukup diakomodasi oleh KUHP, KUHAP, KUHPerdata hingga Undang-
Undang Kepolisian. Begitu pula hak Ormas untuk melakukan
kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, Ormas
lain, dan pihak lain dalam rangka pengembangan dan keberlanjutan
organisasi (Pasal 20 huruf f Undang-Undang a quo) sudah diatur
melalui AD/ART hingga Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah
Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba
Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
sebagaimana diubah oleh Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 dan
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian
Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diubah dengan
Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. Bahkan kedua Permendagri

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

tersebut sudah lebih dulu mengatur maksud dan tujuan Pasal 41 atau
penyediaan sanksi melalui Pasal 61 huruf b dan huruf c, Pasal 64 ayat
(1) huruf a, dan Pasal 64 ayat (2). Oleh karena itu, konstruksi norma
yang demikian itu jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.
5. Bahwa selain ketentuan HAKI, larangan terhadap Ormas sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (1) huruf a Undang-Undang a quo sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. khususnya
Pasal 66 yang menentukan: “Setiap orang yang merusak, merobek,
menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan
maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 67:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap
orang yang: a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk
reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf b; b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak,
robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf c; c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar
atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada
Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d; d.
dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap,
pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan
kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf e”. Pasal 68: “Setiap orang yang mencoret, menulisi,
menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud
menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Adanya pertentangan


ketentuan yang demikian itu jelas bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.” maka pasal a quo sudah
seharusnya dibatalkan.
6. Bahwa mengenai Pasal 59 ayat (3) huruf a Undang-Undang a quo
ini jelas multi tafsir dan sesungguhnya telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya: Pasal 3
UU TPPU yang menyatakan: ”Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau
perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak
pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). Pasal 4 UU TPPU yang menyatakan: “Setiap Orang
yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” Pasal 5 TPPU yang
menyatakan: “(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.” Adanya pertentangan ketentuan yang
demikian itu jelas melahirkan suatu ketentuan yang multitafsir
dikarenakan disatu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan
tindak pidana dan disisi lain hanya bersifat pelarangan yang
justru akan membingungkan, oleh karena itu ketentuan a quo
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.” maka pasal a quo sudah seharusnya dibatalkan.

D. Turut campur pemerintah dalam penjabaran kemerdekaan berserikat


1. Bahwa pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 Undang-
Undang a quo jelas mengada-ada dan mereduksi makna Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Adalah sesuatu yang tidak
relevan apabila Undang-Undang menentukan bahwa Ormas yang
mengelola keuangan iuran anggota diwajibkan membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi, hal
tersebut sungguh-sungguh hal yang tidak perlu dilakukan dan diatur
dalam Undang-Undang, dikarenakan proses pertanggungjawaban
dalam hal apapun yang dilakukan oleh Ormas merupakan hak
prerogatif Ormas itu sendiri. Selain itu, apabila Ormas menghimpun
dan mengelola bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas wajib
mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala,
merupakan ketentuan yang berlebihan yang justru akan menghalangi
terpenuhinya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Dikarenakan pelaporan berkala yang ditentukan justru mengaburkan
makna kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin
dalam Undang-Undang Dasar.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

2. Bahwa Pasal 33 Undang-Undang a quo bahwa Setiap warga negara


Indonesia berhak menjadi anggota Ormas dan Keanggotaan Ormas
bersifat sukarela dan terbuka, beserta Pasal 34 ayat (2) Undang-
Undang a quo yang menentukan: (2) Setiap anggota Ormas memiliki
hak dan kewajiban yang sama merupakan bukti nyata terdapat upaya
pembentuk Undang-Undang untuk “ikut campur” yang terlalu
berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
sepatutnya pembentuk Undang-Undang tidak terlampau jauh
mengatur hal-hal yang sesungguhnya menjadi kewenangan absolut
organisasi kemasyarakatan. Tidak semua warga negara Indonesia
berhak menjadi anggota suatu Ormas apabila terdapat perbedaan
yang prinsipil seperti adanya perbedaan agama, perbedaan kehendak,
dan atau perbedaan platform pemikiran sehingga mekanisme
organisasi yang berhak menentukan apa kriteria tertentu untuk masuk
kedalam organisasi tertentu. Oleh karena itu norma tersebut jelas-jelas
bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945: “Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” dan Pasal 29 UUD 1945: (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
3. Bahwa Pasal 40 Undang-Undang a quo yang mengatur mengenai
pemberdayaan Ormas merupakan ketentuan yang berpotensial
menimbul potensi tindakan korup yang dilakukan atas nama
pemberdayaan ormas yang nantinya akan membawa kepentingan
terselubung bagi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah atau
nantinya akan membangkitkan kembali “Ormas plat merah”
sebagaimana yang dulu besar pada masa orde baru melalui
ketentuan-ketentuan yang serupa, hal ini jelas bertentangan dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
IV. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar mengadili permohonan a quo
dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bertentangan secara keseluruhan dengan UUD NRI
Tahun 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal
28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara
keseluruhan
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara RI sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal
33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38,
Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Paragraf Keempat
Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

3. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,


Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal
33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal
40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai keputusan lain,
mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-5 sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Prof. Dr. Dien
Syamsuddin, MA;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Dr. Abdul Mu’ti,
M.Ed;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor AHU-88.AH.01.07 Tahun 2010 tentang Perubahan
Anggaran Dasar Pesyarikatan Muhammadiyah;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Petikan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU-88.AH.01.07 Tahun 2010 tentang
Perubahan Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;

Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli tiga orang ahli yang memberi
keterangan di bawah sumpah, sebagai berikut:

1. Dr. Aidul Fitriciada, S.H., M.H


- Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, istilah organisasi
kemasyarakat jelas mengacu pada kebebasan berserikat atau freedom of
association, yang menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) International

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR merupakan, “The right to
form and join for the protectional of its interest,” atau hak untuk membentuk
dan mengikutisuatu serikat organisasi untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya. Akan tetapi di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak terdapat nomenklatur tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Nomenklatur Organisasi Kemasyarakatan
diadopsi oleh pembuat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menggunakan nama yang
sama yakni Organisasi Kemasyarakatan. Hal ini jelas disebutkan dalam
konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada huruf d.
- Nomenklatur yang terdapat di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar
1945, jelas menyebutkan kebebasan berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapat. Para pembuat Undang-Undang, seharusnya
mengikuti nomenklatur yang tersedia dalam ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut. Hal ini juga koheren, atau sinkron dengan
penggunanan nomenklatur pada Undang-Undang yang lain, yang juga
mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Yakni Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1988 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat
di Muka Umum, sekalipun tidak persis sama dengan nomenklatur dalam
Undang-Undang Dasar, tetapi nomenklatur Kemerdekaan menyatakan
pendapat di muka umum jelas mengacu pada ketentuan Pasal 28 Undang-
Undang Dasar 1945, yang menyatakan kemerdekaan berserikat, dan
berkumpul, mengeluarkan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya ditetapkan
dengan Undang-Undang.
- Penggunaan nomenklatur organisasi kemasyarakatan secara formal pada
dasarnya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
sementara Undang-Undang Dasar 1945, selain karena tidak mencerminkan
pengaturan tentang kemerdekaan berserikat, penggunaan nomenklatur
tersebut tidak koheren dan sinkron dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Ahli
melihat bahwa persoalan nomenklatur ini penting karena untuk pasal yang
sama tetapi ada Undang-Undang yang juga menggunakan nomenklatur
kemerdekaan menyatakan pendapat, tetapi ada Undang-Undang dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

rujukan pasal yang sama namanya Undang-Undang Organisasi


Kemasyarakatan dimana ketentuan tersebut tidak dikenal.
- Jikapun hendak mengatur tentang kemerdekaan atau kebebasan berserikat,
maka undang-undang tersebut seharusnya dinamakan Undang-Undang
Kebebasan Berserikat. Sesuai dengan nomenklatur Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan Undang-Undang tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Selain itu secara materiil Undang-Undang
Ormas sesungguhnya mengatur hak dan kebebasan berserikat, bukan
mengatur tentang serikat atau organisasinya. Jadi jika dibuat Undang-
Undang tentang kebebasan berserikat, maka dasar hukumnya menjadi
jelas, yaitu Pasal 28 UUD 1945 dan pasal yang sama.
- Secara filosofis pengaturan tentang kemerdekaan atau kebebasan
berserikat mengacu pada nilai-nilai HAM secara universal yang secara
umum diatur di dalam hak sipil dan politik, dan hak ekonomi sosial dan
kebudayaan atau hak Sipol dan Ekosob. Hak Sipol, sebagaimana diatur
dalam ICCPR tahun 1966 secara filosofis berpijak pada pandangan
kebebasan negatif (negative freedom) yang pada dasarnya menolak adanya
tekanan atau campur tangan negara terhadap hak-hak sipol atau non koersi
dan non intervensi. Sebaliknya, hak-hak Ekosob yang termuat di dalam
International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR)
tahun 1966 berpihak pada paradigma kebebasan positif (positive freedom)
yang menghendaki agar negara atau pemerintah memiliki spektrum yang
luas dengan kewenangan untuk melakukan campur tangan kepada warga
negara untuk memastikan warga negara mendapatkan hak-haknya dalam
bidang Ekosob. Dengan demikian jelas terdapat perbedaan pijakan dasar
antara hak-hak Sipol dan hak-hak Ekosob, oleh karena itu terkait dengan
hak berserikat para pembentuk Undang-Undang meminimalkan segala
bentuk koersi, segala bentuk tekanan atau campur tangan terhadap
kebebasan warga negara untuk membentuk, atau mengikuti suatu serikat,
atau organisasi demi melindungi kepenting-kepentingannya. Undang-
Undang Dasar 1945 pada Pasal 28J UUD 1945 memang mengatur bahwa
dalam pelaksanaannya dimungkinkan adanya pembatasan atau restriction,
atau limitation yang ditetapkan dalam Undang-Undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Akan tetapi, harus diingat,
apabila kita mengacu pada general comment ICCPR dari Human Right
Commission Nomor 34 yang diterbitkan tahun 2011. Pada paragraf 26
dikatakan pembatasan oleh Undang-Undang restriction by law itu harus
compatible with the profession, aim, and objective of the covenant. Artinya,
pembatasan atas kebebasan berserikat yang dilakukan oleh negara dalam
Undang-Undang harus tetap sesuai dengan ketentuan dan tujuan dari
perlindungan hak berserikat sebagai bagian dari hak sipol yang secara
paradigmatik berpijak pada penolakan atas segala bentuk koersi, tekanan,
dan campur tangan negara Pemerintah. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 justru mengingkari paradigma tersebut dengan lebih menekankan
pada pembatasan untuk melakukan campur tangan terhadap hak dan
kebebasan berserikat dibandingkan untuk melindungi hak dan kebebasan
berserikat itu sendiri. Setidaknya hal itu terlihat di antaranya pada Pasal 40
yang memberikan wewenang kepada Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah untuk melakukan pemberdayaan ormas, untuk meningkatkan kinerja
dan menjaga keberlangsungan hidup ormas. Ketentuan Pasal 40 tersebut
pada dasarnya memiliki semangat yang sama dengan ketentuan Pasal 12
Undang-Undang Ormas Tahun 1985 yang dibentuk oleh rezim orde baru,
yang memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk melakukan
pembinaan terhadap Ormas. Secara esensial tidak ada perbedaan antara
pembinaan dan pemberdayaan oleh Pemerintah dan Pemda terhadap
Ormas karena semangatnya sama, yakni melakukan sub ordinasi dan
kooptasi terhadap hak berserikat sebagai bagian hak Sipol. Istilah
pemberdayaan itu sendiri lebih merupakan suatu eufemisme atau
penghalusan bahasa yang tidak memiliki akibat hukum yang secara
esensial berbeda dengan pembinaan. Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang
Ormas tahun 2013 tersebut menunjukkan tujuan pembatasan dalam bentuk
campur tangan Pemerintah dan/atau pemda terhadap kebebasan berserikat
lebih diutamakan dibandingkan dengan tujuan untuk melindungi kebebasan
berserikat itu sendiri. Hal yang sama juga terlihat pada ketentuan Pasal 57
yang memberikan peran kepada pemerintah untuk dapat memfasilitasi

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

mediasi dalam penyelesaian sengketa internal Ormas. Jelas ini memberikan


pintu masuk bagi campur tangan Pemerintah terhadap hak dan kebebasan
warga negara dalam berserikat. Secara politis campur tangan seperti itu
dapat digunakan untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan masyarakat sipil
karena dapat saja justru pemerintah merekayasa konflik diinternal suatu
ormas agar dapat melakukan campur tangan dan mengendalikan Ormas
tersebut. Padahal pada sisi lain telah banyak pembatasan kebebasan
berserikat melalui penegakan hukum, seperti dalam KUHP, KUHAP
Perdata, Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Yayasan, Undang-Undang
Kebebasan Informasi, kemudian Undang-Undang Anti Terorisme, dan yang
lainnya. Dengan adanya ketentuan mengenai pemberdayaan oleh
pemerintah atau pemda, dan/atau pemda, jelas tujuannya untuk
mensubordinasi dan mengkooptasi serikat-serikat atau organisasi yang ada
di tengah masyarakat. Dari segi politik hukum, hal ini merupakan bentuk
kemunduran karena pada tahun 1998 sebelum dilakukan Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 justru lahir Undang-Undang tentang
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang lebih reponsif
dan lebih progresif dalam melindungi hak-hak politik warga negara.
- Undang-Undang Ormas juga melahirkan duplikasi dan inkohenrensi dengan
Undang-Undang tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dan
staatsblad Tahun 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan
berbadan hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) Undang-
Undang Yayasan, Undang-Undang Yayasan mengatur tentang badan
hukum untuk organisasi sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak
mempunyai anggota. Sementara staatsblad Tahun 1870 Nomor 64
mengatur tentang badan hukum yang dibentuk berdasarkan anggota,
termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dengan adanya
pengaturan mengenai organisasi masyarakat yang juga mencakup
perkumpulan dan yayasan, maka Undang-Undang Ormas telah mengatur
kembali ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Yayasan dan
staatsblad Tahun 1870. Dengan paradigma Undang-Undang Ormas yang
cenderung birokratis, maka pengaturan tersebut potensial untuk melahirkan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

inkoherensi norma dengan Undang-Undang Yayasan dan staatsblad


perkumpulan. Sebagai contoh misalnya, tentang anggaran dasar dan ART
(Anggaran Rumah Tangga) Ormas yang berbadan hukum, diatur di dalam
Pasal 35 Undang-Undang Ormas Tahun 2013 disebutkan bahwa AD/ ART
(Anggaran Dasar) dan (Anggaran Rumah Tangga) harus memuat paling
sedikit.
a. Nama lambang;
b. Tempat tujuan;
c. Asas tujuan dan fungsi;
d. Kepengurusan;
e. Hak kewajiban anggota;
f. Pengelolaan keuangan, mekanisme penyelesaian sengketa; dan
g. Pengawasan internal, dan pembubaran organisasi.
Sementara pada ketentuan Undang-Undangnya disebutkan bahwa
anggaran dasar yayasan sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang
berbeda dengan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Ormas
Tahun 2013, yaitu nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan ini
sesuai dengan Undang-Undang Yayasan, anggaran dasar yayasan.
Terdapat perbedaan dalam hal ini dengan Undang-Undang Yayasan, yaitu:
a. nama dan tempat kedudukan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan;
c. jangka waktu pendirian;
d. jumlah kekayaan, cara memperoleh, dan penggunaan kekayaan;
e. tata cara pengangkatan, penghentian;
f. hak dan kewajiban, tata cara penyelenggaraan rapat anggota yayasan;
g. organ yayasan.
Di dalam anggaran dasar, Undang-Undang Yayasan tidak mengatur
mengenai asas. Kemudian ketentuan mengenai perubahan, penggabungan,
dan pembubaran yayasan, serta penggunaan kekayaan sisa likuidasi.
Perbedaan ketentuan diantara kedua undang-undang tersebut jelas
menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
- Istilah pemberdayaan adalah istilah yang sangat multi interpretative, dalam
hal ini ahli sendiri kesulitan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
31

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pemberdayaan. Ahli melihat dari dua perbandingan antara Undang-Undang


Ormas Tahun 1985 dan Undang-Undang Ormas Tahun 2013. Pada
Undang-Undang Ormas yang terdahulu menggunakan istilah pembinaan,
yang pada saat itu digunakan untuk melakukan kooptasi kaitannya dengan
asas tunggal yang diatur di dalam Undang-Undang tersebut. Logika yang
sama muncul juga di dalam Undang-Undang Ormas Tahun 2013, yang
intinya bagaimana birokrasi dapat mencampuri organisasi masyarakat yang
ada. Jika dilihat dari filosofi freedom of association, hak Sipol justru
noncoercive atau Pemerintah tidak melakukan campur tangan sama sekali,
terhadapnya tetapi hanya memberikan pembatasan. Pembatasan yang
diberikan pun harus jelas jika kita mengacu pada Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana disebutkan pada Pasal 28J UUD 1945. Yang kemudian
menjadi persoalan adalah apakah pembatasan itu harus dilakukan melalui
mekanisme hukum atau melalui mekanisme administrasi. Di dalam Undang-
Undang ini terlihat lebih mengedepankan pembatasan melalui mekanisme
administrasi, dan hal tersebut sama dengan mekanisme di masa Undang-
Undang sebelumnya yang justru mengakibatkan kooptasi. Jadi menurut ahli,
penggunaan istilah pemberdayaan dalam Undang-Undang Ormas kali ini
merupakan duplikasi dari istilah pembinaan.
- Menurut ahli, seharusnya Ormas-Ormas yang memiliki self regulatory yang
kemudian bisa membuat Ormas tersebut mandiri dengan sendirinya tanpa
tergantung kepada negara, sehingga Ormas tersebut dapat berpartisipasi
dalam pembangunan dan bukan bergantung kepada Pemerintah. Ahli
berpendapat jika melihat istilah pemberdayaan tersebut, maka menurut ahli
Ormas-Ormas di daerah justru akan tergantung pada negara dan
memanfaatkan dana-dana negara, hal ini akan membuat Ormas-Ormas
yang ada tidak mandiri, dan akhirnya dapat dikontrol oleh negara.
Seharusnya yang terjadi adalah bukan negara atau Pemerintah yang
melakukan kontrol terhadap civil society tetapi sebaliknya.
- Mengenai pembatasan yang dimaksud oleh ahli, mungkin dapat kita lihat
Pasal 22 ICCPR yang menyebutkan adanya restriction by law atau
pembatasan oleh hukum. Namun, pembatasan oleh hukum ini lebih
mengedepankan penegakan hukum terhadap ancaman ketertiban,
ancaman terhadap keselamatan umum, ancaman terhadap kesehatan,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
32

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

ancaman terhadap agama, dan pembatasan oleh hukum ini merupakan


mekanisme hukum dan dalam peraturan perundang-undangan kita sudah
tersedia misalkan dalam KUHAP, UU TPPU dan sebagainya.
- Mengenai nomenklatur Organisasi Kemasyarakatan yang ada dalam
Undang-Undang ini, kalau kita melihat dari ICCPR mengenai freedom of
association termasuk to formed and to join trade union yang lebih
menekankan pada trade union dan serikat buruh. Kata union sebenarnya
yang lebih cocok dan konsisten dengan nomenklatur yang terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Ahli dalam hal ini tidak menolak adanya
Undang-Undang tentang Kemerdekaan Berserikat, tetapi tidak dengan
Undang-Undang yang mengatur mengenai organisasi apapun namanya.
Karena dalam hal ini Muhammadiyah misalnya, tidak mau disebut sebagai
ormas karena di dalam anggaran dasarnya adalah perkumpulan, bukan
organisasi masyarakat. Ahli lebih sepakat jika kedepannya dibentuk
Undang-Undang yang lebih mengedepankan pada kemerdekaan berserikat,
sehingga yang diatur bukan pada kelembagaannya, tetapi pada hak-hak
masyarakat. Sehingga sesuai dengan Pasal 28J UUD yang menyatakan
bahwa pembatasan tesebut bukanlah pada haknya tetapi pada
pelaksanaannya, namun dalam hal ini ahli berpendapat bukan pengaturan
mengenai kelembagaannya karena sudah ada Undang-Undang yang
mengatur mengenai hal tersebut.
- Pasal 28 memang mengatur mengenai open legal policy, ini berkenaan
dengan hak asasi manusia dan prinsip umum hak asasi manusia tersebut
dilakukan berdasarkan restriction by law. Pembatasan tersebut ada di dalam
Pasal 28J UUD 1945. Jadi pembuatan Undang-Undang dlam hal untuk
mengatur pelaksanaan hak tersebut bukan merupakan open legal policy
yang mutlak karena harus mengacu pada UUD 1945.

2. Eryanto Nugroho
- Dari aspek proses, Undang-Undang Ormas merupakan bagian dari paket
Undang-Undang politik pada masa orde baru bersama dengan Undang-
Undang Pemilu, Undang-Undang Parpol, Undang-Undang MPR, DPR,
DPRD, dan Undang-Undang Referendum. Melihat sejarahnya kita mengkaji
risalah pembahasan pada tahun 1985, terlihat sekali bahwa tujuan
utamanya adalah saat itu untuk mengedepankan stabilitas politik, itu adalah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
33

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

hasil bacaan kami terhadap risalah di tahun 1985. Setelah reformasi, pada
Prolegnas 2005-2009 sudah sempat masuk RUU Ormas untuk dibahas, tapi
kemudian tidak sempat untuk dibahas dan disahkan. RUU Ormas kemudian
masuk lagi di Prolegnas 2010 dan 2014, sampai tahun 2010 pun tidak
masuk dalam prioritas pembahasan sampai kemudian kami mencatat baru
mendapatkan momentumnya ketika terjadi serangkaian tindak kekerasan
yang diduga melibatkan anggota Ormas. Pada tanggal 30 Agustus 2010
setelah terjadinya rentetan tindak kekerasan, diselenggarakan rapat
gabungan pemerintah dan DPR RI untuk merespon tindak kekerasan
tersebut, dengan dihadiri oleh wakil ketua DPR, Menkopolhukam, Mendagri,
Kapolri, Jaksa Agung, dan kepala BIN. Rapat itu menghasilkan kesepakatan
untuk bersama mendorong revisi Undang-Undang Ormas.
Pembahasan RUU ormas cukup panjang sampai pembahasan hingga
ditunda perpanjangan sehingga 7 kali masa sidang, mulai masuk sebagai
usulan inisiatif DPR 21 Juli 2011 dan kemudian pada saat pengesahannya
sampai ditunda dua kali rapat paripurna. Dalam proses pembentukannya
pun ada banyaknya penolakan dari masyarakat, beberapa yang ahli catat
adalah perserikatan Muhammadiyah yang menolak sampai sekarang,
PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) tidak menolak tetapi memberikan
catatan kritis soal definisi Ormas yang dianggap menggeneralisasi dan tidak
membedakan antara yayasan, perkumpulan, dan organisasi
kemasyarakatan. PBNU meminta DPR untuk menunda pengesahan untuk
menghidari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari pengesahan
RUU ini. Selain dua lembaga keagamaan tersebut ada berbagai organisasi
yang menyatakan penolakannya dari perwakilan buruh, organisasi
masyarakat sipil, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan mendesak DPR untuk
tidak mengesahkan RUU Ormas. Tanpa bermaksud mengecilkan organisasi
lain, tetapi bahwa Muhammadiyah menolak dan kemudian PBNU meminta
ditunda merupakan sebuah catatan khusus dalam proses legislasi ini.
- Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan mengatur tentang asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan kepada asas

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
34

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi


kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,
kesesuaian antara jenis hierarki dan materi muatan dapat dilaksanakan
kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.
Dari asas-asas ini ahli ingin memfokuskan pada dua asas, yaitu dapat
dilaksanakan dan kedayagunaan dan kehasilgunaan. Ketika para
pemangku kepentingan utama dari RUU ini menyatakan penolakan, Ahli
memandang bahwa pembentukan Undang-Undang Ormas menjadi tidak
memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
karena terlihat sekali masih banyak sekali penolakan dan ini akan tidak
dapat memenuhi asas kehasilgunaan dan asas dapat dilaksanakan.
- Mengenai substansi pengaturan, ahli memandang substansi pengaturan ini
bisa menimbulkan kerancuan kerangka hukum dan mencederai kebebasan
berserikat, berkumpul. Sebagaimana di civil law countries lainnya, untuk
bidang sosial di Indonesia mengatur dua jenis bentuk, yaitu badan hukum
perkumpulan yang berisi orang-orang yang berkumpul atau
Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen, yang kedua adalah stichting yaitu
sekumpulan kekayaan.
Organisasi masyarakat itu sendiri baru dikenal pada tahun 1985. Sehingga
pada saat Muhammadiyah dan PBNU berdiri, mereka adalah berbadan
hukum perkumpulan. Konteks politik di tahun 1985 yang pada akhirnya
membuat organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama mendapatkan status Ormas. Hal ini yang penting untuk disampaikan
karena Undang-Undang Ormas yang baru disahkan kemarin kemudian
mencampuradukan antara yayasan dan perkumpulan. Pasal 10 dan Pasal
11 terkesan mencampuradukkan pengertian Ormas yang dapat berbadan
hukum atau tidak, dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan tentu akan
menimbulkan kerancuan. Seolah-olah seluruh bentuk organisasi di bidang
sosial itu sebutannya Ormas. Dengan Undang-Undang Ormas ini, bentuk
ormas seakan-akan ada di atas yang menaungi yayasan dan perkumpulan.
Secara hukum, ini problematik karena yang jelas yang satu badan hukum
tanpa anggota, yaitu yayasan. Perkumpulan adalah badan hukum
berdasarkan keanggotaan. Dicampuradukannya ini menimbulkan kerancuan
dalam kerangka hukum. Terlebih lagi dari aspek pembinaan tadi. Kalau

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
35

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

untuk yayasan dan perkumpulan, pendirian badan hukum akan dengan


Kementerian Hukum dan HAM. Dengan Undang-Undang Ormas ini ada
kerancuan, seolah-olah ada di Kementerian Dalam Negeri dimana nanti
dalam praktinya adalah Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.
Salah satu dampak yang mungkin muncul atau potensial untuk muncul
adalah ditariknya organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial
dengan pendekatan politik.
Masuknya yayasan dalam pengertian Ormas dapat menimbulkan kerancuan
di tingkat praktik yang berdampak besar. Kita ketahui bersama badan
hukum yayasan digunakan oleh rumah sakit, kampus, dan berbagai jenis
lembaga sosial lain. Pertanyaan yang terjadi kemudian adalah apakah
kemudian rumah sakit itu jadi Ormas? apakah kemudian panti asuhan itu
ormas yang berbentuk yayasan? apakah kampus yang juga berbentuk
yayasan itu ormas? Undang-Undang Ormas tidak bilang begitu, tapi juga
tidak bilang tidak, dan ini akan menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini
mengakibatkan penentuan organisasi mana yang masuk dalam kategori
ormas akan ditentukan sepihak oleh Pemerintah.
Dampak dibangkitkannya Undang-Undang Ormas memang besar dan
kompleks, DPR dan pemerintah seharusnya mencabut Undang-Undang
Ormas, dan mengembalikan pengaturan kepada kerangka hukum yang
benar, yaitu badan hukum yayasan untuk organisasi sosial tanpa anggota
dan badan hukum perkumpulan untuk organisasi dengan anggota. RUU
perkumpulan telah masuk dalam Prolegnas 2010-2014 Nomor 228. Jadi
dalam pandangan ahli, seharusnya Undang-Undang Perkumpulan yang
masih diatur dalam staatsblad itu yang harus direvisi.
- Yang kedua adalah mengenai rezim pendaftaran yang menciderai
kebebasan berserikat, berkumpul. Undang-Undang Ormas secara
berlebihan mengatur juga organisasi yang tidak berbadan hukum.
Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan
pemberian surat keterangan terdaftar dari menteri, gubernur, bupati,
walikota sesuai lingkupnya. Ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3)
Undang-Undang Ormas. Organisasi yang tidak berbadan hukum sebetulnya
sudah cukup dijamin oleh konstitusi kita, oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Kalaupun diperlukan pendaftaran ada di beberapa negara civil law countries

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
36

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

lainnya pendaftaran dilakukan ke pengadilan, seperti di Indonesia pada


waktu kita belum punya Undang-Undang Yayasan, itu daftar ke pengadilan.
Hal ini agar pendekatannya tetap dengan pendekatan hukum, jadi tidak
melakukan pendaftaran kepada menteri, gubernur, bupati, walikota seperti
diatur dalam Undang-Undang Ormas, kalau Undang-Undang Ormas yang
1985 kepada Kemendagri atau Dirjen Kesmanpol. Bahkan Undang-Undang
Ormas juga mengatur proses pendataan oleh camat bagi organisasi yang
tidak berbadan hukum yang bahkan tidak memenuhi syarat untuk bisa
dapat SKT. Jadi organisasi yang sangat sederhana diperkenalkan proses
pendataan oleh camat dalam Undang-Undang Ormas ini. Saya memandang
pengaturan ini berlebihan dan justru berpeluang menciderai kebebasan
berserikat, berkumpul dalam penerapannya. Potensi terciderainya
kebebasan berserikat, berkumpul belum ada yang nyata, namun sudah
dapat dilihat beberapa indikasinya.
Dalam catatan singkat ahli, pertama adalah Surat Edaran Gubernur
Lampung Nomor 045.2/0427/11.03/2013 tentang Ormas LSM yang terdaftar
pada Pemerintah Provinsi Lampung. Angka 5 dari surat edaran tersebut
menyatakan bahwa Ormas, LSM, atau lembaga nirlaba di Lampung yang
tidak memiliki surat keterangan terdaftar dari badan kesatuan bangsa dan
politik atau kesbangpol dianggap ilegal. Ini mengindikasikan bahwa
ketentuan mengenai pendaftaran yang diatur dalam UU Ormas ini multitafsir
sehingga berpotensi menciderai kebebasan berserikat dan berkumpul. Yang
berikutnya di Lombok, ditemukan bahwa 47 LSM yang sering melakukan
hearing ke sejumlah dinas maupun DPRD ternyata tidak memiliki izin. Salah
pengertian bahwa tidak punya SKT atau Surat Keterangan Terdaftar
menjadi organisasi illegal bisa berjalan terus padahal UU Ormas sendiri
tidak mewajibkan organisasi untuk punya surat keterangan terdaftar. Jadi
potensi-potensi multi tafsir dan kerancuan sudah mulai ada, dan
kedepannya bisa berjalan terus.
- Mengenai konsep Ormas sendiri yang dibangkitkan kembali. Jadi Ormas itu
bukanlah sebuah hukum yang sebetulnya dikenal sebelum 1985 karena
ormas adalah konsep politik yang di tahun 2013 ini dibangkitkan kembali.
Mungkin kita semua sudah terlalu sering melihat atau membaca di media,
atau bahkan mendengar ahli hukum menyebut Ormas sebagai organisasi

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
37

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

massa. Kesalahan penyebutan atau kesalahkaprahan itu bukan tanpa


sebab, kenapa sampai media besar, ahli hukum, menyebut ormas sebagai
organisasi massa? Hal ini dapat dipahami ketika kita melihat, bahkan di
Undang-Undang Ormas Tahun 2013 ini. Yang memperkenalkan struktur di
Pasal 23 sampai Pasal 25, yaitu ormas lingkup nasional, Ormas lingkup
provinsi, ormas lingkup kabupaten/kota. Jika kita memahami sejarah
pembahasan Undang-Undang Ormas pada tahun 1985, kita akan paham
bahwa struktur ini jelas mengikuti logika struktur partai politik. Yang
dimaksud adalah organisasi underbow partai politik, bukanlah dalam
pengertian organisasi masyarakat sipil yang memuat yayasan dan
perkumpulan. Seandainya Undang-Undang Ormas ini mengatur organisasi
underbow Parpol, ini akan sejalan dengan sejarah Orde Baru. Ormas pada
saat ini diartikan sebagai organisasi masyarakat sipil, yang pasti akan
bermasalah dengan struktur.
Masalah yang pertama adalah organisasi masyarakat sipil tidak semua
memiliki struktur lingkup nasional, provinsi, kabupaten, dan kota. Memang
tidak ada kewajiban atau keharusan dalam Undang-Undang Ormas ini, tapi
potensi kerancuan akan selalu bisa muncul. Termasuk apakah pengaturan
lingkup ini akan punya dampak kepada kegiatan yang boleh dilakukan oleh
organisasi. Misalnya, ada sebuah organisasi pemantau korupsi atau
organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai HAM yang tidak punya cabang
di mana-mana, hanya berdiri di satu kota. Kemudian, apakah boleh dia
melakukan kegiatan di lingkup nasional, atau memberi masukan, atau
berbagai kegiatan advokasi lainnya?
Pasal 27 Undang-Undang Ormas menyatakan bahwa ormas dapat
melakukan kegiatan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa yang dikatakan
dalam Pasal 27 adalah wilayah, bukan lingkup. Dan kemudian, frasa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat berarti
sesuai dengan peraturan Undang-Undang Ormas ini juga. Kalau Undang-
Undang Ormas tetap dibiarkan berlaku seperti sekarang, maka pendekatan
politik akan mengemuka. Relasi antar pemerintah dan organisasi
masyarakat sipil ke depan akan diwarnai dengan pendekatan politik.
Beberapa contoh dari larangan Pasal 59 Undang-Undang Ormas, ada yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
38

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

potensi multi tafsir. Misalnya: 1. Dilarang melakukan penyalahgunaan,


penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut. 2. Dilarang
melakukan kegiatan separatis. 3. Dilarang melakukan kegiatan yang
menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Potensi masalah bisa terjadi bukan karena larangannya, melainkan karena
ruang penafsiran bukan diberikan kepada penegak hukum, melainkan
kepada pemerintah untuk dapat memberi sanksi administratif yang dapat
berupa peringatan tertulis atau pun penghentian hibah. Untuk sanksi
penghentian sementara Ormas lingkup nasional, Mendagri harus minta
pertimbangan hukum dari MA. Untuk lingkup provinsi dan kabupaten/kota,
kepala daerah wajib minta pertimbangan pimpinan DPRD, kejaksaan, dan
kepolisian. Pendekatan seperti ini rentan disalahgunakan oleh oknum
pejabat pemerintah di berbagai daerah yang anti perubahan dan bisa
mencoba melakukan represi kepada organisasi masyarakat sipil yang kritis
dalam isu anti korupsi, hak asasi manusia, advokasi lingkungan, dan lain
sebagainya.
- Dibangkitkannya Undang-Undang Ormas ini patut disesalkan. DPR dan
pemerintah seharusnya mencabut Undang-Undang Ormas dan
mengembalikan pendekatan hukum dengan pengaturan kerangka hukum
yang benar, yaitu badan hukum yayasan untuk organisasi sosial tanpa
anggota dan badan hukum perkumpulan untuk organisasi sosial dengan
anggota.
- Mengenai rechtspersoon, badan hukum. Secara konsep, badan hukum
adalah subjek hukum yang dibentuk oleh Undang-Undang, jadi
sebagaimana natuurlijk persoon, individu manusia. Selain itu, terdapat
subjek hukum yang disebut badan hukum. Di situ ada subjeknya dan
kemudian ada pemisahan hak dan kewajiban, termasuk harta kekayaan.
Disitulah dasar-dasar dari doktrin badan hukum.
- Mengenai badan hukum perkumpulan, dalam staatsblad tahun 1870
menyatakan sebagai rechtspersoon. Ada yang berbentuk badan hukum,
ada yang tidak. Jadi, ada perkumpulan orang yang menjadi badan hukum,
ada yang perkumpulan orang yang tidak mempunyai status badan hukum,
itu sudah diatur sejak lama.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
39

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Untuk yayasan sempat ada kesimpangsiuran, ada beberapa Putusan


Mahkamah Agung yurisprudensi terkait yayasan dana pensiun dan
beberapa putusan lain, semua itu menjadi jelas sejak Undang-Undang
Yayasan Tahun 2001, bahwa yayasan adalah badan hukum. Perlu diketahui
bahwa sebelumnya draft RUU Yayasan itu judulnya adalah RUU Yayasan
dan perkumpulan dan judul tersebut ada pada draft tahun 1994. Dalam
konteks tahun 2001 setelah reformasi ada berbagai faktor, termasuk
dicantumkannya letter of intent IMF bahwa Indonesia harus punya Undang-
Undang Yayasan. Maka, RUU Yayasan dan perkumpulan dibelah,
kemudian Undang-Undang Yayasan maju dan disahkan terlebih dahulu.
- Ada konteks politik pada dfart tersebut terkait dengan yayasan-yayasan
Presiden Soeharto. Sejak itu RUU perkumpulan tertinggal di
Kemenkumham. Sampai sekarang masih dibahas di sana dan sudah masuk
dalam Prolegnas.
- Mengenai suprastruktur dan infrastruktur, serta open legal policy. Bahwa
penetapan dengan Undang-Undang merupakan bentuk open legal policy,
tapi hal itu juga harus mengikuti doktrin dan peraturan perundang-undangan
yang telah ada sebelumnya. Jadi seandainya ada keinginan yang genuine
untuk mengatur, maka seharusnya Pemerintah dan DPR membahas dan
mengesahkan Undang-Undang perkumpulan, bukan membangkitkan
kembali Undang-Undang Ormas sehingga menimbulkan kerancuan yang
lebih jauh.
- Mengenai istilah Ormas tepat atau tidak. Dalam pandangan ahli ini lebih dari
sekedar istilah, dalam keterangan ahli tertulis yang disampaikan ahli
berpandang istilah tersebut lebih dilihat kepada sebuah konsep, ormas
adalah sebuah konsep yang lebih dari istilah. Seandainya judul Undang-
Undang ini diganti jadi misalnya seperti usulan Dr. Aidul, Undang-Undang
kebebasan berserikat atau sesuai dengan pendapat ahli jadi Undang-
Undang perkumpulan, tetap saja akan problematik karena bukan hanya
istilah, tapi konsep pendekatan.
- Contoh yang paling konkret adalah kementerian yang ditunjuk mengenai
ormas ini siapa? Kementerian Dalam Negeri yang dalam praktiknya adalah
Direktorat Jenderal Persatuan Bangsa dan Politik. Kalau kembali kepada
skema kerangka hukum yang kita bagi dua misalnya, kepada sektor sosial

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
40

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

atau alterisme, satu lagi adalah sektor profit. Di sektor sosial ada yayasan
dan perkumpulan, di private sector atau swasta, ada PT, koperasi, dan lain-
lain. Semuanya menggunakan alur yang sama, yaitu untuk menjadi badan
hukum dia ke Kementerian Hukum dan HAM, semacam tanda lahirnya
begitu. Ketika badan hukum yang telah disebutkan tadi ingin bergerak ke
bidang industri maka harus ke Menperindag dan sebagainya. Kalau di
bidang sosial maka badan hukum yang berbentuk yayasan ada pada
kewenangan Kemenkumham, kalau badan hukum tersebut ingin bergerak di
bidang kesehatan maka badan hukum tersebut haruslah ke Kementerian
Kesehatan, di bidang agama maka badan hukum tersebut haruslan ke
kementerian keagamaan.
- Pertanyaan yang mendasar jadi organisasi sosial seperti apa yang
diharapkan berurusan dengan dirjen kesbangpol? Dalam pandangan Ahli,
dengan melihat sejarah pada tahun 1985 maka lebih tepat ditujukan kepada
organisasi underbow Parpol. UU Ormas ini mencampuradukkan aspek
politik ke dalam sektor sosial. Seperti yang ahli sampaikan masuknya
yayasan itu akan berdampak besar, hal tersebut dikarekan adanya kampus
dan rumah sakit yang dikelola oleh sebuah Ormas, jika tidak ada kejelasan
dan tetap rancu maka akan bermasalah di tingkat praktiknya. Jadi bukan
hanya istilah, di berbagai negara sipil lainnya, bahkan sudah ada penelitian
yang merekomendasikan bahwa memang sebaiknya kementerian yang
berurusan dengan civil society organization adalah kementerian yang
berkaitan dengan hukum, Ministry Of Justice kalau di negara lain. Jadi tidak
direkomendasikan untuk menggunakan pendekatan politik.
- Mengenai istilah Ormas ini mungkin ini satu-satunya RUU yang dibentuk
tanpa melakukan studi banding. Karena menurut ahli memang tidak mudah
menemukan konsep Ormas di negara lain atau bisa jadi tidak ada. Di
negara lain selain foundation, atau yayasan, atau association, kalau ada
jenis lain pasti disertai dengan alasannya. Misalnya penyebutan sebagai
public benefit organization yaitu yayasan yang dilekatkan atau ditambah
status lain, yaitu status bebas pajak. Itu ada namanya, tetapi tetap saja dia
yayasan atau perkumpulan. Pertanyaannya di sini ketika sebuah yayasan
jadi Ormas, maka yayasan tersebut dapat apa? Memiliki status apa? proses
apa yang terjadi?. Sekadar flashback sedikit, di tahun 1985, Prof. Hamid

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
41

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Attamimi mengungkapkan bahwa dirinya tidak berhasil menemukan yang


serupa Ormas di negara lain. Jadi mungkin karena hal tersebut maka tidak
ada studi banding mengenai Undang-Undang Ormas karena ini merupakan
konsep politik yang khas yang dibuat oleh rezim orde baru. Jika ingin ditarik
lebih jauh kebelakang sebenarnya konsep hukum dari Ormas ini adalah
perkumpulan, karena berbicara tentang organisasi keanggotaan. Sehingga
dengan memasukkan yayasan ke dalam pengertian Ormas, semakin
menjauhkan dari konsep hukum yang sebenarnya.

3. Dr. Irman Putra Sidin, S.H., M.H


- Pada prinsipnya, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan
berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun bangsa, masyarakat, dan
negaranya. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat. Guna mewujudkan akan jaminan konstitusional
tersebut ketika semua warga negara membutuhkan perlindungan,
kemajuan, pemenuhan, dan penegakan hak-hak konstitusionalnya, maka
negara diserahkan otoritas oleh rakyat itu sendiri untuk melakukan
pengaturan. Salah satu penggunaan otoritas pengaturan ini selain guna
jaminan penegakan hak konstitusional tersebut adalah guna memberikan
jaminan perlindungan hak bagi warga negara dan negara itu sendiri.
- Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. Oleh karenanya, sebagian bangunan formal,
negara berwenang mengatur keberadaan organisasi yang hidup di tengah
rakyat. Apakah organisasi itu berbasis keanggotaan atau pun non-
keanggotaan? Yang pasti, keberadaan organisasi tersebut sesungguhnya
adalah sangat mulia yang salah satu tujuannya bukan sekadar berkumpul
atau berserikat, namun membantu pranata negara guna pencapaian tujuan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
42

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

negara, atau setidak tidaknya pemenuhan berbagai hak-hak konstitusional


rakyat guna pencapaian tujuan negara. Oleh karenanya, antara negara dan
organisasi masyarakat sesungguhnya bukanlah pranata yang harus
diperadab-adabkan. Negara melihat Ormas sebagai seteru. Atau
sebaliknya, ormas melihat negara sebagai seteru. Kedua organisasi ini yang
satu berbasis masyarakat dan yang satu berbasis organisasi kekuasaan,
yaitu negara. Sesungguhnya, pranata yang saling mengisi kekurangan
masing-masing dan saling membantu pemenuhan hak dan kewajiban
masing-masing, semata guna akselerasi pencapaian tujuan negara, seperti
dalam Konstitusi.
- Dengan bangunan demikian, terdapat perbedaan antara kedua organisasi
ini. Organisasi kekuasaanlah yang kita berikan mandat untuk mengatur
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Organisasi
kekuasaan yang dimaksud di sini adalah negara c.q kekuasaan yang
mendapatkan mandat daulat rakyat yang dipilih oleh rakyat setiap periode
Pemilu 5 tahunan. Dalam konsep tersebut, Undang-Undang sesungguhnya
adalah produk dari mandat daulat rakyat dengan segala potensi konstruktif
dan destruktifnya justru kepada nasib hak-hak konstitusional rakyat baik
individu maupun kolektif. Oleh karenanya keberadaan Ormas yang diatur
melalui Undang-Undang atau legislative rules hingga ke dapur ormas
asalkan memiliki rasiolegis, sesungguhnya akan jauh lebih demokratis
konstitusional daripada diatur oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah
executive rules akan keberadaan Ormas itu sendiri.
- Kita tidak bisa membiasakan diri bahwa tidak perlu Undang-Undang
mengaturnya cukup aturan eksekutif saja, apakah itu presiden, menteri atau
lainnya karena jikalau kita berpikir seperti itu, maka sesungguhnya kita
tanpa sadar mau membangkitkan mayat monarki absolut yang sudah lama
kita kubur. Namun tidak berarti bahwa apa yang sudah diatur tentang ormas
dalam Undang-Undang yang sesungguhnya pranata democratics rules
dalam pengujian saat ini, otomatis keseluruhan akan dan terus
konstitusional. Bisa jadi suatu saat, sedetik ke depan ditemukan ada
ketentuan materi muatan ayat yang ternyata dinilai inkonstitusional, maka
living constitution harus menyala bak anti virus yang akan menangkap dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
43

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

mematikan dan membersihkan Undang-Undang ini dari virus


inkonstitusional yang hinggap dalam batang tubung Undang-Undang ini.
- Sesungguhnya kedua pranata yaitu negara dan ormas adalah pranata yang
saling membutuhkan, namun kedua organisasi ini kita tidak pernah
mensepakatinya memiliki otoritas absolut. Negara atau kekuasaan tidak
boleh memiliki otoritas absolut. Begitu pula dengan Ormas, semua harus
tunduk pada norma-norma demokratis konstitusional. Namun yang bisa kita
bangun desain kontitusional adalah sifat privilegia atau keistimewaan
sebuah organisasi masyaralat, sifat privilegia atau keistimewaan
sesungguhnya dimiliki oleh negara sebagai organisasi kekuasaan.
- Seperti pendapat ahli dalam pengujian Undang-Undang rumah sakit
beberapa waktu lalu. Bahwa keberadaan suatu norma mungkin termasuk
Undang-Undang yang diuji ini ditopang dengan basis spirit kontitusional
yang bisa jadi tidak keliru. Namun sebuah norma kebijakan atau politik
hukum legislasi dalam realitasnya tidak cukup hanya bermodalkan spirit
yang benar guna penegakan kontitusi. Pada kenyataannya, kehidupan
NKRI yang begitu beragam dan semakin kompleks menuntut kontitusi tidak
hanya bisa hidup dengan spiritnya saja, namun juga tidak bisa menghindar
dari realitas atau kearifan konstitusionalnya.
- Sebuah norma dalam sebuah Undang-Undang yang hadir dengan
mengesampingkan realitas atau kearifan atau konstitusional sesungguhnya
inkonstitusional meski memiliki spirit yang sulit diragukan kebenarannya.
Hal ini sudah menjadi realitas perjalanan konstitusi kita selama ini. Kita tidak
memungkiri bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat
adalah sebuah ketentuan yang terbangun dari spirit yang benar bahwa agar
rakyat bisa langsung menentukan pilihannya sendiri. Namun faktanya,
negara mengakui dan menghormati keistimewaan suatu daerah Pasal 18B
Undang-Undang Dasar 1945.
- Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa jika keistimewaan daerah
tersebut terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut
sejak sebelum lahirnya NKRI. Sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai
daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan
politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
44

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

diberikan suatu kekhususan yang tidak bisa disamakan dengan daerah


lainnya.
- Jenis dan ruang lingkup kekhususan dan keistimewaan daerah khusus serta
daerah istimewa yang ditetapkan dengan Undang-Undang sangat terkait
dengan hak asal usul yang melekat pada daerah yang telah diakui dan tetap
hidup, latar belakang pembentukkan dan kebutuhan nyata diperlukannya
kekhususan atau keistimewaan dari daerah yang bersangkutan sebagai
bagian dari NKRI. Dengan memperhatikan 2 kriteria tersebut, hak asal usul
dan sejarah adalah hak yang harus tetap diakui, dijamin dan tidak dapat
diabaikan dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan suatu
daerah dalam Undang-Undang. Demikian bunyi pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VIII/2010.
- Akibat kontruksi keistimewaan inilah, sehingga pemilihan kepala daerah
langsung di Indonesia tidak harus diberlakukan bagi daerah yang tergolong
istimewa seperti Yogyakarta yang memiliki model penetapan atas sultan
yang bertahta. Bagaimanapun keberadaan Yogyakarta dalam sejarah NKRI
juga tidak bisa lepas akan perannya dalam pembentukkan NKRI. Sehingga
ketentuan Pilkada tidak dapat diberlakukan secara sama di seluruh
Indonesia karena daerah tergolong istimewa sudah memiliki caranya sendiri
yang sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan. Begitu pula bahwa
banyak ketentuan legislasi yang berlaku diseluruh Indonesia, namun tidak
berlaku bagi daerah yang tergolong memiliki sifat kekhususan seperti
Nangroe Aceh, DKI Jakarta, hingga Papua. Contoh lain, seperti diketahui,
asas pemilu bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia, Pasal 22E
Undang-Undang Dasar 1945. Namun karena konstitusi kita juga
menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, maka asas Luber
yang memiliki spirit benar harus dikesampingkan “oleh kearifan
konstitusional.”
- Masyarakat adat di Papua yang menggunakan sistem noken dalam
menentukan kepala daerah secara adat berdasarkan kesepakatan tanpa
pencoblosan surat suara. Sistem ini berjalan secara turun-temurun di
masyarakat adat Papua. Pengukuhan, pemberian suara masyarakat,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
45

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

biasanya melalui upacara adat Bakar Batu atau makan bersama. Kenyataan
inilah kemudian membuat spirit Luber dalam Pemilu pun harus “mundur”
karena masyarakat adat harus diakui keberadaannya oleh negara. Oleh
karenanya, tidak semua spirit yang benar yang disusun oleh negara, bisa
ditetapkan secara sama karena ada pranata tertentu seperti daerah yang
tergolong istimewa atau kelompok masyarakat adat, harus diakui
keberadaannya akan praktik dan kegiatannya yang sudah lama
berlangsung sebelum NKRI ini terbentuk. Praktik kegiatan yang sudah lama
berlangsung ini sesungguhnya memiliki spirit yang sama mulianya dengan
politik hukum legislasi itu. Namun, prosedur, cara, atau kegiatan yang
ditempuh selama ini secara turun-temurun sejak kelahirannya sudah seperti
itu dan tidak menimbulkan masalah signifikan yang bisa dianggap
menentang secara diameteral dengan spirit Undang-Undang atau konstitusi.
- Dalam sejarah konstitusi, bukan hanya daerah yang berperan dalam
pembentukan organisasi kekuasaan bernama negara ini, sehingga dikenal
keistimewaan atau kelompok masyarakat adat yang kemudian negara pun
mengakui keberadaannya, termasuk kegiatannya yang tidak dapat dianulir
oleh negara, hanya karena kompleksitas perkembangan negara yang
semakin modern. Kenyataannya, organisasi masyarakat, perkumpulan,
yayasan, perserikatan, juga tidak dapat dipungkiri sumbangsih dan
perannya dalam pendirian NKRI. Jauh sebelum NKRI terbentuk, organisasi
seperti Muhammadiyah, sudah menjalankan fungsi yang seharusnya
dijalankan oleh sebuah negara, seperti menjalankan berbagai amal usaha,
menolong kesengsaraan umum dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial,
kesehatan, atau kegiatan sosial lainnya. Oleh karenanya, jikalau Pasal 18B
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa, maka konstitusi melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi, dapat menetapkan bahwa negara juga mengakui dan
menghormati keberadaan Sebuah organisasi, perserikatan atau
perkumpulan, yang tergolong istimewa yang telah menjalankan praktik atau
kegiatan organisasinya yang sudah berlangsung sebelum NKRI terbentuk.
Penetapan ini dapat dikawinkan dengan ketentuan Pasal 28C Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
46

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun


masyarakat, bangsa, dan negaranya. Oleh karenanya, perserikatan
Muhammadiyah yang lahir sejak 1912, telah berhimpun memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya. Muhammadiyah telah melakukan
kegiatan amal usahanya sebelum kemerdekaan dan hingga saat ini masih
berlangsung dengan berbagai macam pengembangannya. Sesungguhnya
adalah organisasi masyarakat yang menurut konstitusi tergolong istimewa.
Keistimewaan ini sama statusnya dengan Jogjakarta yang merupakan
daerah istimewa atau kelompok masyarakat adat yang harus diakui dan
dihormati oleh negara. Sebenarnya, jalan menuju pengakuan keistimewaan
organisasi seperti ini, sudah dirintis oleh DPR dan Presiden melalui
Undang-Undang Ormas yang sedang diuji saat ini.
- Dalam perjalanan Undang-Undang Ormas, tegas disebutkan bahwa dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, ormas
merupakan wadah utama dalam pergerakan kemerdekaan, diantaranya
Muhammadiyah yang didirikan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Peran dan rekam jejak ormas yang telah berjuang secara ikhlas dan
sukarela tersebut, mengandung nilai sejarah dan merupakan aset bangsa
yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan negara, hanya saja
nampaknya DPR dan Presiden belum atau gagal menemukan formulasi
konstitusional yang tepat akan keberadaan ormas seperti Muhammadiyah
ini, sehingga luput untuk menetapkan persoalan tersebut. Oleh karenanya,
dengan dasar inilah maka Undang-Undang Dasar 1945 melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya bisa memberikan pengakuan atau
pelembagaan konstitusional. Tidak hanya kepada daerah yang memiliki
keistimewaan atau satuan masyarakat hukum adat, tetapi mengakui dan
menghormati keberadaan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat
istimewa seperti Muhammadiyah atau organisasi masyarakat lainnya,
sepanjang dapat dibuktikan telah hadir sebelum kemerdekaan dan
melakukan kegiatan amal usahanya, dan hingga kini masih eksis dengan
cara selama kegiatan tersebut tidak bisa dibuktikan bertentangan secara
diameteral dengan spirit konstitusi.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
47

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Namun sebagai catatan, organisasi istimewa seperti Muhammadiyah seperti


ini juga harus lebih percaya diri, tidak mudah terseret isu-isu hanya karena
isu tersebut menguras persepsi publik akan heroisme perlawanan terhadap
negara. Di sinilah kebesaran organisasi istimewa itu yang harus bisa
menjaga kewibawaannya, kearifannya, tidak hanya secara horizontal,
namun juga secara vertikal seperti selama ini yang sudah berjalan. Apalagi
terlekat keistimewaan status organisasi itu oleh Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Oleh karenanya, keistimewaan seperti ini sesungguhnya
sudah menjadi hukum konstitusi bahwa tidak selamanya undang-undang itu
pemberlakuannya secara sama seluruh komponen dengan hanya berbekal
jargon equality before the law, namun ada realitas konstitusi yang
sesungguhnya terbangun dari pondasi kearifan alias kenegarawanan yang
tak mungkin terabaikan. Dengan bahasa mudahnya, masyarakat adat saja
dengan praktik nokennya, negara mengakuinya, apalagi organisasi seperti
Muhammadiyah yang benihnya telah tersemai subur sebelum NKRI. Melalui
status keistimewaan ini, maka jikalau Undang-Undang Ormas ini terdapat
ketentuan materi muatan ayat yang dinilai oleh Muhammadiyah, berat untuk
dipenuhi, atau bahkan tidak dapat dipenuhi mengingat akan bertentangan
dengan historis dan tradisi Muhammadiyah, maka tentunya Mahkamah bisa
menciptakan kondisi keistimewaan buat Muhammadiyah di hadapan
Undang-Undang Ormas ini. Namun yang paling penting adalah logika
keistimewaan organisasi masyarakat seperti Budi Utomo, Nahdatul Ulama,
dan Muhammadiyah perlu direnungkan secara serius oleh Mahkamah
karena peran sebuah daerah menjadi istimewa dalam NKRI sesungguhnya
tidak lebih dari peran sebuah organisasi masyarakat seperti Budi Utomo,
Nahdatul Ulama, dan Muhammadiyah yang juga sesungguhnya memiliki
keistimewaan yang layak diakui oleh konstitusi kita.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden dalam


persidangan tanggal 7 November 2013 memberi keterangan lisan yang kemudian
dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 7 Januari 2014, menguraikan sebagai berikut:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
48

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon


Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang. Terhadap kedudukan hukum (legal standing)
Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa menurut Pemerintah, Pemohon dalam hal ini Pimpinan Pusat
Muhammadiyah tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
pengujian ketentuan Undang-Undang a quo karena tidak ada satupun
ketentuan dalam Undang-Undang Ormas yang merugikan hak konstitusional
atau pun menghalang-halangi aktivitas yang telah Pemohon lakukan selama
ini.
2. Bahwa dalam pengujian ketentuan Undang-Undang a quo karena dalam
proses pembahasan Undang-Undang Ormas secara khusus telah
mengundang Pemohon dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di mana
masukan-masukan Pemohon terkait Rancangan Undang-Undang (RUU)
Ormas telah didengarkan dan bahkan telah diakomodir dalam pasal-pasal
Undang-Undang a quo.
3. Pengakomodiran masukan-masukan Pemohon dapat dilihat antara lain dalam
ketentuan Pasal 83 huruf b Undang-Undang Ormas yang menyatakan:
Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 Nomor 64
tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid
van Vereenigingen) yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa,
tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini;
Lebih lanjut Pemohon (PP Muhammadiyah) telah disebutkan secara eksplisit
dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Ormas sebagai Ormas yang telah
berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut mengandung nilai sejarah dan
merupakan aset bangsa yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan
negara.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Pemerintah, tidak tepat apabila Pemohon

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
49

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

merasa dirugikan atas keberlakuan ketentuan-ketentuan yang ada dalam


Undang-Undang Ormas, bahkan Undang-Undang a quo telah mengakui,
mengukuhkan peran serta sumbangsih PP Muhammadiyah dalam perjalanan
bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam
permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksudkan oleh ketentuan
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
terdahulu. Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian pemerntah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang
ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-
V/2007).
Penjelasan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan
Pengujian
1. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat bagi seluruh warga negara
Indonesia dalam rangka memajukan dirinya dalam memperjuangkan hak-
haknya baik secara individu maupun kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghormati
hak asasi warga negara lainnya untuk memenuhi rasa keadilan sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.
2. Bahwa sejarah telah mencatat keberadaan Ormas adalah sebagai- salah satu
wadah dalam upaya pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dengan
segala bentuknya tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
50

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ormas-


ormas tersebut di antaranya adalah Boedi Oetomo, Nandatul Ulama dan
Muhammadiyah serta Ormas lain yang didirikan sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia. Hal ini membuktikan peran dan rekam jejak Ormas yang
telah berjuang secara ikhlas dan sukarela sehingga Ormas telah menorehkan
suatu upaya warga negara yang tinggi nilai, serta merupakan aset bangsa
yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan negara.
3. Bahwa dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan
telah membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan jumlah
Ormas, sebaran, kegiatan Ormas dalam kehidupan demokrasi makin
menuntut peran, fungsi, dan tanggung jawab Ormas untuk berpartisipasi
dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, serta menjaga,
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Bahwa saat ini jumlah Ormas yang terdaftar pada Pemerintah dan pemerintah
daerah sebanyak 139.957 Ormas, dengan rincian:
a. Terdaftar sebagai badan hukum perkumpulan dan yayasan pada
Kementerian Hukum dan HAM berjumlah 48.000;
b. Terdaftar sebagai organisasi sosial pada Kementerian Sosial berjumlah:
25.406;
c. Terdaftar pada Kementerian Luar Negeri berjumlah 108;
d. Terdaftar pada Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
berjumlah 65.577.
Dengan jumlah Ormas yang terdaftar sedemikian besar perlu pengaturan,
penataan, dan pemberdayaan Ormas agar dapat bersama-sama Pemerintah
mewujudkan tujuan negara yang ada di konstitusi.
5. Bahwa hal-hal tersebut di atas yang mendorong Pemerintah untuk
menciptakan iklim positif guna memberikan landasan dan arah bagi
keberadaan Ormas baru sebagai konsekuensi perkembangan dinamika
kehidupan dalam berbangsa dan bemegara dengan rnenerbitkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan agar
memenuhi kaidah ormas yang sehat, demokratis, profesional, mandiri,
transparan, dan akuntabel.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
51

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

6. Bahwa pemberlakuan Undang-Undang a quo merupakan upaya Pemerintah


dalam memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat HAM dalam berserikat dan berkumpul, kebhinekaan, kepastian
hukum, bersifat non diskriminatif maupun dalam rangka memberikan
perlindungan umum (general prevention) terhadap seluruh warga negara,
khususnya masyarakat anggota suatu Ormas yang semakin berkembang.
7. Bahwa anggapan Pemohon dalam permohonannya lebih mencerminkan
adanya kekhawatiran yang berlebihan (paranoid syndrome), seolah-olah
kebebasan berserikat dan berkumpul menjadi terganggu, terhalang, tidak
berkembang, bahkan menjadi tidak hidup sama sekali (menjadi musnah), juga
seolah-olah aparat penegak hukum akan dengan serta merta melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap hal-hal yang dianggap wilayah internal
Ormas. Hal demikian adalah tidak benar dan tidak berdasar karena dalam
implementasi penegakan suatu norms (law enforcement), tentunya aparat
penegak hukum berlandaskan dan dibatasi oleh peraturan perundang--
undangan yang berlaku.
8. Bahwa dalam instrumen Hukum Internasional juga telah ditentukan
pengaturan terkait pentingnya upaya dalam menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban tersebut cukup penting dalam mengatur hubungan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka PBB juga mengatur hal
dimaksud dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
ICCPR telah diratifikasi oleh 167 negara, termasuk Indonesia yang telah
meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sebagaimana
negara-negara maju dan berkembang seperti Australia, Inggris, Amerika
Serikat, dan India juga telah memberikan aturan bagi organisasi masyarakat
yang ada di negaranya yaitu dengan mewajibkan kepada Ormas untuk
mendaftarkan kepada Pemerintah, berbagi informasi kepada Pemerintah,
berkewajiban membuat laporan keuangan dan pembukuan, bersedia
dilakukan pengawasan dan evaluasi serta bermanfaat bagi kesejahteraan
masyarakat, mewujudkan ketertiban, keamanan, dan kedaulatan Negara.
Bahwa pengaturan organisasi kemasyarakatan dimanapun akan tunduk
kepada suatu aturan hukum agar tercapai keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Secara universal terdapat kewajiban bahwa organisasi
kemasyarakatan bersifat nirlaba, seperti halnya pemerintahan, juga diwajibkan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
52

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

menjunjung prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga tujuan organisasi


yang luhur dapat berjalan dengan baik dan bertanggung jawab.
9. Bahwa Pemohon memaknai perlindungan hak asasi manusia bagi setiap
bangsa Indonesia sebagai dimaksud alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
hanyalah dimaknai sebagai hak bebas semata. Justru Undang-Undang
diperlukan untuk melindungi hak asasi warga negara secara individu maupun
kolektif, termasuk dalam hal berserikat dan berkumpul agar pelaksanaan hak
asasi secara individu/kolektif tidak melanggar hak asasi individu/kolektif
lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sejatinya setiap
warga negara atau organisasi-organisasi yang hidup dalam suatu negara tidak
memiliki hak asasi yang bersifat mutlak karena dibatasi oleh negara
berdasarkan hukum yang berlaku dan Undang-Undang merupakan instrumen
pengelolaan hak asasi dan kewajiban-kewajiban hak asasi yang sah dan
konstitusional.
10. Bahwa Pemohon hanya mencantumkan Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sebagai batu uji dalam permohonan
a quo tanpa mencantumkan Pasal 28J ayat (1) "Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara", selanjutnya ayat (2) “Da/am
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis". Bahwa kebebasan berorganisasi
(berserikat dan berkumpul) dalam negara hukum tetap harus menjamin
terciptanya tertib sosial, bukanlah bebas sebebas-bebasnya yang dapat
menimbulkan kekacauan sosial.
11. Bahwa Pemerintah mempunyai kewenangan yang sah dan konstitusional
untuk mengelola keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam
menggunakan hak dan kewajiban dalam berserikat dan berkumpul. Undang-
Undang ini tidak bersifat represif karena Pemerintah dan pemerintah daerah
tidak mempunyai kewenangan subjektif untuk membubarkan Ormas karena
keputusan membubarkan Ormas berbadan hukum harus melalui putusan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
53

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pengadilan (lembaga yudikatif) sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2)


dan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Ormas. Kewenangan subjektif
Pemerintah tidak dapat digunakan secara sewenang-wenang karena harus
dikonfirmasi oleh lembaga yudikatif. Hal ini diatur dalam Undang-Undang
a quo untuk memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan Ormas.
12. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon yang
mempermasalahkan pendirian Ormas berdasarkan aspek keagamaan yang
tidak menjadi dasar kesamaan dalam definisi Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Ormas. Menurut Pemerintah, hal demikian bukan berarti masyarakat
tidak dapat mendirikan Ormas yang memiliki bidang kegiatan keagamaan
karena aspek kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kesamaan
kebutuhan, kesamaan kepentingan, kesamaan kegiatan dan kesamaan tujuan
secara eksplisit bermakna/mengakomodasi organisasi-organisasi yang
berlatar belakang keagamaan seperti PP Muhammadiyah yang memiliki
bidang kegiatan di bidang keagamaan, tujuan-tujuan di bidang keagamaan,
aspirasi di bidang keagamaan atau kebutuhan di bidang keagamaan dengan
demikian tidak menghambat tujuan-tujuan Ormas yang berlatar belakang
keagamaan.
13. Undang-Undang ini adalah mengatur tentang "Organisasi Kemasyarakatan"
selanjutnya disebut "Ormas" sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Ormas sehingga dalam pasal-pasal selanjutnya frasa
"organisasi kemasyarakatan" disebut "Ormas". Jadi ketika kita menyebut
Ormas yang dimaksudkan adalah organisasi Kemasyarakatan. LSM,
NGO/Omop, OMS, Orsos, NPO, OKP dan lain-lain merupakan jenis-jenis
organisasi kemasyarakatan dan termasuk rumpun organisasi kemasyarakatan
meskipun jenis-jenis organisasi tersebut memiliki sifat-sifat yang spesifik/khas
tetapi unsur-unsurnya, ciri-cirinya, sifat-sifatnya, wujud dan bentuknya
termasuk dalam kategori organisasi kemasyarakatan.
14. Bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Ormas sama sekali tidak
mengurangi hak Ormas untuk mempertanggungjawabkan iuran anggota
berdasarkan AD/ART masing-masing Ormas. Adapun kewajiban
mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai standar akutansi umum
tetap dalam koridor sesuai AD/ART masing-masing dan mendorong
akuntabilitas tata kelola keuangan organisasi secara internal mencegah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
54

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

terjadinya manipulasi iuran anggota oleh pengurus Ormas.


Sebagai contoh, satu Ormas menerima iuran anggota Rp. 10.000/orang dikali
jumlah anggotanya 20 juta orang, maka uang tersebut, disusun dalam
akuntansi umum yang dipertanggungjawabkan secara internal sesuai AD/ART
masing-masing Ormas dan Pemerintah tidak dapat mengintervensinya.
Ketentuan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Ormas adalah dalam hal Ormas
menggalang dana publik, maka Ormas harus mempertanggungjawabkan
kepada publik, justru menjadi pertanyaan ketika Ormas menggunakan dana
publik tapi tidak bersedia mempertanggungjawabkan kepada publik.
15. Bahwa makna Ormas dikategorikan sebagai organisasi yang bersifat nirlaba
sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang a quo bukanlah
dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak, aspirasi, kebutuhan, kepentingan
dan partisipasi Ormas dalam memajukan organisasinya, akan tetapi lebih
kepada bentuk kontrol dan apresiasi Pemerintah terhadap dinamika
perkembangan Ormas yang semakin kompleks.
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon yang
menyatakan tujuan Ormas dibatasi secara kumulatif sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang a quo, karena pasal a quo dimaksudkan untuk
memberikan arah keberadaan Ormas di Indonesia. Bahwa ketentuan a quo
tidak mengurangi hak tiap-tiap ormas memiliki tujuan-tujuan sesuai AD/ART
masing-masing, namun demikian tetap harus diorientasikan pada tujuan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
16. Bahwa pada hakikatnya pembentukan Ormas tidak dalam rangka untuk
mencari keuntungan (bersifat nirlaba) sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang a quo, namun demikian dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan dan kelangsungan Ormas tersebut maupun untuk
mensejahterakan anggotanya, khusus Ormas yang berbadan hukum (yayasan
dan perkumpulan) dapat membentuk badan usaha/amal usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Ormas. Dengan perkataan lain Pasal
4 tidak dapat dipertentangkan dengan Pasal 39 Undang-Undang a quo.
17. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumen Pemohon yang
menyatakan bahwa pengaturan tentang lingkup Ormas dianggap membatasi
ruang gerak Ormas. Menurut Pemerintah, pengaturan tentang lingkup Ormas
yang terdiri dari lingkup kabupaten, lingkup provinsi, dan lingkup nasional

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
55

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

terkait erat dengan teritori keberadaan Ormas itu sendiri, justru Undang--
Undang a quo memberikan kemudahan seluas-luasnya kepada Ormas untuk
dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Indonesia bahkan dapat
membentuk cabang di Iuar negeri sesuai ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27
Undang-Undang a quo. Dengan perkataan lain kategorisasi ruang lingkup
Ormas tidak dalam rangka untuk membatasi aktivitas dan pengembangan
Ormas itu sendiri.
18. Pengaturan dalam Undang-Undang Ormas memang disarikan dan
diharmoniskan dengan peraturan lain, hal ini tidak membatasi kebebasan
masyarakat, justru dengan pengaturan tersebut, Undang-Undang Ormas telah
harmonis dan sejalan dengan amanat konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lain seperti KUHP, KUHAP, KUHPerdata, Undang-
Undang Yayasan, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Anti Terorisme,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Undang-Undang Hak Kekayaan
Intelektual, dan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
19. Bahwa ketentuan pasal Undang-Undang Ormas memberikan pilihan kepada
masyarakat yang akan mendirikan Ormas baik berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum, hal tersebut sesuai dengan ciri pemerintahan yang
demokratis dengan memberikan kebebasan bagi warganya dalam membentuk
Ormas. Hal ini karena mengatur mengenai hak dan kewajiban kolektif warga
negara, maka perlu diatur pada level Undang-Undang.
20. Tanggapan atas Pasal 20 huruf a, huruf c, dan huruf d dan Pasal 21 Undang-
Undang Ormas menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Terhadap anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat
bahwa pengaturan mengenai hak dan kewajiban dalam Undang-Undang
a quo pada prinsipnya mengatur perlakuan Ormas dalam menjalankan
aktivitasnya diruang publik, sehingga perlu diatur hak dan kewajiban Ormas
yang seimbang di hadapan hukum.
21. Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat
dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam
membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran-pemikiran
masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
56

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Atas dasar


pemikiran tersebut, Pemerintah berharap dialog masyarakat dan Pemerintah
tetap terus terjaga dengan satu tujuan membangun kehidupan demokrasi
untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, kiranya
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard)
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35,
Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2) ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, serta Pasal 59 ayat (1) dan (3)
huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak bertentangan dengan paragraf ke-empat Pembukaan
UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28E ayat (3) UUD 1945.

[2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Presiden


mengajukan dua orang saksi dan empat orang ahli yang memberi keterangan di
bawah sumpah, sebagai berikut:

Saksi Presiden
1. Malik Haramain
- Saksi menyatakan sempat memimpin dan ikut dalam pembahasan RUU
Ormas. Pembahasan RUU Ormas ini menghabiskan sidang tujuh sampai
delapan kali, artinya memang salah satu RUU yang dibahas di DPR sangat
lama, meskipun ada beberapa Undang-Undang yang lain juga lebih lama
ketimbang RUU Ormas. Faktor yang membuat lama RUU Ormas ini
dibahas adalah pertama, pembahasan mengenai eksistensi kebebasan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
57

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

orang berserikat dan berkumpul. Kedua, karena Pemerintah sebelumnya


sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 dan sudah waktunya
direvisi atau diganti karena tidak sesuai dengan situasi politik Pasca-
Reformasi 1998. Ketiga keiinginan Pemerintah agar Ormas ke depan lebih
produktif. Keempat, alasan Pemerintah membuat UU Ormas adalah agar
Ormas hari ini lebih produktif untuk mendorong atau melakukan akselerasi
pembangunan nasional.
- Pembahasan RUU Ormas ini terbuka dan partisipatif. Hal tersebut dilakukan
karena Pemerintah sadar bahwa Undang-Undang ini berkaitan langsung
dengan eksistensi kebebasan orang berkumpul dan kebebasan orang
berorganisasi. Pemerintah melakukan beberapa kali pertemuan dengan
ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Washliyah, dan ormas-ormas
yang sudah lama berdiri, beberapa NGO, baik NGO yang memang asli
Indonesia, nasional, maupun NGO yang berafisiliasi dengan asing,
akademisi, Mahkamah Agung, Komnas HAM, hakim. Hal tersebut dilakukan
untuk memberikan memberikan masukan mengenai apakah sanksi-sanksi
atau larangan yang akan ditetapkan nantinya sesuai dengan prosedur, tidak
mengganggu dan mengebiri kebebasan orang berkumpul serta berserikat,
dan sanksi tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
- Mengenai asas, pada waktu pembentukan pemerintah sebetulnya memiliki
tiga pilihan untuk menentukan tiga asas. Pertama adalah asas yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, yang intinya bahwa
asas ormas berdasarkan Pancasila, yang kemudian disebut sebagai asas
tunggal. Kedua, asas yang merujuk pada Undang-Undang Partai Politik.
Ketiga, asas ormas berdasarkan Pancasila dan asas lain yang tidak
bertentangan dengan Pancasila. Semua usulan mengenai penentuan asas
tersebut digulirkan kepada publik untuk mengetahui respon masyarakat,
bahkan dalam penentuan asas tersebut sempat berkonsultasi dengan MPR.
Hasilnya kemudian adalah Pasal 2 di Undang-Undang Ormas berbunyi
bahwa asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila. Dengan
demikian, maka Ormas sebetulnya diberi kebebasan untuk mencantumkan
atau tidak mencantumkan dalam AD/ART Ormas masing-masing, apakah
mau mencantumkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak
mencantumkan Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945. Jika Pasal 2

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
58

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

ini diasumsikan mengerdilkan dan memaksakan asas tunggal, menurut


saya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kecuali, redaksi seperti di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang secara eksplisit menyebut
bahwa asas ormas berdasarkan Pancasila.
- Mengenai Pasal 9 terkait dengan pendirian Ormas, sebetulnya pasal
pendirian sangat longgar dan tidak berpotensi membatasi apalagi mengibiri
orang untuk berorganisasi. Bagi pansus pada waktu itu, kalimat yang
terdapat dalam Pasal 9 sudah sangat demokratis, karena hitungan tiga
orang tersebut dianggap setidaknya ormas itu memiliki ketua, punya
sekretaris, dan bendahara. Di beberapa daerah sebetulnya pasal atau
tentang tiga orang ini, tidak diinginkan, bahkan mereka mengusulkan 50
orang, 100 orang, dan sebagainya.
- Mengenai pengaturan pendaftaran, Pemerintah sebetulnya ingin
memberikan justru kelonggaran yang luar biasa terhadap orang berkumpul
dan orang berserikat. Pada waktu itu sempat ada usulan bahwa semua
Ormas harus berbadan hukum, tetapi Pansus tidak mau karena kita tidak
ingin mempersulit orang untuk membuat Ormas. Sehingga diberikan pilihan,
jika ingin berbentuk badan hukum dapat membentuk yayasan atau
perkumpulan. Bahkan yang tidak ingin berbadan hukum pun, diakomodasi
dalam bentuk surat keterangan terdaftar yang ada di Kementerian Dalam
Negeri. Bahkan orang yang tidak mau SKT, yayasan, dan perkumpulan pun
kita fasilitasi dengan cara cukup meminta surat keterangan domisili dari
pihak kecamatan. Dalam hal ini pemerintah tidak mewajibkan setiap Ormas
untuk melakukan pendaftaran, namun kepentingan pemerintah yang
diakomodir dalam ketentuan ini adalah kepentingan untuk memfasilitasi
pendataan. Penentuan mengenai pendaftaran ini akan menentukan cara
pemerintah memberdayakan Ormas-Ormas tersebut. Jadi tidak mungkin
pemerintah memberikan atau melakukan kerja sama dengan ormas yang
sama sekali tidak terdaftar, apakah di yayasan, apakah di perkumpulan,
atau di SKT, atau di surat keterangan domisili. Itu tidak mungkin dilakukan
oleh Pemerintah. Pendaftaran dalam UU Ormas ini lebih kepada konteks
bagaimana kemudian mendata agar Pemerintah juga lebih lebih mudah
untuk memfasilitasi dan memberdayakan dalam bentuk program-program
yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
59

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Kemudian mengenai adanya anggapan Pemerintah mengerdilkan Ormas-


Ormas yang ada, terkait dengan Pasal 28 dan Pasal 22 UU Ormas. Namun,
ketentuan mengenai kualifikasi tentang Ormas nasional, Ormas provinsi,
Ormas kabupaten itu hanya untuk kepentingan upaya pemberdayaan dari
masyarakat dan Pemerintah, bukan untuk menghambat kegiatan Ormas,
hal itu dapat dilihat dari bunyi Pasal 27 UU Ormas yang menyatakan
“Ormas dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”.
Artinya, walaupun ada Ormas yang mungkin hanya di kabupaten, boleh
berkegiatan di provinsi atau di kabupaten lain atau misalkan ada Ormas
yang hanya posisinya di Jakarta, kantornya di Jakarta, boleh berkegiatan di
seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga asumsi bahwa
Undang-Undang Ormas ini justru kemudian mengerdilkan masyarakat untuk
berserikat, berkumpul dan berkegiatan, sebetulnya sama sekali tidak
berdasar.
- Mengenai kemudahan potensi intervensi Pemerintah terhadap Ormas.
Kalau melihat Pasal 35 tentang AD/ART, syarat tentang AD/ART sangat
standar. Kita ingin membedakan antara ormas dengan perkumpulan atau
orang yang berkumpul hanya untuk hobi makan bakso. Karena itu, di Pasal
35 ditegaskan bahwa Ormas harus memiliki AD/ART.
- Mengenai sumber keuangan Ormas, bagaimana kalau kemudian Ormas
mendapat bantuan atau sumbangan masyarakat?. Pemerintah dalam hal ini
memikirkan mengenai pertanggungjawaban ormas itu terhadap sumbangan
yang dari publik. Menurut kami, ormas itu harus memberikan laporan
kepada publik, terutama terhadap penyumbang dan Pemerintah pun dalam
hal ini harus tau mengenai sumber keuangan tersebut demi melaksanakan
prinsip kehati-hatian, mengingat ada juga Ormas yang mendapatkan dana
bantuan dari luar negeri atau pihak asing. Jadi pengaturan mengenai
sumber keuangan yang terdapat dalam Pasal 37 UU Ormas itu sebetulnya
sudah sangat demokratis dalam hal pengaturannya. Pemerintah kita tidak
akan mengintervensi Ormas untuk melaporkan keuangannya jika keuangan
itu bersumber dari anggotanya sendiri. Itu mekanisme di masing-masing
Ormas itu ada.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
60

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Mengenai yang tercantum di dalam Pasal 59, sebelum dibuat sudah


dikonsultasikan kepada Komnas HAM dengan Ketuanya adalah Pak Ifdhal
Kasim. Pada intinya pemerintah dalam hal ini tidak ingin Ormas melakukan
kebebasan melakukan kegiatan sembarangan yang kemudian justru
mengganggu, bahkan mengancam kebebasan orang lain. Misalkan, tidak
boleh melakukan tindakan kekerasan. Larangan-larangan tersebut bersifat
faktual dan bukan bersifat “karet”.
- Mengenai sanksi yaitu ketentuan Pasal 60, Pasal 61, dan seterusnya,
menurut kami sudah sangat demokratis. Bahkan menurut kami, sanksi yang
kita berikan disini sudah sangat persuasif karena dilakukan secara
bertahap. Pertama, Pemerintah harus memberikan surat peringatan atu,
dua, bahkan sampai tiga. Setelah sanksi tersebut kemudian pemerintah
dapat memberikan sanksi administratif berupa penghentian bantuan APBN
atau APBD, jika Ormas itu mengakses APBN/APBD, sesuai dengan
larangan yang dilanggar oleh Ormas. Kemudian sanksi penghentian
sementara kegiatan, yang dimaksud dengan penghentian sementara
kegiatan itu adalah menghentikan kegiatan ormas yang melibatkan publik
tetapi, untuk kegiatan yang sifatnya internal, apakah rapat harian, rapat
Pleno, atau rapat apa, itu masih boleh dan masih dibolehkan. Untuk sanksi
penghentian sementara kegiatan Ormas ini harus mendapatkan fatwa
Mahkamah. Sanksi penghentian sementara kegiatan ini jangka waktunya
adalah maksimal enam bulan. Sanksi yang terakhir adalah pencabutan,
sanksi ini dapat dilakukan pemerintah melalui pengadilan, dan Ormas
bersangkutan juga diberi hak untuk kasasi ke Mahkamah Agung. Sehingga
menurut kami, prosedur sanksi yang telah ditetapkan dalam UU Ormas ini
sudah sangat demokratis dan melalui prosedur yang semestinya seperti di
negara-negara demokratis, sehingga Pemerintah tidak dapat melakukan
tindakan sewenang-wenang.
- Mengenai ketentuan pemberdayaan, yang dimaksudkan pemberdayaan
dalam UU Ormas ini lebih kepada upaya memfasilitasi Ormas. Pada
awalnya Pansus menggunakan kata pembinaan, namun kata pembinaan
dinilai memiliki konotasi negatif, kata pembinaan memiliki kesan sebagai
alat politik pemerintah untuk mengooptasi Ormas-Ormas yang ada.
Pemberdayaan dalam Pasal 40 UU Ormas sudah dapat dilihat secara detil,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
61

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pemberdayaan dalam konteks ini bahwa kita ingin pemerintah melibatkan


ormas dalam pembangunan. Hampir semua kementerian yang kita miliki,
punya program yang berkaitan dengan ormas dan punya program untuk
melibatkan Ormas-Ormas itu. Yang kita maksud dengan pemberdayaan itu
adalah bagaimana Pemerintah juga melibatkan dan mengikutsertakan
Ormas-Ormas itu, terutama dalam pembangunan nasional.
- Mengenai ketentuan peralihan Pasal 83 UU Ormas, sudah jelas dikatakan
disebut bahwa Ormas yang sudah tercatat tidak perlu mendaftar lagi seperti
Ormas-Ormas lain, yang belum dan belum dibentuk. sehingga ormas
seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya tidak perlu
lagi mendaftar seperti Ormas-Ormas baru yang mungkin mau dibentuk. Hal
tersebut berarti Pemerintah menghormati Ormas-Ormas yang berdiri
sebelum kemerdekaan dan diakui di dalam Undang-Undang ini. Karena
pemerintah akan melakukan pemberdayaan terhadap Ormas, maka
pemerintah harus mempertimbangkan aspek sejarah, aspek rekam jejak,
aspek kontribusi ormas tersebut.
- Jadi, pemerintah dalam hal ini Pansus pembentuk UU Ormas pada saat
tidak berpikir untuk memberikan kekangan, mengebiri, apalagi mengebiri
kebebasan orang berkumpul atau berserikat. Pasal 28 UUD 1945
menyatakan mengenai kebebasan tetapi dapat dilihat kembali dalam huruf j
secara eksplisit disebutkan bahwa kebebasan tersebut pun harus tetap
dibatasi, hal inilah yang kemudian menjadi dasar pansus dalam membentuk
ketentuan mengenai sanksi dan larangan.
2. Indra
- Ahli adalah nggota DPR A-64 yang juga Mantan Anggota Pansus RUU
Ormas. Proses pembahasan RUU Ormas.
- Ahli ketika itu hadir dalam hampir seluruh rapat pembahasan RUU Ormas,
hanya satu atau dua kali Ahli tidak datang.
- Pembahasan RUU Ormas berjalan panjang dengan segala runtutan seperti
yang diamanahkan Undang-Undang tentang Peraturan Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Sebagaimana mestinya, proses
keterlibatan publik mendapatkan masukan seluas-luasnya dari masyarakat,
mulai dari pakar, dari masyarakat, dan hampir dari catatan yang ada seluruh
ormas yang dianggap dapat mewakili pandangan dari seluruh elemen yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
62

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

terkait dengan RUU Ormas itu sudah dihadirkan dalam rapat di DPR RI,
mulai dari ormas keagamaan, kepemudaan, dan juga ormas-ormas yang
dengan segala macam coraknya. Selain itu juga proses juga dilalui dengan
melakukan tinjauan ke lapangan. Bukan saja perwakilan atau entitas ormas
DPP-nya, tapi juga Ormas-Ormas di daerah, Pansus ketika itu juga
melakukan kunjungan ke beberapa Ormas yang ada di berbagai daerah
sehingga konstruksi yang dibahas dalam pasal per pasal diharapkan bisa
mendapatkan masukan yang lebih utuh dan menyeluruh.
- Tujuan atau semangat ketika rapat pembahasan RUU Ormas tersebut
adalah ingin mengubah Undang-Undang yang lama Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menerapkan asas tunggal,
bersifat represif, dan subjektif sehingga sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan kehidupan berdemokrasi bangsa Indonesia sehingga
keberadaan civil society seperti yang diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 28
UUD 1945.
- Pembahasan ketika itu dimulai dengan membahas mengenai asas. Jika
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menerapkan asas tunggal. Dalam
rapat pembahasan ketika itu disepakati untuk tidak menerapkannya kembali
karena tidak sesuai lagi dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
- Mengenai masalah kebebasan. Undang-Undang ini juga sangat
memberikan ruang yang sangat luas, mulai dari kegiatan apa pun selagi
perkumpulan-perkumpulan itu berkumpul dan mau mengikuti dan mematuhi
Undang-Undang yang ada di negara Republik Indonesia, maka Undang-
Undang ini mengakomodasi, tanpa harus diwajibkan. Sebagai contoh,
mengenai hal pendaftaran, mulai dari yang berbadan hukum, tidak
berbadan hukum semua sudah diatur dari pasal per pasal.
- Selain itu dalam pembahasan RUU Ormas ini juga mencoba
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Di dalam Pasal 28 huruf j UUD
1945, terdapat pengaturan pengaturan bahwa dalam pelaksanaan hak
seseorang juga harus menghargai hak orang lain atau menjalankan
kewajiban sebagaimana dalam Undang-Undang, maka didalamnya juga
memberikan pengaturan mengenai larangan serta sanksi yang bertujuan
menciptakan ketertiban secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
63

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Menurut ahli, mekanisme ini cukup adil karena mengandung unsur


pembelaan dan verifikasi juga proses yang dilakukan berjenjang,
Mahkamah Agung pun dilibatkan dalam penerapan-penerapan larangan
serta sanksi-sanksinya. Sehingga mencegah tindakan yang sifatnya
dilakukan secara subjektif seperti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1985.
- Selain itu, menurut ahli semangat RUU Ormas dibentuk dengan semangat
pemberdayaan dan bukanlah pembinaan. Penggunaan kata pemberdayaan
dipilih karena tim pansus ketitka itu sadar fungsi dan keberadaan ormas
selama ini begitu bermanfaat dalam kehidupan bangsa dan negara.
- Terkait dengan keberadaan Ormas asing, yang selama ini menggunakan
payung hukum Undang-Undang Yayasan, ternyata di Undang-Undang
Yayasan tidak memberikan pengaturan yang cukup tentang bagaimana dan
apa yang harus dilakukan oleh ormas asing, Undang-Undang Yayasan
hanya mengatur mengenai boleh atau tidaknya Ormas asing tersebut berdiri
di Indonesia tanpa pengaturan lebih khusus lagi. Pengaturan mengenai
ormas asing ini mencegah tindakan infiltrasi asing di Indonesia, oleh karena
itu diaturlah proses izin prinsip, izin operasional, ada verifikasi, dan ada
keterlibatan ormas dalam negeri ketika mereka beroperasi.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tidak sesuai lagi dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara, dan kebutuhan kehidupan berdemokrasi kita hari
ini, itu bukan suatu yang tanpa dasar. Jika melihat Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1985 yang mengatur semua ormas wajib berasaskan Pancasila,
kalimatnya jelas. Kenapa UU Ormas terdahulu tersebut dikatakan represif?
Karena ada kewenangan subjektif yang diberikan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 kepada Pemerintah untuk dapat membekukan Ormas tanpa
ada proses filterisasi, tanpa ada proses konfirmasi. Kenapa UU Ormas
terdahulu dikatakan subjektif dan represif? Jika 20 pasal yang di dalamnya
dikatakan sederhana, maka menurut kami 20 pasal Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1985 justru tidak banyak memberikan pengaturan sehingga itu
memberikan ruang kepada Pemerintah untuk mengambil diskresi, tidak ada
pengaturan yang jelas, justru itu akan memberi ruang kepada Pemerintah
untuk melakukan penilaian-penilaian subjektif, tindakan-tindakan subjektif,
melakukan diskresi-diskresi yang dikhawatirkan banyak Ormas.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
64

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Pembentukan Undang-Undang a quo yang berisi 87 pasal untuk mengatur


sedetail mungkin dalam rangka supaya tidak ada ruang subjektif
Pemerintah untuk membuat penilaian sendiri, diskresi baru. Oleh karena itu
begitu detail kalimat per kalimat, bahkan untuk sanksi saja pasalnya bukan
satu atau dua pasal. Mekanismenya kita atur seakan-akan ada hukum
acara di sini, seakan-akan. Mulai dari SP-1, SP-2, SP-1 syaratnya apa yang
harus dipenuhi, kita atur. Tidak sekadar Pemerintah bisa SP-1.
- Pasal 2 Undang-Undang a quo menyatakan, “Asas ormas tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Artinya, apa pun asas Ormas, Islam,
Kristen, atau asasnya kebersamaan, kekeluargaan, atau sebuah Ormas
perkutut umpama, asasnya adalah suka perkutut umpama, ya silakan.
Justru Pasal 2 ini memberikan ruang seluas-luasnya untuk menggunakan
asas apa saja selagi tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Kenapa tidak boleh bertentangan dengan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945? Karena itu adalah
Staatsfundamentalnorm kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga
tidak mungkin diepaskan tanpa ada norma sama sekali. Sehingga Pasal 2
tidak menyatakan harus asas tunggal.
- Mengenai sanksi yang diatur mengapa bukan sanksi pidana, karena
Undang-Undang Ormas ini adalah badan hukumnya atau organisasinya,
jikalau terkait tindakan pidana personal-personal dapat digunakan KUHP
atau Undang-Undang lainnya

Ahli Presiden
1. Dr. Wawan Purwanto, S.H., M.H
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas disebutkan telah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Maksud Pemerintah ini baik yaitu untuk
mengatur kehidupan organisasi kemasyarakatan, sehingga menjadi
maslahah bagi masyarakat luas dalam wilayah NKRI, maksud dan tujuan
tersebut tentu ada pihak yang pro dan kontra, meskipun aspirasinya juga
telah diterima di dalam berbagai kesempatan sebelum pengesahan
Undang-Undang tersebut.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
65

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Kehadiran ormas di Indonesia, ataupun juga ormas asing, ataupun juga


ormas Indonesia yang berkolaborasi dengan asing, yang keberadaannya
sekaligus memperjuangkan kepentingan nasionalnya, ataupun juga
kepentingan asing tidak termasuk di dalam kehidupan Ormas di Indonesia.
Hal ini tentu harus ditata karena ini menyangkut wilayah kedaulatan hukum
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Keberadaan Ormas asing tersebut termaktub di dalam Bab 13, Pasal 43
sampai dengan 52, dengan sejumlah syarat, hak dan kewajibannya yang
sama dengan Ormas lokal Indonesia. Sekalipun ada ketentuan larangan
bagi Ormas asing, yang ada 8 larangan, tetapi hampir mustahil bahwa
kegiatan ormas tersebut tidak melakukan kegiatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, menganggu stabilitas, dan
keutuhan NKRI, melakukan kegiatan spionase, melakukan kegiatan tanpa
izin operasional dari menteri, yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
urusan luar negeri. Pengaturan tentang Ormas asing tersebut diperlukan
karena yang tentunya ada beberapa hal terkait dengan beroperasinya
ormas asing di Indonesia. Pertama perlu dipertanyakan, mengapa ormas
tidak berkegiatan di negeri asalnya sendiri ketimbang terus bergiat di
Indonesia? Atau mengapa berafiliasi dengan Ormas-Ormas di Indonesia?.
Kedua, sekalipun kegiatan Ormas asing dan lokal dibatasi atau tidak
berafiliasi dengan partai politik, tidak ada jaminan bahwa afiliasi tersebut
tidak terjadi, baik secara terang-terangan ataupun tersembunyi. Dan
bagaimana pengawasannya yang dikenal dalam sistem birokrasi Indonesia
yang masih perlu dipertajam? Ketiga, lebih penting lagi, bagaimana ormas-
ormas tersebut termasuk dengan orang asing, Ormas asing, memahami
dan mengakui Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945? Karena ini
menjadi filosofi dan hukum dasar dari NKRI (Pasal 2 dan Pasal 3).
Sekalipun dalam pelaksanaan kegiatannya bekerja sama dengan Ormas
Indonesia. Dan yang keempat, dari segi hukum, pengaturan Ormas asing
untuk dapat melakukan aktivitas di dalam wilayah NKRI perlu pengawasan
yang lebih. Sebab jika tidak, maka sama saja dengan menyediakan celah
hukum bagi orang asing untuk keluar dari ketentuan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian untuk melanggar kedaulatan
hukum NKRI yang seharusnya dipelihara dan dijaga oleh pemegang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
66

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kekuasaan saat ini. Apalagi dalam Undang-Undang Ormas tidak ada


persyaratan yang bertentangan dengan Undang-Undang keimigrasian
Indonesia, bahkan ditekankan peran strategis perizinan berada pada
Kementerian Luar Negeri. Pelaksana ketentuan ini harus lebih jeli karena
urusan dalam negeri menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri.
Izin operasional menjadi wewenang dari Kementerian Dalam Negeri, tetapi
atas pertimbangan Kementerian Luar Negeri. Ini menjadi masalah.
- Kemudian, syarat Ormas asing tercatat di negara asalnya dan memiliki
hubungan diplomatik dengan Indonesia, jelas syarat yang belum tentu sama
dengan ketentuan Undang-Undang di negara asal Ormas tersebut. Karena
pada umumnya, di negara-negara maju tidak ada tata cara perizinan untuk
kegiatan Ormas, kecuali izin usaha dagang dan pencatatan partai politik,
tapi nanti ada Undang-Undang mengenai transparansi dan akuntabilitas.
Bahkan syarat hanya tercatat, tidak cukup. Jika pun ada ketentuan di negeri
asalnya, harus juga dikuatkan oleh syarat tidak termasuk Ormas yang telah
melanggar ketentuan Undang-Undang di negara asalnya.
- Ketentuan larangan bagi ormas asing yang terdapat dalam Pasal 52 UU
Ormas, menjadi tugas tambahan yang tidak mudah bagi kementerian dalam
negeri dan aparatur intelijen, serta penegak hukum. Kesulitan tersebut juga
disebabkan pertukaran informasi antarnegara, sekalipun yang telah
mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia, apalagi menyangkut
informasi kegiatan suatu Ormas atau partai tertentu, termasuk rahasia
negara yang bersangkutan dan tidak mudah untuk mengaksesnya. Khusus
larangan menggalang dana dari masyarakat Indonesia, memang ini baik
maksudnya, tetapi yang sering terjadi justru sebaliknya, terutama sejak era
reformasi, dimana dana asing masuk ke Indonesia melalui LSM atau
organisasi sosial di Indonesia. Justru Ormas asing ini yang memberikan
dana kepada Ormas Indonesia atau badan hukum Indonesia atau kepada
masyarakat luas dalam nilai dolar yang tidak terhitung dibanding dengan
rupiah.
- Penajaman pelaksanaan pengawasan Ormas, baik untuk Ormas Indonesia
maupun asing, termaktub di dalam Bab ke 14. Namun, keberadaan
lembaga pengawas internal dan eksternal, pelaksanaannya cukup pelik, ini
terus akan menjadi persoalan nantinya. Keberadaan ormas asing perlu

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
67

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pengawasan lebih, sebab sangat potensial terjadi pelanggaran kedaulatan


hukum ataupun Ormas yang berkolaborasi dengan Ormas-Ormas nasional.
Baik kini maupun di masa datang, dalam bentuk sekecil apapun ormas
tersebut dalam aktivitas apapun yang berkaitan dengan hajat hidup
250.000.000 penduduk Indonesia, termasuk lingkup kegiatan Ormas di
bidang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan agama yang
sangat sensitif dalam kehidupan bangsa ini, yang sangat heterogen dan
bersifat pluralis. Apalagi kegiatan yang berkaitan dengan penguatan
demokrasi Pancasila. Sedangkan bagi Ormas asing tersebut, Pancasila
bukan landasan filosofi mereka di negara asalnya. Ormas asing sering
berkolaborasi dengan Ormas dalam negeri untuk tujuan tertentu yang
merongrong NKRI. Padahal, diharapkan keberadaan Ormas justru menjadi
mitra pemerintah guna memperkuat tujuan nasional. Ormas Indonesia juga
demikian, jika masuk ke wilayah negara lain, tentu harus tunduk dengan
ketentuan yang ada di negara tersebut.
- Keberadaan Undang-Undang Ormas ini sangat diperlukan guna menata
dan memperkuat, serta mengelola wilayah kedaulatan hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai pembanding, di negara lain juga ada
pengaturan tentang ormas seperti di Australia dengan Extension of
Charitable Purpose Act tahun 2004, kemudian di Inggris dengan Charities
Act tahun 2011, di Amerika dengan Internal Revenue Code, kemudian di
India dengan The Societies Registration Act tahun 1860. Oleh sebab itu,
perlu pengawasan yang baik, sebagaimana juga Ormas mengawasi
pemerintah. Kalau bersih, mengapa harus risih? Dan tidak perlu ada
kekhawatiran yang berlebihan yang dasarnya masih dalam ranah asumsi
semata. Apalagi jika kedudukan hukum Pemohon misalnya, itu tidak
terganggu, atau terhalangi, atau setidak-tidaknya terkurangi hak-haknya di
dalam menjalankan aktivitasnya guna meningkatkan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat, memberikan pelayanan kepada masyarakat,
menjaga nilai-nilai agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat, dan lain-lain, sebagaimana diuraikan di
dalam Pasal 5 Undang-Undang a quo.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
68

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Dalam era reformasi, Ormas menuntut adanya transparansi dan


akuntabilitas yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Negara pun
menghendaki adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap Ormas,
termasuk sumber-sumber keuangannya dan penggunaannya. Jika hal ini
ditolak, maka hal seperti ini aneh. Kejadian Arab Spring juga akibat dari
infiltrasi Ormas asing yang berkolaborasi dengan Ormas dalam negeri di
negara-negara di Timur Tengah tanpa kontrol, yang akhirnya meruntuhkan
sistem ketatanegaraan. Demikian juga kejadian di Uni Soviet, sekitar 230
ormas asing masuk melakukan gerakan infiltrasi bersama-sama dengan
ormas di dalam negeri, dan akhirnya Uni Soviet roboh. NKRI harus tetap
berdiri dan tidak roboh. Sebab, sudah ada upaya-upaya bakalnisasi di
Indonesia. Demokrasi tetap harus berpegang pada aturan. Meskipun kita
boleh memiliki kebebasan dan satu lagi, kesetaraan. Jadi, aturan tetap
menjadi satu pegangan bersama.
Perlu menjadi pertimbangan Pasal 28J ayat (1) dari Undang-Undang Dasar
1945, “Setiap orang berhak menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Selanjutnya, ayat (2), “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan dan kebebasan orang lain. Dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis itu.” Kedua Pasal
tersebut menyatakan bahwa dalam hak bebas berorganisasi, berserikat,
dan berkumpul di dalam negara, hukum tetap harus menjamin terciptanya
tertib sosial, bukanlah bebas sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan
kekacauan atau chaos.
- Demokrasi merupakan alat negara yang sah dan konstitusional untuk
mengelola keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan di dalam
menggunakan hak dan kewajiban dalam berserikat dan berkumpul.
Undang-Undang ini tidak bersifat represif karena Pemerintah dan
pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan subjektif untuk
membubarkan Ormas. Karena keputusan membubarkan Ormas harus
melalui keputusan pengadilan atau lembaga yudikatif, sebagaimana diatur

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
69

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (1). Oleh sebab itu, keberadaan
Undang-Undang Ormas perlu dipertahankan guna tetap tegaknya NKRI
tanpa mengurangi hak dan kewajiban secara seimbang menuju era
transparansi dan akuntabilitas yang sehat.
- Mengenai masalah pendanaan dan bantuan sumbangan dari asing,
memang harus ada verifikasi yang benar. Sebab banyak juga dengan
mereka yang pakai braspas pertemuan di perbatasan (hand by hand),
kemudian berubah menjadi membentuk sebuah usaha dengan pemasukan
setiap bulan Rp. 3,5 miliar, dana tersebut cukup besar untuk membuat
kekacauan di negeri ini, karena itulah dibutuhkan transparansi. Mengenai
transparansi ini juga PPATK sendiri tidak dapat melacaknya, karena
transaksi pendanaan atau bantuan sumbangan asing kebanyakan tidak
melalui bank.

2. Prof. Dr. Zudan Arif Fakrullah, S.H., M.H


- Saat ini di Indonesia terdaftar lebih dari 139.957 organisasi
kemasyarakatan, hampir 140.000, yang terbagi di dalam 34 provinsi, 505
kabupaten/kota, dan satu terdaftar di pemerintah pusat. Fakta hukum ini
memberi implikasi kepada kita desain dalam mengatur dan strategi
bagaimana kita melakukan pemberdayaan terhadap organisasi
kemasyarakatan ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelumnya sudah
ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun kita melihat di dalam
implementasinya kurang memadai, belum memenuhi kebutuhan hukum,
dan tidak menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Kita tahu bahwa saat
kemarin banyak organisasi kemasyarakatan yang melakukan tindakan-
tindakan yang seharusnya menjadi tugas aparat penegak hukum.
Melakukan kekerasan, melakukan sweeping, dan di dalam Undang-Undang
Ormas yang lama tidak diatur dengan baik tata kelola keuangannya, tidak
diatur Ormas asing, tidak diatur akuntabilitasnya.
- Di dalam bernegara, keinginan untuk dapat berkehendak bebas ini hanyalah
impian karena apapun negara mempunyai kewajiban untuk menjaga
keseimbangan antara kepentingan homo economicus dan kepentingan
sebagai homo juridicus. Artinya, kepentingan subjek hukum dalam konteks
harus diseimbangkan dengan kepentingan sebagai homo economicus.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
70

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Negara mempunyai kewajiban untuk menjadikan masyarakat berada di


dalam kondisi keseimbangan atau homo stasis.
- Mengenai legal standing Pemohon. Apabila kita memahami ketentuan Pasal
51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan berbagai Putusan
Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 6 Tahun 2005 dan Putusan
Nomor 11 Tahun 2007 sangat nyata bahwa setiap Pemohon harus
dirugikan hak konstitusionalnya. Dalam hal ini ahli tidak dapat melihat
secara spesifik, secara aktual, dan melihat dengan penalaran yang wajar
bahwa Undang-Undang ini merugikan posisi Muhammadiyah (Pemohon).
Permohonan Pemohon ini tidak jelas, tidak fokus atau obscuur, terutama
dalam menguraikan konstruksi kerugian hak ataupun kewenangan
konstitusionalnya setelah berlakunya Undang-Undang a quo. Lebih banyak
asumsi-asumsi yang tidak disertai dengan data-data akurat dan fakta-fakta
hukum yang benar. Ormas Muhammadiyah beserta seluruh organisasinya,
baik yang di bawahnya dalam organisasi seperti rumah sakit, sekolah, dan
kampus-kampus, tidak ada yang berkurang sedikit pun haknya,
wewenangnya, kewajibannya, dan penghidupannya akibat berlakuknya
undang-undang a quo. Oleh karena itu, kami mohon hal ini perlu dijelaskan
terlebih dahulu karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 atau
Undang-Undang Ormas ini sudah sangat Muhammadiyah.
- Ketentuan mengenai kebebasan berserikat dan berpendapat dalam skala
internasional sudah tercantum di dalam International Covenant on Civil and
Political Rights yang sudah diratifikasi oleh 167 negara dan Indonesia
termasuk negara pihak yang sudah diratifikasi pula dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005. Di dalam ICCPR secara jelas sudah diatur bahwa
setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. Dan di dalam
melaksanakan hak dan kebebasan itu, negara diberikan kewenangan
mengatur agar pelaksanaan hak itu tetap menghormati hak atau nama baik
orang lain, dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum. Di
berbagai negara misalnya Australia, yayasan pun melakukan pendaftaran di
Negara bagian mereka berdomisili. Di Inggris, setiap yayasan ataupun
ormas, tetap diwajibkan membuat laporan keuangan, pembukuan, dan
laporan penggalangan dana. Bahkan yang mempunyai pemasukan lebih
dari £5.000 (lima ribu) poundsterling setahun, Ormas itu harus

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
71

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

mendaftarkan diri ke Charity Commission for England and Wales. Jadi


kewajiban-kewajiban seperti itu sudah ada di dalam tatanan internasional.
Di India dan Amerika juga demikian.
- Terhadap Ketentuan Umum Pasal 1, ketentuan umum itu dimaksudkan
sebagai norma substantif yang akan digunakan ke dalam norma regulatif.
Oleh karena itu, sifat dasar ketentuan umum adalah tidak boleh multitafsir
dan memberikan rambu-rambu agar pengaturan berikutnya menjadi lebih
jelas. Sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56 Tahun 2008
yang pada waktu itu menguji tentang Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 yang memasukkan materi ini. Menurut Ahli, jikalaupun Pemohon nanti
keberatannya diterima oleh Mahkamah terhadap ketentuan umum ini, saya
justru mengkhawatirkan maka seluruh ketentuan yang ada di dalam norma-
norma regulatif pasal-pasal berikutnya, akan terjadi kerancuan karena
norma substantifnya dipersoalkan.
- Terhadap pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan
Undang-Undang Ormas akan mengerdilkan kebebasan berserikat dan
berkumpul, sesungguhnya ini adalah pendapat yang sangat perlu untuk
dikaji kembali. Dari 21 pasal yang diuji, sesungguhnya Undang-Undang
Ormas ini memuat pula perlindungan-perlindungan bagi warga negara
lainnya, memuat pula perlindungan-perlindungan, dan upaya-upaya untuk
membangun keseimbangan yang dibangun oleh negara agar negara tetap
dapat melaksanakan tugasnya dalam mewujudkan kesejahteraan menjaga
ketenteraman, dan mewujudkan ketertiban bagi kemaslahatan bersama.
- Kemudian, pembatasan kemerdeaan berserikat yang dianggap berlebihan.
Terhadap Pasal 5 Undang-Undang Ormas, Pemohon menganggap tujuan
ormas dalam Pasal 5 tersebut tidak dapat dipenuhi oleh ormas. Menurut
Pemerintah bahwa setiap orang memang berhak atas pengakuan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil, namun pembatasannya
dibuka secara penuh dalam Pasal 28J Undang-Undang Dasar.
- Mengenai frasa di dalam Pasal 83 yang menyatakan bahwa tidak perlu
pendaftaran, materi muatannya sama dengan yang disampaikan oleh
Hakim Farida. Pertama adalah untuk memenuhi asas bahwa Undang-
Undang ini tidak berlaku surut. Memenuhi asas nonretroaktif, sehingga
sesuatu yang sudah berlaku sebelumnya, tetap dihormati keberadaannya

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
72

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian saja. Dalam hal ini sesuai


dengan frasa tersebut, maka keberadaan Pemohon tetap diakui sehingga
tidak perlu melakukan pendaftaran kembali dan bukan berarti Pemohon
dalam hal ini tidak perlu tunduk dengan UU Ormas karena pasal tersebut
hanya mengatur mengenai klausul pendaftaran saja.
- Mengenai Pasal 11 yang menyatakan bahwa yayasan merupakan ormas
yang tidak berbasis anggota, dalam hal ini tidak secara otomatis sebuah
yayasan adalah sebuah Ormas. Yang disebut Ormas harus memenuhi
persyaratan-persyaratan di dalam Undang-Undang ini. Katakanlah,
pesantren-pesantren yang tidak mau masuk ke dalam yayasan, tidak mau
masuk perkumpulan, cukup dia dilakukan pendataan-pendataan saja,
sehingga pola asimetrisnya sangat menghormati keberagaman yang ada di
Indonesia.
- Kemudian yang menjadi menarik adalah sistem sanksi. Undang-Undang
Ormas hanya mengatur sanksi untuk kelembagaan Ormasnya. Untuk
individu-individunya, berlaku peraturan perundang-undangan yang ada saat
ini. Bahkan yang sangat menarik adalah setiap organisasi massa diberikan
kewenangan untuk mengumpulkan pendanaan sebagaimana yang diatur di
sini, bisa dengan iuran anggota, hibah, bantuan dari Pemerintah, dan
bantuan dari masyarakat asing,
- Mengenai pola asimetris yang ada di dalam Undang-Undang ini. Undang-
Undang ini memberikan keleluasan kepada masing-masing ormas misalnya
terhadap asas, kemudian bentuk, kemudian cakupan luas keanggotaan,
kemudian pemberdayaan dan strategi sumber keuangan.
- Mengenai pengaturan tentang pemberdayaan ormas, saat ini belum ada
pengaturannya secara detil, PP terkait hal tersebut sedang dirumuskan
seperti apa nanti pelaksanaan pemberdayaan yang dimaksud.
- Rumusan Pasal 5 UU Ormas bersifat kumulatif karena diharapkan semua
ormas dapat menemui tujuan mulia yang ada di dalam Undang-Undang ini.
Sebaiknya setiap ormas secara substantif mampu merumuskan tujuh tujuan
yang ada di dalam Undang-Undang ini, walaupun rumusannya tidak dalam
bentuk tujuh nomenklatur ini, tetapi silakan tujuannya boleh rumuskan
secara berbeda, tetapi ruhnya dapat menjangkau kepada tujuh yang ada di
dalam Pasal 5.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
73

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Terkait dengan jangka waktu 2 minggu mendapatkan pertimbangan atau


putusan dari Mahkamah Agung. Ini semata-mata dimaksudkan agar lahir
kepastian hukum dan norma yang ada di dalam Undang-Undang Ormas itu
dapat diimplementasikan dengan baik. Karena jangka waktu penyelesaian
sengketa di Mahkamah Agung itu seringkali tidak jelas.

3. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H


- Pasal 28 UUD 1945 tidak dimasukkan ke dalam bab mengenai hak asasi
manusia tetapi bila ditelusuri sejarah pembentukannya, pasal itu
dimaksudkan ketika dibentuk atau diperdebatkan pada Tahun 1945. Pasal
itu bertujuan untuk memberikan jaminan terhadap hak warga negara untuk
berkumpul, menyatakan pendapat, dan lain sebagainya.
- Pasal 1 UU Ormas tidak bertentangan dengan Pasal 4. Alasan ahli adalah
pertama, Pasal 1 ayat (1) merupakan istilah atau terminologi dan Pasal 2,
norma yang menjamin kebebasan seseorang dalam berorganisasi,
sementara Pasal 4 tidak mengatur untuk mewajibkan seeorang menjadi
anggota ormas tetapi sukarela menjadi anggota ormas. Sehingga hal
tersebut sejalan dengan jaminan hak asasi manusia.
- Dalam hal ini mengenai kebebasan berpendapat dan berorganisasi yang
dimaksudkan dari segi ilmu hukum tidak mungkin dapat ditunaikan secara
berada bila tidak diatur. UU Ormas ini menurut ahli, tidak membatasi
seseorang memenuhi hak-haknya dalam berserikat, kalimat tersebut tidak
memiliki dasar jika demikian.
- Mengenai pengaturan tujuan Ormas yang diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang a quo, menurut Ahli pengaturan mengenai tujuan mutlak harus ada.
Namun, tidak harus sama dengan Pasal 5 UU Ormas dalam arti dituliskan
satu persatu, tetapi jika sudah sama secara esensinya maka itu sudah
dapat dikatakan memenuhi.
- Mengenai pendanaan serta tanggungjawab pelaporan. Menurut Ahli, logis
sekiranya jika terdapat Ormas yang memungut iuran sebagai dana
operasinya, menerima hibah dan sebagainya, namun hal tersebut tentu
harus dapat dipertanggungjawabkan secara jelas. Karena itu kewajiban
yang dibebankan oleh Undang-Undang ini kepada Ormas, apa pun itu yang
misalnya menggunakan dana publik dari mana pun asalnya, wajib dan
senafas dengan spirit konstitusi pertanggungjawaban itu.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
74

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- UU Ormas ini menurut ahli tidak memberikan kewenangan kepada


Pemerintah yang bersifat intervensif dan represif. Semua kewenangan yang
diberikan kepada Pemerintah merupakan hal yang logis dan terdapat
pembatasan bagi pemerintah untuk melaksanakan kewenangan tersebut
yaitu dengan cara membagi kewenangan dengan organ lain yang bukan
merupakan eksekutif. Misalkan, di tingkat daerah, kewenangan itu dibagi
dengan lembaga ‘legislatif.’ DPRD dan juga kepolisian secara berjenjang.
Pembagian kewenangan ini tidak dapat dikonstruksikan sebagai bentuk
represif.
- Negara hukum tidak berarti meminimalkan pengaturan mengenai warga
negaranya. Mengenai UU Ormas ini seharusnya yang diatur bukanlah
Ormas-nya tetapi hak berserikat, menurut ahli apa yang diatur didalamnya
adalah sama esensinya. Pengaturan mengenai hak berserikat tidak perlu
dibuat sama kalimat-perkalimat dengan UUD 1945.
- Mengenai penggunaan asas tunggal yang dikhawatirkan oleh Pemohon.
Menurut Ahli, UU Ormas ini tidak menetapkan harus memakai Pancasila
saja, hanya menentukan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,
sehingga dimungkinkan untuk menggunakan asas lain selama tidak
bertentangan dengan Pancasila.
- Mengenai perndaftaran Ormas, menurut ahli hal tersebut bukan merupakan
hal yang menjadi persoalan konstitusional karena hanya terkait dengan
pendataan saja. Pemerintah membutuhkan data ormas yang ada bahkan
hingga ke cabang-cabang di daerah jika ormas tersebut memiliki cabang.
Pengaturan ini tidak kemudian melahirkan hukum yang lain, dan ini bukan
merupakan satu bentuk intervensi dari pemerintah.

4. Prof. Dr. Ade Saptomo, S.H., M.S


- Mengingat materi permohonan yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon,
maka menurut ahli terminologi subjek itu penting untuk dijelaskan secara
runut, runtut, logis, dan nalar. Penjelasan yang runut belum tentu runtut.
Penjelasan yang runut, runtut, belum tentu logis. Penjelasan runut, runtut,
logis, belum tentu nalar. Oleh sebab itu, subjek itu harus dijelaskan secara
clear dan clean agar posisi konstitusionalitasnya menjadi jelas. Jika posisi
konstitusionalitas dimaksud sudah jelas, maka akan memudahkan untuk
menyampaikan pandangan yang akurat, apakah Undang-Undang Nomor 17

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
75

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tahun 2013 tentang Ormas itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak?
Menurut pandangan ahli, manusia belum tentu orang. Sosok titah Tuhan
oleh umum disebut manusia itu dapat dilihat ketika sosok bayi mungil
ciptaan Tuhan yang lahir dari garba seorang ibu, menangis, bernafas, haus,
lapar, dan lain-lain karakter yang melekat dalam dirinya. Karakter bawaan
itulah yang harus dijaga, dihormati, dilindungi oleh yang lain. Serangkaian
karakter bawaan itulah yang disebut secara popular sebagai hak asasi
manusia sehingga ia berhak hidup sebebas-bebasnya, menangis sepuas-
puasnya, tidur sepulas-pulasnya, dahaga sehaus-hausnya, dan lain
sebagainya. Namun manusia yang menyandang hak serba “se” tadi akan
bersentuhan dengan manusia yang lahir sebelumnya dan sesudahnya, dan
memiliki hak yang sama. Posisi bersentuhan tersebut terlihat ketika
keduanya berada dalam satu arena yang sama, maka secara naluriah yang
satu berkontak dengan yang lain dan yang lain pun demikian sehingga
konsekuensi logisnya adalah yang satu mengetahui kelebihan dan
kelemahan yang lain, mengetahui pula kesamaan dan perbedaannya
dibanding dengan yang lain. Oleh sebab itu secara sosiologis, kelebihan
dan kelemahan, kesamaan dan perbedaan dalam diri masing-masing itu
lahirlah dalam kontak itu. Sehingga merupakan modal sosiologis bagi
mereka untuk berinteraksi. Pada saat berinteraksi itulah, manusia yang
memiliki hak yang serba “se” tadi bersentuhan dengan yang lain sehingga
keterbatasan dan pembatasan atas dirinya telah lahir secara naluriah.
Artinya, interaksi antarkeduanya merupakan pembatasan yang datang dari
pihak satu terhadap yang lain. Ketika pihak satu menerima dirinya ada
kelemahan dan yang lain ada kelebihan sehingga saling interaksi tersebut,
maka pada saat itulah posisi manusia telah mengalami transformasi
menjadi orang. Oleh sebab itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28 dan seterusnya ada terminologi manusia.
- Pasal berikutnya, terminologi orang. Kapan manusia menjadi orang? Harus
dijawab dengan baik. Implikasi konstitusionalitasnya adalah penerapan
frasa setiap orang sebagaimana tersebut pada Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan bahwa keberadaan setiap orang itu diatur oleh konstitusi.
Keberadaan manusia itu diatur oleh konstitusi. Artinya adalah Undang-

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
76

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Undang Dasar 1945 telah secara eksplisit dan implisit mengakui bahwa
setiap orang tidak bebas sebebas-bebasnya saat seperti manusia tadi.
Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, maka manusia yang bebas tadi
telah mengalami transformasi berjenjang dari manusia ke orang. Di mana
posisi manusia telah memperoleh pembatasan ketika bertransformasi
menjadi orang. Dengan demikian, Ormas juga berada pada posisi yang
sama, yaitu mengalami pembatasan karena bersentuhan dengan yang lain.
- Kemudian mengenai pandangan oleh Pemohon bahwa Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 merupakan Undang-Undang yang membatasi hak
asasi manusia dan mengebiri, dan tidak memberi perlindungan bagi
segenap bangsa. Ahli perlu menjelaskan bahwa pada dasarnya secara
sosial mahluk manusia memiliki kelemahan, secara sosial. Yaitu tidak
merasa nyaman, tidak aman dengan apa yang ada dalam dirinya, pasti
rumusnya sehingga setiap manusia selalu merasa kurang nyaman dan
kurang aman apabila bersentuhan dengan yang lain. Manusia saja tidak
merasa aman dan nyaman, orang juga demikian, Ormas pun juga demikian.
Konsekuensi antropologisnya adalah manusia akan selalu berusaha untuk
mengurangi rasa ketidaknyamanan. Untuk mengurangi ketidakamanan
tersebut dengan mencari manusia lain yang memiliki kesamaan ciri untuk
berkumpul atau berserikat. Dengan berkumpul dan berserikat, menjadikan
mereka merasa nyaman dan aman. Artinya, upaya setiap manusia untuk
menemukan kenyamanan dan keamanan dimaksud memang tidak boleh
dibatasi karena bertentangan dengan sifat kodrati yang melekat pada diri
manusia sebagaimana disebut ahli sebelumnya. Implikasi
konstitusionalitasnya, penyebutan frasa kemerdekaan berserikat dan
berkumpul sebagaimana disebut Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, selain merupakan bentuk
pengakuan negara terhadap sifat kodrati dan bawaan manusia yang
memang lemah secara sosial juga negara berkewenangan mengatur
kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
atau tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Maknanya adalah upaya berserikat, berkumpul itu diatur oleh konstitusi.
- Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat dimaksud Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
77

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tentu kewenangan tersebut dieksekusi oleh pemerintah melalui penerbitan


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Sehubungan dengan itu, ahli
berpendapat kehadiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tersebut
merupakan pengakuan Pemerintah terhadap upaya manusia mencari
kenyamanan dan keamanan sebagaimana diurai di atas. Dengan demikian,
Undang-Undang a quo menurut ahli telah mempertegas perlindungan
manusia, bukan sebaliknya. Tentu tidak demikian jika diartikan sebaliknya,
kehadiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dipandang sebagai
upaya pengekangan, pembatasan oleh Pemerintah, tetapi yang ada adalah
justru penegasan kembali bahwa terhadap sifat dasar manusia tersebut
dilindungi.
- Mengenai pandangan Pemohon bahwa Pasal 5 huruf c Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 menghambat pelaksanaan tujuan ormas dan
bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum ahli menjelaskan tentang
bertentangan atau tidak, agar lebih gampang memahaminya, maka ahli
mengajukan pertanyaan sederhananya, yaitu apakah hukum yang
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah Undang-Undang
beserta peraturan pelaksanaannya sebagaimana dianut dalam tradisi negeri
kontinental atau hukum yang dimaksud adalah putusan pengadilan berikut
yurisprudensinya. Jika hukum diartikan Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaannya, mengapa bukan negara Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaannya? Kok negara hukum saja? Kalau hukum itu diartikan
putusan pengadilan berikut yurisprudensinya, mengapa tidak disebut
negara putusan pengadilan berikut yurisprudensinya? Menjadi pertanyaan
besar. Indonesia bukan negeri Belanda, bukan pula Amerika, kita hidup di
negeri Indonesia sebagai warga negara Indonesia. Untuk itu, Ahli
berpandangan bahwa hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
1945 itu bukan semata-mata sebatas Undang-Undang beserta seperangkat
peraturan pelaksanaannya, bukan pula sebatas pada putusan pengadilan
berikut yurisprudensinya, dan bukan pula kedua-duanya. Tetapi, mengingat
negara Indonesia terdiri dari gelaran pulau besar dan kecil, gelaran
masyarakat beragam karakter sosial, budayanya, gelaran beragam etnik
dan rasnya, maka hukum yang baik adalah hukum tidak terlepas dari faktor

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
78

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

sosial, budayanya, di mana hukum itu ada, yaitu Indonesia. Oleh sebab itu,
hukum hendaknya dipahami secara baik, hukum not separated from its
social, its culture where it’s existence. Dengan pemahaman demikian ini,
maka setiap perilaku manusia, setiap perilaku orang, tentu demikian pula
setiap perilaku Ormas-Ormas harus menginternalisasikan dan
mengekspresikan kembali setidak-tidaknya Pasal 5 huruf c Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tersebut.
- Dalam konteks filosofi negara Indonesia, sebagaimana tersurat dan tersirat
pada ungkapan nenek moyang yang sudah membumi, yang sudah diyakini
kebenarannya, alam terkembang jadi guru, maka keseluruhan isi alam raya
ini telah memiliki tatanan masing-masing. Maknanya adalah jangankan
orang, jangankan ormas, manusia pun ketika makhluk Tuhan yang memiliki
kebebasan yang serba “se” tadi sebagaimana disebut di muka, ternyata
juga tidak bebas dari tatanan alam raya ini. Alam laut memiliki tatanan
sendiri, alam hutan memiliki tatanan sendiri, alam angkasa memiliki tatanan
sendiri, alam sosial memiliki tatanan sendiri. Semua itu adalah kenyataan
yang tak terhindarkan. Jangankan ormas, jangankan orang, jangankan
manusia yang sendiri saja ketika masuk hutan harus menundukkan diri
pada tatanan alam hutan itu. Jangankan Ormas, jangankan orang, manusia
sendiri masuk alam laut, maka harus menundukkan diri pada tatanan alam
laut. Alam raya ini sudah memiliki tatanan masing-masing. Implikasi
konstitusionalitasnya adalah manusia, orang, Ormas, baik yang lahir di
Indonesia maupun lahir bukan di Indonesia, namun berada di Indonesia,
saya tekankan kembali, manusia, orang, Ormas, baik yang lahir di
Indonesia maupun lahir bukan di Indonesia namun berada di Indonesia,
maka mereka tidak terhindar dari nilai-nilai keindonesiaan sehingga mereka
harus berguru kepada alam untuk menginternalisasikan ke dalam alam
pikirannya dan mengekspresikan nilai-nilai keindonesiaan setidak-tidaknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c pada perilaku manusia itu
sendiri, perilaku orang, perilaku ormas yang sesuai dengan faktor sosial di
mana manusia, orang, Ormas itu ada dalam konteks ini adalah Indonesia.
Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia, tidak ada satu pun orang,
tidak ada satu pun Ormas yang tidak terlepas dan terjerat dari akar sosial
budaya di mana dia berada.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
79

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Pasal 57, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dianggap


mengingkari, mengebiri Pasal 28C dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945. Perbedaan dan keragaman itu secara antorpologis
menimbulkan hubungan antarkelompok dalam kondisi potensi konflik.
Manusia lahir di bumi sudah terbuka perbedaan-perbedaan dan
keberagaman-keberagaman itu. Pada posisi beragam dan berbeda itu,
dalam teori konflik posisinya adalah potensi konflik. Jadi kita ini berada pada
potensi konflik. Potensi konflik jika tidak ada pranata untuk mengatasi
potensi itu, maka akan naik satu tingkat menjadi kondisi prakonflik. Jika
dalam kondisi prakonflik tidak ada pranata yang mengatasi agar supaya
prakonflik menjadi konflik saling berhadapan, maka kondisinya menjadi
kondisi konflik. Kita sadar betul bahwa jenjang-jenjang itu dipahami, disadari
bahwa masing-masing jenjang itu harus ada pranata. Dalam keluarga,
dalam masyarakat, dalam ormas itu harus ada. Pemerintah menegaskan
pada level jika konflik tidak teratasi atau tidak terdapat pranata untuk
mengatasi, maka akan terjadi sengketa yang akan melahirkan atau
menghadirkan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dikehendaki oleh pihak-pihak
yang konflik. Implikasi konstitusionalitasnya adalah pemerintah melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 telah mengakui keberadaan
seperangkat pranata yang disediakan oleh ormas itu sendiri. Jadi,
pemerintah sudah yakin menjatuhkan pilihan kepercayaan setiap ormas
dibentuk, dianggap telah menyediakan pranata-pranata untuk
menyelesaikan kondisi prakonflik, konflik, hingga sengketa. Dan jika
menginjak pada sengketa, maka kehadiran pihak ketiga, baik diminta atau
tidak diminta, hadir untuk menyelesaikan. Itu merupakan konsekuensi logis
dari tahapan antropologis. Dengan pemahaman demikian, maka kehadiran
Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 justru memberikan
ruang kemudahan akan jenjang-jenjang penyelesaian jika hubungan
antarorang dalam ormas atau antar Ormas yang berbeda dan beragam
tersebut telah sampai pada kondisi sengketa.
- Pasal 1 angka 1, Pasal 4, dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 dianggap saling bertentangan, sehingga tidak memberi kepastian
hukum dan merugikan kepentingan konstitusional Pemohon, sebagaimana
ditentukan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ormas sebagai

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
80

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

badan hukum dan karena sifatnya digolongkan ke dalam badan hukum


privat meskipun bukan perseroan terbatas, dapat mendirikan badan usaha
untuk memperoleh keuntungan material, namun keuntungan material yang
dimaksud atau diperoleh itu bukan merupakan tujuan utama sebagaimana
perseroan terbatas, yaitu mencari kekayaan untuk memperkaya, tetapi
sarana untuk memajukan kegiatan Ormas itu sendiri. Jadi, tidak ada
diharapkan satu sen pun keluar, tetapi kembali untuk memajukan kegiatan
ormas itu sendiri, tentu sebagaimana diatur dalam anggaran dasar-
anggaran rumah tangga masing-masing ormas tersebut. Organisasi
kemasyarakat yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang
didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan
tujuan. Secara filosofis, berkumpul, berserikat itu dasarnya memang
mencari solusi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakamanan,
dan itu naluriah. Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan
demokratis. Oleh sebab itu, implikasi konstitusionalitasnya, kehadiran
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, tidak bertentangan dengan KUH
Perdata karena memang tidak ditujukan untuk memperkaya, tetapi untuk
memajukan kegiatan ormas itu. Dengan demikian, Pemerintah melalui
Undang-Undang dimaksud justru memberi penegasan dan kemudahan-
kemudahan bagi ormas yang akan memajukan kegiatannya.

[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 7 November
2013, menguraikan sebagai berikut:

Kedudukan Hukum Legal Standing Pemohon.

Mengenai kedudukan hukum Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada


Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum legal standing atau tidak? Sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi maupun
berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
81

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Keterangan DPR Tentang Pokok Permohonan Pemohonan


a. Bahwa terhadap permohanan Pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4, dan Pasal
5 Undang-Undang Ormas terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar
1945, DPR memberikan keerangan sebagai berikut:
1. Ketentuan di dalam pasal-pasal a quo tidaklah saling bertentangan dan
bukan merupakan pembatasan perkembangan Ormas, justru sebaliknya
rumusan tersebut bertujuan agar Ormas dapat terus bertahan hidup dan
mandiri dalam hal menghidupi organisasinya serta semakin mendorong
kemandirian Ormas dan agar Ormas dapat hidup secara berkelanjutan
sekaligus mendorong agar organisasi kemasyarakatan untuk berbadan
hukum. Karena yang dapat mendirikan badan usaha adalah ormas yang
berbadan hukum, perkumpulan, atau yayasan.
2. Ormas tidaklah digunakan sebagai wadah usaha dan tidak dapat
melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan
usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Ormas
dapat menyertakan kekayaannya.
3. Berbeda dengan tujuan pendirian dari Perseroan Terbatas. Tujuan filosofis
dari pendirian Ormas adalah tidak bersifat komersial atau tidak mencari
keuntungan untuk menjaga keberlangsungan Ormas dan kemandirian
Ormas inilah maka Ormas tersebut dapat mendirikan badan usaha. Hasil
keuntungan yang diperoleh dari badan usaha Ormas tersebut dapat
digunakan untuk membayar operasional Ormas secara berkelanjutan.
4. Hal ini juga dimaksudkan agar Ormas tidak hanya menanti uluran bantuan
dari Pemerintah atau pihak lain, baik dalam maupun luar negeri untuk
membiayai operasional Ormas.
5. Badan usaha yang didirikan oleh Ormas harus tetap sesuai peraturan
perundang-undangan. Misalnya, Ormas berbadan hukum yayasan
mendirikan badan usaha pendidikan sekolah atau perguruan tinggi. Maka
pendirian badan usaha tersebut, harus tetap memenuhi aturan bidang
pendidikan. Begitu pula jika Ormas berbadan hukum yang akan mendirikan
rumah sakit, harus tetap sesuai aturan bidang kesehatan dan lain-lain.
Ormas dapat mengatur sendiri secara baik dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangganya, bagaimana pembagian hasil usaha yang
disisihkan untuk organisasinya.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
82

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

6. Jika Ormas memiliki sumber pendanaan tetap secara mandiri, hal tersebut
akan meningkatkan independensi Ormas dan mencegah ketergantungan
Ormas pada sumber pendanaan dari pihak lain, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, sehingga Ormas tidak tergoda untuk melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan hukum untuk sekadar mencari biaya
guna membiayai operasional organisasinya, atau sebagai upaya Ormas
untuk bertahan hidup.
7. Rumusan pasal-pasal a quo juga merupakan wujud dari sinkronisasi dan
harmonisasi dengan Undang-Undang terkait yaitu Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan, yang mengatur bahwa pada dasarnya, yayasan dapat membentuk
badan usaha untuk tujuan mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh
dari kegiatan usaha tersebut, dapat dipakai untuk menjaga
keberlangsungan hidup yayasan itu sendiri.
8. Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 39 Undang-Undang a quo, tidaklah saling bertentangan dan
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
b. Terhadap permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 Undang-
Undang Ormas terhadap Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, DPR memberikan
keterangan sebagai berikut.
1. Di dalam praktik, banyak timbul terminologi untuk mendefinisikan
organisasi yang bergerak di bidang sosial, dengan alasan dan sudut
pandang tertentu, seperti organisasi sosial, organisasi kepemudaan, LSM,
ornop, organisasi profesi, NGO, dan sebagainya. Namun terminologi-
terminologi tersebut muncul di dalam praktik tanpa tolak ukur yang jelas
karena bergantung pada pandangan setiap organisasi yang bersangkutan.
2. Dalam pandangan hukum, untuk bidang kegiatan sosial, hukum mengenal
dua jenis peraturan organisasi, yaitu nonmembership organization
(organisasi tanpa anggota), dan membership based organization
(organisasi berdasarkan keanggotaan). Sedangkan untuk badan
hukumnya, rechtspersoon, Indonesia mengenal dua jenis badan hukum
yang khusus untuk bidang kegiatan sosial yaitu yayasan, stichting, dan
perkumpulan, vergadering. Pembeda penting dari yayasan dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
83

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

perkumpulan adalah bahwa yayasan adalah sekumpulan kekayaan yang


disisihkan untuk tujuan sosial, sedangkan perkumpulan adalah
sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan sosial.
Untuk badan hukum yayasan, sudah diatur melalui Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, sedangkan untuk perkumpulan,
dulu diatur dalam staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum dan saat ini sudah diatur di dalam Undang-Undang
a quo.
3. Posisi kerangka hukum yang serupa yang juga dianut di berbagai negara
dunia, contohnya Amerika Serikat mengenal adanya NPO (nonprofit
organization) dengan kriteria boleh mempunyai anggota, membership
(onboard) dan boleh tidak beranggota, (board only).
4. Di dalam Undang-Undang Ormas, telah memberikan solusi untuk
mengenali berbagai istilah terminologi tersebut dengan organisasi
kemasyarakatan (Ormas) yang dapat menaungi keseluruhan terminologi
tersebut dengan yayasan dan perkumpulan sesuai bentuk badan
hukumnya, serta memberikan perlindungan hukum dan pengaturan dalam
bentuk Undang-Undang a quo. Masyarakat bebas untuk berserikat dengan
berdasarkan enam pilar dasar yaitu kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan sesuai Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Ormas.
Dengan demikian, apa pun organisasi yang didirikan, advokat, notaris,
wartawan, hobi, keagamaan, dan lain-lain, pada dasarnya didirikan
berdasarkan lingkup enam pilar dasar tersebut dan hal ini dijamin dan
dilindungi Undang-Undang Ormas.
c. Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 38 Undang-Undang a quo
terhadap Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, DPR memberikan keterangan sebagai berikut.
1. Tujuan laporan pertanggungjawaban keuangan adalah menyediakan
informasi yang relevan untuk memenuhi kepentingan para penyumbang,
anggota, pengelola, kreditor, dan pihak lain yang menyediakan sumber
daya bagi Ormas. Laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan
evaluasi kinerja manajerial organisasi sebagai salah satu bentuk
mekanisme pertanggungjawaban.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
84

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

2. Sebagai organisasi di sektor publik, pertanggungjawaban keuangan


Ormas kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang memberikan sumber
daya Ormas merupakan elemen penting dari proses akuntabilitas publik.
Kemampuan Ormas dalam mengelola dana dari masyarakat akan
dikomunikasikan melalui laporan pertanggungjawaban keuangan, dimana
informasi mengenai aktiva, kewajiban, aktiva bersih, dan informasi
mengenai hubungan antarunsur-unsur tersebut disampaikan.
3. Ormas harus memiliki kepemimpinan dan pertanggungjawaban keuangan
yang akuntabel. Kepemimpinan yang baik dan diikuti oleh bagaimana
organisasi itu dapat mengelola keuangannya dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada anggotanya. Dan jika dibutuhkan, dapat
diketahui secara akuntabel sebagai bentuk keterbukaan dan menguji
kepercayaan masyarakat pada organisasi yang berdiri.
Pertanggungjawaban keuangan juga merupakan bagian dari
pertanggungjawaban keuangan yang berasal dari bantuan pemerintah dan
memberdayakan organisasi-organisasi yang mendukung pembangunan
nasional ataupun pembangunan di daerah.
4. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai jasa atau peran yang
diberikan ormas kepada masyarakat dan kamampuannya untuk terus
memberikan jasa tersebut. Cara pengelolaan melaksanakan tanggung
jawab dan aspek lain dari kinerja Ormas.
5. Rumusan dari Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Ormas, yaitu dalam hal
Ormas menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, Ormas wajib membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara
umum atau sesuai dengan AD dan/atau anggaran rumah tangga.
Rumusan ketentuan tersebut adalah tidak memaksakan bahwa Ormas
harus membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan
standar akuntansi saja, tetapi merupakan rumusan alternatif dengan kata
atau, artinya bahwa boleh saja ormas membuat laporan
pertanggungjawaban tidak sesuai dengan standar akuntansi selama hal itu
sesuai dengan AD/ART. Jadi di sini ada dua pilihan, yaitu memakai
standar akuntansi secara umum atau cukup sesuai dengan AD/ART saja.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
85

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

6. Bahwa Pemohon tidak cermat dalam membaca ketentuan pasal a quo


sehingga uraian Pemohon tidak jelas sebagaimana organisasi sektor
publik. Sudah sewajarnya apabila Ormas membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan untuk disampaikan kepada masyarakat
sebagai perwujudan atau elemen penting dari akuntanbilitas publik. Oleh
karena itu, DPR berpandangan bahwa Pasal 38 Undang-Undang a quo
tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.
d. Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan Pasal
34 ayat (2) Undang-Undang Ormas a quo terhadap Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(2), Pasal 28E, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, DPR memberi
keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan rumusan Pasal 33 dan Pasal 33 Undang-Undang Ormas
adalah ketentuan yang berlaku secara umum atau keseluruhan bagi tiap
warga negara Indonesia, namun ketentuan tersebut oleh Pemohon
diterjemahkan menjadi seolah-olah ketentuan tersebut merupakan bukti
nyata terdapat upaya pembentuk Undang-Undang untuk ikut campur yang
terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat, berkumpul yang
sesungguhnya menjadi kewenangan absolut Ormas. Pemohon juga
menguraikan bahwa perbedaan agama, kehendak, atau pemikiran
apapun, maka organisasi yang berhak menentukan apakah kriteria tertentu
untuk masuk ke dalam organisasi tertentu.
2. Bahwa masyarakat pada dasarnya merupakan kumpulan dari individu-
individu yang mendiami atau menguasai suatu wilayah dan melakuakn
interaksi antara individu dengan lingkungannya sehingga akan
menimbulkan saling ketergantungan karena pada hakikatnya manusia itu
tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat menyelesaikan persoalannya
serta memenuhi kebutuhannya sendiri, saling interaksi individu-individu
inilah mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memenuhi
kebutuhan mereka di dalam kelompok tersebut. Melalui kelompok yang
didirikan bersama tersebut, rakyat yang secara individu tidak mampu atau
sulit meraih hal-hal besar sendirian akan lebih mudah mengusahakannya
secara berserikat.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
86

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

3. Dalam kebebasan berserikat merupakan hak yang paling penting di dalam


suatu sistem demokrasi karena berserikat merupakan jantung dari sistem
demokrasi. Dengan berserikat, maka warga negara dapat meraih hal-hal
yang tidak mungkin dicapai ketika berdiri sebagai individu. Dalam
kebebasan berserikat dijamin juga kebebasan berorganisasi yang
kemudian juga dijamin kebebasan bagi warga negara untuk mendirikan
atau bergabung dalam organisasi manapun.
4. Bahwa sesuai dengan definisi yang diatur dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Ormas bahwa pengertian Ormas adalah organisasi yang
didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan
tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
5. Pengertian Ormas tersebut dimaksudkan untuk mewadahi semua
organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk dengan
enam pilar dasar, yaitu kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan sebagai sarana untuk berpartisipasi aktif
bagi anggota masyarakat. Setiap masyarakat berhak ataupun secara
sukarela untuk mendirikan atau menjadi anggota Ormas sesuai dengan
enam pilar dasar kesamaan tersebut. Selama tidak ada kesamaan enam
pilar dasar tersebut, maka masyarakat tidak akan mendirikan atau menjadi
anggota suatu Ormas yang berkaitan karena tidak ada kesamaan untuk
mencapai tujuan di antara masyarakat itu sendiri.
6. Bahwa suatu misal ada Ormas yang berdiri atas kesamaan kepentingan
profesi, misal profesi advokat, maka berdasarkan ketentuan pasal-pasal
a quo setiap orang mempunyai jaminan hak dan kewajiban yang sama
untuk menjadi anggota Ormas advokat tersebut selama orang-orang
tersebut mempunyai kesamaan kepentingan yang sama dengan Ormas
advokat bersangkutan. Jika Ormas tersebut tidak mempunyai kesamaan
kepentingan profesi dengan Ormas advokat bersangkutan, maka tentu
saja orang tersebut tidak perlu untuk berserikat dan berkumpul menjadi
anggotanya karena tidak ada kesamaan untuk mencapai tujuan.
7. Bahwa DPR berpandangan ketentuan pasal-pasal a quo adalah sesuai
dengan semangat penegakan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
87

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

1945, setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam


memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, negara. Dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
8. Selain itu juga tidak ada relevansi antara ketentuan pasal-pasal a quo
terhadap Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hak
mempertahankan hidup dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
mengenai kemerdekaan memeluk agama masing-masing.
e. Bahwa terhadap permohonan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Ormas
yang mengatur mengenai pemberdayaan Ormas bertentangan dengan Pasal
28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, DPR
memberi keterangan sebagai berikut:
1. Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
sebagaimana diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 adalah
bagian dari HAM. Adanya pengakuan dan penjaminan HAM tersebut
menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai
sebuah negara demokrasi. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan
kehidupan demokrasi dan HAM, maka diperlukan pemberdayaan Ormas
oleh Pemerintah sebagai salah satu pilar demokrasi di tingkat infrastruktur
politik dalam sistem politik Indonesia.
2. Dalam hal pemberdayaan Ormas dilakukan oleh Pemerintah sebagai
fasilitator, pengayom, pelayan, dan pengatur. Adapun masyarakat sebagai
pembentuk, pelaku, dan pengontrol Pemerintah. Dengan demikian
masyarakat dan pemerintah saling berposisi sebagai mitra pembangun
bangsa. Pemberdayaan Ormas lebih dituntut pada peningkatan dan
penguatan kemandirian profesionalitas, mandiri di dalam hal kreativitas,
aktivitas, pendanaan, sumber daya pengelolaan, dan pengembangan
organisasi. Adapun profesi dalam kinerja, akuntabilitas publik,
produktivitas, edukatif, dan inovatif.
3. Sebagai fasilitator, Pemerintah menyiapkan fasilitas bagi pertumbuhan dan
perkembangan, serta keterlibatan ormas dalam kegiatan keseharian
masyarakat. Tugas fasilitas ini harus dilihat sebagai kewajiban pemerintah
untuk mendukung pemberdayaan peran Ormas di dalam peran

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
88

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

masyarakat. Fasilitas dari Pemerintah tersebut khususnya dalam bentuk


dana dan berbagai kemudahan akses informasi pembangunan. Di sisi lain,
Ormas melaksanakan kegiatan untuk mendukung program pembangunan
nasional, serta berkewajiban memberikan pertanggungjawaban kepada
pemerintah dan publik tentang dana yang diberikan dan apa yang
dilakukannya dalam relasi dan kerja sama ini prinsip transparansi dan
akuntabilitas harus menjadi prinsip utama yang harus menjadi pegangan
kedua belah pihak.
4. Dengan demikian, pemberdayaan Ormas oleh pemerintah haruslah
diposisikan dan diperankan dalam kerangka perwujudan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul sebagai salah satu bentuk HAM yang
demokratis yang tetap berada dalam koridor Pancasila sebagai dasar
negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya.
5. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang dikemukakan di atas, maka
dalam hal ini DPR berpandangan bahwa pasal-pasal a quo tidak
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945.
f. Terhadap keterangan Pemohon yang menganggap bahwa rumusan pasal-
pasal a quo merupakan ketentuan yang berpotensi menimbulkan tindakan
korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas yang nantinya akan
membawa kepentingan terselubung bagi Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah adalah suatu hal yang dikemukakan Pemohon tanpa argumentasi yang
mendasar.
g. Terhadap permohonan ketentuan Pasal 57 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 58
Undang-Undang Ormas yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat
(2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, DPR
memberikan keterangan sebagai berikut.
1. Bahwa dalam hal ini Pemohon hanya membaca ketentuan pasal a quo
secara sepotong-potong dan mengambil kesimpulan sendiri. Tidak ada
satu pun ketentuan di dalam Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang
Ormas yang mengindikasikan bahwa Pemerintah berusaha untuk campur
atas perselisihan internal yang dialami Ormas.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 57 tersebut, jika terjadi perselisihan
internal yang dialami Ormas, maka mekanisme penyelesaiannya adalah

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
89

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

tetap ditentukan diprioritaskan oleh mekanisme internal Ormas itu sendiri


sesuai dengan AD/ART-nya. Dalam hal penyelesaian sengketa internal
tersebut tidak tercapai, maka Pemerintah dapat memfasilitasi mediasi, itu
pun hanya atas dasar permintaan para pihak yang bersengketa. Selama
tidak ada permintaan para pihak, maka pemerintah tetap tidak boleh
memasuki dan turut campur dalam penyelesaian sengketa tersebut.
Fasilitasi mediasi dari pemerintah tersebut merupakan bentuk dari
kepedulian terhadap keberlangsungan Ormas. Sebagai fasilitator
pemerintah menyiapkan fasilitas bagi pertumbuhan dan perkembangan,
serta keterlibatan Ormas dalam kegiatan-kegiatan seharian masyarakat.
Tugas fasilitasi ini harus dilihat sebagai kewajiban pemerintah untuk
mendukung, pemberdayaan peran Ormas dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, sudah sewajarnya Pemerintah dapat memfasilitasi
mediasi untuk penyelesaian sengketa Ormas, itu pun hanya ketika diminta
oleh para pihak yang bersengketa.
3. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban telah diatur dalam
peraturan hukum yang disebut hubungan hukum. Dalam hukum perdata
diatur tentang hak dan kewajiban setiap orang yang mengadakan
hubungan hukum yang meliputi peraturan yang bersifat tertulis berupa
peraturan perundang-undangan dan yang tidak bersifat tertulis berupa
peraturan hukum adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Ketika
dalam kehidupan bermasyarakat timbul permasalahan hukum maka
terhadap permasalahan hukum tersebut oleh pihak yang merasa
kepentingan hukumnya dirugikan dapat mengajukan suatu tuntutan hak
berupa gugatan perdata terhadap permasalahan hukum tersebut pada
pengadilan negeri. Pihak yang merasa dirugikan hak perdatanya berhak
untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh
penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan menyampaikan
gugatan terhadap pihak dirasa merugikan. Hak mengajukan gugatan ini
merupakan hak yang dijamin oleh hukum in casu tidak ada pemaksaan
bahwa atas sengketa ormas harus diselesaikan lewat pengadilan negeri
Pasal 8, Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang a quo, atau fasilitasi mediasi
oleh Pemerintah Pasal 57 ayat (2). Semuanya tergantung daripada pihak
yang bersengketa ingin memilih jalan yang mana untuk menyelesaikan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
90

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

sengketanya, yang jelas penyelesaian sengketa melalui mekanisme


ADART-nya adalah tetap yang diprioritaskan dalam Ketentuan Undang-
Undang a quo. Oleh karena itu DPR berpendapat bahwa Ketentuan Pasal
57 dan Pasal 58 Undang-Undang a quo telah sesuai dengan konstitusi dan
tidak bertentangan.
h. Terhadap permohonan ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Ormas
yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 DPR memberi keterangan sebagai berikut.
1. Pemohon dalam hal ini tidak memberikan argumentasi yang jelas dibagian
mana terjadi pertentangan antara Ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-
Undang Ormas dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
2. Justru norma yang diatur di dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Ormas merupakan bentuk rumusan sinkronisasi dan harmonisasi dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Harmonisasi dalam pembentukan
Undang-Undang bertujuan untuk mengharmoniskan aturan yang terdapat
di materi muatan Undang-Undang, apabila terjadi tumpah tindih antara
materi Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lainnya
maka akan terjadi kekacauan dalam penegakan hukumnya (law
enforcement). Selain itu terjadi dualisme yang akan mengacaukan
prosedur penegakan hukum sendiri.
3. Norma di dalam Pasal 59 ada satu Undang-Undang Ormas merupakan
norma yang ingin ditegakkan dan larangan yang diberlaku khusus bagi
ormas sesuai dengan konteks Undang-Undang a quo, sedangkan yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 merupakan
ketentuan yang berlaku bagi setiap orang secara umum. Jika ormas atau
anggota Ormas melakukan perbuatan yang dilarang tersebut maka dapat
saja dipidana sesuai dengan konteks Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 selama unsur-unsur perbuatan pidana yang terdapat dalam
ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dapat terpenuhi
secara keseluruhan.
4. Dengan demikian DPR berpandangan bahwa ketentuan antara Ketentuan
Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang a quo dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2009 tidaklah bertentangan dan terharmonisasi dengan baik

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
91

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang


Dasar 1945.
Demikian keterangan DPR disampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara a quo, dan dapat
memberikan putusan sebagai berikut.

1. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,


Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33
ayat (1), ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2), ayat
(3), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya paragraf ke empat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

2. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,


Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33
ayat (1), ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2), ayat
(3), Pasal 58, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tetap mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan kesimpulan tertulis yang


diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Maret 2014 yang pada
pokoknya tetap dengan pendiriannya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
92

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian


konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat
(1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58,
dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430,
selanjutnya disebut UU 17/2013) yang menyatakan:

Pasal 1 angka 1
Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi
yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pasal 4
Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis.

Pasal 5
Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang
hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.

Pasal 8
Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; dan c. kabupaten/kota.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
93

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 9
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih, kecuali
Ormas yang berbadan hukum yayasan.

Pasal 10
(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk: a. badan
hukum; atau b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berbasis anggota;
atau b. tidak berbasis anggota.

Pasal 11
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a dapat berbentuk: a. perkumpulan; atau b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a didirikan dengan berbasis anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b didirikan dengan tidak berbasis anggota.

Pasal 21
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta
memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.

Pasal 23
Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.

Pasal 24
Ormas lingkup provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
94

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 25
Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit dalam 1 (satu)
kecamatan.

Pasal 30
(2) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan, susunan kepengurusan yang
baru diberitahukan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan kepengurusan.

Pasal 33
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas.
(2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.

Pasal 34
(1) Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Pasal 35
(1) Setiap Ormas yang berbadan hukum dan yang terdaftar wajib memiliki AD
dan ART.
(2) AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan internal; dan
h. pembubaran organisasi.

Pasal 36
(1) Perubahan AD dan ART dilakukan melalui forum tertinggi pengambilan
keputusan Ormas.
(2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/walikota sesuai

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
95

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)


hari terhitung sejak terjadinya perubahan AD dan ART.

Pasal 38
(1) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, Ormas wajib
membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar
akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART.
(2) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola bantuan/sumbangan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas
wajib mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala.
(3) Sumber keuangan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 40
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Ormas
untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas.
(2) Dalam melakukan pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menghormati dan
mempertimbangkan aspek sejarah, rekam jejak, peran, dan integritas Ormas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. fasilitasi kebijakan;
b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
c. peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(4) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa
peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberdayaan Ormas.
(5) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b dapat berupa:
a. penguatan manajemen organisasi;
b. penyediaan data dan informasi;
c. pengembangan kemitraan;
d. dukungan keahlian, program, dan pendampingan;
e. penguatan kepemimpinan dan kaderisasi;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
96

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

f. pemberian penghargaan; dan/atau g. penelitian dan pengembangan.


(6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c dapat berupa:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. pemagangan; dan/atau
c. kursus.

Pasal 57
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para pihak
yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 58
(1) Dalam hal mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) tidak
tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui pengadilan
negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan upaya hukum
kasasi.
(3) Sengketa Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diputus oleh
pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan perkara dicatat di pengadilan negeri.
(4) Dalam hal putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diajukan upaya hukum kasasi, Mahkamah Agung wajib memutus dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.

Pasal 59
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau
lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang
Ormas;
b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan
nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
97

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

c. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain


atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera
Ormas;
d. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau
organisasi terlarang; atau
e. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai
politik.

(3) Ormas dilarang:


a. menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan
dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;

terhadap Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan:

Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”

Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.”

Pasal 28C ayat (2)


“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Pasal 28D ayat (1)


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
98

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 28E ayat (3)


“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.”

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian


konstitusionalitas Undang-Undang in casu UU 17/2013 terhadap UUD 1945, yang
menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang
untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon


[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
99

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
100

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya Pemohon mendalilkan:


1. Bahwa Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November
1912 Miladiyah, yang memiliki identitas Gerakan Islam dan Da’wah Amar
Ma’ruf Nahi munkar, berasas Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dengan dasar
hukum sebagai badan hukum, identitas dan tujuan Persyarikatan
Muhammadiyah kemudian mendirikan berbagai amal usaha dalam bidang
pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, sebagai wujud dari badan hukum,
identitas dan tujuan Persyarikatan Muhammadiyah dimaksud;
2. Bahwa Persyarikatan Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum yang
berbentuk perkumpulan dan/atau persyarikatan yang telah mendapatkan
pengakuan pertama kali dari Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana
ternyata dalam Gouvernement Besluit Nomor 81, tanggal 22 Agustus 1914
juncto Gouvernement Besluit Nomor 40, tanggal 16 Agustus 1920 juncto
Gouvernement Besluit Nomor 36, tanggal 2 September 1921 yang kemudian
ditetapkan dengan Rechtpersoonlightheit van Vereeningingingen (K.B.van 28
Maret stb.70-64 ars : 5a (Ingev stb. 33-80);
3. Bahwa sebagai suatu badan hukum yang berbentuk perkumpulan dan/atau
persyarikatan, Muhammadiyah memiliki kegiatan-kegiatan diberbagai bidang
kehidupan kemasyarakatan yang telah diakui dan ditetapkan oleh Pemerintah
Indonesia seperti:
a. Bidang Keagamaan sebagaimana dalam surat pernyataan Menteri Agama
Nomor 1 Tahun 1971, tanggal 9 September 1971;
b. Bidang Pendidikan Dan Pengajaran sebagaimana dalam Surat Pernyataan
Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23628/MPK/74, tanggal 24 Juli
1974;
c. Bidang Kesehatan yang di dalamnya termasuk kegiatan di bidang Rumah
Sakit, Balai Pengobatan dan lain-lain sebagaimana dalam surat pernyataan
Menteri Kesehatan Nomor 155/Yan.Med/Um/1998, tanggal 22 Februari
1988;
4. Bahwa sebagai suatu badan hukum privat yang telah mendapatkan
pengakuan dari Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, Perkumpulan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
101

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dan/atau Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak dalam bidang


keagamaan/dakwah dan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan pengajaran
serta kesehatan, telah pula melakukan perubahan anggaran dasar-nya,
perubahan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-88.AH.01.07. Tahun 2010, tanggal 23
Juni 2010, tentang Perubahan Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah;

[3.8] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama dalil


Pemohon kemudian dihubungkan dengan kerugian hak konstitusional Pemohon,
menurut Mahkamah, terdapat kerugian konstitusional yang bersifat spesifik
(khusus) dan potensial yang dialami oleh Pemohon. Selain itu, terdapat hubungan
sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan Pemohon tidak akan atau tidak lagi
terjadi;

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut


Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;

Pokok Pemohonan

[3.11] Menimbang bahwa yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah


sebagai berikut:
A. Pengkerdilan Makna Kebebasan Berserikat Melalui Pembentukan UU
Ormas
1. Bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal
33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal
40 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), Pasal 57 ayat (2) dan (3), Pasal 58, dan
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU 17/2013 bertentangan dengan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
102

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 karena memberikan


pembatasan hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul telah
dikebiri melalui UU 17/2013.
2. Bahwa kemerdekaan berserikat yang dijaminkan oleh UUD 1945 seolah-
olah menjadi ancaman bagi negara dan seolah-olah pembentuk undang-
undang sedang mengatur mengenai partai politik. Hal ini jelas
bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3)
dan Pasal 29 UUD 1945, oleh karena itu menurut Permohon hak
konstitusional Pemohon telah dilanggar oleh Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 29,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38 UU
17/2013;

B. Pembatasan Kemerdekaan Berserikat yang Berlebih-Lebihan


1. Bahwa perumusan tujuan organisasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal
5 UU 17/2013, adalah sesuatu hal yang berlebih-lebihan. Persyaratan
tujuan yang bersifat kumulatif merupakan fantasi pembentuk Undang-
Undang dalam merumuskan tujuan pembentukan Undang-Undang dan
bahkan pembentukan Ormas itu sendiri. Ketentuan ini jelas mengada-ada
dan justru tidak memberikan jaminan dan perlindungan hukum
sebagaimana dijaminkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
2. Bahwa perumusan definisi dan sifat Ormas sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 UU 17/2013 merupakan kekacauan legislasi
dan fantasi belaka. Hal ini dikarenakan UU tersebut telah terlampau jauh
menentukan bahwa ormas bersifat sukarela. Kesukarelaan tidak menjadi
dasar seseorang masuk ke dalam suatu Ormas, karena ada sebagian
Ormas yang mengharuskan calon anggota untuk memberikan konstribusi
terhadap adanya kehendak seseorang yang bergabung ke dalam Ormas
sehingga tidaklah tepat Ormas ditentukan sedemikian rupa;
3. Dalam Pasal 4 UU 17/2013, Ormas juga dinyatakan bersifat nirlaba,
namun dalam Pasal 39 UU 17/2013 justru merumuskan bahwa Ormas
diperbolehkan mendirikan badan usaha. Ketentuan ini sesungguhnya telah
bertentangan satu sama lain yang menunjukkan adanya kekacauan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
103

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

norma. Adanya ketidakpastian yang demikian itu merupakan pelanggaran


hak konstitusional Pemohon;
4. Pasal 1 angka 1 UU 17/2013, adanya persamaan agama tidak terumuskan
dalam Undang-Undang a quo, maka pertanyaannya, apakah Ormas yang
didirikan berdasarkan persamaan agama bukan merupakan Ormas?,
ketentuan yang diskriminatif ini justru kembali bertabrakan dengan Pasal 5
UU 17/2013 yang justru menjadikan pelaksanaan keyakinan terhadap
agama merupakan salah satu tujuan pembentukan Ormas. Ketentuan-
ketentuan yang semacam ini telah bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal
28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 29 UUD 1945.
5. Bahwa pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 21,
Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33,
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39 UU 17/2013 merupakan
pengaturan yang represif dan jelas-jelas mengekang kemerdekaan
berserikat yang telah dijaminkan dalam UUD 1945. Pembatasan ormas
yang hanya mempunyai lingkup nasional merupakan jelas wujud
pengkerdilan makna kebebasan berserikat yang justru tidak sepatutnya
menjadi esensi dalam pengaturan UU 17/2013. Selain itu, pengaturan
yang represif sebagaimana ditentukan dalam pengaturan mengenai format
kepengurusan dan jumlah kepengurusan sebagaimana tertuang dalam
Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 29 UU 17/2013
merupakan bentuk miskonsepsi pembentuk Undang-Undang dalam
memahami apa itu Ormas. Pengaturan yang demikian itu, merupakan
bentuk penngaturan untuk pembentukan organisasi yang ditujukan untuk
meraih kekuasaan negara atau partai politik, sedangkan Ormas bukanlah
partai politik, pengaturan yang sedemikian itu jelas mengancam esensi
dari jaminan kemerdekaan berserikat sebagaimana telah dijaminkan oleh
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

C. Pengaturan dalam UU Ormas yang Tidak Memberikan Kepastian Hukum


1. Bahwa mengenai mekanisme pendaftaran bagi Ormas yang tidak
berbadan hukum seharusnya tidak perlu di level Undang-Undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 35 dan
Pasal 36 UU 17/2013, cukup melalui aturan teknis kementerian sektoral.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
104

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Itupun hanya berlaku bagi Ormas yang ingin mengajukan dan mengelola
sebagian anggaran APBN/APBD. Pengaturan dalam bentuk Undang-
Undang jelas menunjukan arogansi pembentuk Undang-Undang agar
mempersempitkan pemaknaan kemerdekaan berserikat yang jelas
bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak dan kepentingan
konstitusional Pemohon.
2. Bahwa pengakuan seperti “hak dan kewajiban” Ormas sebagaimana
termuat dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU 17/2013 adalah contoh “norma
administratif”. Tanpa itu pun, sudah ada konstitusi yang mewadahi dan
AD/ART Ormas yang akan menjabarkannya lebih lanjut (Pasal 20 huruf a,
huruf c, dan huruf d UU 17/2013). Bahkan ketentuan tentang Hak Atas
Kekayaan Intelektual/HAKI (yang tersebar pada UU Hak Cipta, Paten,
Merek, Desain Industri, atau Rahasia Dagang) sudah lebih dari cukup
untuk mewadahi Ormas memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk
nama dan lambang ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b
UU 17/2013. Ketentuan yang demikian jelas bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
3. Bahwa mengenai hak Ormas untuk mendapatkan perlindungan hukum
terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf e UU 17/2013 sudah lebih dari cukup diakomodasi
oleh KUHP, KUHAP, KUHPerdata hingga Undang-Undang Kepolisian.
Begitu pula hak Ormas untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah,
pemerintah daerah, swasta, ormas lain, dan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan keberlanjutan organisasi (Pasal 20 huruf f UU
17/2013) sudah diatur melalui AD/ART hingga Permendagri Nomor 44
Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga
Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
sebagaimana diubah oleh Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 dan
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah sebagaimana diubah oleh Permendagri Nomor 39 Tahun
2012. Bahkan kedua Permendagri tersebut sudah lebih dulu mengatur
maksud dan tujuan Pasal 41 atau penyediaan sanksi melalui Pasal 61

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
105

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

huruf b dan huruf c, Pasal 64 ayat (1) huruf a , dan Pasal 64 ayat (2). Oleh
karena itu konstruksi norma yang demikian itu jelas bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
4. Bahwa selain ketentuan HAKI, larangan terhadap Ormas sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013 sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya Pasal 66, Pasal 67,
dan Pasal 68. Adanya pertentangan ketentuan yang demikian itu jelas
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka pasal a quo
sudah seharusnya dibatalkan.
5. Bahwa mengenai Pasal 59 ayat (3) huruf a UU 17/2013 jelas multi tafsir
karena sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, khususnya Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Adanya pertentangan
ketentuan yang demikian jelas melahirkan suatu ketentuan yang multi
tafsir karena disatu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak
pidana dan disisi lain hanya bersifat pelarangan yang justru akan
membingungkan, oleh karena itu ketentuan a quo bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

D. Turut Campur Pemerintah dalam Penjabaran Kemerdekaan Berserikat


1. Bahwa pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 UU 17/2013
jelas mengada-ngada dan mereduksi makna Pasal 28E ayat (3) UUD
1945. Adalah sesuatu yang tidak relevan apabila Undang-Undang
menentukan bahwa Ormas yang mengelola keuangan iuran anggota
diwajibkan membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai
dengan standar akuntansi, hal tersebut sungguh-sungguh hal yang tidak
perlu dilakukan dan diatur dalam Undang-Undang, karena proses
pertanggungjawaban dalam hal apapun yang dilakukan oleh Ormas
merupakan hak prerogatif Ormas itu sendiri. Selain itu, apabila Ormas
menghimpun dan mengelola bantuan/sumbangan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas wajib
mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala,
merupakan ketentuan yang berlebihan yang justru akan menghalangi

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
106

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

terpenuhinya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dikarenakan pelaporan


berkala yang ditentukan justru mengaburkan makna kebebasan berserikat
dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar.
2. Bahwa Pasal 33 beserta Pasal 34 ayat (1) UU 17/2013 merupakan bukti
nyata terdapat upaya pembentuk Undang-Undang untuk “ikut campur”
yang terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
sepatutnya pembentuk Undang-Undang tidak terlampau jauh mengatur
hal-hal yang sesungguhnya menjadi kewenangan absolut organisasi
kemasyarakatan. Tidak semua warga negara Indonesia berhak menjadi
anggota suatu Ormas apabila terdapat perbedaan yang prinsipil seperti
adanya perbedaan agama, perbedaan kehendak, dan atau perbedaan
platform pemikiran sehingga mekanisme organisasi yang berhak
menentukan apa kriteria tertentu untuk masuk kedalam organisasi tertentu.
Oleh karena itu norma tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal
28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 29 UUD 1945
3. Bahwa Pasal 40 UU 17/2013 yang mengatur mengenai pemberdayaan
Ormas merupakan ketentuan yang berpotensial menimbulkan tindakan
korup yang dilakukan atas nama pemberdayaan Ormas yang nantinya
akan membawa kepentingan terselubung bagi Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah atau nantinya akan membangkitkan kembali “Ormas
plat merah” sebagaimana yang dulu besar pada masa orde baru melalui
ketentuan-ketentuan yang serupa, hal ini jelas bertentangan dengan Pasal
28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Bahwa untuk membuktikan dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan


yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-5, serta tiga orang ahli yang
keterangan selengkapnya termuat pada bagian duduk perkara;

[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberi


keterangan baik lisan maupun tertulis yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa jumlah Ormas yang terdaftar pada Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sebanyak 139.957 Ormas, dengan jumlah Ormas yang terdaftar
sedemikian besar perlu pengaturan, penataan, dan pemberdayaan Ormas
agar dapat bersama-sama pemerintah mewujudkan tujuan negara yang ada di
konstitusi. Pemberlakuan Undang-Undang a quo merupakan upaya

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
107

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pemerintah dalam memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap


harkat dan martabat HAM dalam berserikat dan berkumpul, kebhinekaan,
kepastian hukum, bersifat non diskriminatif maupun dalam rangka
memberikan perlindungan umum (general prevention) terhadap seluruh warga
negara, khususnya masyarakat anggota suatu Ormas yang semakin
berkembang.
2. Bahwa anggapan Pemohon dalam permohonannya lebih mencerminkan
adanya kekhawatiran yang berlebihan (paranoid syndrome), seolah-olah
kebebasan berserikat dan berkumpul menjadi terganggu, terhalang, tidak
berkembang, bahkan menjadi tidak hidup sama sekali (menjadi musnah), juga
seolah-olah aparat penegak hukum akan dengan serta merta melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap hal-hal yang dianggap wilayah internal
Ormas. Hal demikian adalah tidak benar dan tidak berdasar karena dalam
implementasi penegakan suatu norms (law enforcement), tentunya aparat
penegak hukum berlandaskan dan dibatasi oleh peraturan perundang--
undangan.
3. Bahwa Pemohon memaknai perlindungan hak asasi manusia bagi setiap
bangsa Indonesia sebagai dimaksud alinea keempat pembukaan UUD 1945,
hanyalah dimaknai sebagai hak bebas semata. Justru Undang-Undang
diperlukan untuk melindungi hak asasi warga negara secara individu maupun
kolektif, termasuk dalam hal berserikat dan berkumpul agar pelaksanaan hak
asasi secara individu/kolektif tidak melanggar hak asasi individu/kolektif
lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sejatinya setiap
warga negara atau organisasi-organisasi yang hidup dalam suatu negara tidak
memiliki hak asasi yang bersifat mutlak karena dibatasi oleh negara
berdasarkan hukum yang berlaku dan Undang-Undang merupakan instrumen
pengelolaan hak asasi dan kewajiban-kewajiban hak asasi yang sah dan
konstitusional.
4. Bahwa kebebasan berorganisasi (berserikat dan berkumpul) dalam negara
hukum tetap harus menjamin terciptanya tertib sosial, bukanlah bebas
sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kekacauan sosial. Pemerintah
mempunyai kewenangan yang sah dan konstitusional untuk mengelola
keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam menggunakan hak dan
kewajiban dalam berserikat dan berkumpul. Undang-Undang ini tidak bersifat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
108

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

represif karena Pemerintah dan pemerintah daerah tidak mempunyai


kewenangan subyektif untuk membubarkan Ormas karena keputusan
membubarkan Ormas berbadan hukum harus melalui putusan pengadilan
(lembaga yudikatif) sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 71
ayat (1) UU 17/2013. Kewenangan subjektif Pemerintah tidak dapat
digunakan secara sewenang-wenang karena harus dikonfirmasi oleh lembaga
yudikatif. Hal ini diatur dalam Undang-Undang a quo untuk memberikan
perlindungan terhadap keberlangsungan Ormas.
5. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon yang
mempermasalahkan pendirian Ormas berdasarkan aspek keagamaan yang
tidak menjadi dasar kesamaan dalam definisi Pasal 1 angka 1 UU 17/2013.
Menurut Pemerintah, hal demikian bukan berarti masyarakat tidak dapat
mendirikan Ormas yang memiliki bidang kegiatan keagamaan karena aspek
kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak, kesamaan kebutuhan, kesamaan
kepentingan, kesamaan kegiatan dan kesamaan tujuan secara eksplisit
bermakna/mengakomodasi organisasi-organisasi yang berlatar belakang
keagamaan seperti PP Muhammadiyah yang memiliki bidang kegiatan di
bidang keagamaan, tujuan-tujuan di bidang keagamaan, aspirasi di bidang
keagamaan atau kebutuhan di bidang keagamaan dengan demikian tidak
menghambat tujuan-tujuan Ormas yang berlatar belakang keagamaan.
6. Undang-Undang ini adalah mengatur tentang "Organisasi Kemasyarakatan"
selanjutnya disebut "Ormas" sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka (1) UU
17/2013 sehingga dalam pasal-pasal selanjutnya frasa "organisasi
kemasyarakatan" disebut "Ormas". Dengan demikian ketika menyebut Ormas
maka yang dimaksudkan adalah organisasi Kemasyarakatan. LSM,
NGO/Omop, OMS, Orsos, NPO, OKP dan lain-lain merupakan jenis-jenis
organisasi kemasyarakatan dan termasuk rumpun organisasi kemasyarakatan
meskipun jenis-jenis organisasi tersebut memiliki sifat-sifat yang spesifik/khas
tetapi unsur-unsurnya, ciri-cirinya, sifat-sifatnya, wujud dan bentuknya
termasuk dalam kategori organisasi kemasyarakatan.
7. Bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU 17/2013 sama sekali tidak mengurangi
hak Ormas untuk mempertanggungjawabkan iuran anggota berdasarkan
AD/ART masing-masing Ormas. Adapun kewajiban
mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai dengan standar akutansi

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
109

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

umum tetap dalam koridor sesuai dengan AD/ART masing-masing dan


mendorong akuntabilitas tata kelola keuangan organisasi secara internal
mencegah terjadinya manipulasi iuran anggota oleh pengurus Ormas.
Ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU 17/2013 adalah dalam hal Ormas
menggalang dana publik, maka Ormas harus mempertanggungjawabkan
kepada publik, justru menjadi pertanyaan ketika Ormas menggunakan dana
publik tetapi tidak bersedia mempertanggungjawabkan kepada publik.
8. Bahwa ketentuan Pasal 5 UU 17/2013 dimaksudkan untuk memberikan arah
keberadaan Ormas di Indonesia. Bahwa ketentuan a quo tidak mengurangi
hak tiap-tiap ormas memiliki tujuan-tujuan sesuai AD/ART masing-masing,
namun demikian tetap harus diorientasikan pada tujuan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
9. Bahwa pada hakikatnya pembentukan Ormas tidak dalam rangka untuk
mencari keuntungan (bersifat nirlaba) sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang a quo, namun demikian dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan dan kelangsungan Ormas tersebut maupun untuk
mensejahterakan anggotanya, khusus Ormas yang berbadan hukum (yayasan
dan perkumpulan) dapat membentuk badan usaha/amal usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 39 UU 17/2013. Dengan perkataan lain Pasal 4 UU
17/2013 tidak dapat dipertentangkan dengan Pasal 39 UU 17/2013.
10. Bahwa pengaturan tentang lingkup Ormas yang terdiri dari lingkup kabupaten,
lingkup provinsi, dan lingkup nasional terkait erat dengan teritori keberadaan
Ormas itu sendiri, justru Undang-Undang a quo memberikan kemudahan
seluas-luasnya kepada Ormas untuk dapat melakukan kegiatan di seluruh
wilayah Indonesia bahkan dapat membentuk cabang di Iuar negeri sesuai
ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 UU 17/2013. Dengan perkataan lain
kategorisasi ruang lingkup Ormas tidak dalam rangka untuk membatasi
aktivitas dan pengembangan Ormas itu sendiri.
11. Pengaturan dalam UU 17/2013 memang disarikan dan diharmoniskan dengan
peraturan lain, hal ini tidak membatasi kebebasan masyarakat, justru dengan
pengaturan tersebut, Undang-Undang Ormas telah harmonis dan sejalan
dengan amanat konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain
seperti KUHP, KUHAP, KUHPerdata, Undang-Undang Yayasan, Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Tindak Pidana

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
110

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pencucian Uang, Undang-Undang Anti Terorisme, Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan, Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual, dan Undang-
Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
12. Bahwa ketentuan pasal Undang-Undang Ormas memberikan pilihan kepada
masyarakat yang akan mendirikan Ormas baik berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum, hal tersebut sesuai dengan ciri pemerintahan yang
demokratis dengan memberikan kebebasan bagi warganya dalam membentuk
Ormas. Hal ini karena mengatur mengenai hak dan kewajiban kolektif warga
negara, maka perlu diatur pada level Undang-Undang.
13. Bahwa Pasal 20 huruf a, huruf c, dan huruf d dan Pasal 21 UU 17/2013 pada
prinsipnya mengatur perlakuan Ormas dalam menjalankan aktivitasnya
diruang publik, sehingga perlu diatur hak dan kewajiban Ormas yang
seimbang di hadapan hukum.
14. Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat
dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam
membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran-pemikiran
masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi
Pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Atas dasar
pemikiran tersebut, Pemerintah berharap dialog masyarakat dan Pemerintah
tetap terus terjaga dengan satu tujuan membangun kehidupan demokrasi
untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

[3.13] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden


mengajukan dua orang saksi dan empat orang ahli yang keterangan selengkapnya
termuat pada bagian duduk perkara;

[3.14] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, DPR memberi


keterangan baik lisan maupun tertulis yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa terhadap permohanan Pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4, dan Pasal
5 UU 17/2013 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, DPR memberikan
keerangan sebagai berikut:
1. Ketentuan di dalam pasal-pasal a quo tidaklah saling bertentangan dan
bukan merupakan pembatasan perkembangan Ormas, justru sebaliknya
rumusan tersebut bertujuan agar Ormas dapat terus bertahan hidup dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
111

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

mandiri dalam hal menghidupi organisasinya serta semakin mendorong


kemandirian Ormas dan agar Ormas dapat hidup secara berkelanjutan
sekaligus mendorong agar organisasi kemasyarakatan untuk berbadan
hukum. Karena yang dapat mendirikan badan usaha adalah Ormas yang
berbadan hukum, perkumpulan, atau yayasan.
2. Ormas tidaklah digunakan sebagai wadah usaha dan tidak dapat
melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan
usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Ormas
dapat menyertakan kekayaannya.
3. Berbeda dengan tujuan pendirian dari perseroan terbatas. Tujuan filosofis
dari pendirian Ormas adalah tidak bersifat komersial atau tidak mencari
keuntungan untuk menjaga keberlangsungan Ormas dan kemandirian
Ormas inilah maka Ormas tersebut dapat mendirikan badan usaha. Hasil
keuntungan yang diperoleh dari badan usaha Ormas tersebut dapat
digunakan untuk membayar operasional Ormas secara berkelanjutan. Hal
ini juga dimaksudkan agar Ormas tidak hanya menanti uluran bantuan dari
Pemerintah atau pihak lain, baik dalam maupun luar negeri untuk
membiayai operasional Ormas.
4. Badan usaha yang didirikan oleh Ormas harus tetap sesuai peraturan
perundang-undangan. Misalnya, Ormas berbadan hukum yayasan
mendirikan badan usaha pendidikan sekolah atau perguruan tinggi. Maka
pendirian badan usaha tersebut, harus tetap memenuhi aturan bidang
pendidikan. Begitu pula jika Ormas berbadan hukum yang akan mendirikan
rumah sakit, harus tetap sesuai aturan bidang kesehatan dan lain-lain.
Ormas dapat mengatur sendiri secara baik dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangganya, bagaimana pembagian hasil usaha yang
disisihkan untuk organisasinya.
5. Jika Ormas memiliki sumber pendanaan tetap secara mandiri, hal tersebut
akan meningkatkan independensi Ormas dan mencegah ketergantungan
Ormas pada sumber pendanaan dari pihak lain, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, sehingga Ormas tidak tergoda untuk melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan hukum untuk sekadar mencari biaya
guna membiayai operasional organisasinya, atau sebagai upaya Ormas
untuk bertahan hidup.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
112

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

6. Rumusan pasal-pasal a quo juga merupakan wujud dari sinkronisasi dan


harmonisasi dengan Undang-Undang terkait yaitu Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan, yang mengatur bahwa pada dasarnya, yayasan dapat membentuk
badan usaha untuk tujuan mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh
dari kegiatan usaha tersebut, dapat dipakai untuk menjaga
keberlangsungan hidup yayasan itu sendiri. Oleh karenanya menurut DPR,
Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 39 UU 17/2013, tidaklah
saling bertentangan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945.
b. Terhadap permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 UU 17/2013
terhadap Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3), dan
Pasal 29 UUD 1945, DPR memberikan keterangan sebagai berikut.
1. Di dalam praktik, banyak timbul terminologi untuk mendefinisikan
organisasi yang bergerak di bidang sosial, dengan alasan dan sudut
pandang tertentu, seperti organisasi sosial, organisasi kepemudaan, LSM,
ornop, organisasi profesi, NGO, dan sebagainya. Namun terminologi-
terminologi tersebut muncul di dalam praktik tanpa tolak ukur yang jelas
karena bergantung pada pandangan setiap organisasi yang bersangkutan.
2. Undang-Undang Ormas tersebut dapat menaungi keseluruhan terminologi
Ormas dengan yayasan dan perkumpulan sesuai bentuk badan
hukumnya, serta memberikan perlindungan hukum dan pengaturan dalam
bentuk Undang-Undang a quo. Masyarakat bebas untuk berserikat dengan
berdasarkan enam pilar dasar yaitu kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan sesuai Pasal 1 angka 1 UU
17/2013.
Dengan demikian, apa pun organisasi yang didirikan, advokat, notaris,
wartawan, hobi, keagamaan, dan lain-lain, pada dasarnya didirikan
berdasarkan lingkup enam pilar dasar tersebut dan hal ini dijamin dan
dilindungi UU 17/2013.
c. Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 38 UU 17/2013 terhadap Pasal
28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, DPR memberikan keterangan
sebagai berikut.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
113

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

1. Sebagai organisasi di sektor publik, pertanggungjawaban keuangan


Ormas kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang memberikan sumber
daya Ormas merupakan elemen penting dari proses akuntabilitas publik.
Kemampuan Ormas dalam mengelola dana dari masyarakat akan
dikomunikasikan melalui laporan pertanggungjawaban keuangan, dimana
informasi mengenai aktiva, kewajiban, aktiva bersih, dan informasi
mengenai hubungan antar unsur-unsur tersebut disampaikan.
2. Ormas harus memiliki kepemimpinan dan pertanggungjawaban keuangan
yang akuntabel. Kepemimpinan yang baik dan diikuti oleh bagaimana
organisasi itu dapat mengelola keuangannya dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada anggotanya, dan jika dibutuhkan dapat
diketahui secara akuntabel sebagai bentuk keterbukaan dan menguji
kepercayaan masyarakat pada organisasi yang berdiri.
Pertanggungjawaban keuangan juga merupakan bagian dari
pertanggungjawaban keuangan yang berasal dari bantuan Pemerintah dan
memberdayakan organisasi-organisasi yang mendukung pembangunan
nasional ataupun pembangunan di daerah. Dengan demikian, masyarakat
dapat menilai jasa atau peran yang diberikan Ormas kepada masyarakat
dan kamampuannya untuk terus memberikan jasa tersebut. Cara
pengelolaan melaksanakan tanggung jawab dan aspek lain dari kinerja
Ormas.
3. Rumusan dari Pasal 38 ayat (1) UU 17/2013, yaitu dalam hal Ormas
menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a UU 17/2013, Ormas wajib
membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar
akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau anggaran rumah
tangga. Rumusan ketentuan tersebut adalah tidak memaksakan bahwa
Ormas harus membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai
dengan standar akuntansi saja, tetapi merupakan rumusan alternatif
dengan kata atau, artinya bahwa boleh saja Ormas membuat laporan
pertanggungjawaban tidak sesuai dengan standar akuntansi selama hal itu
sesuai dengan AD/ART. Oleh karena itu, ada dua pilihan, yaitu memakai
standar akuntansi secara umum atau cukup sesuai dengan AD/ART saja.
Dengan demikian, sudah sewajarnya apabila Ormas membuat laporan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
114

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pertanggungjawaban keuangan untuk disampaikan kepada masyarakat


sebagai perwujudan atau elemen penting dari akuntanbilitas publik. Oleh
karena itu, DPR berpandangan bahwa Pasal 38 UU 17/2013 tidak
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
d. Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan Pasal
34 ayat (2) UU 17/2013 bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28E, dan Pasal 29 UUD 1945, DPR memberi keterangan sebagai
berikut:
1. Bahwa DPR berpandangan ketentuan pasal-pasal a quo adalah sesuai
dengan semangat penegakan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, Negara”, Dan
Pasal 28E ayat (3) uud 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
2. Selain itu juga tidak ada relevansi antara ketentuan pasal-pasal a quo
terhadap Pasal 28A UUD 1945 mengenai hak mempertahankan hidup dan
Pasal 29 UUD 1945 mengenai kemerdekaan memeluk agama masing-
masing.
e. Bahwa terhadap permohonan ketentuan Pasal 40 UU 17/2013 yang mengatur
mengenai pemberdayaan Ormas bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, DPR memberi keterangan sebagai berikut:
1. Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
sebagaimana diakui dan dijamin oleh UUD 1945 adalah bagian dari HAM.
Adanya pengakuan dan penjaminan HAM tersebut menunjukkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai sebuah negara
demokrasi. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan
demokrasi dan HAM, maka diperlukan pemberdayaan Ormas oleh
Pemerintah sebagai salah satu pilar demokrasi di tingkat infrastruktur
politik dalam sistem politik Indonesia.
2. Dalam hal pemberdayaan Ormas dilakukan oleh pemerintah sebagai
fasilitator, pengayom, pelayan, dan pengatur. Sedangkan masyarakat
sebagai pembentuk, pelaku, dan pengontrol pemerintah. Dengan demikian
masyarakat dan pemerintah saling berposisi sebagai mitra pembangun

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
115

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

bangsa. Pemberdayaan Ormas lebih dituntut pada peningkatan dan


penguatan kemandirian profesionalitas, mandiri di dalam hal kreativitas,
aktivitas, pendanaan, sumber daya pengelolaan, dan pengembangan
organisasi. Sedangkan profesi dalam hal kinerja, akuntabilitas publik,
produktivitas, edukatif, dan inovatif. Dengan demikian, pemberdayaan
Ormas oleh Pemerintah haruslah diposisikan dan diperankan dalam
kerangka perwujudan kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai
salah satu bentuk HAM yang demokratis yang tetap berada dalam koridor
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusinya.
Dengan demikian, menurut DPR pasal-pasal a quo tidak bertentangan
dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945.
f. Terhadap permohonan ketentuan Pasal 57 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 58 UU
17/2013 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, DPR memberikan keterangan sebagai
berikut.
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 57 UU 17/2013, jika terjadi
perselisihan internal yang dialami Ormas maka mekanisme
penyelesaiannya diprioritaskan oleh mekanisme internal Ormas itu sendiri
sesuai dengan AD/ART-nya. Dalam hal penyelesaian sengketa internal
tersebut tidak tercapai maka Pemerintah dapat memfasilitasi mediasi, itu
pun hanya atas dasar permintaan para pihak yang bersengketa. Selama
tidak ada permintaan para pihak maka Pemerintah tetap tidak boleh
memasuki dan turut campur dalam penyelesaian sengketa tersebut.
Fasilitasi mediasi dari Pemerintah tersebut merupakan bentuk dari
kepedulian terhadap keberlangsungan Ormas.
2. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban telah diatur dalam
peraturan hukum yang disebut hubungan hukum. Dalam hukum perdata
diatur tentang hak dan kewajiban setiap orang yang mengadakan
hubungan hukum yang meliputi peraturan yang bersifat tertulis berupa
peraturan perundang-undangan dan yang tidak bersifat tertulis berupa
peraturan hukum adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Ketika
dalam kehidupan bermasyarakat timbul permasalahan hukum maka
terhadap permasalahan hukum tersebut oleh pihak yang merasa

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
116

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kepentingan hukumnya dirugikan dapat mengajukan suatu tuntutan hak


berupa gugatan perdata terhadap permasalahan hukum tersebut pada
pengadilan negeri. Pihak yang merasa dirugikan hak perdatanya berhak
untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh
penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni dengan menyampaikan
gugatan terhadap pihak dirasa merugikan. Hak mengajukan gugatan ini
merupakan hak yang dijamin oleh hukum in casu tidak ada pemaksaan
bahwa atas sengketa Ormas harus diselesaikan lewat pengadilan negeri
[Pasal 8, Pasal 58 ayat (1) UU 17/2013], atau fasilitasi mediasi oleh
Pemerintah [Pasal 57 ayat (2) UU 17/2013]. Semuanya tergantung
daripada pihak yang bersengketa ingin memilih jalan yang mana untuk
menyelesaikan sengketanya, yang jelas penyelesaian sengketa melalui
mekanisme ADART-nya adalah tetap yang diprioritaskan dalam ketentuan
UU 17/2013. Oleh karena itu DPR berpendapat bahwa Ketentuan Pasal 57
dan Pasal 58 UU 17/2013 telah sesuai dengan konstitusi dan tidak
bertentangan.
g. Terhadap permohonan Ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU 17/2013 yang
dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 DPR memberi
keterangan sebagai berikut.
1. Bahwa norma yang diatur di dalam Pasal 59 ayat (1) UU 17/2013
merupakan bentuk rumusan sinkronisasi dan harmonisasi dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Harmonisasi dalam pembentukan
Undang-Undang bertujuan untuk mengharmoniskan aturan yang terdapat
di materi muatan undang-undang, apabila terjadi tumpah tindih antara
materi undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya
maka akan terjadi kekacauan dalam penegakan hukumnya (law
enforcement). Selain itu terjadi dualisme yang akan mengacaukan
prosedur penegakan hukum sendiri.
2. Norma di dalam Pasal 59 UU 17/2013 merupakan norma yang ingin
ditegakkan dan larangan yang diberlaku khusus bagi ormas sesuai dengan
konteks Undang-Undang a quo, sedangkan yang diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 merupakan ketentuan yang berlaku bagi
setiap orang secara umum. Jika Ormas atau anggota Ormas melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut maka dapat saja dipidana sesuai dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
117

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

konteks Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 selama unsur-unsur


perbuatan pidana yang terdapat dalam ketentuan pidana Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 dapat terpenuhi secara keseluruhan. Dengan
demikian menurut DPR ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang a quo
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tidaklah bertentangan dan
terharmonisasi dengan baik sehingga tidak bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.

[3.15] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis


yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya;

Pendapat Mahkamah

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas permasalahan


konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon adalah apakah secara keseluruhan
UU 17/2013 bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat yang dijamin oleh
UUD 1945 atau beberapa norma tertentu dalam UU 17/2013 bertentangan dengan
UUD 1945, yaitu mengenai:
1. Prinsip sukarela dan tidak adanya jaminan keberadaan Ormas yang
berdasarkan kesamaan agama dalam pengertian dan definisi Ormas (Pasal 1
dan Pasal 33 UU 17/2013);
2. Pengaturan yang rinci mengenai tujuan, simbol, lambang dan urusan rumah
tangga Ormas bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat (Pasal 5,
Pasal 21, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38,dan
Pasal 59 UU 17/2013);
3. Adanya pertentangan antara norma Ormas yang bersifat nirlaba dengan
dibolehkannya Ormas mendirikan badan usaha (Pasal 4 dan Pasal 39 UU
Ormas), tidak adanya jaminan Ormas berdasarkan kesamaan agama (Pasal
1 angka 1 UU Ormas), padahal dalam norma yang lain (Pasal 21) salah satu
tujuan Ormas adalah pelaksanaan keyakinan agama yang dengan demikian,
menurut Pemohon, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil;
4. Pembedaan antara Ormas pada lingkup nasional, provinsi dan
kabupaten/kota serta pengaturan rinci mengenai format kepengurusan yang
bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat (Pasal 8, Pasal 16 ayat
(3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU17/2013);

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
118

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

5. Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum yang seharusnya tidak perlu diatur
undang-undang (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 UU 17/2013);
6. Hak dan kewajiban Ormas yang seharusnya tidak perlu diatur undang-
undang, tetapi cukup dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Ormas. Demikian juga pengaturan mengenai lambang Ormas yang
seharusnya sudah diatur dalam UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri,
atau Rahasia Dagang (Pasal 20, dan pengaturan pidana yang berlebihan
dalam 59 ayat (1) huruf a, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 UU 17/2013);
7. Perlindungan hukum bagi Ormas yang sudah cukup diatur dalam berbagai
Undang-Undang, antara lain, KUHP, KUHPerdata, KUHAP;
8. Pengaturan yang berlebihan mengenai kerja sama Ormas (Pasal 20 UU
17/2013);
9. Pengaturan pidana yang berlebihan [Pasal 59 ayat (3) UU 17/2013];
10. Kewajiban laporan keuangan Ormas yang harus sesuai dengan standar
akuntansi (Pasal 37 dan Pasal 38 UU 17/2013);
11. Pengaturan kesamaan hak dan kewajiban anggota yang tidak menghargai
keragaman Ormas (Pasal 33 dan Pasal 34 UU 17/2013);
12. Pemberdayaan Ormas oleh pemerintah (Pasal 40 UU 17/2013) yang menurut
Pemohon berpotensi adanya tindakan korup.

[3.17] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan


konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, terlebih dahulu Mahkamah
mengemukakan hal sebagai berikut:
Hakikat demokrasi pada umumnya (secara universal) memberikan
otonomi yang luas kepada kebebasan manusia atau badan hukum sebagai warga
di dalam suatu negara. Oleh karena itu, demokrasi sangat menghormati serta
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (human dignity). Dari sinilah
hubungan antara hak asasi manusia dan demokrasi sebagai model
penyelenggaran pemerintahan suatu negara tidak dapat dipisahkan. Hak asasi
manusia merupakan anasir dasar yang memberi isi pada demokrasi. Demokrasi
tanpa penghormatan atas hak asasi dan tanpa pemberian otonomi luas kepada
martabat kemanusiaan adalah absurd. Oleh karena harkat kemanusiaan yang
menjadi hakekat demokrasi maka dalam kehidupan politik dan kenegaraan
demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Rakyatlah sesungguhnya yang memiliki kedaulatan dan menjadi sumber
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
119

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kekuasaan. Dalam makna yang demikian, pemerintahan demokrasi adalah


pemerintahan yang memberi peran kunci kepada rakyat sebagai pemilik
kedaulatan. Segala kebijakan pemerintahan ditentukan oleh rakyat, dilaksanakan
oleh rakyat melalui organ kekuasaan yang dibentuk oleh rakyat serta
penyelenggaraan pemerintahan yang selalu diawasi oleh rakyat agar tidak
menyimpang dari kehendak rakyat. Pemerintahan demokrasi memberi peran dan
otonomi luas kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan baik secara
langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan dan pembentukan norma
hukum serta kebijakan dalam pemerintahan negara;
Para pendiri Negara Republik Indonesia telah mengadopsi nilai dan
prinsip demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut dalam
penyelenggaraan negara. Hal tersebut tegas dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945 yang menyatakan, “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Untuk itu, Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan,
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Model pemerintahan yang berdasar
kedaulatan rakyat adalah model pemerintahan demokrasi karena menempatkan
rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dalam rangka menjamin pelaksanaan
pemerintahan demokrasi UUD 1945 menegaskan jaminan dan pengakuan atas
hak-hak asasi manusia yang dirumuskan secara jelas dan tegas dalam Undang-
Undang Dasar itu sendiri. Selain itu, UUD 1945 juga mengatur dengan tegas
bahwa pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara adalah pemerintah
yang dipilih oleh rakyat baik yang dipilih secara langsung maupun tidak langsung
oleh rakyat. Bahkan lebih jauh lagi, UUD 1945 memberi ruang kebebasan kepada
rakyat untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan negara yang
antara lain dengan memberikan jaminan hak dan kebebasan kepada setiap orang
untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, dan berserikat;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
120

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul secara tegas ditentukan


dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian, setiap orang berhak dan bebas
membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan atau pun menjadi pengurus
organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dalam wilayah Negara Republik
Indonesia. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat adalah termasuk
salah satu prinsip negara demokrasi. Namun demikian, menurut UUD 1945, dalam
menjalankan hak kebebasan berserikat dan berkumpul bukan tidak tak terbatas.
Kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab dan kewajiban dalam hubungan
dengan orang lain, masyarakat, bangsa, dan negara. Kebebasan berserikat dan
menyatakan pendapat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi,
namun kebebasan tersebut dapat dibatasi oleh negara melalui ketentuan Undang-
Undang dalam batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh konstitusi, yaitu
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945];
Oleh karena itu, menurut Mahkamah jaminan atas hak asasi manusia
tidak didasarkan pada hak yang bersifat kebebasan individual semata, namun para
perumus Undang-Undang Dasar memilih paradigma bahwa hak asasi manusia
harus ditempatkan dalam hubungannya dengan kewajiban terhadap masyarakat
dan negara, terutama nilai-nilai yang dianut oleh Bangsa Indonesia;
Pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan yang berlaku saat ini
merupakan upaya untuk menjalankan amanat konstitusional bahwa negara harus
memberikan jaminan atas penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan
kebebasan berkumpul dan berserikat warga negara. Pengaturan ini sekaligus
sebagai pembatasan agar kebebasan berserikat yang dimiliki warga negara tidak
melanggar hak dan kebebasan warga negara lain. Di sisi lain, pembentuk Undang-
Undang yang merepresentasikan kekuasaan negara dalam menyusun Undang-
Undang juga tidak boleh semena-mena, terlebih bahwa Undang-Undang yang
disusunnya mengatur mengenai keberadaan dan kebebasan warga negara yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
121

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dijamin dalam konstitusi. Negara juga harus memberi ruang kepada masyarakat
untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan norma-norma yang termuat dalam pasal-pasal yang
dimohonkan pengujian oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, sebagai
berikut:

[3.18] Menimbang bahwa permohonan Pemohon secara umum mendalilkan


bahwa UU 17/2013 secara keseluruhan bertentangan dengan prinsip kebebasan
berserikat yang dijamin oleh UUD 1945, karena telah mengatur urusan Ormas
secara rinci yang seharusnya merupakan wilayah kebebasan rakyat dalam
berkumpul dan berorganisasi sehingga membatasi makna kebebasan berkumpul
dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon
sejumlah norma dalam Undang-Undang a quo mengandung perumusan norma
yang bias dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya sehingga
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh
UUD 1945. Menurut Mahkamah, memang benar banyak norma dalam Undang-
Undang a quo, mengatur urusan Ormas secara rinci. UUD 1945 menjamin hak dan
kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, yang dalam
pelaksanaannya, konstitusi memberikan otoritas kepada negara untuk mengatur
hak kebebasan berkumpul dan berserikat tersebut lebih lanjut dalam Undang-
Undang. Menurut Mahkamah pengaturan dalam Undang-Undang adalah
merupakan pembatasan, tetapi sepanjang pembatasan tersebut tidak eksesif dan
masih dalam rangka dengan maksud semata-mata untuk menghormati hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum maka
pembatasan tersebut dapat dibenarkan. Mahkamah menilai, pengaturan
kebebasan berkumpul dan berserikat yang lebih rinci tidak serta merta
mengakibatkan keseluruhan norma dalam Undang-Undang a quo bertentangan
dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon untuk menyatakan
keseluruhan norma UU 17/2013 bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan
menurut hukum;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
122

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.19 ] Menimbang bahwa walaupun demikian Mahkamah perlu menilai dan


mempertimbangkan permohonan Pemohon yang spesifik mengenai pasal dan
norma tertentu, sebagai berikut:

[3.19.1] Bahwa Pemohon pada pokoknya mempersoalkan prinsip sukarela dalam


pembentukan Ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 33
ayat (1) dan ayat (2) UU 17/2013 karena kesukarelaan tidak menjadi dasar
seseorang masuk ke dalam suatu Ormas. Ada sebagian Ormas yang
mengharuskan calon anggota untuk memberikan kontribusi ke dalam Ormasnya.
Selain itu, adanya persamaan agama tidak terumuskan dalam Pasal 1 angka 1 UU
17/2013, sehingga Ormas yang didirikan berdasarkan persamaan agama menjadi
kehilangan dasar hukum dalam pembentukannya;

Menurut Mahkamah, kebebasan berserikat adalah salah satu hak yang


paling penting dalam negara demokrasi karena kebebasan berserikat merupakan
jantung dari sistem demokrasi. Dengan kebebasan berserikat, warga negara
dapat secara bersama-sama memperjuangkan kepentingannya yang tidak
mungkin atau sulit dicapai secara individu. Selain itu, dengan kebebasan
berserikat di dalamnya juga dijamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk
mendirikan atau bergabung dalam organisasi manapun. Menurut Mahkamah,
pengertian sukarela dalam ketentuan Undang-Undang a quo adalah adanya
jaminan hak dan kebebasan setiap orang untuk mendirikan atau menjadi anggota
Ormas sesuai dengan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan,
kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Adapun
tidak tercantumnya kesamaan agama dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
a quo, tidak berarti masyarakat tidak dapat mendirikan Ormas yang memiliki
kegiatan keagamaan karena aspek kesamaan aspirasi, kesamaan kehendak,
kesamaan kebutuhan, kesamaan kepentingan, kesamaan kegiatan, dan
kesamaan tujuan secara eksplisit mengakomodasi semua jenis organisasi
termasuk Ormas yang berlatar belakang dan berdasar keagamaan seperti
Pemohon (PP Muhammadiyah), sehingga pengertian Ormas dalam Pasal 1 angka
1 UU 17/2013 tidak menghambat Ormas yang didirikan dengan latar belakang
dan dasar keagamaan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo
tidak beralasan menurut hukum;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
123

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.19.2] Pemohon mendalilkan bahwa terdapat pertentangan antara Pasal 4


dengan Pasal 39 UU 17/2013 karena di satu sisi Ormas bersifat nirlaba namun di
sisi lain Ormas diperbolehkan mendirikan badan usaha, sehingga kedua
ketentuan tersebut saling bertentangan dan mengandung ketidakpastian hukum.
Menurut Mahkamah, pada hakikatnya pembentukan Ormas tidak dalam rangka
untuk mencari keuntungan (bersifat nirlaba) sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang a quo. Berbeda dengan perseroan terbatas yang bertujuan profit
atau mencari keuntungan. Namun demikian, tidak berarti Ormas tidak boleh
mendirikan badan usaha yang hasilnya untuk kepentingan Ormas itu sendiri.
Menurut Mahkamah, dibolehkannya Ormas mendirikan badan usaha yang bersifat
mencari keuntungan, justru akan menjadikan Ormas memiliki kemandirian dan
sangat membantu Ormas dalam menjalankan kegiatannya yang bersifat sosial,
budaya maupun keagamaan, sehingga Pasal 4 tidak dapat dipertentangkan
dengan Pasal 39 Undang-Undang a quo. Terlebih lagi Mahkamah juga tidak
menemukan alasan atau argumentasi yang tepat bahwa ada persoalan
konstitusionalitas norma dimaksud;

[3.19.3] Pemohon mendalilkan bahwa perumusan tujuan organisasi


sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 UU 17/2013 adalah sesuatu hal yang
berlebih-lebihan. Perumusan Pasal 5 Undang-Undang a quo, menunjukkan
bahwa tujuan Ormas harus kumulatif sehingga tidak memberikan jaminan dan
perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, tujuan yang termuat dalam Pasal 5 merupakan penjabaran
dari sifat Ormas yang bercirikan sosial dan nirlaba. Persoalannya ketika tujuan
yang dirumuskan dalam pasal a quo, sebagai kumulasi justru akan membuat
Ormas dengan tujuan tertentu akan menjadi kabur dan Ormas kehilangan
identitasnya. Demikian juga, bagi Ormas yang tidak mencantumkan salah satu
tujuan dari seluruh tujuan Ormas yang tercantum dalam Pasal 5 UU 17/2013,
terancam mendapatkan sanksi administrasi sehingga kehilangan legalitasnya
sebagai Ormas. Oleh karena itu, menurut Mahkamah apabila tujuan yang termuat
dalam Pasal 5 UU 17/2013 harus secara kumulatif dipenuhi oleh Ormas maka hal
itu justru bertentangan dengan hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD
1945. Menurut Mahkamah setiap Ormas harus diberikan kebebasan untuk
menentukan tujuannya masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan
dasar negara dan UUD 1945, tanpa memaksakan untuk merumuskan tujuan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
124

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

secara kumulatif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU 17/2013. Agar


tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 tersebut tidak melanggar hak
kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 maka kata “dan” yang terdapat
pada Pasal 5 huruf g UU 17/2013 harus ditambah dengan kata “/atau” agar
tujuan tersebut dapat bersifat alternatif. Dengan demikian, menurut Mahkamah,
selain hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 tidak terlanggar,
tujuan yang termuat dalam Pasal 5 UU 17/2013 juga dapat dipenuhi oleh Ormas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Pasal 5 huruf g UU 17/2013 menjadi
sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini;

[3.19.4] Bahwa Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas pembedaan


Ormas yang lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013. Pemohon
mendalilkan, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan
berserikat karena pembedaan tersebut mengandung pembatasan yang
merupakan wujud pengkerdilan makna kebebasan berserikat. Terhadap dalil
tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan lingkup Ormas dalam
Undang-Undang pada lingkup nasional, provinsi, atau daerah dapat membatasi
pertumbuhan atau perkembangan Ormas yang mungkin saja pada awalnya
merupakan Ormas yang berada di tingkat kabupaten/kota tetapi selanjutnya dapat
menjadi Ormas yang memiliki lingkup nasional. Sebaliknya, Ormas yang semula
merupakan Ormas berlingkup nasional tetapi kemudian kehilangan organisasinya
di daerah maka tidak dapat lagi disebut sebagai Ormas lingkup nasional. Lagi
pula, pembatasan Ormas dengan lingkup tertentu akan membatasi kegiatan
Ormas di luar lingkup keberadaannya yang akan menghambat suatu Ormas untuk
melakukan kegiatan atau usaha bagi kemajuan organisasi atau anggotanya.
Selain itu, pembedaan dan pembatasan lingkup suatu Ormas dapat membatasi
Ormas yang berbadan hukum seperti Yayasan dan Perkumpulan, yang sifatnya
tidak selalu memiliki lingkup kepengurusan dan berjenjang secara nasional yang
tidak dapat dibatasi untuk melakukan kegiatan secara nasional. Mahkamah
menilai, pembedaan lingkup Ormas tersebut dapat mengekang prinsip kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Mahkamah
tidak menemukan alasan yang dibenarkan menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,
untuk melakukan pembatasan demikian. Tidak ada hak dan kebebasan orang lain
yang terhalang maupun tidak ada nilai keadilan karena pertimbangan moral, nilai-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
125

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang terganggu oleh keberadaan
Ormas yang memiliki ketiga lingkup tersebut secara bersamaan, walaupun suatu
Ormas hanya memiliki kepengurusan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun
masalah administrasi, ketika suatu Ormas melakukan aktivitas yang dibiayai oleh
negara di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, maka hal itu persoalan
administrasi yang tidak perlu diatur dalam Undang-Undang. Artinya, pelayanan
terhadap Ormas dalam menjalankan suatu kegiatan dengan menggunakan
anggaran negara, atau pelayanan dalam bentuk pembinaan oleh pemerintah
terhadap suatu Ormas dapat dibatasi oleh pemerintah dengan peraturan yang
lebih rendah sesuai lingkup Ormas yang bersangkutan. Menurut Mahkamah, yang
menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat
mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu
dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan
hukum, telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas
yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun
nasional. Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi
pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan
berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada
instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah
(negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas
terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut
sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban
umum, atau melakukan pelanggaran hukum;

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil permohonan Pemohon


mengenai Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU 17/2013 beralasan
menurut hukum;

[3.19.5] Bahwa walaupun Pemohon tidak mengajukan permohonan pengujian


konstitusionalitas Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18 UU 17/2013, tetapi ketiga
pasal tersebut terkait lingkup Ormas, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam
paragraf [3.19.4] di atas, maka ketentuan mengenai pendaftaran Ormas yang
dikaitkan dengan lingkup suatu Ormas harus dinyatakan inkonstitusioal pula.
Ormas yang menghendaki untuk mendaftarkan suatu Ormas yang tidak berbadan
hukum, dapat saja melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan
Ormas yang bersangkutan. Adapun tata cara pendaftaran Ormas tersebut dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
126

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagaimana


yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang a quo;

[3.19.6] Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal


34 ayat (1) UU 17/2013 yang menentukan, “Setiap anggota Ormas memiliki hak
dan kewajiban yang sama”, karena bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C
ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon,
ketentuan a quo memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk “ikut
campur” terlalu berlebihan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Ketentuan tersebut terlampau jauh mengatur hal-hal yang sesungguhnya menjadi
kewenangan otonomi masyarakat dalam menentukan aturan internal
organisasinya;

Menurut Mahkamah, hak dan kewajiban anggota suatu Ormas adalah


masalah internal dan wilayah otonom dari masing-masing Ormas. Merupakan hak
otonomi suatu Ormas sesuai dengan karakteristiknya untuk menentukan hak
kewajiban anggotanya yang dapat saja berbeda antara satu Ormas dengan
Ormas yang lainnya. Negara tidak dapat mencampuri dan tidak dapat
memaksakan suatu ormas mewajibkan anggotanya memiliki hak dan kewajiban
yang sama, karena akan membelenggu kebebasan masyarakat dalam mengatur
urusan organisasi yang menjadi wilayah otonomi dari masyarakat. Oleh karena
itu, menurut Mahkamah pengaturan yang demikian adalah bentuk pembatasan
yang melanggar prinsip kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 dan
tidak memiliki alasan konstitusional yang dimungkinkan berdasarkan ketentuan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa pembatasan dapat
dibenarkan sepanjang dilakukan dengan maksud “untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil” dengan ukuran-ukuran pembatasan yang harus memenuhi
kesesuaian berdasarkan (i) pertimbangan moral, (ii) nilai-nilai agama, (iii)
keamanan, dan (iv) ketertiban umum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil
Pemohon mengenai Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang a quo adalah beralasan
menurut hukum;

[3.19.7] Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal


40 UU 17/2013 mengenai posisi Pemerintah dalam melakukan pemberdayaan
terhadap Ormas karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berkumpul dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
127

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

berserikat serta hak dan kebebasan untuk memperjuangkan hak secara kolektif
untuk memajukan masyarakat dan negaranya;

Menurut Mahkamah, hakikat Ormas adalah organisasi yang tumbuh dan


berkembang dari masyarakat yang memiliki kesamaan aspirasi dan tujuan. Dalam
kerangka sistem pemerintahan demokrasi, kebebasan rakyat untuk berkumpul
dan berserikat adalah salah satu hak asasi yang dijamin oleh negara. Negara
tidak boleh terlalu jauh mencampuri hak dan kebebasan ini kecuali dalam batas-
batas yang diperkenankan oleh konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal
28J ayat (2) UUD 1945. Terhadap ketentuan a quo yang memberi peran kepada
pemerintah untuk melakukan pemberdayaan terhadap Ormas dengan melakukan
fasilitasi kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, serta peningkatan kualitas
sumber daya manusia, menurut Mahkamah, walaupun tujuan pengaturan tersebut
baik dan positif bagi pengembangan Ormas, tetapi pemberian peran tersebut
bertentangan dengan hakikat Ormas sebagai organisasi masyarakat yang mandiri
dan otonom. Pemberian peran yang demikian itu akan sangat potensial
mengintervensi serta mengganggu kebebasan dan kemandirian Ormas sebagai
organisasi yang mandiri. Menurut Mahkamah, kemajuan dan kemunduran suatu
Ormas adalah urusan internal yang menjadi kebebasan dan tanggung jawab
Ormas yang bersangkutan. Apabila pada akhirnya Ormas tidak mampu
meneruskan keberlangsungan organisasinya maka hal demikian merupakan hal
yang alamiah dan wajar. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa negara tidak
boleh memberi bantuan kepada Ormas baik berupa dana maupun dukungan lain
untuk memajukan suatu Ormas. Pemberian bantuan yang demikian wajar saja,
sepanjang Ormas yang bersangkutan memerlukannya dan secara sukarela
menerimanya. Artinya bentuk bantuan apa pun dari pemerintah, sangat
tergantung kepada suatu Ormas untuk menerima bantuan negara atau tidak,
tetapi negara tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada Ormas melalui
wadah pemberdayaan. Lain halnya jika kegiatan dan aktivitas Ormas terbukti
mengancam keamanan dan ketertiban umum, mengganggu hak kebebasan orang
lain, serta melanggar nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama, negara berkewajiban
dalam fungsinya menjamin ketertiban umum dapat melakukan penegakan hukum,
bahkan dapat menghentikan kegiatan suatu Ormas. Menurut Mahkamah, campur
tangan negara dalam pemberdayaan Ormas akan mengancam kreativitas
masyarakat dalam mengekspresikan hak kebebasan berkumpul dan berserikat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
128

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga dalil Pemohon mengenai Pasal 40
Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum;

[3.19.8] Pemohon mendalilkan mekanisme penyelesaian sengketa internal


Ormas melalui pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU 17/2013
bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mengebiri hak asasi manusia untuk
berserikat dan berkumpul. Hal itu juga bermakna tidak memberikan perlindungan
kepada segenap bangsa Indonesia. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah,
sesuai dengan argumentasi Pemohon, Pemohon tidak menjelaskan secara rinci
dan lengkap apa dan bagaimana pertentangan antara norma a quo dengan UUD
1945. Walaupun demikian, menurut Mahkamah, pengaturan penyelesaian
sengketa dalam Undang-Undang tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas
norma, karena mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah hal
yang wajar apabila seluruh mekanisme penyelesaian yang lain di luar pengadilan
tidak menemukan titik temu. Pengaturan hal yang demikian dalam norma undang-
undang hanya konstatasi dari kenyataan dalam kelaziman praktik yang tidak
bertentangan dengan konstitusi. Demikian pula, mediasi yang dilakukan oleh
pemerintah dalam menyelesaikan sengketa suatu Ormas tidak serta merta
merupakan intervensi negara terhadap Ormas [Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) UU
17/2013], sepanjang mediasi tersebut dilakukan atas permintaan dan
kesepakatan para pihak di internal Ormas untuk menyelesaikan perselisihan.
Sebaliknya, negara dengan ketentuan tersebut tidak dapat dimaknai dapat secara
langsung ikut campur dan terlibat dalam perselisihan internal suatu Ormas, karena
adanya perselisihan internal suatu Ormas atau hanya karena permintaan salah
satu pihak yang berselisih dalam Ormas. Oleh karena itu, negara harus benar-
benar menjadi penengah yang netral dan tidak memihak dalam penyelesaian
perselisihan internal. Pengaturan yang termuat dalam Pasal 57 ayat (2) dan ayat
(3) serta Pasal 58 UU 17/2013 justru diperlukan untuk memberi kepastian hukum
dalam penyelesaian sengketa suatu Ormas, sehingga menurut Mahkamah, dalil
Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;

[3.19.9] Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU
17/2013 merupakan ketentuan yang multitafsir karena di satu sisi perbuatan yang
demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan.
Oleh karena itu, menurut Pemohon pasal tersebut bertentangan dengan Pasal

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
129

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap larangan penggunaan lambang negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013, Mahkamah
perlu mengutip Putusan Nomor 4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013 yang
antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
“... Mahkamah berpendapat larangan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 huruf d Undang-Undang a quo tidak tepat. Apalagi larangan tersebut
diikuti dengan ancaman pidana, yang seharusnya ketentuan mengenai perbuatan
yang diancam pidana harus memenuhi rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex
certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta);
Terkait penggunaan lambang negara, hal yang tidak boleh dilupakan adalah
keberadaan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya”. Mahkamah berpendapat bahwa kata “menjamin” dalam Pasal 32
ayat (1) UUD 1945 harus diartikan sebagai kewajiban negara yang di sisi lain
merupakan hak warga negara atau masyarakat untuk “memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Dengan mengingat bahwa Pancasila,
yang dilambangkan dalam bentuk Garuda Pancasila, adalah seperangkat sistem
nilai (budaya) yang menjadi milik bersama atau kebudayaan bersama seluruh
warga negara Indonesia maka menjadi hak warga negara untuk melaksanakan
nilai-nilainya termasuk di dalamnya menggunakan lambang negara. Apalagi jika
mengingat bahwa Pancasila sebagai sistem nilai adalah terlahir atau merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia;
[3.19] Menimbang bahwa sesuai pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat
pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan
ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara.
Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada
warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam
derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan
dengan maksud dibentuknya Undang-Undang a quo;

Oleh karena ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013


mengandung materi muatan yang sama dengan pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013, yaitu
mengenai penggunaan lambang negara maka pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi
pertimbangan hukum pula dalam permohonan a quo khususnya Pasal 59 ayat (1)
huruf a UU 17/2013, sehingga dalil Pemohon sepanjang Pasal 59 ayat (1) huruf a
UU 17/2013 beralasan menurut hukum;

Adapun permohonan Pemohon mengenai Pasal 59 ayat (1) huruf b,


huruf c, dan huruf d, serta ayat (3) huruf a UU 17/2013, menurut Mahkamah tidak
tepat karena larangan demikian adalah pembatasan yang dapat dibenarkan
berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu dalam rangka untuk menjamin
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
130

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang Pasal 59 ayat (1) huruf b dan huruf d
serta ayat (3) huruf a UU 17/2013 tidak beralasan menurut hukum;

[3.19.10] Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21,
Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal
38 UU 17/2013 bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut,
Mahkamah tidak menemukan alasan yang diajukan Pemohon tentang adanya
pertentangan antara norma dalam pasal-pasal a quo dengan UUD 1945, karena
Pemohon hanya secara umum dan tidak menguraikan secara spesifik alasan
bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu,
menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo kabur atau tidak jelas;

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas,


menurut Mahkamah, permohonan Pemohon beralasan hukum untuk sebagian;

4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan


permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

[4.4] Permohonan Pemohon mengenai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21,
Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36,
serta Pasal 38 UU 17/2013 kabur atau tidak jelas;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
131

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-


Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian:

1.1. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tujuan
dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif;

1.2. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai bahwa tujuan dimaksud bersifat kumulatif dan/atau alternatif;

1.3. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) selengkapnya menjadi:
“Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
132

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan


toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan/atau
h. mewujudkan tujuan negara”.

1.4. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

1.5. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Permohonan Pemohon mengenai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal
30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal
38 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) tidak
dapat diterima;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia


sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan


Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief
Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar,
Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-masing sebagai
Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh dua, bulan Oktober, tahun dua

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
133

SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI


Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan
Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.31 WIB,
oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman,
Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir dan Saiful Anwar
sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Hamdan Zoelva

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Arief Hidayat Ahmad Fadlil Sumadi

ttd. ttd.

Maria Farida Indrati Muhammad Alim

ttd. ttd.

Anwar Usman Patrialis Akbar

ttd. ttd.

Wahiduddin Adams Aswanto

PANITERA PENGGANTI,

ttd. ttd.

Cholidin Nasir Saiful Anwar

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
PUTUSAN
Nomor 3/PUU-XII/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Yayasan FITRA Sumatera Utara, yang diwakili


oleh Irvan Hamdani HSB., S.Kom.
Alamat : Jalan Arief Rahman Hakim, Gg. Sukmawati Nomor
1A, Medan 20217

Sebagai-----------------------------------------------------------------Pemohon I;

2. Nama : Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW),


yang diwakili oleh Danang Widoyoko, ST.
Alamat : Jalan Kalibata Timur IV/D Nomor 6, Jakarta Selatan

Sebagai-----------------------------------------------------------------Pemohon III;

3. Nama : Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif Dan


Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA),
yang diwakili oleh Abdi Suryaningati
Alamat : Jalan Pedati Raya, Nomor 20, Rawa Bunga,
Jatinegara, Jakarta Timur
Sebagai----------------------------------------------------------------Pemohon IV;

4. Nama : Ir. H. Said Iqbal

Pekerjaan : Karyawan Swasta dan Presiden Konfederasi Serikat


Pekerja Indonesia (KSPI)
Alamat : Jalan Lestari RT/RW. 009/003, Kelurahan Kalisari,
Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur
Sebagai-----------------------------------------------------------------Pemohon V;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

5. Nama : M. Choirul Anam, SH.

Pekerjaan : Wakil Direktur Human Rights Working Group


(HRWG)
Alamat : Jalan Mahoni Blok CO, Nomor 02, BDB 2, RT/RW
006/015, Kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong,
Bogor
Sebagai----------------------------------------------------------------Pemohon VI;

6. Nama : Poengky Indarti, SH., LL.M.

Pekerjaan : Direktur Eksekutif Imparsial


Alamat : Perumahan Bumi Sentosa, Blok D8, Nomor 10,
RT/RW 007/009, Kelurahan Nanggewer Mekar,
Kecamatan Cibinong, Bogor
Sebagai---------------------------------------------------------------Pemohon VII;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 November 2013,
memberi kuasa kepada Wahyudi Djafar, S.H., Al Araf, S.H., M.T., Indriaswati D.
Saptaningrum, S.H., LL.M., Kristina Virri, S.H., Bahrain, S.H., Zainal Abidin,
S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Ardimanto Putra, S.H.,
Ridwan Bakar, S.H., Jeremiah U.H. Limbong, S.H., Emerson Junto, S.H.,
Donal Fariz, S.H., Lola E. Kaban, S.H., Abraham Utama, S.H., Erwin Natosmal
Oemar, S.H., Refki Saputra, S.H., Moh. Ainul Yaqin, S.H.I., Julius Ibrani, S.H.,
Wahyu Nandang Herawan, S.H., Dina Ardiyanti, S.H., M.A., M. Fandrian
Hadistianto, S.H., Ari Lazuardi, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Eddy
H. Gurning, S.H., dan Adiani Viviana, S.H., para advokat/pengacara
publik/asisten advokat/asisten pengacara publik, yang tergabung dalam Tim
Advokasi untuk Kebebasan Berserikat, yang beralamat di Jalan Siaga II Nomor 31
Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;


Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon;
Mendengar keterangan saksi para Pemohon;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;


Membaca kesimpulan para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan


bertanggal 10 Desember 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 20
Desember 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
17/PAN.MK/2014 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan
Nomor 3/PUU-XII/2014 pada tanggal 9 Januari 2014, yang telah diperbaiki dan
diterima dalam persidangan pada tanggal 28 Januari 2014, pada pokoknya
menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


1. Bahwa transisi politik dari otoritarian ke demokrasi yang berujung pada
amandemen UUD 1945, salah satunya telah menghasilkan perubahan
terhadap Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, MK berwenang melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, yang juga didasarkan pada Pasal 10
ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal
konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat Undang-
Undang yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi
(inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya
dengan membatalkan keberadaan Undang-Undang tersebut secara
menyeluruh atau pun perpasalnya;
5. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-
Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah
Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal Undang-Undang tersebut
merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang
memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang
memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula
dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
6. Bahwa ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8; Pasal 10; Pasal 11;
Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6; Pasal
57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf e UU
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menurut para
Pemohon telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan
penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang
pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya para
Pemohon, sehingga merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon;
7. Bahwa oleh karena itu melalui permohonan ini para Pemohon bermaksud
mengajukan pengujian materiil Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal
10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan
huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
terhadap UUD 1945;
8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena permohonan pengujian
ini merupakan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili


permohonan pengujian materiil Undang-Undang ini;

B. Kedudukan Hukum Para Pemohon


9.Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif,
yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara
hukum;
10. Bahwa Mahkamah Konstitusi, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari
“constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah
Konstitusi merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi
manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara.
Dengan kesadaran inilah para Pemohon kemudian memutuskan untuk
mengajukan permohonan uji materiil Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8;
Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal
1 angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b,
huruf c dan huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan terhadap UUD 1945;
11. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi juncto Pasal
3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan bahwa:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;


b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara.
12. Bahwa di dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dinyatakan ”Yang dimaksud dengan hak konstitusional
adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

13. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005


dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya,
Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yakni
sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
14. Bahwa selain lima syarat untuk menjadi Pemohon dalam perkara pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang ditentukan di
dalamPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 Perkara
Nomor 11/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(halaman 59), juga menyebutkan sejumlah persyaratan lain untuk menjadi
Pemohon, ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: “Dari
praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak
(tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan
NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan
publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain,
oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan
permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang
terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. dalam Judicial Review in
Perspective, 1995)”;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pemohon Badan Hukum Privat:


15. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV adalah Pemohon yang
merupakan Badan Hukum Privat, yang memiliki legal standing dan
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan ini dengan
menggunakan prosedur organization standing (legal standing);
16. Bahwa Pemohon I s.d Pemohon IV memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang karena terdapat
keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya UU Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sehingga menyebabkan hak
konstitusional para Pemohon dirugikan;
17. Bahwa doktrin organization standing atau legal standing merupakan sebuah
prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga
telah dianut dalam berbagai peraturan perundangan di Indonesia, seperti UU
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan;
18. Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, termasuk dalam proses peradilan
di Mahkamah Konstitusi legal standing telah diterima dan diakui menjadi
mekanisme dalam upaya pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan
antara lain:
a. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
b. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang
Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap
UUD 1945;
c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang
Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945;
d. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-X/2012 tentang
Pengujian UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara terhadap
UUD 1945.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

19. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah


organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan
tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut;
b. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

20. Bahwa Pemohon I s.d Pemohon IV adalah Organisasi Non Pemerintah atau
Lembaga Swadaya Masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara
swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang
didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat mendorong transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam
pemberantarasan korupsi, memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta
menumbuhkembangkan partisipasi dan insiatif masyarakat dalam
pembangunan;
21. Bahwa tugas dan peranan Pemohon I s.d Pemohon IV dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan dalam rangka mendorong transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam pemberantarasan korupsi,
memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta menumbuhkembangkan
partisipasi dan insiatif masyarakat dalam pembangunan di Indonesia telah
secara terus-menerus mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk
merperjuangkan berbagai tujuan tersebut, serta cita-cita bangsa sebagaimana
termaktub di dalam Mukadimah UUD 1945;
22. Bahwa tugas dan peranan Pemohon I s.d Pemohon IV dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan tersebut di atas, dalam hal ini mendayagunakan
lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin
anggota masyarakat dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam pemberantarasan korupsi,
memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta menumbuhkembangkan
partisipasi dan insiatif masyarakat dalam pembangunan, tanpa membedakan
jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dan lain-lain. Hal ini tercermin di
dalam Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian para Pemohon (bukti P-3);
23. Bahwa dasar dan kepentingan hukum Pemohon I s.d Pemohon IV dalam
mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan
huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dapat
dibuktikan dengan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga para
Pemohon. Dalam Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga para
Pemohon disebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi,
dan para Pemohon juga telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
Anggaran Dasar-nya:
a. Dalam Pasal 2 Anggaran Dasar dari Pemohon I, disebutkan bahwa
Yayasan FITRA Sumut mempunyai maksud dan tujuan di bidang: a. sosial;
b. kemanusiaan; dan c. keagamaan;
b. Dalam Pasal 5 Anggaran Dasar dari Pemohon II, disebutkan bahwa YLBHI
mempunyai maksud dan tujuan adalah memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma, memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai
Negara hukum dan martabat serta hak asasi manusia, berperan aktif dalam
proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum
sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan deklarasi umum hak-hak asasi
manusia, dan memajukan dan mengembangkan program-program yang
mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum;
c. Dalam Pasal 6 Angaran Dasar dari Pemohon III, disebutkan bahwa
Perkumpulan ICW memiliki visi untuk menguatkan posisi tawar rakyat yang
teroganisir dalam mengontrol negara dan turut serta dalam pengambilan
keputusan serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis,
bebas korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, dan gender. Sementara
misinya sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 Anggaran Dasar, adalah
bersama rakyat dalam: (1) mengintegrasikan agenda antikorupsi untuk
memperkuat partisipasi rakyat yang terorganisir dalam proses pengambilan
dan pengawasan kebijakan publik; (2) memberdayakan aktor-aktor
potensial untuk mewujudkan sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi
yang bersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial dan gender;
d. Dalam Pasal 2 Anggaran Dasar dari Pemohon IV, disebutkan bahwa
maksdud dan tujuan pendirian adalah bertujuan di bidang sosial dan
kemanusiaan.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

24. Bahwa dalam mencapai maksud dan tujuannya Pemohon I s.d Pemohon IV
telah melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus, sebagaimana halnya telah menjadi pengetahuan umum (notoire
feiten). Adapun, bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh para Pemohon
adalah sebagai berikut:
a. Turut aktif dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara, termasuk
dalam pembentukan Undang-Undang a quo, dengan cara memberikan
sejumlah masukan kritis, serta hasil studi, dalam rangka memastikan bahwa
setiap kebijakan yang dihasilkan selaras dengan kewajiban negara untuk
memajukan, memenuhi dan melindungi hak-hak asasi manusia setiap
warga negara;
b. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma terutama kepada
masyarakat miskin dan marginal yang harus berhadapan dengan hukum;
c. Terus-menerus melakukan kampanye publik guna mendesakkan reformasi
hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi;
d. Secara aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan
partisipasi dan prakarsa rakyat dalam rangka pemberdayaan masyarakat
dalam bidang sosial;
e. Menerbitkan berbagai macam buku maupun bentuk-bentuk publikasi lainnya
dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses
pengambilan kebijakan negara maupun dalam penyelenggaraan negara
secara umum.
25. Bahwa upaya-upaya dan serangkain kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon
I s.d Pemohon IV adalah dalam rangka melaksanakan hak konstitusional
yang dimilikinya, guna memperjuangkan haknya secara bersama untuk
kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;
26. Bahwa selain jaminan perlindungan konstitusional bagi ruang partisipasi
masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara, penegasan serupa
juga mengemuka di dalam sejumla peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Nepotisme, dengan tegas menyebutkan bahwa peran serta masyarakat


sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan yang bersih;
27. Bahwa ketentuan serupa juga ditegaskan di dalam Pasal 15 UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatakan bahwa setiap
orang, baik secara pribadi maupun kolektif berhak untuk mengembangkan
dirinya dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara. Bahkan
di dalam Pasal 16 UU Hak Asasi Manusia disebutkan secara khusus tentang
hak individu atau kelompok untuk mendirikan suatu organisasi untuk tujuan
sosial dan kebajikan, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran hak asasi manusia;
28. Bahwa persoalan yang menjadi objek dari UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang diujikan materiil oleh para Pemohon
merupakan persoalan setiap setiap warga negara karena sifat universalnya,
yang bukan hanya urusan Pemohon I s.d Pemohon IV, terutama menyangkut
keberlanjutan serta kepastian ruang partisipisasi masyarakat dalam
pembangunan bangsa dan negara;
29. Bahwa lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang a quo,
merupakan wujud kepedulian dan upaya Pemohon I s.d Pemohon IV untuk
terus mendorong partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam pembangunan,
termasuk dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia,
pemberantasan korupsi, mapun penyelenggarakan pemerintahan negara
yang bersih, transparan dan akuntabel;
30. Bahwa Pemohon I khususnya, telah mengalami kerugian konstitusional yang
nyata dan aktual akibat berlakunya Undang-Undang a quo. Kerugian ini
terjadi saat Pemohon I mengajukan permohonan informasi kepada Dinas
Informasi dan Pengolahan Data Elektronik Kabupeten Karo, Sumatera Utara.
Permohonan informasi ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat
sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan, juga merupakan
pelaksanaan dari hak untuk memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh
UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Memperoleh
InfOrmasi Publik;
31. Bahwa Dinas Informasi dan Pengolahan Data Elektronik Kabupaten Karo
menolak untuk memberikan informasi sebagaimana diajukan oleh Pemohon I
dengan alasan bahwa Pemohon I belum terdaftar di Kantor Kesbanglinmas

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Kabupaten Karo. Merujuk pada Undang-Undang a quo, Dinas Informasi dan


Pengolahan Data Elektronik Kabupaten Karo menyatakan bahwa Pemohon I
belum absah, sehingga SKPD di Kabupaten Karo tidak dapat memenuhi
permintaan informasinya (bukti P-4);
32. Bahwa kejadian yang dialami oleh Pemohon I jelas memperlihatkan adanya
ketidakpastian hukum dari Undang-Undang a quo, sehingga mengakibatkan
terjadinya kerugian konstitusional Pemohon I. Mengapa menimbulkan
ketidakpastian hukum? Bahwa Pemohon I berdasarkan pada UU Nomor 28
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, nyata-nyata telah terdaftar sebagai badan hukum Yayasan pada
Kementerian Hukum dan HAM dengan Nomor AHU-8315.AH.01.04 Tahun
2012, tertanggal 26 Desember 2012 (vide bukti P-3);
33. Bahwa oleh karena Pemohon I telah terdaftar sebagaimana diatur oleh UU
Yayasan, maka merujuk pada ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang
a quo, maka Pemohon I tidak perlu melakukan pendaftaran kembali pada
organisasi mana pun, termasuk Kantor Kesbangpollinmas Kabupaten Karo.
Ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang a quo menyebutkan, “Dalam hal
telah memperoleh status badan hukum, Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memerlukan surat keterangan terdaftar”;
34. Bahwa dengan terjadinya peristiwa tersebut, terlihat sangat nyata dan aktual
kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon I akibat dari berlakunya
Undang-Undang a quo, yang menciptakan situasi ketidakpastian hukum
[Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945], sehingga menghambat
partisipasi Pemohon I dalam pembangunan [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945],
serta dalam menjalankan hak asasinya (Pasal 28F UUD 1945). Bahwa
peristiwa serupa tidak hanya dialami oleh Pemohon I, tetapi juga dialami oleh
organisasi serupa di tempat-tempat lain di Indonesia, setelah berlakunya
Undang-Undang a quo. Oleh karena itu, Pemohon I mempunyai hubungan
causal-verband dengan berlakunya Undang-Undang a quo, dan memiliki
legal standing untuk mewakili kepentingan publik, khususnya badan hukum
serupa, untuk mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang a quo;
35. Bahwa norma-norma di dalam Undang-Undang a quo telah mengakibatkan
kerugian konstitusional bagi Pemohon II, di dalam upaya memajukan
pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum dan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

martabat serta hak asasi manusia, juga upayanya untuk berperan aktif dalam
proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum
sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Terbentuknya rumusan pasal-pasal
dalam Undang-Undang a quo, lebih jauh telah berimplikasi pada kegagalan
dari tujuan organisasi yang hendak dicapai oleh Pemohon II (vide bukti P-3);
36. Bahwa terhadap Pemohon III, berlakunya Undang-Undang a quo juga telah
menghambat upaya menguatkan posisi tawar rakyat yang teroganisir dalam
mengontrol negara dan turut serta dalam pengambilan keputusan serta
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas korupsi,
berkeadilan ekonomi, sosial, dan gender. Jaminan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan (UU Nomor 28 Tahun 1999) bagi seluruh
kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemohon II dalam rangka mencapai
tujuannya maupun maksud yang hendak dicapai oleh UU Nomor 28 Tahun
1999, potensila digagalkan oleh lahirnya Undang-Undang a quo, yang
menciptakan situasi ketidakpastian hukum;
37. Bahwa pembatasan dan rezim pengaturan tunggal terhadap organisasi
masyarakat sipil yang diatur oleh Undang-Undang a quo, dengan berbagai
kerumitannya, telah berakibat pada dirugikannya hak-hak konstitusional
Pemohon IV. Kerugian ini khususnya terjadi dikarenakan lahirnya Undang-
Undang a quo sangat potensial menggagalkan upaya-upaya Pemohon IV di
dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan
kebijakan negara maupun dalam penyelenggaraan negara secara umum.
Dalam rangka upaya tersebut, Pemohon IV berupaya untuk
menumbuhkembangkan berbagai macam organisasi masyarakat sipil,
dengan beragam bentuk dan aktivitasnya. Sebaliknya, berlakunya Undang-
Undang a quo, malah berupaya untuk membatasi upaya itu semua, yang
diakibatkan oleh berbagai kerumitan aturan pendirian organisasi;
38. Bahwa secara umum berlakunya Undang-Undang a quo juga telah
mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional Pemohon I s.d. Pemohon
IV. Lahirnya Undang-Undang a quo nyata-nyata atau setidak-tidaknya
potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I s.d. Pemohon IV
untuk berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara,
sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, maupun peraturan
perundang-undangan lainnya. Hal ini terjadi sebagai akibat: (i) Undang-

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Undang a quo didesain untuk menghambat pelaksanaan hak atas kebebasan


berserikat; (ii) Undang-Undang a quo menciptakan situasi ketidakpastian
hukum dalam pengaturan organisasi masyarakat sipil;
39. Bahwa materi rumusan atau muatan dari Undang-Undang a quo telah
menghambat atau bahkan berpotensi menggagalkan seluruh upaya dan
usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Pemohon I s.d. Pemohon IV dalam
rangka mendorong partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam pembangunan,
peran serta dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, serta
partisipasi aktif masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan memastikan
penyelenggaraan negara yang bersih, transaparan dan akuntabel;
40. Bahwa dengan demikian, adanya Undang-Undang a quo secara konkrit dan
faktual telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I s.d. Pemohon IV.
Berlakunya Undang-Undang a quo, baik secara langsung maupun tidak
langsung, telah merugikan berbagai macam usaha yang telah dilakukan
secara terus-menerus dalam rangka menjalankan tugas dan peranan dari
para Pemohon, untuk berperan dalam pembangunan, pemajuan dan
perlindungan HAM, pemberantasan korupsi, serta upaya meningkatkan
partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan negara;

Pemohon Perorangan Warga Negara Indonesia

41. Bahwa Pemohon V merupakan individu warga negara Indonesia (bukti P-5),
yang saat ini menjabat sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), yang aktif memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan
buruh di Indonesia, melalui wadah serikat/organisasi buruh. Bahwa
keberadaan serikat buruh, selain dilindungi oleh UUD 1945, juga dijamin oleh
sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU Ketenagakerjaan dan
UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah
disahkan Indonesia dalam Undang-Undang nasionalnya;
42. Bahwa lahirnya Undang-Undang a quo nyata-nyata atau setidak-tidaknya
berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon V, dalam rangka
memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan buruh melalui wadah organisasi
buruh, dikarenakan munculnya Undang-Undang a quo baik secara langsung

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

maupun tidak langsung telah menghambat hidup dan berkembangnya


organisasi buruh sebagai ruang perjuangan buruh;
43. Bahwa Pemohon VI adalah perorangan warga negara Indonesia (vide bukti
P-5), yang bekerja sebagai Wakil Direktur dari Human Rights Working Group
(HRWG), sebuah organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang aktif
mendorong pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak
atas kebebasan berserikat dan berorganisasi. Bahwa Pemohon VI juga aktif
melakukan penyadaran publik dan terlibat secara terus-menerus dalam
berbagai proses pengambilan kebijakan publik, melalui beragam aktifitas.
Berlakunya Undang-Undang a quo, nyata-nyata atau potensial menghambat
atau bahkan menggagalkan usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemohon VI;
44. Bahwa Pemohon VII merupakan individu warga negara Indonesia (vide
bukti P-5), yang bekerja sebagai Direktur Eksekutif Imparsial, sebuah
organisasi hak asasi manusia di Indonesia yang aktif melakukan pemantuan
pelaksanaan HAM di Indonesia dalam rangka pemajuan dan perlindungan
hak asasi manusia. Bahwa Pemohon VI juga aktif melakukan penyadaran
publik dan terlibat secara terus-menerus dalam berbagai proses pengambilan
kebijakan publik, melalui beragam aktivitas di tempat bekerjanya. Berlakunya
Undang-Undang a quo, nyata-nyata atau setidaknya berpotensi menghambat
atau bahkan menggagalkan segala upaya yang telah dilakukan oleh
Pemohon VII;
45. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara jelas terlihat bahwa Pemohon V
s.d. Pemohon Pemohon VII adalah individu-individu warga negara yang
concern dengan kepentingan publik dan peran serta masyarakat dalam
pembangunan, khususnya dalam upaya pemenuhan hak-hak dan
kesejahteraan buruh yang diperjuangan melalui serikat buruh, serta upaya
pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas
kebebasan berserikat. Para Pemohon merasa dirugikan hak-hak
konstitusionalnya dengan adanya rumusan pasal, ayat dan frasa dari
Undang-Undang a quo, karena tidak sejalan dengan jaminan hak untuk
berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, serta berseberangan
dengan jaminan hak atas kebebasan berserikat, yang bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
16
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

46. Bahwa selain itu, Pemohon V s.d. Pemohon VII juga merupakan pembayar
pajak (tax payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) (vide bukti P-5). Bahwa Pemohon V s.d. Pemohon VII sebagai tax
payer menyatakan kepentingan konstitusionalnya telah terlanggar dengan
adanya Undang-Undang a quo, karena menciptakan kondisi ketidakpastian
hukum, serta menghambat pemenuhan hak berpartisipasi dalam
pembangunan dan hak atas kebebasan berserikat. Dengan demikian, syarat
legal standing seperti disebutkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-
VIII/2009 terpenuhi;
47. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan para Pemohon telah
memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 51 huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi dan sejumlah putusan Mahkamah
Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk
menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Karenanya, jelas pula keseluruhan para Pemohon memiliki hak
dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan
permohonan pengujian materiil Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8; Pasal
10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c
dan huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
terhadap UUD 1945;

C. Pokok Perkara

C.1. Ruang Lingkup Pasal yang Diuji

Ketentuan Rumusan
Pasal 1 Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah
angka 1 organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara
sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Indonesia yang berdasarkan Pancasila.


Pasal 1 Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
angka 6 pemerintahan di bidang dalam negeri.
Pasal 5 Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan
budaya yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan
toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.
Pasal 8 Ormas memiliki lingkup:
a. nasional;
b. provinsi; atau
c. kabupaten/kota.
Pasal 10 (1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. berbasis anggota; atau
b. tidak berbasis anggota.
Pasal 11 (1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) huruf a dapat berbentuk:
a. perkumpulan; atau
b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a didirikan dengan berbasis anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b didirikan dengan tidak berbasis anggota.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 23 Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf


a memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Pasal 29 Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah
ayat (1) dan mufakat.
Pasal 42 Sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ayat (2) dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait yang
dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
Pasal 57 (2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi
atas permintaan para pihak yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 59 (2) Ormas dilarang:
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang
penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

C.2. Dasar Konstitusional yang Digunakan

Ketentuan
Materi
UUD 1945
Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan Undang-undang.
Pasal 28C ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

perlakuan yang sama di hadapan hukum.


Pasal 28E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat.

C.3. Argumentasi Permohonan

Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat
(2) dan ayat (3) UU Ormas telah menyempitkan jaminan perlindungan
hak atas kebebasan berserikat, sehingga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945

48. Bahwa kebebasan berserikat dan berorganisasi adalah bagian dari hak
konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi,
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
49. Bahwa selain jaminan di dalam pasal-pasal konstitusi tersebut, penegasan
serupa juga mengemuka di dalam Pasal 24 UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan:
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk
maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk
berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan
negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan dan pemajuan
hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
50. Bahwa kebebasan berserikat juga merupakan salah satu hak fundamental
yang menjadi perhatian seluruh umat manusia di dunia, yang kemudian
melahirkan suatu komitmen di dalam Pasal 20 Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia 1948, yang menyatakan: (1) Setiap orang mempunyai hak atas
kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan; (2) Tidak seorang pun
boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Komitmen tersebut
tentunya sejalan dengan pikiran para pembentuk UUD 1945, yang
terejawantahkan dengan lahirnya ketentuan Pasal 28 UUD 1945;
51. Bahwa sebagai bagian dari komunitas bangsa-bangsa yang ingin berturut
serta dalam pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, Indonesia juga

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, melalui


UU Nomor 12 Tahun 2005, yang di dalam Pasal 22, secara detail mengatur:
(1) Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang
lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya.
(2) Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang
telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan
publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau
perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. Pasal ini tidak
boleh mencegah diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota
angkatan bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini.
(3) Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang memberikan kewenangan
kepada Negara Pihak Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun
1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak
Berserikat untuk mengambil tindakan legislatif atau menerapkan hukum
sedemikian rupa, sehingga dapat mengurangi jaminan-jaminan yang
diberikan dalam konvensi tersebut.
52. Bahwa dalam leksikon hukum internasional hak asasi manusia, khususnya
merujuk pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948 dan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, hak atas kebebasan berserikat
merupakan salah satu hak yang tidak boleh diintervensi, baik oleh negara
maupun pihak lain, mengingat pentingnya hak bebas berserikat bagi ada dan
berfungsinya demokrasi. Melalui sebuah serikat, dalam bentuk organisasi apa
pun kepentingan politik individu akan lebih bisa diperjuangkan. Artinya selain
bersifat individual, hak atas kebebasan berserikat juga bersifat kolektif,
mengingat kepentingan yang hendak diperjuangkan dari sebuah serikat
(bukti P-6);
53. Bahwa selain dalam instrumentasi di atas, jaminan perlindungan serupa juga
mengemuka di dalam Pasal 5 International Convention on the Elimination of
All Forms of Racial Discrimination yang telah disahkan Indonesia melalui UU
Nomor 29 Tahun 1999; Pasal 7 Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women yang disahkan Indonesia melalui UU Nomor 7

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tahun 1984; dan Pasal 15 Convention on the Rights of the Child 1990 yang
disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990;
54. Bahwa merujuk pada klausul Pasal 22 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik sebagaimana telah disahkan dengan UU Nomor 12
Tahun 2005, dapat dijelaskan ruang lingkup atas hak kebebasan berserikat
setidaknya meliputi hak untuk membentuk serikat dan bergabung dalam
serikat tersebut. Oleh karenanya hak ini juga menjamin perlindungan atas
kebebasan dalam memilih serikat mana pun yang diiinginkan oleh individu
untuk bergabung;
55. Bahwa makna lebih jauh dari jaminan perlindungan tersebut, meski hanya
ada satu individu sekali pun, jika dia tidak menyetujui metode maupun tujuan
suatu organisasi, maka dia tidak dapat dipaksa untuk bergabung dalam
organisasi tersebut, meskipun organisasi tersebut merupakan organisasi
satu-satunya yang ada dalam suatu negara. Sebaliknya, Kovenan menjamin
hak individu tersebut–bersama orang lain tentunya—untuk membentuk
organisasi lain seperti yang dia inginkan, sebagai sebuah mekanisme
pelaksanaan hak untuk mengembangkan diri dan terlibat dalam
pembangunan;
56. Bahwa berdasar pada Resolusi 15/21 yang diadopsi oleh Dewan HAM PBB
pada 6 Oktober 2010, hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara
damai antara lain berfungsi sebagai kendaraan untuk pelaksanaan hak-hak
sipil, politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya. Hak atas
kebebasan berserikat merupakan komponen penting bagi demokrasi karena
memberdayakan laki-laki dan perempuan untuk: mengekspresikan pendapat
politik mereka, terlibat dalam kegiatan sastra dan seni budaya, ekonomi dan
sosial lainnya, terlibat dalam ibadah agama atau keyakinan, membentuk dan
bergabung dengan serikat buruh dan koperasi, serta memilih pihak yang
bertanggung jawab untuk mewakili kepentingan mereka (bukti P-7);
57. Bahwa selain menekankan arti penting dari kebebasan berserikat, Resolusi
15/21 juga menegaskan kembali bahwa setiap orang memiliki hak atas
kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat. Ketentuan ini harus
dibaca bersama-sama dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 26 Kovenan
Internasional Hak Sipil-sipil dan Politik, yang telah disahkan melalui UU
Nomor 12 Tahun 2005. Perlindungan tersebut juga diberikan termasuk

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kepada anak-anak, masyarakat adat, penyandang cacat, orang yang


tergolong kelompok minoritas atau kelompok lainnya yang berisiko, termasuk
para korban diskriminasi karena orientasi seksual dan identitas gender, non-
warga negara termasuk orang-orang tanpa kewarganegaraan, pengungsi
atau imigran, serta asosiasi—organisasi, termasuk kelompok-kelompok yang
tidak terdaftar. Ditegaskan oleh Dewan HAM, hak atas kebebasan berkumpul
secara damai dan berserikat adalah kunci hak asasi manusia dalam hukum
hak asasi manusia internasional (vide bukti P-6);
58. Bahwa suatu negara juga tidak dapat dikatakan telah memenuhi
kewajibannya hanya karena negara tersebut telah membentuk sebuah
organisasi, apapun jenis dan namanya baik wajib atau pun sukarela bagi
individu untuk memasukinya. Sebuah negara yang memberlakukan suatu
aturan yang menghalangi pembentukan suatu organisasi dan kegiatan suatu
organisasi, yang memiliki tujuan yang berbeda dengan yang digariskan oleh
negara, dapat disimpulkan telah melakukan intervensi terhadap hak
kebebasan berserikat (vide bukti P-6);
59. Bahwa dalam kerangka hukum internasional hak asasi manusia, yang juga
telah diadopsi dalam hukum nasional Indonesia, hak atas kebebasan
berserikat memang termasuk hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya,
namun demikian di dalam melakukan pembatasan harus sepenuhnya
memerhatikan prinsip-prinsip pembatasan sebagaimana diatur oleh Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik, sebagaimana disahkan UU Nomor 12
Tahun 2005, khususnya yang diatur di dalam Pasal 22 ayat (2), serta
instrumen internasional lainnya, seperti Prinsip Siracusa tentang Syarat-
syarat Pembatasan dan Pengurangan di dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik;
60. Bahwa berdasarkan pada klausul yang diatur di dalam Pasal 22 ayat (2)
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang disahkan dengan UU
Nomor 12 Tahun 2005, serta Prinsip-prinsip Siracusa, maupun merujuk pada
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan dan pengurangan
terhadak hak atas kebebasan berserikat haruslah memenuhi beberapa
persyaratan berikut ini: (i) diatur oleh hukum atau undang-undang (prescribed
by law); (ii) bersandar pada legitimasi yang sah, untuk alasan kepentingan
yang meliputi: a. keamanan nasional (national security); b. keamanan publik

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

(public safety); c. ketertiban umum (public order); d. moral publik (pulic


moral); e. kesehatan publik (public health); dan f. hak atau kebebasan pihak
lain; (iii) dalam suatu masyarakat demokratis (bukti P-8);
61. Bahwa syarat-syarat pembatasan dan pengurangan hak atas kebebasan
berserikat dijelaskan oleh Manferd Nowak (2005: 505-507) dengan lebih
detail, dengan merujuk pada Prinsip-prinsip Siracusa, praktik hukum
internasional HAM, maupun sejumlah putusan pengadilan HAM regional,
seperti Pengadilan HAM Eropa. Dalam penjelasannya Nowak mengatakan,
pembatasan dan pengurangan hak atas kebebasan berserikat harus
dilakukan berdasarkan Undang-Undang dengan tujuan untuk menjada
kepastian dalam pengaturannya. Implementasi dari Undang-Undang harus
sejalan dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik atau di Indonesia sejalan
dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik;
62. Bahwa selain diatur oleh hukum, pembatasan dan pengurangan juga harus
dilakukan dalam suatu masyarakat yang demokratis. Negara harus
membuktikan pembatasan tidak mengganggu berfungsinya masyarakat yang
demokratis, yakni yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM, sebagaimana
tercantum di dalam DUHAM. Syarat ini harus mempertimbangkan asas
proporsionalitas, berarti dibutuhkan adanya ukuran pertimbangan yang pasti
untuk melakukan intervensi. Pembatasan dan pengurangan harus pula
berorientas pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, yang meliputi: pluralisme,
toleransi, keluasan berpikir, dan kedaulatan rakyat (vide bukti P-6);
63. Bahwa legitimasi yang sah untuk melakukan pembatasan dan pengurangan
hak atas kebebasan berserikat dengan alasan kepentingan: (a) dengan
alasan keamanan nasional yang dibuktikan adanya ancaman politik atau
militer terhadap bangsa, dari suatu organisasi, negara dapat melarang
organisasi bersangkutan dan menerapkan hukuman pidana pada pelakunya;
(b) keamanan publik kaitannya jika ada suatu aksi demonstrasi dari suatu
organisasi tertentu yang mengancam keamanan publik, seperti propaganda
perang dan penyebaran kebencian rasial, negara dapat pembatasan
terhadap organisasi bersangkutan; (c) moral atau kesehatan publik, terkait
dengan pembatasan atau pengurangan terhadap organisasi klub seks atau
film porno; (d) ketertiban umum, pembatasan dan pengurangan dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

alasan ketertiban umum, dapat dilakukan dalam bentuk: keharusan untuk


memberitahu tentang keberadaan dari suatu organisasi, adanya sistem
lisensi dan pendaftaran (registrasi) agar dapat diketahui dasar hukum dari
pembentukan suatu organisasi, selain itu organisasi juga musti menjelaskan
tujuan mereka, kegiatan, organ di bawahnya, serta pendanaan mereka (vide
bukti P-6);
64. Bahwa selain mempertimbangkan syarat-syarat di atas, di dalam melakukan
pembatasan dan pengurangan hak atas kebebasan berserikat juga harus
memerhatikan penegasan ketentuan Pasal 5 Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik (UU Nomor 12 Tahun 2005), yang menyatakan:
(1) Tidak satupun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai
memberi hak pada suatu Negara, kelompok atau perorangan untuk
melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk
membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini.
(2) Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hak-
hak asasi manusia yang mendasar diakui atau yang ada di suatu negara
yang menjadi pihak dalam Kovenan ini menurut hukum, konvensi,
peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak
mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih
rendah sifatnya.
65. Bahwa dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik mengakui dan melindungi hampir semua bentuk asosiasi
dengan tujuan apa pun, dari mulai perkumpulan seni, klub sepak bola,
sampai dengan perkumpulan agama dan partai politik. Praktik-praktik terbaik
dalam hukum internasional hak asasi manusia sendiri menekankan untuk
untuk tidak memaksakan suatu rezim peraturan khusus pada organisasi-
organisasi;
66. Bahwa dalam praktik internasional, khusus untuk organisasi-organisasi non-
profit setidaknya dikenal adanya enam kategori organisasi: (a) perkumpulan,
untuk yang berbasis keanggotaan; (b) yayasan untuk yang non-keanggotaan,
biasanya berbasis properti; (c) perusahaan—terbatas yang tidak
diperuntukan untuk mencari keuntungan; (d) trust, perangkat hukum yang
digunakan untuk menyisihkan uang atau harta dari satu orang untuk

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kepentingan satu atau lebih orang atau organisasi; (e) charity: bentuk hukum
untuk organisasi sukarela yang umum berlaku di Inggris dan beberapa
negara Persemakmuran; (f) bentuk-bentuk khusus, seperti perusahaan untuk
kepentingan publik, dana, pusat kajian/lembaga, cso, organisasi
kemanusiaan, dll;
67. Bahwa pembatasan terhadap tujuan organisasi kemasyarakatan,
sebagaimana diatur ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo, juga nampak
sekali pertentangannya dengan cakupan perlindungan hak atas kebebasan
berserikat, maupun syarat-syarat pembatasan tehadap hak atas kebebasan
berserikat. Merujuk pada instrumen hukum internasional hak asasi manusia,
maupun peraturan perundang-undangan nasional, pembatasan dan
pengurangan hak atas kebebasan berserikat, dalam bentuk administrasi,
yang terkait erat dengan alasan kepentingan ketertiban umum, hanya dapat
dilakukan dalam bentuk: keharusan untuk memberitahu tentang keberadaan
dari suatu organisasi, adanya sistem lisensi dan pendaftaran (registrasi) agar
dapat diketahui dasar hukum dari pembentukan suatu organisasi, penjelasan
mengenai tujuan yang hendak dicapai dari suatu organisasi, kegiatan, organ
di bawahnya, serta pendanaan mereka. Artinya, negara tidak diperkenankan
untuk menentukan tujuan dari suatu organisasi—tetapi sekadar mendapat
penjelasan mengenai tujuan, dan tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk pelanggaran serius terhadap hak atas kebebasan berserikat,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
68. Bahwa semangat membatasi dan menyempitkan pelaksanaan hak atas
kebebasan berserikat menjadi semakin terlihat kentara bilamana kita
perhatikan ketentuan yang mengatur tentang batasan pengertian dari
organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1 angka 1 UU
a quo;
69. Bahwa batasan pengertian (Pasal 1 angka 1) mengenai organisasi
kemasyarakatan yang kemudian membawahi semua bentuk asosiasi atau
organisasi yang hidup di Indonesia, dengan memberikan lebel organisasi
kemasyarakatan (Ormas), nampak telah mempersempit ruang lingkup
perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan tidak mampu
mengakomodasi berbagai macam bentuk asosiasi atau organisasi yang
masuk dalam cakupan perlindungan hak tersebut. Semangat dari Undang-

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Undang a quo justru memaksakan rezim pengaturan tunggal untuk seluruh


asosiasi dan organisasi, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat
perlindungan hak atas kebebasan berserikat, sehingga melanggar ketentuan
Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
70. Bahwa pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat juga dilanggar oleh
berlakunya ketentuan Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 57 ayat (2) dan (3) UU
Ormas. Ketentuan-ketentuan tersebut yang memberikan ruang bagi
pemerintah dalam urusan internal organisasi telah mengancam independensi
organisasi sebagai pilar utama hak atas kebebasan berserikat, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
71. Bahwa merujuk pada laporan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk
pembela hak asasi manusia, definisi dari ‘asosiasi’ atau ‘serikat’ adalah
mengacu pada setiap kelompok individu atau badan hukum yang dibawa
bersama-sama untuk bertindak secara kolektif guna mengungkapkan,
mempromosikan, mengejar atau mempertahankan kepentingan mereka
bersama (bukti P-17);
72. Bahwa pengertian lebih jauh dari ‘asosiasi’ atau ‘serikat’ dalam hukum
internasional HAM, adalah mengacu antara lain pada organisasi masyarakat
sipil, klub, koperasi, lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan
keagamaan, partai politik, serikat buruh, yayasan atau bahkan perkumpulan
online yang berbasis internet dalam rangka memfasilitasi warga negara aktif
partisipasi dalam membangun masyarakat demokratis (bukti P-18);
73. Bahwa Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berserikat dan Berkumpul
secara Damai menyatakan, salah satu komponen penting dari hak atas
kebebasan berserikat adalah bahwa tidak boleh adanya suatu paksaan
aturan bagi sebuah asosiasi (organisasi), termasuk asosiasi harus bebas
untuk memilih anggota mereka dan apakah harus terbuka untuk setiap
keanggotaan, karena campur tangan akan membahayakan independensi
mereka (vide bukti P-13);
74. Bahwa selain pentingnya menjaga independensi dalam bentuk tiadanya
campur tangan terhadap urusan internal organisasi oleh Pemerintah, Pelapor
Khusus PBB juga menekankan bahwa pihak berwenang harus menghormati
hak atas privasi dari suatu asosiasi sebagaimana diatur Pasal 17 Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan dalam hukum

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

nasional Indonesia, melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, maupun juga


ditegaskan di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Lebih jauh ditegaskannya, bahwa pemerintah tidak berhak untuk: (i) membuat
keputusan mengenai syarat dan kegiatan organisasi; (ii) mengatur atau
membalikkan pemilihan kepengurusan suatu organisasi; (iii) mengatur syarat-
syarat validitas pengurus organisasi; (iv) mengirimkan wakli pemerintah
dalam pertemuan pengurus organisasi untuk meminta penarikan keputusan
internal organisasi; (v) meminta menyerahkan laporan tahunan di awal; (vi)
memasukkan tempat atau kategorisasi organisasi tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu (vide bukti P-13);
75. Bahwa ketentuan pasal-pasal a quo [Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 57 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang a quo], yang memberikan pembatasan
mekanisme pemilihan kepengurusan organisasi serta memungkinkan adanya
campur tangan pemerintah dalam penyelesaian masalah internal organisasi,
telah membahayakan indepensensi organisasi, yang tidak sejalan dengan
jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat;
76. Bahwa pembatasan mekanisme dalam pemilihan kepengurusan organisasi,
juga keterlibatan yang terlalu jauh dari pemerintah dalam penyelesaian
masalah internal organisasi, merupakan suatu tindakan tanpa hak dan
tindakan yang terlalu jauh dari Pemerintah, yang menciderai esensi jaminan
hak atas kebebasan berserikat, sehingga bertentangn dengan Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945;

Pasal 8 juncto Pasal 23, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6, serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU Ormas
pengaturannya telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, yang
diakibatkan munculnya pertentangan (konflik) antar norma dan menimbulkan
keluasan dalam penafsiran, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

77. Bahwa salah satu pilar terpenting dari terbentuknya negara Indonesia selain
bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan bahwa Indonesia
tunduk pada prinsip negara hukum, sebagaimana termaktub di dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
78. Bahwa salah satu unsur terpenting dari negara hukum adalah adanya
jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum, hal ini sebagaimana
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum


(Idee des Rechts), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara
hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu:
purposiveness—kemanfaatan (zweckmassigkeit), justice—keadilan
(gerechtigkeit), dan legal certainty—kepastian hukum (rechtssicherheit)
(bukti P-9);
79. Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga
telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga
negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana tertulis di dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
80. Bahwa merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno,
‘kepastian hukum’ merupakan salah satu desakan utama bagi suatu negara
yang memproklamirkan diri sebagai negara hukum, selain tiga alasan lainnya,
yakni: tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokratis dan tuntutan akal
budi (bukti P-10);
81. Bahwa ketentuan Pasal 8 Undang-Undang a quo telah membagi lingkup
organisasi kemasyarakatan menjadi tiga kategori: nasional, provinsi dan
kabupaten. Pembagian lingkup tersebut sesungguhnya merujuk pada struktur
hirarki kepemerintahan di Indonesia, yang terdiri dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten;
82. Bahwa selain mengikuti struktur hirarki pemerintahan, pembagian ini juga
mengandaikan pendaftaran/registrasi organisasi kemasyarakatan dilakukan
pada tiap hirarki pemerintahan (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota);
83. Bahwa mekanisme registrasi yang dianut oleh Undang-Undang a quo
sesungguhnya menganut dua model sekaligus: (i) hanya dilakukan oleh
pemerintah pusat untuk organisasi yang berbadan hukum (perkumpulan dan
yayasan); (2) dilakukan oleh seluruh hirarki pemerintahan (pusat, propinsi,
kabupaten/kota) untuk organisasi yang tidak berbadan hukum (perkumpulan
dan yayasan);
84. Bahwa organisasi berbadan hukum (perkumpulan dan yayasan) yang
mendaftarkan dirinya sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku (UU Perkumpulan dan UU Yayasan), pada
pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, secara

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

otomatis bebas beroperasi di seluruh wilayah negara Republik Indonesia,


tanpa dibatasi oleh ruang lingkup apa pun. Penegasan ini juga dikemukan
sendiri oleh ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang a quo, yang
menyatakan bahwa organisasi berbadan hukum sebagaimana diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, tidak memerlukan
mekanisme registrasi pada hirarki pemerintahan mana pun, dan juga
ditegaskan kembali di dalam Pasal 27 Undang-Undang a quo;
85. Bahwa merujuk pada logika yuridis tersebut setiap organisasi berbadan
hukum, yang telah teregistrasi pada Kementerian Hukum dan HAM, bebas
untuk menentukan sendiri lingkup kerjanya, hendak beroperasi di seluruh
wilayah negara Republik Indonesia atau membatasi lingkup kerjanya pada
wilayah tertentu;
86. Bahwa kontradiksi norma makin kentara antara lain dengan adanya rumusan
Pasal 23 Undang-Undang a quo, yang mengatur secara ketat batasan
kategorisasi lingkup suatu organisasi dengan menghitung jumlah cabangnya.
Logika hukum yang dibangun oleh ketentuan pasal a quo, sesungguhnya
hendak mengikuti logika syarat pendirian partai politik, sebagaimana diatur
oleh UU Partai Politik;
87. Bahwa dalam konteks pendirian partai politik, syarat keterpenuhan jumlah
cabang atau kepengurusan cabang memang menjadi sesuatu yang mutlak,
karena menjadi pra-syarat utama sebuah partai politik untuk menghadapi
pemilihan umum, namun logika ini tentu tidak dapat diterapkan dalam
pendirian sebuah organisasi yang tidak dimaksudkan untuk mengikuti suatu
kontestasi politik elektoral, melainkan sekadar untuk mencapai kepentingan
atau tujuan yang diperjuangkannya;
88. Bahwa memerhatikan rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo,
yang mengatur mengenai lingkup dan pendaftaran organisasi, nampak sekali
pertentangan atara satu pasal dengan pasal lainnya. Sebagai contoh
menurut ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang a quo, suatu organisasi
berbadan hukum jika sudah memenuhi seluruh mekanisme yang syaratkan
oleh peraturan perundang-undangan maka dia bebas untuk beroperasi di
seluruh wilayah Indonesia, namun ketentuan ini justru dinegasikan dengan
adanya ketentuan Pasal 23 Undang-Undang a quo, yang mengharuskan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

batas minimal jumlah cabang yang dimiliki untuk menentukan lingkup suatu
organisasi;
89. Bahwa benturan antar pasal dalam Undang-Undang a quo, jelas telah
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, yang menghendaki adanya
kejelasan rumusan dari suatu undang-undang. Dijelaskan oleh Charles
Eisenmann, ahli hukum Perancis: “Let no one claim that the legislator is
precluded from creating law. No, he is still free to create whatever he likes,
but everything that he validly creates will be regular law. What is more, in this
way the certainty of law is guaranteed by means of the uniformity and
homogeneity of legislative law” (bukti P-11);
90. Bahwa tiadanya kepastian hukum dalam rumusan Undang-Undang a quo,
juga berakibat pada tiadanya moralitas hukum pada Undang-Undang a quo.
Dijelaskan oleh Lon H. Fuller, seorang pemikir hukum alam generasi terakhir,
bahwa kepastian hukum merupakan salah satu unsur utama moralitas
hukum. Ditegaskannya sebuah peraturan hukum perlu tunduk pada internal
moraliti, oleh karena itu dalam pembentukannya harus memperhatikan antara
lain: (i) Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
dimengerti oleh rakyat biasa, yang juga dinamakan sebagai hasrat untuk
kejelasan; (ii) Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain (bukti
P-12);
91. Bahwa dalam konteks pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat, Pelapor
Khusus PBB untuk kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai dalam
laporannya (A/HRC/20/27) mengatakan, hukum internasional HAM
menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berserikat.
Oleh karena itu, Undang-Undang nasional tidak boleh terlalu jauh mengatur
pembatasan mengenai pelaksanaan hak ini, selain di dalam pembatasan
harus sepenuhnya memenuhi kaidah pembatasan. Dalam konteks pendirian
organisasi atau serikat, cukup dilakukan tidak lebih dari dua orang.
Menurutnya jumlah yang lebih tinggi mungkin hanya diperlukan untuk
membentuk sebuah partai politik atau serikat buruh, tetapi jumlah ini tidak
boleh ditetapkan pada tingkat yang akan mencegah orang dari terlibat dalam
suatu organisasi atau serikat (bukti P-13);
92. Bahwa ketidakjelasan dan kelenturan penafsiran dari rumusan Undang-
Undang a quo, semakin terlihat dengan tidak adanya ketegasan perbedaan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
31
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

antara lingkup organisasi kemasyarakatan yang diatur dalam ketentuan Pasal


8 Undang-Undang a quo dengan wilayah kerja organisasi kemasyarakatan
yang diatur oleh ketentuan Pasal 27 Undang-Undang a quo. Pada satu sisi
ketentuan Pasal 8 Undang-Undang a quo menyatakan lingkup Ormas
dibedakan menjadi nasional, provinsi dan kabupaten/kota, yang tentu
memiliki implikasi pada wilayah kerjanya. Namun pada sisi yang lain,
ketentuan tersebut dinegasikan sendiri oleh Undang-Undang a quo dengan
adanya ketentuan Pasal 27 Undang-Undang a quo, yang mengatakan bahwa
wilayah kerja organisasi kemasyarakatan adalah di seluruh wilayah
Indonesia;
93. Bahwa memerhatikan sejumlah argumentasi di atas, serta pembacaan
seksama terhadap rumusan norma di dalam Undang-Undang a quo, secara
jelas nampak adanya pertentangan norma dalam pasal-pasal a quo (Pasal 8
juncto Pasal 23), sehingga tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum
yang adil, dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
94. Bahwa konflik atau pertentangan norma juga terjadi di dalam rumusan Pasal
10, Pasal 11, serta Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6 UU Ormas.
Pertentangan norma ini terjadi karena Undang-Undang a quo bermaksud
untuk mengatur suatu peristiwa hukum yang telah diatur oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan lain, yang sama levelnya. Akibatnya, konflik
norma justru terjadi, yang sangat jauh bertentangan dengan mandat Pasal 1
ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
95. Bahwa sebagai pelaksanaan dari jaminan perlindungan hak atas
kemerdekaan berserikat sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945, negara
antara lain telah mengeluarkan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum, yang sampai hari ini masih
berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945, serta
UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan;
96. Bahwa ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang a quo, telah
mengatur kembali ketentuan-ketentuan yang di dalam Staatsblad
Perkumpulan Berbadan Hukum dan ketentuan yang ada di dalam UU
Yayasan, yang justru menimbulkan kerancuan hukum dalam perlindungan
hak atas kebebasan berserikat;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
32
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

97. Bahwa dalam konteks pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat negara
memiliki kewenangan untuk melakukan pembatasan dan pengurangan atas
hak tersebut, dengan syarat memenuhi seluruh kaidah pembatasan
sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Lebih jauh untuk memastikan
perlindungan terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat dan juga
pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang lain, negara dapat menghadirkan
sejumlah Undang-Undang untuk mengatur pelaksanaan hak atas kebebasan
berserikat, dengan catatan aturan tersebut dapat menjamin kepastian atas
pelaksaan hak serta tidak ada pemaksaan pada satu rezim pengaturan
tertentu;
98. Bahwa di dalam hukum internasional hak asasi manusia, juga di dalam
praktik negara-negara di dunia yang selaras dengan prinsip-prinsip
perlindungan hak atas kebebasan berserikat, pengaturan terhadap
pelaksanaan hak ini dapat ditemukan atau dapat dilakukan melalui sejumlah
peraturan perundang-undangan sekaligus, tergantung dengan tujuan dari
pengaturannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan prinsip tidak bolehnya
pemaksaan rezim pengaturan tunggal terhadap organisasi, guna memastikan
perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat. Bentuk-bentuk
pengaturan tersebut antara lain:

Topik Pengaturan Bentuk Pengaturan


Siklus hidup organisasi Potensi ruang pengaturan
Jenis dan definisi dari organisasi
- Kitab Undang-Undangan Hukum
masyarakat sipil; Perdata (Civil Code);
Pendirian; - Undang-Undang khusus yang
Pendaftaran; mengatur berbagai jenis organisasi
Struktur internal dan tata kelola; (misalnya UU Perkumpulan dan UU
Kegiatan; Yayasan);
Pengawasan eksternal, termasuk - legislasi yang mengatur perusahaan
pelaporan dan audit; atau bentuk perusahaan;
Pembekuan, pembubaran dan
- legislasi yang mengatur hubungan
likuidasi; industrial (berkaitan dengan serikat
pekerja);
- hukum perizinan (untuk kegiatan
tertentu).
Regulasi fiskal bagi OMS Potensi ruang pengaturan
Status kemanfaatan umum (amal); - Undang-Undang tentang
pembebasan pajak penghasilan bagi Kemanfaatan Bagi Publik;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
33
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

OMS; - UU Pajak Penghasilan;


preferensi pajak penghasilan atau - UU Pajak Pertambahan Nilai;
keuntungan untuk sumbangan; - UU Bea Masuk;
kegiatan ekonomi dan pajak - UU Penggalangan Dana;
penghasilan dari kegiatan ekonomi; - Ketentuan mengenai alokasi
PPN dan bea cukai; Anggaran;
pendanaan pemerintah - Ketentuan keuangan dan audit;
pendapatan investasi; - Ketentuan mengenai pajak bumi dan
penggalangan dana publik. bangunan.
Hubungan negara dengan OMS Potensi ruang pengaturan
pendaftaran; - Semua Undang-Undang yang
pengawasan eksternal, termasuk tercantum di atas;
pelaporan dan audit; - tindakan pemerintah daerah;
kegiatan politik/kebijakan publik; - UU tentang Pengadaan Barang Dan
subsidi negara, hibah dan kontrak; Jasa;
Kuasi NGO atau NGO Pemerintah; - UU tentang Bantuan Sosial,
dokumen kebijakan untuk kerjasama; Kesehatan, Pendidikan;
kantor penghubung. - UU tentang Pendirian Berbagai Jenis
Organisasi Nirlaba;
- MoU Kelembagaan.
Partisipasi publik Potensi ruang pengaturan
kegiatan politik/kebijakan publik; - UU Kebebasan Informasi Publik;
penerimaan informasi; - transparansi putusan;
konsultasi; - UU mengenai proses legislatif;
partisipasi aktif. - kebijakan Pemerintah.
Sumber: ICNL dan UNDP, The Role of Legal Reform in Supporting Civil
Society: An Introductory Primer, 2009.

99. Bahwa lahirnya Undang-Undang a quo justru menunjukan adanya upaya dari
pembentuk Undang-Undang untuk memaksakan suatu rezim pengaturan
tunggal terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat. Selain itu,
lahirnya Undang-Undang a quo juga telah menimbulkan terjadinya konflik
norma yang mengatur jaminan hak atas kebebasan berserikat, dan justru
tidak memperkuat perlindungan pelaksanaan hak tersebut, melainkan
sebaliknya mempersempit pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat;
100. Bahwa konflik norma yang ditimbulkan akibat disahkannya Undang-Undang
a quo maupun tercermin dari rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang
a quo telah mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam
pengaturan mengenai perlindungan hak atas kebebasan berserikat, yang
dijamin oleh UUD 1945. Hal ini terutama nampak dari ketentuan di dalam

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
34
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Undang-Undang a quo, khususnya yang terkait dengan mekanisme registrasi


suatu organisasi;
101. Bahwa merujuk pada pendapat yang dikemukan oleh Lon H. Fuller, prinsip
kepastian hukum selain bermakna tidak adanya pertentangan aturan antara
yang satu dengan yang lain, juga bermakna bahwa dalam hukum harus ada
ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap
orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya. Ditegaskannya
pula, harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang
diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya (vide bukti P-12);
102. Bahwa dalam koridor hak atas kebebasan berserikat, Pelapor Khusus PBB
untuk kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai bahkan
memberikan penekanan bahwa hak untuk kebebasan berserikat juga
termasuk memberikan perlindungan kepada organisasi yang tidak terdaftar
sekali pun. Selain itu dia juga menggarisbawahi bahwa Undang-Undang
nasional tidak diperkenankan untuk mengatur mengenai prasyarat untuk
adanya sebuah organisasi;
103. Bahwa merunut pada penafsiran terhadap ketentuan Pasal 22 Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, sebagaimana telah disahkan sebagai
hukum nasional Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, serta sejumlah
praktik internasional yang telah disepakati negara-negara, pendaftaran
terhadap organisasi masyarakat sipil memang dimungkinkan, sebagai bentuk
peran pemerintah dalam rangka melindungi kepentingannya (terkait dengan
pembatasan dan pengurangan hak);
104. Bahwa mekanisme pendaftaran bermacam-macam bentuknya, beberapa
negara misalnya menyebutkan, suatu organisasi secara otomatis dinyatakan
terdaftar setelah memiliki akta pendirian (yang dibuat dihadapan notaris),
atau melalui prosedur notifikasi sederhana dan sepenuhnya bersifat sukarela,
dengan mandaftarkan diri pada badan pemerintah yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab untuk mempublikasikan perihal telah
didirikannya suatu organisasi. Perbedaan model pendaftaran ini akan
menentukan perbedaan status hukum dari setiap organisasi, namun yang
musti ditekankan, pendaftaran sifatnya sukarela bukan suatu kewajiban;
105. Bahwa pendaftaran suatu organisasi dalam konteks perlindungan hak atas
kebebasan berserikat dalam praktiknya di berbagai negara dapat dilakukan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
35
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

melalui sejumlah organ Pemerintah, seperti kementerian, pengadilan, atau


suatu komisi independen. Dalam pendaftaran tersebut, suatu organisasi
cukup menyerahkan dokumen yang berisi akta pendirian dari organisasi
bersangkutan termasuk di dalamnya berisikan aturan organisasi yang berlaku
(Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga), beserta aplikasi pendaftaran;
106. Bahwa untuk menjamin kepastian dari proses pendaftaran tersebut, Undang-
Undang nasional dari suatu negara dapat mengatur antara lain mengenai: (a)
jangka waktu yang tetap bagi pemerintah untuk meninjau pendaftaran; (b)
dimungkinkan adanya penolakan dari suatu pendaftaran dengan kriteria yang
jelas dan detail; (c) alasan objektif untuk menolak suatu pendaftaran; (d)
adanya pemberitahuan tertulis kepada pemohon jika pendaftarannya ditolak;
dan (e) tersedianya hak dan mekanisme pengajuan banding atas penolakan
pendaftaran ke pengadilan yang independen;
107. Bahwa dampak dari dilakukannya pendaftaran (sifatnya sukarela) dari suatu
organisasi, maka Pemerintah harus memberikan keuntungan (benefits) bagi
organisasi yang mendaftarkan diri, seperti organisasi yang telah memiliki
status badan hukum dapat: membuka rekening bank, mempekerjakan staf,
memiliki aset atas namanya sendiri, adanya batasan tanggung jawab (pribadi
pengurus organisasi) dengan tanggung jawab kelembagaan, peluang
melakukan penggalan dana dari luar, dan pembebasan pajak;
108. Bahwa dalam konteks mekanisme pendaftaran organisasi sebagai bagian
dari pelaksaan hak atas kebebasan berserikat, lahirnya Undang-Undang
a quo telah melahirkan situasi ketidakpastian hukum dan bahkan tidak
sejalan dengan prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Situasi ini
terjadi sebagai dampak dari munculnya mekanisme baru pendaftaran
organisasi masyarakat sipil di Kementerian Dalam Negeri melalui Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 42 ayat
(2) dan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang a quo;
109. Bahwa semestinya pendaftaran terhadap semua organisasi yang hidup di
Indonesia (yang sifatnya sukarela), dilakukan melalui Kementerian yang
memiliki kewenangan administrasi hukum, yakni Kementerian Hukum dan
HAM, sebagaimana diatur di dalam Staatsblad Perkumpulan Berbadan
Hukum dan UU Yayasan, atau bahkan UU Partai Politik sekali pun, yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
36
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

mewajibkan partai politik untuk mendapatkan status badan hukum guna


mendaftarkan diri pada Kementerian Hukum dan HAM;
110. Bahwa mekanisme pendaftaran organisasi untuk mendapatkan badan hukum
melalui Kementerian Hukum, pengadilan atau komisi independen, juga dianut
oleh mayoritas negara-negara di dunia, karena juga merupakan cerminan
dari prinsip negara hukum yang mereka anut. Sementara minoritas negara
yang mekanisme pendaftaran organisasi masyarakat sipil melalui
Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Keamanan Dalam Negeri pada
umumnya adalah negara-negara yang masih otoritarian;
111. Bahwa di Indonesia mekanisme pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan
melalui Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana diatur oleh Undang-
Undang a quo, adalah merupakan warisan dari rezim totaliter Orde Baru,
yang merumuskan pertama kali UU Organisasi Kemasyarakatan (UU Nomor
8 Tahun 1985), yang menjadikan mekanisme ini sebagai sarana kontrol atas
setiap aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat;
112. Bahwa seiring dengan perubahahan politik di Indonesia, dari otoritarian ke
demokrasi, yang menjunjung tinggi hukum, semestinya hukum ditempatkan
sebagai panglima, bukan politik. Merujuk pada pendapat Mahfud M.D, dalam
situasi yang otoriter politik memang cenderung mendeterminasi hukum dan
hukum cenderung represif sedangkan dalam rezim yang demokratis
semestinya hukum mendeterminasi politik. Lebih jauh ditekankan, meskipun
hukum merupakan produk politik, tetapi ketika hukum itu ada, maka politik
harus tunduk kepada hukum yang mengaturnya (bukti P-14);
113. Bahwa untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam mekanisme
pendaftaran organisasi, maupun dalam rangka menjamin tegaknya prinsip
negara hukum itu sendiri, semestinya seluruh mekanisme dan prosedur
pendaftaran organisasi, sebagai pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat
sepenuhnya menjadi wewenang dari kementerian yang mengurus
administrasi hukum, yakni Kementerian Hukum dan HAM, sebagaimana juga
diatur oleh UU Perkumpulan, UU Yayasan, UU Perseoran Terbatas,
maupaun UU Partai Politik. Tidak menciptakan kerancuan hukum dengan
menyerahkan sebagian kewenangan tersebut pada Kementerian Dalam
Negeri;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
37
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

114. Bahwa kepastian hukum merupakan ciri utama dari suatu negara hukum,
yang di dalamnya mengandung asas legalitas, prediktabilitas dan
transparansi, sebab negara hukum sendiri, khususnya dalam tradisi the rule
of law berarti sebagai “a legal system in which rules are clear, well-
understood, and fairly enforced”—sebuah sistem hukum yang jelas (kecil
kemungkinan untuk disalahgunakan), mudah dipahami, dan menjaga
tegaknya keadilan;
115. Bahwa ‘kepastian hukum’ atau legal certainty sebagai esensi penting dari
suatu negara hukum anatar lain diakui oleh Friedrrich von Hayek, yang
menyatakan bahwa kepastian hukum adalah salah satu atribut utama dari the
rule of law itu sendiri, selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum
(generality), dan atribut kesetaraan (equality) (bukti P-19);
116. Bahwa kepastian hukum (legal certainty) menurut pendapat Hayek berarti
hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga
seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari
perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan
dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat
terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang (vide bukti P-19)
117. Bahwa sejalan dengan pendapat tersebut, dalam tradisi negara hukum
rechtsstaat, ditegaskan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa kepastian hukum
adalah bagian penting yang harus diperhatikan oleh negara yang menganut
paham negara hukum, dijelaskannya, bahwa the Rechtsstaat “must
determine with precision and with certainty the boundaries and the limits of its
activity, as well as the free sphere of its citizens, according to the modalities
of law” (vide bukti-11);
118. Bahwa untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam setiap rumusan
Undang-Undang yang dibentuk, hukum nasional telah mengaturnya secara
detail di dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam peraturan perundang-
undangan tersebut dinyatakan bahwa kepastian hukum merupakan salah
satu asas yang tidak dapat disimpangi dalam setiap pembuatan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
38
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Perundang-undangan, yang merupakan mandat langsung dari Pasal 22A


UUD 1945;
119. Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011
menyatakan, “Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas: (i) ketertiban dan kepastian hukum”. Kemudian di dalam
penjelasannya dikatakan, “Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan
kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum”;
120. Bahwa terhadap ketentuan pasal Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf
e justru telah menciptakan penafsiran yang multi-interpretatif, khususnya
terhadap frasa ‘penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama’, frasa ‘kegiatan separatis’, serta frasa kegiatan yang menjadi tugas
dan wewenang penegak hukum karena tiadanya penjelasan yang memadai
atas ketiga frasa tersebut;
121. Bahwa terbukanya ruang penafsiran yang multi-interpretatif dan karet
tersebut, telah berdampak pada munculnya suatu kondisi ketidakpastian
hukum, akibat rumusan Undang-Undang yang tidak menjamin kepastian
hukum yang adil. Lebih jauh situasi tersebut potensial akan mengakibatkan
terjadinya pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berserikat, sebab
rumusan ketentuan a quo akan berimplikasi pada kemungkinan dilakukannya
pembubaran terhadap suatu organisasi, dengan alasan-alasan yang ada
pada ketentuan a quo. Merujuk pada pendapat Manfred Nowak (2005),
pembubaran organisasi atau pelarangan pembentukan suatu organisasi
merupakan bentuk pembatasan paling kejam terhadap pelaksanaan hak atas
kebebasan berserikat;
122. Bahwa dalam konteks perlindungan hak atas kebebasan berserikat, Pelapor
Khusus PBB untuk Kebebasan Berserikat dan Berkumpul secara Damai
mengingatkan bahwa individu yang terlibat dalam suatu organisasi harus
bebas untuk melaksanakan kegiatan apa pun, termasuk hak untuk
memegang dan berpartisipasi dalam aksi protes, dan tidak harus tunduk pada
sanksi pidana;
123. Bahwa Pelapor Khusus dalam laporannya juga menyatakan, ketika prosedur
untuk mendirikan sebuah organisasi terlalu memberatkan dan tunduk pada

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
39
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

diskresi administratif, serta adanya suatu ancaman pemidanaan, justru akan


menimbulkan situasi yang mengkhawatirkan, sebab dapat digunakan sebagai
sarana untuk memadamkan pandangan atau keyakinan yang berbeda di
dalam suatu negara;
124. Bahwa merujuk pada penjelasan dari Pelapor Khusus PBB tersebut, serta
memerhatikan rumusan norma pasal-pasal a quo yang melahirkan situasi
ketidakpastian hukum serta mengancam perlindungan hak atas kebebasan
berserikat, maka rumusan ketentuan Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan
huruf e jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945;
125. Bahwa berlandaskan pada sejumlah argumentasi di atas, sebagaimana
prinsip-prinsip yang diatur oleh UUD 1945, peraturan perundang-undangan
nasional yang lain, maupun praktik dalam hukum internasional hak asasi
manusia, ketentuan pasal-pasal a quo, adalah tidak sejalan dengan dengan
prinsip-prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil, sehingga
terang benderang telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Pasal 10 dan Pasal 11 serta Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 42 ayat (2) UU
Ormas menghambat peran serta masyarakat dalam pembangunan, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945

126. Bahwa ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah memberikan
penegasan bahwa setiap warga negara Indonesia dengan mekanisme, tata
cara atau peranan apa pun, memiliki kesempatan yang sama untuk bersama-
sama mengembangkan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia;
127. Bahwa jaminan hak untuk turut serta dalam pengembangan masyarakat,
bangsa dan negara, juga secara detail diatur di dalam UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang hak asasi manusia, khususnya dalam ketentuan Pasal 15 dan
Pasal 16:
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya,
baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
40
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan,
mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
128. Bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara, juga mengemuka di dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, yang dengan tegas menyebutkan bahwa
peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan yang bersih. Jaminan bagi keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan maupun penyelenggaraan negara juga kian diakui oleh
sejumlah peraturan perundang-undangan lain, seperti UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan UU Penanganan Konflik Sosial, yang membuka
partisipasi masyarakat;
129. Bahwa adanya jaminan untuk berperan secara aktif dalam pengembangan
masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945
dan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang lain,
memperlihatkan bahwa sesungguhnya negara hendak memberikan ruang
yang sangat besar bagi setiap individu, masyarakat, termasuk yang
tergabung dalam organisasi untuk terlibat dalam pembangunan;
130. Bahwa dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, Dewan HAM PBB
sendiri menyadari betapa pentingnya keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam
proses tata kelola yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pengakuan ini
setidaknya nampak dalam Resolusi 21/16 yang diadopsi oleh Dewan HAM
pada 11 Oktober 2012. Dalam resolusi tersebut Dewan HAM mengingatkan
negara-negara tentang kewajibannya untuk menghormati dan sepenuhnya
melindungi hak-hak semua individu untuk berkumpul secara damai dan
berserikat secara bebas, baik offline maupun online, termasuk dalam konteks
Pemilu, dan termasuk kelompok minoritas atau yang memiliki pandangan
atau keyakinan yang berbeda, para pembela hak asasi manusia, anggota
serikat buruh, dan lain-lain (bukti P-15);
131. Bahwa negara-negara Eropa, melalui Komisi Eropa dan OSCE telah
menyepakati jika kebebasan berserikat adalah syarat penting untuk

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
41
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kebebasan dasar lainnya. Kebebasan berserikat ini terkait erat dengan


kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul, serta dengan hak asasi
manusia lainnya (kebebasan beragama, hak atas privasi, larangan
diskriminasi dan lain-lain). Ditekankan, bahwa hak atas kebebasan berserikat
adalah hak asasi individu yang memberikan hak orang untuk datang
bersama-sama dan secara kolektif memperjuangkan, mempromosikan dan
membela kepentingan mereka bersama mereka. Kebebasan berserikat
merupakan inti dari masyarakat modern yang demokratis dan pluralistik.
Kebebasan berserikat berfungsi sebagai barometer standar umum
perlindungan hak asasi manusia dan tingkat demokrasi suatu negara (bukti
P-16);
132. Bahwa berdasar pada Resolusi 12/21 yang diadopsi oleh Dewan HAM PBB
pada 6 Oktober 2010, PBB juga telah menempatkan hak atas kebebasan
berserikat sebagai kendaraan untuk pelaksanaan hak-hak sipil, politik serta
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya. Ditekankan PBB, hak atas
kebebasan berserikat merupakan komponen penting bagi demokrasi karena
memberdayakan setiap individu untuk: mengekspresikan pendapat politik
mereka, terlibat dalam kegiatan sastra dan seni budaya, ekonomi dan sosial
lainnya, terlibat dalam ibadah agama atau keyakinan, membentuk dan
bergabung dengan serikat buruh dan koperasi, serta memilih pihak yang
bertanggungjawab untuk mewakili kepentingan mereka (vide bukti P-7);
133. Bahwa munculnya ketentuan Undang-Undang a quo, khususnya rumusan
Pasal 10 dan Pasal 11 serta Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6, telah
mempersempit ruang bagi individu untuk mendirikan suatu organisasi atau
mereka yang ingin tergabung dalam suatu wadah organisasi, guna berperan
serta dalam pengembangan masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana
dijamin oleh ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, sehingga ketentuan
a quo harus dinyatakan inkonstitusional.

D. Petitum
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutus sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-
Undang yang diajukan oleh para Pemohon;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
42
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

2. Menyatakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8; Pasal 10;


Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3); Pasal
59 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal 10;
Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3); Pasal
59 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang
tidak dibaca “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
hukum dan hak asasi manusia;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dibaca “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan hukum dan hak asasi manusia;
6. Menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang
tidak dibaca “Sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait yang dikoordinasikan
dan diintegrasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
hukum dan hak asasi manusia”;
7. Menyatakan ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dibaca “Sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait yang
dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan hukum dan hak asasi manusia”;

Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan


yang seadil-adilnya (ex aeque et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon


telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-19 sebagai berikut:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
43
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Dokumen Pengesahan dari Kementerian Hukum


Dan HAM, Akta Pendirian (AD/ART) dan Kartu Tanda
Penduduk Pemohon;

4. Bukti P-4 : Fotokopi Laporan Kegiatan Uji Akses Kabupaten Karo


Bulan Juli – Agustus 2013;

5. Bukti P-5 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Nomor Pokok Wajib
Pajak dari Pemohon V sampai dengan Pemohon VII;

6. Bukti P-6 : Fotokopi U.N. Covenant On Civil And Political Rights,


CCPR Commentary, 2nd Revised Edition, Manfred
Nowak;

7. Bukti P-7 : Fotokopi Resolution Adopted By The Human Rights


Council, 15/21 The Rights To Freedom Of Peaceful
Assembly And Of Association;

8. Bukti P-8 : Fotokopi Prinsip-Prinsip Siracusa tentang Pembatasan


dan Pengurangan Hak-Hak Dalam Kovenan Internasional
Hak-Hak Sipil Dan Politik;

9. Bukti P-9 : Fotokopi Torben Spaak, Meta-Ethics Ang Legal Theory:


The Case Of Gustav Radbruch;

10. Bukti P-10 : Fotokopi Buku Frans Magnis Suseno, Etika Politik,
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern;

11. Bukti P-11 : Fotokopi Buku Pietro Costa And Danilo Zolo (eds.), The
Rule Of Law History, Theory And Criticism;

12. Bukti P-12 : Fotokopi Buku Lon L. Fuller, Morality Of Law, New
Heaven And London;

13. Bukti P-13 : Fotokopi Report Of The Special Rapporteur On The


Rights To Freedom Of Peaceful Assembly And Of

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
44
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Association, Maina Kiai;

14. Bukti P-14 : Fotokopi Buku Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di
Indonesia;

15. Bukti P-15 : Fotokopi Resolusi 21/16 The Rights To Freedom Of


Peaceful Assembly And Of Association;

16. Bukti P-16 : Fotokopi Guidelines On Freedom Of Peaceful Assembly,


The OSCE/ODIHIR Panel Of Experts On The Freedom Of
Assembly, 2007;

17. Bukti P-17 : Fotokopi Dokumen A/50/401, Human Rights Defenders,


Note By The UN Secretary-General;

18. Bukti P-18 : Fotokopi Report Of The Special Rapporteur On The


Promotion And Protection Of The Right To Freedom Of
Opinion And Expression, Frank La Rue;

19. Bukti P-19 : Fotokopi Buku Friedrich A. Von Hayek, The Constitution
Of Liberty;

Selain itu para Pemohon juga mengajukan satu orang saksi dan tujuh orang
ahli yang didengar keterangannya di dalam persidangan serta satu orang ahli
menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:

Saksi Muhammad Muazzin Fauzi


- Saksi adalah salah satu anggota dari Konsorsium Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat. Yaitu koalisi dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat di
Lombok yang aktif dalam partisipasi pembangunan;
- Konsorsium Lombok Tengah merupakan gabungan 20-an LSM UNS yang ada
di Kabupaten Lombok Tengah yang terbentuk pada tahun 2006, dan fokus
untuk mendorong kebijakan pemerintah, yang berpihak kepada masyarakat
sipil serta mengawal kebijakan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah yang
berpihak kepada masyarakat miskin;
- Konsorsium Lombok Tengah selama ini terlibat aktif dalam berbagai proses
Musrembang. Misalnya menjadi fasilitator Musrenbang dari desa hingga
kabupaten. Juga terlibat dalam menyusun Juklak Juknis Musrenbang
Kabupaten Lombok Tengah. Terlibat aktif dalam berbagai penyusunan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
45
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kebijakan publik seperti rancangan peraturan bupati tentang usaha kecil dan
keterampilan, Peraturan bupati hasil hutan bukan kayu, mendorong lahirnya
perda perencanaan partisipatif bersama dengan PNPM, dan mendorong
keluarnya Perda Penanggulangan Kemiskinan serta Peraturan Daerah
Pengelolaan Jasa Lingkungan. Dalam waktu dekat bekerja sama juga dengan
program PNPM GSC (Generasi Sehat dan Cerdas) dalam mendorong lahirnya
ramperdes tentang PNPM kesehatan masyarakat miskin dan rancangan
peraturan desa tentang penyelenggaraan pendidikan di tingkat desa di
Kabupaten Lombok Tengah;
- Konsorsium juga mengambil peran warga desa dan terus aktif berpartisipasi
dalam pembangunan desa, terutama dalam tahapan perancangan
pembangunan desa, yaitu momentum Musrenbangdes, menerima pengaduan
masyarakat terkait pelayanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, seperti
beras untuk masyarakat miskin, dan berbagai macam implementasi kebijakan-
kebijakan Pemerintah yang terkait kebutuhan dasar masyarakat miskin.
- Selama ini, dalam koalisi, teman-teman NGO selalu bekerja sama dengan
pemerintah daerah. Telah terbangun dengan baik proses pengambil kebijakan.
- Kerja sama dengan pemerintah daerah, DPRD, dan hampir semua SKPD di
Lombok Tengah. Konsorsium juga menjadi bagian dari Anggota TKPKD (Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) Kabupaten Lombok Tengah
yang dikuatkan dengan SK Bupati Lombok Tengah.
- Dengan berlakunya Undang-Undang Ormas, saksi tidak tahu mengapa muncul
pernyataan dari Kepala Kesbangpoldagri Kabupaten Lombok Tengah bahwa
organisasi saksi illegal. Hal tersebut merugikan saksi dan menghambat
kebebasan berserikat organisasi masyarakat sipil secara umum.

Ahli:

1. Dr. Meuthia Ganie Rochman

Bagaimana Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Berperan

Selama ini peran OMS dikenal oleh Pemerintah dan masyarakat dalam bidang-
bidang pendidikan, pemberdayaan, pelayanan masyarakat, dan kontrol
terhadap berjalannya pemerintahan. Namun yang tidak banyak diketahui
adalah apa karakter dari OMS, peran potensialnya, dan sumber dayanya.
Beberapa OMS memang ada yang memiliiki sumber daya yang cukup baik

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
46
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

karena sumbangan badan pembangunan asing, bagian dari yayasan milik


perusahaan, atau ditopang dari bidang kegiatan lain yang bersifat ekonomi.
Namun jumlah yang semacam itu amat sedikit dan semakin sedikit setelah
pertengahan tahun 2000an. Sebagian besar merupakan organisasi dengan
kegiatan-kegiatan kecil dengan sumber daya lokal. Kecuali OMS yang
mempunyai kontak dengan penentu alokasi dana anggaran daerah, hampir
semua Ornop (organisasi non pemerintah) tidak mendapat bantuan apapun
dari pemerintah. Justru mereka hadir karena kekurangan pelayanan atau
kelemahan institusional di pihak negara.

Sebagian besar Ornop yang bergerak dalam pelayanan masyarakat dan


pembangunan lokal mempunyai kapasitas pelayanan skala kecil dengan
perubahan terbatas. Hal ini karena pengetahuan untuk mengubah kondisi lokal
terbatas atau (jika ada pengetahuan inovatifpun) sumber dayanya terbatas.
Jumlah yang berbadan hukum jumlahnya terbatas dibandingkan dengan skala
pelayanan yang dibutuhkan. Masyarakat sangat mengandalkan kemampuan
organisasi-organisasi skala kecil yang lebih berbasis komunitas. Inilah yang
menjadi arena anggota masyarakat belajar berorganisasi dan membangun
ikatan sosial. Kelompok seperti ini pula yang menjadi mitra Ornop, sebagian
besar Ornop yang lebih matang untuk membawa perbaikan lebih luas. Jika
kelompok seperti ini tidak ada, Ornop akan berhubungan semata dengan
kumpulan individu dalam komunitas. Hal ini akan menghambat pencapaian
program. Namun dengan adanya UU Ormas, OMS skala kecil ini akan sangat
terbebani — sebagian psikologis, sebagian sumber daya-- atas keharusan
administratif (AD/ART, Rencana Kerja, dan lainnyya). Dalam masyarakat masih
hidup secara luas persepsi negatif tentang birokrasi, bahkan dikalangan
golongan menengah terpelajar.

Kekuatan OMS, khususnya Ornop berbadan hukum, adalah kelenturan


organisasinya dan fleksibilitasnya dalam membuat kerja sama dengan Ornop
lain. Jaringan Ornop berfungsi sebagai jalur informasi, proses saling belajar,
memperluas lingkup kegiatan ke wilayah lain dengan mitra kelompok yang
beragam, memperluas gerakan (misalnya gerakan anti korupsi), dan
sebagainya. Jadi program-program Ornop yang luas dapat terjadi karena
adanya hubungan antar organisasi. Sebagai contoh Indonesia Coruption Watch
(ICW) membantu organisasi anti korupsi di banyak wilayah Indonesia;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
47
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

YAPPIKA di Jakarta mampu membantu program penguatan partisipasi


masyarakat dalam memperbaiki kinerja pelayanan publik di banyak daerah, hal
yang dapat terjadi karena kerja sama yang luas dengan Ornop lain. Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) bekerja sama dengan
puluhan Ornop lokal dalam memantau penggunaan anggaran dan memperkuat
kemampuan organisasi lokal dalam memantau anggaran.

Dari contoh-contoh di atas, Ornop dapat menjalankan peran penting bagi


perbaikan governansi di Indonesia bukan karena upaya organisasi secara
individual melainkan karena kemampuannya membangun jaringan. Memang
untuk menjadi lebih berdampak Ornop masih perlu memperbaiki jaringan
sebagai sumber informasi, pengaturan kerja sama atau mobilisasi sumber
daya. Juga Ornop perlu mengembangkan cara-cara inovatif untuk
meningkatkan kemampuannya memberdayakan masyarakat. Jelas bahwa apa
yang dibutuhkan Ornop berada diluar kemampuan Pemerintah untuk
memberdayakan. Sebagai contoh, badan-badan pelatihan pemerintah hanya
memberikan kecakapan umum yang tidak sesuai dengan persoalan yang
dihadapi masyarakat. Hal ini saksi ahli simpulkan pada saat mereview program
pemerintah PNPM Peduli atau melakukan riset tentang ekonomi kreatif.

Yang dibutuhkan Ornop adalah perbaikan akses sumber daya publik melalui
Pemerintah, tehnokrasi memperkuat jaringan, promosi/endorsement skema
pembangunan strategik yang disediakan pemerintah, perlindungan hukum dari
ornop lain yang melakukan kekerasan.

Ornop tidak dapat meningkatkan daya pembahannya karena dukungan


negarapun hampir tidak ada. Bansos, satu komponen pada APBD untuk
organisasi sosial, kebanyakan bersifat charity dan tanpa kerangka pemikiran
yang jelas. Uraian di atas menunjukkan bahwa berdasarkan pengalaman,
tujuan UU Ormas adalah untuk negara memberikan pemberdayaan. Kesaksian
Saya adalah bahwa negara jauh dari mampu dalam segi kerangka tentang
pembangunan maupun kemampuan institusional. Lembaga negara tidak ada
yang dipersiapkan untuk meningkatkan kapasitas organisasi OMS. Apalagi
peningkatan kapasitas OMS untuk meningkatkan kapasitas OMS lain.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
48
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Kelemahan Institusional dan Politik Lokal

Beberapa studi menunjukkan bahwa sistem demokrasi formal termasuk


otonomi daerah di Indonesia belum menghasilkan sistem politik yang matang
(Ryan Tans, 2012; Vedi Hadiz, 2010). Sistem demokrasi formal untuk jabatan
publik mendorong munculnya kelompok-kelompok yang berupaya
menguasainya dengan pola-pola tindakan ilegal seperti politik uang, korupsi,
dan herbagai ideal yang mengakali pemilih. Ryan mengidentifikasi 3 (tiga)
model yang digunakan kelompok untuk menguasai jabatan publik, yaitu mafia
politik, mesin partai, dan koalisi mobilisasi. Artinya, sistem demokrasi dibanyak
daerah tidak mendorong munculnya pelembagaan politik yang melindungi
kepentingan masyarakat.

Di daerah begitu banyak kelemahan aparat birokrasi. Birokrasi daerah menjadi


alat memperbesar dukungan politik dan keuntungan golongan. Lepas dari
masalah politik, kapasitas aparat dan penegak hukum dalam menangani
masalah masyarakat sangat terbatas. Sebagai indikasi, banyak konflik dalam
masyarakat (baik dengan latar belakang politik atau tidak) tidak dapat ditangani
dengan baik. Menteri Dalam Negeri sendiri ingin membubarkan Dinas
Kesbangpol dan Inspektorat Pengawasan di daerah karena dianggap tidak
efektif dan memboroskan anggaran negara. Dua badan ini dinilai tidak efektif
menangani konflik dalam masyarakat. Ini berarti OMS (Organisasi Masyarakat
Sipil) di banyak daerah berada pada situasi riskan Jika dianggap kritis terhadap
pejabat publik berpengaruh di daerah tersebut. Pasal 59 potensial digunakan
untuk menekan OMS karena rumusan yang tidak pasti.

Arena PerArena Partisipasi Keadilan Akuntabilitas Transparansi Efisiensi Efektivitas

Pemerintah 5,28 5,87 3,89 5,45 4,58 7,51 5,49

Birokrasi 5,68 3,96 5,91 6,17 5,04 6,98 5,38

Sumber: Kemitraan Bagi Pembaruan tata Kelola Pemerintahan, Indonesia


Governance Index, 2012, Laporan Eksekutif, Jakarta: Kemitraan, hal. 35.

Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata nasional kinerja tata kelola provinsi,
buruk. Yogyakarta yang meraih nilai tertinggi hanya mencapai angka 6,80 (hal.
34). Artinya, institusi pemerintahan yang ada di daerah belum mampu menjadi
responsif atas kepentingan masyarakat.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
49
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Jadi, suatu Undang-Undang tidak cukup hanya dilihat dari rumusannya namun
harus diletakkan pada konteks institusional dan organisasional dimana akan
diterapkan. Sebagai contoh, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas Pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
perusahaan. Tampaknya pasal ini secara rumusan tidak merugikan
perusahaan. Dalam kenyataannya, pasal ini memperkuat tekanan politisi
maupun kelompok lain di daerah agar perusahaan memberikan materi untuk
kepentingan pribadi/kelompok.

Paradigma Hubungan Negara dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)

Satu hal mendasar yang perlu dipahami dalam memetakan masalah ini ialah
bahwa Organisasi Masyarakat Sipil tidak sama dengan Ormas.

(OMS ≠ Ormas)

Organisasi Masyarakat Sipil mencakup pengertian organisasi yang sangat luas


dan memiiiki peran yang sangat penting bagi demokrasi. Sementara, Ormas
memiliki pengertian sempit secara sejarah dan politis dengan supervisi dari
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian
Dalam Negeri.

Dengan berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, ada potensi


disempitkannya pengertian OMS ke dalam Ormas. Hal ini tercermin dalam
definisi luas yang ada dalam Pasal 1 ayat (1) UU Ormas dan dalam praktik
yang dijalankan Dirjen Kesbangpol yang kerap mencampuradukkan antara
Ormas, Organisasi Nirlaba, dan LSM.

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kapasitas dan orientasi negara
dalam memimpin, mengatur, dan mengembangkan sumber daya publik dengan
baik. Suatu negara dalam berinteraksi dengan OMS setidaknya mempunyai
empat macam hubungan, yaitu hubungan pengaturan negatif, fasilitasi,
kemitraan, dan promosi (endorsing).

Peran regulasi membatasi pada dasamya membuat batasan-batasan untuk


menghindari munculnya kondisi negatif terhadap subjek hukum maupun pihak
lain. Contohnya, kewajiban membuat laporan keuangan bagi organisasi yang
menggunakan dana masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan dana,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
50
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

aturan yang menghukum dilakukannya kekerasan, atau pemberian infOrmasi


palsu pada publik.

Hubungan yang kedua adalah fasilitasi, yaitu negara memperkuat kemampuan


OMS dalam mengelola sumber daya lokal. Misalnya melalui fasilitas infOrmasi
dan pengetahuan, menciptakan kemudahan melakukan kerja sama, dan
mendapat akses ke berbagai sumber daya.

Peran dan hubungan yang ketiga adalah kemitraan, yaitu negara mendorong
kapasitas dan keterlibatan OMS dalam mengelola sumber daya publik,
termasuk di dalamnya, mengembangkan skema dan prosedur pelibatan OMS
dalam sumber daya publik.

Keempat adalah mempromosikan (endorsing) yaitu negara memberikan


legitimasi formal terhadap OMS untuk menciptakan kemudahan dan
peningkatan kinerja OMS dalam berbagai program perbaikan kondisi
kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya keterlibatan OMS dalam menilai
pemerintah dan pejabat publik lainnya secara kritis.

Mengapa suatu negara perlu melakukan keempat dimensi di atas? Semua itu
berdasarkan kenyataan bahwa setiap institusi negara mempunyai banyak
keterbatasan dalam melakukan upaya mensejahterakan masyarakat, apalagi
khususnya negara seperti Indonesia. Bagaimana suatu pemerintah/negara
memenuhi dimensi-dimensi ini mencerminkan beberapa hal penting, yaitu
pandangannya tentang masyarakat, orientasi dalam melakukan pembangunan,
kepentingan politik, dan kapasitas institusi negara dalam berinteraksi dengan
organisasi masyarakat.

2. Surya Tjandra

1. Dari desainnya khususnya terkait bahasa dan susunannya, UU Ormas amat


detil dan preskriptif, bertujuan untuk sejauh mungkin memberikan definisi
dan meliputi setiap unsur dari pembentukan dan berfungsinya organisasi
masyarakat.
2. Sementara amat preskriptif, Undang-Undang tersebut - khususnya di bagian
tujuan, fungsi dan cakupan organisasi kemasyarakatan - pada saat sama
menjadi tidak jelas dan melebar dalam bahasanya. Kedua hal ini
menunjukkan Undang-Undang tersebut mempunyai implikasi yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
51
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

membahayakan terhadap dilaksanakannya kebebasan berorganisasi dan


berserikat.
3. Pembatasan aktivitas organisasi kemasyarakatan dapat diterapkan,
misalnya, berdasarkan pertimbangan bahwa aktivitas tersebut tidak secara
khusus dan eksplisit disebutkan di dalam UU Ormas, dan karenanya
menurut definisinya adalah tidak sah (ilegal). Selain itu ketidakjelasan
bahasa membuat pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sedemikian rupa
untuk membatasi hak dan kebebasan organisasi kemasyarakatan.
Organisasi kemasyarakatan dapat diberi sanksi, misalnya, untuk memiiiki
tujuan yang tidak, atau tidak sejalan dengan tujuan-tujuan organisasi
kemasyarakatan sebagaimana termuat secara eksplisit di dalam Pasal 5,
yang berbunyi:
Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YangMaha Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.
4. Yang paling menimbulkan kekhawatiran adalah Pasal 21 huruf c, yang
membebankan pada organisasi kemasyarakatan tanggung jawab untuk
"memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta
memberikan manfaat untuk masyarakat", begitu juga untuk menjaga
ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat."
Kewajiban-kewajiban ini bersifat amat multi-tafsir dan cair yang rawan
manipulasi, selain juga untuk beberapa hal, bahkan disebutkan sebagai
"larangan" di dalam Pasal 59 dan seterusnya. Dengan demikian, Pasal 21
dan Pasal 59 akan memberikan Pemerintah kekuasaan yang amat luas
untuk menekan setiap aktivitas yang dinilainya sebagai berpotensi untuk

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
52
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

"mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik


Indonesia."
5. Ketentuan mengenai pembentukan dan pendaftaran organisasi
kemasyarakatan juga amat preskriptif dan membebani yang mengancam
inti dari pembentukan organisasi kemasyarakatan itu sendiri. Sementara
registrasi sering dikaitkan dengan status hukum dari organisasi
kemasyarakatan, satu hal aneh dari UU Ormas adalah bahwa semua
organisasi kemasyarakatan, baik "berbadan hukum" maupun "tidak
berbadan hukum", wajib untuk mematuhi ketentuan mengenai pendaftaran
yang amat membebani tersebut. Selanjutnya, Pasal 17 ayat (3) justru
memberi diskresi yang luas terhadap otoritas Pemerintah untuk
merdaftarkan atau tidak mendaftarkan organisasi masyarakat, dengan
mengatur bahwa pendaftaran akan diberikan jika organisasi kemasyarakat
tersebut telah "lulus verifikasi", tanpa penjelasan lebih lanjut apakah kriteria
untuk verifikasi tersebut.
6. Selain preskriptif dan membebani, ketentuan mengenai pembentukan dan
pendaftaran organisasi juga tidak jelas konstruksi normanya serta tidak
konsisten. UU Ormas mengatur Ormas yang berbadan hukum dinyatakan
terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum. Dengan
demikian, ketika suatu Ormas sudah memperoleh status badan hukum
yayasan atau perkumpulan, maka Ormas tersebut tidak memerlukan Surat
Keterangan Terdaftar (SKT). [lihat pada Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3)].
Namun, keberadaan Pasal 15 ayat (2) melalui frase "pendaftaran Ormas
berbadan hukum" justru membuat bias makna Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(3). Adapun pada Pasal 16 mengatur materi pendaftaran Ormas tidak
berbadan hukum. Tetapi apakah pendaftaran Ormas menjadi sebuah
perintah/kewajiban atau bersifat pilihan tidak dapat ditelusuri dari teks
pengaturan. Kedua pasal tersebut hanyalah salah satu contoh ketentuan
yang tidak dapat diketahui secara pasti kategori normanya dan tidak
konsisten, sehingga dapat ditafsirkan sesuka aparat Pemerintah yang
berkuasa untuk membatasi organisasi yang kritis. Ketentuan tersebut pada
ujungnya berakibat pada kerugian konstitusional yang hingga saat ini telah
dialami setidaknya kepada Yayasan FITRA Sumatera Utara,
KONSORSIUM Lombok Tengah, dan Serikat Buruh di Kabupaten Singkil.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
53
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

7. Meski tidak secara eksplisit disebutkan di dalam UU Ormas ini apakah


serikat pekerja/serikat buruh dikualifikasikan sebagai organisasi
kemasyarakatan, dan karenanya masuk ke dalam cakupan Undang-
Undang, kami berpandangan UU Ormas juga akan berlaku pada serikat
pekerja/serikat buruh karena dengan mudah dimasukkan ke dalam
terminologi kabur yang disebut organisasi kemasyarakatan "tidak berbadan
hukum". Dengan demikian jelas ketentuan-ketentuan di dalam UU Ormas
bertentangan dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam UU Nomor
21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyediakan
ketentuan terkait pendaftaran dan hak-hak serikat pekerja/serikat buruh.
8. UU Ormas juga mengancam kebebasan berserikat bagi buruh dan
bertentangan dengan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi identifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 83/1998) dan Konvensi ILO Nomor 98 tentang
Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama (diratifikasi
melalui UU Nomor 18/1956), khususnya dengan memberi ruang yang amat
luas kepada pemerintah untuk mengintervensi mulai dari proses pendirian
hingga beroperasinya organisasi kemasyarakatan dan serikat
pekerja/serikat buruh. Ini bertentangan dengan semangat reformasi dan
mengingatkan pada praktik era Orde Baru yang otoriter dan anti-demokrasi.
Laporan kondisi seperti ini dilaporkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) terjadi di Kabupaten Singkil, Nangro Aceh Darussalam,
terkait pengurus serikat buruh yang akan menjadi anggota Lembaga Kerja
Sama Tripartit Daerah diwajibkan mendapat persetujuan Jan Kesbangpol
Pemerintah Daerah setempat terlebih dahulu (Siaran Pers, 23 Desember
2013).
9. Ketika UU Ormas diberlakukan salah satu alasan yang dikemukakan
perancang UU Ormas adalah untuk menyasar organisasi yang melakukan
tindak kekerasan secara melawan hukum. Kami berpendapat bahwa alasan
ini hanyalah ilusi yang dibuat sekadar untuk memuluskan rencana
membangkitkan kembali peraturan ala rezim Orde Baru yang otoriter. Ini
terbukti dengan praktik saat ini di mana UU Ormas meletakkan pelanggaran
hukum terhadap ketentuannya justru ke tangan birokrasi yang bersifat
politis, yaitu Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol).

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
54
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

10. Secara hukum, sesungguhnya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku tindak kekerasan.
Adapun mengenai pelaku yang bersifat organisasi, maka seharusnya
dikembalikan kepada pengaturan jenis badan hukum yang ada (Yayasan,
Perkumpulan), bukan malah membangkitkan entitas lama yang
problematik seperti Ormas.
11. Sejak awal kelahirannya, hingga kini, Ormas dipandang bukanlah melulu
sebagai suatu badan hukum (rechtpersoon) melainkan lebih bersifat politis.
Ini disebabkan karena bentuk Ormas dinilai lahir dengan pertimbangan
politis, bukan pertimbangan hukum. Di dalam UU Ormas yang terbaru ini
(Nomor 17 Tahun 2013) bahkan pengertian Ormas menjadi semakin rancu
dan politis. Bentuk Ormas ditempatkan secara superior, dalam posisi di
atas, yang meliputi organisasi "berbadan hukum" maupun organisasi "tidak
berbadan hukum" (lihat Pasal 10 dan Pasal 11 UU Ormas).
12. UU Ormas melihat bahwa seluruh dan semua jenis organisasi yang
bergerak di bidang sosial adalah Ormas. Secara praktik hal ini punya
dampak politik, karena dengan diartikan sebagai Ormas maka negara perlu
melakukan "pembinaan" yang dilaksanakan oleh Ditjen Kesatuan Bangsa
dan Politik (Kesbangpol). Melalui UU Ormas pendekatan politik menjadi
lebih dikedepankan daripada pendekatan hukum, dan ini jelas berbahaya
bagi demokrasi yang menjamin partisipasi masyarakat di dalam kehidupan
brnegara sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan
seluruh perubahannya.
13. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya berpendapat UU
Ormas mempunyai implikasi yang membahayakan terhadap
dilaksanakannya hak konstitusional atas kebebasan berorganisasi dan
berserikat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh khususnya, dan karena itu sudah sepatutnya
untuk dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

3. Drs. Amir Effendi Siregar


Otoriter sejak awal
Ahli secara khusus dan intens mengikuti perkembangan peraturan perundang-
undargan tentang organisasi kemasyarakatan ini sejak pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pendaftaran

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
55
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Organisasi Kemasyarakatan. Sangat mengejutkan Menteri Dalam Negeri pada


20 April 2012 mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun
2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di
Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah. Peraturan
ini diundangkan pada 23 April 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM.

Isinya penuh dengan semangat anti demokrasi dan bersifat sangat otoriter.
Betapa tidak semua organisasi kemasyarakatan wajib mendaftarkan diri dan
memperoleh surat keterangan terdaftar (SKT) yang dapat diperpanjang,
dibekukan, ataupun dicabut. SKT ini diberlakukan seolan-olah izin beroperasi
yang dapat dibekukan dan kemudian dicabut apabila, antara lain, menyebarkan
ideologi marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, serta ideologi Iain yang
bertentangan dergan Pancasila dan UUD 1945.

Organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang dimaksud oleh permen 33/2012


tersebut adalah organisasi yang dibentuk secara sukarela atas kesamaan
kegiatan, profesi fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Ormas ini bukan organisasi yang berafiliasi atau sayap organisasi partai
politik, selanjutnya bukan juga Ormas yang didirikan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Artinya organisasi, seperti Persatuan
Wartawan Indonesia Aliansi Jurnalis Independen, Serikat Perusahaan Pers, dan
banyak organisasi masyarakat sipil lainnya baik di tingkat lokal maupun
nasional, wajib mendaftarkan diri dan memperoleh SKT meskipun sudah
memperoleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Apakah dasar hukum utama permen 33/2012 itu? Ternyata adalah Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 yang sangat bersifat otoriter, yang
dikeluarkan memang pada zaman Indonesia berada dalam sistem politik yang
represif otoriter. Undang-Undang dan peraturan pemerintah itu secara jelas
menyebutkan bahwa setiap Ormas hanya boleh memiiiki Pancasila sebagai
satu-satunya asas serta dapat dibekukan dan dibubarkan sebagaimana alasan
yang telah disebutkan dalam Permendagri di atas.

UU tersebut di atas menyatakan bahwa pemerintah membubarkan Ormas yang


menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran
komunisme/marxisme-leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
56
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala bentuk dan
perwujudannya.

Lebih dari itu, Permendagri 33/2012 ini secara eksplisit dan lebih luas lagi
menyatakan bahwa pembekuan SKT bisa dilakukan, antara lain, jika dianggap
menyebarkan ideologi marxisme atheisme, kapitalisme, sosialisme, serta
ideologi lainnya yang bertentangan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian sejak awal sebenarnya motivasi dominan kelahiran Undang-


Undang tentang organisasi kemasyarakatan ini meskipun disebut sebagai
pengganti Undang-Undang Ormas lama adalah melakukan tindakan kontrol
yang ketat, represif dan bersifat otoriter terhadap organisasi kemasyarakatan.
Hal itu dapat dilihat dari contoh keluarnya Permandagri 33/2012 di tengah
pembahasan RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan juga dapat
dilihat melalui pembahasan RUU Ormas ketika masih berlangsung di DPR.
Banyak pihak menolak dengan tegas RUU yang represif dan otoriter itu. RUU
Ormas ini adalah salah satu RUU yang lama dibahas serta mendapat
perlawanan luas dari tokoh-tokoh dan organisasi masyarakat sipil.

Perlawanan Masyarakat Sipil

Sejak 2006, belasan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi
Kebebasan Berekspresi (KKB) menolak RUU. Kemudian belasan organisasi
masyarakat sipil bidang media bergabung, yang menyebabkan koalisi
mempunyai nama lain, yaitu Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi.
Selanjutnya koalisi menjadi lebih besar lagi dengan bergabungnya organisasi
buruh, pekerja, serta organisasi keagamaan, termasuk Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama, sehingga mempunyai nama lain yang disebut sebagai Koalisi
Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI), yang pada 28 Februari 2013
mengeluarkan siaran pers menolak RUU Ormas. Selanjutnya, pada 4 April,
mereka mengeluarkan tujuh alasan penting menolak RUU, yaitu 1) RUU Ormas
Tidak Urgen; 2) Represi dan Rezim Otoriter; 3) Anti-Kemajemukan; 4)
Inkonstitusional; 5) Diskrimlnatif; 6) RUU Ormas Disharmoni; 7) RUU Ormas
Membubarkan Ormas-Ormas Perkumpulan. KAMSI terdiri atas sekitar 200
organisasi masyarakat sipil dan tokoh masyarakat.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
57
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tetap otoriter

Kini Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan (UU Ormas 17/2013) telah lahir, disahkan, dan diundangkan
pada 2 Juli 2013. Setelah membaca ulang secara seksama, ternyata tidak
banyak perubahan yang sifatnya fundamental dibanding dengan RUU
sebelumnya. UU Ormas 17/2013 ini tetap bersifat otoritarian bermaksud dan
berambisi mengatur seluruh organisasi masyarakat sipil baik yang tidak maupun
yang berbadan hukum seperti yayasan dan perkumpulan yang sudah
mempunyai peraturan perundang-undangan tersendiri meskipun belum
sempurna.

Definisi "sapu jagad"

Menurut UU Ormas 17/2013, bidang kegiatan Ormas yang diatur meliputi


semua kegiatan organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara
sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan,
kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembengunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
[(Pasal 1 ayat (1)].

Ormas bertujuan untuk: a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan


masyarakat; b. memberikan pelayanan kepada masyarakat; c. menjaga nilai
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; d. melestarikan dan
memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam
masyarakat; e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup; f.
mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat; g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa; dan h. mewujudkan tujuan negara (Pasal 5 ).

Ormas berfungsi sebagai sarana: a. penyalur kegiatan sesuai dengan


kepentingan anggota dan/atau tujuan organisasi; b. pembinaan dan
pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi; c. penyalur
aspirasi masyarakat; d. pemberdayaan masyarakat; e. pemenuhan pelayanan
sosial; f. partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau g. pemelihara dan pelestari norma,
nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
(Pasal 6).
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
58
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Berdasarkan Pasal 1, Pasal 5, dan Pasal 6 di atas, organisasi seperti Persatuan


Wartawan Indonesia (PWI), ALiansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat
Perusahaan Pers (SPS) dan semua organisasi pers dan wartawan ikut diatur
dan harus memenuhi Undang-Undang Ormas ini. Batasan tersebut di atas
adalah definisi "sapu jagad", meliputi seluruh organisasi masyarakat sipil.

Ambisi dan nafsu negara, dalam hal ini Pemerintah untuk mengatur dan
mengontrol seluruh organisasi masyarakat sipil terlihat dengan jelas. Seluruh
organisasi masyarakat sipil yang tidak berbadan hukum (bayangkan organisasi
kecil-kecil termasuk yang memiliki aktivitas olahraga, sosial dan lainnya) harus
memperoleh surat keterangan terdaftar atau terdata dengan proses yang rumit.
Bila tidak, kegiatannva dapat terganggu atau bahkan dihentikan (Pasal 8 dan
10). Seluruh Ormas ternasuk Yayasan dan Perkumpulan yang sudah
memperoleh pengesahan badan hukum dan sudah dianggap terdaftar harus
patuh dan mengikuti Undang-Undang Ormas yang antara lain dapat dijatuhi
perghentian sementara (Pasal 61). Ini dapat dilakukan langsung tanpa lewat
proses pengadilan. Semua ini menyebabkan terjadinya pelanggaran dan
bertentangan dengan Pasal 28; Pasal 28C ayat (2); Pasal 28E ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) UUD 1945. Sebenarnya bila terdapat tindakan kekerasan atau
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi
berbasis massa tertentu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah lebih dari
cukup. KUHP juga mengatur delik yang memberikan konsekuensi pidana
kepada pelaku maupun perencana.

Menghambat kebebasan berkomunikasi dan kemerdekaan pers

Dilihat dari perspektif komunikasi, media, dan kemerdekaan pers, UU Ormas ini
tampak akal-akalan sekaligus memperlihatkankan wajah represif dan
otoriternya. Betapa tidak, beberapa contoh memberikan gambaran itu. Pasal
dalam RUU Ormas yang semula berbunyi: Ormas dilarang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila. Yang dimaksud dengan "ajaran dan paham yang
bertentangan dengan Pancasila" antara lain ajaran atau paham Komunisme,
Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme; sekarang dalam UU
ORMAS 17/2013 diubah menjadi: Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila" adalah ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme [Pasal 59 ayat (4) dan Penjelasannya].
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
59
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

UU Ormas 17/2013 ini berbahaya dan sangat anti demokrasi, bukan hanya
dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat sipil
secara umum juga sangat merugikan dan berbahaya buat organisasi media,
pers, wartawan, dan jurnalis. Organisasi-organisasi ini dapat diklasifikasikan
sebagai organisasi bermasalah dan melanggar Undang-Undang karena
pemberitaan, artikel, infOrmasinya seringkali menyebarkan ideologi lain yang
kadangkala memang tidak sesuai dengan Pancasila.

Media dan para jurnalis/wartawan bisa dihukum dan berhenti bekerja bila
menyajikan berita karena dapat dianggap menyebarkan ajaran tersebut! Tugas
wartawan dan media adalah menyajikan infOrmasi yang lengkap dari berbagai
macam sudut pandang, termasuk pandangan dan ajaran y0ng dapat saja
bertentangan dengan Pancasila, agar pembaca dapat memperoleh gambaran
dan infOrmasi yang komprehensif dan bermanfaat buat meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan praktek
atau aktivitas dan gerakan yang merongrong Pancasila, ideologi, dan
kewibawaan negara.

Sebelumnya RUU Ormas melarang hampir semua ideologi, sekarang dibatasi.


Ini adalah stigma Orde Baru, ketakutan yang berlebihan. Mengapa ideologi
fasisme dan otoritarian lainnya tidak dimasukkan? Bagaimana kita dapat bekerja
dan berdiskusi bebas, terutama media massa, karena tugasnva antara lain
membicarakan masalah dari berbagai macam sudut pandang dan
menyebarluaskannya? Lihat Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 59 ayat (4) UU Ormas
17/2013 yang disebutkan di atas adalah pasal karet yang selalu digunakan oleh
penguasa otoriter untuk melakukan tindakan represif terhadap warganya yang
dicoba disisipkan oleh sebagian birokrat dan atau politikus yang masih
berpikiran otoriter.

Dengan demikian Pasal 59 ayat 4 berikut penjelasannya bertentangan dengan


Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan juga bertentangan UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban, dan
Peranan Pers, Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan: Kemerdekaan Pers dijamin
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
60
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

sebagai hak azasi warganegara; 2. Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan


penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran; 3. Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencarl, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan infOrmasi. Bahkan dalam UU Pers dinyatakan
secara tegas bahwa kepada mereka yang melakukan penyensoran,
pembredelan, dan menghambat kemerdekaan pers dikenakan sanksi pidana
sesuai Pasal 18 UU Pers ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat
menghambat atau menghalangi Pasai 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjaro 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Akal-akalan UU Ormas

Gelombang penolakan RUU Ormas yang begitu besar dan melibatkan


organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu NU dan
Muhammadiyah, dicoba diakali dengan memasukkan tambahan pasal yang,
antara lain, menyatakan: Dalam melakukan pemberdayaan Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
menghormati dan mempertimbangkan aspek sejarah, rekam jejak, peran, dan
integritas Ormas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
[UU ORMAS 17/2013 Pasal 40 ayat (2)].

Di samping itu, pada pasal peralihan terdapat beberapa alternatif yang mencoba
ingin memberi keistimewaan kepada NU dan Muhammadiyah sebagaimana
dapat dilihat pada Ketentuan Peralihan Pasal 83 huruf b yang berbunyi: Ormas
yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van
Vereengingen) yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa,
tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Ini.

Kemudian secara khusus dalam penjelasan disebutkan: Dalam sejarah


perjuangan kemedekaan negara Republik Indonesia, Ormas merupakan wadah
utama dalam pergerakan kemerdekaan diantaranya Boedi Oetomo,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
61
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lain yang didirikan sebelum


kemerdekaan Republik Indonesia. Peran dan rekam jejak Ormas yang telah
berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut mengandung nilai sejarah dan
merupakan aset bangsa yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan
negara.

Semua usaha ini adalah tindakan akal-akalan yang mencoba membendung


penolakan terhadap RUU Ormas. Saya secara pribadi sangat percaya bahwa
organisasi besar, seperti NU dan Muhammadiyah, yang punya pengalaman
sejarah panjang, mempunyai kredibilitas tinggi untuk mengetahui secara persis
mana yang substansial dan mana yang tidak.

Penutup

Pada prinsipnya, Undang-Undang ini tetap tidak berubah, tetap otoriter dan anti
demokrasi. Undang-Undang ni sangat berambisi secara ketat mengatur seluruh
organisasi masyarakat sipil dengan berbagai kegiatan yang didirikan oleh tiga
orang atau lebih, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Organisasi
masyarakat sipil dapat diberi sanksi penghentian sementara kegiatan dan atau
pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum secara sepihak
karena melanggar pasal-pasal larangan yang umumnya juga bersifat karet.
Pada bagian menimbang yang merupakan landasan filosofis dan yuridis,
Undang-Undang ini melupakan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan, mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, serta menyampaikan
infOrmasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Undang-
Undang ini justru menggunakan pertimbangan menghormati kebebasan dan hak
asasi orang lain untuk mengurangi kebebasan berserikat, berkumpul, dan
berpendapat.

Ketika awal April 2013 DPR menunda pengesahan UU, Menteri Dalam Negeri
mengatakan hal Ini adalah sebuah ironi karena secara hukum masih berlaku UU
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang otoriter dan
lebih keras serta bertentangan dengan UUD 1945. Menurut saya, justru yang
sangat menyedihkan adalah mengapa Mendagri dalam alam yang demokratis,
pada 20 April 2012, masih mengeluarkan Permendagri Nomor 33 tentang
Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
62
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, yang tidak kalah represifnya dan
mendasarkan dirinya pada UU Nomor 8 Tahun 1985 itu. Bukankah ini justru
yang ironi?

Asal muasal, raison de'tre, lahirnya undang-undang Ormas adalah mengontrol


secara ketat organisasi kemasyarakatan, termasuk melakukan tindakan represif.
Secara paradigmatik memang mengandung prinsip otoritarianisme, jadi dikutak-
katik sedemikian rupapun akan tetap otoriter dan represif. Seolah-olah ingin
tetap menjamin hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat namun dengan
alasan setiap orang wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain,
justru cerderung membunuh hak berserikat dan berpendapat itu.

Indonesia telah memilih demokrasi sebagai jalan hidup bemegara. Selama ini
kita merasa bahwa hak-hak sipil dan politik dalam bentuk kebebasan berbicara,
berekspresi, kemerdekaan pers, dan berorganisasi telah secara relatif diperoleh
dan selanjutnya mencoba memperjuangkan demokrasi ekonomi, sosial, dan
budaya dalam usaha menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat,
kini ditarik mundur oleh UU ORMAS 17/2013 yang bersifat otoriter itu.

Seolah-olah ingin menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain, negara
mengambil alih peranan untuk mengurangi kebebasan berserikat, berkumpul
dan berpendapat. UU Ormas ini berentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
juga sekaligus bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1945 tentang Pers
sebagaimana telah saya uraikan di atas. Kepada Majelis Hakim Mahkamah
Korstitusi Yang Mulia diharapkan dapat memberikan keputusan yang tepat
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, untuk kepentingan seluruh
masyarakat agar demokratisasi politik, ekonomi, sosial, dan juga komunikasi
bisa berjalan secara sehat dan baik. Mari kita membahas dan memperbaiki
Undang-Undang Perkumpulan dan Yayasan untuk Indonesia yang lebih baik
dan demokratis. Ini adalah gerakan kita bersama mencegah otoritarianisme
baru dalam kehidupan berbangsa dan bemegara di Indonesia.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
63
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

4. Sri Budi Eko Wardani, SIP, M.Si

A. Hubungan Negara dan Masyarakat Sipil: Dari masa sulit, euforia, dan
ketegangan

Sebuah kenyataan bahwa hubungan antara negara dengan masyarakat sipil di


Indonesia mengalami dinamika pasang surut. Hubungan tersebut mengalami
masa sulit pada akhir periode orde lama hingga selama orde baru yang
panjang. Strategi pemantapan kekuasaan politik rezim pada masa awal orde
baru (1980an) adalah dengan cara mengendalikan kelompok-kelompok
kekuatan politik seperti birokrasi, partai politik, termasuk masyarakat sipil.
Indikasinya sudah terlihat ketika muncul peraturan pemerintah dan perundang-
undangan yang mengatur kehidupan politik pada 1970 hingga 1985.

Diawali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 yang melarang


pegawai negeri sipil menjadi anggota partai politik. Kebijakan ini dikenal
dengan istilah monoloyalitas pegawai negeri sipil yaitu kesetiaan tunggal PNS
'hanya' pada negara (baca: Pemerintah). Pegawai negeri dilarang menjadi
anggota partai politik tetapi diperbolehkan menyalurkan aspirasi politiknya pada
Golongan Karya (Golkar) karena dianggap bukan partai politik. Golkar adalah
organisasi sosial politik (orsospol) yang secara formal diatur dalam UU tentang
Partai Politik dan Golongan Karya (UU Nomor 3 Tahun 1985). Menurut
Undang-Undang tersebut, Golkar adalah peserta Pemilu.

Pengendalian selanjutnya dilakukan terhadap partai politik melalui kebijakan


penyederhanaan partai politik dengan cara menggabungkan partai-partai politik
yang memiliki kecenderungan ideologi sama (tahun 1973). Maka pada Pemilu
1977, kita menyaksikan lahirnya dua partai politik baru hasil penggabungan
yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil fusi partai-partai berasaskan
Islam; dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai hasil fusi partai-partai

berasaskan nasionalisme dan Katolik. Kebijakan ini diikuti dengan larangan


pembentukan partai politik baru selain dua partai hasil fusi tersebut. Maka
selama Pemilu-pemilu orde baru, peserta Pemilu hanyalah tiga kontestan
(PPP, Golkar, PDI). Kebijakan pengendalian terhadap partai politik selama tiga
puluh tahun berhasil mengokohkan kekuasaan politik rezim orde baru tanpa
persaingan.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
64
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Komponen terakhir yang masuk dalam strategi pengendalian adalah


masyarakat sipil melalui pengaturan tentang organisasi masyarakat sipil. Rezim
orde baru sempat direpotkan dengan aktivitas kelompok/organisasi masyakarat
yang sangat kritis menentang kebijakan Pemerintah, khususnya gerakan
mahasiswa dan aktivis pro demokrasi. Misalnya peristiwa Malari (singkatan dari
Malapetaka Limabelas Januari) yang terjadi pada 15 Januari 1974 dimana
kelompok mahasiswa berdemonstrasi memprotes kedatangan PM Jepang
sebagai reaksi atas sikap anti asing. Gerakan mahasiswa juga memprotes
meluasnya praktik korupsi, proses Pemilu, dan strategi pembangunan. Untuk
meredam aksi kelompok mahasiswa, Pemerintah mengeluarkan kebijakan
normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK 1978) yang bertujuan
mengendalikan aktivitas mahasiswa.

Pengendalian terhadap masyarakat sipil juga dilakukan melalui kebijakan


massa mengambang (floating mass) dan kooptasi organisasi masyakat melalui
UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kebijakan
massa mengambang dimaksudkan untuk menjauhkan aktivitas masyarakat di
tingkat paling bawah (kecamatan, desa) dari kegiatan politik. Partai politik
(PPP, PDI) dilarang membentuk organisasi sayap hingga tingkat desa.
Sementara Golkar masih bisa menjangkau warga desa melalui Ormas
bentukan negara.

UU Nomor 8 Tahun 1985 yang singkat (terdiri dari 20 pasal) bertujuan


mengatur organisasi masyarakat oleh Pemerintah. Poin pengaturan dan
pengendalian dalam Undang-Undang tersebut antara lain:

• penggunaan asas Pancasila sebagai satu-satunya asas;

• organisasi kemasyarakatan berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan


pengembangan yang sejenis (pasal 8). Dampaknya pemerintah hanya
mengakui satu wadah tunggal organisasi kemasyarakatan, misalnya
organisasi wartawan yang diakui hanya PWI.

• Pemerintah melakukan pembinaan terhadap organisasi kemasyarakatan


melalui Departemen Dalam Negeri.

• Pemerintah dapat membekukan/membubarkan pengurus/organisasi bila


melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum, dan menerima
bantuan asing tanpa persetujuan Pemerintah.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
65
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tentu saja hasilnya dapat kita amati bersama. Ruang politik dikuasai oleh
mobilisasi bukan partisipasi. Rezim orde baru secara ketat mengawasi kegiatan
aktivis/organisasi kemasyarakatan sehingga pada akhirnya mengalami ledakan
politik pada akhir periode orde baru (pasca Pemilu 1997).

Hubungan negara dan masyarakat sipil mengalami masa euforia tatkala


gerakan masyarakat sipil berhasil menumbangkan rezim orde baru. Masa
euforia ini ditandai dengan kebebasan sipil dan politik yang dijamin oleh
serangkaian peraturan perundangan. Peluang melakukan koreksi terhadap
penafsiran dan penyimpangan implementasi UUD merupakan kesempatan
politik bagi kelompok masyarakat sipil untuk mendesakkan agenda refOrmasi
ketatanegaraan. Misalnya advokasi pemilihan presiden oleh rakyat,
pembatasan masa jabatan presiden hanya dua periode, penghapusan dwi
fungsi ABRI (TNI/Polri), meniadakan pengangkatan dalam pengisian anggota
lembaga legislatif, ditambahnya pasal-pasal tentang hak asasi termasuk
kebebasan berserikat, Pemilu, dan sebagainya. Peran kelompok masyarakat
sipil tak bisa diabaikan dalam proses perubahan politik ke arah yang lebih
demokratis. Harus dikatakan bahwa yang lebih menikmati perubahan politik itu
adalah partai politik. Partai politik beralih posisi, dari pinggiran kekuasaan ke
pusat kekuasaan, dan menentukan seleksi kepemimpinan di berbagai tingkatan
(nasional – lokal).
Lalu bagaimana dengan kekuatan kelompok masyarakat sipil? Pelaksanaan
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat membawa capaian
Indonesia masuk sebagai salah satu negara bebas menurut Freedom House
(lembaga internasional yang melakukan riset dan pemeringkatan kondisi
kebebasan sipil dan politik). Secara konsisten sejak 1999, Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara demokratis dengan jumlah penduduk terbesar di
dunia. Namun pasca Pemilu 2009, masa euforia hubungan negara dengan
masyarakat sipil sejatinya mengalami ketegangan, hingga berujung pada
Iahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU
Ormas). Lebih lanjut akan dijelaskan berikut ini.

B. Kontrol Publik dan Perluasan Partisipasi Politik Warga Negara

Setelah Pemilu 2009, organisasi masyarakat sipil berkembang dengan


beragam fungsi. Salah satu yang sangat kuat didorong adalah fungsi kontrol

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
66
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

terhadap otoritas politik (pemerintah, legislatif, yudikatif, birokrasi, partai politik)


yang selama orde baru tidak dapat dilakukan. Seiring munculnya persoalan-
persoalan seperti korupsi dan politik uang yang berdampak pada meningkatnya
ketidakpercayaan terhadap tata kelola politik.

Di sisi lain, pergerakan di kalangan organisasi/kelompok masyarakat sipil


(OMS) juga sangat dinamis. Ditandai dengan keragaman baik dari aspek
jumlah, ruang lingkup, wilayah kerja, garis perjuangan, kelompok dampingan,
termasuk beragam dalam sikap politik dan posisi terhadap negara (dicerminkan
sebagai Legislatif, Eksekutif, Yudikatif). Setidaknya posisi OMS terhadap
negara dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu konfrontatif dan keterlibatan
(engagement). Konfrontatif dalam arti bersikap kritis dan menolak kerjasama
dengan pemerintah maupun lembaga legislatif. OMS tipe ini memilih berjejaring
dengan komunitas dan mendorong perubahan dari luar arena politik. Di
spektrum yang lain, OMS ada yang bersikap engagement (terlibat) dengan
asumsi bahwa kapasitas Pemerintah (negara) masih Iemah sehingga perlu
dikuatkan, bentuknya adalah mengadakan kerja sama dengan pemerintah.
Tetapi perlu dilihat bahwa OMS yang bersikap engagement pun tidak
mengabaikan sikap kritisnya. Secara internasional pun, muncul gagasan
kemitraan multi-stakeholder yaitu antara pemerintah, legislatif, partai politik,
OMS, dan akademisi/peneliti. Kemitraan multi pemangku kepentingan ini
didorong untuk memperkuat akuntabilitas penyelenggara negara sekaligus
membuka komunikasi politik yang produktif. Secara global, hal tersebut dikenal
dengan istilah democratic governance (tata kelola pemerintahan yang
demokratis). Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk yang mempromosikan
gagasan tersebut.

Sesungguhnya kecenderungan tersebut layak direspon secara positif oleh


pengambil kebijakan. Tidak justru malah bersikap defensif atau curiga.
Perluasan partisipasi politik warga negara adalah konsekuensi logis ketika
keran kebebasan sipil politik dibuka seluasnya. Misalnya dalam paket Undang-
Undang bidang politik – Pemilu dan Pemilukada, partai politik, pemerintahan
daerah, desa, mendorong adanya keterlibatan dan partisipasi warga negara.
Partisipasi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai upaya warga negara
memengaruhi proses kebijakan publik di berbagai tingkatan, baik langsung
maupun tidak langsung. Warga negara yang terdidik secara politik menjadi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
67
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

sumber rekrutmen politik, dimana selama orde baru menjadi basis mobilisasi
politik rezim. Riuh rendahnya dunia masyarakat sipil mestinya tidak dibaca
sebagai ancaman oleh negara karena dalam dunia masyarakat sipil pun terjadi
proses seleksi alamiah dalam meraih kepercayaan masyarakat.

C. Catatan Kritis terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan

Salah satu persoalan krusial ketika mempelajari UU Ormas tersebut adalah


cara pandang/perspektif pembuat kebijakan terhadap dunia masyarakat sipil.
Cara pandang tersebut adalah melihat dunia masyarakat sipil (dalam hal ini
disederhanakan sebagai Ormas) sebagai:
- organisasi yang ruang lingkupnya bersifat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota
- selalu terlembaga, ditandai dengan struktur organisasi dan AD/ART
- memerlukan pemberdayaan dari Pemerintah/pemerintah daerah
- untuk itu perlu mendaftarkan keberadaannya kepada Pemerintah

Apa implikasi dari cara pandang tersebut? Pembuat kebijakan tidak memahami
keragaman dunia masyarakat sipil yang bahkan dapat tumbuh dari lingkungan
komunitas yang kecil seperti rukun warga dan desa/kelurahan. Geliat forum-
forum warga yang bertujuan merespon kebijakan kepada desa atau lurah
misalnya, merupakan fora baru organisasi masyarakat sipil yang perlu
diapresiasi sebagai bentuk nyata kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Pengorganisasian masyarakat hingga tingkat desa dalam upaya menghadirkan
kepentingan mereka adalah bukti perluasan partisipasi politik pada era
demokratisasi dewasa ini.

OMS tidak selalu terlembaga, dalam arti memiliki struktur organisasi formal,
berjenjang, dan memiliki AD/ART. Pembuat kebijakan tampaknya kurang
memahami kemajemukan dan keunikan OMS yang berbasis pada kebutuhan
yang disesuaikan dengan konteksnya. Dengan meluasnya partisipasi politik,
muncul kebutuhan untuk berkumpul dan mengorganisir kepentingan agar
tersampaikan secara Iuas. Misalnya kelompok-kelompok adat merasa perlu
mengorganisir diri untuk menyampaikan aspirasinya namun tidak selalu dalam
bentuk organisasi formal.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
68
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Dengan logika seperti itu pembuat kebijakan mengatur agar Ormas harus
terdaftar, menyerahkan program kerjanya, melakukan pemberdayaan yang bisa
dimaknai sebagai pembinaan, bahkan juga mengatur komposisi kepengurusan.
Satu hal lain yang terlupakan, selain soal kemajemukan, OMS memiliki otonomi
mengatur dirinya sendiri yang harus dihargai dan tidak boleh diintervensi oleh
Pemerintah (negara). Dalam relasi kuasa dengan negara yang (pasti) timpang,
OMS perlu ruang otonomi memadai agar dapat hidup dan memberikan
kontribusinya.

D. Rekomendasi

Mengacu pada penjelasan di atas maka UU Ormas ini sangat beralasan untuk
dicabut sepenuhnya. Pembuat kebijakan masih menggunakan logika atau cara
pandang Ormas dari masa orde baru dan sangat tidak tepat digunakan lagi
pada era demokratisasi saat ini. Indonesia telah mengalami perjalanan panjang
dalam relasi antara negara dengan masyarakat sipil, dan jangan lagi dibuat
dalam kerangka untuk mengendalikan atau pembinaan oleh Pemerintah. Ketika
kita sebagai bangsa menerima kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat sebagai hak warga negara maka sejatinya hal itu
dilaksanakan secara konsekuen. Ranah sosial kemasyarakatan haruslah
dikelola dengan pendekatan dan kerangka yang benar, yaitu melalui badan
hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum
Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota) yang dikelola oleh
Kementerian Hukum dan HAM. Sementara yang tidak berbadan hukum
sebenarnya telah dijamin oleh UUD 1945. Pendekatan ini ke depannya akan
membangun kerangka yang baik dalam menjalankan perbaikan demokratisasi
di Indonesia.

Selain isu pendaftaran dan pemberdayaan, UU Ormas juga mengatur tentang


akuntabilitas dan transparansi khususnya dalam pengelolaan dana yang
diperoleh dari masyarakat. Hal tersebut memang isu yang penting, tetapi
sesungguhnya terjadi seleksi alamiah di antara OMS dalam meraih
kepercayaan publik. Integritas OMS diperoleh dari konsistensi perjuangannya
dalam membela kepentingan umum yang dibuktikan melalui rekam jejaknya.
OMS yang sudah terlembaga dan memiliki kerja yang panjang, pasti
membutuhkan transparansi melalui audit keuangan secara reguler. Bagi OMS,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
69
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kepercayaan dari kelompok masyarakat yang didampingi dan juga publik


sangat penting, dan hal itu didapat dari kerja-kerja yang konsisten dan
akuntabel. Maka sebaiknya dunia masyarakat sipil tidak perlu diatur secara
ketat, agar dapat tumbuh otonom, partisipatif, dan berkontribusi pada
perubahan.

5. Roichatul Aswidah, S.Ip., M.A.

I. Tentang Hak Atas Kebebasan Berserikat dan Lingkupnya

Hak atas kebebasan berserikat (right to freedom of association) dijamin dalam


Pasal 28 Konstitusi yang menyatakan "[k]emerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang". Pasal 28E juga menyatakan bahwa
"[s]etiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.

Untuk lingkup hak tersebut di atas, ahli merujuk pada pengaturan hak
tersebut sekaligus pemaknaannya dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang
telah disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005.

Hak atas kebebasan berserikat ini dijamin dalam Kovenan Internasional


tentang Hak-hak Sipil dan Politik dimana ayat (1) Pasal 22 Kovenan tersebut
menyatakan: "[s]etiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan
orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat
buruh untuk melindungi kepentingannya ". Dari rumusan ini dapat dinyatakan
bahwa kebebasan berserikat merupakan hak yang bersifat individual untuk
mendirikan atau bergabung dalam sebuah perserikatan. Selain itu, hak ini
juga bersifat kolektif dari perserikatan atau pun perkumpulan yang telah
didirikan untuk melaksanakan kegiatannya guna mencapai apa yang menjadi
kepentingan mereka.Oleh karena hak atas kebebasan berserikat meliputi hak
untuk membentuk serikat dan bergabung dalam serikat tersebut, maka hak ini
melindungi baik hak untuk membentuk maupun bergabung dengan serikat
manapun. Hal ini mengimplikasikan perlindungan atas kebebasan dalam
memilih serikat mana pun yang diinginkan oleh individu untuk bergabung.
Apabila sebuah negara misalnya hanya mempunyai satu organisasi tentang
hak asasi manusia, namun ada individu yang tidak menyetujui baik metode
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
70
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

maupun tujuannya, haknya tidak dapat dikatakan telah terpenuhi hanya


karena dia tidak dipaksa untuk masuk dalam organisasi tersebut. Sebaliknya,
Pasal 22 ayat (1) ini menjamin hak individu tersebut untuk --dengan orang
lain-- membentuk organisasi hak asasi manusia lain seperti yang dia inginkan.
Selain itu, negara tidak dapat dikatakan telah memenuhi kewajibannya hanya
karena negara tersebut telah membentuk sebuah organisasi, apapun jenis
dan namanya baik wajib atau pun sukarela bagi individu untuk memasukinya.

II. Pembatasan Hak atas Kebebasan Berserikat

Baik berdasarkan Konstitusi kita maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, hak
atas kebebasan berserikat tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Dengan demikian,
pembatasan atas hak ini diperbolehkan. Namun demikian pembatasan
tersebut tidak boleh membahayakan perlindungan kebebasan berserikat.
Perlu pula kita perhatikan bahwa dalam hukum internasional hak asasi
manusia, hak atas kebebasan berserikat masuk dalam zona irisan antara
hak sipil dan politik. Walaupun pembatasan atas hak ini diperbolehkan,
namun pembatasan tersebut harus tetap melindungi hak ini dari intervensi
negara maupun pihak lain oleh karena pentingnya hak ini bagi adanya dan
berfungsinya demokrasi. Bahwa kepentingan politik individu akan lebih bisa
diperjuangkan melalui sebuah perkumpulan dengan orang lain baik melalui
partai politik, kelompok profesional, organisasi maupun perserikatan lainnya
dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.

Seperti kita ketahui, Konstitusi mengatur pembatasan hak asasi manusia


dimana Pasal 28J menyatakan: "[d]alam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis". Dari ketentuan ini, Konstitusi Indonesia mengatur
dasar alasan pembatasan hak dimana pemberlakuannya harus "dalam suatu
masyarakat demokratis" pun "semata-mata" yang berarti hanya dan hanya
dengan dasar alasan: a). penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
71
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

b). pertimbangan moral, c). nilai-nilai agama; d). keamanan umum; e).
ketertiban umum.

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengatur pembatasan dengan


sedikit berbeda dimana alasan pembatasan hak tercantum dalam masing-
masing hak yang dibatasi. Namun demikian, Kovenan Hak Sipil dan Politik
memiliki ketentuan umum tidak boleh adanya pengurangan hak, kecuali atas
kondisi tertentu, dimana Pasal 5 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan:

Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan
sebagai memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau
perseorangan hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang
bertujuan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam
Kovenan ini, atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar
daripada yang ditentukan dalam Kovenan ini.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan baik


oleh negara atau pihak lain, untuk adanya pembatasan atas hak-hak apa
pun yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 ayat (1) ini juga untuk menguatkan
bahwa Kovenan Hak Sipil dan Politik tersebut haruslah didudukkan pada
maksudnya. Ketentuan tersebut juga melindungi hak yang diatur dalam
Kovenan dari penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun dari
Kovenan yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan hak
yang diakui dalam Kovenan atau pembatasan pada tingkat yang melebihi
dari pada yang ditentukan oleh Kovenan.

Sementara itu, pembatasan hak atas kebebasan berserikat diatur dalam


Pasal 22 pada ayat (2) yang menyatakan: "Tidak ada satu pun pembatasan
dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut
dilakukan berdasarkan hukum (prescribed by law), dan diperlukan dalam
masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan
keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan
atau moral publik atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang
lain... ". Dengan demikian, terhadap hak untuk kebebasan berserikat,
pembatasan dapat dilakukan jika berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam
masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan
keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
72
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

atau moral publik, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang
lain.

Bagaimana definisi klausul-klausul pembatasan tersebut, dapat kita temukan


dalam Prinsip-Prinsip yang diakui oleh masyarakat internasional sebagai
berikut:

• Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law).


Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh
hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh
sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi
pelaksanaan hak asasi manusia harus jelas dan bisa diakses siapa pun.
Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan
yang memadai terhadap penetapan atau pun penetapan pembatasan
yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut. Hukum
tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara
hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat
apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
• Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society).
Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara
yang menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa
pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di
dalam masyarakat. Adapun model masyarakat yang demokratis dapat
mengacu pada masyarakat yang mengakui dan menghormati hak asasi
manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan DUHAM.
• Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Frasa
"ketertiban umum" di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang
menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar
yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga melingkupi
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum
di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau
badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum
harus dapat dikontrol dalam pengggunaan kekuasaan mereka melalui
parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten.
• Untuk melindungi kesehatan publik (public health). Klausul ini digunakan
untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
73
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat atau pun anggota


masyarakat. Namun langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam
konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan atau dalam rangka
menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit. Dalam hal
ini negara harus mengacu pada aturan kesehatan internasional dari
WHO.
• Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan
bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-
nilai dasar masyarakat. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk
menggunakan alasan moral masyarakat. Namun klausul ini tidak boleh
menyimpang dari maksud dan tujuan Kovenan Hak Sipil dan Politik.
• Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini
digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah
atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai dalih
untuk melakukan pembatasan yang sewenang-wenang dan tidak jelas.
Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika tujuan yang
sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi
kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan
nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari
rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan
kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi infOrmasi tentang
pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan
suatu ideologi tertentu.
• Untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Klausul ini
digunakan untuk melindungi orang dari bahaya dan melindungi
kehidupan mereka, integritas fisik atau kerusakan serius atas milik
mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk pembatasan yang
sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada perlindungan yang
cukup dan pemulihan yg efektif terhadap penyalahgunaan pembatasan.
• Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of
others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan
kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk
melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
74
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Harus diperhatikan bahwa Kovenan Hak Sipil dan Politik juga memasukkan
istilah "perlu" (necessary) dalam ketentuan-ketentuan yang mengandung
pembatasan termasuk dalam hal ini Pasal 22 yang mengatur hak atas
berserikat yang dengan demikian berlaku pula bagi pembatasan hak
tersebut. Hal ini memperlihatkan adanya maksud dari perancang Kovenan
Hak Sipil dan Politik untuk membatasi penerapan pembatasan hak-hak
hanya pada situasi dimana ada kebutuhan riil untuk pembatasan tersebut.
Untuk menyatakan bahwa kebutuhan itu memang ada, persyaratan
mendasar yang harus dipenuhi adalah bahwa pembatasan sejalan dengan
semangat dan apa yang tertulis dalam Kovenan. Prinsip Siracusa juga
menyatakan istilah `necessary' mengimplikasikan bahwa pembatasan:

• Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang


diakui oleh pasal yang relevan dalam Kovenan.
• Menjawab kebutuhan sosial.
• Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah.
• Proporsional pada tujuan tersebut di atas.
Prinsip Siracusa juga menyatakan bahwa penilaian pada perlunya
pembatasan harus dibuat berdasar pertimbangan-pertimbangan objektif.
Secara tegas hal itu juga dinyatakan oleh Komentar Umum Kovenan Hak
Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa:

Negara-negara pihak harus menahan diri dari melakukan pelanggaran


terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, dan pembatasan apa pun
terhadap salah satu atau lebih dari hak-hak tersebut harus memiliki alasan
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Ketika
pembatasan semacam itu dibuat, maka Negara-negara harus menunjukkan
kebutuhan mereka dan hanya mengambil langkah-langkah yang
proporsional guna mencapai tujuan-tujuan yang sesuai dengan hukum untuk
menjamin perlindungan yang berkelanjutan dan efektif terhadap hak-hak
yang diakui dalam Kovenan. Pembatasan-pembatasan tidak boleh
diterapkan atau dilakukan dalam cara yang dapat melemahkan inti suatu hak
yang diakui oleh Kovenan.''

Sementara itu Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menetapkan


syarat-syarat pembatasan yaitu persyaratan lawfulness, legitimate aim dan
necessity. Untuk menetapkan apakah necessity terpenuhi, Pengadilan Eropa
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
75
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

biasanya menerapkan dua tes yaitu perlu dalam masyarakat demokratis/


necessary in a democratic society dan proporsional pada kebutuhan yang
diinginkan (proportional to the desired need). Dengan demikian pembatasan
kebebasan berserikat juga tunduk pada ketentuan ini.

Hal yang sangat penting untuk diingat adalah prinsip umum bahwa tidak ada
pembatasan atau dasar untuk menerapkan pembatasan tersebut terhadap
hak yang dijamin oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diperbolehkan,
kecuali seperti apa yang terdapat dalam kovenan itu sendiri. Di dalam Prinsip
Siracusa disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan
esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan
ditujukan untuk mendukung hak-hak dan bahwa pembatasan harus
ditafsirkan secara jelas dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip
ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara
sewenang-wenang.

Oleh karena itu, berkaitan dengan hak berserikat, pembatasan dan


pengaturan yang dilakukan oleh negara harus tetap menjamin dan tidak
membahayakan aspek-aspek penting untuk kebebasan berserikat antara
lain: a). jaminan kebebasan tujuan organisasi; b). jaminan kebebasan bentuk
organisasi; c). jaminan dari kontrol terhadap kegiatan; d). jaminan dari
proses pendaftaran yang sewenang-wenang; e). jaminan dari pembatasan
dan pembubaran organisasi yang sewenang-wenang. Menjadi penting untuk
melihat sejauh mana UU Ormas memastikan perlindungan aspek-aspek
penting kebebasan berserikat serta melihat apakah pembatasan yang
dilakukan tidak membahayakan aspek-aspek penting tersebut.

III. Jaminan Perlindungan Aspek-Aspek Penting Kebebasan Berserikat dan


Pembatasan Kebebasan berserikat dalam UU Ormas Jaminan tentang
Tujuan Organisasi

Pada dasamya semua tujuan organisasi dilindungi oleh kebebasan berserikat,


baik tujuan yang bersifat politik, sosial, ekonomi, keagamaan atau pun tujuan
lain. Pada dasamya semua tujuan organisasi dilindungi kecuali kegiatan yang
bersifat kriminal. Hukum internasional hak asasi manusia misalnya American
Convention on Human Rights (ACHR) menyatakan bahwa daftar tujuan harus
sangat luas dan tidak "exhaustive" untuk tujuan organisasi ini. Tujuan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
76
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

organisasi, dalam UU Ormas diatur dalam Pasal 5 UU Ormas yang mengatur


tujuan organisasi dan menyatakannya dalam daftar yang bersifat "exhaustive"
dan tidak memberikan ruang lain selain tujuan organisasi yang disebutkannya.
Tujuan organisasi juga secara implisit diatur dalam "Menimbang butir c" yang
menyatakan "bahwa sebagai wadah dalam menjalankan kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, organisasi kemasyarakatan
berpartisipasi dalam pembangunan untuk mewujudkan tujuan nasional dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila".
Rumusan menimbang tersebut seperti membuat kerangka dan menjadi tujuan
besar semua organisasi kemasyarakatan di Indonesa.

Dengan demikian, semua organisasi kemasyarakatan harus masuk dalam


kerangka dan tujuan besar tujuan nasional tersebut. Dapat juga diduga bahwa
ketentuan Pasal 5 yang mengatur rincian tujuan organisasi merupakan turunan
dari kerangka besar tersebut. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa UU
Ormas membuat batasan tujuan sebuah organisasi kemasyarakatan dan
memasukkan tujuan tersebut dalam kerangka besar tujuan nasional yang juga
ditekankan dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila.

Jaminan Kebebasan Bentuk Organisasi

Organisasi dapat mengambil bentuk apa Baja oleh karena tidak ada
pembatasan apa pun, baik berbentuk formal, dalam bentuk pengaturan
orgaisasi yang lebih kompleks atau pun dalam bentuk informal dan dalam
struktur organisasi yang lebih sederhana. Seluruh organisasi dapat memilih
secara bebas bentuk organisasi mereka sesuai dengan kehendak para
anggotanya. Semua organisasi dapat kemudian mencari status badan hukum
atau jaminan untuk dapat beroperasi. Namun demikian, semua bentuk
organisasi dilindungi dan dapat berupa sebuah organisasi dengan struktur yang
formal, informal, memiliki status badan hukum dan dapat pula sebuah entitas
yang tidak terdaftar.

Ketentuan Pasal 10 UU Ormas telah mengatur bahwa suatu organisasi dapat


memilih berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Dari rumusan ini,
terkesan UU Ormas memberikan keleluasaan bagi sebuah organisasi untuk
dapat menentukan bentuk dan format lembaganya, namun pengaturan
mengenai hal ini justru telah melahirkan suatu kerancuan hukum dalam

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
77
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

pengaturan mengenai jaminan kebebasan berserikat dan berorganisasi di


Indonesia. Mengapa demikian? Ketentuan hukum nasional Indonesia,
sebagaimana juga dipraktikkan di dalam negara-negara demokratis lainnya,
telah mengatur pelaksanaan hak untuk kebebasan berserikat dan sejumlah
organisasi di sejumlah Undang-Undang. Misalnya, untuk organisasi yang tidak
berbasis anggota, diatur melalui ketentuan UU Yayasasn, sementara
organisasi yang berbasis anggota diatur melalui suatu UU Perkumpulan.
Sedangkan serikat buruh diatur tersendiri di dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai serikat buruh. Oleh karena itu, lahirnya ketentuan UU
Ormas, yang mencampuradukkan pengaturan jaminan pelaksanaan hak atas
kebebasan berserikat dan berorganisasi, justru telah melahirkan suatu
ambiguitas dalam pengaturan, yang pada akhirnya malah mengancam
pelaksanaan hak tersebut.

Jaminan dari Kontrol terhadap Kegiatan

Kontrol terhadap kegiatan sebuah organisasi pada prinsipnya bertentangan


dengan kebebasan berserikat. Kecenderungan yang sering terjadi adalah
adanya kontrol kegiatan yang dilakukan dengan pembatasan kegiatan yaitu
mengatur kegiatan yang diperbolehkan atau sebaliknya mengatur kegiatan
yang dilarang. Hal ini sangat problematis, apalagi bila kegiatan yang
dicantumkan dapat ditafsir secara luas dan tidak didefinisikan dengan jelas.
Kontrol atas kegiatan juga dapat dilakukan dengan beberapa cara lain misalnya
meminta laporan secara berkala, memberitahukan keputusan manajemen, atau
pun mensyaratkan bahwa kegiatan yang bersifat publik harus meminta ijin
lembaga berwenang.

Pasal 16 UU Ormas tentang ketentuan persyaratan, mensyaratkan adanya


surat pernyataan kesanggupan untuk melaporkan kegiatan. Hal ini dapat
menjadi instrumen negara untuk melakukan kontrol kegiatan organisasi. UU
Ormas juga memuat ketentuan yang berpotensi mengontrol kegiatan dimana
Pasal 59 ayat (2) mengatur larangan kegiatan yang merupakan instrumen
untuk mengontrol kegiatan. Ketentuan ini memuat rumusan yang tidak jelas
dan kabur. (lebih lanjut lihat bagian-bagian selanjutnya). Pasal 52 UU Ormas
juga memuat larangan kegiatan bagi organisasi asing yang memuat rumusan
yang tidak jelas dan bisa didefinisikan secara luas utamanya ketentuan huruf

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
78
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

(b) "mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik


Indonesia". Hal ini dapat menjadi ancaman organisasi asing dalam
melaksanakan kegiatan. Pasal 50 UU Ormas juga memuat ketentuan
kewajiban bagi Ormas asing untuk membuat laporan kegiatan berkala kepada
pemerintah dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui media massa
berbahasa Indonesia. Hal ini dapat menjadi alat kontrol kegiatan mereka.

Dengan demikian, UU Ormas memuat ketentuan yang berpotensi menjadi alat


kontrol negara terhadap kegiatan organisasi:

a) Kontrol kegiatan melalui kewajiban untuk melaporkan kegiatan;

b) Kontrol kegiatan berupa larangan melakukan kegiatan namun dengan


definisi dan rumusan yang luas dan kabur serta kewajiban untuk
melaporkan kegiatan.

Jaminan dari Proses Pendaftaran yang Sewenang-wenang

Terdapat dua model peran yang berwenang dalam hal pengaturan organisasi
masyarakat sipil: a). notifikasi; b). pendaftaran (registrasi). UU Ormas
menganut rejim pendaftaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 sampai
dengan Pasal 19 UU Ormas. Rezim pendaftaran terhadap suatu organisasi
masyarakat sipil, sebagai suatu bentuk keterlibatan negara memang
dimungkinkan, akan tetapi ada sejumlah prinsip yang tidak dapat disimpangi.
Registrasi sendiri dimaksudkan untuk dapat diketahui dasar hukum dari
pembentukan suatu organisasi, oleh karena itu sifatnya administratif, tidak
diperkenankan adanya pembatasan bersifat substantif, seperti adanya
pembatasan tujuan dari suatu organisasi. Selain itu, ketika rezim pendaftaran
dijalankan, semestinya ruang komplain yang memadai juga diberikan, untuk
melakukan banding terhadap keputusan Pemerintah, jika tidak berkenan
melakukan pendaftaran terhadap suatu organisasi.

Di luar persoalan administratif, mencermati proses pendaftaran yang diatur


dalam UU Ormas, justru materinya memuat ancaman kontrol kegiatan,
misalnya dengan adanya persyaratan "surat pernyataan kesanggupan untuk
melaporkan kegiatan". UU Ormas juga memberlakukan perlakukan yang
berbeda antara Ormas asing dimana organisasi asing harus memiliki izin
prinsip dan operasional. Dalam hal ini persyaratannya lebih berat termasuk

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
79
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

dalam aspek pembiayaan (1 milyar) yang bahkan tidak sesuai dengan UU


Yayasan yang hanya mencantumkan 100 juta (lihat Pasal 43-49).

Jaminan dari Pembatasan dan Pembubaran Organisasi yang Sewenang-


wenang

Bentuk lain dari pembatasan adalah adanya sebuah sistem "peringatan" dari
lembaga yang berwenang kepada sebuah organisasi apabila tidak sesuai
dengan pengaturan administratif. Peringatan dalam UU Ormas diatur dalam
Bab XVII yang mengatur tentang sanksi yang juga mengatur tentang
pembubaran sebuah organisasi. Ketentuan "peringatan" dalam UU Ormas
diatur dalam Pasal 62 s.d. Pasal 64. Pasal-pasal ini memuat ketentuan tentang
"peringatan tertulis" yang diberikan oleh Pemerintah (pusat/daerah) kepada
organisasi sebagai langkah pertama sebelum akhirnya sebuah organisasi
dibubarkan. Dasar pemberikan peringatan adalah tidak dipatuhinya Pasal 21
yang memuat ketentuan tentang kewajiban dan Pasal 59 tentang larangan.
Pada dasarnya alasan dikenakannya sanksi dalam UU Ormas didasarkan pada
Pasal 21 dan Pasal 59. Pasal 21 tentang kewajiban memuat ketentuan yang
dapat didefinisikan luas serta kabur khususnya huruf b dan huruf c.

Sementara itu Pasal 59 mengatur "larangan" yang memuat alasan


dikenakannya sanksi dalam jenis yang begitu banyak dan bisa ditafsir secara
luas utamanya dalam Pasal 59 (2) huruf b dan huruf c. Secara khusus dapat
dinyatakan alasan "melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia" selain mengancam kebebasan
berserikat juga dapat mengancam kebebasan beragama. Khusus alasan ayat
(4) dan penjelasannya memberi petunjuk adanya kemiripan dengan ketentuan
Pasal 16 UU Nomor 8 Tahun 1985 yaitu "Pemerintah membubarkan Organisasi
Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham
atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau
ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya". Alasan ini selain sangat kabur
yang mengancam kebebasan berserikat juga dapat menjadi ancaman
kebebasan berpikir dan berpendapat.

UU Ormas juga memuat ketentuan tentang sanksi bagi Ormas berbadan


hukum yayasan asing atau sebutan lainnya. Seperti disebutkan di atas, UU

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
80
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Ormas memberlakukan harus adanya izin bagi Ormas asing. Pasal 79


kemudian mengatur tentang sanksi dengan pentahapan seperti di atas.
Pembedaan perlakuan ini seharusnya tidak diperbolehkan. Harus menjadi
perhatian pula bahwa UU Ormas memberi kewenangan penghentian kegiatan,
pencabutan ijin prinsip dan operasional kepada Pemerintah. Dasar alasan bagi
dikenakannya sanksi bagi Ormas asing yaitu ketentuan Pasal 52 tentang
larangan dan Pasal 51 tentang kewajiban Ormas asing yang memuat rumusan
yang tidak jelas, kabur dan bisa didefinisikan secara luas. Hal ini dapat menjadi
ancaman organisasi asing dalam melaksanakan kegiatan. Sekali lagi hal ini
juga menjelaskan bahwa UU Ormas memuat perbedaan perlakuan antara
Ormas asing dan Ormas nasional/lokal.

Dalam hal ini harus diingat bahwa alasan lembaga yang berwenang untuk
membubarkan sebuah organisasi haruslah jelas didefinisikan dan
keputusannya haruslah dikeluarkan oleh pengadilan serta harus pula dapat
diuji oleh pengadilan. Pendeknya, untuk membubarkan suatu organisasi alasan
haruslah sesuatu yang sangat serius. Mengapa? Karena pembubaran sebuah
organisasi merupakan sebuah pembatasan yang paling serius dari kebebasan
berserikat, alasannya harus Pula sangat serius.

Dasar Alasan Pembatasan dalam UU Ormas

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, terhadap hak untuk kebebasan


berserikat, pembatasan dapat dilakukan jika berdasarkan hukum, dan
diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan
nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap
kesehatan atau moral publilk atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan
orang lain.

Namun demikian harus ditegaskan kembali bahwa pembatasan harus


memenuhi persyaratan lawfulness, legitimate aim dan necessity. Dalam hal ini
keamanan nasional yang sangat sering dipakai sebagai alasan pembatasan
kebebasan berserikat memang merupakan alasan yang boleh digunakan untuk
membatasi. Namun demikian, keamanan nasional hanya boleh dipakai dalam
kasus adanya ancaman besar pada kehidupan seluruh bangsa. Komite Hak
Asasi Manusia PBB mengkritik adanya definisi yang longgar dan tidak jelas

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
81
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

yang kemudian membuka ruang kesewenang-wenangan alasan keamanan


nasional bagi pembatasan hak asasi manusia.

Pembatasan kebebasan berserikat dalam UU Ormas secara eksplisit,


dinyatakan dalam butir b perihal "menimbang yaitu "bahwa dalam menjalankan
hak dan kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat, setiap
orang wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka
tertib hukum, serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara". Dengan demikian UU Ormas menggunakan
klausul "menghormati hak asasi manusia dan kebebasan orang lain" sebagai
dasar pembatasan kebebasan berserikat. Namun demikian dalam batang tubuh
ditemukan sejumlah ketentuan yang bersifat membatasi hak atas kebebasan
berserikat, utamanya terdapat dalam kewajiban dan larangan yaitu: a). Pasal
21 tentang kewajiban; b). Pasal 59 tentang larangan; c). Pasal 51 tentang
kewajiban Ormas asing; dan Pasal 52 tentang larangan bagi Ormas asing.

Pasal 21 tentang kewajiban memuat pembatasan hak kebebasan berserikat.


Bila dilihat dari isi kewajiban yang harus dilaksanakan Ormas tersebut,
pembatasan hak atas kebebasan berserikat dalam pasal ini didasarkan pada
"persatuan dan kesatuan bangsa, nilai-nilai agama, budaya, moral, etika,
norma kesusilaan, kemanfaatan, ketertiban umum, kedamaian". Dari seluruh
alasan ini hanya, nilai-nilai agama, moral dan ketertiban umum yang tercantum
dalam konstitusi. Sementara itu kesusilaan tercantum dalam UU 39/1999
sebagai alasan pembatasan hak. Kalaupun alasan persatuan dan kesatuan
dapat dipertimbangkan dalam alasan keamanan nasional, namun rumusan ini
bersifat kabur dan dapat didefinsikan secara luas hingga dapat bersifat "karet".
Dapat dinyatakan bahwa UU Ormas mengandung pembatasan yang alasannya
tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi. Harus dinyatakan pula bahwa nilai-
nilai agama tidak dimasukkan sebagai alasan pembatasan hak kebebasan
berserikat dalam Kovenan Sipil dan Politik.

Sebagaimana diuraikan di atas dalam sanksi dan kontrol kegiatan, rumusan-


rumusan pada pasal-pasal tersebut tidak jelas dan kabur yang kemudian dapat
menimbulkan pendefinisian secara luas yang berakibat pada adanya
kesewenang-wenangan pembatasan. Hal tersebut di atas memberi petunjuk
tidak dilakukannya pembatasan secara proporsional dan tidak didasarkan pada

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
82
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

adanya kebutuhan yang nyata untuk dilakukannya pembatasan oleh UU


Ormas. Lebih jauh hal ini memberi petunjuk bahwa pembatasan yang dilakukan
tidak memenuhi tujuan yang sah (legitimate aim).

IV. Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Ormas tidak menjamin


perlindungan aspek-aspek penting kebebasan berserikat:

• Jaminan tentang kebebasan tujuan organisasi: dapat dinyatakan bahwa


UU Ormas membuat batasan yang sangat sempit mengenai tujuan sebuah
organisasi masyarakat dan memasukkan tujuan tersebut dalam kerangka
besar tujuan nasional yang juga ditekankan dalam wadah NKRI
berdasarkan Pancasila. Artinya, munculnya norma yang membatasi tujuan
berorganisasi, secara langsung telah memperlihatkan bahwa UU Ormas
memang ditujukan sebagai kontrol negara dan membatasi pelaksanaan hak
kebebasan berserikat dan berorganisasi itu sendiri. Sebab, merujuk pada
ketentuan tersebut, dapat saja ditafsirkan, organisasi yang memiliki tujuan di
luar yang disebutkan dalam UU Ormas, tidak diperkenankan untuk didirikan
oleh warga negara Indonesia.
• Jaminan kebebasan bentuk organisasi: pengaturan dalam UU Ormas,
telah mempersempit ruang gerak bagi pelaksanaan hak atas kebebasan
berserikat dan berorganisasi. Oleh karena semestinya, kebebasan
berserikat dan berorganisasi diberikan ruang dan peluang yang luas untuk
tumbuh dalam bentuk apapun, tanpa dikenakan pembatasan yang sangat
prosedural administratif dan cenderung bersifat kontrolistik, sebagaimana
mengemukan di dalam UU Ormas.
• Jaminan bebas dari kontrol kegiatan: UU Ormas memuat ketentuan yang
berpotensi menjadi alat kontrol negara terhadap kegiatan organisasi:

- Kontrol kegiatan melalui kewajiban untuk melaporkan kegiatan;

- Kontrol kegiatan berupa larangan melakukan kegiatan dengan definisi


dan rumusan yang luas dan kabur.

• Jaminan dari kesewenang-wenangan pendaftaran: Walaupun prosedur


dan mekanisme serta persyaratannya dirumuskan di dalam UU Ormas,
namun demikian, persyaratan tentang kesanggupan untuk melaporkan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
83
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kegiatan dapat menjadi instrumen untuk mengontrol kegiatan. UU Ormas


juga memberlakukan perbedaan antara Ormas asing dan nasional/lokal
yang bersifat sangat membatasi Ormas asing. Selain itu, lahirnya undang-
undang ini juga telah melahirkan suatu kondisi kerancuan hukum dalam
rezim pendaftaran organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

• Jaminan dari kesewenang-wenangan pembatasan dan pembubaran:


alasan dikenakannya sanksi yaitu Pasal 21 tentang kewajiban dan Pasal 59
tentang larangan memuat potensi pelanggaran. Pasal 21 memuat ketentuan
yang bersifat kabur dan yang berdefinisi luas. Pasal 59 memuat alasan
dikenakannya sanksi dalam jenis yang begitu banyak dan dapat ditafsir
secara luas, khususnya ayat (2) huruf b dan huruf c. Secara khusus dapat
dinyatakan alasan "melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia" selain mengancam kebebasan
berserikat juga dapat mengancam kebebasan beragama. Khusus alasan
ayat (4) dan penjelasannya, selain sangat kabur yang mengancam
kebebasan berserikat juga dapat menjadi ancaman kebebasan berpikir dan
berpendapat.

• Pasal 52 (larangan) bagi Ormas asing memuat rumusan yang tidak jelas,
kabur dan bisa didefinisikan secara luas. Hal ini bisa menjadi ancaman
organisasi asing dalam melaksanakan kegiatan. Sekali lagi hal ini juga
menjelaskan bahwa UU Ormas memuat perbedaan perlakuan antara Ormas
asing dan Ormas nasional/lokal. Pasal 51 UU Ormas juga memuat
ketentuan kewajiban bagi Ormas asing untuk membuat laporan kegiatan
berkala kepada Pemerintah dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui
media massa berbahasa Indonesia. Hal ini dapat menjadi alat kontrol
kegiatan mereka.

UU Ormas utamanya dalam ketentuan tentang kewajiban dan larangan di


atas memberlakukan pembatasan secara luas terhadap hak atas
kebebasan berserikat yang tidak seluruh alasannya sesuai dengan
pembatasan dalam Konstitusi maupun UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Sipil.
Pembatasan tersebut juga tidak didasarkan pada adanya kebutuhan yang
nyata. UU Ormas juga belum mempertimbangkan secara seksama syarat-
syarat yang ditetapkan oleh instrumen-instrumen hukum HAM nasional
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
84
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

maupun internasional dalam melakukan pembatasan hak. Pembatasan-


pembatasan dalam UU Ormas memberi petunjuk tidak dilakukannya
pembatasan secara proporsional. Hal ini memberi petunjuk pula bahwa
tidak semua pembatasan didasarkan pada adanya kebutuhan nyata yang
mendesak (necessity). Lebih jauh hal ini memberi petunjuk bahwa
pembatasan yang dilakukan UU Ormas adalah tidak memenuhi unsur
tujuan yang sah (legitimate aim).

UU Ormas dapat menjadi ancaman pelaksanaan hak atas kebebasan


berserikat. UU Ormas tidak dapat menjadi instrumen pelaksanaan
kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin hak atas kebebasan
berserikat dan justru sebaliknya mengancam hak atas kebebasan
berserikat. Untuk itu seharusnya Undang-Undang ini dicabut. Dalam hal ini
saya ingin mengulang rekomendasi Komnas HAM agar lebih
dipertimbangkan untuk melakukan pengaturan organisasi masyarakat sipil
dengan melakukan pengaturan bentuknya dan bukan dalam hal
substansinya. Langkah ini dilakukan dalam lingkup melengkapi UU Yayasan
sebagai UU yang mengatur organisasi tidak berbasis anggota yang sudah
ada dan membentuk UU Perkumpulan untuk mengatur organisasi berbasis
anggota.

6. Prof. Syamsuddin Haris


Paradigma Keliru
Dalam era demokrasi yang berlangsung sejak jatuhnya Soeharto pada 1998,
semua peraturan perundangan yang membatasi kebebasan berserikat telah
dicabut. Sebagai konsekuensinya, lebih dari seratus partai politik lahir dari
rahim kemerdekaan berserikat sejak 1999. Dalam jumlah yang jauh lebih besar
dan tidak pernah terhitung hingga sekarang, aneka ragam organisasi
masyarakat tumbuh bagai jamur di musim hujan. Aneka wadah ekspresi
masyarakat bahkan bisa lahir dan mati sendiri setiap saat tanpa harus repot-
repot diberangus oleh kekuasaan negara.

Organisasi masyarakat dan organisasi-organisasi yang bersifat


kemasyarakatan, bisa lahir, muncul, dan dibentuk setiap waktu bahkan
mungkin dalam hitungan menit dan detik sesuai dinamika, perkembangan, dan
kebutuhan berbagai kelompok masyarakat itu sendiri. Jika sejumlah individu

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
85
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

warga negara yang merasa memiliki kesamaan kepentingan, tujuan, latar


belakang dan asal usul (agama, etnik, ras, daerah, desa dan kampung, serta
golongan), kehendak dan minat, hobi, ataupun profesi, mau berhimpun di
dalam satu wadah organisasi masyarakat, maka seketika itu pula terbentuk
suatu organisasi masyarakat. Pada waktu yang lain beberapa individu warga
negara yang sama membentuk pula wadah organisasi masyarakat yang lain
lagi dengan individu warga negara yang berbeda asal usul, latar belakang, atau
profesi. Ketika organisasi-organisasi masyarakat ini kehilangan momentum dan
motif untuk tetap berhimpun dalam wadah yang sama, maka seketika itu pula
organisasi masyarakat sipil (OMS atau CSO/civil society organization) tertentu
bubar atau membubarkan diri.

Pertanyaannya, perlukah semua kerepotan yang memang melekat pada


dinamika keseharian dan pluralitas masyarakat seperti itu diatur oleh negara?
Lebih jauh lagi, apakah secara paradigmatik negara berhak turut campur dalam
persoalan-persoalan masyarakat yang bersifat sukarela seperti Ormas?
Mengapa kementerian negara harus dibebani dengan pekerjaan sia-sia dan
tidak perlu antara lain berupa pendaftaran, pemberdayaan, dan "akreditasi"
Ormas jika pekerjaan pokok dan tanggung jawab setiap kementerian sudah
begitu banyak, bertumpuk, dan hampir selalu tidak terselesaikan?

Jawaban atas semua pertanyaan mendasar ini sangat tergantung pada


paradigma atau cara pandang kita dalam melihat keberadaan masyarakat dan
Ormas itu sendiri di satu pihak, dan bagaimana seharusnya kedudukan negara
dalam relasinya dengan masyarakat di lain pihak.

Apabila kita sepakat bahwa bangsa Indonesia dewasa ini tengah membangun
sistem pemerintahan demokrasi yang berdasarkan hukum dan konstitusi, maka
sangat jelas, masyarakat adalah sumber legitimasi bagi hadirnya negara dan
pemerintahan yang sah atau absah. Dari sudut pandang sistem demokrasi
konstitusional yang dianut bangsa Indonesia, tidak ada negara dan
pemerintahan yang sah tanpa legitimasi dan mandat politik dari segenap warga
negara yang secara sosiologis berhimpun menjadi masyarakat. Melalui
pemilihun umum yang bebas dan demokratis, rakyat memilih sekaligus
memberi mandat kepada wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif
untuk mengatur politik dan pemerintahan dengan cara merumuskan kebijakan
di berbagai bidang kehidupan. Karena itu dalam konteks demokrasi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
86
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

konstitusional, kedudukan negara dan Pemerintah berikut para penyelenggara


negara adalah melayani dan menjamin hak-hak politik, hak sipil, dan
kebebasan warga negara, termasuk kebebasan berserikat, seperti
diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia.

Paradigma yang melatarbelakangi cara pandang penerbitan UU Ormas sangat


keliru, karena cenderung melihat masyarakat sebagai sumber ancaman,
sumber konflik sosial, dan bahkan sumber disintegrasi bangsa kita. Padahal,
seperti dikemukakan sebelumnya, masyarakat adalah sumber legitimasi bagi
keabsahan keberadaan negara dan pemerintahan yang dihasilkan oleh Pemilu-
pemilu demokratis. Pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin masyarakat
yang tidak lain adalah himpunan warga negara yang telah memberi mandat
politik melalui Pemilu dicurigai sebagai sumber ancaman, sumber konflik sosial,
dan bahkan sumber disintegrasi bangsa kita?

Warisan Rejim Otoriter


UU Ormas dibangun berdasarkan kerangka pikir yang keliru dan bahkan
cenderung sesat, yakni sikap ketidakpercayaan negara pada masyarakat,
sehingga semua akitivitas masyarakat patut dicurigai, serta perlu diatur, dibina
dan diawasi oleh negara. Kerangka pikir semacam ini hanya pantas dimiliki
oleh rejim-rejim otoriter seperti Orde Baru yang menjadikan masyarakat
sebagai musuh negara, sehingga semua aktivitas masyarakat dicurigai dan
diawasi oleh negara. Kerangka pikir rejim otoriter seperti ini wajar saja
mengingat bahwa dalam sistem otoriter, negara hanya percaya pada dirinya
sendiri.

Oleh karena itu agak mengherankan jika di dalam sistem demokrasi


konstitusional yang dianut bangsa kita dewasa ini paradigma dan kerangka
pikir yang keliru dan sesat warisan rejim otoriter dihidupkan kembali oleh
pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Presiden, melalui UU Ormas. Ironisnya,
paradigma dan kerangka pikir keliru dan sesat warisan rejim Orde Baru itu
dihidupkan atas nama Pancasila, UUD 1945, dan kebhinnekaan yang menjadi
salah satu fondasi keindonesiaan kita.

Kehadiran berbagai kelompok kepentingan atau Ormas yang berbasis


kesamaan kepentingan dan bersifat sukarela semestinya diapresiasi oleh
negara. Bagaimana pun keberadaan Ormas yang berbasis kesamaan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
87
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kepentingan dan bersifat sukarela pada dasarnya adalah wujud partisipasi dan
kontribusi berbagai elemen masyarakat bagi pembangunan bangsa.
Pemerintah dan segenap penyelenggara negara semestinya bersyukur atas
dinamika partisipasi masyarakat melalui wadah Ormas karena dengan
demikian sebagian beban negara terkurangi oleh aktivitas sukarela masyarakat
di berbagai bidang. Lebih khusus lagi, keberadaan Ormas pada dasamya
merupakan implementasi dari hak politik dan kebebasan berserikat yang
dijamin oleh konstitusi kita.

Urgensi Tidak Ada


Dilihat dari urgensinya, UU Ormas tidak diperlukan dan tidak relevan karena
semua kekhawatiran terkait misalnya, tindak kekerasan dan anarki oleh Ormas
tertentu, penyimpangan terhadap ideologi negara Pancasila, dan juga
pemberian sumbangan dari dan atau kepada pihak asing, telah ada solusi dan
sanksi hukumnya di dalam berbagai produk perundang-undangan lainnya.
Meningkatnya tindak kekerasan dan anarki oleh berbagai elemen masyarakat
selama lebih dari 10 tahun terakhir tidak dapat dijadikan pembenaran untuk
menerbitkan UU tentang Ormas. Tindak kekerasan dan anarki massa lebih
terkait dengan kegagalan negara mengelola kebebasan berekspresi di satu
pihak, dan ketidakmampuan aparat negara dalam penegakan supremasi
hukum di lain pihak.

Kehidupan sosial-kemasyarakatan yang bersifat sukarela adalah wilayah


masyarakat yang tidak perlu diatur, dibina, diawasi, dan dicampurtangani oleh
negara. Pengaturan dan pembinaan atas aktivitas sukarela masyarakat melalui
wadah Ormas oleh negara, justru akan semakin melembagakan suasana saling
curiga di antara berbagai kelompok dan golongan masyarakat. Seperti kita
ketahui, suasana saling curiga di antara berbagai elemen masyarakat itulah
sesungguhnya yang dikehendaki oleh rejim kolonial atas bangsa kita, yang
kemudian diwariskan oleh rejim otoriter Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Dampak lebih jauh dari pewarisan cara pandang yang keliru dan sesat ini
adalah berlangsungnya pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) secara
massif, struktural, dan sistemik oleh negara hampir sepanjang sejarah rejim
otoriter Orde Baru. Masyarakat akhirnya tak lebih dari alas kaki kekuasaan
negara.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
88
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Dalam kaitan tersebut yang justru diperlukan pengaturannya adalah bagaimana


mengimplementasikan kewajiban negara menjamin dan melindungi kebebasan
berserikat bagi masyarakat sipil, menjamin rasa aman setiap warga negara,
dan mengelola keberagaman yang menjadi fondasi keindonesiaan kita secara
adil dan proporsional. Mengatur aktivitas sukarela masyarakat yang tidak perlu
dan sia-sia, jelas merefleksikan sikap tidak percaya negara terhadap
masyarakat sebagaimana dianut dan menjadi "ideologi" rejim otoriter.

Apabila kapasitas negara melalui institusi kepolisian dioptimalkan dalam rangka


tegaknya hukum, tertib sipil, dan perlindungan masyarakat, semestinya tidak
perlu ada kekhawatiran terkait tindak kekerasan dan anarki massa.
Persoalannya, selama Kepolisian Negara RI belum secara optimal
memanfaatkan instrumen hukum yang sudah ada, khususnya KUHP dan
KUHAP, untuk mengantisipasi ledakan partisipasi masyarakat yang akhirnya
tumpah di jalan dan menjadi liar dalam bentuk tindak kekerasan dan anarki.

Pembentuk UU, yakni DPR dan Presiden, semestinya lebih memusatkan


perhatian pada pembentukan kebijakan terkait pengaturan dan tata-kelola
kehidupan ekonomi, termasuk penguasaan asing atas sumberdaya alam dan
ekonomi negeri kita, sehingga cita-cita keadilan dan kemakmuran sesuai
amanat konstitusi dapat segera diwujudkan. Adalah suatu keanehan jika
negara selalu bersikap mendua atau ambigu dalam soal dana asing, yakni di
satu pihak selalu mencurigai penggunaan sumbangan dana asing dalam
aktivitas organisasi kemasyarakatan, tetapi di pihak lain membiarkan berbagai
pihak asing, baik melalui negara maupun korporasi kapital global,
menggerogoti, mengeksploitasi dan bahkan menghancurkan perekonomian
nasional bangsa kita atas nama persaingan bebas dan globalisasi.

Rekomendasi

Beberapa rekomendasi sebagai bahan bagi Majelis mengambil keputusan yang


adil dalam perkara ini.

Pertama, kami berpendapat, UU Nomor 17 Tahun 2013 bukan hanya


bertentangan dengan amanat konstitusi, terutama Pasal 28E ayat (3) UUD
1945, melainkan juga bertentangan dengan akal sehat dan rasa keadilan
masyarakat selaku sumber legitimasi politik bagi keabsahan negara dan
pemerintahan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
89
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Kedua, paradigma dan kerangka pikir UU Nomor 17 Tahun 2013 tak hanya
keliru, melainkan juga cenderung sesat karena bertolak dari cara pandang rejim
otoriter, yakni memposisikan masyarakat sebagai sumber ancaman dan musuh
negara serta pemerintahan yang sah. Atas dasar cara pandang yang keliru dan
sesat itu maka negara memberi otoritas kepada dirinya sendirl untuk
mengawasi dan membina ("memberdayakan") setiap aktivitas sukarela
masyarakat melalui wadah Ormas,

Ketiga, kami berpendapat, secara substansi UU Nomor 17 Tahun 2013 justru


lebih buruk dari UU Nomor 8 Tahun 1985 yang diterbitkan oleh rejim otoriter
Orde Baru. Mengapa lebih buruk? Jawabannya sangat jelas, karena paradigma
dan kerangka pikir keliru dan sesat yang diwariskan oleh rejim otoriter justru
dihidupkan kembali dalam era demokrasi konstitusional bangsa kita dewasa ini.
Seperti diketahui, tiga keberatan kita atas UU Nomor 8 Tahun 1985 yakni (1)
kewajiban bagi setiap Ormas berideologikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 bahasanya dihaluskan menjadi "tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945"; (2) kewenangan pembinaan
dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 bahasanya diganti menjadi "pemberdayaan"
atas setiap Ormas yang menjadi otoritas pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Dalam Negeri; (3) adanya kewenangan pemerintah untuk membekukan
kepengurusan dan bahkan membubarkan Ormas jika dinilai tidak berasaskan
Pancasila dan dianggap tidak turut memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa; semuanya dianut kembali oleh UU Nomor 17 Tahun 2013.

Keempat, atas dasar beberapa pandangan di atas, ijinkan kami memohon


kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mencabut dan atau
membatalkan keseluruhan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan esensi
demokrasi konstitusional yang terkandung di dalamnya.

7. Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM.

a. Bahwa berserikat dan berkumpul diyakini sebagai kodrat umat manusia


yang sejak zaman dahulu kala selalu berhuhungan secara sosial di antara
sesama manusia. Atas hubungan sosial tersebut terbentuklah kumpulan
mulai dari bentuk yang sederhana sampai modern. Pada zaman beradab ini
berserikat dan berkumpul kemudian diakui sebagai hak yang dijaminkan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
90
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

atas setiap orang.


b. Bahwa di Indonesia kemerdekaan berserikat dan berkumpul merupakan hak
setiap orang yang dijamin sejak awal dalam UUD 1945. Para pendiri bangsa
sadar pentingnya hak berserikat dan berkumpul mengingat begitu besar dan
majemuknya negara Indonesia yang didirikan. Sebelurn perubahan UUD
1945 hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul dijamin dalam Pasal
28 yang berbunyi: "kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang".
c. Bahwa dalam rumusan Pasal 28, hak berserikat dan berkumpul bisa
dipahami hanya dapat dijamin apabila sudah ditetapkan dengan undang-
undang. Atas keterbatasan inilah pada waktu perubahan UUD 1945 muncul
usulan untuk menguatkan jaminan hak berserikat dan berkumpul sebagai
hak asasi manusia.
d. Bahwa setelah perubahan UUD 1945, hak atas kemerdekaan berserikat
dan berkumpul dijamin dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28E
ayat (3). Pengaturan setelah perubahan memang terjadi perumusan
berulang dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3). Namun, pengaturan
setelah perubahan lebih lengkap dan lebih memberikan jaminan hak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul dibandingkan sebelum perubahan
dalam Pasal 28.
e. Bahwa hak berserikat dan berkumpul tersebut merupakan manifestasi dari
hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nurani yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) UUD
1945. Meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nurani diekspresikan dalam banyak bentuk diantaranya berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat.
f. Bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani termasuk dalam non
derogable rights dalam Pasal 28 ayat (1) yang artinya tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Sehingga hak berserikat dan berkumpul sebagai
salah satu ekspresi dari hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
pengaturannya tidak boleh ditujukan untuk mengurangi, menghalangi, atau
menghilangkan hak tersebut. Pengaturan dalam bentuk pembatasan hanya
bisa dilakukan semata-mata sebagai jaminan pengakuan serta

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
91
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi


tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum.
g. Bahwa UU 17/2013 tentang Ormas merupakan suatu bentuk pengaturan
hak kebebasan berserikat dan berkumpul. UU 17/2013 memiliki paradigma
kontrol negara atas aktivitas berserikat dan berkumpul anggota masyarakat.
Paradigma tersebut sejak semula terlihat dalam luasnya rumusan Ormas
dalam Pasal 1 angka 1: "Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya
disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila". Semua jenis organisasi tercakup
dalam pengertian Ormas ini. Tentu saja maksudnya adalah bahwa semua
organisasi sebagai bentuk ekspresi hak berserikat dan berkumpul harus
mengikuti rezim pengaturan Ormas. Dengan begitu, maka secara logis
terjadi cara pandang bahwa pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat
dan berkumpul menjadi dibatasi sekedar dalam Ormas.
h. Bahwa maksud negara mengontrol Ormas nyata terlihat dalam Pasal 5
yang berisi tujuan Ormas. Seharusnya negara tidak perlu menentukan apa
tujuan Ormas, karena Ormas adalah sarana pelaksanaan hak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul. Sedangkan kebebasan berserikat
dan berkumpul merupakan manifestasi hak atas kemerdekaan pikiran dan
hati nurani yang sangat pribadi. Tidak dibenarkan siapapun mengontrol
alam pikir setiap orang. Sehingga manifestasi alam pikir tersebut juga tidak
seharusnya dikontrol negara. Tujuan pendirian Ormas mestinya diserahkan
sepenuhnya kepada masyarakat yang membentuk Ormas. Negara boleh
saja mengetahui apa tujuan Ormas yang didaftarkan, tetapi tidak melimitasi
tujuan Ormas sekedar apa yang tercantum dalam Undang-Undang.
i. Bahwa paradigma kontrol negara juga dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (1)
yang berbunyi: "Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dapat berbentuk: a. perkumpulan atau b. yayasan".
Padahal bentuk yayasan misalnya selama ini telah banyak sekali dipilih
masyarakat sebagai sarana dalam berbagai bidang, khususnya pendidikan,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
92
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Bagaimana nantinya sebegitu banyak


yayasan yang selama ini menjalankan kegiatan di Indonesia kemudian
harus tunduk pada pengaturan rezim Ormas yang dapat saja dilakukan
dalam bentuk kontrol politik. Padahal selama ini yayasan juga telah diatur
tersendiri di dalam Undang-Undang.
j. Bahwa memasukkan yayasan kedalam rezim Ormas akan sangat rentan
terhadap intervensi dan pengendalian pemerintah melalui Kementerian
Dalam Negeri, meskipun melalui dalih pemberdayaan. Rezim pengaturan
Ormas akan ditundukkan pada urusan Kementerian Dalam Negeri seperti
termuat dalam Pasal 1 angka 6 "menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri".
Sedangkan cakupan Ormas juga meliputi perkumpulan dan yayasan. Pasal
42 ayat (2) mengatur: "sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait yang
dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri". Artinya pasal ini
juga memuat pengaturan Ormas dibawah penyelenggaraan urusan
Kementerian Dalam Negeri. Sekali lagi cakupan Ormas juga meliputi
perkumpulan dan yayasan. Bahkan jika diperbandingkan, masa Orde Baru
saja tidak memasukkan yayasan ke dalam rezim Ormas yang
pengawasannya dilakukan Kemendagri.
k. Bahwa paradigma kontrol Pemerintah seperti di atas terhadap aktivitas
berserikat dan berkumpul akan lebih rentan lagi jika dilakukan oleh dinas
kesbangpolinmas di pemerintah daerah. Bukan hal yang mengada-ada
apabila kepala daerah akan memiliki kuasa sangat besar terhadap
masyarakat dengan mengatasnamakan pemberdayaan Ormas. Bahkan
tidak mungkin demokrasi ditingkat lokal terancam jika kepala daerah melalui
Dinas Kesbangpolinmas memiliki kewenangan pengendalian terhadap
Ormas di daerah. Bukan juga paranoid jika timbul kemungkinan di masa
yang akan datang kepala daerah demi kepentingan politiknya mematikan
Ormas tertentu dan memberikan banyak fasilitas kepada Ormas tertentu
lainnya sesuai hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul nyata-nyata
berada dalam ancaman.
l. Bahwa UU 17/2013 Pasal 65 ayat (3) memberi kewenangan kepada kepala

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
93
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

daerah dalam hal menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan


Ormas dengan meminta pertimbangan DPRD, kepala kepolisian, dan
kepala kejaksaan. Semangat mengontrol Ormas benar-benar nampak
dalam UU 17/2013 seperti yang dilakukan rezim Orde Baru yang dalam
sejarahnya terbukti pernah secara tidak demokratis dan tanpa berdasar
hukum menghentikan kegiatan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan
Pemuda Marhaen (GPM) pada 10 Desember 1987 melalui SK Mendagri
Nomor 120 dan Nomor 121 Tahun 1987.
m. Bahwa UU Ormas telah memberi ruang besar kepada Pemerintah atas
nama negara memasuki wilayah bahkan mengontrol masyarakat sipil yang
potensial disalahgunakan sehingga mengancam inisiatif warga yang kritis
misalnya dalam bidang antikorupsi, pelanggaran HAM, perusakan
lingkungan. Segala macam pemberian sanksi kepada Ormas seharusnya
dijatuhkan melalui proses hukum, berdasar hukum, sesuai dengan prinsip-
prinsip negara hukum. Bukan dilakukan oleh pejabat pemerintah yang
memiliki kepentingan politik praktis.
n. Bahwa pengaturan di dalam pasal-pasal seperti terlihat dalam Pasal 10 dan
Pasal 11 menjadi masalah kemudian adalah terjadi pengaturan ganda
Perkumpulan dan yayasan sudah diatur di dalam UU Yayasan dan statsblad
Perkumpulan Berbadan Hukum. Semangat pengaturan ulang di dalam UU
Ormas sebenarnya bermula dari pembentuk Undang-Undang melihat
adanya kebutuhan menangani Ormas yang banyak melakukan kekerasan
sedangkan Ormas tersebut menggunakan bentuk yayasan dan
perkumpulan. Selain itu juga diperlukan antisipasi terhadap kegiatan Ormas
yang terlibat dalam pendanaan terorisme, pencucian uang, dan jenis bentuk
kejahatan lainnya. Entah apa yang dipikirkan pembentuk undang-undang,
seharusnya untuk menindak secara hukum jenis-jenis kejahatan tersebut
aturan hukum yang ada sekarang sudah sangat cukup. Jadi letaknya pada
penegakan hukum bukan pada ketiadaan aturan. Pun jika tetap diperlukan
penyempurnaan maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki aturan
yayasan dan perkumpulan, bukan memasukkan keduanya menjadi bentuk
Ormas.
o. Bahwa selain banyak terjadi pengaturan ganda juga terjadi pengaturan yang
tidak sesuai, dimana UU Ormas ini dalam Pasal 11 mencampur pengaturan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
94
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Ormas yang berbasis anggota yaitu perkumpulan dan Ormas yang tidak
berbasis anggota yakni yayasan. Pencampuran pengaturan ini sangatlah
tidak tepat, karena keduanya memang memiliki tipikal berbeda sama sekali
sehingga tidak perlu dipaksakan diatur dalam satu Undang-Undang yakni
UU Ormas ini.
p. Bahwa pengaturan dalam Pasal 10 dan Pasal 11 merupakan pengaturan
ulang tetapi tidak selaras dengan UU Yayasan dan statsblad Perkumpulan
Berbadan Hukum. Pengaturan ini tidak memberi jaminan atas pelaksanaan
hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Akibatnya menimbulkan
ketidakpastian hukum yang nyata-nyata bertentangan dengan prinsip
negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
q. Bahwa lingkup Ormas yang diatur dalam Pasal 8 yaitu nasional, provinsi,
dan kabupaten atau kota menyesuaikan dengan pembagian pemerintahan
yaitu pusat dan daerah secara hierarkis. Klasifikasi ini berkaitan dengan
pendaftaran dan tugas pemberdayaan. Lebih lanjut Pasal 23 mengatur
ketentuan Ormas lingkup nasional harus memiliki struktur organisasi dan
kepengurusan paling sedikit 25% dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Begitu juga Pasal 24 mengatur ketentuan Ormas lingkup provinsi harus
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% dari
jumlah kabupaten/kota di provinsi. Pengaturan demikian meniru pengaturan
partai politik yang harus tersebar di seluruh wilayah. Padahal diantara
keduanya terdapat perbedaan secara prinsipil. Ormas tidak memiliki fungsi
representasi. Ormas juga tidak harus tersebar di setiap wilayah, karena
Ormas tidak hendak bertujuan menjadi perekat antar komponen bangsa.
Sederhananya Ormas memang hanya bertujuan mencapai apa yang
hendak diperjuangkan oleh Ormas tersebut.
r. Bahwa paradigma kontrol negara terhadap Ormas juga terlihat dalam Pasal
29 (1) yaitu "kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara
musyawarah dan mufakat." Seharusnya negara tidak perlu membatasi dan
mencampuri bagaimana mekanisme internal pengaturan Ormas. Cara
Ormas menentukan kepengurusan di setiap tingkatan tidak seharusnya
dibatasi. Hal itu merupakan bagian dari manifestasi kemerdekaan berserikat
dan berkumpul yang dijamin atas setiap orang. Bebas saja bagi Ormas
menentukan mekanisme pemilihan pengurus.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
95
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

s. Bahwa paradigma kontrol negara juga terlihat dalam Pasal 57 ayat (2)
"apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa". Penyelesaian sengketa pada Ormas seharusnya
tetap menjadi urusan internal Ormas yang bersangkutan. Pemerintah yang
tentu saja bisa memiliki politik kepentingan tertentu tidak perlu mencampuri
urusan tersebut. Apabila Ormas tidak dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri secara musyawarah mufakat, Ormas memiliki jalur penyelesaian,
diantara melalui proses judicial di pengadilan.
t. Bahwa UU Ormas mengatur larangan bagi Ormas yang tidak jelas sehingga
menimbulkan multitafsir di antara Pasal 59 ayat (2) b. melakukan
penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di
Indonesia; c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan
negara kesatuan Republik Indonesia; e. melakukan kegiatan yang menjadi
tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
u. Bahwa pada masing-masing larangan tersebut tidak terdapat penjelasan
dan pengaturan lebih lanjut yang jelas. Artinya makna dari pasal ini akan
sangat bergantung dari tafsir penguasa. Kegiatan apa saja yang
dikategorikan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI
misalnya, akan sangat didominasi oleh tafsir Pemerintah, terlebih
pemerintah pusat. Ketidakjelasan makna yang bisa menimbulkan multi tafsir
ini dapat menimbulkan korban Ormas-Ormas kritis yang selama ini banyak
melakukan kegiatan kritis terhadap Pemerintah, khususnya Pemerintah
pusat.
v. Bahwa ketidakjelasan pengaturan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e juga
dapat menimbulkan korban, karena tidak terdapat penjelasan maupun
pengaturan lebih lanjut yang memadai. Misalnya saja partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi apakah termasuk atau tidak termasuk dalam
melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
Padahal secara minimal bahkan peraturan perundang-undangan telah
menjamin partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi seperti
dimuat UU 31/99 maupun PP 71/2000.
w. Bahwa melihat permohonan Pemohon kami melihat kesesuaian dengan

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
96
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

keterangan yang kami berikan ini. Pertama, pengaturan dalam UU Ormas


Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 mengancam hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28, PasaI
28C ayat (2), dan Pasal 28E ayat (3). Hak atas kebebasan berserikat dan
berkumpul pelaksanaannya menjadi semakin sempit dan terdistorsi menjadi
satu bentuk tunggal yaitu Ormas. Kedua, pengaturan dalam Pasal 10 dan
11 merupakan pengaturan ulang dan saling bertentangan sendiri di dalam
UU Ormas dan juga dengan Undang-Undang lain seperti Undang-Undang
Yayasan dan stastbtad Perkumpulan Berbadan Hukum. Norma yang saling
tumpang tindih, tidak beraturan, dan saling tidak bersesuaian yang akhirnya
menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD
1945 Pasal 1 ayat (3). Ketiga, semangat UU Ormas adalah mengontrol
pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul seperti terlihat
dalam Pasal 5, Pasal 8, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 57. Mulai dari
tujuan Ormas, keharusan Ormas memiliki kepengurusan minimal dalam
wilayah, cara Ormas menentukan pengurus, sampai penyelesaian sengketa
dimasuki oleh negara melalaui pengaturan dalam pasal-pasal tersebut.
Keempat, tidak adanya kejelasan rumusan norma pasal 59 ayat (2) huruf b,
huruf c, dan huruf e sangat mengancam kebebasan berserikat dan
berkumpul karena maknanya terserah pada tafsir penguasa.

8. Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.


Salah satu pokok permohonan yang diminta untuk diuji konstitusionalitasnya
oleh Pemohon dalam perkara ini adalah beberapa norma dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU
Ormas) yang satu sama lain saling bertentangan. Pasal 8, Pasal 15 Ayat (3),
Pasal 23, Pasal 27 UU Ormas satu sama lain tidak sejalan. Selain itu, antara
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6 UU Ormas yang
berhubungan dengan proses pendaftaran Ormas juga saling bertentangan.
Pertentangan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaksanaan
hak berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar.
Oleh karena itu, norma-norma tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945.

Mengambil pembelajaran dari sejarah perjalanan pelaksanaan hak kebebasan


berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam UUD 1945 setelah perubahan,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
97
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

hak konstitusional yang satu ini memang memerlukan pengaturan lebih lanjut di
level Undang-Undang. Hal itu ditujukan untuk menghindari agar kebebasan yang
dimiliki tetap dilaksanakan dalam koridor hukum yang berlaku. Kebebasan
berserikat dan berkumpul sebagai manivestasi alam demokasi mesti dibingkai
oleh hukum. Dalam kerangka seperti itulah konsep negara hukum yang
demokrasi menjadi berada dan perlu ditempatkan secara benar.

Hanya saja, pengaturan ataupun pembatasan hak oleh hukum tidak dapat
dilakukan secara sewenang-wenang. Di mana pembatasan tersebut tidak boleh
menabrak atau mengganggu berfungsinya masyarakat yang demokratis.
Terkait hal itu, merujuk pada berbagai instrumen internasional dan peraturan
perundang-undangan dibidang hak asasi manusia, pembatasan dan
pengurangan hak atas kebebasan berserikat hanya dapat dilakukan dengan
alasan kepentingan: (a) keamanan nasional yang dibuktikan adanya ancaman
politik atau militer terhadap bangsa dari suatu organisasi, dalam hal ini negara
dapat melarang organisasi bersangkutan dan menerapkan hukuman pidana
pada pelakunya; (b) keamanan publik, jika ada suatu aksi dari suatu organisasi
tertentu yang mengancam keamanan publik, negara dapat membatasi
organisasi yang bersangkutan; (c) moral atau kesehatan publik, seperti
pembatasan atau pengurangan terhadap organisasi klub seks atau film porno;
(d) ketertiban umum, pembatasan dan pengurangan dengan alasan ketertiban
umum dapat dilakukan dalam bentuk: keharusan untuk memberitahu tentang
keberadaan dari suatu organisasi, adanya sistem lisensi dan pendaftaran
(registrasi) agar dapat diketahui dasar hukum dari pembentukan suatu
organisasi, organisasi juga harus menjelaskan tujuan mereka, kegiatan, organ
di bawahnya; serta pendanaan mereka.

Dalam koridor itulah kebebasan berserikat dan berkumpul harus diatur atau
dibatasi. Disamping itµ, agar frame pembatasan tersebut tidak dilanggar, maka
ketentuan pembatasan hak berserikat dan berkumpul mesti dapat memberikan
kepastian hukum. Dalam arti, semua norma yang dibuat harus jelas dan tidak
kabur dan multiinterpretatif. Ketidakjelasan norma akan menjadi salah satu
penyebab terlanggarnya hak berserikat dan berkumpul. Sebab, kekuasaan
negara akan cenderung menafsirkan norma sesuai dengan kepentingannya.
Sehingga, jaminan hak berserikat dan berkumpul akan kehilangan arti. Dalam
batas-batas tertentu, kehadiran norma yang kabur dan memiliki interpretasi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
98
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

jamak potensial menjadi ancaman dalam pelaksanaan hak berserikat dan


berkumpul.

Sehubungan dengan itu, keterangan yang akan ahli sampaikan ini hanya fokus
pada aspek jaminan kepastian hukum terkait norma-norma UU Ormas sebagai
salah satu Undang-Undang yang mengatur tentang pembatasan kebebasan
berserikat dan berkumpul di Indonesia.

Berbicara tentang kepastian hukum (legal certainty), artinya kita membahas


tentang bagaimana norma hukum, proses hukum dan sanksi hukum yang akan
diterapkan memiliki kepastian yang jelas. Hukum itu harus jelas, baik pada
tataran norma ataupun maupun pada saat ia dilaksanakan. Itulah yang
kemudian dikatakan Hayek bahwa kepastian hukum berarti hukum dapat
diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek
hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka,
dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan.

Kepastian hukum tidak hanya bagi hukum yang berlaku dalam pergaulan
sesama warga masyarakat dalam sebuah negara, melainkan juga diperlukan
dalam pelaksanaan setiap tindakan Pernerintah. Di mana, pernerintah mesti
mendasarkan setiap tindakannya kepada hukum yang berlaku secara sah.
Keharusan demikian ditujukan untuk menjaga agar kekuasaan yang ada tidak
disalahgunakan. Agar kekuasaan yang ada tetap dilaksanakan dalam kerangka
menghormati hak setiap warga negara.

Agar kepastian hukum dapat dinikmati oleh setiap warga negara, maka semua
norma yang dibuat untuk tujuan membatasi atau menata kehidupan rakyat
sebuah negara harus dirumuskan secara jelas. Kejelasan rumusan norma
dapat diukur dari sejauh mana orang-orang memiliki pemahaman yang sama
terhadap suatu norma tertentu. Pada saat bersamaan, dengan kepastian
hukum, seseorang dapat mengukur batas kebebasan yang dapat ia miliki dan
dapat diekspresikan.

Bagi Lon H. Fuller, kepastian hukum merupakan salah satu unsur utama
moralitas hukum. ia menegaskan, sebuah peraturan hukum perlu tunduk pada
internal morality. Oleh karena itu, dalam pembentukannya harus memerhatikan
dua hal: (1) Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti
oleh rakyat biasa; dan (2) Aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain. Poin
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
99
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

kedua tersebut tidak saja terkait dengan pertentangan antar norma dalam satu
undang-undang, melainkan juga pertentangan antar norma satu Undang-
Undang dengan norma Undang-Undang lainnya.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, kepastian hukum


merupakan salah satu asas yang mesti diterapkan dalam perumusan setiap
norma peraturan. Ketika asas tersebut diterapkan, tidak akan terjadi
pertentangan antara norma yang satu dengan norma yang lainnya. secara
bersamaan, norma yang dirumuskan juga dapat memberikan kepastian atau
ketegasan bagi setiap orang yang terikat dengan norma itu. Itulah kemudian
mengapa asas tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Asas kepastian hukum menuntut agar setiap materi muatan peraturan


perundang-undangan dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum. Hanya dengan adanya kepastian hukumlah materi
undang-undang itu dapat dinilai memiliki moralitas hukum dan bermanfaat bagi
penataan hubungan antar manusia dalam suatu negara. Pada kenyataannya,
norma Undang-Undang Ormas sebagaimana disinggung di atas justru
menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) bagi keberadaan
Ormas, terutama beberapa Pasal sebagaimana didalilkan dan disebutkan oleh
Pemohon perkara ini.

Ketidakpastian hukum tersebut dapat dilihat dalam beberapa rumusan norma


sebagai berikut: Pertama, ketidakpastian hukum pengaturan struktur organisasi
dan kepengurusan Ormas. Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Ormas
mengkategorikan Ormas dalam dua bentuk: berbadan hukum dan tidak
berbadan hukum. Ormas berbadan hukum atau tidak berbadan hukum tersebut
dapat berbasis anggota atau tidak berbasis anggota. Di mana, apabila sebuah
Ormas berbadan hukum perkumpulan, maka Ormas tersebut berbasis anggota.
Sedangkan jika Ormas tersebut berbadan hukum yayasan, maka tidak berbasis
anggota.

Pada ketentuan selanjutnya, tepatnya pada Bab VII Undang-Undang Ormas


diatur tentang struktur dan kepengurusan Ormas. Di mana, dalam bab tersebut
tidak ada lagi pembedaan antara Ormas berbadan hukum yang berbasis

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
100
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

anggota dengan Ormas berbadan hukum yang tidak berbasis anggota dengan
Ormas yang tidak berbadan hukum. Dengan demikian, seluruh ketentuan Pasal
Bab VII Undang-Undang Ormas ini berlaku untuk semua Ormas tanpa
membeda-bedakan bentuknya. Terlepas apakah berbadan hukum yayasan,
perkumpulan atau tidak berbadan hukum.

Dengan demikian, akan muncul persoalan: apabila Ormas berbadan hukum


yayasan, bagaimana mungkin Ormas tersebut diharuskan pula memiliki struktur
organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% dari jumlah propinsi di seluruh
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Ormas? Bukankah sebuah
organisasi berbadan hukum yayasan tunduk pada ketentuan Undang-Undang
Yayasan? Di mana, dalam Undang-Undang Yayasan tegas didefenisikan
bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota [Pasal 1 ayat
(1) UU Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28
Tahun 2004].

Lalu, apabila norma-norma yang terdapat dalam Bab VII UU Ormas dikatakan
tidak berlaku untuk Ormas yang berbadan hukum yayasan, pada ketentuan
mana pengecualian tersebut diatur? Pengecualian terhadap yayasan hanya
ditemukan dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Ormas yang mengatur
persyaratan pendirian Ormas. Oleh karena itu, dapat dipastikan ketentuan
terkait organisasi dan kepengurusan Ormas yang diatur dalam Bab VII juga
berlaku untuk Ormas berbadan hukum yayasan. Dengan demikian, apabila
Ormas tersebut lingkup organisasinya adalah nasional, maka Ormas dimaksud
mesti memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Pasal 23 UU Ormas.
Dalam konteks inilah akan muncul ketidakpastian hukum bagi Ormas.
Sehingga, menjadi benar apa yang didalikan Pemohon bahwa Pasal 8, Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 23 UU Orrnas bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.

Kedua, ketidakpastian hukum antara pembedaan lingkup organisasi


kemasyarakatan dengan wilayah kerja. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Ormas,
lingkup organisasi kemasyarakatan dibedakan menjadi nasional, provinsi dan
kabupaten/kota. Sementara dalam Pasal 27 Undang-Undang Ormas
dinyatakan lagi bahwa wilayah kerja organisasi kemasyarakatan adalah di
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
101
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

seluruh wilayah Indonesia. Harus diingat, dalam perumusan norma Undang-


Undang, tidak ada norma yang tidak memiliki arti dan tujuan. Dalam arti, jika
sebuah norma mengatur tentang pembedaan lingkup organisasi, maka hal itu
memiliki tujuan tertentu, seperti mekanisme pendaftaran, pemberian sanksi
serta wilayah kerja organisasi sesuai dengan tingkat/lingkup masing-masing.
Semuanya mesti sinkron. Dalam arti, pembedaan lingkup organisasi mesti
linear dengan wilayah kerja. Sebab, apa artinya menentukan lingkup organisasi
jika tidak seiring dengan pembatasan wilayah kerja?

Seperti yang didalilkan Pemohon, bahwa pengaturan Ormas yang dilakukan


pembentuk Undang-Undang adalah mengikuti logika pendirian partai politik. Jika
memang konsistensi mengikuti logika pengaturan partai politik, tentunya logika
lingkup organisasi dan lingkup batas wilayah kerja juga akan diikuti. Di mana
lingkup dan wilayah kerja partai politik sesuai dengan tempat dan
kedudukannya. Partai politik tingkat kabupaten/kota hanya memiliki lingkup dan
wilayah kerja kabupaten/kota.

Pada kenyataannya, Undang-Undang Ormas ini tidak demikian. Dalam konteks


pendaftaran Ormas, pembentuk Undang-Undang menggunakan logika
pendaftaran partai politik. Namun ketika mengatur tentang lingkup organisasi
dan wilayah kerja, justru pembentuk undang-undang menggunakan logika
pendaftaran yayasan, perkumpulan dan lingkup kerja profesi (seperti advokat).
Hal ini menunjukkan Undang-Undang Ormas dibuat dengan logika tambal-
sulam. Sehingga menyebabkan norma yang satu dengan yang lain saling
bertentangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sehubungan dengan semakin terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada alasan
yang cukup jelas bagi pembentuk Undang-Undang untuk membuat kategori
lingkup Ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Ormas. Di
mana, pengkategorian itu justru menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaannya. Sehingga, ketentuan tersebut layak untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Apabila tetap ingin mempertahankan kategori
seperti ini, semestinya pembentuk Undang-Undang tidak memaksakan semua
Ormas dengan berbagai macam bentuknya masuk dalam satu payung yang
sama. Dalam arti, tidak boleh dilakukan penyeragaman. Sebab, penyeragaman
sangat potensial bagi terlanggarnya hak kebebasan berserikat dan berkumpul.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
102
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Ketiga, ketidakpastian rezim pendaftaran Ormas. Membagi Ormas kepada dua


rezim pendaftaran dapat menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum. Ormas
berbadan hukum didaftarkan melalui Kementerian Hukum dan HAM,
sedangkan Ormas tidak berbadan hukum didaftarkan melalui Kementerian
Dalam Negeri. Pada saat bersamaan, Undang-Undang Ormas juga mengatur
bahwa sistem informasi Ormas dikembangkan oleh kementerian atau instansi
terkait yang dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri [Pasal 42 ayat (2) UU Ormas]. Hal itu menghendaki
lahirnya mekanisme baru pendaftaran organisasi masyarakat sipil di
Kementerian Dalam Negeri melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Di
mana, Ormas yang berbadan hukum tentunya juga akan diharusnya untuk
masuk dalam skema tersebut. Dalam hal ini, Ormas yang sudah terdaftar dan
berbadan hukum di Kementerian Hukum dan HAM mesti mendaftarkan lagi
melalui Badan Kesbangpol agar masuk dalam skema sistem informasi Ormas.
Kondisi seperti itu akan melahirkan ketidakpastian hukum. di mana, dalam
kondisi tertentu dapat dirnanfaatkan untuk menekan dan mengebiri hak-hak
Ormas. Atas alasan itu, sudah selayaknya ketentuan tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945.

Mengatur dan membatasi hak kebebasan berserikat dan berkumpul sudah


menjadi kebutuhan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi,
memberikan jaminan kepastian hukum dalam pembatasan tersebut merupakan
hal yang tidak dapat ditawar. Sebab, ketidakpastian hukum akan dapat
membawa bangsa kita ke sejarah kelam pengekangan kebebasan yang terjadi
pada masa lalu. Tentunya semua kita tidak menginginkan itu.

[2.3] Menimbang bahwa para Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis


bertanggal 24 Maret 2014, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal
24 Maret 2014, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya;

[2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
103
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian


konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3),
serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5430, selanjutnya disebut UU 17/2013) terhadap Pasal 1 ayat
(3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,


Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; dan
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
104
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena yang dimohonkan pengujian oleh para
Pemohon adalah Pasal 1 angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3),
serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013, terhadap Pasal 1
ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
105
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh


UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon I, Pemohon III, dan Pemohon IV adalah


organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang tumbuh dan
berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah
masyarakat, yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat mendorong
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam
pemberantasan korupsi, memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta
menumbuhkembangkan partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam pembangunan.
Adapun Pemohon V adalah perorangan warga negara Indonesia yang menjabat
sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang aktif
memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan buruh di Indonesia melalui wadah
serikat/organisasi buruh. Pemohon VI adalah perorangan warga negara Indonesia
yang bekerja sebagai Wakil Direktur dari Human Rights Working Group (HRWG),
yaitu sebuah organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang aktif mendorong
pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan
berserikat dan berorganisasi, dan juga aktif melakukan penyadaran publik dan
terlibat secara terus menerus dalam berbagai proses pengambilan kebijakan
publik. Sedangkan Pemohon VII adalah perorangan warga negara Indonesia yang
bekerja sebagai Direktur Eksekutif Imparsial, yaitu sebuah organisasi hak asasi
manusia di Indonesia yang aktif melakukan pemantauan pelaksanaan HAM di
Indonesia dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia juga aktif
melakukan penyadaran publik dan terlibat secara terus menerus dalam berbagai
proses pengambilan kebijakan publik melalui beragam aktivitas di tempat
bekerjanya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
106
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.8] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan


berlakunya Pasal 1 angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), serta
Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013, yang menyatakan:

1. Pasal 1 angka 1 dan angka 6


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah
organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan,
kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri.
2. Pasal 5
Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang
hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa;
dan
h. mewujudkan tujuan negara.
3. Pasal 8
Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; atau c. kabupaten/kota.
4. Pasal 10
(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk: a. badan
hukum; atau b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berbasis anggota;
atau b. tidak berbasis anggota.
5. Pasal 11
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a dapat berbentuk: a. perkumpulan; atau b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a didirikan dengan berbasis anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b didirikan dengan tidak berbasis anggota.

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
107
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

6. Pasal 23
Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
7. Pasal 29 ayat (1)
(1) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan
mufakat.
8. Pasal 42 ayat (2)
(2) Sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait yang dikoordinasikan
dan diintegrasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.
9. Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3)
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e:
(2) Ormas dilarang:
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;

e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28,
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan:

- Pasal 1 ayat (3):


Negara Indonesia adalah negara hukum
- Pasal 28:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”
- Pasal 28C ayat (2):
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
108
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

- Pasal 28D ayat (1):


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
- Pasal 28E ayat (3):
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Sejak adanya UU 17/2013, Dinas Informasi dan Pengolahan Data Elektronik
Kabupaten Karo menolak memberikan informasi kepada Pemohon I dengan
alasan Pemohon I belum terdaftar di kantor Kesbanglinmas Kabupaten Karo
atau dengan kata lain Pemohon I belum absah, sehingga hal tersebut
menimbulkan ketidakpatian hukum. Padahal berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, Pemohon I telah terdaftar sebagai badan hukum
yayasan pada Kementeraian Hukum dan HAM, maka berdasarkan Undang-
Undang tersebut seharusnya Pemohon I tidak perlu lagi melakukan
pendaftaran pada organisasi manapun, termasuk kepada Kantor
Kesbangpolinmas Kabupaten karo;
b. Rumusan pasal-pasal dalam UU 17/2013 telah menghambat upaya Pemohon II
dalam memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara
hukum dan martabat serta hak asasi manusia, dan juga berupaya berperan
aktif dalam proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaruan
hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Lebih jauh lagi pasal-pasal
teresebut telah berimplikasi pada kegagalan dari tujuan organisasi yang
hendak dicapai oleh pemohon II;
c. UU 17/2013 telah menghambat Pemohon III yang berupaya menguatkan posisi
tawar rakyat yang terorganisir dalam mengontrol negara dan turut serta dalam
pengambilan keputusan serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
demokratis, bebas korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial dan jender;
d. UU 17/2013 sangat potensial untuk menggagalkan upaya Pemohon IV untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan
negara maupun dalam penyelenggaraan negara secara umum.
e. Dengan adanya UU 17/2013 berpotensi merugikan Pemohon V yang tengah
memperjuangkan hak dan kesejahteraan buruh melalui wadah organisasi

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
109
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

buruh, karena baik langsung maupun secara tidak langsung telah menghambat
hidup dan berkembangnya organisasi buruh sebagai ruang perjuangan buruh;
f. Pemohon VI yang aktif mendorong pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia, termasuk hak atas kebebasan berserikaat dan berorganisasi, dan
juga aktif melakukan penyadaran publik serta terlibat secara terus menerus
dalam berbagai proses pengambilan kebijakan publik, potensial dihambat
bahkan digagalkan oleh berlakunya UU 17/2013;
g. Pemohon VII yang bekerja di sebuah organisasi hak asasi manusia di
Indonesia yang aktif melakukan pemantauan pelaksanaan HAM di Indonesia
untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan juga aktif dalam
melakukan penyadaran publik dan terlibat secara terus menerus dalam
berbagai proses pengambilan kebijakan publik, berpotensi dihambat atau
digagalkan upayanya tersebut dengan berlakunya UU 17/2013;
h. kepentingan konstitusional Pemohon V sampai dengan Pemohon VII yang
merupakan pembayar pajak (tax payer), telah terlanggar dengan adanya UU
17/2013, karena Undang-Undang a quo telah menciptakan kondisi
ketidakpastian hukum, serta menghambat pemenuhan hak berpartisipasi dalam
pembangunan dan hak atas kebebasan berserikat;

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut di atas,


menurut Mahkamah, para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum
privat dan perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional
dan hak konstitusionalnya tersebut dapat dirugikan dengan berlakunya Pasal 1
angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29
ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 59 ayat (2)
huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013. Oleh karena itu, para Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
110
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Pendapat Mahkamah

Pokok Permohonan

[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian materiil Pasal


1 angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29
ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 59 ayat (2)
huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013 yang menurut para Pemohon
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya
sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), dan ayat (3) UU
17/2013 telah mempersempit jaminan perlindungan hak atas kebebasan
berserikat sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945, karena batasan pengertian mengenai organisasi
kemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2013 yang
kemudian membawahi semua bentuk asosiasi atau organisasi yang hidup di
Indonesia, dengan memberikan nomenklatur sebagai organisasi
kemasyarakatan (ormas), telah mempersempit ruang lingkup perlindungan hak
atas kebebasan berserikat dan tidak mampu mengakomodasi berbagai macam
bentuk asosiasi atau organisasi yang masuk dalam cakupan perlindungan hak
tersebut. Adapun pembatasan terhadap tujuan organisasi kemasyarakatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU 17/2013, nampak sekali
pertentangannya dengan cakupan perlindungan hak atas kebebasan
berserikat, maupun syarat-syarat pembatasan terhadap hak atas kebebasan
berserikat. Begitupula dengan Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), dan ayat (3)
UU 17/2013 telah memberikan ruang bagi pemerintah dalam urusan internal
organisasi yang mengancam independensi organisasi sebagai pilar utama hak
atas kebebasan berserikat;
b. Pasal 8 juncto Pasal 23, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 42 ayat (2), Pasal 1 angka
6, dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013,
pengaturannya telah menciptakan situasi dan ketidakpastian hukum yang
diakibatkan munculnya pertentangan (konflik) antar norma dan menimbulkan
keluasan dalam penafsiran, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
111
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

c. Pasal 10 dan Pasal 11 serta Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 42 ayat (2) UU
17/2013 menghambat peran serta masyarakat dalam pembangunan sehingga
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena ketentuan-
ketentuan tersebut telah mempersempit ruang bagi individu untuk mendirikan
suatu organisasi dan/atau mereka yang ingin tergabung dalam suatu wadah
organisasi guna berperan serta dalam pengembangan masyarakat, bangsa,
dan negara sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945;

[3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya para Pemohon


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
P-19, serta saksi dan ahli yaitu Muhammad Muazzin Fauzi, Dr. Meuthia Ganie
Rochman, Surya Tjandra, Amir Effendi Siregar, Sri Budi Eko Wardani,
Roichatul Aswidah, Syamsuddin Haris, Zainal Arifin Mochtar, dan keterangan
tertulis ahli Saldi Isra, yang keterangan selengkapnya masing-masing termuat
pada bagian Duduk Perkara;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden dan


DPR tidak memberikan keterangan baik secara lisan di persidangan maupun
keterangan tertulis;

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama


permohonan para Pemohon, mendengarkan keterangan ahli dan membaca
keterangan tertulis ahli para Pemohon, serta memeriksa bukti-bukti surat/tulisan
yang diajukan oleh para Pemohon sebagaimana termuat lengkap pada bagian
Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan bahwa terhadap Pasal 1 angka 1,
Pasal 5, Pasal 8, Pasal 23, Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), UU 17/2013 yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah
dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah dalam putusan Nomor 82/PUU-
XI/2013, bertanggal 23 Desember 2014, pukul ........ , sehingga pertimbangan
hukum dalam putusan tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum
pula dalam permohonan a quo.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap Pasal 1 angka 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal
29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, serta huruf e

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
112
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

UU 17/2013 yang juga dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para


Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.15.1] Bahwa Pasal 1 angka 6 UU 17/2013 yang dimohonkan pengujian


konstitusionalitasnya oleh para Pemohon adalah pasal yang mengatur mengenai
ketentuan umum yaitu mengenai pengertian atau batasan suatu kata atau frasa
yang terdapat dalam pasal-pasal sehingga ketentuan umum pada pokoknya tidak
mengandung materi muatan norma. Setelah Mahkamah memeriksa dengan
saksama seluruh kata “menteri” dalam Undang-Undang a quo, ternyata terdapat 4
(empat) kelompok kata “menteri” yang terdapat dalam pasal-pasal yaitu: (i) menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; (ii) menteri yang
menyelenggarakan urusan hukum dan hak asasi manusia; (iii) menteri yang
menyelenggarakan urusan luar negeri; dan (iv) menteri yang tidak secara spesifik
disebutkan urusannya. Menurut Mahkamah, menteri yang dimaksud dalam Pasal
1 angka 6 UU 17/2013 adalah menteri yang termasuk dalam kelompok keempat
sehingga menteri yang termasuk dalam kelompok tersebut harus dimaknai
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 Undang-Undang a quo. Dengan demikian
berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum;

[3.15.2] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 10 dan


Pasal 11 UU 17/2013, Mahkamah mempertimbangkan bahwa kedua pasal
tersebut mengatur tentang adanya dua jenis Ormas yaitu Ormas yang berbadan
hukum dan Ormas yang tidak berbadan hukum. Ormas yang berbadan hukum
terdiri atas dua jenis yaitu yayasan dan perkumpulan yang secara spesifik diatur
atau akan diatur lebih rinci dalam Undang-Undang tersendiri. Adapun Ormas yang
tidak berbadan hukum, oleh Undang-Undang a quo mengatur, antara lain,
mengenai pendaftaran. Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri
tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian
tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu
keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, serta tidak
bertentangan dengan nilai moral dan agama. Pendaftaran Ormas adalah
mekanisme yang ditentukan oleh negara yang memungkinkan negara memberikan
fasilitasi atau bantuan, baik materiil maupun non-materiil. Adapun Ormas yang
tidak mendaftarkan diri adalah wajar apabila tidak mendapatkan fasilitasi atau

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
113
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

bantuan dari negara. Mahkamah tidak menemukan pertentangan antara kedua


norma yang dimohonkan pengujian a quo dengan norma yang lain, baik dalam
Undang-Undang a quo maupun Undang-Undang yang lainnya sehingga tidak
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, atau bahkan tidak pula
bersifat diskriminatif. Dengan demikian, permohonan para Pemohon mengenai
Pasal 10 dan Pasal 11 UU 17/2013 tidak beralasan menurut hukum;

[3.15.3] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 29 ayat (1)
UU 17/2013, menurut Mahkamah, musyawarah dan mufakat adalah proses
pengambilan keputusan yang didasarkan pada demokrasi Pancasila. Namun
demikian, demokrasi Pancasila tidak menegasikan proses pengambilan keputusan
melalui suara terbanyak. Ketentuan a quo yang tidak memungkinkan adanya
pengambilan keputusan melalui suara terbanyak dapat menimbulkan persoalan
dan stagnasi terhadap Ormas karena musyarawah dan mufakat tidak selalu dapat
dicapai dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan demikian dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru bertentangan
dengan UUD 1945. Untuk menghindari timbulnya persoalan dan stagnasi tersebut
menurut Mahkamah ketentuan a quo harus memberikan kemungkinan terhadap
proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak sehingga pasal a quo
harus dimaknai sebagaimana dalam amar putusan di bawah;

[3.15.4] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 42 ayat


(2) UU 17/2013, pasal tersebut adalah pengaturan mengenai sistem informasi
Ormas yang dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait dan
dikoordinasikan serta diintegrasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri. Menurut Mahkamah, pengaturan yang
demikian adalah pengaturan yang wajar dan semestinya dalam rangka
implementasi administrasi pemerintah mengenai sistem informasi Ormas yang
diintegrasikan melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dalam negeri. Pengaturan yang demikian juga diperlukan dalam rangka upaya
pengembangan dan pemberian pelayanan kepada Ormas untuk meningkatkan
peran sertanya dalam memajukan Bangsa dan Negara. Dengan demikian
berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil permohonan para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
114
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

[3.15.5] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 59 ayat


(2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013, pasal tersebut mengatur tentang
larangan melakukan kegiatan tertentu bagi suatu Ormas. Menurut Mahkamah,
larangan tersebut adalah bentuk pembatasan terhadap Ormas yang dimungkinkan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas,


menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan hukum untuk
sebagian;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di


atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk


mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk
sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076).

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
115
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

1.1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
adanya kemungkinan pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak;

1.2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dimaknai adanya kemungkinan pengambilan keputusan
berdasarkan suara terbanyak;

1.3. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5430) selengkapnya menjadi, “Kepengurusan Ormas
di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan mufakat atau dengan
suara terbanyak”;

2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh


sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Muhammad Alim,
Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh dua, bulan
Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh
tiga, bulan Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan Pukul
16.46 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua
merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman,

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
116
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin
Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar
sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasa, Presiden atau
yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

KETUA,

ttd

Hamdan Zoelva

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd ttd

Arief Hidayat Ahmad Fadlil Sumadi

ttd ttd

Anwar Usman Muhammad Alim

ttd ttd

Maria Farida Indrati Patrialis Akbar

ttd ttd

Aswanto Wahiduddin Adams

PANITERA PENGGANTI,

ttd

Saiful Anwar

Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN

PUTUSAN
Nomor 2/PUU-XVI/2018

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

1. Nama : Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, yang dalam hal


ini diwakili oleh Drs. H. Mohammad Siddik, MA. selaku
Ketua Umum dan H. Amril Saifa selaku Wakil Ketua
Umum
Alamat : Jalan Kramat Raya Nomor 45 Jakarta Pusat
Sebagai----------------------------------------------------------------------------Pemohon I;

2. Nama : Yayasan Forum Silaturrahim Antar Pengajian, yang


dalam hal ini diwakili oleh Dra. Hj. Nurdiati Akma, M.Si.
selaku Ketua Umum dan Hj. Zuriaty Anwar S.Sos
selaku Sekretaris Umum
Alamat : Jalan Tebet Timur Dalam Nomor 7 Jakarta
Sebagai--------------------------------------------------------------------------Pemohon II;

3. Nama : Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, yang


dalam hal ini diwakili oleh M. Muhtadin Sabili selaku
Ketua Umum dan H. Muhclis Zamzami Can, MA. selaku
Ketua I
Alamat : Jalan Tanjung Duren Barat V Nomor 1B Grogol,
Petamburan, Jakarta Barat
Sebagai-------------------------------------------------------------------------Pemohon III;
2

4. Nama : Perkumpulan Hidayatullah, yang dalam hal ini diwakili


oleh Dr. Nashirul Haq Marling, Lc, MA selaku Ketua
Umum Dewan Pengurus Pusat dan Ir. Chandra
Kurnianto, MM selaku Sekretaris Jenderal
Alamat : Kota Administrasi Jakarta Timur Indonesia
Sebagai--------------------------------------------------------------------------Pemohon IV;

5. Nama : H. Munarman, S.H.


Pekerjaan : Pengacara
Alamat : Jalan Bukit Modern Blok G-5/H. RT. 001/RW. 013,
Tangerang

Sebagai---------------------------------------------------------------------------Pemohon V;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus masing-masing bertanggal 27


Desember 2017, memberi kuasa kepada Nasrulloh Nasution, S.H., M.Kn., Dr.
Kapitra Ampera, S.H., M.H., Mohammad Kamil Pasha, S.H., M.H., Aziz Yanuar
Prihatin, S.H., M.H., M.M., H. Ismar Syafruddin, S.H., M.A., Sylviani Abdul Hamid,
S.H.I, M.H., Dr. Sulistyowati, S.H., M.H., M. Hariadi Nasution, S.H., M.H., Damai
Hari Lubis, S.H., Mahmud, S.H., M.H., Dedi Suhardadi, S.H., S.E., Achmad
Ardiyansyah, S.H., Heri Aryanto, S.H., M.H., Ali Alatas, S.H., Juanda Eltari, S.H.,
M. Yusuf Sembiring, S.H., M.H., Rama Hendarta Adam, S.H., Rangga Lukita
Desnata, S.H., M.H., Harry Kurniawan, S.H., M.H., Deni Azani B. Latief, S.H.,
Sumadi Atmadja, S.H., Ari Saputera Tarihoran, S.H., M.M., Ragil Wisdarisman,
S.H., H. Ismail Siregar, S.H., Eka Rahendra Zhahir, S.H., Mukhlis M Maududi,
S.H., M.H., Wisnu Rakadita, S.H., Hendy Pratama, S.H., dan Mohamad Firdaus,
S.H., para Advokat dan Asisten beserta Advokat magang pada Kantor Pusat
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Ulama (GNPF-U), beralamat di Jalan Tebet
Utara I Nomor 40 Jakarta Selatan, bertindak secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------para Pemohon;

[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;


Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
3

Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung


Forum Advokat Pengawal Pancasila;
Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung
Lembaga Bantuan Hukum Pembela Pancasila;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon;
Mendengar keterangan saksi para Pemohon;
Membaca keterangan ahli Presiden;
Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis Pihak Terkait Tidak Langsung Forum
Advokat Pengawal Pancasila dan Pihak Terkait Tidak Langsung Lembaga Bantuan
Hukum Pembela Pancasila;
Membaca kesimpulan para Pemohon, Presiden, Pihak Terkait Tidak
Langsung Forum Advokat Pengawal Pancasila, dan Pihak Terkait Tidak Langsung
Lembaga Bantuan Hukum Pembela Pancasila.

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan


bertanggal 27 Desember 2017 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 28
Desember 2017 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
214/PAN.MK/2017 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
pada tanggal 3 Januari 2018 dengan Nomor 2/PUU-XVI/2018, yang telah
diperbaiki dan diterima pada tanggal 29 Januari 2018, yang pada pokoknya
menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


1. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah melakukan Judicial
Review (konstitusional review) Undang-Undang terhadap UUD 1945
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat
(1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi:
4

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:


“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang Terhadap
Undang-Undang Dasar....”
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...”
2. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menentukan kekuasaan kehakiman yang berada pada
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945;
3. Berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi di atas, maka Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengadili permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 ini terhadap UUD 1945;

II. Legal Standing Para Pemohon


1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menentukan 2
(dua) syarat agar Pemohon memenuhi kedudukan hukum (legal standing) di
Mahkamah, yaitu dapat bertindak sebagai Pemohon dan mempunyai hak
konstitutional, yang dalam penjelasannya hak konstitusional itu berarti sebagai
hak yang tercantum pada UUD 1945;
2. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut
mengkualifikasikan Pemohon secara limitatif yakni:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Oleh karena Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV sebagai
badan hukum, dan Pemohon V yang merupakan perorangan Warga Negara
Indonesia, maka para Pemohon telah memenuhi syarat untuk bertindak
sebagai Pemohon di Mahkamah Konstitusi;
5

3. Pemohon I dan Pemohon II merupakan ormas berbadan hukum berbentuk


yayasan, dan Pemohon III dan Pemohon IV merupakan ormas berbadan
hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana yang dimaksud Pasal 10 ayat (1)
huruf a juncto Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang terakhir telah diubah melalui
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 (Undang-Undang tentang Organisasi
Kemasyarakatan), yang pada umumnya mempunyai tujuan sesuai dengan
Pasal 4 Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yaitu untuk mewujudkan
terbentuknya tatanan masyarakat madani melalui berbagai kegiatan dakwah,
pengajian, pendidikan, pembaruan sosial, dan pemberdayaan masyarakat;
4. Bahwa Pemohon V merupakan anggota sekaligus pengurus ormas tidak
berbadan hukum yaitu sebagai anggota sekaligus pengurus dari ormas Front
Pembela Islam (FPI) sebuah organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di
Kementerian Dalam Negeri berdasarkan surat keterangan terdaftar Nomor 01-
00-00/0010/D.III.4/VI/2014 sebagaimana tercantum pada Pasal 16 ayat (1)
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan;
5. Meskipun Pemohon I sampai dengan Pemohon IV memiliki hak konstitusional
yang tidak identik dengan Pemohon V sebagai perorangan, namun Pemohon I
sampai dengan Pemohon IV memiliki hak yang sama dengan Pemohon V
untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu sebagaimana
tercantum Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

III. Kerugian Konstitusional Para Pemohon


1. Bahwa dalam Putusan Nomor 006/PUU-V/2005 Mahkamah Konstitusi
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
6

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud


dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
2. Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 hak
konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon V mengalami kerugian atau
setidak-tidaknya berpotensi untuk dirugikan karena:
a. Ormas tempat para Pemohon melakukan aktivitas DAKWAH ISLAM dan
SOSIAL terancam dibubarkan secara subjektif melalui berlakunya Perppu
tersebut;
b. Para Pemohon terancam dipidana akibat dibubarkannya Ormas tersebut
secara subjektif hanya karena statusnya sebagai anggota atau pengurus
Ormas, meskipun para Pemohon tidak melakukan perbuatan pidana;
c. Para Pemohon terancam dipidana karena berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat yang dianggap bertentangan dengan subjektifitas
aparatur pelaksana Perppu.
3. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bahwa hak
konstitusional para Pemohon yang diatur UUD 1945 mengalami kerugian atau
berpotensi mangalami kerugian yaitu dalam hal kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif, berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum, berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi sebagaimana tertera pada Pasal 1 ayat (3), Pasal
28, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
4. Bahwa dengan berlakunya Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21, frasa
“atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3),
Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017, yang isinya sebagai berikut:
Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21:
“Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
7

2013 Nomor 116, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor


5430) diubah sebagai berikut:
6. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 66 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 69 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 70 dihapus,
14. Ketentuan Pasal 71 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
19. Ketentuan Pasat 76 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 77 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 78 dihapus.

Pasal 59 ayat (4) huruf c:


Ormas dilarang: menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila' antara lain ajaran ateisme, komunisme/manrisme-leninisme, atau
paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 62 ayat (3):


“Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum”.
8

Pasal 80A:
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”

Pasal 82A:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan
huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan
huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Dengan berlakunya ketentuan tersebut telah merugikan hak-hak konstitusional
para Pemohon dalam hal:
a. Berserikat, berkumpul, memperjuangkan hak secara kolektif terancam;
b. Menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan;
c. Meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati
nuraninya;
d. Atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
e. Atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
5. Bahwa sehubungan kerugian konstitusional harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, maka dengan berlakunya Pasal I angka 6 sampai
dengan angka 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bahwa status badan
hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon IV terancam dicabut dan
dibubarkan kapanpun oleh Pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon IV. Hal tersebut apabila
9

terjadi merupakan pelanggaran atas hak-hak konstitusional para Pemohon


dalam hal mendapatkan jaminan dalam proses hukum yang berkeadilan (due
process of law);
6. Bahwa hak konstitusional para Pemohon untuk meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya dan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terancam dengan berlakunya
berlakunya frasa “atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, Ormas dilarang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila”. Penjelasan “Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila' antara lain ajaran ateisme,
komunisme/manrisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Karena frasa “atau paham lain” pada penjelasan Pasal
59 ayat (4) huruf c tersebut secara subjektif sangat berpotensi disalahgunakan
oleh aparatur pelaksana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017;
7. Bahwa hak konstitusional para Pemohon dalam kemerdekaan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, memajukan diri dengan
memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa
dan negara, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi, telah dirugikan atau setidak-tidaknya berpotensi
untuk dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 62 ayat (3) dan Pasal 80A
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 yang isinya:
Pasal 62 ayat (3):
“Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.”
10

Pasal 80A:
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”
Oleh karena norma yang diatur dalam Pasal 62 ayat (3) dan Pasal 80A di atas
memberikan kewenangan kepada Menteri dalam bidang hukum dan HAM
untuk mencabut status badan hukum dan membubarkan Pemohon I sampai
dengan Pemohon IV tanpa proses pembuktian di pengadilan.
Selain itu ketentuan tersebut juga merugikan Pemohon V sebagai pengurus
sekaligus anggota ormas Front Pembela Islam (FPI), karena dengan
pemberlakuannya maka Menteri Dalam Negeri kapanpun dapat mencabut surat
keterangan terdaftar dan membubarkan FPI tanpa pertimbangan Mahkamah
Agung, yang mengakibatkan Pemohon V tidak dapat beraktifitas dalam
berserikat, berkumpul, memajukan diri, dan memperjuangkan haknya secara
kolektif di FPI.
8. Bahwa isi ketentuan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2017 adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf
d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 1 (satu) tahun.
2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf
b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dengan berlakunya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) di atas berpotensi
merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi, karena para Pemohon dapat dijerat hanya karena
semata-mata berstatus sebagai anggota atau pengurus suatu Ormas,
meskipun tidak melakukan perbuatan pidana;
11

9. Bahwa dengan dinyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tidak


memiliki kekuatan hukum mengikat, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
10. Dengan demikian jelaslah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan judicial review ini agar Perpu Nomor
2 Tahun 2017 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

IV. ALASAN DAN POKOK PERMOHONAN


1. Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 Bertentangan Prinsip Negara Hukum Sebagaimana Dimaksud
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, yang menurut Friedrich J. Stahl di dalam negara hukum
setidaknya mesti memiliki unsur yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan
atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintah
berdasarkan peraturan-peraturan; dan (4) peradilan administrasi dalam
perselisihan. Unsur negara hukum menurut Stahl tersebut senafas dengan
apa yang dinyatakan Albert Venn Dicey tentang tiga unsur fundamental
daril rule of law yaitu (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti, seseorang hanya boleh
dihukum kalau melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama dalam
menghadapi hukum baik bagi masyarakat biasa maupun para pejabat; dan
(3) terjaminya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta
keputusan-keputusan pengadilan (Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia
Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007,
halaman 23-24);
2. Unsur negara hukum menurut Stahl dan Dicey tersebut menekankan
kepada supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia,
dan pembagian kekuasaan. Dalam pembagian kekuasaan tersebut baik
Stahl maupun Dicey menempatkan pengadilan sebagai tempat untuk
menjamin tegaknya supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia;
12

3. Bahwa unsur-unsur negara hukum yang dinyatakan oleh Stahl dan AV


Dicey tersebut ditiadakan dengan berlakunya Pasal I angka 6 sampai
dengan angka 22 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, yang isinya:
“Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan kmbaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5430) diubah sebagai berikut:
6. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 66 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 69 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 70 dihapus,
14. Ketentuan Pasal 71 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
19. Ketentuan Pasat 76 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 77 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
4. Bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2017 merupakan ketentuan yang menghapus prosedural
pemberian sanksi terhadap Ormas yang tercantum Pasal 63 sampai
dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang
merumuskan:
Pasal 63:
1) Dalam hal Ormas pernah dijatuhi peringatan tertulis kesatu sebanyak 2
(dua) kali, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan
peringatan tertulis kedua.
13

2) Dalam hal Ormas pernah dijatuhi peringatan tertulis kedua sebanyak 2


(dua) kali, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan
peringatan tertulis ketiga.
Pasal 64:
1) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (5) dan Pasal 63 ayat (2),
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi
berupa:
a. penghentian bantuan dan/atau hibah; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan.
2) Dalam hal Ormas tidak memperoleh bantuan dan/atau hibah,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b.
Pasal 65:
1) Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
terhadap Ormas lingkup nasional, Pemerintah wajib meminta
pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.
2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan hukum,
Pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara
kegiatan.
3) Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
terhadap Ormas lingkup provinsi atau kabupaten/kota, kepala daerah
wajib meminta pertimbangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan
tingkatannya.
Pasal 66:
1) Sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b dijatuhkan untuk jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan.
2) Dalam hal jangka waktu penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Ormas dapat
melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan Ormas.
14

3) Dalam hal Ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara


kegiatan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat mencabut
sanksi penghentian sementara kegiatan.
Pasal 67:
1) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 ayat (1) huruf b, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar.
2) Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib meminta pertimbangan
hukum Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan
surat keterangan terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Mahkamah Agung wajib memberikan pertimbangan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama
14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya permintaan
pertimbangan hukum.
Pasal 68:
1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian
sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1)
huruf b, Pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan
hukum.
2) Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas
berbadan hukum.
3) Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pasal 69:
1) Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (3) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan putusan
pembubaran Ormas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
15

2) Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 70:
1) Permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri oleh
kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia.
2) Permohonan pembubaran Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai dengan tempat
domisili hukum Ormas dan panitera mencatat pendaftaran
permohonan pembubaran sesuai dengan tanggal pengajuan.
3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai bukti
penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah.
4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, permohonan pembubaran Ormas berbadan
hukum tidak dapat diterima.
5) Pengadilan negeri menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pendaftaran
permohonan pembubaran Ormas.
6) Surat pemanggilan sidang pemeriksaan pertama harus sudah diterima
secara patut oleh para pihak paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
pelaksanaan sidang.
7) Dalam sidang pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan
memberikan keterangan dan bukti di persidangan.
Pasal 71:
1) Permohonan pembubaran Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
70 ayat (1) harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
dicatat.
16

2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari atas persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
3) Putusan pembubaran Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 72:
Pengadilan negeri menyampaikan salinan putusan pembubaran Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 kepada pemohon, termohon, dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Pasal 73:
1) Putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi.
2) Dalam hal putusan pengadilan negeri tidak diajukan upaya hukum
kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), salinan putusan
pengadilan negeri disampaikan kepada pemohon, termohon, dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia paling lama 21 (dua puluh satu) hari
terhitung sejak putusan diucapkan.
Pasal 74:
1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1)
diajukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal putusan pengadilan negeri diucapkan dan
dihadiri oleh para pihak.
2) Dalam hal pengucapan putusan pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dihadiri oleh para pihak, permohonan
kasasi diajukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak salinan putusan diterima secara patut oleh para pihak.
3) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan
pada pengadilan negeri yang telah memutus pembubaran Ormas.
17

4) Panitera mencatat permohonan kasasi pada tanggal diterimanya


permohonan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani panitera.
5) Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera
pengadilan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal permohonan dicatat.
Pasal 75:
1) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 kepada termohon kasasi
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan kasasi didaftarkan.
2) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada
panitera pengadilan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal memori kasasi diterima.
3) Panitera pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi
termohon kepada pemohon kasasi dalam jangka waktu paling lama 2
(dua) hari kerja terhitung sejak tanggal kontra memori kasasi diterima.
4) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi,
dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan
kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lama 40 (empat
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan atau
paling lama 7 (tujuh) hari sejak kontra memori kasasi diterima.
Pasal 76:
1) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5)
tidak terpenuhi, ketua pengadilan negeri menyampaikan surat
keterangan kepada Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa
pemohon kasasi tidak mengajukan memori kasasi.
2) Penyampaian surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak
berakhirnya batas waktu penyampaian memori kasasi.
Pasal 77:
1) Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan
menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
18

kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera


Mahkamah Agung.
2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 harus
diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah
Agung.
Pasal 78:
1) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan
kasasi kepada panitera pengadilan negeri dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi
diputus.
2) Pengadilan negeri wajib menyampaikan salinan putusan kasasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemohon kasasi,
termohon kasasi, dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak putusan kasasi
diterima.
5. Bahwa berlakunya Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 mengancam hak konstitutional para
Pemohon dalam kemerdekaan berkumpul, berserikat, menyatakan
pendapat, memperjuangkan hak secara kolektif, mendapatkan rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nurani
sebagaimana Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan 28E
ayat (2) UUD 1945 karena menghilangkan peranan pengadilan dalam
menjatuhkan sanksi terhadap Ormas, sehingga kapanpun secara subjektif
pemerintah dapat melakukan pencabutan terhadap status badan hukum
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV atau melakukan pencabutan
terhadap surat keterangan terdaftar dari Ormas Pemohon V;
6. Bahwa penghilangan peranan pengadilan dalam menjatuhkan sanksi
terhadap Ormas pula berpotensi merugikan hak konstitusional para
Pemohon berupa pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
19

sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena kapanpun dan secara
subjektif Pemerintah dapat membubarkan Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV dengan mencabut status badan hukumnya atau melakukan
pencabutan terhadap surat keterangan terdaftar dari Ormas Pemohon V
tanpa dibuktikan secara sah mengenai kesalahan atau
pelanggarannya;
7. Bahwa melalui pengadilan supremasi hukum dan penghormatan hak asasi
manusia dapat terjamin, sekalipun hanya sebatas keadilan prosedural,
akan tetapi setidak-tidaknya di Pengadilan semua pihak diperlakukan
sama (equality before the law), dan pihak yang menuduh diwajibkan
membuktikan tuduhannya dan pihak yang dituduh diberi kesempatakan
untuk membela diri (audi alteram partem) sebagai pengejewantahan azas
proses hukum yang berkeadilan (due prosess of law). Sebaliknya tanpa
peranan pengadilan, supremasi hukum dan penghormatan hak asasi
manusia mustahil terjamin;
8. Bahwa pengenyampingan asas due process of law tersebut yang telah
merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon oleh karena memberikan
hak monopoli kepada pemerintah untuk menentukan hidup matinya ormas
merupakan pengingkaran terhadap konsep negara hukum yang
mensyarakatkan adanya jaminan hak azasi manusia dengan
pengawasaan dari badan-badan peradilan;
9. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-
Undang Ormas mereduksi lembaga kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (vide Pasal 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman),
karena meniadakan peranan pengadilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum/
keterangan terdaftar yang berkonsekuensi pembubaran;
10. Krusialnya peranan pengadilan dalam menentukan perbuatan yang hak
dan yang bathil sebelum menjatuhkan sanksi (in casu penjatuhan sanksi
terhadap Ormas) ditegaskan pada Article 14 point a International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-
20

Undang Nomor 12 Tahun 2005 dalam menentukan segala hak dan


kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan
yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang
berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum: “All
persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination
of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit
at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a
competent, independent and impartial tribunal established by law. The
press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons
of morals, public order (ordre public) or national security in a democratic
society, or when the interest of the private lives of the parties so requires,
or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special
circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but
any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made
public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or
the proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of
children”. Oleh karenanya dalam konteks penjatuhan sanksi terhadap
Ormas sehubungan dengan tindakan atau perbuatan yang dilakukannya
maka hanya dapat dibenarkan melalui pemeriksaan pengadilan yang adil,
bebas, dan tidak berpihak;
11. Bahwa tanpa peranan pengadilan menjadikan pemerintah menumpuk
kekuasaan pada satu tangannya yang pada akhirnya dapat menjadikannya
sewenang-wenang dalam memberikan pembatasan terhadap hak-hak
konstitusional warganya wujud eksistensi suatu Ormas, yang selaras
dengan pernyataan George Orwell bahwa penguasa totaliter tidah hanya
mau memimpin tanpa gangguan dari bawah: Ia justru secara aktif
menentukan bagaimana masyarakat hidup dan mati; bagaimana
mereka bangun dan tidak makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau
mengontrol apa yang merek pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan
dihancurkan (Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik
Di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2011, Halaman 102 sampai dengan halaman 103).
Oleh sebab itu jelaslah bahwa pencabutan ketentuan yang menjamin
adanya due process of law pada Pasal 63 sampai dengan Pasal 78
21

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 oleh ketentuan Pasal I angka 6


sampai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
menjadikan pemerintah sebagai penafsir tunggal terhadap hidup matinya
suatu Ormas tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri sebelum
dijatuhkan sanksi, yang bertentangan dengan prinsip negara hukum Pasal
1 ayat (3) UUD 1945.
2. Frasa “Atau paham lain” Pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Bertentangan Dengan Pasal 28,
Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) Dan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945 Karena Tidak Jelas, Multi Tafsir Yang Rentan
Digunakan Secara Serampangan Oleh Pemerintah Untuk Menjerat Ormas-
ormas Beserta Pengurus dan Anggotanya Yang Berseberangan Dengan
Tuduhan Anti Pancasila.
1. Pasal 59 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
menentukan, “Ormas dilarang: menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”.
Menurut penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan pancasila antara lain ajaran ateisme,
komunisme, marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945: “Yang dimaksud dengan
"ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila' antara lain
ajaran ateisme, komunisme/manrisme-leninisme, atau paham lain yang
bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
2. Bahwa frasa “atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
Pasal 28:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
22

Pasal 28C ayat (2):


Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28E ayat (2):
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya’’.
3. Sampai dengan saat ini tidak terdapat tafsir resmi tentang Pancasila,
melainkan antar rezim yang pernah berkuasa menafsirkan Pancasila
dengan cara dan untuk kepentingannya sendiri. Malah Presiden Soeharto
berani menyatakan bahwa Presiden Soekarno sebagai salah satu
perumus Pancasila telah menyimpangi Pancasila. Lalu Pancasila juga
yang digunakan oleh para tokoh reformasi dalam menurunkan Soeharto
dengan menuduhnya telah memonopoli Pancasila demi melanggengkan
kekuasan dan menjustifikasi pemerintahannya yang otoriter. Begitu pula
pada rezim Joko Widodo yang dalam menafsirkan Pancasila menganggap
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai Ormas anti Pancasila. Padahal
selama 10 (sepuluh) tahun Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, HTI
tidak dianggap sebagai Ormas anti Pancasila;
4. Meskipun setiap rezim yang berkuasa dapat menafsirkan Pancasila
dengan cara dan untuk kepentingannya masing-masing bahwa secara
legalistik konstitusional Peraturan Perundang-Undangan Negara Indonesia
telah mengkualifikasi paham atau ajaran yang bertentangan dengan
Pancasila, yaitu sebagai berikut:
1) Paham atau ajaran ateisme dinyatakan sebagai paham atau ajaran
yang bertentangan dengan Pancasila sebagaimana Pasal 4 beserta
23

Penjelasannya juncto Penjelasan Umum Penetapan Presiden Republik


Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama:
Pasal 4:
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156a:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan:
a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa".
Penjelasannya:
“Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini,
disamping mengganggu ketentraman orang beragama, pada
dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan
oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu
dipidana sepantasnya”.
Penjelasan Umum:
Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah,
maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan
sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran
agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama
dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan
ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari
penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak
memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa/(Pasal 4).
2) Paham atau ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme dinyatakan
bertentangan dengan Pancasila berdasarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
24

XXV/MPRS/1966 (Tap MPRS XXV 1966) sebagaimana tercantum pada


konsideran pertimbangannya:
“Menimbang:
a. Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada
hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;
b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang
mengenal faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme,
khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan
Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha
merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah
dengan cara kekerasan.
c. Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas
terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan
yang menyebabkan atau mengembangkan faham atau ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme”
3) Norma yang terkandung di dalam Tap MPRS XXV 1966 tersebut kemudian
dijadikan dasar pemidanaan terhadap setiap orang yang menyebarkan
atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme
sebagaimana tercantum pada Pasal 107a, Pasal 107c, Pasal 107d, Pasal
107e KUHP juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara:
Pasal 107a:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,
tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala
bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun”.
Pasal 107c:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,
tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisnie/ Marxisme-Leninismce yang
berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan
25

korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun”.
Pasal 107d:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,
tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dengan
maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107e:
“Dipidana dengan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun):
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut
diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam
segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan
bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang
diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau
dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah
dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
5. Bahwa kualifikasi legalistik konstitusional menyangkut paham atau ajaran
yang bertentangan dengan Pancasila tersebut selaras dengan penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang
menjelaskan “Yang dimaksud dengan ‟ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila‟ adalah ajaran ateisme, komunisme/
marxisme-leninisme”, yang tentunya para Pemohon sangat setuju
dengannya. Namun menjadi tidak jelas dengan berlakunya frasa “atau
paham lain” sebagaimana yang tercantum pada penjelasan Pasal 59 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017;
6. Bahwa pencantuman frasa “atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59
ayat (4) huruf c tersebut mengakibatkan makna bertentangan dengan
Pancasila menjadi sangat luas, yang dapat menyasar Ormas manapun
termasuk para Pemohon sebagai Ormas-ormas yang beraktivitas dalam
bidang Dakwah Islam dan sosial kemasyarakatan. Hal mana mengancam
hak konstitusional para Pemohon dalam kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran, memajukan diri dalam memperjuangkan
26

hak kolektif, meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap sesuai


dengan hati nurani sebagaimana Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal
28E ayat (2) UUD 1945, karena dengan menggunakan frasa tersebut yang
multi tafsir dan tidak jelas, pemerintah sebagai pemonopoli tafsir
“bertentangan dengan Pancasila” dapat secara subjektif menjatuhkan
sanksi terhadap para Pemohon yaitu membubarkan Pemohon I sampai
dengan Pemohon IV dengan melakukan pencabutan status badan hukum
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV, atau melakukan pencabutan atas
surat keterangan terdaftar dari Ormas Pemohon V;
7. Bahwa karena frasa “atau paham lain” dapat digunakan pemerintah secara
subjektif untuk menjatuhkan sanksi terhadap para Pemohon, maka hal itu
pula mengancam hak konstitusional para Pemohon atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum, hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi sebagaimana Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G
ayat (1). Oleh karena kapanpun para Pemohon dapat dijerat
menggunakan Pasal 59 ayat (4) huruf c dengan tuduhan menganut,
mengembangkan, serta mengajarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila;
8. Bahwa frasa “atau paham lain” yang tidak jelas dan multi tafsir tersebut
apabila dikaitkan dengan Pasal 82A ayat (2) yang mengancam pidana
hukuman penjara seumur hidup dan minimal 5 (lima) tahun penjara
terhadap setiap anggota atau pengurus Ormas yang melanggar Pasal 59
ayat (4) huruf c adalah sangat berbahaya, karena dapat digunakan secara
subjektif untuk menjerat pengurus dan anggota Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV dan menjerat Pemohon V pada saat melakukan aktivitas
dakwah dengan tuduhan menganut, mengembangkan, dan menyebarkan
paham yang bertentangan dengan Pancasila;
9. Bahwa berkaitan dengan aktifitas dakwah yang dilakukan para Pemohon
yang berkeyakinan mengenai kebenaran Al Qur’an sebagai satu-satunya
hukum yang haq adalah dijamin konstitusi Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
27

kepercayaannya itu”. Bahkan jaminan terhadap keyakinan tersebut


tercantum pada An Agreement of the people for a firm and present peace
upon grounds of common right, 28 October, 1647, yang menyatakan
bahwa masalah agama dan cara menyembah Tuhan sama sekali tidak
diberikan kepada kita oleh kekuatan manusia manapun dan oleh sebab itu
tidak bisa dicabut atau menambah sedikitpun apa yang oleh hati kecil kita
dianggap sebagai pemikiran Tuhan tanpa berbuat dosa: “That matters of
religion and the ways of God's worship are not at all entrusted by us to any
human power, because therein we cannot remit or exceed a tittle of what
our consciences dictate to be the mind of God, without wilful sin.
Nevertheless the public way of instructing the nation — so it be not
compulsive — is referred to their discretion”;
10. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 48 sampai dengan ayat 50 memerintahkan
tentang kewajiban umat Islam untuk berhukum pada hukum Allah SWT (Al
Hakam, Al-Qur’an Tafsir Perkata, Suara Agung, Jakarta, Halaman 117):
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad)
dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau
mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia
yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebijakan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan, (Al-Maidah:
48).
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keingginan
mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka
memperdaya engkau terhadap sebagaian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka.
28

Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Al-


Maidah 49).
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini
(agamanya)? (Al-Maidah 50)”.
11. Dalam kaitan dengan perintah berhukum dengan hukum Allah tersebut
bahwa umat Islam diperintahkan berkewajiban untuk menegakkannya
secara kaffah sebagaimana dimaksud Surah Al Baqarah 208 “Wahai
orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Isalm secara keseluruhan,
dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang
nyata bagimu” (Mushaf Tadabbur, Al- Quranul Karim Terjemahan dan
Tadabbur Ayat Rasm Utsmani, KontaQ, Depok, 2017, Halaman 32).
Namun karena multi tafsirnya frasa ‘Atau paham lain” pada penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c Undang-Undang Ormas menyebabkan para
Pemohon rentan dijerat karena keyakinannya tersebut dengan tuduhan
menganut dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila dan hendak mengganti/mengubahnya dengan syariat
Islam. Padahal kenyataannya suka tidak suka, diakui tidak diakui bahwa
tanpa bermaksud menafikan peran serta golongan dan agama lain
Pancasila merupakan hadiah terbesar dari Umat Islam bagi Bangsa
Indonesia dan karenanya merupakan suatu keniscayaan sila-sila pada
Pancasila bersumber dari hukum Islam sebagai hukum yang hidup di
masyarakat;
12. Keyainan para Pemohon bahwa hukum islam sebagai satu-satunya hukum
yang haq, yang dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat
diwujudkan secara konstitusional juga terancam disebabkan ekstensifitas
frasa “Atau paham lain” yang dapat ditafsirkan kemana-mana. Sehingga
para Pemohon dapat dijerat dengan menggunakan klausula tersebut
dengan tuduhan hendak mengganti Pancasila dan UUD 1946 dengan
kekhilafaan Islamiyyah karena berdakwa tentang keutamaan Negara Islam
pada masa Khulafurrasyidin Khalifah Abu Bakar Ra, Umar Bin Khattab Ra,
Ustman Bin Affan Ra dan Ali Bin Abi Thalib Ra yang menegakkan hukum
Islam. Apalagi saat ini tidak dapat disangkal efek domino “Western
29

Islamophobia” yang antipati terhadap kata “Jihad” dan “Khilafa” telah


merasuki otoritas pemangku kekuasaan;
13. Bahwa sangatlah beralasan frasa “atau paham lain” dapat digunakan
secara serampangan dan subjektif untuk menjerat para Pemohon sebagai
Ormas yang beraktivitas pada bidang dakwah. Sebab HTI yang jelas-jelas
selama ini melakukan kegiatan dakwah menjadi korban pertamanya,
meskipun tidak pernah dibuktikan kesalahan dan pelanggarannya di
Pengadilan. Akan tetapi pemerintah sama sekali tidak bergeming terhadap
Ormas-ormas dan pengurusnya yang sibuk membela Partai Komunis
Indonesia (PKI) sebagai korban tragedi 1965 ataupun terhadap Ormas-
ormas yang memburu Ulama dengan menggunakan senjata tajam bahkan
sampai masuk ke landasan pacu pesawat seperti yang dialami oleh Wakil
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Umat Islam K.H. Tengku Zulkarnain di
Bandara Sintang Kalimantan Barat;
14. Berdasarkan hal di atas jelaslah frasa “atau paham lain” yang tercantum
pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 sangat tidak jelas dan multi tafsir, yang rentan digunakan
secara serampangan oleh aparatur pelaksana Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 untuk menjerat Ormas-ormas berikut dengan anggota dan
pengurusnya hanya karena dianggap secara subjektif oleh pemerintah
menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasaila. Oleh sebab itu patutlah frasa “atau
paham lain” untuk dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
3. Pasal 62 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Bertentangan
Dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945 Karena Menjatuhkan Sanksi Terhadap Ormas Hanya
Berdasarkan Subjektivitas Semata Tanpa Dibuktikan Mengenai
Pelanggarannya
1. Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pencabutan surat
keterangan terdaftar bagi Ormas tidak berbadan hukum atau melakukan
pencabutan status badan hukum bagi Ormas berbadan hukum: “Dalam hal
Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan
30

urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai


dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar
atau pencabutan status badan hukum.”;
2. Norma Pasal 62 ayat (3) tersebut bertentangan dengan Pasal 28, Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang isinya
sebagai berikut:
Pasal 28 UUD 1945:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 28C ayat (2):
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
3. Bahwa dengan berlakunya Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
mencabut surat keterangan terdaftar atau mencabut status badan hukum
dari Ormas sangat berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon
dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul, berpendapat, memajukan diri
dengan memperjuangkan hak secara kolektif. Oleh karena hanya
berdasarkan subjektifitasnya, kapanpun pemerintah dapat melakukan
pencabutan terhadap status badan hukum dari Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV dan melakukan pencabutan terhadap surat keterangan
terdaftar dari Ormas Pemohon V, yang menyebabkan para Pemohon tidak
mendapatkan jaminan, kepastian hukum yang adil, hak atas rasa aman
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi;
31

4. Kandungan Pasal 59 ayat (3) Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut


memaknai hak asasi manusia (natural rights) dengan menekankan kepada
kewajiban masyarakat bukan kepada hak masyarakat, karena mengartikan
status badan hukum dan surat keterangan terdaftar dari suatu Ormas
sebagai pemberian negara, sehingga negara dapat mencabutnya kapanpun
sesuai dengan kehendaknya;
5. Bahwa pemaknaan hak asasi yang menekankan kepada kewajiban
masyarakat sama dengan konsepsi Negara sosialis-komunis yang
menganggap hak asasi bukan bersumber kepada hukum alam, tetapi
bersumber dari penguasa, sehingga kadar dan bobotnya tergantung kepada
kemauan Negara (A. Masyhur Effendi, S.H., M.S, Perkembangan Dimensi
Hak Asasi Manusia (HAM) Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi
Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, halaman 21);
6. Bahwa konsepsi HAM Negara Indonesia tampak dari pembukaan UUD
1945: “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, dan 11 (sebelas) pasal tentang HAM
yang tercantum di dalam UUD 1945, yang menekankan kepada hak
masyarakat yang mesti dijaga dan dilindungi oleh negara;
7. Dikarenakan konsepsi HAM di Indonesia menekankan kepada hak
masyarakat, maka dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Ormas,
fungsi pemerintah hanyalah mensahkan keberadaan suatu Ormas melalui
pendaftaran atau pemberian status badan hukumnya, karena hak dalam
kemerdekaan berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat, memajukan
diri dengan memperjuangkan hak secara kolektif sama sekali bukan hak
yang diberikan negara, melainkan hak-hak kodrati yang melekat pada setiap
orang sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa (natural rights) yang mesti
dijamin, dilindungi dan dijaga oleh negara;
8. Bahwa sebagai pihak yang hanya mensahkan keberadaan suatu Ormas
melalui pemberian status badan hukum atau surat keterangan terdaftar,
32

pemerintah tidak serta merta dapat mencabutnya sesuai dengan


kehendaknya sendiri tanpa membuktikan secara sah memang suatu Ormas
layak untuk mendapatkan sanksi tersebut. Sebab apabila demikian,
pastinya dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap
Ormas yang berseberangan dengannya, meskipun Ormas tersebut sama
sekali tidak terbukti melakukan perbuatan yang dilarang, seperti kata Sir
Jhon Emerich ED Acton “Power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely”;
9. Dalam pemenuhan hak-hak konstitusional berupa hak berserikat,
berkumpul, menyatakan pendapat menurut mukadimah International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) hanya dapat dicapai apabila
diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan
politik dan juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya “...the ideal of free
human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear
and want can only be achieved if conditions are created whereby everyone
may enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and
cultural rights”. Oleh karena itu dalam rangka menciptakan kondisi tersebut
patutlah bagi Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 62 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
karena mengancam hak-hak sipil dan politik dari para Pemohon untuk
berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat, memperjuangkan hak
secara kolektif, dan karena menghilangkan jaminan, kepastian hukum yang
adil serta, hak atas rasa aman untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi terhadap para Pemohon sebagaimana
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945.
4. Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Bertentangan Dengan
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD
1945 Karena Hak Asasi Dalam Kemerdekaan Berkumpul Dan Berserikat
Tidak Dapat Dihapus Hanya Dengan Pencabutan Surat Keterangan
Terdaftar/Status Badan Hukum
1. Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 menentukan Ormas
dinyatakan bubar setelah pencabutan status badan hukumnya
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam
33

Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini” adalah
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang isinya sebagai berikut:
Pasal 28 UUD 1945:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 28C ayat (2):
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”.
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Pasal 28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
2. Ketentuan Pasal 80A ini menentukan Ormas dinyatakan bubar sebagai
akibat pencabutan status badan hukum pada Pasal 61 ayat (1) huruf c dan
ayat (3) huruf, yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana Pasal 62 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, maka dalil dalil-dalil yang telah
para Pemohon kemukakan pada uji materiil Pasal 62 ayat (3) di atas
secara mutatis mutandis menjadi dalil Para Pemohon untuk menyatakan
Pasal 80A Perppu Nomor 2 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 28,
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa pengesahan status badan hukum suatu Ormas hanyalah
pengakuan pemerintah terhadap Ormas sebagai subjek hukum, yang
memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang terpisah dengan
pengurus dan anggotanya. Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 bahwa pengesahan status badan hukum dari suatu Ormas
sebagai bukti pendaftarannya:
34

1) Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan


pengesahan badan hukum.
2) Pendaftaran Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3) Dalam hal telah memperoleh status badan hukum, Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan surat
keterangan terdaftar.
4. Di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
82/PUU-XI/2013, halaman 125 menegaskan bahwa pendaftaran suatu
Ormas tidak dapat dijadikan instrumen untuk mengekang Ormas dalam
melakukan kegiatan, melainkan hanya sebagai pengakuan terhadap
keberadaan suatu Ormas untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah:
“Adapun masalah administrasi, ketika suatu Ormas melakkan aktivitas
yang dibiayai oleh negara tingkat nasional, kabupaten/kota, maka hal itu
persoalan administras yang tidak perlu diatur dalam Undang-Undang.
Artinya, pelayanan terhadap Ormas dalam menjalankan kegiatan dengan
menggunakan anggaran negara, atau pelayanan dalam bentuk pembinaan
oleh pemerintah terhadap suatu Ormas dapat dibatasi oleh pemerintah
dengan peraturan yang lebih rendah sesuai lingkup Ormas yang
bersangkutan. Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi
Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada
instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak
mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, telah
mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas yang
dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun
nasional. Suatu Ormas yan tidak mendaftarkan diri pada instansi
pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari
pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas
tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang
kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang
mengganggu keamanan, ketertiban umum atau melakukan pelanggaran
hukum”
35

Oleh sebab itu pencabutan status badan hukum terhadap suatu Ormas
tidak serta merta mengakibatkannya bubar, tetapi hanyalah membuatnya
tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah;
5. Bahwa tidak dinafikkan dalam menjalankan hak dan kebebasan bukannya
tanpa batas tetapi dapat dibatasi dengan Undang-Undang untuk menjamin
hak orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sebagaimana Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Namun pembatasan tersebut
bukan dengan jalan pintas dengan cara menumpuk kekuasaan pada satu
tangan;
6. Bahwa pencabutan hak berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat
dengan membubarkan Ormas secara sepihak tanpa dibuktikan mengenai
pelanggarannya merupakan kampanye perlawanan terhadap konstitusi
Pasal 28J ayat (2) UUD yang memaksudkan pembatasan atas hak-hak
tersebut semata-mata ditujukan dalam lingkup masyarakat demokratis
guna mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum. Karena tidak ada tempat bagi
tindakan sewenag-wenang pada masyarakat demokratis dengan
membatasi hak berkumpul dan menyatakan pendapat hanya berdasarkan
subjektifitas semata tanpa adanya pembuktian dan memberikan hak untuk
membela diri pada pengadilan yang bebas dan tidak memihak;
7. Mengacu pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang
memungkinkan adanya pembatasan dari hak-hak konstitusional bahwa
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas semata-mata
menggunakan pendekatan (self contracditiory) keamanan dan ketertiban
umum yang tampak dari pertimbangannya pada konsideran huruf a
“bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
36

Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga persatuan dan


kesatuan bangsa”. Akan tetapi pendekatan ketertiban dan keamanan
tersebut tidaklah dapat mengenyampingkan hak-hak masyarakat untuk
mendapatkan proses hukum berkeadilan (due process of law) yang dalam
hal ini mesti dibuktikan adanya kesalahan dan pelanggaran bagi suatu
Ormas sebelum dibubarkan. Tanpa proses hukum yang berkeadilan
Undang-Undang Ormas hanyalah sebuah justifikasi bagi eksisnya Negara
Kekuasaan (Machtstaat);
8. Bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut senafas dengan Article 21
ICCPR yang menyatakan “The right of peaceful assembly shall be
recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right
other than those imposed in conformity with the law and which are
necessary in a democratic society in the interests of national security or
public safety, public order (ordre public), the protection of public health or
morals or the protection of the rights and freedoms of others”, yang
menurut Karl Josef Partsch maknanya bahwa negara berkewajiban
menghormati dan menjamin hak-hak warganya untuk berkumpul secara
damai sepanjang tidak menimbulkan kekacauan, gangguan dan
menggunakan senjata (Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai
Pilihan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta 2001, halaman
284 sampai dengan halaman 285). Oleh karena itu sebagai pihak yang
telah meratifikasi ICCPR, maka haram hukumnya membatasi hak
berkumpul dan berserikat secara subjektif dan sepihak tanpa adanya
membuktikan suatu Ormas melakukan kekacauan, gangguan dan
mengangkat senjata;
9. Bahwa ketentuan Pasal 68 Undang-Undang Ormas yang memberikan
kewenangan pemerintah untuk membubarkan Ormas tanpa terlebih dahulu
dibuktikan mengenai pelanggarannya sama saja menempatkan hak-hak
konstitusional dari para Pemohon berada di belakang atau tidak penting,
yang membuka lebar kepada pemerintahan otoriter. Sebab secara sepihak
pemerintah dapat membredel Ormas-ormas yang berseberangan yang
pada akhirnya menimbulkan bencana besar sosial yang susah dipulihkan,
yaitu dengan munculnya stigma-stigma negatif terhadap anggota ormas
yang dibubarkan beserta keluarganya;
37

10. Tidak menunggu lama bencana besar sosial tersebut dapat dirasakan di
perguruan tinggi sebagai tempat kaum pelajar dan cerdik cendikiawan
berada dan bahkan di institusi Pemerintahan. Di mana saat ini pemerintah
sedang gencar-gencarnya mencari dan menandai para pendidik dan
pegawai negeri yang disinyalir anggota atau berafiliasi dengan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) sebagai Ormas terlarang, padahal sampai dengan
saat ini pelanggaran yang dilakukan oleh HTI sama sekali belum pernah
terbukti;
11. Bahwa tidaklah benar kerusakan yang ditimbulkan tersebut dapat
dipulihkan melalui sarana pengadilan seperti PTUN yang membatalkan
keputusan pembubarannya, akan tetapi faktanya kerusakan telah terjadi
dan tidak mudah untuk mengembalikan pada keadaan semula, karena
seketika itu pula mencabut hak konstitusional para Pemohon untuk
berkumpul dan menyatakan pendapat dengan menggolongkannya sebagai
Ormas terlarang yang memberi stigma negatif di masyarakat;
12. Bahwa dalam hal Pemohon I dan Pemohon II selaku Yayasaan bahwa
secara positifistis legalisitik norma yang terkandung pada Pasal 80A
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bertentangan dan tumpang
tindih dengan Pasal 62 huruf c dan Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, yang menentukan pembubaran
yayasan berdasarkan pelanggaran hukum atau pailit hanya dapat
dilakukan melalui Pengadilan dengan putusan berkekuatan hukum
tetap:
Pasal 62 huruf c:
“Yayasan bubar karena: c. putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
1. yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2. tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3. harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah
pernyataan pailit dicabut”
Pasal 71 ayat (4):
“Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana
38

dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di


depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan
atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”
13. Berdasarkan dalil yang telah para Pemohon kemukakan di atas, maka
patutlah Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 untuk
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena mengancam
hak konstitusional para Pemohon dalam kemerdekaan berkumpul,
berserikat, menyatakan pendapat, memperjuangkan hak secara kolektif,
dan karena telah menghilangkan jaminan, kepastian hukum yang adil
serta, hak atas rasa aman untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
5. Pasal 82A Ayat (1) Dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
Bertentangan Dengan Pasal 28D ayat (1) Dan Pasal 28G ayat (1) UUD
1945 Karena Multi Tafsir Dan Tidak Ketat Yang Dapat Menjerat Para
Pemohon Hanya Karena Statusnya Sebagai Pengurus atau Anggota
Ormas
1. Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
menentukan:
Ayat (1):
“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan
huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.
Ayat (2):
Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan
huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Dan Pasal 28G ayat (1) UUD
1945:
39

Pasal 28D ayat (1):


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
2. Bahwa karena rumusan pidana pada Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 di atas menunjuk larangan
perbuatan ormas dari Pasal 59 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017,
maka unsur delik yang utuh adalah unsur-unsur yang terkandung Pasal
82A ayat (1) dan ayat (2) beserta Pasal 59 tersebut, yang isinya:
Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d:
Ormas dilarang:
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4):
3) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia.
4) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
40

c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau


paham yang bertentangan dengan Pancasila.
3. Bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 mengancam hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi
sebagaimana Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,
karena dirumuskan secara tidak jelas dan tidak ketat yang dapat menjerat
para Pemohon, meskipun tidak melakukan perbuatan pidana;
4. Ketidakjelasan mengenai rumusan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) juncto
Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
karena mencampuradukkan 2 (dua) subjek hukum yang berbeda dengan
perbuatan yang berbeda dalam 1 (satu) ketentuan pidana. Sebab dengan
jelas yang menjadi subjek hukum dari Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 adalah “orang” karena
menggunakan rumusan “Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau
pengurus Ormas”, dan sanksinya-pun juga jelas ditujukan kepada subjek
hukum “orang” oleh karena berupa pidana penjara. Namun Pasal 59 ayat
(3) dan ayat (4) sebagai Pasal yang ditunjuk oleh Pasal 82A ayat (1) dan
ayat (2) merupakan larangan perbuatan yang dilakukan oleh “ormas”,
bukan “orang” yang tampak dari rumusannya didahului dengan frasa
“ormas dilarang”. Sehingga terdapat 2 (dua) subjek hukum yaitu “orang”
pada Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) dan “Ormas” pada Pasal 59 ayat (3)
dan ayat (4), yang disatukan pada satu rumusan pidana;
5. Menjadi berbeda apabila rumusan dari Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) tidak
didahului dengan frasa “ormas dilarang”, yang dengan mudah dipahami
bahwa maksud perbuatan yang dilarang dari Pasal 82A ayat (1) dan ayat
(2) adalah perbuatan yang tercantum pada Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4).
Namun oleh karena rumusan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) tersebut
didahului oleh frasa “ormas dilarang”, menjadikan perbuatan mana yang
dilarangnya (strafbare feit) menjadi tidak jelas, apakah:
41

1) Anggota atau pengurus ormas dipidana, karena ormasnya melakukan


perbuatan yang dilarang dari salah satu ketentuan Pasal 59 ayat (3);
Atau
2) Anggota atau pengurus ormas dipidana, karena dengan sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang dari salah satu ketentuan Pasal 59
ayat (3) dan ayat (4);
6. Bahwa perbedaan dari kedua strafbaar feit di atas, yang pertama karena
statusnya sebagai anggota atau pengurus dan dirinya tidak melakukan
larangan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4), melainkan yang melakukan
larangan tersebut adalah ormasnya, dan yang kedua karena perbuatannya
sendiri yang melakukan larangan dari Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017;
7. Ketidakjelasan atau ambiguitas pemaknaan Pasal 82A ayat (1) dan ayat
(2) juncto Pasal 59 ayat (3) dan (4) sangatlah berbahaya, karena
menciptakan ketidakpastian hukum, yang dapat menjerat para Pemohon
selaku pengurus sekaligus anggota ormas meskipun tidak melakukan
perbuatan apapun baik berupa commission (aktif) maupun ommission
(pasif), yang menyalahi asas hukum pidana “Nulla Poena Sine Crimine”
atau tiada pidana tanpa perbuatan pidana. Konkritnya, yaitu Pemohon V
dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
dengan pidana seumur hidup hanya karena status keterangan terdaftar
Front Pembela Islam (FPI) dicabut oleh Menteri Dalam Negeri atas dugaan
melanggar Pasal 59 ayat (3) atau ayat (4) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017;
8. Bahwa perumusan ketentuan pidana seperti Pasal 82A ayat (1) dan ayat
(2) juncto Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 menurut Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 82/PUU-XI/2013
juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-X/2012 bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena tidak jelas (lex certa) dan
tidak ketat (lex stricta) sebagaimana pertimbangan di bawah ini:
“Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU
17/203 merupakan ketentuan yang multitafsir karena di satu sisi perbuatan
yang demikian itu merupakan ketentuan yang multitafsir karena di satu sisi
perbuatan yang demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain
42

hanya bersifat pelarangan. Oleh karena itu, menurut Pemohon pasal


tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap
larangan penggunaan lambang negara sebagaimana ditentukan Pasal 59
ayat (1) huruf a UU 17/2013, Mahkamah perlu mengutip Putusan Nomor
4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013 yang antara lain
mempertimbangkan sebagai berikut:
“...Mahkamah berpendapat larangan penggunaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 huruf d Undang-Undang a quo tidak tepat. Apalagi
larangan tersebut diikuti dengan ancam pidana, yang seharusnya
ketentuan mengenai perbuatan yang diancam pidana, yang seharusnya
ketentuan mengenai perbuatan yang diancam pidana harus memenuhi
rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex cetra), tertulis (lex scripta), dan
ketat (lex stricta);
Terkait penggunaan lambang negara, hal yang tidak boleh dilupakan
adalah keberadaan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakan dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Mahkamah berpendapat bahwa
kata “menjamin” dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 harus diartikan
sebagai kewajiban negara yang di sisi lain merupakan hak warga negara
atau masyarakat untuk “memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
kebudayaan”. Dengan mengingat bahwa Pancasila, yang dilambangkan
dalam bentuk Garuda Pancasila, adalah seperangkat sistem nilai (budaya)
yang menjadi milik bersama atau kebudayaan bersama seluruh warga
negara Indonesia maka menjadi hak warga negara untuk melaksanakan
nilai-nilainya termasuk di dalamnya menggunakan lambang negara.
Apalagi jika mengingat bahwa Pancasila sebagai sistem nilai adalah
terlahir atau merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia;
Menimbang bahwa sesuai pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat
pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk
pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya
sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat mengurangi
rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya,
43

dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar


nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan dengan maksud
dibentuknya Undang-Undang a quo;
Oleh karena ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013 mengandung
materi muatan yang sama dengan pertimbangan hukum dalam Putusan
Mahkamah Nomor 4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013, yaitu
mengenai penggunaan lambang negara maka pertimbangan hukum dalam
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis
menjadi pertimbangan hukum pula dalam permohonan a quo khususnya
Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013, sehingga dalil Pemohon sepanjang
Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013 beralasan menurut hukum”;
Rumusan Pasal 59 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 yang dimaksud putusan Mahkamah Konstitusi tersebut identik
perumusannya dengan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 59
ayat (3) dan ayat (4) yaitu sebagai berikut: “Ormas dilarang:
a. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau
lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang
Ormas”;
9. Bahwa selain mengandung ketidakjelasan dalam merumuskan perbuatan
pidana, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 juga mengandung perumusan yang tidak ketat oleh karena
menggunakan frasa “secara tidak langsung melanggar ketentuan” sebagai
unsur pembentuk delik;
10. Dengan adanya frasa “secara tidak langsung melanggar ketentuan” pada
Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) di atas dapat menjadikan semua anggota
atau pengurus ormas yang menjadi faktor penyebab dari timbulnya tindak
pidana dapat dijerat dengan ketentuan tersebut, akibat luasnya
pemaknaan dari unsur “secara tidak langsung melanggar”;
11. Sebagai contoh ilustasi berkenaan dengan bahayanya pencantuman frasa
“secara tidak langsung melanggar ketentuan” pada Pasal 82A ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 adalah sebagai berikut:
“Dua orang anggota ormas X mendapatkan informasi dari teman mereka
sesama anggota ormas X tentang penahanan ketuanya di Rutan Salemba.
Sebelum menuju ke Rutan Salemba mereka meminjam uang kepada
44

anggota ormas X lain untuk dipergunakan mengisi bensin mobil, dan selain
itu pula mobil yang mereka gunakan juga meminjam dari anggota ormas X
yang lain lagi. Sesampainya di Rutan Salemba mereka tabrakkan mobil
tersebut ke pintu gerbang sebagai wujud protes penahanan ketuanya”;
12. Dari contoh ilustrasi di atas, dikaitkan dengan rumusan Pasal 82A ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 yang terdapat unsur “tidak
langsung melanggar ketentuan”, maka yang dapat dijerat dengan
menggunakan pasal tersebut tidak hanya kedua anggota ormas X yang
menabrak pintu gerbang Rutan Cipinang, tetapi juga anggota ormas yang
memberi informasi, yang meminjamkan uang, dan yang meminjamkan
mobil juga dapat dijerat, karena mereka secara “tidak langsung” sebagai
penyebab terjadinya pengrusakan tersebut, yang dikenal dalam hukum
pidana sebagai teori conditio sine quanon dari Von Burri;
13. Teori conditio sine quanon telah lama ditinggalkan oleh negara-negara
yang menjunjung tinggi supremasi hukum melalui penerapan azas
legalitas, karena menilai semua faktor sama pentingnya terhadap
timbulnya suatu akibat, yang menjadikan meluasnya orang yang dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana meskipun bukan pelaku perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang. Bahkan berdasarkan teori conditio
sine quanon, orang-orang yang tidak mempunyai kesalahan (schuld) dapat
dijerat sebagai pelaku tindak pidana selama memenuhi syarat sebagai
faktor penyebab, yang menyalahi azas hukum pidana “Geen straft zonder
schuld” atau tiada pidana tanpa kesalahan;
14. Dengan demikian jelaslah bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 multi tafsir, tidak jelas, tidak ketat, yang
berpotensi mengancam hak konstitusional para Pemohon untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi sebagaimana Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Oleh karenanya sudah sepatutnya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 untuk dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
45

V. PETITUM
Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami uraikan di atas, dengan ini para
Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara ini dan
memutus sebagai berikut:
1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan:
2.1. Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
2.2. Frasa “atau paham lain” dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
2.3. Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.4. Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.5. Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
46

Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka kami
mohon agar diputuskan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P.V-02 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3. Bukti P.I-01 : Fotokopi Anggaran Dasar (Akta Pendirian dan
Perubahan-perubahannya) Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia;
4. Bukti P.I-02 : Fotokopi Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-AH.01.06-
0001687, tanggal 01 April 2016;
5. Bukti P.I-03 : Fotokopi Surat Keputusan Pembina Yayasan Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia Nomor 006/SK/Pembina/XI/
1438H/2016 M Tentang Perubahan Struktur Organisasi
Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Periode
2015-2020, tanggal 29 November 2016;
6. Bukti P.I-04 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Drs.
Mohammad Siddik, MA;
47

7. Bukti P.I-05 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama H. Amril


Saifa;
8. Bukti P.II-01 : Fotokopi Akta Pendirian Yayasan Forum Silaturahim
Antar Pengajian, tanggal 06 Agustus 20012;
9. Bukti P.II-02 : Fotokopi Surat Keputusan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum Nomor AHU-2852.AH.01.04.Tahun 2014, tanggal
03 Juni 2014;
10. Bukti P.II-03 : Fotokopi Surat Keputusan Pembina Nomor: 002/SK
Pembina PP FORSAP/05/3026, tentang Kepengurusan
PP Forsap Tahun 2015-2018, tanggal 30 Mei 2015;
11. Bukti P.II-04 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Dra. Nurdiati
Akma;
12. Bukti P.II-05 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Hj. Zuriaty
Anwar;
13. Bukti P.III-01 : Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Pemuda Muslimin
Indonesia Nomor 39 Tanggal 30 Januari 2015 di Notaris
Yonsah Minanda, S.H., M.H.
14. Bukti P.III-02 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU-0000119.AH.01.07. Tahun 2015,
tanggal 02 Februari 2015;
15. Bukti P.III-03 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama M. Muhtadin
Sabili;
16. Bukti P.III-04 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama H. Muchlis
Zamzani Can, MA;
17. Bukti P.III-05 : Fotokopi Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor AHU-0000119.AH.01.07. Tahun
2015, tanggal 02 Februari 2015;
18. Bukti P.IV-01 : Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan Hidayatullah
Nomor 27 tanggal 20 Januari 2012 di Notaris Hj. Wiwik
Rowiyah Suparno, S.H. M.Kn.;
19. Bukti P.IV-02 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan (Munas) IV
Hidayatullah Nomor 09 di Kantor Notaris Indah
Khaerunnisa, S.H., M.Kn, tanggal 26 Januari 2016;
48

20. Bukti P.IV-03 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU-16.AH.01.07. Tahun 2013, tanggal
11 Februari 2013;
21. Bukti P.IV-04 : Fotokopi Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor AHU-0000589.AH.01.08.TAHUN
2016, tanggal 21 November 2016;
22. Bukti P.IV-05 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Nashirul Haq
Marling;
23. Bukti P.IV-06 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Candra
Kurnianto;
24. Bukti P.V-01 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Munarman;
25. Bukti P.V-02 : Fotokopi Kartu Identitas Front atas nama H. Munarman,
S.H.

Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli yang didengar
keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 22 Februari 2018
dan 20 Maret 2018 serta 1 (satu) orang saksi yang didengar keterangannya di
bawah sumpah dalam persidangan tanggal 22 Februari 2018, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut.

AHLI PEMOHON
1. Dr. Zen Zanibar M.Z., S.H., M.H.
Pertama, bahwa Lampiran Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang khususnya
bagian konsideran Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
sebagai berikut:
Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 substansinya adalah
Perpu Nomor 2 Tahun 2017 yang telah disetujui DPR, sebab itu Perpu Nomor
2 Tahun 2017 merupakan bagian utuh dan tidak terpisahkan dari Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017. Dengan demikian ide, konsep, dan
rumusannya berasal dari Perpu Nomor 2 Tahun 2017.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 hanya merubah jubah
Perpu menjadi Undang-undang, sementara jiwa dan semangat tetap semangat
49

Perpu Nomor 2 Tahun 2017.Oleh karena itu judicial review terhadap Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 fokus pada kelemahan dan kekeliruan dalam
Perpu Nomor 2 Tahun 2017.
Keempat, mengacu pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945 ayat (1) Hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Menurut Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Nomor 138/PUU-VI/2009 pada [3.10] Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan;
Penegasan perlunya syarat dimaksud lebih lanjut terdapat pada angka
[3.11] tiga syarat di atas adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa
sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Pembuatan Perpu
memang di tanganTermohon yang artinya tergantung kepada penilaian
subjektif Termohon namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut
tergantung kepada penilaian subjektif Termohon karena sebagaimana telah
diuraikan di atas penilaian subjektif tersebut harus didasarkan kepada keadaan
yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan
memaksa.
Kelima, memperhatikan lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 dalam hal ini Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, khususnya bagian
menimbang huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak
ditemukan alasan memenuhi syarat sebagaimana Putusan Mahkamah
Konstitusi seperti telah diuraikan di atas, karena penilaian subjektif Termohon
tidak memenuhi tiga syarat yang dijadikan parameter pembuatan Perpu yang
50

ditetapkan Mahkamah Konstitusi. Justru yang ada adalah alasan subjektif yang
sangat kentara dan tidak terukur.
Konsideran pada huruf a. “bahwa negara berkewajiban melindungi
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
pertimbangan ini mengungkapkan subjektifitas Termohon bahwa telah ada
ancaman terhadap kedaulatan NKRI, artinya dalam pikiran Termohon seolah
telah terjadi gangguan terhadap pertahanan negara dan perlu langkah
mengatasinya dengan kekuatan alat dan fasilitas pertahanan negara, padahal
yang dianggap persoalan adalah kegiatan organisasi masyarakat. Dalam
telaah keilmuan justru di negara moderen di seluruh dunia paling tidak sejak
tahun 1979 organisasi masyarakat ditumbuhkan untuk mendorong semangat
kemandirian masyarakat secara luas untuk menopang kehidupan bernegara.
Konsideran huruf b. “bahwa pelanggaran terhadap asas dan tujuan
organisasi kemasyarakatan yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan perbuatan yang
sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari
latar belakang etnis, agama dan kebangsaan Indonesia”. Pertimbangan ini
ungkapan subjektivitas Termohon tentang tafsir Pancasila dan UUD 1945
sebagai asas. Penafsiran demikian pernah kita alami dengan tafsir tunggal
(asas tunggal Pancasila) yang ternyata kemudian kita tinggalkan karena
menjadi alat mengecam/memojokkan bahkan mendegradasi kewibawaan dan
kehormatan pribadi dan organisasi katika itu.
Konsideran huruf c. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan mendesak untuk segera dilakukan
perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai
keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal
penerapan sanksi yang efektif”. Pertimbangan ini sekali lagi bersifat
subjektifitas Termohon. Oleh karena sepanjang pengetahuan saya belum ada
tolok ukur “keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Semestinya sebagai
landasan bertindak untuk menghukum terhadap ormas, dan anggota harus
ada lebih dulu undang-undang yang merinci tolok ukur suatu ormas yang
51

bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945. Lagi pula membuat norma hukum yang bertentangan
asas tidak lazim dalam ilmu hukum.
Konsideran huruf d. Bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan
tertentu yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar organisasi kemasyarakatan
yang telah terdaftar dan telah disahkan Pemerintah, dan bahkan secara faktual
terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan dan kegiatannya yang
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pertimbangan ini subjektifitas Termohon terhahap
ormas tertentu yang dijadikan “target”. Dengan kata lain pertimbangan huruf d
ini bersifat personal atau tertuju kepada ormas terentu. Padahal dalam
keilmuan perundangan-undangan khususnya Undang-undang atau Perpu
harus bersifat umum tidak boleh bersifat individual (diperuntukan/ditujukan
kepada pribadi atau ormas tertentu).
Konsideran huruf e. “bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan belum menganut asas contrarius actus
sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi
kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Konsideran ini tidak lazim dimuat
dalam konsideran suatu produk hukum undang-undang. Apalagi asas ini akan
digunakan untuk bertindak langsung/mencabut izin yang sifatnya administrasi.
Tindakan hukum administrasi tidak boleh digunakan terhadap hak dan
keawajiban asasi yang melekat kepada invidividu warga negara. Hak yang
didasari hukum publik tidak bisa ditiadakan dengan tindakan hukum
administrasi. Hak yang didasarkan pada hukum publik hanya bisa dikurangi
atau dicabut berdasarkan proses hukum publik dalam hal ini putusan
pengadilan negeri melalui proses peradilan yang sah.
Konsideran huruf e tersebut berwatak mengancam padahal cukup
diatur dalam pasal-pasal pelanggaran yang mungkin/dapat terjadi dalam
pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan. Lagi pula penjatuhan sanksi
dapat dibenarkan berdasarkan putusan pengadiln yang terbuka dan putusan
sudah berkekuatan mengikat. Hal demikian sudah diatur dalam undang-
52

undang lain misalnya KUHP dan undang-undang yang melarang penyebaran


komunisme, marxisme dan leninisme. Dengan kata lain konsiderans huruf e ini
berlebihan dan menyimpang dari asas pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Dari keseluruhan konsideran yang dikemukakan di atas, maka seluruh
pasal dalam Perpu ini yang telah berjubah Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tidak memiliki dasar, sehingga tidak perlu lagi dibahas dalam keterangan
ini.
Lebih jauh dari itu kekeliruan konsideran Perpu Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menampilkan roh mengancam dan menindas
semua organisasi kemasyarakatan tanpa kecuali. Padahal di negara moderen
organisasi bentukan masyarakat diberi ruang hidup subur agar dapat
mengambil peran kontributif dalam urusan negara. Di banyak negara maju ada
ribuan organisasi kemasyarakatan/Quangos (Quasi non governmen’s)
mengambil peran publik (negara/pemerintah) dalam rangka menguatkan
negara.
Produk hukum mengancam dan menindas warisan kolonial mestilah
dibuang jauh-jauh dari peraktek kehidupan negara demokrasi. Menurut hemat
saya dewasa ini lebih mendesak bagi negara ini membuat banyak undang-
undang atau Perpu untuk mencegah meluasnya rezim kapitalis yang
merambah kota-kota sampai ke desa-desa di seluruh wilayah Indonesia,
karena mematikan ekonomi mayarakat tanpa kecuali.
Dengan demikian karena konsideran konsideran Perpu Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang telah ditetapkan menjadi Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Menjadi Undang-Undang tidak memiliki asas-asas sebagai landasan
sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, karena itu harus dinyatakan tidak mengikat dan dicabut karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
53

Selain menyampaikan keterangan di atas, ahli menambahkan


keterangan dalam persidangan yang pada pokoknya antara lain sebagai
berikut:
• Perpu secara umum namun ada target yang dituju;
• Pertimbangan undang-undang a quo tetap dengan pertimbangan Perpu,
meski tidak lazim seharusnya pembuat undang-undang menyelaraskan
sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 terkait dengan hal
ihwal kegentingan yang memaksa;
• Perbuatan hukum publik tidak dapat disalahkan dengan hukum administrasi,
namun harus dibuktikan terlebih dahulu melalui pengadilan;
• Hukum administrasi merupakan bagian hukum publik namun berisi
perbuatan administrasi yang bersifat individual.

2. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.


I. Pendahuluan
Pemerintah telah mentapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi
undang-undang. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya
disebut Undang-Undang Ormas) diterbitkan dengan pertimbangan utama
menunjuk pada adanya organisasi kemasyarakatan yang dan kegiatannya
secara faktual terbukti bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD 1945) (lihat: Butir Menimbang
huruf d). Maksud dan tujuan Undang-Undang Ormas adalah untuk
membedakan dan sekaligus melindungi Ormas yang mematuhi dan konsisten
dengan asas dan tujuan Ormas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan
Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 (lihat: Penjelasan Umum, paragraf keduabelas).
Terdapat rumusan yang mengandung sifat multi tafsir dalam Undang-
Undang Ormas, melalui penambahan frasa "paham lain" yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945 (Lihat: Penjelasan Pasal 59
ayat (4) huruf c). Dinyatakan pula dalam jenis sanksi dan penerapannya yang
54

bersifat luar biasa (lihat: Penjelasan Umum, paragraf kedua belas). Penerapan
yang bersifat luar biasa inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik norma,
tidak sesuai dengan asas/doktrin hukum pidana.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Ormas ini, pemerintah
dapat melakukan pembubaran terhadap suatu Ormas yang didasarkan pada
penilaian sepihak dan subjektif semata dengan alasan bahwa asas dan
kegiatan suatu Ormas telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
dan bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945.
Kita ketahui, bahwa kepentingan hukum berfungsi sebagai
perlindungan bagi kepentingan individu (individuale belangen), kepentingan
hukum masyarakat (sosiale belangen), dan kepentingan hukum negara (staats
belangen) (Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Bagian
Dua, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun; Wirjono Prodjodikoro, Tindak-
tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 348).
Tujuan sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu
menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian
(rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket) (Gustav Radbruch
sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty,
Yogyakarta, 2003. hlm.15). Dalam memfungsikan penegakan hukum
(Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang
mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian
menjadi kenyataan (lihat: Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum,
Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1993, hlm. 15. Soedarto
mengartikan penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapan
perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu)
maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 111),
maka ketiga tumpuan hukum tersebut harus mendasari baik dalam tahap
pembentukan hukum maupun dalam tahap aplikasi penegakan hukumnya
(Wolf Middendorf menyatakan bahwa peradilan pidana (penegakan hukum)
akan berjalan efektif apabila dipenuhi tiga faktor yang saling berkaitan yaitu:
55

(1) adanya undang-undang yang baik (good legislation); (2) pelaksanaan yang
cepat dan pasti (quick and certain enforcement); dan (3) pemidanaan yang
layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform sentencing) (Lihat:
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.50).
Pengujian terhadap Undang-Undang Ormas, adalah juga termasuk dalam
pemenuhan tujuan hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian, asas
keadilan, dan asas kemanfaatan.
Uraian pada pembahasan dan analisis pada keterangan tertulis ini
merupakan pendapat penulis berdasarkan kajian ilmiah, sesuai dengan
pengetahuan penulis di bidang hukum pidana materil.
II. Pembahasan dan Analisis (Inti Keterangan Ahli)
Dalam kepentingan pemberian keterangan ahli hukum pidana, analisis
difokuskan pada adanya rumusan yang bersifat multi tafsir yang mengandung
ketidakjelasan suatu norma, serta rumusan pasal-pasal yang mencantumkan
suatu norma larangan yang bertentangan dengan asas-asas/doktrin hukum
pidana. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
1. Perumusan Multi Tafsir
Dalam hukum pidana terkandung asas legalitas. Makna terpenting
yang terkandung dalam asas legalitas, adalah tidak diperbolehkan adanya
keberlakuan surut dari ketentuan pidana (non-retroaktif) (lebih lanjut periksa:
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, diterjemahkan oleh J.E.
Sahetappy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm.6-14). Larangan
keberlakuan surut ini berdasarkan prinsip “nullum crimen, noela poena sine
lege praevia.”), Menurut Jan Remmelink makna dalam asas legalitas adalah
bahwa undang-undang yang dirumuskan harus terperinci dan cermat (Jan
Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003, hlm.357-359). Hal ini didasarkan pada prinsip “nullum crimen, nulla
poena sine lege certa”. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa rumusan
perbuatan pidana harus jelas, sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat
membahayakan bagi kepastian hukum (Machteld Boot sebagaimana dikutip
oleh Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya
56

Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016, hlm.79). Selain itu, asas legalitas juga
mengandung makna larangan untuk menerapkan analogi, yang dikenal
dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta” (Jan
Remmelink, Op.cit, hlm.357-359). Terkait dengan asas legalitas, rumusan
dalam Perppu Ormas jelas-jelas telah melanggar asas legalitas, didalilkan
sebagai berikut:
1) Bentuk pelanggaran Undang-Undang Ormas terhadap asas legalitas adalah
terkait dengan larangan retroaktif. Sebagaimana diketahui pada sidang uji
materi Perppu Ormas yang lalu, pihak pemerintah telah menyampaikan
bukti video kegiatan Ormas (in casu Hizbut Tahrir Indonesia) pada tahun
2013 dan dengannya dijadikan alasan hukum pembubaran Ormas HTI.
Tidak dapat dipungkiri telah terjadi penerapan retroaktif yang dilakukan oleh
pemerintah.
2) Bentuk pelanggaran Undang-Undang Ormas terhadap asas legalitas juga
menunjuk pada penerapan analogi. Hal ini dapat dilihat pada Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c, disebutkan “Yang dimaksud dengan “ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indoensia Tahun 1945. “Rumusan tersebut – dan ini terkait dengan
pembubaran HTI – telah menganalogikan suatu ajaran atau paham yang
bersumber dari agama dianalogikan sama dengan ajaran atau paham yang
dihasilkan dari pemikiran manusia. Ajaran ateisme, komunisme/marxisme-
leninisme adalah jelas bukan bersumber dari agama, melainkan dari hasil
pemikiran manusia, berbeda dengan paham yang dianut oleh HTI adalah
bersumber dari ketentuan agama.
Selanjutnya, Pasal 59 ayat (4) huruf c menyatakan “Ormas dilarang
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila”. Rumusan ayat ini, jelas mengandung sifat
multi tafsir, tidak ada pendefenisian tentang apa yang dimaksud dengan
“ajaran atau faham yang bertentangan dengan Pancasila” itu. Frasa dalam
penjelasan yang mengatakan “atau paham lain yang bertujuan untuk
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” lebih-lebih lagi bersifat multi tafsir. Sifat multi tafsir
57

seperti ini membuka peluang bagi pemerintah untuk bertindak abuse of power.
Sifat multi tafsir norma larangan Pasal 59 ayat (4) huruf c, didalikan sebagai
berikut:
1) Frasa kata “menganut” telah merugikan seluruh warga negara Republik
Indonesia karena norma tersebut telah mengadili perbuatan pidana yang
bukan dalam bentuk tindakan, melainkan sekedar pikiran saja sudah dapat
dipidana. Terhadap pernyataan pikiran suatu ormas juga dikatakan telah
memiliki niat jahat, dan bahkan niat jahat dipersamakan dengan kesalahan
(mens rea), padahal antara niat dan kesalahan dalam bentuk kesengajaan
adalah dua hal yang berbeda. Dalam doktrin hukum pidana, pikiran
seseorang tidaklah dapat dipidana.
2) Frasa kata “mengembangkan, serta menyebarkan” adalah sebagai bentuk
pengamalan terhadap suatu ajaran agama. Dalam hal ajaran agama Islam,
maka pada setiap ulama melekat kewajiban untuk menyampaikannya.
Terhadap apa yang dikembangkan serta disebarkannya terkait erat dengan
keyakinan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Dengan kata lain,
meyakini kebenaran ajaran agama Islam, dan kemudian menganut,
mengembangkan serta menyebarkan keyakinan keaagamaan tersebut
melalui kegiatan-kegiatan dakwah melalui suatu Ormas adalah tidak
termasuk perbuatan tercela atau bersifat melawan hukum.
3) Frasa “yang bertujuan untuk mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dalam Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c, ditinjau dari perspektif ilmu hukum pidana adalah
menunjuk pada corak kesengajaan dengan maksud, tidak termasuk
kesengajaan dengan kepastian maupun kesengajaan dengan kemungkinan
sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1). Frasa kata
“bertujuan” identik dengan adanya suatu maksud yang dikehendaki dan
diketahuinya atas perbuatan yang dilakukan dan termasuk akibat yang
ditimbulkan. Tegasnya kata “bertujuan” bermakna ingin menimbulkan suatu
akibat yakni dirubahnya Pancasila dan UUD 1945.
4) Bahwa seandainya ajaran agama Islam yang dianut, dikembangkan serta
disebarkan oleh Ormas dianggap dan dinyatakan oleh pemerintah
bertentangan dengan Pancasila, maka siapakah yang berwenang
memutuskan? apakah pemerintah dapat dibenarkan secara hukum sebagai
58

pihak yang memutuskan bahwa ajaran agama Islam yang dianut,


dikembangkan serta disebarkan oleh Ormas adalah bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Dalam penegakan hukum, dipersyaratkan telah
adanya perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht
in actu). Perbuatan melawan hukum dimaksud menunjuk pada norma
hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan doktrin “due
process of law” maka pihak pengadilan yang seharusnya memutuskan
secara adil menurut hukum yang berlaku.
5) Sifat multi tafsir norma larangan Pasal 59 ayat (4) huruf c, didasarkan pada
Konsideran huruf d yang menyatakan bahwa “terdapat organisasi
kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan
asas organisasi kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar organisasi
kemasyarakatan yang telah terdaftar dan telah disahkan Pemerintah, dan
bahkan secara faktual terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan dan
kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Frasa “secara faktual
terbukti”, telah melanggar asas praduga tidak bersalah. Di sisi lain,
pemerintah belum pernah menempuh jalur hukum untuk membuktikan
bahwa suatu Ormas yang dimaksudkan didirikan untuk suatu tujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945. Menjadi sangat jelas,
Perppu ini telah menghilangkan peran Pengadilan, dan cenderung
menempatkan pemerintah melebihi kewenangannya (ultra vires).
2. Perbuatan Pidana (Criminal Act)
a. Niat Jahat (Dolus Malus)
Pada Penjelasan Umum paragraf kesebelas, tepatnya alinea terakhir
disebutkan: “Pelanggaran terhadap asas Ormas yang telah mengakui
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, merupakan wujud pikiran, niat jahat yang semula ada sejak Ormas
tersebut didaftarkan”. Niat jahat (dolus malus) adalah kesengajaan yang
dilakukan dengan niat jahat. Menurut penganutnya von Feuerbach, pada
intinya seseorang yang melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat
dipidana didasarkan pada adanya pemahaman (pengetahuan) bahwa
perbuatan yang dilakukan adalah yang dilarang oleh undang-undang. Dapat
dikatakan, dolus malus ini identik dengan corak kesengajaan berwarna
59

(opzetgekleur), yang dianut oleh Zevenbergen. Hukum pidana Indonesia


(KUHP) tidak menganut corak kesengajaan berwarna, yang dianut adalah
kesengajaan tidak berwarna (opzetkleurloss). Kesengajaan tidak berwarna
adalah kebalikan dari kesengajaan berwarna. Menurut Simons, Pompe, dan
Jonkers yang menganut teori ini, dikatakan bahwa seseorang yang
melakukan perbuatan cukup menghendaki perbuatan yang dilakukannya,
tidak perlu mengetahui apakah perbuatan yang dikehendakinya itu
termasuk perbuatan pidana atau tidak. Menurut Memorie van Toelichting,
dalam melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, tidak memerlukan
adanya pengetahuan pelaku, apakah perbuatan yang dilakukan itu
merupakan suatu perbuatan pidana atau tidak.
b. Unsur Pernyataan Pikiran dan Niat
Mengacu kepada logika pembentukan Undang-Undang Ormas
diketahui bahwa antara Pasal 59 ayat (4) huruf c dengan Pasal 82A
memiliki hubungan sistemik dan terintegrasi. Maksudnya, suatu Ormas
dinyatakan bertentangan dengan Pancasila didasarkan pada pandangan
subjektif berupa:
1. Adanya pernyataan pikiran dan/atau kegiatan Ormas. Pernyataan pikiran
dan/atau kegiatan Ormas dinilai secara subjektif dan sepihak telah
memiliki niat jahat (mens-rea) atau itikad tidak baik;
2. Dalam kegiatannya terkandung pikiran atau perbuatan yang
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan
3. Dengan tujuan untuk mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945
Dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1), diberikan penjelasan bahwa
yang dimaksud "dengan sengaja" adalah adanya niat atau kesengajaan
dalam bentuk apa pun, yakni kesengajaan dengan kemungkinan,
kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian.
Untuk itu, baik niat maupun kesengajaan telah nyata dari adanya "persiapan
perbuatan" (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini
sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat.
Frasa "adanya niat" dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1)
mengandung makna bahwa niat (voornemen) menjadi bagian dari unsur
60

delik. Padahal, apakah niat itu berdiri sendiri atau merupakan bagian dari
kesengajaan telah menjadi perbedaan di antara para ahli. Sepanjang
pengetahuan penulis, para ahli berbeda pendapat tentang masalah niat.
Hazewinkel Suringa berpendapat, niat itu adalah kesengajaan. Lebih lanjut
Suringa mengatakan, niat adalah tidak lebih dari suatu rencana untuk
melakukan suatu perbuatan. Pendapat yang kurang lebih sama
disampaikan oleh Simons, Van Hamel, dan Zevebergen. Termasuk juga
vos, namun dia membatasi niat hanya dalam kesengajaan dengan maksud,
tidak termasuk corak kesengajaan kepastian dan kesengajaan
kemungkinan. Pompe menyatakan, terdapat hubungan erat antara niat dan
sengaja, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan. Pompe dengan
tegas menolak pembatasan pengertian sengaja semata-mata sebagai
maksud. Menurut Moeljatno, ada perbedaan antara niat dan kesengajaan.
Dia menyatakan bahwa niat adalah sikap batin, tempatnya di dalam hati.
Namun, perlu dicatat, Moeljatno juga memberikan penegasan, jika niat
sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat berubah menjadi
kesengajaan.
Dari diskursus tentang niat, penulis sepakat dengan pandangan yang
mengatakan bahwa niat memiliki perbedaan dengan kesengajaan dan niat
hanya berkaitan dengan kesengajaan dengan maksud. Penulis juga
sepakat dengan pandangan Moeljatno yang mengatakan bahwa apabila
niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat berubah menjadi
kesengajaan. Ketika kehendak dalam niat sudah diwujudkan dalam
perbuatan, maka dengan sendirinya di dalam kesengajaan itu pastilah
sudah terkandung adanya niat.
Kemudian, suatu Ormas dianggap telah memiliki niat jahat dengan
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila yang hanya berdasarkan penilaian subektif
atas pernyataan pikirandan/atau kegiatan Ormas. Pernyataan pikiran ini
disebut mendahului dari frasa kata “kegiatan” Ormas. Dengan demikian,
penilaian pertama dan utama didasarkan pada penilaian pemerintah
terhadap pernyataan pikiran suatu ormas (lihat: Penjelasan Pasal 82A ayat
(1) yang menyebutkan: Yang dimaksud dengan “secara langsung atau tidak
langsung” adalah pernyataan pikiran dan atau kegiatan Ormas yang sejak
61

pendaftaran untuk disahkan sebagai badan hukum atau bukan badan


hukum, telah memiliki niat jahat (mens rea) atau itikad tidak baik yang
terkandung di balik pernyataan tertulis pengakuan sebagai ormas yang
berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan dan tercantum di dalam Anggaran
Dasar Ormas, namun di dalam kegiatannya terkandung pikiran atau
perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), dan dengannya dianggap
telah memiliki niat jahat. Pernyataan pikiran suatu Ormas dikategorikan
sebagai pernyataan bersama anggota dan/atau pengurus ormas, sebagai
pernyataan kolektif.
Pernyataan pikiran kolektif ini dianggap sebagai penggunaan pikiran
secara salah, adapun kegiatannya merupakan bagian dari pernyataan
pikiran sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Padahal pemikiran
seseorang, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama adalah
termasuk dalam wilayah internum forum yang tidak mungkin dapat dipidana.
Dikatakan demikian, oleh karena pemikiran bukanlah suatu bentuk (unsur)
perbuatan pidana.
Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian
menggerakkan pembuatnya melakukan tindak pidana disebut sebagai
kesalahan (secara teknis disebut dengan kesengajaan). Kesengajaan
merupakan tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan
pembuat delik. Kesengajaan dapat terjadi jika pembuat telah menggunakan
pikirannya secara salah, dalam hal ini pikirannya dikuasai oleh keinginan
dan pengetahuannya yang ditujukan pada suatu tindak pidana.
Perbuatan pidana menunjuk kepada suatu kelakuan atau tingkah laku
yang yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.
Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada pendapat para ahli terdahulu
maupun saat ini yang menyatakan bahwa pernyataan pikiran adalah
sebagai unsur perbuatan pidana.
c. Unsur Kesengajaan
Pemidanaan terhadap setiap orang yang menjadi anggota dan/atau
pengurus Ormas dengan unsur-unsur perbuatan pidana “dengan sengaja”
dan “secara langsung atau tidak langsung”, bertentangan dengan doktrin
62

hukum pidana. Pada Penjelasan Pasal 82A ayat (1) disebutkan, bahwa
“dengan sengaja” adalah adanya niat atau kesengajaaan dalam bentuk
apapun, yakni ketiga corak (gradasi) kesengajaan, baik kesengajaan
dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan dan
kesengajaan dengan kepastian. Penjelasan Pasal 82A ayat (1) menjelaskan
sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dan tidak relevan untu dijelaskan,
yakni penegasan unsur dengan sengaja yang mencakup ketiga corak
(gradasi) kesengajaan. Berdasarkan penelusuran literatur yang penulis
lakukan, belum pernah ada suatu rumusan penjelasan Pasal yang
menjelaskan unsur dengan sengaja seperti dalam Undang-Undang Ormas.
Apabila kita membaca literatur, maka akan kita temui adanya kesepakatan
diantara para ahli bahwa jika pembentuk undang-undang menyebutkan
“dengan sengaja” secara experssive verbis maka telah sepakat para ahli
bahwa dalam rumusan demikian di dalamnya sudah pasti terkandung ketiga
corak kesengajaan. Dalam KUHP, misalnya terdapat rumusan “dengan
sengaja” (lihat: Pasal 156a huruf a, Pasal 187, Pasal 281, Pasal 304, Pasal
310, Pasal 333, Pasal 338, Pasal 340, dan Pasal 372 KUHP), “dengan
maksud” (lihat: Pasal 156a huruf b, Pasal 362, Pasal 368 ayat (1), Pasal
369 ayat (1), dan Pasal 378), “dapat mengetahui” (lihat: Pasal 164, dan
Pasal 464 KUHP), “yang diketahuinya” (lihat: Pasal 204, Pasal 220, dan
Pasal 419 KUHP), “sudah diketahuinya” (lihat: Pasal 110, Pasal 250, dan
Pasal 275 KUHP), “telah diketahuinya” (lihat: Pasal 282 KUHP), “sudah
tahu” (lihat: Pasal 483 ke-2 KUHP), “telah dikenalnya” (lihat: Pasal 245, dan
Pasal 247 KUHP), dan “bertentangan dengan pengetahuannya.” (lihat:
Pasal 311 KUHP) Namun tidak pernah ada rumusan kesengajaan (dolus)
yang menyebutkan “dengan sadar kepastian” atau “dengan sadar
kemungkinan”. Bahkan ada pula dalam satu Pasal yang memisahkan corak
kesengajaan, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 156a KUHP. Pada
huruf a disebutkan “dengan sengaja”, sedangkan pada huruf b disebutkan
“dengan maksud.”
Kesengajaan adalah hubungan antara sikap batin pelaku dengan
perbuatan yang dilakukan, ada atau tidaknya kesengajaan harus
disimpulkan dari perbutan yang tampak. Adagium “animus homis est anima
scripti”, kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan. Hukum pidana
63

melihat unsur kesengajaan berdasarkan kasus per kasus (animus ad se


omne jus ducit). Dalam kesengajaan dengan maksud, motivasi seseorang
sangat mempengaruhi perbuatannya (affectio tua nomen imponit operi tuo).
Menurut penulis tidak dapat dibenarkan rumusan penegasan unsur dengan
sengaja, mencakup ketiga corak (gradasi) kesengajaan, oleh karena dapat
menimbulkan ketidakpastian dalam tahap pembuktian. Pemerintah dapat
dikatakan tidak memahami secara utuh makna perumusan unsur “dengan
sengaja” dalam kepentingan teknis pembuktian kesalahan seseorang.
Bahwa kesengajaan adalah wujud dari kesalahan. Kesalahan itu sendiri
sebagai syarat bagi pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian,
seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka pertanggungjawaban
pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana tersebut dilakukan dengan
kesalahan (Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana: Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983,
hlm.89). Ketentuan ini disadarkan pada asas dualistis yang dianut hukum
pidana Indonesia. Asas dualistis memisahkan perbuatan pidana (criminal
act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Jonkers
sebagaimana dikutip Bambang Poernomo menjelaskan bahwa kriteria dari
kesalahan adalah kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld), sifat
melawan hukum (de wederrechtetlijkheid), dan kemampuan bertanggung
jawab (de toerekenbaarheid) (Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum
Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,1985, hlm.135).
Secara prinsip, salah satu dari ketiga corak kesengajaan haruslah
dikontritkan dan diobjektifkan sesuai dengan fakta hukum yang terjadi.
Adapun secara teknis, kesengajaan dengan maksud dalam kasus-kasus
tertentu dapat terkait dengan kesengajaan dengan kepastian atau
kesengajaan dengan kemungkinan. Namun tidak berlaku sebaliknya.
Pada kesengajaan dengan maksud inilah perihal niat dengan
kesengajaan terdapat hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Suatu
niat ditujukan pada menghendaki dan mengentahui. Mendukung pernyataan
ini, dikutip pendapat Pompe, sebagai berikut: (Eddy O.S. Hiariej. Op.cit
hlm.150). “Een voornemen is gericht op willens en wetens, dus opzettelijk,
handelen. Voornemen en opzet staan dus in nauwe btrekking tot elkaar.”
“Suatu niat ditujukan pada menghendaki dan mengetahui sehingga itu
64

berarti bertindak dengan sengaja. Dengan demikian, maka antara niat


dengan sengaja terdapat suatu hubungan yang erat satu dengan yang lain.”
M.v.T. (Memorie van Toelichting) menguraikan tentang pengertian
kesengajaan, yaitu "pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya
pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan
dikehendaki dan diketahui". Dalam pengertian ini disebutkan bahwa
kesengajaan diartikan sebagai "menghendaki dan mengetahui" (willens en
wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan
sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/atau
akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki
dan mengetahui apa yang dilakukan.
Menurut Sathochid Kartanegara, yang dimaksud dengan opzet willens
en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah "seseorang yang melakukan
suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu
serta harus menginsafi atau mengerti (weten), akan akibat dari perbuatan
itu" (Sathochid Kartanegara, Op.cit, hlm.52).
3. Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability)
Pertanggungjawaban pidana tergantung pada adanya suatu perbuatan
pidana. Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana baru dapat berlaku,
ketika seorang terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat
melawan hokum (Kata melawan hukum (wederrechtelijk) terdapat pada
rumusan beberapa delik dalam KUHP, untuk menggambarkan sifat tidak sah
dari suatu tindakan atau suatu maksud tertentu (Lamintang, Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 337). Dengan
demikian, seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana tersebut
dilakukan dengan kesalahan (Roeslan Saleh, Op.cit, hlm.89). Dasar kesalahan
yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri
dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah
diperbuat.
Kontruksi pertanggungjawaban pidana telah menempatkan faktor
kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana. Kesalahan
sebagai faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya seseorang di
pertanggungjawabkan secara pidana dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
65

kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan kesalahan dalam
bentuk kealpaan (culpa). Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang
harus memenuhi beberapa unsur, yaitu: (Jika ketiga-tiga unsur ada maka
orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai
pertanggung jawab pidana, sehingga bisa di pidana. Sudarto, Hukum Pidana I,
Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1990, hlm. 91; Sudarto, Hukum dan
Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm.73)
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, (Kemampuan
bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau
sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal
yang baik dan yang buruk atau dengan kata lain mampu untuk menginsyafi
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu
mampu untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu
faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sedangkan
kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan
atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan (Mahrus Ali,
Dasar - Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 171).
2. Hubungan pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk kesalahan,
(Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya,
keinginan dalam melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan
batin si pembuat yang kemudian pikirannya mengarahkan dirinya untuk
melakukan perbuatan tersebut atau tidak. Dalam hukum pidana
penggunaan pikiran yang kemudian mengarahkan pembuatnya melakukan
tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut
dengan kesengajaan (Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 13) dan
3. Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Perihal hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang
berupa kesengajaan inilah yang menjadi permasalahan serius dalam
perumusan Penjelasan Pasal 82A Undang-Undang Ormas.
Perihal kesengajaan yang disebutkan dalam Pasal 82A Undang-
Undang Ormas adalah bersifat pilihan yang harus disesuaikan dengan
66

hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Penentuannya


adalah pada akibat yang dikehendaki, apakah memang diinginkan atau
sebaliknya. Jadi tidak mungkin dapat dilakukan konkritisasi terhadap
kesalahan seseorang tanpa menyelidiki dan mengetahui sikap batin seseorang
dalam hal berkehendak sesuai dengan maksud atau tujuannya. Bagaimana
dapat mengobyektifkan kesengajaan yang sesungguhnya terjadi ke dalam
dakwaan Penuntut Umum untuk selanjutnya harus dibuktikan di Pengadilan.
Terkait dengan rumusan Pasal 82A ayat (2), setiap orang yang
menjadi anggota dan/atau pengurus ormas dapat dipidana sepanjang telah
melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c yakni, menganut
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila.Seseorang yang hanya dalam kapasitas anggota tentu
tidaklah sama dengan pengurus. Di sisi lain semua unsur pengurus juga
tidaklah sama dan sederajat.
Pertanggungjawaban pidana pengurus badan hukum (korporasi)
dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi badan hukum. Dalam hukum korporasi, berlaku asas
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) (Pertanggungjawaban
pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi,
bertanggung jawab atas tindakan orang lain. Menurut doktrin vicarious liability,
seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang
lain). Prinsip yang harus dipenuhi dalam menerapkan vicarious liability, yaitu
prinsip pendelegasian (the delegation principle). Dengan demikian rumusan
Pasal 82A ayat (2) juga mengandung ketidakjelasan asas.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum paragraf kesebelas dinyatakan
bahwa “wujud pikiran, niat jahat yang semula telah ada sejak Ormas tersebut
didaftarkan.” Rumusan ini bermakna, para pendiri dan pengurus Ormas juga
dipandang telah memiliki niat jahat sebelum Ormas tersebut didaftarkan. Pada
paragraf keduabelas disebutkan “Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-
nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945“. Demikian pula pada
Penjelasan Pasal 82A ayat (1) disebutkan “telah memiliki niat jahat (mens rea)
atau itikad tidak baik”. Dengan demikian dapat diketahui, pertanggungjawaban
pidana oleh Ormas dan termasuk anggota dan/atau pengurusnya ditentukan
pertama kali dari pernyatan asas Ormas.
67

Secara a contrario tidak dapat dikatakan asas Ormas tidak termasuk


yang dicelakan, ketika suatu Ormas dibubarkan karena bertentangan dengan
Pancasila. Asas Ormas tersebut adalah termasuk yang dicelakan, dan
dengannya menjadi dalil bagi pemerintah bahwa memang telah ada niat jahat
sebelum Ormas tersebut didaftarkan. Pada contoh pembubaran Ormas HTI,
didalilkan bahwa HTI menganut Khilafah Islamiyah yang hendak mendirikan
negara Islam di Indonesia. Menjadi jelas, bahwa asas organisasi HTI
dinyatakan oleh pemerintah sebagai asas yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 dan bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan
UUD 1945.
4. Tinjauan Teori Kausalitas Guna Menentukan Sebab Dominan (Teori
kausalitas selalu berhubungan dengan delik materil, tidak memiliki
dipersyaratkan dalam delik formil. Namun demikian, dalam kepentingan
teoretis, penggunaan teori kausalitas dapat dijadikan pembanding dalam
rangka menentukan suatu sebab yang paling berpengaruh terhadap
terjadinya suatu akibat).
Rumusan delik dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c juncto Pasal 82A
tergolong delik abstrak, yang selalu dirumuskan secara formil. Norma hukum
larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c bersifat umum.
Sepanjang suatu Ormas dinyatakan oleh pemerintah bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 secara sepihak, maka Ormas dimaksud dapat
langsung dibubarkan secara sepihak pula. Pembubaran terhadap Ormas
tersebut sejalan dengan abstraknya suatu rumusan norma dan dirumuskan
secara formil, sehingga dan oleh karenanya tidak memerlukan terjadinya
akibat terlebih dahulu. Disini terlihat dengan jelas, bahwa memang Undang-
Undang Ormas ini sengaja dibentuk untuk membubarkan Ormas yang
dipandang secara subjektif bertujuan untuk mengganti atau mengubah
Pancasila dan UUD 1945 (Undang-Undang Ormas ini memang dimaksudkan
untuk meneguhkan pandangan subjektif pemerintah agar dapat segera
membubarkan dan sekaligus dapat memidana anggota dan/atau pengurusnya
secara serta-merta. Pada paragraf terakhir Penjelasan Umum, tepatnya diakhir
paragraf dinyatakan bahwa jenis sanksi dan penerapannya adalah bersifat luar
biasa (extra ordinary crime). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang Ormas diterbitkan guna menghadapi tindak pidana yang
68

tergolong luar biasa sehingga penerapannya harus pula dengan cara-cara luar
biasa pula).
Undang-Undang Ormas, harus dikritis dengan serius, karena baik
langsung maupun tidak langsung, akan menimbulkan suatu akibat berupa
penodaan terhadap agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156a
huruf a KUHPidana. Ketika suatu Ormas – melalui angggota dan/atau
pengurusnya - yang menganut, mengembangkan serta menyebarluaskan
ajaran sistem politik, sistem hukum atau sistem ketatanegaraan berdasarkan
referensi agama (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagaimana dipraktekkan oleh
Rasulullah SAW dan kemudian diikuti oleh Khulafaur Rasyidin dianggap telah
memenuhi unsur Pasal 59 ayat (4) huruf c, maka Ormas tersebut dapat
dibubarkan.
Apabila kita simulasikan dengan pendekatan kausalitas, maka akan
terlihat adanya penodaan terhadap agama, sepanjang paham yang diyakini
tidaklah tergolong/termasuk paham yang menyimpang atau sesat
menyesatkan berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Secara
singkat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, suatu ajaran sistem politik, sistem hukum atau sistem
ketatanegaraan diyakini bersumber dari perintah agama, terlepas dari adanya
perbedaan pendapat diantara para ulama dan ini suatu sunnatullah.
Kedua, seeorang yang menyakini ajaran dimaksud tentu tidak ada
larangan atau bersifat melawan hukum untuk mengembangkan termasuk juga
menyebarluaskannya dalam kepentingan dakwah yang juga dalam dimensi
kewajiban beribadah. Implementasi pengamalan dalam wujud penyebarluasan
(baca: dakwah) adalah tidak melawan hukum.
Ketiga, ketika suatu Ormas–di mana seseorang aktif menjadi anggota/
pengurus – dinyatakan bertentangan dengan Pancasila oleh pemerintah dan
dilakukan pembubaran, maka akan berdampak pada kedudukan ajaran agama
tersebut.
Diakui atau tidak diakui, perbuatan pemerintah tergolong melecehkan,
menghina atau merendahkan ajaran agama. Kesemuanya itu termasuk
penodaan agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156a huruf a
KUHP. Dikatakan demikian, oleh karena ketika suatu ajaran/paham sistem
politik, sistem hukum atau sistem ketatanegaraan - yang didasarkan dari
69

ketentuan ajaran agama – dinyatakan bertentangan dengan Pancasila, maka


tidak dapat diartikan lain bahwa ajaran keagamaan tersebut juga bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Tegasnya, suatu ajaran yang dipahami oleh
umat Islam (in casu Ormas Islam) tentang kewajiban menerapkan nilai-nilai
syariat Islam dalam Politik Hukum Ketatanegaraan dapat dipandang atau
dinilai sebagai tindak pidana oleh pemerintah. Secara langsung maupun tidak
langsung, ajaran keagamaan tersebut oleh pemerintah diberikan predikat
sebagai ajaran terlarang. Dengan lain perkataan telah terjadi kriminalisasi
terhadap ajaran agama yang sah.
Bagan pada halaman berikut, penulis memvisualisasikan keterangan di
atas, bahwa telah terjadi adanya kesalahan yang sangat fatal dalam Undang-
Undang Ormas yang berdampak serius terhadap suatu ajaran agama.
Bagan. Visualisasi Kausalitas Dalam Perppu Ormas

FAKTOR SEBAB

1 2 3

AJARAN
(POLITIK-HUKUM-NEGARA): PEMAHAMAN PENGAMALAN
SUMBER DARI AL-QUR’AN & HADITS KEYAKINAN YANG DIANUT (DIKEMBANGKAN/DISEBARLUASKAN

DIAKUI SECARA MAYORITAS INTERNUM FORUM: ESKTERNUM FORUM:


TIDAK MENYIMPANG/SESAT DENGAN ALAS HAK TIDAK MELANGGAR HAK ORANG LAIN

NORMA HUKUM LARANGAN DALAM UNDANG-UNDANG ORMAS:


MENGANUT, MENGEMBANGKAN, SERTA MENYEBARKAN AJARAN/PAHAM
YANG BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA

KEBERLAKUAN PENEGAKAN HUKUM BERSIFAT LUAR BIASA


(EXTRA ORDINARY CRIME)

DEKLARASI SUBJEKTIF: WUJUD KEGIATAN:


SERTA MERTA PERNYATAAN PIKIRAN – NIAT LANGSUNG/TIDAK LANGSUNG
PEMERINTAH JAHAT (DOLUS MALUS) BERTUJUAN MENGGANTI
PANCASILA & UUD1945

AKIBAT

PANCASILA & UUD 1945


DIGANTI / DIRUBAH

Sebab Paling Berpengaruh:


Ajaran Agama Islam (Nash)
70

III. Kesimpulan
Menurut asas, undang-undang harus melindungi rakyat terhadap
kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Jaminan pemenuhan asas
legalitas seperti asas lex stricta, scripta, certa, dan lex previa harus dipenuhi
dalam setiap rumusan undang-undang. Perpu Ormas sangat jelas
mengandung ketidaktaatan asas, bertentangan dengan prinsip-prinsip (doktrin)
hukum pidana. Kesemuanya itu akan memberikan peluang terjadinya tindakan
yang sewenang-wenang oleh pemerintah. Jika norma Pasal 59 ayat (4) huruf
c, dan Pasal 82A Undang-Undang Ormas tetap ada dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat, akan memberikan justifikasi kepada pemerintah untuk
melakukan tindakan yang melampui kewenangannya (ultra vires/abuse of
power) dan bertentangan dengan hukum itu sendiri
Selain menyampaikan keterangan di atas, ahli menambahkan
keterangan dalam persidangan yang pada pokoknya antara lain sebagai
berikut:
• Undang-undang sekarang lebih mundur daripada undang-undang
sebelumnya karena tidak dikenal adanya ultimum remedium namun primum
remedium;
• Bahwa doktrin yang diusung HTI secara subjektif oleh pemerintah dianggap
bertentangan dengan Pancasila, namun hal ini belum pernah diuji di
pengadilan padahal menurut asas dan doktrin hukum pidana delik yang
dimaksudkan harus dibuktikan.

3. Dr. Indra Perwira, S.H., M.H.


1. Undang-undang No.16 Tahun 2017 adalah kemunduran demokrasi
Dari pelajaran sejarah dunia tentu dimaklumi bahwa telah menjadi
kelaziman suatu negara atau bangsa mengembangkan idiologi, paham, atau
ajaran tertentu berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dan pengalaman
sejarah bangsa atau Negara tersebut. Menjadi kelaziman pula apabila suatu
idiologi, ajaran atau paham yang tidak sama atau tidak sejalan dengan yang
mereka anut dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi bangsa atau
Negara tersebut, bahkan dianggap sebagai lawan atau musuh. Sebagaimana
halnya, kaum Nazinya Hitler membenci Judaisme dan komunisme,
Komunisnya Lenin memusuhi kapitalisme liberal, dan sebaliknya beberapa
Negara liberal membenci komunisme.
71

Demikian pula hanya dengan NKRI yang telah bersepakat menjadikan


Pancasila sebagai idiologi negara dan sekaligus sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia, demi menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan jati
dirinya, wajar apabila mengidentifikasikan idiologi, ajaran, atau paham lain
sebagai ancaman atau musuh bersama yang harus dilawan, yaitu ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Ajaran yang bertentangan dengan Pancasila itu oleh Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 secara spesifik adalah atheisme, komunisme/
marksisme/leninisme. Atheism jelas bertentangan dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, sedangkan komunisme/marksisme/ lenismisme adalah
paham yang dalam sejarah perjalanan bangsa dan Negara Indonesia telah
berkali-kali melahirkan tragedi.
Sekarang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 itu diubah oleh
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017. Ada hal kecil yang diubah, tetapi
memiliki konsekuensi yang besar, yang dapat merapuhkan sendi-sendi negara
hukum. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 telah menambah tafsir dari
“ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” dengan menambah
frasa “atau paham lain”. Hampir sama dengan rumusan Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1885, sebagai berikut:
“Pemerintah membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran komunisme/
marksisme/leninisme, serta idiologi, paham, atau ajaran lain, …”
Tentu kita marfum dalam praktek pemerintahan masa Orde Baru, frasa
“idiologi, paham, atau ajaran lain” adalah senjata ampuh yang dapat digunakan
untuk memberangus ormas-ormas tertentu yang berbeda suaranya dengan
suara Pemerintah.
Hal kecil ini sangat berbahaya karena batas-batas hak-hak
konstitusional, seperti kebebasan berpikir, berbicara, menyatakan pendapat,
menulis dan ekspresi lain menjadi tidak jelas. Dapat mulur dan mungkeret
tertantung pada penilaian Pemerintah. Situasi seperti ini adalah ciri dari
otoritarian, dan bukan demokrasi. Jelas ini merupakan suatu kemunduran.
Setback ke masa Orde Baru, bahkan jauh lebih mundur. Sebab di masa Orde
Baru sekalipun, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tidak terdapat
ancaman Pidana.
72

2. Pembubaran Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana diatur dalam


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pengesahan Perpu
Ormas, bertentangan dengan asas dueprocess of law yang merupakan
prinsip pokok negara hukum
Seperti diketahui, Istilah “due process of law” dapat ditemukan pertama
kali pada piagam Magna Charta yang dilatarbelakangi oleh kesewenang-
wenangan yang dilakukan oleh Kerajaan Inggris dalam menjatuhkan hukum
dan merampas hak rakyat Inggris pada masa itu. Dari sejarah tersebut
menunjukan bahwa doktrin due process of law memiliki dua dimensi pemikiran
yang saling terkait, yaitu mencegah penguasa menjalankan kewenangannya
secara sewenang-wenang dan melindungi hak asasi manusia. Dengan due
process of law, penguasa hanya dapat menjalankan kewenangannya sesuai
dengan cara-cara yang ditentukan oleh hukum.
Secara filosofis, doktrin due process of law adalah prasyarat
(requirements) dan tameng (shield) bagi suatu keputusan pemerintah agar
keputusan tersebut tidak sewenang-wenangan (arbitrary). Sebagai sebuah
tameng, ketentuan due process of law harus ditempatkan sebelum suatu
keputusan pemerintah memiliki dampak hukum, oleh karena itu doktrin due
process of law salah satunya diwujudkan dengan melibatkan fungsi supervisi
dari kekuasaan kehakiman terhadap keputusan pemerintah yang akan
berdampak kepada perampasan hak asasi manusia, sebelum keputusan
tersebut dieksekusi (Lihat John Bell, ‘Comparative Administrative Law’, in
Mathias Reimann and Reinhard Zimmermann (eds), The Oxford Handbook of
Comparative Law, Oxford University Press, United Kingdom, 2006, hlm. 1277)
Hal tersebut sangat berbeda dengan fungsi remedies dari kekuasaan
kehakiman untuk mengkoreksi keputusan pemerintah yang terbukti melanggar
hak asasi yang terwujud dalam bentuk judicial review. Due process of law lebih
memiliki fungsi mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi dibanding fungsi
mengkoreksi.
Lebih lanjut John Bell menyatakan “New safeguards against misuses
and abuses of governmental power were thus requested, not simply through
judicial review of an administrative action, but during the course of the action”.
(Ibid). Terhadap keputusan pemerintah yang berpotensi mengakibatkan
pelanggaran hak asasi manusia, pengawasan dari kekuasaan kehakiman tidak
73

cukup dilakukan pasca keputusan tersebut dibuat melalui judicial review, hal
tersebut sama saja dengan pembiaran pelanggaran hak asasi manusia. Peran
kekuasaan kehakiman harus ditarik lebih awal sebelum keputusan pemerintah
tersebut dapat dieksekusi. Oleh karena itu, penghapusan mekanisme
peradilan sebelum pemerintah memiliki wewenang membubarkan ormas
bertentangan dengan dasar pemikiran bahwa peradilan harus menjadi shield
bagi keputusan pemerintah yang berpotensi hak asasi manusia dalam due
process of law. Bahwa keputusan pembubaran ormas kemudian dapat menjadi
objek PTUN hal tersebut merupakan upaya hukum lain yang tidak bersifat
alternatif terhadap izin dari peradilan sebelum pembubaran itu dilakukan.
Pada perkembangannya, doktrin due process of law dipahami dalam
dua pengertian, yaitu procedural due process of law dan substantive due
process of law. Menurut Erwin Chemirinsky, procedural due process of law
menghendaki agar keputusan pemerintah yang berpotensi melanggar hak dan
kebebasan dibuat dengan mengikuti prosedur tertentu yang memadai.
Sedangkan substantive due process of law menghendaki agar keputusan
pemerintah yang berpotensi melanggar hak dan kebebasan dibuat dengan
memiliki tujuan yang memenuhi justifiable dan alasan yang reasonable (Erwin
Chemirinsky, “Substantive Due Process”, Touro Law Review, Vol. 15, 1999,
hlm. 1501).
Secara prosedural, keputusan pemerintah untuk membubarkan ormas
tidak cukup mengikuti prosedur yang ditetapkan undang-undang, namun lebih
jauh dari itu doktrin due process menghendaki agar lembaga legislatif
mengatur prosedur yang memadai. Salah satu materi krusial sehingga
mekanisme pembubaran ormas dalam Undang-Undang yang diuji dipandang
tidak memadai adalah absennya peran kekuasaan kehakiman dalam
melakukan preview terhadap keputusan pemerintah dalam pembubaran
ormas. Penjelasan hal tersebut terkait dengan pemahaman substantive due
process of law yang menghendaki keputusan pemerintah yang potensial
melanggar HAM harus justifiable dan reasonable.
Para pihak yang didengar secara fair dalam pembuatan keputusan
administrasi merupakan tujuan pokok dari Due Process, John Bell menyatakan
“the performance of a procedure— as opposed to an isolated decision— can
74

be of real significance in ensuring that a variety of interests are considered and


adequately weighed by the public authority” (John Bell, ibid).
Hal tersebut juga sejalan dengan Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa “dalam suatu
negara hukum seperti Indonesia, mutlak adanya due process of law yaitu
penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus
melalui putusan pengadilan”. Lebih lanjut dalam Putusan tersebut Mahkamah
berpendapat bahwa tindakan pelarangan atau pembatasan terhadap suatu
kebebasan sipil, tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi
tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu
negara hukum yang menghendaki due process of law. Due process of law
seperti dipertimbangkan di atas, adalah penegakan hukum melalui suatu
sistem peradilan”. Dalam perkara ini, sistem peradilan tidak bisa dibiarkan
terlambat pasca keputusan pembubaran ormas dibuat, karena pelanggaran
hak asasi manusia dibiarkan telah terjadi. Relevan mengutip adagium William
Gladstone “justice delayed, justice denied”.
Selain itu, untuk menggarisbawahi potensi kesewenang-wenangan
Pemerintah dalam kewenangan pembubaran ormas, perlu disadari bahwa
ormas merupakan infrastruktur politik yang memiliki karakteristik sebagai
pengawas bagi Pemerintah di sisi lain sebagai suprastruktur politik.
Pemerintah merupakan pihak yang paling rentan sewenang-wenang dalam
menjalankan kewenangan pembubaran ormas, karena pembubaran ormas
menjadi sangat mungkin berdasarkan political interest. Disini fungsi due
process seharusnya berperan, menurut John Bell “an obligation to perform a
certain course of action can be a powerful instrument in ensuring that the will of
political authorities is correctly implemented” (Ibid). Memberikan sole power
kepada Pemerintah untuk melakukan pembubaran ormas merupakan upaya
bunuh diri dalam berdemokrasi.
3. Penerapan keliru dari Prinsip Contratius Actus
Prinsip contrarius actus, bahwa Pejabat yang menerbitkan keputusan
berhak pula secara langsung melakukan tindakan regresif atau penarikan
kembali (intrekking) berupa pembatalan atau pencabutan (herroeping) atas
keputusan yang diterbitkannya. Hal ini jelas kurang tepat, karena pengaturan
75

tentang ormas bukan pengaturan yang berada pada rejim Hukum Administrasi
Negara semata, tetapi Hukum Tata Negara. Dalam perkembangan hukum
modern antara rejim hukum itu terjadi pertautan, bahkan dengan hukum
pidana dan perdata, sehingga prinsip contraries actus tidak lagi berdiri sendiri.
Dalam Hukum Administrasi Perancis, prinsip contarius actus itu dijalankan
simultan dengan droit de la defense (right of defense principle), yaitu hak untuk
membela diri terlebih dulu di muka pengadilan ketika keputusan pemerintah
yang akan mencabut keputusan sebelumnya berpontesi melanggar Hak asasi.
Prinsip itu telah diadopsi dalam Undang-undang No. 17 tahun 2013, sehinggap
pembubaran sebuah ormas tidak serta merta dapat diterapkan prinsip
contrarius actus melalui cara intrekking, tetapi melibatkan lembaga
yudisial/peradilan, sebagaimana pengaturan tentang pembubaran partai politik
yakni dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Pengaturan dari prinsip Contrarius Actus dalam rezim Hukum
Administrasi terkait dengan pengenaan sanksi adminitarsi berupa intrekking
(penarikan kembali) dan herroeping (pencabutan) yakni mengakhiri daya kerja
dari keadaan hukum yang sudah dinyatakan berlaku. Prinsip Contrarius Actus
juga terkait dengan penerapan prinsip vermoeden van rechtamtigheids (suatu
keputusan dinyatakan sah dan berlaku, kecuali telah dilakukan pembatalan
atau pencabutan dari pejabat yang menerbitkan keputusan tersebut).
Penggunaan prinsip contrarius actus ini dikenakan terhadap kegiatan
masyarakat yang bersifat privat, misalnya kegiatan usaha, membangun rumah,
menjalankan kegiatan sosial, dan lain-lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang Hukum Administrasi.
Selain menyampaikan keterangan di atas, ahli menambahkan
keterangan dalam persidangan yang pada pokoknya antara lain sebagai
berikut:
• Frasa “paham lain” harus dirumuskan, tidak boleh teka-teki, tidak boleh
membuka potensi penafsiran sepihak bagi pemerintah;
• Undang-Undang memiliki keterbatasan jangkauan sehingga kalau belum
tertampung perlu dilakukan perubahan melalui mekanisme revisi undang-
undang;
76

• Due process of law dilakukan melalui tahapan misalnya melalui peringatan,


teguran sampai pada pembekuan, tidak boleh langsung pada pembekuan
karena ada proses yang harus dilalui, apalagi ada fungsi dari pemerintah
melakukan pembinaan terhadap Ormas;
• Dalam hal ancamannya telah nyata maka konstitusi telah memberikan
ruang melalui Perpu dan keadaan bahaya dengan menyebutkan secara
jelas bukan dengan menggunakan frasa “paham lain”;
• Penerapan asas contarius actus tidak boleh langsung dengan pembubaran,
harus ada tahapan, sehingga due process of law tidak cukup hanya dengan
menyatakan ada ruang untuk menggugat ke PTUN karena aspek Ormas
tidak hanya hukum tata negara namun juga hukum administrasi. Ormas
dijamin oleh konstitusi, pemerintah hanya berfungsi sebagai deklarator saja,
sehingga hak kebebasan berserikat tidak dapat langsung dicabut tanpa
sebuah proses yang cukup memadai. Dengan demikian due process of law
lebih bersifat preventif;
• Bahwa untuk menghadapi ancaman sebuah paham telah ada SOP-nya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keadaan Bahaya namun hal
tersebut tidak dilakukan;
• Tidak boleh disamakan rumusan undang-undang yang menyangkut hak
asasi atau hak konstitusional dengan yang tidak menyangkut hal tersebut
karena sifatnya yang fundamental;
• Tidak boleh menggenalisir badan hukum Ormas dengan badan hukum
lainnya, namun tidak boleh juga meniadakan perbedaannya, oleh karena itu
dalam pembuatan kebijakan atau peraturan terhadap Ormas khususnya
harus lebih cermat dan berhati;
• Asas contrarius actus tidak dapat berdiri sendiri, harus diikuti juga dengan
asas due process of law;
• Ancaman pidana tidak jelas tujuannya, orang atau pahamnya. Dengan
demikian keberadaannya lebih buruk dibanding saat orde baru yang tidak
menganut ancaman pidana sama sekali.

SAKSI PARA PEMOHON


Faridj Wadjdi, SIP
• Bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) cinta tanah air, HTI menyerukan Islam
karena kecintaan kepada negeri ini;
77

• Persekusi yang paling berat dialami HTI dari aspek teror psikologis, karena
sudah dibangun pandangan seolah-oleh HTI membahayakan. Teror psikologis
tersebut telah menimbulkan ketakutan dan kekhwatiran di keluarga-keluarga
HTI;
• Muncul saling curiga di tengah masyarakat pasca izin HTI dicabut.
• Persekusi yang lain misalnya dihalanginya kewajiban utama HTI untuk
berdakwah;
• Bahwa kewajiban taat kepada ulil amri tidak bersifat mutlak tanpa syarat, tapi
harus ada sikap koreksi yang bukan berarti menghilangkan atau menegasikan
ketaatan kepada ulil amri tersebut.

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan


Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 6 Maret 2018 yang
kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 28 Maret 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-
hal sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon


Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa:
“Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak
konstitusional”.
78

Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak
dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang a quo.
Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan
pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai
berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang
diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam
perkara pengujian undang-undang a quo, maka para Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi
permohonan Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa para
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para
Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk
79

diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak


dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) para pemohon, DPR
RI memberikan pandangan sebagai berikut:
a) Bahwa terhadap kedudukan hukum Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III,
dan Pemohon IV yang menerangkan sebagai Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas) yang berbadan hukum Yayasan dan Perkumpulan yang melakukan
aktivitas di bidang dakwah Islam, pengajian, kepemudaan, dan sosial
kemasyarakatan, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon I, Pemohon II,
Pemohon III, dan Pemohon IV tidak memenuhi syarat kumulatif sebagai
pemohon, yaitu bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang
yang diuji. Mengingat bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan
Pemohon IV yang beraktivitas di bidang dakwah Islam, kepemudaan, dan
sosial kemasyarakatan tidak bertentangan dengan Pancasila. Aktivitas
tersebut merupakan aktivitas keagamaan yang harmoni dan selaras dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa berdasarkan Pancasila. Ideologi
Pancasila adalah ideologi negara yang bernafaskan nilai-nilai agama
sebagaimana terkandung dalam makna sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, sehingga sudah seharusnya nilai-nilai agama yang ada dalam setiap
aktivitas Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV justru
mendukung NKRI sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa.
b) Bahwa terhadap kedudukan hukum Pemohon V yang menerangkan sebagai
Orang Perseorangan yang mewakili Ormas Front Pembela Islam (FPI) yang
terdaftar di Kementerian Dalam Negeri yang beraktivitas di bidang
keagamaan, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon V tidak memenuhi
syarat kumulatif kedudukan hukum sebagai pemohon yaitu dalam hal
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, karena Pemohon
V bertindak sebagai Orang Perseorangan, bukan Ormas, sehingga tidak
ada hubungan sebab akibat antara keberlakuan UU a quo dengan Pemohon
V.
80

c) Bahwa DPR-RI berpandangan para Pemohon tidak memiliki kepentingan


hukum dengan UU a quo, hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam
asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada
gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point
d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen
rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam
Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang
menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hokum “(no
action without legal connection)”.

Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) para Pemohon,


DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan
kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan
secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang
dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji,
utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji tersebut.
Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya para
Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan
atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-
uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim
Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor
011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
81

2. Pengujian Materiil Atas UU Ormas Terhadap UUD 1945


a. Pandangan Umum
1) Bahwa dalam Pembukaan UUD 1945, tepatnya di dalam alinea ke-4
ditegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik
Indonesia antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum. Alinea ke-4 (keempat) dari UUD 1945 juga menjelaskan bahwa
untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia harus berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana
lima prinsip yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia tersebut dikenal
luas sebagai Pancasila, dimana Pancasila sendiri merupakan falsafah
sekaligus ideologi dari Bangsa Indonesia dan menjadi sumber hukum
tertinggi di dalam Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
2) Bahwa Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut,
dalam kedudukannya sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara
(Philosofische Grondslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee).
Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma
untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain perkataan.
Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan
negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk proses
reformasi dalam segala bidang dewasa ini dijabarkan dan diderivasikan dari
nilai-nilai Pancasila. Maka pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secara
konstitusional mengatur negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-
unsurnya yaitu rakyat, wilayah, beserta pemerintah negara, termasuk tata
kelola organisasi masyarakat harus berdasarkan falsafah Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa serta sebagai sumber dari segala sumber hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara Republik Indonesia.
3) Bahwa Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas
kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga
82

merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun
hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau
Undang-Undang Dasar maupun yang tidak tertulis. Dalam kedudukannya
sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum.
4) Bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai
sumber tertib hukum Indonesia maka setiap produk hukum harus
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pancasila
tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian
dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang
meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
dikonkretkan atau dijabarkan dari UUD 1945, serta hukum positif lainnya.
Bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup bangsa
serta ideologi bangsa dan negara, bukanlah hanya untuk sebuah rangkaian
kata- kata yang indah namun semua itu harus kita wujudkan dan di
aktualisasikan di dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasarakat,
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum juga dipertegas dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan (untuk selanjutnya disebut
UU 12 Tahun 2011) yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara. Sehingga, tentunya segala produk
hukum yang ada di dalam negara Republik Indonesia sama sekali tidak
diperkenankan untuk bertentangan dengan Pancasila
5) Bahwa secara historis, eksistensi dari Pancasila hari ini tidak terlepas dari
berbagai dialektika dan dinamika yang terjadi selama pembahasannya,
terutama antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam. Sejak
pembacaan Pancasila pada 1 Juni 1945 hingga 18 Agustus 1945.
Kompromi yang dihasilkan pada 22 Juni 1945 ini, oleh M. Yamin, diberi
nama Piagam Jakarta. Prinsip komprominya adalah Islam tidak menjadi
dasar negara, tetapi umat Islam wajib menjalankan syariat Islam yang akan
diatur dalam konstitusi. Hal itu tertuang dalam kalimat: “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dimana
hingga 16 Juli 1945, Sukarno masih menyampaikan bahwa rumusan
Piagam Jakarta sebagai rumusan terbaik pembukaan UUD NRI Tahun
83

1945. Namun, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan dasar


negara yang semula akan bersumber dari Piagam Jakarta tersebut diganti
menjadi Pancasila yang kita kenal hari ini dalam hitungan belasan menit
saja. Hal tersebut terjadi akibat desakan dari perwakilan Indonesia Timur
yang mengancam akan tidak ikut dengan Indonesia apabila syariat Islam
tetap ada di dalam dasar negara. Meskipun merasa dikecewakan, kelompok
nasionalis-Islam tersebut memilih untuk diam dan menerima kompromi
tersebut demi persatuan Indonesia, padahal populasi dari kelompok
nasionalis-Islam cukup banyak ketika itu. Berkaca pada sejarah tersebut,
tergambar bagaimana kelompok nasionalis-Islam di Indonesia telah
merelakan tujuan politik dari perjuangan fisik mereka di masa pra-
kemerdekaan untuk dikorbankan, demi keutuhan, dan persatuan bangsa
Indonesia.
6) Bahwa pada batang tubuh UUD 1945 diatur lebih lanjut bahwa Indonesia
adalah negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Salah satu ciri dari negara hukum itu sendiri adalah penghormatan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sebagaimana diketahui
bersama, bahwa di dalam UUD 1945, ketentuan mengenai hak asasi
manusia secara eksplisit telah diatur di dalam Bab XA yang mana di
dalamnya terkandung perlindungan terhadap hak asasi manusia, salah
satunya termasuk juga kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
7) Bahwa kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul juga merupakan
bagian dari HAM yang diakui secara internasional melalui Universal
Declaration on Human Rights atau yang populer dikenal di Indonesia
sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut
DUHAM). Pengaturan terkait hal tersebut tepatnya dilakukan di dalam Pasal
20 ayat (1) dan (2) DUHAM, yang berbunyi:
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
tanpa kekerasan
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan
8) Bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai HAM yang bersifat
universal juga diakui sebagai bagian dari hukum positif yang berlaku di
dalam wilayah NKRI. Dimana hal ini tertuang jelas di dalam Pasal 24 ayat
84

(1) dan ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut UU HAM) yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya
untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan
penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan,
penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
9) Dikutip dari “The Declaration of the Rights and Duties of Nations Adopted by
the American Institute of International Law” pada poin I dan poin IV
Declaration of the Rights and Duties of Nations berbunyi:
Every nation has the rights to exist and to protect and to conserve its
existence...
Terjemahan:
Setiap bangsa memiliki hak untuk ada dan untuk melindungi dan untuk
mempertahankan keberadaannya...
Every nations has the right to territory within defined boundaries and to
exercise exclusive jurisdiction over its territory, and all persons whether
native or foreign found therein.
Terjemahan:
Setiap bangsa memiliki hak terhadap wilayah dalam batas-batas yang
ditentukan dan untuk melaksanakan yurisdiksi eksklusif atas wilayahnya,
dan terhadap semua orang baik penduduk asli atau asing yang ada di
dalamnya.
Berdasarkan dokumen tersebut secara jelas dikatakan bahwa setiap
bangsa memiliki hak untuk mempertahankan keberadaannya dan
memberlakukan hukum di dalam wilayah yurisdiksinya. Setiap bangsa yang
dimaksud di dalam dokumen tersebut tentunya termasuk juga Indonesia.
Bahwa dalam rangka mempertahankan keberadaannya atau kedaulatannya
tersebut, negara dimungkinkan untuk membuat sebuah hukum yang
ditujukan untuk membatasi hak asasi manusia dari warga negaranya.
Dimana dalam kondisi-kondisi tertentu, hak asasi manusia tersebut harus
85

dibatasi secara tegas karena apabila tidak terkendali dapat membahayakan


kedaulatan bangsa dan negara.
Penjelasan di atas selain memperjelas mengenai hak negara untuk
mempertahankan kedaulatannya, juga menggambarkan bagaimana
penegakan hak asasi manusia dan kedaulatan negara harus berjalan
selaras. Tanpa keselarasan antara keduanya, sebuah negara dapat
terjerumus menjadi sebuah negara yang gagal atau populer disebut sebagai
failed state.
10) Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara.
Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang
mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar-warga negaranya, maka
menurutnya yang memerintah negara bukanlah manusia melainkan “pikiran
yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 diatur bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum (rechtsstaat), sehingga tidak berdasar atas
kekuasaan semata (machtsstaat). Unsur-unsur rechtsstaat yaitu:
a. adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM);
b. adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin
perlindungan HAM;
c. pemerintahan berdasarkan peraturan; dan
d. adanya peradilan administrasi.
11) Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat dapat dikaitkan dengan konsep
perlindungan hukum, sebab konsep rechtsstaat tidak lepas dari gagasan
untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Menurut A.V. Dicey, Negara Hukum harus mempunyai 3 unsur pokok yaitu:
a. Supremasi aturan-aturan hukum/Supremacy of Law
Dalam suatu negara hukum maka kedudukan hukum merupakan posisi
tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya
hukum tunduk pada kekuasaan. Apabila hukum tunduk pada kekuasaan
maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum
dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi
“tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat. Tidak ada kekuasaan
86

yang sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum


apabila ia melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama di hadapan hukum/Equality Before The Law
Dalam Negara hukum, kedudukan penguasa dengan rakyat di mata
hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya,
yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang
mengatur maupun yang diatur pedomannya satu yaitu undang-undang.
Bila tidak ada persamaan hukum maka orang yang mempunyai
kekuasaan akan merasa kebal hukum.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang/Due Process of
Law
Hak-hak manusia yang paling dasar yaitu hak-hak asasi
manusia/Human Rights
Human Rights meliputi 3 hal pokok yaitu:
i. The rights to personal freedom (kemerdekaan pribadi), yaitu hak
untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik bagi dirinya tanpa
merugikan orang lain;
ii. The rights to freedom of discussion (kemerdekaan berdiskusi) yaitu
hak untuk mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan
ketentuan yang bersangkutan juga harus bersedia mendengarkan
orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain;
iii. The rights to public meeting (kemerdekaan mengadakan rapat).
Kebebasan ini harus dibatasi jangan sampai menimbulkan
kekacauan atau memprovokasi.
Dalam perwujudannya suatu negara yang dijalankan oleh pemerintahan
maka Pemerintah sebagai suatu entitas yang tinggi mempunyai tanggung
jawab yang besar bagi kehidupan masyarakat untuk mencapai suatu
keadilan yang sama dalam kedudukannya tanpa ada diskriminatif (equality
before the law) sehingga dalam konsep HAM bahwa pemangku kewajiban
ada di dalam tugas pemerintah.
12) Bahwa meskipun kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul merupakan
bagian dari HAM yang diakui dan dijamin oleh Negara melalui konstitusi dan
sejumlah instrumen hukum yang berlaku secara nasional, namun tetap
87

terdapat pembatasan dalam pelaksanaannya. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
telah menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Keberadaan UU Ormas memiliki fungsi utama untuk melakukan pengaturan
lebih lanjut mengenai eksistensi Ormas, yang mana di dalamnya diatur juga
mengenai berbagai pembatasan yang harus dituruti oleh Ormas yang
beraktivitas di dalam wilayah NKRI sebagai bentuk dukungan atas
pelaksanaan demokrasi, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta
cinta tanah air. Pembatasan tersebut, selain merupakan amanat dari Pasal
28J UUD 1945 juga mutlak dibutuhkan untuk menjamin perlindungan
terhadap upaya-upaya untuk mencapai tujuan serta kedaulatan negara.
13) Bahwa Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dengan segala bentuknya
hadir, tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah perkembangan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia, Ormas merupakan
wadah utama dalam pergerakan kemerdekaan di antaranya Boedi Utomo,
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lain yang didirikan sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia. Peran dan rekam jejak Ormas yang telah
berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut mengandung nilai sejarah dan
merupakan aset bangsa yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan
negara.
14) Dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan
membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan
jumlah Ormas, sebaran dan jenis kegiatan Ormas dalam kehidupan
demokrasi makin menuntut peran, fungsi dan tanggung jawab Ormas untuk
berpartisipasi dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu Ormas sejatinya adalah alat
88

perjuangan bangsa, sehingga konsekuensi logisnya Ormas dalam segala


aktivitasnya pun sudah seharusnya menjunjung tinggi dan menjaga nilai-
nilai persatuan bangsa dan negara yang telah diperjuangkan sejak masa
penjajahan sampai saat ini.
15) Bahwa keberadaan ormas yang hidup, berkegiatan, dan difasilitasi oleh
pemerintah merupakan bentuk perwujudan dari pengakuan de facto oleh
negara terhadap hak untuk berserikat dan berkumpul yang diamanahkan
oleh UUD 1945. Lebih lanjut, Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul ditetapkan dengan undang-undang.
Adapun eksistensi ormas sebagai perwujudan kemerdekaan berserikat dan
berkumpul ini kemudian ditetapkan dalam UU Ormas.
16) Bahwa berlandaskan Pasal 28 UUD 1945 telah dibentuk UU Ormas yang
ditujukan untuk mengatur lebih lanjut terkait dengan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, selain mengeluarkan pikiran, yang merupakan
perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945.
UU Ormas merupakan undang-undang organik dari UUD 1945. Dengan
demikian frasa pasal-pasal a quo telah memenuhi unsur sinkronisasi dan
harmonisasi sebagaimana diatur dalam UU 12 Tahun 2011.
17) Bahwa perkembangan zaman saat ini telah menyebabkan perubahan-
perubahan di berbagai bidang kehidupan sosial. Munculnya paham-paham
baru yang sifatnya ekstrem di Indonesia, menyebabkan diperlukannya
pengaturan yang lebih komprehensif dan tegas guna mengurangi ancaman
perpecahan bangsa. Munculnya Ormas yang aktivitasnya atau pahamnya
bertentangan dengan Pancasila tentu sangat mengancam. Oleh karena itu,
Pemerintah segera mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang terkait Perubahan UU Ormas, yang mana saat ini telah
disahkan menjadi UU a quo guna menanggulangi Ormas yang aktivitas dan
pahamnya dengan Pancasila. Tindakan cepat ini tentunya dilakukan secara
terukur dan tidak tergesa-gesa demi menjaga keutuhan bangsa. Hal ini
bersesuaian dengan ketiga syarat yang dinyatakan oleh MK di dalam
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai syarat adanya
kegentingan yang memaksa, yaitu:
a. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
89

b. undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi


kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
dan
c. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
18) Bahwa perkembangan teknologi selain menimbulkan manfaat baik juga
menimbulkan manfaat yang buruk, salah satunya adalah degradasi moral
masyarakat. Masyarakat seharusnya memiliki kesadaran nasional untuk
menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, bukan justru mengancam
keutuhan dan kesatuan bangsa dengan merongrong Pemerintahan yang
sedang berjalan. Degradasi moral masyarakat ini disebabkan karena
masuknya paham ekstrem dari luar negeri yang mengancam Pancasila
sebagai ideologi bangsa.
19) Bahwa Ormas sebagai salah satu bentuk masyarakat yang madani,
beberapa diantaranya telah tercemar oleh pengaruh buruk ini. Oleh karena
itu Pemerintah perlu melakukan upaya cepat untuk mengatur Ormas agar
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan jalan mengubah UU Ormas
agar memiliki pengaturan sanksi tegas terhadap Ormas-Ormas yang jelas-
jelas memiliki paham atau aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila
dan NKRI. Hal ini karena Ormas sudah seharusnya menjadi alat perjuangan
bangsa, bukan menjadi alat yang mengancam bangsa.
b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan
Bahwa terhadap pasal-pasal a quo, DPR RI berpandangan sebagai berikut:
a) Prinsip Negara Hukum yang Demokratis (Democratische
Rechtsstaat) dan Penerapan Due Process of Law
1) Bahwa negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat)
bertumpu pada sejumlah prinsip dari negara hukum dan prinsip
kedaulatan rakyat yang dijalankan secara beriringan, dimana hal ini
berarti bahwa hukum harus dibangun dan ditegakkan menurut
prinsip-prinsip demokrasi. Begitu pun sebaliknya, demokrasi
haruslah diatur berdasarkan hukum guna mencegah munculnya
mobokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri,
90

baik secara prosedural maupun substansial (Menuju Negara Hukum


Yang Demokratis: Jimly Asshiddiqie: hlm. 398).
2) Bahwa UUD 1945 telah memberikan landasan konstitusional bagi
penyelenggaraan negara hukum yang demokratis, dimana hal
tersebut tercermin dari adanya pengakuan kedaulatan rakyat dan
penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, yang
diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) dari UUD 1945.
Salah satu bentuk perwujudan prinsip dasar negara hukum yang
demokratis tersebut tertuang dalam bentuk pengakuan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia yang esensial dalam proses demokrasi
(Menuju Negara Hukum Yang Demokratis: Jimly Asshiddiqie: hlm.
377).
3) Bahwa hak asasi manusia yang esensial dalam proses demokrasi
tentu saja yang berkaitan erat dengan partisipasi politik warga
negara dimana hal tersebut tertuang dalam hak-hak asasi di bidang
sipil dan politik yang mana di dalamnya termasuk juga kemerdekaan
untuk berserikat dan berkumpul (What Is Democracy?: Paula Becker
dan Jean-Aime A. Raveloson: hlm. 4 – 5). Kemerdekaan untuk
berserikat dan berkumpul ini kemudian terasosiasi pula dengan ciri
dari negara hukum, sebagaimana dinyatakan oleh International
Commission of Jurists bahwa salah satu ciri dari negara hukum
adalah adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan
berserikat (Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945:
Sri Sumantri: hlm. 12 – 13)
4) Bahwa Indonesia telah mengakui dan menjamin perlindungan
terhadap kemerdekaan berserikat serta berkumpul dari warga
negaranya melalui Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang
menegaskan keberadaan hak untuk berserikat dan berkumpul.
Dimana pengaturan lebih lanjut dari pelaksanaan kemerdekaan
berserikat dan berkumpul ditetapkan dengan UU Ormas sebagai
perwujudan dari konsep negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat).
5) Bahwa UUD 1945 telah memberikan perlindungan dan jaminan
terhadap pemenuhan hak asasi manusia, termasuk jaminan
91

kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Namun, pemenuhan hak


tersebut tidak bersifat, mengingat adanya kewajiban untuk
melindungi dan menghormati hak asasi orang lain. Atas dasar hal
tersebut, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa UU Ormas
sejatinya merupakan undang-undang organik yang merupakan
amanah dari Pasal 28 UUD 1945. Pada konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
penetapan pasal-pasal a quo di dalam UU Ormas tersebut sejatinya
merupakan pembatasan yang ditujukan untuk menjaga Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis dan berdaulat, sehingga
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berpendapat dari warga
negaranya perlu diatur dengan hukum.
6) Bahwa A.V. Dicey, seorang sarjana hukum dari Inggris, menjelaskan
bahwa salah satu ciri dari negara yang menerapkan rule of law
antara lain adalah dengan adanya due process of law dalam konteks
kehidupan bernegara. Sebagaimana dijelaskan bahwa due process
of law merupakan sebuah konsep yang lahir di dalam negara yang
mempunyai tradisi hukum atau sistem hukum common law, maka
untuk memahaminya tentu kita harus membaca pemahaman
mengenai due process of law dari sarjana yang berasal dari tradisi
hukum common law, berikut sejumlah kutipan dari sarjana yang
berasal dari Amerika Serikat, yaitu Niki Kuckes dan Stephen C.
Yeazell:
92

“...a citizen faced with a governmental deprivation of a liberty or


property interest has a due process right to “some kind of hearing.”
(Civil Due Process, Criminal Due Process dalam Yale Law & Policy
Review Volume 25: Niki Kuckes: hlm. 3)
Terjemahan:
“seorang warga negara yang berhadapan dengan sebuah
perampasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
kemerdekaan atau propertinya mempunyai semacam hak untuk
didengarkan”
“...the fundamental requirement of due process is an opportunity to
be heard at a meaningful time and in a meaningful manner.” (Civil
Procedure: Stephen C. Yeazell: hlm. 324 – 325)
Terjemahan:
“persyaratan mendasar dari due process adalah sebuah
kesempatan untuk bisa didengarkan pada waktu dan cara yang
berarti.”
7) Bahwa berdasarkan sejumlah pengetahuan mengenai konsep due
process of law terutama dalam konteks prosedural yang telah
diungkap sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan due
process of law oleh negara dapat dinyatakan telah dilakukan apabila
pemerintah menyediakan ruang untuk melakukan upaya hukum bagi
warga negaranya yang terancam dirampas kemerdekaannya atau
propertinya oleh pemerintah untuk dapat didengar pembelaannya.
8) Bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang tentunya juga
melaksanakan due process of law dalam kehidupan bernegaranya,
telah mengatur mengenai eksistensi dari berbagai badan peradilan
di dalam Bab IX UUD 1945 guna memberi ruang bagi warga negara
yang terancam dirampas kemerdekaan dan propertinya oleh negara,
tepatnya dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
93

Pembagian lingkungan peradilan itu ditujukan untuk membedakan


bentuk sengketa yang dialami oleh warga negara. Pasal-pasal a quo
yang diujikan oleh para Pemohon sejatinya mempermasalahkan
mekanisme penerbitan dari Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang dikeluarkan oleh Pemerintah terkait dengan pencabutan status
badan hukum atau keterangan terdaftar dari sebuah ormas yang
menurut para Pemohon dilakukan secara sewenang-wenang oleh
Pemerintah.
9) Bahwa berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dalam bagian Menimbang butir c dan
butir d dinyatakan:
c. bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan
suatu kondisi sehingga setiap warga, masyarakat dapat
menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum
yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada
kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisihan,
atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau
menghambat jalannya pembangunan nasional;
d. bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan
adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang mampu
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian
hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada
masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat;
Kemungkinan timbulnya sengketa antara Pejabat Tata Usaha
Negara dengan warga masyarakat inilah yang diprediksi akan terjadi
oleh Para Pemohon pasca munculnya sebuah SK yang ditujukan
untuk mencabut status badan hukum atau keterangan terdaftar dari
sebuah ormas, sedangkan forum penyelesaian sengketa tersebut
sudah disediakan oleh negara melalui PTUN. Maka, dengan
demikian secara prosedural, dalam konteks penerapan due process
of law, keberadaan pasal-pasal a quo di dalam UU Ormas tidak
94

membatasi warga negara/Ormas untuk melakukan upaya hukum


dalam rangka due process of law itu sendiri.
b) Pandangan Terhadap Dalil-Dalil Permohonan
Terhadap pokok permohonan pengujian Pasal I angka 6 s.d. angka 21,
frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c,
Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A UU Ormas, DPR RI
memberikan keterangan sebagai berikut:
1) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan pasal-pasal
a quo telah bertentangan dengan konsep due process of law
dengan mengujikannya pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945,
sebagaimana kutipan para Pemohon berikut ini:
Dalil I
“...berlakunya Pasal I angka 6 s.d. angka 21 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2017 mengancam hak konstitusional para Pemohon
dalam kemerdekaan berkumpul, berserikat, menyatakan pendapat,
memperjuangkan hak secara kolektif, mendapatkan rasa aman, dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nurani
sebagaimana Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1),
dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945...”(vide Perbaikan Permohonan,
hlm. 12, angka 5)
“...penghilangan peranan pengadilan dalam menjatuhkan sanksi
terhadap Ormas pula berpotensi merugikan hak konstitusional Para
Pemohon berupa pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena kapanpun
dan secara subjektif Pemerintah dapat membubarkan Pemohon
I s.d. Pemohon IV dengan mencabut status badan hukumnya atau
melakukan pencabutan terhadap surat keterangan terdaftar dari
Ormas Pemohon V tanpa dibuktikan secara sah mengenai
kesalahan atau pelanggarannya.” (vide Perbaikan Permohonan
hlm. 12, angka 6)
95

Bahwa terhadap dalil para Pemohon di atas ini, DPR RI


berpendapat bahwa keberatan yang diutarakan oleh para Pemohon
bersifat asumtif. Menurut para Pemohon, penjatuhan sanksi tidak
terlebih dahulu dilakukan melalui mekanisme pengujian (review)
terhadap produk hukum Pemerintah berupa SK Pengesahan Status
Badan Hukum atau Keterangan Terdaftar dari sebuah Ormas yang
dianggap telah menghilangkan pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.
DPR-RI berpandangan mekanisme review tersebut tidak hilang
sama sekali. Pemberlakuan asas contrarius actus yang terkandung
di dalam UU Ormas berimplikasi dilaksanakannya mekanisme
review oleh pelaksana kekuasaan eksekutif (executive review).
Asas contrarius actus sendiri sejatinya merupakan sebuah asas
yang tidak asing lagi di dalam proses administrasi negara di
Indonesia. Ia berakar dari tradisi hukum Romawi, di mana asas ini
memungkinkan pemerintah untuk menarik kembali peraturan
(regelling)/keputusan (beschikking) yang dibuatnya dengan
ketentuan bahwa penarikan peraturan/ keputusan tersebut dilakukan
oleh lembaga yang membuatnya.
Pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, keberadaan
asas contrarius actus juga telah diatur secara eksplisit dalam Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (untuk selanjutnya disebut UU
Administrasi Pemerintahan), yang berbunyi:
“Pencabutan Keputusan atau penghentian Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan
Keputusan dan/atau Tindakan; atau
b. Atasan Badan dan/atau Atasan Pejabat yang mengeluarkan
Keputusan dan/atau Tindakan apabila pada tahap penyelesaian
Upaya Administratif”.
96

Selain itu, mekanisme executive review di Indonesia ini telah diatur


juga dalam Pasal 251 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa:
Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri
Bahwa para Pemohon perlu memahami Putusan MK Nomor 56
Tahun 2016 hanya membatalkan ketentuan mengenai pembatalan
Perda Provinsi oleh Menteri dan Perda Kabupaten/Kota oleh
Gubernur. Tetapi MK tidak membatalkan ketentuan mengenai
pembatalan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), sebagaimana
dinyatakan dalam pertimbangan hukum MK sebagai berikut:
“...Perkada merupakan keputusan kepala daerah atau keputusan
tata usaha negara, sehingga pembatalan Perkada in casu peraturan
bupati/walikota melalui mekanisme executive review. Mekanisme
kontrol demikian merupakan lingkup fungsi administrasi negara
(bestuursfunctie) yang dapat saja dilakukan dan bukan merupakan
hal yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. (vide Putusan
MK No. 56/PUU-XIV/2016 hlm. 97)”
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan asas contrarius actus
mekanisme executive review merupakan mekanisme yang legal dan
konstitusional sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Maka, dengan demikian, penggunaan asas contrarius actus dan
mekanisme executive review terhadap beschikking yang diproduksi
oleh Kementerian Hukum dan HAM atau Kementerian Dalam Negeri
terkait dengan pengesahan status badan hukum atau keterangan
terdaftar dari sebuah organisasi kemasyarakatan untuk menentukan
apakah sebuah organisasi kemasyarakatan harus dijatuhkan sanksi
atau tidak akibat dugaan penyimpangan terhadap UU Ormas
merupakan tindakan yang konstitusional.
Jika beschikking berupa SK Pencabutan Status Badan Hukum atau
Keterangan Terdaftar dari sebuah Ormas yang menjadi produk dari
executive review tersebut menimbulkan keberatan bagi warga
97

masyarakat, maka dapat dilanjutkan kepada pengujian tahap


selanjutnya di PTUN sebagai forum untuk menguji keabsahan dari
beschikking yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut.
Kesimpulannya, meskipun peranan pengujian oleh pelaksana
kekuasaan yudisial atau pengadilan (judicial review) dalam
menjatuhkan sanksi dihilangkan, bukan berarti pengujian terhadap
produk hukum tersebut ditiadakan sama sekali, tetap dilaksanakan
namun melalui executive review.
Dengan demikian, pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
tidaklah tepat jika dikatakan nihil sama sekali mengingat bahwa
prinsip due process of law masih dijalankan melalui PTUN guna
menjadi ruang untuk menyelesaikan sengketa atas keberatan dari
warga masyarakat atas hasil executive review dari kementerian
terkait tersebut.
Kemudian, apabila tindakan pembubaran tersebut dinilai oleh Para
Pemohon sebagai tindakan yang sewenang-wenang sejatinya
penilaian tersebut keliru. Mengingat bahwa dalam konteks
pembubaran HTI, pengambilan keputusan Pemerintah tidak
dilakukan dengan tergesa-gesa, melainkan penuh dengan
pertimbangan yang didasari oleh pendapat dari berbagai pihak.
Tidak tepat juga dikatakan dapat kapanpun dicabut karena
sebelumnya sudah dilakukan perbuatan pendahuluan dan tentunya
juga dengan parameter-parameter yang terukur.
Selain itu, terkait materi muatan yang terkandung di dalamnya juga
sejatinya tidak mengalami perubahan dari UU Nomor 17 Tahun
2013. Dimana di dalam UU tersebut prinsip dari due process of law
sudah diterapkan, namun di dalam UU Ormas yang berlaku
sekarang diubah mekanismenya saja.
Dalil II
“...Dalam konteks penjatuhan sanksi terhadap Ormas, pemerintah
dapat sewenang-wenang menjatuhkan sanksi pembubaran
terhadap Ormas berbadan hukum dengan melakukan
98

pencabutan status badan hukumnya atau melakukan


pencabutan surat keterangan terdaftar terhadap Ormas tidak
berbadan hukum... (vide Permohonan hlm. 12 – 13).”
DPR RI memberikan pandangan bahwa pendapat para Pemohon
yang menyatakan bahwa pemerintah dapat dengan sewenang-
wenang dalam menjatuhkan sanksi pembubaran tidaklah tepat dan
menunjukkan ketidakcermatan dari para Pemohon. Kesewenang-
wenangan atau yang dalam Black’s Law Dictionary dikenal sebagai
arbitrary mempunyai definisi sebagai berikut:
“Depending on individual discretion, determined by a judge rather
than by fixed rules; ...”
Terjemahan:
“Bergantung pada kebijaksanaan individu, ditentukan oleh penilaian
dan bukan oleh peraturan tetap; ..."
Bila kita merujuk pada pengertian tersebut, maka sejatinya
pencabutan status badan hukum ataupun keterangan terdaftar
memang dilakukan sesuai dengan kewenangan yang diatribusikan
oleh UU Ormas kepada kementerian terkait.
Pada proses pengambilan keputusan untuk mencabut status badan
hukum atau keterangan terdaftar dari sebuah ormas, kementerian
tersebut didasarkan pada kualifikasi yang diatur di dalam UU Ormas,
sehingga kurang tepat jika kemudian keputusan untuk menjatuhkan
sanksi pembubaran tersebut diasumsikan oleh para Pemohon
sebagai sebuah keputusan yang hanya disandarkan diskresi
individual semata sedangkan kewenangan dan kualifikasi yang
menentukan apakah sebuah ormas layak untuk dicabut status
badan hukum atau keterangan terdaftarnya sudah diatur di dalam
UU Ormas.
Kemudian, apabila sekiranya warga masyarakat merasa keberatan
atas keputusan yang dikeluarkan oleh kementerian terkait tersebut
terkait pencabutan status badan hukum atau keterangan terdaftar
dari sebuah ormas, maka keberatan tersebut dapat diajukan kepada
PTUN.
99

Sehingga, kekhawatiran para Pemohon atas kemungkinan


terjadinya kesewenang-wenangan dalam menjatuhkan sanksi
pembubaran terhadap ormas tidaklah relevan.
2) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan pasal-pasal/
penjelasan pasal a quo telah menyebabkan ketidakpastian hukum
dan kesewenang-wenangan Pemerintah dalam menjatuhkan sanksi
terhadap Ormas dengan mengujikannya terhadap Pasal 28, Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), dan Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945 sebagaimana kutipan para Pemohon berikut ini:
Dalil I
“Bahwa frasa “atau paham lain” pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4)
huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tersebut
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat 2 UUD 1945...” (vide
Perbaikan Permohonan, hlm.14, angka 2).
“...frasa atau paham lain pada penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
tersebut mengakibatkan makna bertentangan dengan Pancasila
menjadi sangat luas, yang dapat menyasar Ormas manapun
termasuk para Pemohon sebagai Ormas-ormas yang beraktivitas
dalam bidang Dakwah Islam dan sosial kemasyarakatan. Hal mana
mengancam hak konstitusional para Pemohon dalam
kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran,
memajukan diri dalam memperjuangkan hak kolektif, meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati
nurani...” (vide Perbaikan Permohonan, hlm. 16, angka 6)
DPR-RI memberikan pandangan bahwa tidak beralasan hukum
pendapat dari para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa atau
paham lain pada penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
mengakibatkan makna bertentangan dengan Pancasila menjadi
sangat luas sehingga mengancam hak konstitusional dari para
Pemohon. Mengingat bahwa frasa “atau paham lain” tersebut justru
menjadi sebuah kebutuhan, frasa tersebut digunakan karena
dikhawatirkan di masa mendatang akan lahir paham-paham lain
100

yang pada saat ini belum dapat diidentifikasi sebagai suatu paham
yang bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi NKRI.
DPR-RI juga berpandangan bahwa kekhawatiran dari para
Pemohon atas keberadaan frasa “atau paham lain yang
bertentangan dengan Pancasila” di dalam Penjelasan dari Pasal 59
ayat (3) huruf c UU Ormas tidaklah relevan, mengingat bahwa
aktivitas dari Para Pemohon sebagaimana yang telah diuraikan
dalam permohonannya bahwa aktivitasnya yang meliputi bidang
dakwah Islam dan sosial kemasyarakatan, dimana kedua hal
tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan
secara eksplisit didukung oleh sila-sila di dalamnya, yaitu sila ke-1
dan ke-5.
Dalil II
“Sampai dengan saat ini tidak terdapat tafsir resmi tentang
Pancasila, melainkan antar rezim yang pernah berkuasa
menafsirkan Pancasila dengan cara dan untuk kepentingannya
sendiri. Malah Presiden Soeharto berani menyatakan bahwa
Presiden Soekarno sebagai salah satu perumus Pancasila telah
menyimpangi Pancasila. Lalu Pancasila juga yang digunakan oleh
para tokoh reformasi dalam menurunkan Soeharto dengan
menuduhnya telah memonopoli Pancasila demi melanggengkan
kekuasaan dan menjustifikasi pemerintahannya yang otoriter. Begitu
pula pada rezim Joko Widodo yang dalam menafsirkan
Pancasila menganggap Hizbut Tahrir Indonesia sebagai Ormas
anti Pancasila. Padahal selama 10 (sepuluh) tahun Susilo
Bambang Yudhoyono berkuasa, HTI tidak dianggap sebagai
Ormas anti Pancasila. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14 angka
3)”
DPR-RI memberikan pandangan terhadap argumen yang
disampaikan oleh Para Pemohon bahwa tidak ada tafsir resmi
tentang Pancasila adalah benar. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
pandangan tiap rezim, baik dari Orde Lama hingga Reformasi,
mengenai Pancasila, juga mempunyai nilai kebenaran yang sama.
101

Terkait dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena


dianggap sebagai Ormas anti Pancasila oleh Pemerintahan yang
dikepalai oleh Presiden Jokowi sejatinya bukan disebabkan oleh
permasalahan tafsir Pancasila. Pembubaran tersebut dilandasi oleh
adanya sejumlah bukti kuat yang mengindikasikan bahwa HTI
dengan terang-terangan telah melakukan propaganda anti-Pancasila
di ruang publik.
Jika berbicara masalah tafsir Pancasila, maka tafsir dari rezim mana
pun sudah sepantasnya tidak menerima propaganda anti Pancasila
yang dilaksanakan oleh HTI. Sehingga tidaklah relevan jika Para
Pemohon mempermasalahkan tafsir Pancasila.
Permasalahan bahwa dalam pemerintahan yang sebelumnya HTI
tidak dibubarkan, itu adalah permasalahan pilihan politik saja dan
tidak mengartikan bahwa propaganda anti Pancasila yang telah
mereka lakukan tersebut sebagai suatu hal yang legal apalagi
konstitusional.
Dalil III
“Frasa “atau paham lain” dapat digunakan pemerintah secara
subjektif untuk menjatuhkan sanksi terhadap para Pemohon,
maka hal itu pula mengancam hak konstitusional para
Pemohon...(vide Perbaikan Permohonan hlm. 17 angka 7)”
“Bahwa frasa “atau paham lain” yang tidak jelas dan multi tafsir
tersebut apabila dikaitkan dengan Pasal 82A ayat (2) yang
mengancam pidana hukuman penjara seumur hidup dan minimal 5
(lima) tahun penjara terhadap setiap anggota atau pengurus Ormas
yang melanggar Pasal 59 ayat (4) huruf c adalah sangat berbahaya,
karena dapat digunakan secara subjektif untuk menjerat pengurus
dan anggota Pemohon I s.d. Pemohon IV dan menjerat Pemohon V
pada saat melakukan aktivitas dakwah dengan tuduhan menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan
dengan Pancasila. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17 angka 8)
DPR-RI memberikan pandangan bahwa pendapat dari para
Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “atau paham lain” dapat
digunakan pemerintah secara subjektif, multi-tafsir, dan tidak jelas
102

untuk menjatuhkan sanksi terhadap para Pemohon merupakan


pernyataan yang asumtif dan tidak bersandar pada norma hukum
yang berlaku di Indonesia. Jika kita merujuk pada Black’s Law
Dictionary, pengertian dari subjektif adalah:
“related to or based on beliefs, attitudes, and opinions instead of
verifiable evidence. In contrast to objective.”
Bahwa dalam menjatuhkan sanksi terhadap ormas yang diduga kuat
menganut paham anti-Pancasila tersebut, Pemerintah tentu
berpedoman pada bukti yang mempunyai indikasi kuat bahwa ormas
tersebut telah melakukan aktivitas yang menyimpang dari Pancasila
atau mempropagandakan nilai-nilai yang bertentangan dengan
Pancasila dan melalui berbagai pertimbangan dari sejumlah pihak.
Tentunya Pemerintah tidak subjektif dalam menerbitkan SK
Pencabutan Status Badan Hukum atau Surat Keterangan Terdaftar
dari sebuah Ormas, karena berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara (untuk selanjutnya disebut UU PTUN), Pemerintah harus
memenuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB),
dimana berdasarkan Penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9
Tahun 2004, setidak-tidaknya terdapat 6 asas di dalam AUPB,
antara lain:
1) Asas Kepastian Hukum;
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3) Asas Keterbukaan;
4) Asas Proporsionalitas;
5) Asas Profesionalitas;
6) Asas Akuntabilitas;
Bahwa berdasarkan AAUPB tersebut, tentunya ruang bagi
subjektivitas dalam proses pengambilan keputusan di dalam
pemerintahan akan semakin sempit. Jika para Pemohon merasa
dirugikan terhadap sanksi yang diberikan oleh Pemerintah terhadap
Ormas para Pemohon, maka Para Pemohon dapat mengajukan
upaya hukum gugatan ke PTUN, karena sanksi yang diberikan
103

Pemerintah berupa penerbitan keputusan tata usaha negara adalah


penerbitan beschikking yang menjadi ranah PTUN.
Selain itu, kualifikasi tindakannya pun jelas tertuang di dalam UU
Ormas tersebut sehingga tidak benar jika dikatakan pasal-pasal
tersebut merupakan ‘pasal karet’ ataupun multi-tafsir.
Dalil IV
“...dengan berlakunya Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah
untuk mencabut surat keterangan terdaftar atau mencabut status
badan hukum dari Ormas sangat berpotensi merugikan hak
konstitusional para Pemohon dalam kemerdekaan berserikat,
berkumpul, berpendapat, memajukan diri dengan memperjuangkan
hak secara kolektif.” (vide Perbaikan Permohonan, hlm.19, angka 3)
“...konsepsi HAM di Indonesia menekankan kepada hak masyarakat,
maka dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Ormas, fungsi
pemerintah hanyalah mensahkan keberadaan suatu Ormas
melalui pendaftaran atau pemberian status badan hukumnya,
karena hak dalam kemerdekaan berkumpul, berserikat,
mengeluarkan pendapat, memajukan diri dengan memperjuangkan
hak secara kolektif sama sekali bukan hak yang diberikan negara,
melainkan hak-hak kodrati yang melekat pada setiap orang
sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa (natural rights) yang
mesti dijamin, dilindungi, dan dijaga oleh Negara;” (vide Perbaikan
Permohonan, hlm. 20 angka 7)
DPR-RI memberikan pandangan terhadap anggapan para Pemohon
yang menyatakan bahwa fungsi pemerintah hanyalah mensahkan
keberadaan suatu ormas tidaklah tepat. Diterbitkannya UU Ormas
merupakan hasil amanat daripada Pasal 28 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul diatur
dengan undang-undang. Salah satu landasan filosofis dari
pembentukkan UU Ormas yang termaktub dalam Bagian
Menimbang poin c dari UU Ormas adalah:
Bahwa sebagai wadah dalam menjalankan kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, organisasi
104

kemasyarakatan berpartisipasi dalam pembangunan untuk


mewujudkan tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
Pertimbangan di atas dapat dimaknai bahwa Pemerintah tentu tidak
hanya berfungsi untuk mensahkan saja, mengingat Pemerintah juga
harus memastikan organisasi kemasyarakatan yang ada dapat
berpartisipasi dalam pembangunan untuk mewujudkan tujuan
nasional dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila. Hal ini
berarti proses pembinaan dan fasilitasi pun harus dilakukan oleh
pemerintah untuk memberdayakan organisasi kemasyarakatan yang
ada, setidaknya dengan adanya anggaran yang dialokasikan untuk
kegiatan organisasi kemasyarakatan dapat menggambarkan proses
pembinaan dan fasilitasi tersebut.
Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa hak dalam
kemerdekaan berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat,
memajukan diri dengan memperjuangkan hak secara kolektif
sebagai hak yang kodrati tidaklah keliru. Namun, setiap orang dalam
melaksanakan hak asasinya berkewajiban tunduk pada pembatasan
untuk menghormati hak asasi orang lain sebagaimana diatur dalam
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Dalil IV
“Bahwa Pasal 82A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 mengancam hak konstitusional para Pemohon untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi sebagaimana Pasal 28D ayat (1) dan Pasal
28G ayat (1) UUD, karena dirumuskan secara tidak jelas dan
tidak ketat yang dapat menjerat para Pemohon, meskipun tidak
melakukan perbuatan pidana.”
DPR-RI memberikan pandangan terhadap pernyataan para
Pemohon yang menyatakan bahwa sejumlah hak konstitusional dari
para Pemohon sebagaimana disebutkan di atas menjadi terancam,
merupakan pernyataan yang tidak tepat. Bahwa sesuai dengan
105

Lampiran 113 UU Nomor 12 Tahun 2011, dalam merumuskan


ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan
pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
In casu rumusan pasal a quo UU Ormas telah memenuhi kriteria
tersebut, karena rumusan pasal tersebut telah memenuhi asas
umum ketentuan pidana tersebut, yaitu:
a) Rumusan yang jelas, rinci, dan pasti (lex certa)
b) Ketentuan tersebut telah dirumuskan secara tertulis dalam UU a
quo (Legisme)
c) Tidak berlaku secara surut (non-retroaktif)
3) Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan pasal-pasal
a quo telah mencabut hak asasi dari warga negara untuk berkumpul
dan berserikat setelah diterbitkannya beschikking untuk mencabut
keterangan terdaftar atau status badan hukum dari sebuah Ormas
dengan mengujikannya terhadap Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sebagaimana pernyataan para
Pemohon di dalam Permohonannya, yaitu:
Dalil I
“Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bertentangan
dengan Pasal 28, 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945 karena hak asasi dalam kemerdekaan berkumpul dan
berserikat tidak dapat dihapus hanya dengan pencabutan surat
keterangan terdaftar/status badan hukum...” (vide Perbaikan
Permohonan hlm. 21, angka 1)
DPR RI berpandangan bahwa pendapat para Pemohon yang
menyatakan bahwa dengan bubarnya sebuah organisasi
kemasyarakatan kemudian menyebabkan dicabutnya hak
berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat dari warga negara
yang merupakan anggota dari Ormas yang dibubarkan tersebut
tidaklah tepat. Hal ini mengingat bahwa hak-hak mereka untuk
berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat tetaplah eksis.
106

Bahwa dengan pencabutan status badan hukum atau surat


keterangan terdaftar tidak berarti mencabut hak asasi berupa
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat,
namun yang dicabut hanyalah status badan hukum atau keterangan
terdaftar dari Ormas terkait, bukan hak asasi dari individu yang
pernah tergabung di dalam Ormas tersebut untuk membentuk
kembali organisasi kemasyarakatan lainnya.
Bahwa para Pemohon tetap dapat membentuk Ormas sepanjang
tidak bertentangan dengan Pancasila. Artinya hak asasi
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pikiran tetap
dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Dalil II
“Bahwa pencabutan hak berkumpul, berserikat dan menyatakan
pendapat dengan membubarkan Ormas secara sepihak tanpa
dibuktikan mengenai pelanggarannya merupakan kampanye
perlawanan terhadap konstitusi Pasal 28J ayat (2) UUD yang
memaksudkan pembatasan atas hak-hak tersebut semata-mata
ditujukan dalam lingkup masyarakat demokratis guna mengakui dan
menghormati hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum. Karena tidak ada tempat
bagi tindakan sewenang-wenang pada masyarakat demokratis
dengan membatasi hak berkumpul dan menyatakan pendapat hanya
berdasarkan subjektivitas semata tanpa adanya pembuktian dan
memberikan hak untuk membela diri pada pengadilan yang bebas
dan tidak memihak. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 22 angka 6)”
DPR-RI berpandangan argumen para Pemohon di atas
menunjukkan kekeliruan dalam membaca dan memahami norma
sanksi yang dicantumkan dalam UU Ormas. Hal yang harus
dipahami para Pemohon adalah bahwa sanksi pencabutan status
badan hukum dan keterangan terdaftar dari sebuah Ormas yang
disusul dengan pembubaran hanya berlaku pada aktivitas yang
tingkat bahayanya terhadap persatuan bangsa dan kedaulatan
negara cukup tinggi atau tinggi sekali.
107

Aktivitas-aktivitas yang dinilai berbahaya tersebut antara lain


termaktub dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dari
UU Ormas, antara lain:
a) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing yang:
i. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
ii. mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
iii. melakukan kegiatan intelijen;
iv. melakukan kegiatan politik;
v. melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan
diplomatik;
vi. melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan
organisasi;
vii. menggalang dana dari masyarakat Indonesia; dan
viii. menggunakan sarana dan prasarana instansi atau lembaga
pemerintahan
b) melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras,
atau golongan;
c) melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
d) melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas
sosial; dan/atau
e) melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
f) menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol
organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
g) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
108

h) menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau


paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Terhadap sejumlah aktivitas yang disebutkan di atas sejatinya memang
mempunyai potensi bahaya yang cukup tinggi terhadap kedaulatan
negara dan persatuan bangsa. Kemajuan teknologi informasi juga
dewasa ini mampu melipatgandakan daya rusak dan mempercepat
terjadinya kondisi-kondisi yang tidak kita inginkan sebagai akibat dari
aktivitas-aktivitas tersebut di atas.
Sehingga penggunaan sanksi yang keras dengan langsung mencabut
status badan hukum dan keterangan terdaftar dari Ormas yang
terindikasi kuat melakukan aktivitas terlarang tersebut merupakan
sebuah langkah preventif guna mencegah terjadinya negara gagal atau
failed state. Merujuk pada Britannica Encyclopedia, yang dimaksud
sebagai failed state adalah:
“a state that is unable to perform the two fundamental functions of the
sovereign nation-state in the modern world system: it cannot project
authority over its territory and peoples, and it cannot protect its national
boundaries.”
Jika diterjemahkan, kurang lebih mempunyai pengertian bahwa sebuah
negara dikatakan gagal apabila tidak mampu menjalankan dua fungsi
fundamental dari kedaulatan sebuah negara-bangsa di dalam sistem
dunia modern, yaitu tidak mampu memproyeksikan otoritas di atas
wilayah dan warga negaranya dan tidak mampu melindungi batas-batas
nasionalnya.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa berbagai aktivitas yang
diklasifikasikan dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) serta ayat (4) dari
UU Ormas tersebut merupakan aktivitas yang membahayakan
kedaulatan negara yang tentunya berpotensi besar untuk menyebabkan
negara kita jatuh menjadi sebuah negara gagal apabila terus menerus
dibiarkan.
UU Ormas ini sejatinya juga merupakan sebuah open legal policy,
dimana penerapan sanksi yang keras ini merupakan pilihan hukum
bersama antara DPR dan Pemerintah guna menanggulangi ancaman-
ancaman dari Ormas yang berpotensi membahayakan kedaulatan dan
109

persatuan NKRI. DPR RI mengutip pertimbangan putusan angka [3.17]


dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan:
“Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal
konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau
sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi
kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh
pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-
undang dinilai buruk, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya,
sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali
kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas,
rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable”.
Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan MK Nomor
010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan:
“Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui
kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan
penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan
dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat
dibatalkan oleh Mahkamah”.
Oleh karena itu, pasal a quo selain merupakan norma yang telah umum
berlaku, juga merupakan pasal yang tergolong sebagai kebijakan
hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang (open legal policy).
c. Risalah Pembahasan UU Ormas
Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis,
sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat
latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal a quo dalam
UU Ormas sebagaimana terlampir
Dengan demikian frasa pasal-pasal a quo bukan merupakan persoalan
konsitusionalitas melainkan pemberlakuan umum, demi terciptanya
pemerintahan NKRI yang demokratis berdasarkan hukum dan keadilan.
Sebagaimana UU Ormas adalah undang-undang organik dari UUD NRI
Tahun 1945, maka pasal-pasal a quo juga merupakan konkretisasi dari
perintah Pasal 28 1945.
110

Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar


kiranya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai
berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal I angka 6 s.d. 21, Frasa “atau paham lain” dalam
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal I angka 6 s.d. angka 21, frasa “atau paham lain” dalam
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang tetap memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden


menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Februari 2018 yang
kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2018 dan tanggal 27 Maret 2018 yang pada
pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON


Bahwa pada pokoknya Pemohon memohon untuk menguji:
Pasal 1 angka 6 sampai dengan angka 21 yang berbunyi sebagai berikut
111

“Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan (Lemabaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) diubah sebagai berikut :
6.Ketentuan Pasal 63 dihapus.
7.Ketentuan Pasal 64 dihapus.
8.Ketentuan Pasal 65 dihapus.
9.Ketentuan Pasal 66 dihapus.
10.Ketentuan Pasal 67 dihapus.
11.Ketentuan Pasal 68 dihapus.
12.Ketentuan Pasal 69 dihapus.
13.Ketentuan Pasal 70 dihapus.
14.Ketentuan Pasal 71 dihapus.
15.Ketentuan Pasal 72 dihapus.
16.Ketentuan Pasal 73 dihapus.
17.Ketentuan Pasal 74 dihapus.
18.Ketentuan Pasal 75 dihapus.
19.Ketentuan Pasal 76 dihapus.
20.Ketentuan Pasal 77 dihapus.
21.Ketentuan Pasal 78 dihapus.”
Pasal 59 ayat (4) huruf C berbunyi sebagai berikut
“Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran yang
bertentangan dengan Pancasila.”
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila” antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau
paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 62 ayat (3) berbunyi sebagai berikut
“Dalam hal ormas tidak memenuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana
dmaksud pada ayat (2), Mentri dan mentri yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar dan
pencabutan status badan hukum”
112

Pasal 80A yang berbunyi sebagai berikut


“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.”
Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap orang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas dengan sengaja
dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Setiap orang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas dengan sengaja
dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan b, dan ayat
(4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
terhadap UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Pasal 28 , yang berbunyi sebagai berikut:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 28C ayat (2) , yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Pasal 28D ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pasal 28G ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”
113

Pasal 28E ayat (2) , yang berbunyi sebagai berikut:


“Setiap orang berhak atas kebebasan meyaini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON


Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, Pemerintah
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur
oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007.

III. PENJELASAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN


OLEH PARA PEMOHON
1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa Negara Indonesia
adalah Negara hukum, mengandung makna bahwa perlindungan dan
penegakan hukum di Indonesia harus menciptakan perdamaian dan
ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945,
dan dalam rangka perlindungan dan penegakan hukum itulah, DPR telah
mengesahkan uu Ormas, yang mana uu a quo telah memberikan jaminan
perlindungan dan penegakan hukum terhadap kegiatan yang dapat
mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, antara lain kegiatan Ormas
tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain, ucapan,
pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun tertulis, melalui
media elektronik ataupun tidak memakai media elektronik, yang dapat
menimbulkan kebencian baik terhadap kelompok tertentu maupun
terhadap mereka yang termasuk ke dalam penyelenggara negara.
Tindakan tersebut merupakan tindakan potensial menimbulkan konflik
sosial antara anggota masyarakat sehingga dapat mengakibatkan
keadaan chaos yang sulit untuk dicegah dan diatasi aparat penegak
hukum. Untuk mengatasi keadaan tersebut itulah maka diperlukan UU
a quo yang bertujuan dalam rangka melindungi kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
114

2. Lebih lanjut disampaikan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh negara pada
hakikatnya memuat tanggung jawab dasar untuk melindungi individu-
individu, harta benda, dan untuk menjalankan fungsi pemerintahan di
wilayah teritorial masing-masing. Dengan kedaulatan yang ada pada
negara, negara diberi kekuasaan membentuk hukum sesuai karasteristik
negaranya. Karasteristik negara dapat mempengaruhi terciptanya hukum
yang berlaku pada suatu negara. Dengan terciptanya hukum sesuai
karasteristik negara maka hukum tidak hanya sebagai alat untuk mengatur
akan tetapi hukum dapat memberikan kemasyalahatan bagi bangsa dan
negara. Dengan hukum yang demikian maka negara dapat membuat
aturan sesuai kebutuhan baik pengaturan secara umum atau secara
khusus, termasuk pengaturan untuk mengantisipasi cepatnya
perkembangan dan banyaknya paham/ideologi dan ajaran yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang dibawa oleh ormas
yang berpotensi akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa yang
berdampak pada disintegrasi bangsa.
3. Hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan
pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap warga negara
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dijamin
oleh UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila. Eksistensi keberadaan
ormas sebagai wadah berserikat dan berkumpul adalah perwujudan
kesadaran dan tanggung jawab kolektif warga negara untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Ormas merupakan potensi masyarakat secara
kolektif, yang harus dikelola sehingga tetap menjadi energy positif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, negara
berkewajiban mengakui keberadaannya, dan menjamin keberlangsungan
hidup ormas.
4. Pada sisi lain, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga
negara baik secara individu maupun kolektif, berkewajiban untuk
menghormati hak dan kebebasan orang lain. Dalam konteks itu, negara
berkewajiban dan harus mampu mengelola dan mengatur keseimbangan,
keharmonisan dan keselarasan atara hak dan kebebasan individu dengan
hak dan kebebasan kolektif warga negara.
115

5. Dalam mengisi kemerdekaan, sesuai dengan dinamika perkembangan


masyarakat dan tata kelola Negara, ormas senantiasa hadir dan
memberikan kontribusi besar dalam pembangunan serta menjaga
kedaulatan bangsa dan negara. Oleh sebab itu, patut dicatat bahwa
sejarah keberadaan ormas pada bangsa dan negara lainnya. Hal ini
dipengaruhi antara lain karena perbedaan manusianya yang berorganisasi,
adanya perbedaan sistem sosial budaya dan sistem nilai yang melingkupi
manusia Indonesia dalam mengaktualisasikan diri dalam wadah ormas.
Dengan demikian, sistem hukum yang hendak dibangun dalam
memberikan pengakuan terhadap eksistensi dan perlindungan
keberlangsungan hidup ormas harus tetap berakar pada sejarah dan nilai-
nilai yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
6. Pemerintah berpendapat bahwa justru UU Ormas telah sejalan dengan uu
Administrasi Pemerintahan yang memuat asas contrarius actus yang
menjadi asas utama dalam ranah hukum administrasi yakni Pemerintah
yang berwenang menerbitkan izin terhadap ormas maka secara langsung
Pemerintah dapat pula mencabut ijin yang telah dikeluarkan dan apabila
Pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk secara langsung
mencabut izin yang telah diterbitkannya, akan tetapi harus melalui
mekanisme peradilan yang memakan waktu lama, maka hal tersebut justru
tidak menempatkan Pemerintah dalam posisi yang berimbang dengan
ormas.
7. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang antara lain menyatakan bahwa
dengan berlakunya Pasal 1 angka 6 s.d. 21 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 status badan hukum para Pemohon terancam dicabut dan
dibubarkan kapanpun oleh Pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap yang membuktikan pelanggaran yang dilakukan
para Pemohon dan apabila hal tersebut terjadi merupakan pelanggaran
atas hak-hak konstitusional Pemohon dalam hal mendapatkan jaminan
dalam proses hukum yang berkeadilan (due process of law), Pemerintah
berpendapat bahwa:
a. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum
yang mempunyai makna bahwa perlindungan dan penegakan hukum di
116

Indonesia harus tercipta perdamaian dan ketertiban umum


sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
b. Dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan, Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia.
c. Bahwa uu a quo telah memberikan perlindungan dan penegakan hukum
kepada warga negaranya sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D
ayat (1) yakni memuat segala upaya Pemerintah untuk menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara dapat
terpenuhi melalui pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul
dalam UU Ormas.
d. Berdasarkan American Institute of International Law pada tahun 1916,
Konvensi Montevideo 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
Negara, dan dalam Draft Declaration on the Right and Duties of State
yang disusun oleh Komisi Hukum lnternasional PBB Tahun 1949 hak-
hak dasar yang paling sering ditekankan, yaitu:
1. hak kemerdekaan;
2. hak persamaan negara-negara atau persamaan derajat;
3. hak yurisdiksi teritorial;
4. hak membela diri atau hak mempertahankan diri
5. kewajiban untuk tidak mengambil jalan kekerasan atau perang
6. kewajiban untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban traktat dengan
itikad baik
e. Sedangkan menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai
yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya.
Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang, benda, perkara pidana atau perdata dalam
batas-batas wilayahnya sebagai wujud kedaulatan negara. Semua
117

negara yang berdaulat harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang


dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara
perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial.
f. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara pada hakikatnya memuat
tanggung jawab dasar untuk melindungi individu-individu, harta benda
dan untuk menjalankan fungsi pemerintahan di wilayah terirorial masing-
masing.
g. Dengan kedaulatan yang ada pada negara, negara diberi kekuasaan
membentuk hukum sesuai karasteristik negaranya. Karasteristik negara
dapat mempengaruhi terciptanya hukum yang berlaku pada suatu
negara. Dengan terciptanya hukum sesuai karasteristik negara maka
hukum tidak hanya sebagai alat untuk mengatur akan tetapi hukum
dapat memberikan kemasyalakatan bagi bangsa dan negara. Dengan
hukum yang demikian maka negara dapat membuat aturan sesuai
kebutuhan baik pengaturan secara umum atau secara khusus.
h. Dengan demikian Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 80A Lampiran
UU Ormas merupakan wujud nyata kedaulatan negara dalam mengatur
eksistensi Ormas termasuk penjatuhan sanksi terhadap ormas tertentu
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, mengingat
berdasarkan sejarah, di Indonesia pernah tumbuh Ormas yang
mengusung ideologi atau paham yang tidak sejalan dengan ideologi
bangsa. Ormas tersebut berubah menjadi kekuatan politik yang
melakukan gerakan politik yang membahayakan integritas bangsa,
mengancam kerukunan dan toleransi. Ormas-ormas tersebut telah
terbukti menjadi elemen yang menjadi motor gerakan politik yang ingin
memisahkan diri dari NKRI atau merubah NKRI menajdi sistem
kenegaraan yang sesuai dengan ideologi atau ajaran yang mereka
inginkan. Ajaran yang membahayakan itu bisa bersumber dari ideologi
politik, filsafat dan juga ajaran agama. Atau dengan kata lain pasal-
pasal a quo memberikan jaminan kepastian hukum pengaturan
terhadap kegiatan ormas dalam kehidupan demokrasi yang menuntut
peran, fungsi, dan tanggung jawab ormas untuk berpartisipasi dalam
upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, serta menjaga
118

dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik


Indonesia.
i. Bahwa Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penjatuhan
sanksi terhadap Ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 selalu dilaksanakan dengan mendasarkan
pada peraturan perundang-undangan dengan hati-hati dan tidak
sewenang-wenang. Dalam Pasal 61 ayat (4) Lampiran UU a quo juga
mengatur bahwa Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM
dalam memberikan sanksi administrtif dapat meminta pertimbangan dari
instansi terkait, dengan demikian penjatuhan sanksi dilakukan
berdasarkan fakta dan pertimbangan dari berbgai instansi yang
memang mempunyai tupoksi berkenaan dengan urusan pemerintahan
di bidang politik, hukum, dan keamanan. Yang dimaksud dengan
"penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan
terdaftar dan pencabutan status badan hukum" adalah sanksi yang
bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam
Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Ormas
yang asas dan kegiatannya nyata-nyata mengancam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, sehingga Pemerintah berwenang melakukan pencabutan.
Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum Ormas sudah sesuai dengan asas contrarius actus, sehingga
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keterangan surat keputusan
juga berwenang untuk melakukan pencabutan.
j. Bahwa dalam mekanisme pemberian sanksi administratif kepada Ormas
sebagaimana diatur dalam UU a quo juga melalui pentahapan
peringatan tertulis dan/atau penghentian kegiatan dan terakhir
pembubaran ormas, dan bahwa pengaturan dalam UU a quo juga
secara nyata tidak menghalangi ormas untuk menempuh jalur
pengadilan, mengingat ormas yang dibubarkan melalui uu tetap dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan
demikian due process of law tetap dijamin. Sehingga dalil Pemohon
yang menyatakan bahwa pemberlakuan UU a quo menimbulkan
ketidakpastian hukum karena Pemerintah telah mengambil tugas hakim
119

dalam mengadili perkara (menjatuhkan hukuman) dengan cara


menjatuhkan hukuman lewat teks undang-undang adalah tidak tepat
dan keliru.
k. Pemerintah menerapkan sanksi administratif dengan tidak sewenang-
wenang karena mendasarkan tindakan tersebut pada peraturan
perundang-undangan yakni UU a quo sehingga asas legalitas dalam
hukum administrasi negara telah terpenuhi. Berdasarkan Pasal 61 ayat
(1) UU a quo, Pemerintah dalam menjatuhkan sanksi dilakukan melalui
pentahapan yakni peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau
pencabutan SKT atau pencabutan status badan hukum, sedangkan
berdasarkan Pasal 61 ayat (3) UU a quo, ormas yang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan pancasila maka langsung dijatuhkan sanksi
administratif berupa pencabutan Surat Keterangan Terdaftar oleh
Menteri Dalam Negeri atau pencabutan status badan hukum oleh
Menteri Hukum dan HAM, pembedaan sanksi administratif tersebut
menunjukkan penyebaran ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila sangatlah membahayakan serta mengancam
kedaulatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan oleh sebab itu sangat
mendesak untuk segera diberantas, sehingga diperlukan jenis sanksi
dan penerapannya yang bersifat luar biasa yakni langsung berupa
pembubaran ormas, tanpa terlebih dahulu dilakukan peringatan.
l. Bahwa Pencabutan SKT dan status badan hukum oleh Menkumham
dan Mendagri masuk dalam ranah hukum administrasi negara yakni
perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat administrasi Negara
berdasarkan wewenang istimewa dalam hal membuat suatu ketetapan
yang mengatur hubungan antara sesama administrasi negara maupun
antara administrasi negara dan warga masyarakat. Sehingga adalah
tepat pengaturan dalam UU a quo yang memberikan wewenang bagi
Pemerintah untuk segera mengambil tindakan terhadap ormas yang
menurut pandangan Pemerintah nyata-nyata menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan paham yang bertentangan
dengan Pancasila.
120

m. Selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang antara lain


menyatakan terdapat pengenyampingan asas due process of law dalam
UU a quo, Pemerintah menyampaikan bahwa sebagaimana diketahui,
dalam setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum
demokratis terdapat tiga asas penting yang melekat di dalamnya yaitu:
supremacy of law, equality before the law, dan due process of law, yang
berlaku sebagai prinsip dasar bagi hubungan warga negara. Artinya
permohonan Pemohon a quo baru dapat dipertimbangkan untuk
diterima jika dalam rangka due process of law terdapat norma undang-
undang yang menyebabkan Pemohon tidak memperoleh kepastian
hukum yang adil dan diperlakukan secara berbeda dengan warga
negara Indonesia lainnya yang berstatus sama dengan Pemohon.
Padahal dalam perkara ini, tidak ada pembedaan perlakuan antara
Pemohon dengan warga negara Indonesia lainnya di seluruh Indonesia
yang sama-sama dijamin hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul
dan mengeluarkan pendapatnya yang mana merupakan bagian dari hak
asasi manusia setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Pengaturan mengenai eksistensi keberadaan ormas yang merupakan
wadah berserikat dan berkumpul dalam UU a quo pun berlaku sama
untuk semua warga negara dan ormas, sehingga tidak ada diskriminasi
dalam ketentuan a quo.
n. Bahwa Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar”, oleh karena itu tanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan termasuk di dalamnya pengaturan mengenai organisasi
kemasyarakatan sebagaimana amanat Pasal 28, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (5), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal
28J ayat (2) UUD 1945, berada pada Pemerintah, dalam hal ini
Presiden.
o. Dengan demikian mengingat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka pilihan
kebijakan pemerintah termasuk pilihan pengaturan mengenai ormas
dalam UU a quo sepanjang mampu melindungi kedaulatan Negara
121

Kesatuan Republik Indonesia serta menjaga persatuan dan kesatuan


bangsa dengan menciptakan sistem hukum yang mampu menjamin
suasana dan iklim yang memungkinkan ormas untuk dapat tumbuh
secara sehat, mandiri, professional dan akuntabel berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, maka hal tersebut merupakan pilihan hukum
(legal policy) dari Pemerintah dan pilihan kebijakan yang demikian
tidaklah dapat diuji, kecuali dilakukan secara sewenang-wenang
(willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang
(detournement de pouvoir).
8. Bahwa Pemohon terhadap dalil para Pemohon halaman 13 yang antara
lain menyatakan frasa “atau paham lain” pada Penjelasan Pasal 59 ayat
(4) huruf c UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak jelas,
multi tafsir yang rentan digunakan secara serampangan oleh Pemerintah
untuk menjerat Ormas-ormas beserta pengurus dan anggotanya yang
berseberangan dengan tuduhan anti Pancasila, Pemerintah berpendapat:
a. Bahwa terdapat adagium yang berbunyi “het recht hink achter de feiten
ann” yang artinya “hukum selalu tertinggal tertatih tatih di belakang
peristiwa. Ungkapan hukum tersebut cukup menggambarkan alasan
dibalik munculnya frasa “atau paham lain” dalam Pasal a quo, bisa kita
bayangkan bahwa paham yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945 kita batasi hanya pada paham ateisme, komunisme/
marxisme-leninisme, maka sudah dapat diperkirakan menurut penalaran
yang wajar akan tertinggal dari perkembangan zaman yang begitu cepat
yang bisa saja memunculkan paham-paham baru yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga membahayakan keamanan
dan kedaulatan bangsa dan negara, untuk itulah diberi ruang pada frasa
“atau paham lain” sebagai mekanisme agar UU a quo dapat
menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Dan yang paling penting pada hakikatnya paham lain itupun dibatasi
hanya terhadap paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Dengan demikian Pemerintah tegaskan bahwa bahwa frasa “atau
paham lain” dalam UU a quo merupakan pengaturan yang sifatnya
antisipatif sebagai perwujudan langkah preventif atas hasil
pembelajaran Pemerintah setelah melihat fenomena yang ada di masa
122

lalu dan juga membaca fenomena yang berkembang pada masa kini.
Sehingga dapatlah dipahami bahwa frasa “atau paham lain” tidaklah
ditujukan sebagai alat pemerintah untuk secara serampangan menjerat
ormas, namun memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap
bangsa dan negara atas ancaman paham/ideologi yang berpotensi
mengancam kedaulatan dan kemanan NKRI.
b. Keadaan yang berpotensi dapat mengancam kedaulatan dan kemanan
NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, antara lain kegiatan
Ormas tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain,
ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun
tertulis, melalui media elektronik ataupun tidak memakai media
elektronik, yang menimbulkan kebencian baik terhadap kelompok
tertentu maupun terhadap mereka yang termasuk ke dalam
penyelenggara negara. Tindakan tersebut merupakan tindakan
potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat
sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah
dan diatasi aparat penegak hukum.
c. Bahwa perkembangan sekarang ini banyak ormas yang dalam
aktifitasnya ternyata mengembangkan paham/ideologi dan ajaran yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang tidak termasuk
dalam paham atheism, komunisme/marxisme-leninisme yang
berkembang sangat cepat di Indonesia.
d. Bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sangat
terbatas dalam hal definisi tentang ajaran yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 dimana didalam Pasal 59 ayat (4) disebutkan
bahwa yang dimaksud ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945 hanya terbatas pada atheism, komunisme/marxisme-
leninisme, sehingga dengan mendasarkan pada pertimbangan
sebagaimana telah dijelaskan pada huruf a sampai dengan c, adalah
tepat pengaturan dalam UU a quo yang memasukkan ketentuan frasa
“atau paham lain” sehingga diharapkan UU a quo dapat menyesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
perlindungan terhadap kedaulatan NKRI dari ancaman paham/ideology
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang tentunya
123

tidak hanya terbatas pada atheism, komunisme/marxisme-leninisme


saja.
e. Bahwa pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi
kemasyarakatan yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945
adalah perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas
bangsa Indonesia dan karenanya harus diberikan sanksi yang tegas
baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Bahwa dalam
mekanisme pemberian sanksi administratif kepada Ormas sebagaimana
diatur dalam Lampiran UU a quo yakni terhadap pelanggaran Pasal 21,
Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) juga melalui pentahapan
peringatan tertulis dan/atau penghentian kegiatan dan terakhir
pembubaran ormas, dan bahwa pengaturan dalam UU a quo juga
secara nyata tidak menghalangi ormas untuk menempuh jalur
pengadilan, mengingat ormas yang dibubarkan melalui UU tetap dapat
mengajukan gugatan ke PTUN, dengan demikian due process of law
tetap dijamin. Pun terhadap pengaturan sanksi pidana, Pemerintah
berpendapat bahwa pasal a quo merupakan pilihan kebijakan politik
hukum pidana yang dibangun dalam rangka untuk melaksanakan salah
satu yurisdiksi negara yakni mempertahankan negara dengan ancaman
dari dalam yaitu ormas tertentu yang tidak sejalan dengan Pancasila
dan UUD 1945.
f. Pertimbangan MK dalam perkara Nomor 002/PUU-1/2003 juncto
Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 menyatakan bahwa “Rakyat secara
kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberi mandat kepada
negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar besarnya
kemakmuran rakyat.
g. Dengan mendasarkan pada angka 4 tersebut maka dibentuklah UU
a quo yang memuat kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) terhadap ormas oleh
Pemerintah yang dimaksudkan agar memastikan bahwa kebebasan
berserikat dan berkumpul yang menjadi Hak Asasi warga tidak boleh
124

mengesampingkan hak dan kewajiban warga untuk mengamalkan dan


memperkuat ideologi bangsa. Atau dengan kata lain pengaturan dalam
UU a quo diperlukan agar jangan sampai kebebasan Ormas digunakan
untuk menyebarkan ideologi yang mengancam ideologi bangsa.
9. Terhadap dalil para Pemohon halaman 21 angka 4, yang antara lain
menyatakan Pasal 80A UU a quo bertentangan dengan Pasal 28, Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena
hak asasi dalam kemerdekaan berkumpul dan berserikat tidak dapat
dihapus hanya dengan pencabutan surat keterangan terdaftar/status
badan hukum”, Pemerintah berpendapat:
a. Pemerintah tegaskan bahwa, UU a quo sama sekali tidak menghalangi
kebebasan berserikat dan berkumpul Pemohon sebagaimana dijamin
oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, UU Ormas justru memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat yang secara sukarela
berkeinginan membentuk ormas berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dengan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
b. UU a quo justru diperlukan dalam rangka melaksanakan amanah Pasal
28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak
asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merujuk pada keadilan
bagi warga negara dalam proses berbangsa dan bernegara dalam
mengemukakan pendapatnya, sehingga muncul keseimbangan antara
pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul dengan kewajiban
untuk melindungi dan menghormati hak asasi orang lain sebagaimana
diatur dalam Pasal 28J yang berbunyi, “Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.”
c. Namun demikian perlu diingat bahwa dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
125

menjamin pengakuan serta penghonnatan atas hak dan kebebasan


orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
d. Selanjutnya, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD 1945 di atas
dapat disimpulkan bahwa konsep hak asasi manusia berdasarkan UUD
1945 tidak bersifat absolut (relatif). Hal ini sejalan dengan pandangan
ASEAN di dalam butir pertama dan kedua Bangkok Declaration on
Human Rights 1993.
e. Hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan
pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap warga
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang dijamin oleh UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila. Eksistensi
keberadaan ormas sebagai wadah berserikat dan berkumpul adalah
perwujudan kesadaran dan tanggung jawab kolektif warga Negara untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Ormas merupakan potensi
masyarakat secara kolektif, yang harus dikelola sehingga tetap menjadi
energi positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Untuk itu, negara berkewajiban mengakui keberadaannya,
dan menjamin keberlangsungan hidup ormas.
f. Pada sisi lain, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga
negara baik secara individu maupun kolektif, berkewajiban untuk
menghormati hak dan kebebasan orang lain. Dalam konteks itu, negara
berkewajiban dan harus mampu mengelola dan mengatur
keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan atara hak dan
kebebasan individu dengan hak dan kebebasan kolektif warga negara.
g. Pengaturan tersebut dimaksudkan semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghargaan atas hak dan kebebasan orang lain, dan
pemenuhan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
sosial budaya, agama, keamanan, ketentraman dan ketertiban umum
untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
itu, Pemerintah wajib menjaga agar aktivitas Ormas tetap pada koridor
hukum yang berlaku, baik hukum positif maupun norma, nilai-nilai, moral
dan etika yang berlaku di masyarakat.
126

h. Demi menciptakan hubungan yang harmonis antara rakyat/warga


negara dan pihak penguasa (pemerintah), pihak pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan negara harus dapat melaksanakan pemerintahan
yang mengedepankan prinsip-prinsip negara hukum demokratis. Selain
itu, rakyat sendiri juga harus dapat memahami hak dan kewajibannya
sebagai warga negara yang baik. Dalam hal ini, harus diperhatikan agar
supaya keperluan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan
negara di satu pihak diimbangi sebaik-baiknya dengan falsafah
Pancasila, dengan ketentuan-ketentuan dari konstitusi dengan asas-
asas negara hukum demokrasi yang tersimpul dalam “the Rule of Law”,
dengan prinsip-prinsip demokrasi serta dengan hak-hak dasar
masyarakat.
i. Bahwa selain itu, menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 28D ayat (1)
yang memuat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil sebagai hak asasi yang dilindungi oleh UUD 1945 tidaklah
bersifat mutlak akan tetapi pembatasan tertentu yang dibenarkan
sebagimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) yang menentukan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama keamanan,
dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis. [vide Putusan
Mahkamah dalam perkara Nomor 055/PUU-II/2005 dan perkara Nomor
14-17/PUU-V/2007].
10. Terhadap dalil para Pemohon halaman 24 angka 5, yang antara lain
menyatakan bahwa “Pasal 82A ayat (1), dan ayat (2) juncto Pasal 59 ayat
(3) dan ayat (4) UU a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena multi tafsir dan tidak ketat yang
dapat menjerat Para Pemohon hanya karena statusnya sebagai pengurus
atau anggota ormas,” Pemerintah berpendapat:
a. Para Pemohon seharusnya dapat memahami terlebih dahulu apa yang
menjadi tugas dan tanggung jawab pengurus ormas yakni dalam Pasal
29 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2013 disebutkan bahwa Kepengurusan
127

Ormas di setiap tingkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan Ormas, dengan
demikian jelas bahwa Ormas dalam pengelolaannya termasuk
berkegiatan tentu diwakili oleh para pengurus dan/atau anggotanya,
sehingga dalam hal Ormas melakukan kegiatan yang dilarang
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) berarti
pengurus dan/atau anggotanya lah yang yang melakukan kegiatan yang
dilarang dan karenanya pengurus dan/atau anggota Ormas
bertanggung jawab untuk itu dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 82A
ayat (1) dan (2) uu a quo dan untuk ormas tersebut dapat diberikan
sanksi berupa peringatantertulis, penghentian kegiatan dan/atau
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum.
b. Untuk anggota ormas, maka sejauhmana pertanggungjawaban anggota
ormas terhadap kegiatan-kegiatan ormas yang melanggar hukum,
tentunya dapat dikembalikan pada AD/ART masing masing ormas yang
memuat hak dan kewajiban anggota masing-masing ormas.
c. Dalam konteks keIndonesiaan maka tujuan hukum pidana harus sesuai
dengan falsafah pancasila yang mampu membawa kepentingan yang
adil bagi seluruh warga negara. Lebih lanjut disebutkan bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, artinya hukum pidana menjadi instrumen Negara yang
bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman,
tentram, dan tertib. Bahwa Indonesia sebagai negara hukum telah
dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Frederich Julius Sthal, ada
tiga ciri negara hukum yakni perlindungan hak asasi manusia,
pembagian kekuasaan, dan pemerintaahan berdasarkan UUD 1945.
Demikian pula menurut AV Dicey bahwa ciri dari Rule of law adalah
supremasi hukum, persamaan didepan hukum, dan proses hukum yang
adil. Supremasi hukum bermakna bahwa hukum mengedepankan
undang-undang untuk mencegah kesewenangan negara terhadap
warga negara. Untuk mewujudkan Negara hukum itulah maka
pembentuk undang-undang menyusun ketentuan pidana dalam UU
128

a quo agar dalam upaya mencapai tata kehidupan bangsa yang


sejahtera, aman, dan tertib, Pemerintah tidak sewenang-wenang dalam
menjatuhkan sanksi terhadap tindakan dan/atau kegiatan setiap orang
termasuk ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
yakni dengan mendasarkan segala tindakan Pemerintah berkenaan
penjatuhan sanksi pada UU a quo.
d. Prinsip Negara hukum diatas diatur dalam batang tubuh UUD 1945,
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sehingga
dalam kerangka menegaskan konsekuensi negara hukum maka sudah
sangat logis negara membentuk peraturan perundang-undangan
termasuk ketentuan pidana dalam UU a quo yang dijadikan sebagai
dasar penggunaan kewenangan negara dalam mempertahankan
ketertiban dan menerapkan hukuman pada pelaku termasuk di
dalamnya Ormas yang menyebabkan ketidaktertiban dalam kehidupan
bermasyarakat, serta mengancam kedaulatan negara.
e. Bahwa secara doktriner, fungsi hukum pidana secara umum tidak
berbeda dengan fungsi hukum pada umumnya yaitu menciptakan atau
menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat atau dengan kata lain
menjaga ketertiban umum. Sementara secara khusus, hukum pidana
dikatakan memiliki fungsi melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan yang hendak melawan/mengancamnya melalui penjatuhan
sanksi berupa pidana. Berkenaan dengan fungsi khusus hukum pidana
tersebut, kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum
pidana itu baik berupa kepentingan individu, kepentingan masyarakat,
maupun kepentingan negara. Oleh karena itulah dalam UU a quo
terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang larangan terhadap Ormas
dan sanksi nya yakni peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum beserta ancaman pemidanaan terhadap pengurus dan/atau
anggota ormas yang dengan sengaja baik secara langsung maupun
tidak langsung melakukan tindakan yang dilarang dalam UU a quo yang
dapat mengancam ketertiban bermasyarakat dan kedaulatan bangsa
dan negara. Dengan demikian, secara doktriner maupun praktik negara-
negara, terdapat pandangan di kalangan yuris yang secara universal
129

telah diterima sebagai hukum (opinion juris sive necessitates) bahwa


negara pun memiliki kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
pidana dari perbuatan yang hendak melawan dan/atau mengancamnya.
Oleh karena itu, tindakan setiap orang termasuk ormas yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dapat dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap negara dan karenanya adalah
konstitusional diatur dalam UU a quo. Artinya, keberadaan norma
hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan terhadap Negara an
sich tidak serta merta dapat dijadikan dasar argumentasi untuk
menyatakan suatu negara telah bertindak sewenang-wenang.
f. Selanjutnya terhadap dalil para Pemohon halaman 27 angka 9 yang
antara lain menyatakan “bahwa selain mengandung ketidakjelasan
dalam merumuskan perbuatan pidana, Pasal 82A ayat (1) dan (2) UU
Ormas juga mengandung perumusan yang tidak ketat oleh karena
menggunakan frasa “secara tidak langsung melanggar ketentuan”
sebagai unsur pembentuk delik”, Pemerintah berpendapat: bahwa yang
dimaksud "dengan sengaja" adalah adanya niat atau kesengajaan
dalam bentuk apapun (kesengajaan dengan kemungkinan, kesengajaan
dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu,
kesengajaan telah nyata dari adanya "persiapan perbuatan"
(voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai
perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat.
g. Bahwa yang dimaksud dengan secara “langsung atau tidak langsung”
adalah pernyataan pikiran dan atau kegiatan ormas yang sejak
pendaftaran untuk disahkan sebagai badan hukum atau bukan badan
hukum, telah memiliki niat jahat (mens-rea) atau itikad tidak baik yang
terkandung dibalik pernyataan tertulis pengakuan sebagai Ormas yang
berasaskan Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dan tercantum di
dalam Anggaran Dasar Ormas, namun di dalam kegiatannya
terkandung pikiran atau perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945.
11. Jika hal ini dikabulkan Pemerintah sangat keberatan karena akan
membawa dampak yang sangat berat bagi Pemerintah untuk bertindak
melindungi segenap bangsa dan negara baik ancaman dari dalam maupun
130

luar, yang artinya menghilangkan norma hukum berarti menimbulkan


kekosongan hukum.
12. Bahwa Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh
masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran
dalam membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran-
pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat
berharga bagi Pemerintah pada khususnya dan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Pemerintah berharap agar
dialog antara masyarakat dan Pemerintah tetap terus terjaga dengan satu
tujuan bersama untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara
demi masa depan Indonesia yang lebih baik dan mengembangkan dirinya
dalam kepemerintahan dengan tujuan ikut berkontribusi positif
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dalam Alinea
Keempat UUD 1945.
IV. PETITUM
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang
Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal I angka 6 s.d. 21, Pasal
62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Lampiran Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, untuk memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan Pasal I angka 6 s.d. 21, Pasal 59 ayat (4) huruf c dengan
Penjelasan, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
131

Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang tidak bertentangan


dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana
dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Selain menyampaikan keterangan di atas, Presiden menyampaikan


keterangan tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22
Februari 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut.
a. Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan sanksi administratif dalam uu
Ormas telah sejalan dengan UU Administrasi Pemerintahan yang memuat
asas contrarius actus yang menjadi asas utama dalam ranah hukum
administrasi yakni Pemerintah yang berwenang menerbitkan izin terhadap
Ormas maka secara langsung Pemerintah dapat pula mencabut izin yang telah
dikeluarkan dan apabila Pemerintah tidak mempunyai kewenangan untuk
secara langsung mencabut ijin yang telah diterbitkannya, akan tetapi harus
melalui mekanisme peradilan yang memakan waktu lama, maka hal tersebut
justru tidak menempatkan Pemerintah dalam posisi yang berimbang dengan
Ormas.
b. Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap
ormas yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 selalu
dilaksanakan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan
dengan hati-hati dan tidak sewenang-wenang. Dalam Pasal 61 ayat (4)
Lampiran UU a quo juga mengatur bahwa Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Hukum dan HAM dalam memberikan sanksi administrtif dapat meminta
pertimbangan dari instansi terkait, dengan demikian penjatuhan sanksi
dilakukan berdasarkan fakta dan pertimbangan dari berbgai instansi yang
memang mempunyai tupoksi berkenaan dengan urusan pemerintahan di
bidang politik, hukum, dan keamanan. Yang dimaksud dengan "penjatuhan
sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan
pencabutan status badan hukum" adalah sanksi yang bersifat langsung dan
segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-
nyata mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga Pemerintah berwenang
132

melakukan pencabutan. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau


pencabutan status badan hukum Ormas sudah sesuai dengan asas contrarius
actus, sehingga pejabat yang berwenang menerbitkan surat keterangan surat
keputusan juga berwenang untuk melakukan pencabutan.
c. Dalam mekanisme pemberian sanksi administratif kepada Ormas
sebagaimana diatur dalam UU a quo juga melalui pentahapan peringatan
tertulis dan/atau penghentian kegiatan dan terakhir pembubaran ormas, dan
bahwa pengaturan dalam UU a quo juga secara nyata tidak menghalangi
ormas untuk menempuh jalur pengadilan, mengingat ormas yang dibubarkan
melalui uu tetap dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara, dengan demikian due process of law tetap dijamin. Sehingga dalil
Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan UU a quo menimbulkan
ketidakpastian hukum karena Pemerintah telah mengambil tugas hakim dalam
mengadili perkara (menjatuhkan hukuman) dengan cara menjatuhkan
hukuman lewat teks undang-undang adalah tidak tepat dan keliru.
d. Pemerintah menerapkan sanksi administratif dengan tidak sewenang-wenang
karena mendasarkan tindakan tersebut pada peraturan perundang-undangan
yakni UU a quo sehingga asas legalitas dalam hukum administrasi negara
telah terpenuhi. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) UU a quo, Pemerintah dalam
menjatuhkan sanksi dilakukan melalui pentahapan yakni peringatan tertulis,
penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan SKT atau pencabutan status
badan hukum, sedangkan berdasarkan Pasal 61 ayat (3) UU a quo, ormas
yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan pancasila maka langsung dijatuhkan sanksi
administratif berupa pencabutan Surat Keterangan Terdaftar oleh Menteri
Dalam Negeri atau pencabutan status badan hukum oleh Menteri Hukum dan
HAM, pembedaan sanksi administratif tersebut menunjukkan penyebaran
ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila sangatlah
membahayakan serta mengancam kedaulatan, persatuan dan kesatuan
bangsa dan oleh sebab itu sangat mendesak untuk segera diberantas,
sehingga diperlukan jenis sanksi dan penerapannya yang bersifat luar biasa
yakni langsung berupa pembubaran ormas, tanpa terlebih dahulu dilakukan
peringatan.
133

e. Bahwa Pencabutan SKT oleh Mendagri dan status badan hukum oleh
Menkumham masuk dalam ranah hukum administrasi negara yakni perbuatan
hukum yang dilakukan oleh aparat administrasi negara berdasarkan
wewenang istimewa dalam hal membuat suatu ketetapan yang mengatur
hubungan antara sesama administrasi negara maupun antara administrasi
Negara dan warga masyarakat. Sehingga adalah tepat pengaturan dalam UU
a quo yang memberikan wewenang bagi Pemerintah untuk segera mengambil
tindakan terhadap ormas yang menurut pendangan Pemerintah nyata-nyata
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham yang bertentangan
dengan Pancasila.
f. Pasal 59 UU a quo berbunyi sebagai berikut:
(1). Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama
dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara
lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau
bendera Ormas; dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai
politik.
(2). Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan
dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/ atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3). Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia
c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas social;
dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(4). Ormas dilarang:
a. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau symbol organisasi
yang Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau symbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang;
b. Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila.
134

g. Selanjutnya dalam Pasal 62 terdapat gradasi penjatuhan sanksi terhadap


ormas yang melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut diatas, yakni untuk Ormas
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51,
dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif [Pasal 60 ayat
(1)], sedangkan untuk ormas yang melanggar Ormas yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan
ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana Pasal 60 ayat (2).
h. Untuk sanksi administratif yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran Pasal
21. Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) berupa peringatan tertulis,
penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum [Pasal 61 ayat (1)].
i. Penjatuhan sanksi administratif tersebut diatas bersifat hirarki, yakni harus
didahului dengan pemberian peringatan tertulis, apabila tidak mengindahkan
peringatan tertulis, maka baru dapat dijatuhkan sanksi penghentian kegiatan,
dan terkahir apabila masih tidak mengindahkan pemberian sanksi penghentian
kegiatan, maka dapat dijatuhi sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar
atau pencabutan status badan hukum (Pasal 62).
j. Sedangkan untuk pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4), sanksi
yang diberikan berbeda dengan pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (1) dan
ayat (2) yang memungkinkan hirarki, maka sanksi untuk pelanggaran Pasal 59
ayat (3) dan ayat (4) adalah langsung berupa pencabutan surat keterangan
terdaftar oleh Menteri Dalam Negeri atau pencabutan status badan hukum
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia [Pasal 61 ayat (3)].
k. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penjatuhan sanksi
administratif terhadap ormas dapat berbeda tergantung jenis pelanggarannya,
untuk ormas yang melanggar Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan
ayat (2) berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum,
dan penjatuhan sanksi administratif dimaksud bersifat hirarki.
l. Sedangkan untuk pelanggaran ormas terhadap ketentuan Pasal 52 dan Pasal
59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan surat
keterangan terdaftar oleh Menteri Dalam Negeri atau pencabutan status badan
hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan/atau sanksi pidana
135

dan penjatuhan sanksi administratifnya tidak bersifat hirarki, karena langsung


dapat dicabut SKT atau status badan hukumnya.
m. Terhadap revisi UU a quo saat ini masih dilakukan pengkajian dan
penyelarasan untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan
peraturan perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga dapat mencegah tumpang
tindih pengaturan atau kewenangan, serta menjaring aspirasi masyarakat serta
para pemangku kepentingan, sehingga diharapkan RUU Ormas dapat menjadi
solusi yang lebih baik terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat dan mampu melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan
menciptakan sistem hukum yang menjamin suasana dan iklim yang
memungkinkan ormas untuk dapat tumbuh secara sehat, mandiri, professional
dan akuntabel berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

[2.5] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden


mengajukan seorang ahli bernama Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, S.H., LLM
yang keterangan tertulisnya telah diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal
16 Maret 2018, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Pendahuluan
UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
diundangkan dengan tujuan mengatur perizinan, pendirian dan aktivitas Ormas di
dalam kehidupan bangsa Indonesia. UU ormas sesungguhnya mencerminkan
itikad baik pemerintah di dalam mewujudkan ketentuan Pasal 28 UUD 1945 yang
menjamin kemerdekaan setiap orang untuk berserikat dan berkumpul, termasuk
penerbitan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum.
UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dilengkapi dengan ASAS, CIRI,
dan SIFAT ORMAS (Pasal 2); TUJUAN, FUNGSI DAN RUANG LINGKUP (Pasal
5). Di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 secara eksplisit kalimat, “tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”
yang mencerminkan bahwa kedudukan Pancasila dan UUD 1945 di dalam Negara
Kesatuan RI, merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia, dan penegasan
136

kembali rangkaian kalimat dari alinea ke-empat yang antara lain menyatakan
sebagai berikut:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar, yang terbentuk dalam suatu negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945, yang memuat kelima nilai
Pancasila merupakan landasan bangun Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk tujuan melindungi dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, dan ikut
melaksanakan perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi atau tergantikan ataupun digantikan dengan idiologi lain selain Pancasila
yang dicantumkan di dalam UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Penegasan dimaksud memberikan sinyal kuat bahwa, di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia setiap ide-ide atau insiatif atau ajakan baik langsung
maupun tidak langsung orang perorangan atau organisasi kemasyarakatan atau
organisasi lain yang berkehendak menggantikan Pancasila dan UUD 1945, adalah
ide-ide, insiatif atau ajakan yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Selain dasar konstitusional, kedudukan hukum
Pancasila telah dikunci dan diperkuat di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mencantumkan secara
eksplisit bahwa, PANCASILA MERUPAKAN SUMBER SEGALA SUMBER
HUKUM NEGARA. Kedudukan hukum Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum negara mengandung arti bahwa, Pancasila harus dijadikan dasar rujukan
utama dalam setiap aktivitas organisasi kemasyarakatan, dan aktivitas perorangan
lain. Namun demikian, hasil proses legislasi tersebut masih mengandung beberapa
kekeliruan setidak-tidaknya merupakan kelemahan mendasar. Kelemahan
mendasar tersebut, adalah, pertama, UU Nomor 17 Tahun 2013 telah luput
memagari Pancasila dalam bentuk larangan dan sanksi pidana disamping sanksi
administratif. Kedua, UU a quo hanya membatasi lingkup aktivitas Ormas yang
bertentangan dengan Pancasila hanya terhadap penyebaran paham komunisme,
137

marxisme, dan lenininsme, dan tidak dapat menjangkau aktivitas penyebarluasan


paham lain yang juga memuat pertentangan dengan Pancasila. Dari sudut
pendekatan abstraksi-yuridis-logis, penormaan sedemikan sangat naif jika
terhadap setiap aktivitas organisasi kemasyarakatan yang secara langsung atau
tidak langsung bertentangan dengan Pancasila, tidak dilarang dan tidak ancam
pidana. Ketiga, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, telah memberikan
sanksi yang berbeda dan bersifat diskriminatif terhadap perbuatan organisasi
kemasyarakatan yang merupakan kejahatan dan/atau pelanggaran yang sama
dibandingkan dengan perbuatan yang sama dengan sanksi berbeda yang diatur
dalam KUHP. Perbedaan yang cenderung diskriminatif tersebut tampak dari
ketentuan jenis sanksi pada kedua undang-undang tersebut (UU Ormas dan
KUHP) yaitu sanksi di dalam UU Ormas hanya sanksi administratif, sementara di
dalam KUHP, perbuatan yang sama justru diancam pidana penjara. Bandingkan
dengan Pasal 59 ayat (2) juncto Pasal 61 UU Nomor 17 tahun 2013 yaitu:
peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah; penghentian sementara
kegiatan; dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum; dengan Bab II Kejahatan terhadap Keamanan Negara dan
kejahatan penodaan agama. Ketiga, selain dari kelemahan penormaan larangan
dan sanksi dalam UU Ormas, implementasi sanksi administratif khusus
pencabutan izin organisasi kemasyarakatan memerlukan waktu yang cukup lama
sampai dengan putusan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung sehingga
negara/pemerintah tidak dapat segera hadir di tengah-tengah masyarakat untuk
mencegah kemungkinan meluasnya konflik sosial di dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan keadaan dan masalah UU Nomor 17 Tahun 2013 di atas
maka dalam konteks peranan dan hubungan antara negara dan organisasi
kemasyarakatan di satu sisi, dan di sisi lain, demi perlindungan atas jaminan
kepastian hukum yang adil dalam kehidupan dan aktivitas organisasi
kemasyarakatan secara keseluruhan, UU Nomor 16 Tahun 2017 telah mencabut
19 (sembilan belas) pasal dan mengubah 3 (tiga) pasal serta menyisipkan 1 (satu)
bab (BAB XVII A) dengan 2 (dua) pasal baru.
Pemberlakuan UU Nomor 16 Tahun 2017 yang semula dalam bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti UU dalam sejarah legislasi di Indonesia bukan
hal yang baru. Pemberlakuan dan perubahan perundang-undangan baik melalui
revisi atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang sudah sejalan dengan
138

pernyataan ahli hukum sejak Frederich Karl Von Savigny lebih dari satu abad yang
lampau, dan masih tetap berlaku sampai saat ini, terkenal dengan kata-katanya,
“Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke”( hukum tidak dibuat
tetapi berkembang bersama masyarakatnya). Teori hukum modern pertengahan
abad 19 dan awal abad 20 juga ditandai dengan paham yang serupa yaitu
munculnya paham sociological jurisprudence, dari Roscoue Pound, mantan Hakim
MA di AS, yang telah menegaskan, bahwa sumber hukum bukan hanya undang-
undang (hukum yang tertulis) tetapi juga hukum yang tidak tertulis atau
yurisprudensi tetap. Pernyataan aliran/paham sociological jurisprudence semakin
melunturkan paham positivisme hukum-legal positivism- yang berkembang dalam
praktik peradilan abad 18 sampai saat ini terutama di negara-negara yang
menganut sistem hukum Common Law.
Perkembangan baru di dalam sistem-sistem hukum di dunia, yaitu antara
sistem hukum Civil Law dan Common Law, atau pergeseran yang bersifat
transcedental sehubungan dengan perkembangan teknologi modern; telah
menembus sekat-sekat yang bersifat parochial untuk membuka kemungkinan
perubahan dalam cara memandang dan menempatkan hukum sebagai sarana (as
a tools) rekayasa sosial dalam arti untuk kemajuan peradaban masyarakat/bangsa.
Contoh terkini dan relevan sampai saat ini, perubahan bentuk dan susunan
perundang-undangan sebagai sumber hukum: dari pengakuan sumber hukum
tertulis menuju ke arah pengakuan sumber hukum tidak tertulis-hukum kebiasaan
(common law) atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dan dijadikan rujukan dalam putusan pengadilan kemudian-yurisprudensi
tetap. Contoh lain, pemuliaan hak asasi manusia, yang tidak lagi bersifat absolut
(mutlak) melainkan juga di akui bersifat relatif (Bangkok Declaration, ……).
Isu Non-Retroaktif dan prinsip “Due Process of Law”.
Isu yang sering dikemukakan ahli pemohon dalam kaitan berlakunya UU
Nomor 16 Tahun 20017, antara lain tentang asas non-retroaktif suatu undang-
undang. Isu hukum tersebut dalam konteks idiologi atau pandangan hidup
kelompok ormas tertentu masih dapat diperdebatkan, apakah suatu idiologi atau
pandangan hidup atau “way of life” merupakan suatu tindakan (act) atau suatu
“immaterial facts” yang dapat diancam pidana? Pertanyaan tersebut sehubungan
dengan doktrin hukum pidana klasik selama ini selalu berpedoman pada “hukum
pidana atas perbuatan (daadstrafrecht)” bukan pada pikiran manusia. Dalam
139

konteks ini, doktrin hukum pidana menempatkan unsur locus delicti dan tempus
delicti sebagai unsur penting sekaligus prasyarat yang harus dicantumkan dalam
setiap surat dakwaan; begitupula berdasarkan KUHAP [Pasal 143 ayat (2) b
KUHAP]. Namun sejalan dengan perkembangan lalu lintas dan mobilitas
masyarakat dari satu negara ke negara lain yang didorong oleh perkembangan
teknologi modern, kedua prasyarat tersebut tidak lagi menjadi penting misalnya
dalam pendakwaan kejahatan siber di mana locus delicti dimungkinkan
perpindahan/perubahan tempat peristiwa pidana.
Dalam kaitan suatu pandangan hidup atau way of life terlebih suatu idiologi
perkenankan ahli menyampaikan bahwa, ia merupakan kesatuan pemikiran/ide/
pandangan tentang asas dan tujuan yang hendak dicapai terkait kehidupan suatu
bangsa, dan ia juga merupakan ide/gagasan yang tidak lahir seketika dan sesaat
melainkan merupakan hasil nalar (olah pikir) baik dari aspek historis, sosiologis,
maupun aspek budaya, atau keyakinan, yang disusun secara sistematis di dalam
suatu konsep/pemikiran tertentu dan telah berlangsung lama, contoh paham
komunisme, marxisme dan leninisme. Ketika seseorang atau sekelompok orang
menyatakan dirinya menganut paham tertentu maka seketika itupula paham
tersebut melekat pada dirinya sampai akhir hayatnya.
Dalam konteks pemikiran tentang paham/idiologi/pandangan hidup
tersebut sulit untuk menemukan justifikasi bahwa, ia masih relevan dipertautkan
dengan tempus (waktu) dan locus (tempat) peristiwa tertentu; ia bersifat abadi
(eternal) dan tidak lekang oleh pergantian peradaban manusia. Intinya, ahli
menolak keabsahan penerapan asas non-retroaktif terhadap suatu pandangan
hidup atau way of life apalagi terkait pandangan hidup atau way of life yang secara
- langsung atau tidak langsung bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,
dan kemungkinan (Terkait pengertian “kemungkinan” disini, doktrin hukum pidana
mengakui 3 (tiga) macam dolus yaitu: dolus dengan kesadaran akan keniscayaan
akibat (opzet noodzakelijkheidisbewutstzijn), dolus. Dengan kesadaran akan
besarnya kemungkinan (opzet metwaarschijnleikssbewutszijn), dan kesengajaan
bersyarat (opzet met mogelijkheidsbewutszijn, voorwardelijke opzet) atau dolus
eventualis (J. Remmelink, Hukum Pidana; Gramedia,2003, halaman 153-155)
berdampak sosial serius di dalam kehidupan bangsa yang bercita-cita satu negara
kesatuan dalam wadah Pancasila dan UUD 1945.
140

Berdasarkan uraian fakta di atas semakin jelas bahwa, UU Nomor 17


Tahun 2013 tentang Keormasan telah tidak memberikan kesempatan kepada
Negara/pemerintah untuk hadir secara maksimal (optimal) dan tuntas
menyelesaikan atau mencegah kegiatan organisasi kemasyarakatan yang dapat
menimbulkan konflik sosial berkepanjangan di dalam kehidupan bangsa dan
negara; keadaan situasi sosial sedemikan telah termasuk “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Putusan MKRI Nomor 138/PUU-
UI/2009.
Substansi baru yang terdapat pada Perpu Ormas Nomor 2 Tahun 2017
dan telah disahkan dengan UU RI Nomor 16 tahun 2017 dilandaskan pandangan
sebagai berikut:
1. Reorientasi dan penegasan kembali bahwa latar belakang filosofis
pembentukan perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keormasan,
adalah, prinsip hak asasi manusia yang bersifat parokhial dan relatif bukan
berdasarkan prinsif HAM Universal dan bersifat absolut.
2. Reorientasi sekaligus meluruskan penempatan asas hukum administrasi,
contrario actus, yang tepat di dalam menata kehidupan organisasi
kemasyarakatan di Indonesia agar tercipta perlindungan jaminan kepastian
hukum dan keadilan bagi sikap mayoritas organisasi kemasyarakatan pada
umumnya yang mematuhi dan secara konsisten Pancasila dan UUD 1945.
3. Evaluasi sekaligus penataan kembali prosedur pemberian dan jenis sanksi
yang tepat terhadap aktivitas organisasi kemasyarakatan yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945, baik mengenai jenis sanksi administratif
maupun jenis sanksi pidana penjara dengan tetap mempertimbangkan gradasi
perbuatan atau ancaman sosial yang terjadi di dalam masyarakat luas.
4. Keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi setiap organisasi
kemasyarakatan sehingga diharapkan tercipta kepastian hukum yang adil dari
perlakuan Negara terhadap organisasi kemasyakatan sekaligus membedakan
tingkat kepatuhan ormas terhadap peraturan perundangan yang berlaku.
Ketentuan UU Nomor 16 Tahun 2017 yang dianggap krusial dan
bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah tercantum dalam permohonan
uji materi dengan perkara Nomor 2/PUU-XVI/2018 telah diberikan jawaban resmi
oleh pemerintah dan DPR RI sehingga tidak perlu ahli ulangi kembali.
141

Selain pandangan ahli di atas, perlu ahli sampaikan beberapa hal sebagai
berikut:
1) Bahwa Indonesia yang merupakann negara hukum modern mengakui baik
hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis termasuk hukum adat dan
yurisprudensi tetap. Dinamika perkembangan hukum di Indonesia termasuk
perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 – UU Nomor 16 Tahun 2017, diakui
merupakan hasil dari perpaduan nalar teoritik dan nalar empiris yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga setiap perubahan
perundang-undangan dipastikan bukan hanya merupakan kehendak politik
(political will) pemegang mandat kedaulatan rakyat (negara) semata,
melainkan juga harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan
komparatif.
2) Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 dan UU Nomor 16 Tahun 2017 dibedakan
12 (dua belas) jenis perbuatan yang dilarang, dan dapat dibedakan dalam dua
golongan sifat perbuatan, yaitu perbuatan yang dilarang dengan ancaman
sanksi administratif, perbuatan yang dilarang dengan ancaman sanksi pidana,
dan atau ancaman kedua jenis sanksi tersebut. Ketiga golongan sifat
larangan tersebut termasuk ancaman sanksi pidana adninistratif dilandaskan
pada prinsip ultimum remedium atau ultima ratio principle yaitu sanksi pidana
diterapkan jika ancaman sanksi administratif tidak efektif atau situasi dan
keadaan sekitar perbuatan yang dilarang memerlukan digunakan penerapan
sanksi pidana dibandingkan dengan sanksi administratif, misalnya, perbuatan
Ormas yang melakukan tindakan seolah-olah sebagai penegak hukum telah
menimbulkan kerusakan dan cacat fisik atau tindakan ormas yang secara
terang-terangan telah menodai agama tertentu atau memusuhi golongan
tertentu atau agama tertentu serta perbuatan separatisme.
3) Bagi Ormas yang telah didirikan sebagai badan hukum atau bukan badan
hukum dan telah mencantumkan asas, ciri dan tujuan ormas yang sesuai
dengan ketentuan mengenai syarat pendirian berdasarkan UU Ormas Nomor
17 tahun 2017, jelas telah memiliki niat baik (in good faith-te gooder trouw)
serta komitmen sejak awal permohonan pendiriannya untuk tetap memastikan
dan konsisten melakukan aktivitas yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Atas dasar nalar
sistematis logis dan secara abstraksi yuridis dipastikan bahwa, ormas yang
142

telah memenuhi ketentuan syarat-syarat pendirian ormas adalah ormas yang


beritikad baik, kecuali terbukti sebaliknya baik secara langsung maupun tidak
langsung.
4) Kebenaran materiel mengenai kepastian ormas menjalankan aktivitas yang
tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tidak cukup hanya
tampak luar semata, melainkan harus juga tampak dari perbuatan atau
sikapnya. Inti dari penemuan kebenaran materiel terkait pandangan hidup
ormas mencerminkan sikap batin para pendiri, pengurus, dan anggotanya.
Rumusan kalimat, “dengan sengaja” (dolus) atau “perbuatan yang secara
langsung atau tidak langsung” di dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 adalah
bentuk lain yang menegasikan kemungkinan terjadinya kelalaian (culpa)
terhadap dan di dalam suatu pandangan hidup atau gerakan idiologi atau
perbuatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

[2.6] Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung Forum Advokat


Pengawal Pancasila (FAPP) dalam persidangan tanggal 6 Maret 2018
menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah tanggal 19 Februari 2018, yang pada pokoknya
mengemukakan hal-hal berikut:
A. Mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi
MAHKAMAH KONSTITUSI BERWENANG UNTUK MEMERIKSA DAN
MENGADILI PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ORMAS
DAN JUGA BERALASAN SECARA HUKUM UNTUK DAPAT MENYETUJUI
PERMOHONAN DARI PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG
GUNA DIDENGAR KETERANGANNYA DALAM PEMERIKSAAN
PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ORMAS
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
2. Bahwa selanjutnya, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah
143

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun Tahun 2014 (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076) dinyatakan sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3. Bahwa di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi antara
lain sebagai “Guardian of Constitutional Rights” dari setiap hak asasi
warga negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan pengakuan dan
jaminan atas hak asasi dari setiap warga negara Indonesia khususnya
untuk mengajukan permohonan Pengujian atas Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, sebagai suatu indikator
perkembangan sistem ketatanegaraan yang positif dan penguatan prinsip-
prinsip negara hukum;
4. Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang, dimungkinkan adanya keterlibatan PEMOHON
PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG yang perlu untuk didengar
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok
permohonan, tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap
permohonanyang dimaksud, sehingga PEMOHON PIHAK TERKAIT
TIDAK LANGSUNG perlu untuk dilibatkan dalam proses pemeriksaan dari
pengujian undang-undang in casu UU Ormas;
5. Bahwa dengan adanya Permohonan Pengujian Undang-Undang
sebagaimana dimaksud PUU Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018 oleh PARA
PEMOHON atas Pasal 1 angka 6 sampai dengan Pasal 21, frasa “atau
paham lain” pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf C, Pasal 62 ayat (3),
Pasal 80A, dan Pasal 82 A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
144

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (“UU Ormas”), maka secara hukum Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk mengadili kedua permohonan uji materi UU
Ormas dari PARA PEMOHON tersebut, dan oleh karenanya kami mohon
kepada Mahkamah Konsitusi untuk ditetapkan sebagai PIHAK TERKAIT
TIDAK LANGSUNG, yang mengenai kedudukan hukum dan alasan hukum
permohonannya akan diuraikan selengkapnya di bawah ini.

B. Kedudukan Dan Kepentingan Hukum (Legal Standing), Serta Kepedulian


Yang Tinggi Dari PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG Atas
Permohonan Pengujian UU Ormas.
PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG MEMILIKI KEDUDUKAN
HUKUM (LEGAL STANDING) UNTUK DAPAT DIDENGAR
KETERANGANNYA DAN DILIBATKAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN
PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ORMAS, ATAS DASAR
ADANYA KEPENTINGAN HUKUM DAN KEPEDULIANNYA YANG SANGAT
TINGGI DALAM PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG ORMAS

6. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG adalah warga


negara Indonesia perorangan dan berprofesi sebagai Advokat,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, dan terdiri dari lintas suku, agama, dan pemahaman
politik yang sepakat untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di atas kepentingan
golongan dan pribadi, serta menolak diskriminasi berdasarkan
perbedaan agama, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah bangsa yang majemuk dan ber-Bhinneka Tunggal Ika.

PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG juga meyakini bahwa


kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan beradab hanyalah
dapat diwujudkan dengan mempertahankan sistem Demokrasi
Pancasila serta konsep negara hukum yang berkeadilan, yang
didasarkan pada sila-sila Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan oleh
karenanya menolak semua paham-paham lain yang bertentangan dan
mengancam eksistensi Pancasila.
145

7. Bahwa akhir-akhir ini diketahui adanya suatu paham yang tersebar dan
berkembang secara luas, hal mana paham tersebut berikhtiar untuk
menempatkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif pada suatu
pihak/lembaga saja yang berupaya mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai Norma Dasar Bernegara
(Staatsfundamentalnoorm) dan falsafah hidup bernegara dari Bangsa
Indonesia (Way of Life), sebagaimana terbukti berdasarkan Rancangan
Undang-Undang Dasar DAULAH KHILAFAH, yang sudah pasti
meniadakan sistem demokrasi maupun konsep negara hukum yang
didasarkan pada Pancasila, sehingga akan berdampak sangat buruk dan
mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Selain itu, Diskriminasi berdasarkan perbedaan agama juga
dinyatakan dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilafah,
yang niscaya akan menimbulkan disharmoni dan perpecahan antar suku
bangsa, sehingga haruslah ditolak demi kelangsungan, kesatuan, dan
persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Bahwa dalam aktivitas sehari-harinya sebagai Advokat, PEMOHON PIHAK
TERKAIT TIDAK LANGSUNG memegang peran dan fungsi yang penting
dalam penegakkan hukum di dalam suatu negara yang menganut sistem
Demokrasi yang didasarkan pada sila-sila Pancasila, serta senantiasa
berupaya untukmengamalkan profesi advokat sebagai profesi yang
terhormat (officium nobile), sebagaimana Sumpah Advokat yang sudah
PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG ucapkan, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
- Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dst..............”
Oleh karena itu, apabila Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Norma
Dasar Bernegara (staatsfundamentalnoorm) dan berdemokrasidi
Indonesia, kemudian lalu diubah atau diganti menjadi paham atau sistem
pemerintahan lainnya, misalnya dengan sistem KHILAFAH, maka
dikhawatirkan tidak akan ada jaminan kepastian hukum yang adil bahwa
146

peran dan fungsi advokat selaku penegak hukum dan pengawal demokrasi
tidak dapat dipertahankan seperti saat ini, serta tidak dapat melaksanakan
hak dan kewajiban profesinya secara murni dan konsekuen di Negara
Hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Advokat.
9. Bahwa setelah membaca dan mempelajarinya dengan seksama,
PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG berpendapat bahwa
secara historis, filosofis, sosiologis dan yuridis maupun asas kemanfaatan
dan kepastian hukum (rechtzakerheid), seluruh norma hukum dan asas
yang terkandung dalam UU Ormas, yang saat ini sedang diuji materi dan
norma hukumnya oleh PARA PEMOHON tersebut adalah peraturan yang
KONSTITUSIONAL DAN SAMA SEKALI TIDAK BERTENTANGAN
dengan UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945, baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil
subtansi, isi dan norma hukum yang tersirat maupun tersurat di dalam UU
Ormas tersebut, dan oleh karena itu, apabila dihapuskan atau dibatalkan
keberlakuannya akan menimbulkan kekosongan hukum di tengah-tengah
masyarakat, bahkan dapat memicu perilaku intoleransi dan perpecahan di
tengah masyarakat.
Bahkan saat pertama kali diterapkan sebagai Perpu hingga saat sekarang
ini, UU Ormas tersebut telah banyak memberikan ketenangan atas gejolak
potensi intoleransi di masyarakat dan senyatanya dapat memberikan
jaminan ketenangan, ketentraman dan kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat yan penuh toleransi, saling menghormati dan menghargai
satu dengan lainnya sesama warga negara, serta memberikan
perlindungan hak-hak kepada warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
10. Bahwa dengan demikian, upaya dari PARA PEMOHON yang hendak
memaksakan kehendaknya dengan sudut pandang kepentingan sepihak
dari golongan atau kelompoknya sendiri yang menganggap dirinya sendiri
paling benar, jelas-jelas telah mengabaikan dan meniadakan hak-hak
warga negara lainnya yang telah dijamin dan dibatasi oleh Konstitusi
dengan kekuatan undang-undang (vide: Pasal 28 J Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
147

Hal ini dapat dilihat dan dibuktikan dengan telah disahkannya


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Ormas Nomor 17 tahun
2013 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 24 Oktober 2017
yang lalu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, oleh karena dalam sidang pengujian
undang-undang (judicial review) di Mahkamah Konstitusi, dimungkinkan
adanya keterlibatan keterlibatan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG
yang perlu untuk didengar keterangannya sebagai ad informandum,
karena kepeduliannya yang tinggi, maka PEMOHON PIHAK TERKAIT
TIDAK LANGSUNG mohon agar Mahkamah Konsitusi berkenan untuk
memanggil dan menetapkan PEMOHON sebagai PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG dalam perkara Nomor 94/PUU-XV/2017 tertanggal 11
Desembar 2017 dan Nomor 2/PUU-XVI/2018tertanggal 3 Januari 2018,
sehingga dapat memberikan keterangan dan bukti-bukti terkait dalam
pemeriksaan Pengujian UU Ormas, yang telah diperiksa dan disidangkan
di Mahkamah Konstitusi.
C. Tanggapan PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNGMengenai
Dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018
tentang Pasal 1 angka 6 s.d 21 UU Ormas Bertentangan Dengan Prinsip
Negara Hukum Sehingga Dianggap Mengancam Hak Konsitusional PARA
PEMOHON.
KETENTUAN PASAL 1 ANGKA 6 S.D 21 TELAH SESUAI DENGAN
PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM YANG BERLAKU UNIVERSAL DAN
TIDAK MENGANCAM ATAU MERUGIKAN HAK KONSITUSIONAL PARA
PEMOHON, KARENA UNDANG-UNDANG ORMAS SAMA SEKALI TIDAK
PERNAH MENGHILANGKAN MEKANISME PENGADILAN IN CASU
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA UNTUK MEMERIKSA DAN
MENGADILI SENGKETA PENCABUTAN STATUS BADAN HUKUM SUATU
ORMAS
11. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan
tegas dalil-dalil PARA PEMOHON dalam Permohonan Pengujian Reg
Nomor 2/PUU-XVI/2018, yang merupakan yayasan dan perkumpulan yang
148

bergerak dalam kegiatan dakwah, pengajian, pendidikan, pembaruan


sosial, dan pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam bagian IV
Mengenai Alasan dan Pokok Permohonan Poin 2, angka 1 s.d. 7, karena
dalil-dalil PARA PEMOHON tersebut adalah dalil yang mengada-ada yang
tidak beralasan cukup untuk menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 s.d. 21
UU Ormas Bertentangan Dengan Prinsip Negara Hukum, apalagi sampai
mendalilkan bahwa UU Ormas telah menghilangkan mekanisme
Pengadilan untuk menguji keabsahan pencabutan status badan hukum
suatu ormas.
12. Bahwa dengan telah disahkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2017 menjadi
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas (“UU Ormas”)
oleh Dewan Perwakilan Rakyat merupakan suatu bukti nyata dan tidak
terbantahkan bahwa Pemerintah sebagai pembentuk dari peraturan
pemerintah pengganti undang-undang in casu UU Ormas telah
membentuk perubahan Undang-Undang Ormas sesuai dengan prinsip-
prinsip universal yang berlaku di suatu negara hukum, di antaranya adalah
Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut dikeluarkan dalam ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagai inisiatif pemerintah yang didasarkan
pada kewenangan Noodverordeningsrecht (vide: Pasal 22 UUD 1945),
karena terdapat ancaman nyata dari ormas tertentu yang hendak
mengganti Pancasila yang merupakan norma dasar bernegara
(Staatsfundamentalnoorm) dengan paham Khilafah atau paham-paham
apapun juga yang memiliki tujuan yang sama dengan Khilafah, yaitu untuk
mengganti Pancasila.
13. Bahwa melalui permohonan ini, PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG juga hendak menyampaikan kepada PARA PEMOHON
bahwa Pemerintah sama sekali tidak pernah menetapkan suatu peraturan
yang melarang atau membatasi kegiatan dakwah, pengajian, pendidikan,
pembaruan sosial, dan pemberdayaan masyarakat, termasuk untuk
berserikat dan berkumpul dalam suatu ormas, apalagi untuk membuat
ketentuan hukum yang bertentangan dengan ajaran agama-agama yang
berlaku dan diakui keberadaannya di Indonesia, SEPANJANG
KEGIATAN-KEGIATAN ORMAS TERSEBUT TIDAK DIMAKSUDKAN
UNTUK MENGGANTI PANCASILA SEBAGAI NORMA DASAR
149

BERNEGARA DENGAN PAHAM KHILAFAH ATAU MENJADI


REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI NEGARA YANG DILANDASKAN
PADA PAHAM KHILAFAH ATAU PAHAM-PAHAM APAPUN JUGA
YANG MEMILIKI TUJUAN YANG SAMA/MIRIP DENGAN KHILAFAH.
Selain itu, menurut hemat PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG, UU Ormas yang sedang dipermasalahkan
konstitusionalitasnya oleh PARA PEMOHON juga sama sekali tidak
pernah menghilangkan peran dan tugas pengadilan yang dijunjung tinggi
dalam negara hukum dan demokrasi (Demokrasi Pancasila), hal ini dapat
PARA PEMOHON lihat sendiri dengan diajukannya gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara oleh Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia untuk
menguji keabsahan Surat Keputusan Pencabutan Status Badan Hukum
dari Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagai suatu tindakan tata usaha negara
(Beschikking) yang dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang
diatur dalam UU Ormas.
14. Bahwa dengan tidak terbuktinya dalil dalil PARA PEMOHON yang
menyatakan bahwa UU Ormas ini telah menghilangkan peran pengadilan
dalam menjatuhkan sanksi terhadap suatu ormas (vide: angka 6 halaman
12 Permohonan PUU perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018), makan
secara mutatis mutandis juga tidak terdapat kerugian konstitusional
atau potensi kerugian konsitusional bagi Pemohon dalam perkara
Nomor 2/PUU-XVI/2017, sebagaimana penjelasan yang secara khusus
akan diuraikan Pihak Terkait tidak langsung sebagai berikut:
a. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c yang diuji oleh
PARA PEMOHON, ternyata hal tersebut telah diatur dengan kalimat
dan redaksional yang sama persis dalam Pasal 59 ayat (4) UU
Nomor 17 Tahun 2013. Artinya, jikalaupun Majelis Hakim
mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON, maka yang akan
berlaku kemudian adalah kembali pada ketentuan Pasal 59 ayat (4)
UU Nomor 17 Tahun 2013 yang sesungguhnya sama persis dengan
ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Nomor 16 Tahun 2017 yang
dimohonkan untuk dibatalkan, sehingga hal ini tidak memenuhi
150

syarat ke-5 yang ditentukan dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-


V/2005 yang berbunyi:
“Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.”
b. Berkenaan dengan Pasal I angka 6 s.d. 21, Pasal 62 ayat (3), Pasal
80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2017, perlu
digarisbawahi bahwa pasal-pasal tersebut seluruhnya adalah pasal-
pasal yang memuat ketentuan tentang tata cara penindakan yang lebih
tegas daripada ketentuan penindakan dalam UU Nomor 17 Tahun
2013. Adanya tata cara penindakan yang lebih tegas terhadap
suatu pelanggaran (selama memang dapat dibuktikan benar terjadi
pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, baik proses peradilan tersebut terjadi sebelum maupun
sesudah penindakan dilakukan), SAMA SEKALI TIDAK DAPAT
DIARTIKAN SEBAGAI KERUGIAN KONSTITUSIONAL.
Dengan kata lain, Permohonan yang diajukan oleh PARA PEMOHON
tidak memenuhi syarat ke-tiga yang ditentukan dalam Putusan MK
Nomor 006/PUU-V/2005 yang berbunyi:
“Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi”
15. Bahwa oleh karena itu, sepanjang PARA PEMOHON dan seluruh
ormas-ormas yang ada di Indonesia TANPA TERKECUALI
berkomitmen untuk tidak menganut, mengembangkan dan
menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, atau
berniat untuk mengganti Pancasila sebagai Norma Dasar Bernegara
(Staatsfundamentalnoorm), serta tidak melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang telah diatur dalam UU Ormas, semata-mata demi
lestarinya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia,maka dapat dipastikan ormas-ormas tersebut tidak
akan terkena sanksi hukum sebagaimana diatur dalam UU Ormas
tersebut.
151

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, PARA PEMOHON jelas tidak


akan dapat membuktikan dalilnya bahwa UU Ormas tidak sesuai prinsip-
prinsip negara hukum dan juga tidak memiliki kerugian konsitusional
atau setidak-tidak berpotensi untuk dirugikan hak-hak konsitusionalnya
dengan berlakunya UU Ormas, oleh karena itu PEMOHON PIHAK TERKAIT
TIDAK LANGSUNG mohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
berkenan untuk menolak permohonan pengujian Undang Undang Ormas A
quo atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan A quo tidak dapat
diterima (Niet Onvankelijkverklaard).
D. Tanggapan PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG Mengenai
Dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018
Tentang Frasa “Paham Lain” Bertentangan Dengan UUD 1945 Karena
Tidak Jelas Dan Multi Tafsir.
BERDASARKAN LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN
2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PADA ANGKA 186, FRASA “PAHAM LAIN” DALAM PENJELASAN PASAL
59 AYAT 4 HURUF C UU ORMAS TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD
1945, KARENA RUMUSAN PENJELASAN SUATU PASAL SENYATANYA
TIDAK MEMPERSEMPIT ATAU MEMPERUAS NORMA HUKUM YANG ADA
DALAM BATANG TUBUH UU ORMAS YAITU ASAS SEMUA ORMAS YANG
ADA DI INDONESIA TIDAK BOLEH BERTENTANGAN DENGAN
PANCASILA
16. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan
tegas dalil PARA PEMOHON dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018
pada poin 2 (kedua) angka 1 s.d. 10 yang mempermasalahkan Frasa
“Paham Lain” yang didalilkan para Pemohon bertentangan dengan Pasal
28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945, karena politik hukum dari pembentukan undang-
undang ormas sampai dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2017
adalah dimaksudkan agar setiap organisasi masyarakat yang ada di
Indonesia memiliki asas utama yaitu Pancasila;
17. Bahwa apabila PARA PEMOHON dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-
XVI/2018 mendalilkan bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (4) UU Ormas
hanya dapat ditafsirkan secara terbatas (limitatif) hanya pada ajaran
152

ateisme, komunisme/marxisme dan leninisme, sehingga frasa “paham lain”


dapat ditafsirkan secara luas menurut pertimbangan subjektif dari
Pemerintah, maka para Pemohon jelas telah keliru dalam memahami dan
memaknai fungsi dari bagian penjelasan dalam suatu undang-undang.
18. Bahwa untuk itu, PEMOHON PIHAK TERKAITTIDAK LANGSUNGdengan
ini mohon izin Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengutip
lampiran berdasarkan Lampiran 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada angka 186
yang berbunyi:
Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai
berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma
yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah
dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian.
19. Bahwa oleh karena penafsiran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf
c UU Ormas, harus tetap dimaknai sebagai suatu norma hukum yang
melarang seluruh Ormas di Indonesia untuk MENGANUT
MENGEMBANGKAN, SERTA MENYEBARKAN AJARAN ATAU PAHAM
YANG BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA, TANPA TERKECUALI
maka, segala upaya dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu
Ormas untuk mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah atau sistem lain
yang memiliki tujuan yang sama dengan Khilafah sudah pasti akan
bertentangan dengan Pancasila.
20. Bahwa dengan demikian, pelanggaran ormas sebagaimana dimaksud di
atas, yaitu untuk mengganti Pancasila dengan paham lain secara hukum
dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran nyata terhadap Pasal 59 ayat
(4) huruf c UU Ormas, sehingga sesuai dengan asas Contrarius Actus
yang diatur dalam Perpu Ormas, Pemerintah melalui kementerian hukum
153

dan HAM memiliki alas hak dan wewenang untuk mencabut status badan
hukum ormas tersebut, tanpa mengurangi wewenang Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk menguji keabsahan dari Objek Sengketa tersebut.
Hal inilah yang menurut pandangan dari Pihak Terkait Tidak Langsung
sebagai pembatasan-pembatasan yang dapat dilakukan dengan kekuatan
suatu undang-undang (vide Pasal 28J UUD 1945)

E. Tanggapan PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG Mengenai


Dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018
tentang Pasal 62 ayat (2) UU Ormas Bertentangan Dengan Pasal 28, Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 Karena
Menjatuhkan Sanksi Terhadap Ormas Hanya Berdasarkan Subjektifitas
Semata Tanpa Dibuktikan Pelanggarannya.
PENJATUHAN SANKSI BERUPA KEPUTUSAN PENCABUTAN STATUS
BADAN HUKUM OLEH PEMERINTAH DENGAN MENGGUNAKAN ASAS
CONTRARIUS ACTUS DILAKUKAN BERDASARKAN PADA FAKTA –
FAKTA DAN DASAR PERTIMBANGAN HUKUM YANG CUKUP, SERTA
SAMA SEKALI TIDAK MENGHILANGKAN KEWENANGAN PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA UNTUK MENGUJI KEABSAHAN DARI
KEPUTUSAN TERSEBUT
21. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan
tegas dalil PARA PEMOHON dalam Perkara Reg Nomor 2/PUU-XVI/2018
yang menyatakan bahwa Pasal 62 ayat (3) UU Ormas yang berisi tentang
Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar terhadap Ormas yang dijatuhi
sanksi penghentian kegiatan oleh Menteri Hukum dan HAM, bertentangan
dengan hak-hak konstitusional PARA PEMOHON sebagaimana dimaksud
dalamPasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945, karena dalil tersebut sangat tidak beralasan dan terkesan
mengada-ada.
22. Bahwa sebagaimana Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Pejabat
Pemerintah memilik hak untuk menggunakan Kewenangan dalam
mengambil keputusan dan atau Tindakan. Hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah,
154

mengganti, mencabut, menunda, dan atau membatalkan Keputusan


dan/atau tindakan.
Sebagai contoh penerapan dari tindakan tata usaha negara berupa
pencabutan status badan hukum menurut UU Ormas ini adalah dengan
dicabutnya Status Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Sesuai dengan fakta-fata yang ada dan dasar pertimbangan hukum
yang cukup, dengan menggunakan Asas Contrarius Actus, Pemerintah
melalui Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pencabutan status
badan hukum dari Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena
eksistensi Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebagai suatu
ormas secara nyata dan terang-terangan telah bertentangan dengan
Pancasila dan bahkan dengan upaya-upaya yang sistematis dan masif
telah berupaya untuk mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah yang
berpotensi memecah belah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
23. Bahwa untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat PEMOHON PIHAK
TERKAIT TIDAK LANGSUNG pada Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara a quo, maka perkenankan PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG untuk mengutip referensi mengenai Asas Contrarius Actus
dalam UU Ormas yang telah dipahami dan dimaknai oleh PARA
PEMOHON secara keliru dan sempit, yaitu:
“Dalam hukum administrasi dapat dipahami bahwa suatu keadaan
hukum yang lahir oleh tindakan badan/pejabat pemerintahan (dengan
peraturan dan keputusan hanya dapat diubah atau dibatalkan oleh
badan/pejabat pemerintahan yang melahirkan keadaan hukum
tersebut, serta dengan tindakan yang sama, yaitu dengan peraturan
atau keputusan yang sama pada saat melahirkan keadaan hukum
yang akan diubah atau dibatalkan.” (A’an Efendi & Freddy Poernomo,
Hukum Administrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2017, halaman 67-68).
24. Bahwa sebagai contoh yang nyata, dengan mengajukan Gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Perkumpulan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) sebagai suatu ormas diberikan hak untuk menguji apakah
Surat Keputusan Pencabutan Badan Hukum tersebut sudah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan fakta yang ada bahwa asas
155

dan eksistensi dari Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai


suatu ormas benar-benar bertentangan dengan UU Ormas.
25. Bahwa untuk itu, sekali lagi perlu PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG tegaskan bahwa ormas-ormas yang ditindak berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum yang diatur dalam UU Ormas berhak dan
tidak dihilangkan kesempatannya untuk menguji keabsahan dari
keputusan tata usaha negara dari Pemerintah tersebut melalui suatu
upaya hukum gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga
dalam hal ini tindakan Pemerintah selalu lembaga eksekutif tidaklah
bersifat mutlak dan bersifat otoriter, karena tetap diawasi dan diimbangi
oleh kewenangan yudikatif, sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
F. Tanggapan PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG Mengenai
Dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. No. 2/PUU-XVI/2018 Tentang
Pasal 80 A UU Ormas Bertentangan Dengan Pasal 28, Pasal 28 C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 Karena Hak Asasi Untuk
Berserikat Tidak Dapat Dihapus Dengan Pencabutan Surat Keterangan
Terdaftar/Status Badan Hukum.
HAK ASASI SETIAP WARGA NEGARA UNTUK BERSERIKAT DAN
BERKUMPUL DALAM BENTUK ORGANISASI KEMASYARAKATAN
(ORMAS) TETAP DAPAT DIBATASI DENGAN KEKUATAN UNDANG-
UNDANG DAN MENGENAI PENCABUTAN STATUS BADAN HUKUM DARI
SUATU ORMAS DI INDONESIA OLEH PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIADEMI TERCIPTANYA KETERTIBAN UMUM TERNYATA
SUDAH PERNAH DILAKUKAN JAUH SEBELUM BERLAKUNYA UU
ORMAS, YAITU MELALUI STAATSBLAD 1939-570
26. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG sangat
keberatan dan menolak dengan tegas dalil PARA PEMOHON dalam
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PUU-XVI/2018 yang
menyatakan bahwa Pasal 80A UU Ormas yang berisi tentang kewenangan
Pencabutan oleh Pemerintah berdasarkan Perppu 2 Tahun 2017 yang
telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU Ormas adalah
bertentangan dengan hak-hak konstitusional PARA PEMOHON
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena dalil tersebut menunjukkan
156

kekurangpahaman PARA PEMOHON atas pembatasan-pembatasan hak


yang dapat diatur dengan kekuatan setingkat undang-undang (vide Pasal
28J UUD 1945).
27. Bahwa perlu PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG sampaikan
bahwa dalam menerbitkan UU Ormas, Pemerintah Republik Indonesia
sama sekali tidak membatasi hak setiap warga negaranya untuk berserikat
dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan
sepanjang kebebasan tersebut tidak melanggar asas utama dari
organisasi kemasyarakatan di Indonesia, yaitu Pancasila yang merupakan
Way of Life dari Bangsa Indonesia.
Jadi sepanjang roda organisasi yang dijalankan oleh PARA PEMOHON
tidak bertentangan dengan Pancasila termasuk melanggar ketertiban
umum dan tidak melakukan upaya-upaya untuk mengganti Pancasila
sebagai norma dasar bernegara (Staatsfundamentalnoorm), sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, maka
PARA PEMOHON tidak perlu merasa khawatir dan berasumsi akan
terkena sanksi hukum yang diatur dalam UU Ormas ini;
28. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG juga menolak
dengan tegas dalil PARA PEMOHON dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-
XVI/2018 yang telah mencampuradukan penerapan Undang-Undang
Yayasan dengan penerapan pencabutan status badan hukum dalam UU
Ormas, sebagaimana yang didalilkan oleh PEMOHON bahwa suatu
yayasan hanya dapat dibubarkan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum dengan alasan yayasan melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam hal ini, PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menduga-
duga bahwa PARA PEMOHON dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-
XVI/2018 mungkin lupa bahwa eksistensi Yayasan sebagai suatu badan
hukum secara umum juga merupakan suatu organisasi kemasyarakatan,
sebagaimana dikatakan dengan jelas dan tegas dalam Pasal 11 ayat (1)
UU Ormas bahwa Ormas Berbadan Hukum dapat berbentuk
PERKUMPULAN atau YAYASAN.
29. Bahwa hal tersebut semakin menunjukkan kekurangpahaman PARA
PEMOHON atas asas hukum Lex Posterior De Rogat Legi Priori yang
157

menyatakan bahwa hukum yang terbaru (Lex posterior) dapat


mengesampingkan hukum yang lama, sehingga mekanisme pencabutan
status badan hukum suatu Yayasan sebagai suatu Ormas Berbadan
Hukum yang diduga kuat telah melanggar Pancasila adalah tunduk pada
bagian ketentuan hukum mengenai pencabutan status badan hukum yang
diatur UU Ormas, sebagai Lex Posterior dari mekanisme pencabutan/
pembubaran yayasan yang diatur dalam UU Yayasan yang merupakan
Legi Priori.
30. Bahwa untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat PEMOHON PIHAK
TERKAIT TIDAK LANGSUNG kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah
Konstitusi, maka perkenankan PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG mengingatkan PARA PEMOHON bahwa penerapan Asas
Contrarius Actus khususnya dalam pencabutan status badan hukum dari
suatu perkumpulan sesungguhnya bukanlah suatu praktik hukum yang
baru di Indonesia.
Adapun pandangan ini dikemukakan oleh salah satu pakar hukum
terkemuka di Indonesia, yaitu Wirjono Prodjodikoro selaku Guru Besar
Hukum Antar Negara dan mantan Ketua Mahkamah Agung RI, dalam
bukunya Hukum Perkumpulan Perseroan dan Koperasi Di Indonesia, yang
diterbitkan Dian Rakyat pada tahun 1985, pada halaman 19 yang
menyatakan:
“Bagi perkumpulan Indonesia, yang menjadi badan hukum menurut
Staatsblad 1939-570, hal kehilangan kedudukan sebagai badan
hukum ini diatur lebih panjang dan terperinci (Pasal-Pasal 22 s/d
29)….
Juga kini ada dua hal yang mengakibatkan kehilangan kedudukan
sebagai badan hukum, yaitu ke 1. ATAS PENETAPAN MENTERI
KEHAKIMAN, OLEH KARENA BERTENTANGAN DENGAN
KETERTIBAN UMUM, dan ke 2. Atas putusan hakim, oleh karena
tindakan perkumpulan yang menyimpang dari anggaran dasar atau
peraturan undang-undang”.
G. Tanggapan PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNGMengenai
Dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018 Yang
Menyatakan Bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
158

Ormas Bertentangan Dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945 Karena Didalilkan Multitafsir Dan Dapat Menjerat PARA
PEMOHON Hanya Karena Statusnya Pengurus Atau Anggota Ormas.
BERDASARKAN PRINSIP KEBIJAKAN KRIMINAL, PEMBUAT UNDANG-
UNDANG BERWENANG PENUH BUKAN HANYA UNTUK
MENENTUKANPERBUATAN MANA YANG DIANGGAP MEMILIKI SIFAT
MELAWAN HUKUM (WEDERECHTELIJK), NAMUN JUGA UNTUK
MENENTUKAN PERBUATAN MANA YANG MENURUT SIFAT DAN NIAT
BATINNYA MERUPAKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM, DENGAN
TETAP MENGEDEPANKANASAS ULTIMUM REMEDIUM
31. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan
tegas dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018
mengenai Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ormas
Bertentangan dengan UUD 1945, karenadengan adanya frasa “DENGAN
SENGAJA” pada ketentuan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas,
maka dapat dipastikan bahwa ancaman hukuman tersebut ditujukan bagi
anggota dan/atau pengurus Ormas yang memang dengan sengaja (Dolus)
terlibat dalam tindak pidana termaksud.
Adapun perihal keberadaan frasa “tidak langsung melanggar”, pun
sesungguhnya bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan selama
anggota dan/atau pengurus Ormas tersebut dapat dibuktikan memang
sengaja terlibat dalam tindak pidana tersebut, terlepas dari apakah
yang bersangkutan bertindak sebagai pelaku (secara langsung)
ataukah hanya membantu, memberikan fasilitas, ataupun menyuruh-
lakukan (secara tidak langsung).
32. Bahwa selanjutnya Pasal 82 A ayat (1) dan ayat (2) juga tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena penerapan
sanksi pidana dalam suatu Perpu Ormas yang telah disahkan menjadi UU
Ormas merupakan suatu kebijakan kriminal atau politik hukum pidana yang
sesuai dengan Asas Legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, hal mana dalam hal Ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden dapat menetapkan suatu Perpu yang memiliki
kekuatan setingkat undang-undang yang dapat memuat sanksi
159

administratif dan sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium bagi


Organisasi Masyarakat atau pengurusnya yang melakukan hal-hal yang
dilarang oleh Perpu Ormas tersebut, misalnya dalam upaya yang
dilakukan secara sistematis dan masif dalam menganut, mengembangkan
dan menyebarkan paham komunisme, leninisme dan paham lain yang
hendak mengganti dan mengubah Pancasila.
33. Bahwa dengan demikian dalam memberikan pengaturan sanksi pidana
dalam suatu Perpu in casu yang telah disahkan menjadi UU Ormas yang
memiliki kekuatan mengikat setingkat undang-undang, maka Pemerintah
juga berhak menetapkan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) formil,
yaitu untuk menetapkan apakah suatu perbuatan termasuk atau memiliki
sifat melawan hukum.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari seorang Ahli Hukum
Pidana terkemuka di Indonesia, yakni Prof. Moeljatno, yang dalam pidato
peringatan Dies Natalis Ke VI UGM tanggal 19 Desember 1955 tentang
Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,
halaman 19 berpendapat bahwa:
“Ada atau tidak adanya perbuatan pidana, dari apa yang dikatakan diatas
adalah tergantung dari hal, apakah perbuatan sebagaimana yang
dirumuskan dalam undang-undang dinilai sebagai melawan hukum atau
tidak, sebab pada umumnya sifat melawan hukumnya perbuatan memang
ditentukan dari unsur-unsur yang lahir. Tetapi dari sejarah perumusan
perbuatan pidana ternyata yang perlu dilarang adalah bukan saja
perbuatan yang dari keadaan lahirnya ternyata bersifat melawan
hukum, bahkan juga perbuatan yang meskipun menurut sifat lahirnya
tidak melawan hukum, tetapi dalam batin orang yang melakukan
dimaksud untuk mewujudkannya”. (Prof. Mr. Moeljatno, Perbuatan
Pidana Dan Pertanggungan Djawab Dalam Hukum Pidana, disampaikan
dalam Pidato Upacara Peringatan Dies Natalis Ke VI Universitas Gadjah
Mada, di Sitihinggil Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1955, Jajasan
Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta).
34. Bahwa oleh karena itu, kebijakan kriminal dalam UU Ormas yang
menentukan sanksi pidana bagi pengurus Ormas yang melanggar PASAL
59 AYAT (3) HURUF C DAN D UU ORMAS (MISALNYAMELAKUKAN
160

KEKERASAN, MENGGANGGU KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN


UMUM) sebenarnya jauh lebih soft daripada pengaturan dari larangan
terhadap komunisme yang diatur Di KUHP.
Sebagai perbandingan untuk dipahami oleh PARA PEMOHON, dalam
KUHP yang sekarang berlaku ternyata juga terdapat pengaturan tindak
pidana komunisme yang dimasukkan ke dalam KUHP melalui UU Nomor
27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.Kejahatan ini mulai dimasukkan
kedalam KUHP sebagai konsekuensi dari dicabutnya UU Nomor 11/PNPS/
Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi melalui UU Nomor
26 Tahun 1999 serta masih berlakunya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/
1966 dan pemberlakuan TAP MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 tentang
Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, diantaranya dalam
ketentuan sebagai berikut:
Pasal 107 d KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan 1isan,
tu1isan dan atau melalui rnedia apa pun. menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud
mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 e KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut
diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam
segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan
bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang
diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau
dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah
dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
35. Bahwa berkenaan dengan persoalan mengenai ketentuan Pasal 59 ayat
(3) dan ayat (4) yang diawali oleh frasa “ormas dilarang”, hal tersebut
adalah hal yang sudah sepatutnya dan sewajarnya, agar suatu Ormas
yang notabene identik dengan aksi yang melibatkan anggota dalam jumlah
161

besar, dibebani tanggung jawab pembinaan dan pengawasan terhadap


tindak-tanduk anggotanya. Dengan kata lain, ketentuan tersebut
mempunyai asas manfaat bahwa manakala terjadi suatu tindakan anggota
dan/ atau pengurus dari suatu Ormas yang bertentangan dengan
ketentuan dalam UU Ormas, maka Ormas tidak dengan serta merta dapat
“mencuci tangan” dan mendalilkan bahwa perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh anggota dan/atau pengurus Ormas adalah semata
tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, maka PEMOHON PIHAK
TERKAIT TIDAK LANGSUNG mohon kepada Yang Mulia Ketua Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk berkenan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
PETITUM:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk ditetapkan menjadi PIHAK
TERKAIT TIDAK LANGSUNG dalam pemeriksaan PUU Nomor 94/PUU-
XV/2017 dan PUU Nomor 2/PUU-XVI/2018;
2. Menyatakan Permohonan PARA PEMOHON sebagaimana dimaksud PUU
Nomor 2/PUU-XVI/2018 ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6139)baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil konsitusional dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk
seluruhnyadan Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pihak Terkait


Tidak Langsung Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) telah mengajukan
alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PTTL-1 sampai dengan bukti PTTL-
5, sebagai berikut:

1 BUKTI PTTL-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemberi Kuasa;


162

2 BUKTI PTTL-2A : Fotokopi Pemberitaan Liputan6.com mengenai Ratusan


Pengacara Deklarasikan Forum Advokat Pengawal
Pancasila;
3 BUKTI PTTL-2B : Fotokopi Pernyataan Deklarasi Forum Advokat
Pengawal Pancasila;
4 BUKTI PTTL-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
5 BUKTI PTTL–4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan;
6 BUKTI PTTL–5 : Fotokopi LAMPIRAN II Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011;

[2.8] Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung LBH Pembela


Pancasila, dalam persidangan tanggal 6 Maret 2018 menyampaikan keterangan
lisan dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 14
Februari 2018, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Menurut Ketentuan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.
06/PMK/2005, Mahkamah Konstitusi Berwenang Menerima, Mengadili,
Memeriksa, dan Memutus Perkara Permohonan Yang Di Ajukan oleh
Lembaga Bantuan Hukum Pembela Pancasila (LBH Pembela Pancasila)
Sebagai Pihak Terkait Tidak Langsung Terhadap Permohonan Register
Permohonan Register Nomor 2/PUU-XV/2017, tanggal 03 Januari 2017.
1. Bahwa menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
“ Bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, dan selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
163

Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan


tentang hasil pemilu”;
2. Bahwa selanjutnya, berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Mahkamah
Konstitusi senyatanya mempunyai kewenangan untuk melakukan
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dan menurut
ketentuan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang
berbunyi:
“Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
(a) Menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945; dst ……….”
Juncto Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum
yang berbunyi:
“Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk antara lain menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia”
Juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi:
“Bahwa dalam suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujianya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”.
3. Bahwa di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi antara
lain sebagai “Guardian ofConstitutional Rights” dari setiap hak asasi
warga negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan pengakuan dan
jaminan atas hak asasi dari setiap warga negara Indonesia khususnya
untuk mengajukan permohonan Pengujian atas Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, sebagai suatu indikator
perkembangan sistem ketatanegaraan yang positif dan penguatan prinsip-
prinsip negara hukum;
164

4. Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi


Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang, dimungkinkan adanya keterlibatan PEMOHON
PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG yang perlu untuk didengar
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok
permohonan, tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap
permohonan yang dimaksud, sehingga Pemohon Pihak Terkait Tidak
Langsung perlu untuk dilibatkan dalam proses pemeriksaan dari pengujian
undang-undang in casu UU Ormas
5. Bahwa dengan adanya Permohonan Pengujian Undang-Undang
sebagaimana dimaksud dalam Permohonan Register Nomor 2/PUU-
XV/2017, tanggal 03 Januari 2017 oleh para Pemohon Atas Pasal 1 angka
6 sampai dengan Pasal 21, frasa “atau paham lain” pada Penjelasan Pasal
59 ayat (4) huruf C, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan Pasal 82 A ayat (1),
(2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”), maka secara
hukum Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili kedua
permohonan uji materi UU Ormas dari para Pemohon tersebut.
6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurutHukum
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili kedua permohonan uji
materi UU Ormas tersebut, dan oleh karenanya kami mohon kepada
Mahkamah Konsitusi untuk ditetapkan sebagai PIHAK TERKAIT TIDAK
LANGSUNG, mengenai kedudukan hukum dan alasan hukum
permohonannya akan diuraikan selengkapnya di bawah ini.
II. KEDUDUKAN HUKUM PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG.
1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa Pemohon adalah pihak yang mengganggap hak dan atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
165

(a) perorangan warga Indonesia (termasuk kelompok orang yang


mempunyai kepentingan sama);
(b) kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang Undang;
(c) badan hukum publik atau privat;
(d) lembaga Negara”.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang, telah membuka ruang kepada pihak yang
kewenangannya terpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung
terhadap Pokok Permohonan, atau memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap Permohonan terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1)
dan (2), sehingga menurut hukum PIHAK TERKAIT mempunyai dasar
sebagai Pihak dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Mahkamah Konstitusi;
3. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG sebagaiBadan Hukum yang
berbentuk Perkumpulan LBH Pembela Pancasila mempunyai
Kepentingan dalam mempertahankan, menjaga, dan mengamalkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta Peraturan Perundang-Undangan, khususnya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang;
4. Pada Pokoknya PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG adalah
Perkumpulan Berazaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal ini termaktub dalam Anggaran Dasar
Permohonan Pihak Terkait Tidak Langsung. Untuk kemudahan referensi,
kami mengutip bagian-bagian yang relevan dari azas dan Tujuan
Permohan Pihak Terkait Tidak Langsungsebagai berikut:
• Mukadimah halaman 6:
• Pasal 4:
- LBH Pembela Pancasila adalah Kependekan nama dari “ Lembaga
Bantuan Hukum Pembela Pancasila”
166

- Perkumpulan LBH Pembela Pancasila adalah wadah profesi Advokat


Indonesia yang merupakan Organisasi Profesi dan Perjuangan,
mandiri, Bebas Merdeka bertanggung jawab serta mengemban misi
luhur para Advokat Indonesia, turut membangun Hukum Nasional
serta mengembangkan Advokat Indonesia yang penuh Integritas
dalam keterikatannya dengan pembangunan Bangsa dan Negara;
• Pasal 5:
Maksud dan Tujuan Perkumpulan LBH Pembela Pancasila
adalah
1. Menegakkan Hukum, kebenaran dan keadilan serta
meningkatkan kualitas profesi advokat, meningkatkan
kesadaran hukum dan memberdayakan anggota masyarakat
dalam Negara Hukum Indonesia;
2. Menegakkan hak-hak Asasi Manusia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Menumbuhkan dan memelihara rasa setia kawan diantara para
Advokat;
4. Membela dan memperjuangkan hak dan kepentingan para
Advokat dalam melakukan tugasnya;
5. Turut aktif dalam pembangunan dan Pembinaan Hukum
Nasional;
6. Menegakkan kekebalan Advokat dalam menjalankan profesi;
7. Meningkatkan Integritas moral dan profesionalisme Advokat
secara profesi yang terhormat (Officium Nobile).
• Mukadimah halaman 7:
• Pasal 6:
Tujuan Perkumpulan LBH Pembela Pancasila
1. Kritis dan selalu berperan serta dalam setiap momentum, isu
isu dan perkembangan hukum yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat demi tegaknya hukum;
2. Menggunakan langkah – langkah non Litigasi ataupun Litigasi yang
beerkaitan dengan persoalan hukum Negara serta demi
kepentingan publik;
167

3. Turut andil dalam membuat kebijakan dan peraturan-


peraturan;
4. Mengadakan pendidikan, pelatihan-pelatihan hukum dan
penyuluhan;
5. Mempertinggi ilmu dan keahlian para anggotanya, membimbing
serta menghantarkan para Sarjana Hukum agar dapat menjadi
Advokat pejuang yang tangguh;
6. Menjembatani para Advokat agar komunikatif, Informative dan
memiliki rasa Persaudaraan yang kuat;
7. Memberi bantuan hukum secara Cuma – Cuma /prodeo/probono
dengan menunjuk kepengurusan terbatas dari unsur Advoakt dan
Paralegal, kepengurusan ini diberikan Surat Tugas dengan nama
pos BANTUAN HUKUM PROSILA dengan masa waktu 1 tahun
dalam kepengurusannya yang ditanda tangani oleh ketua dan
sekretaris perkumpulan dan kepengurusan ini dapat diperpanjang
dengan hasil Evaluasi;
8. Menjaga supaya setiap anggota menjunjung tinggi kehormatan
profesi Advokat sesuai dengan kode Etik;
9. Mengusahakan penerbitan dan melakukan riset serta pendirian
lembaga pendidikan di semua tingkatan, yang berhubungan
dengan bidang hukum;
10. Meningkatkan kerja sama dengan instansi-instansi dan badan-
badan lain khususnya dibidang hukum;
11. Mengadakan kelompok belajar , grup diskusi untuk menyampaikan
pandangan – pandangan kepada pemerintah, Pengadilan dan
Lembaga – lembaga lain;
12. Mempersatukan advokat menjadi anggota perkumpulan;;
13. Usaha – usaha dan kegiatan – kegiatan lain yang bermanfaat bagi
profesi Advokat.
5. Bahwa selain itu, PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mempunyai
kepedulian terhadap pengamalan Pancasila sebagai ideologi bangsademi
menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan maupun ketentraman
hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan RI,
sehingga Pihak Terkait Tidak Langsung sangat berkepentingan terhadap
168

terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang, karena
demi menjaga ketentraman dan tata kehidupan berbangsa dari
Organisasi Masyarakat yang asas dan kegiatannya bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang,
terutama Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
6. Oleh karenaya PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mempunya
kepentingan terhadap pokok kepentingan Register Nomor 2/PUU-
XV/2017, tanggal 03 Januari 2017 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-
Undang: Pasal 1 angka 6 s.d. 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945; frasa “atau
paham lain” pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal
28C ayat (2) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28E ayat
(2) UUD 1945; Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1), dan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Pasal 80A
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal
28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2),
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Pasal 82A ayat (1) dan (2) Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG
MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
169

Oleh karena itu, maka sudah sepatutnya Permohonan PIHAK TERKAIT


TIDAK LANGSUNG a quo haruslah diterima oleh MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA.
III. DALAM EKSEPSI
A. Tanggapan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mengenai dalil para
Pemohon dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018 tentang Pasal 1
angka 6 s.d. 21 UU Ormas bertentangan dengan prinsip negara
Hukum sehingga dianggap mengancam hak Konsitusional Pemohon.
Ketentuan Pasal 1 angka 6 s.d. 21 telah sesuai dengan prinsip –
prinsip negara hukum yang berlaku universal dan tidak mengancam
atau merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena Undang –
Undang Ormas tidak pernah menghilangkan Mekanisme Pengadilan
In Casu Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan
mengadili Sengketa Pencabutan Status Badan Hukum satu ormas.
1. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG Menolak dengan tegas
dalil-dalil PEMOHON I, dan PEMOHON II yang merupakan Ormas
berbadan Hukum berbentuk Yayasan, PEMOHON III dan
PEMOHON IV merupakan Ormas berbadan hukum berbentuk
perkumpulan dalam Permohonan Pengujian Reg Nomor 2/PUU-
XVI/2018, tanggal 03 Januari 2018 dan PEMOHON V sebagai
Pengurus sekaligus Anggota dari ormas bernama Front Pembela Islam
(FPI), khususnya dalam bagian IV Mengenai Alasan dan Pokok
Permohonan poin 2, angka 1 s.d. 7, karena dalil-dalil para Pemohon
tersebut adalah dalil yang mengada-ada yang tidak beralasan cukup
untuk menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 s.d. 21 UU Ormas
Bertentangan Dengan Prinsip Negara Hukum, apalagi sampai
mendalilkan bahwa UU Ormas telah menghilangkan mekanisme
Pengadilan untuk menguji keabsahan pencabutan status badan hukum
suatu ormas.
2. Bahwa tidak ada Hak Konstitusional para Pemohon yang dirugikan
secara langsung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Menjadi Undang-Undang.
170

a. Bahwa terbukti tidak terdapat kerugian konstitusional secara


langsung para Pemohon terhadap terbitnya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, karena
senyatanya para Pemohon sendiri jika hendak membuat suatu
Organisasi Kemasyarakatan ataupun telah menjadi Pengurus
suatu Badan Hukum yang berbentuk Perkumpulan, maka tidak
dilarang apabila asas dan kegiatannya bersesuaian dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta Peraturan Perundang-Undangan, khususnya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-
Undang.
b. Selain itu, kerugian konstitusional para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum dan hanya didasarkan pada asumsi
atau pendapat para Pemohon semata saja, karena
Kekhawatiran para Pemohon yang dinyatakan Pada 6 huruf a, b
dan c, adalah tidak beralasan menurut hukum, senyatanya
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi
Undang-Undang sangat terang tidak mengesampingkan due
process of law, justru lebih menerapkan sanksi tegas terhadap
Organisasi Masyarakat yang asas dan kegiatannya bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya, jika ada organisasi kemasyarakatan yang status
badan hukumnya telah dicabut melalui suatu Keputusan Tata
Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah, maka tetap
dapat menempuh langkah hukum, yaitu ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
171

3. Bahwa dengan telah disahkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2017


menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas (“UU
Ormas”) oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah bukti nyata dan tidak
terbantahkan bahwa Pemerintah sebagai pembentuk dari peraturan
pemerintah pengganti undang-undang in casu UU Ormas telah
membentuk perubahan Undang-Undang Ormas sesuai dengan prinsip-
prinsip universal yang berlaku di suatu negara hukum, diantaranya
adalah Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut dikeluarkan dalam ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagai inisiatif pemerintah yang
didasarkan pada kewenangan Noodverordeningsrecht (vide Pasal 22
UUD 1945), karena terdapat ancaman nyata dari ormas tertentu yang
hendak mengganti Pancasila yang merupakan norma dasar bernegara
(Staatsfundamentalnoorm) dengan paham Khilafah atau paham-
paham apapun juga yang memiliki tujuan yang sama dengan Khilafah,
yaitu untuk mengganti Pancasila.
4. Bahwa melalui permohonan ini, PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG
juga hendak menyampaikan kepada Para Pemohon bahwa
Pemerintah tidak menetapkan suatu peraturan yang melarang atau
membatasi kegiatan dakwah, pengajian, pendidikan, pembaruan
sosial, dan pemberdayaan masyarakat, termasuk untuk berserikat dan
berkumpul dalam suatu ormas, apalagi untuk membuat ketentuan
hukum yang bertentangan dengan ajaran agama-agama yang berlaku
dan diakui keberadaannya di Indonesia, Sepanjang kegiatan-
kegiatan ormas tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganti
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Ideologi Pancasila Sebagai Dasar Negara Dengan
Paham Khilafah atau Negara Yang Berlandaskan Syariat Islam.
Selain itu, menurut hemat PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG, UU
Ormas yang sedang dipermasalahkan konstitusionalitasnya oleh Para
Pemohon juga sama sekali tidak pernah menghilangkan peran dan
tugas pengadilan yang dijunjung tinggi dalam negara hukum dan
demokrasi (Demokrasi Pancasila).
5. Bahwa dengan tidak terbuktinya dalil-dalil para Pemohon yang
menyatakan bahwa UU Ormas ini telah menghilangkan peran
172

pengadilan dalam menjatuhkan sanksi terhadap ormas pula berpotensi


merugikan hak konstitusional para Pemohon berupa pengakuan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta yang sama di mata
hukum (vide: Angka 6 halaman 12 Permohonan PUU Perkara Reg.
Nomor 2/PUU-XVI/2018, tanggal 03 Januari 2108), maka secara
mutatis mutandis juga tidak terdapat kerugian konstitusional atau
potensi kerugian konsitusional, sebagaimana penjelasan yang secara
khusus akan diuraikan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG sebagai
berikut:
a. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c yang diuji
oleh para Pemohon, ternyata hal tersebut telah diatur dengan
kalimat dan redaksional yang sama persis dalam Pasal 59 ayat
(4) UU Nomor 17 Tahun 2013. Artinya, jikalaupun Majelis Hakim
mengabulkan Permohonan Para Pemohon, maka yang akan
berlaku kemudian adalah kembali pada ketentuan Pasal 59 ayat
(4) UU Nomor 17 Tahun 2013 yang sesungguhnya sama persis
dengan ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Nomor 16 Tahun
2017 yang dimohonkan untuk dibatalkan, sehingga hal ini tidak
memenuhi syarat ke-5 yang ditentukan dalam Putusan MK
Nomor 006/PUU-V/2005 yang berbunyi:
“Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.”
b. Berkenaan dengan Pasal I angka 6 s.d. 21, Pasal 62 ayat (3),
Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 16 Tahun
2017, perlu digaris bawahi bahwa pasal-pasal tersebut seluruhnya
adalah pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang tata cara
penindakan yang lebih tegas daripada ketentuan penindakan
dalam UU Nomor 17 Tahun 2013. Adanya tata cara penindakan
yang lebih tegas terhadap suatu pelanggaran (selama memang
dapat dibuktikan benar terjadi pelanggaran berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, baik proses peradilan
tersebut terjadi sebelum maupun sesudah penindakan dilakukan),
173

DAN TIDAK DAPAT DIARTIKAN SEBAGAI KERUGIAN


KONSTITUSIONAL.
Dengan kata lain, Permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon
tidak memenuhi syarat ke-tiga yang ditentukan dalam Putusan MK
Nomor 006/PUU-V/2005 yang berbunyi:
“Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi”
6. Bahwa oleh karena itu, sepanjang Para Pemohon dan seluruh
ormas-ormas yang ada di Indonesia TANPA TERKECUALI
berkomitmen untuk tidak menganut, mengembangkan dan
menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, dan
tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang telah diatur dalam UU
Ormas, semata-mata demi lestarinya Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dapat dipastikan
ormas tersebut tidak akan terkena sanksi hukum sebagaimana diatur
dalam UU Ormas tersebut.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, para Pemohon jelas
tidak dapat membuktikan dalilnya bahwa UU Ormas tidak sesuai
prinsip-prinsip negara hukum dan juga tidak memiliki kerugian
konsitusional atau setidak-tidak berpotensi untuk dirugikan hak-
hak konsitusionalnya dengan berlakunya UU Ormas, oleh karena
itu PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mohon kepada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berkenan untuk menolak permohonan
pengujian Undang-Undang Ormas atau setidak-tidaknya menyatakan
Permohonan a quo tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijkverklaard).
B. Tanggapan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG Mengenai Dalil para
Pemohon Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018 tentang frasa
“paham lain” bertentangan dengan UUD 1945 Karena Tidak Jelas dan
Multi Tafsir Tentang Pembubaran Ormas Tanpa Due Process of Law.
Berdasarkan Lampiran 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada angka
186, frasa “paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU
Ormas tidak bertentangan dengan Undang–Undang Dasar 1945,
174

karena rumusan penjelasan suatu pasal senyatanya tidak


mempersempit atau memperuas norma hukum yang ada dalam
batang tubuh uu ormas yaitu asas semua ormas yang ada di
indonesia tidak boleh bertentangan dengan pancasila
7. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan tegas
dalil para Pemohon dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018 pada
poin 2 (kedua) angka 1 s.d. 10 yang mempermasalahkan frasa
“paham lain” yang didalilkan para Pemohon bertentangan dengan
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1),
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, karena politik hukum dari pembentukan
undang-undang ormas sampai dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 2
Tahun 2017 adalah dimaksudkan agar setiap organisasi masyarakat
yang ada di Indonesia memiliki asas utama yaitu Pancasila;
8. Bahwa apabila para Pemohon Permohonan dalam Perkara Reg.
Nomor 2/PUU-XVI/2018 mendalilkan bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat
4 UU Ormas hanya dapat ditafsirkan secara terbatas (limitatif) hanya
pada ajaran ateisme, komunisme/marxisme dan leninisme,
sehingga frasa “paham lain” dapat ditafsirkan secara luas menurut
pertimbangan subjektif dari Pemerintah, maka para Pemohon jelas
telah keliru dalam memahami dan memaknai fungsi dari bagian
penjelasan dalam suatu undang-undang.
9. Bahwa untuk itu, PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG dengan ini
mohon izin Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengutip
lampiran berdasarkan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada
angka 186 yang berbunyi:
Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal
sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian
norma yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh;
175

d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang


telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian.
10. Bahwa oleh karena penafsiran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (4)
huruf c UU Ormas, harus tetap dimaknai sebagai suatu norma hukum
yang melarang seluruh ormas di Indonesia untuk MENGANUT
MENGEMBANGKAN, SERTA MENYEBARKAN AJARAN ATAU
PAHAM YANG BERTENTANGAN DENGAN PANCASILA, TANPA
TERKECUALI maka, segala upaya dan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh suatu Ormas untuk mengganti Pancasila dengan sistem
Khilafah atau sistem lain yang memiliki tujuan yang sama dengan
Khilafah sudah pasti akan bertentangan dengan Pancasila.
11. Bahwa dengan demikian, pelanggaran ormas sebagaimana dimaksud
di atas, yaitu untuk mengganti Pancasila dengan paham lain secara
hukum dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran nyata terhadap
Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas, sehingga sesuai dengan asas
Contrarius Actus yang diatur dalam Perpu Ormas, Pemerintah melalui
kementerian hukum dan HAM memiliki alas hak dan wewenang untuk
mencabut status badan hukum ormas tersebut, tanpa mengurangi
wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji keabsahan
dari Objek Sengketa tersebut. Hal inilah yang menurut pandangan dari
Pihak Terkait Tidak Langsung sebagai pembatasan-pembatasan
yang dapat dilakukan dengan kekuatan suatu undang-undang (vide
Pasal 28J UUD 1945)
D. Tanggapan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mengenai dalil para
pemohon dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018 tentang Pasal
62 ayat (2) UU Ormas Bertentangan Dengan Pasal 28, Pasal 28 C ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 Karena
Menjatuhkan Sanksi Terhadap Ormas Hanya Berdasarkan
Subjektifitas Semata Tanpa Dibuktikan Pelanggarannya.
12. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan tegas
dalil Pemohon dalam Perkara Reg Nomor 2/PUU-XVI/2018, tanggal 03
Januari 2018 yang menyatakan bahwa Pasal 62 ayat (3) UU Nomor 16
Tahun 2017 yang berisi tentang Pencabutan Surat Keterangan
176

Terdaftar terhadap Ormas yang dijatuhi sanksi penghentian kegiatan


oleh Menteri Hukum dan HAM, bertentangan dengan hak-hak
konstitusional Para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945
karena dalil tersebut tidak beralasan dan terkesan mengada-ada.
13. Bahwa sebagaimana Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa
Pejabat Pemerintah memilik hak untuk menggunakan Kewenangan
dalam mengambil keputusan dan atau Tindakan. Hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: menerbitkan atau tidak
menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan
atau membatalkan keputusan dan/atau tindakan.
Sebagai contoh penerapan dari tindakan tata usaha negara berupa
pencabutan status badan hukum menurut UU Ormas ini adalah
dengan dicabutnya Status Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Sesuai dengan fakta-fata yang ada dan dasar
pertimbangan hukum yang cukup, dengan menggunakan Asas
Contrarius Actus, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM
telah melakukan pencabutan status badan hukum dari Perkumpulan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena eksistensi Perkumpulan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), sebagai suatu ormas secara nyata dan terang-
terangan telah bertentangan dengan Pancasila dan bahkan dengan
upaya-upaya yang sistematis dan masif telah berupaya untuk
mengganti Pancasila dengan sistem Khilafah yang berpotensi
memecah belah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
14. Bahwa untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat Tergugat pada Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo, maka
perkenankanlah PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG untuk
mengutip referensi mengenai Asas Contrarius Actus yang telah
dipahami dan dimakani oleh Penggugat secara keliru dan sempit
bahkan didalilkan Penggugat telah menghilangkan mekanisme
pengadilan dalam pencabutan status badan hukum dari suatu Ormas,
yaitu:
177

“Dalam hukum administrasi dapat dipahami bahwa suatu keadaan


hukum yang lahir oleh tindakan badan/pejabat pemerintahan
(dengan peraturan dan keputusan hanya dapat diubah atau
dibatalkan oleh badan/pejabat pemerintahan yang melahirkan
keadaan hukum tersebut, serta dengan tindakan yang sama, yaitu
dengan peraturan atau keputusan yang sama pada saat
melahirkan keadaan hukum yang akan diubah atau dibatalkan”.
(A’an Efendi & Freddy Poernomo, Hukum Administrasi, Jakarta, Sinar
Grafika, 2017, halaman 67-68)
15. Bahwa sekali lagi perlu PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG
tegaskan bahwa ormas-ormas yang ditindak berdasarkan ketentuan-
ketentuan hukum yang diatur dalam UU Ormas berhak dan tidak
dihilangkan kesempatannya untuk menguji keabsahan dari keputusan
tata usaha negara dari Pemerintah tersebut melalui suatu upaya
hukum gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sehingga
dalam hal ini tindakan Pemerintah tersebut tidaklah bersifat mutlak dan
bersifat otoriter, karena tetap diawasi dan diimbangi oleh
kewenangan yudikatif, sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
E. Tanggapan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mengenai dalil para
pemohon dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018, tanggal 03
Januari 2018 bertentangan Dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena Hak Asasi Untuk
Berserikat Tidak Dapat Dihapus Dengan Pencabutan Surat
Keterangan Terdaftar/Status Badan Hukum.
Hak Asasi setiap warga negara untuk berserikat tetap dapat dibatasi
dengan kekuatan undang-undang dan mengenai pencabutan status
badan hukum dari suatu ormas di indonesia oleh pemerintah republik
indonesiademi terciptanya ketertiban umum sudah pernah dilakukan
jauh sebelum berlakunya uu ormas, yaitu melalui staatsblad 1939-570
16. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG keberatan dan menolak
dengan tegas dalil para Pemohon dalam perkara Registrasi Nomor
2/PUU-XVI/2018, tanggal 03 Januari 2018 tentang kewenangan
Pencabutan oleh Pemerintah berdasarkan Perpu 2 Tahun 2017 yang
telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU Ormas
178

adalah bertentangan dengan hak-hak konstitusional para Pemohon


sebagaimana dimaksud dalam 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena dalil tersebut menunjukkan
kekurangpahaman para Pemohon atas pembatasan-pembatasan hak
yang dapat diatur dengan kekuatan setingkat undang-undang (vide
Pasal 28J UUD 1945).
17. Bahwa perlu PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG sampaikan bahwa
dalam menerbitkan Undang-Undang Ormas, Pemerintah Republik
Indonesia sama sekali tidak membatasi hak setiap warga negaranya
untuk berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat secara
lisan dan tulisan sepanjang kebebasan tersebut tidak melanggar asas
utama dari organisasi kemasyarakatan di Indonesia, yaitu Pancasila
yang merupakan Way of Life dari Bangsa Indonesia. Jadi sepanjang
roda organisasi yang dijalankan oleh para Pemohon tidak
bertentangan dengan Pancasila termasuk melanggar ketertiban umum
dan tidak melakukan upaya-upaya untuk menggantikan Pancasila
sebagai norma dasar bernegara (Staatsfundamentalnoorm)
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Perkumpulan Hizbut Tahrir
Indonesia, maka para Pemohon tidak perlu merasa khawatir dan
berasumsi akan terkena sanksi hukum yang diatur dalam Undang-
Undang Ormas ini;
18. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG juga menolak dengan
tegas dalil para Pemohon dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/
2018, tanggal 03 Januari 2018 yang mencampuradukan penerapan
Undang-Undang Yayasan dengan penerapan pencabutan status
badan hukum dalam UU Ormas, sebagaimana yang didalilkan oleh
Para Pemohon bahwa suatu yayasan hanya dapat dibubarkan dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dengan
alasan yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Dalam hal ini, PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menduga-duga
bahwa para Pemohon mungkin lupa bahwa eksistensi Yayasan
sebagai suatu badan hukum secara umum juga merupakan suatu
organisasi kemasyarakatan, sebagaimana dikatakan dengan jelas dan
tegas dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Ormas bahwa Ormas
179

Berbadan Hukum dapat berbentuk PERKUMPULAN atau


YAYASAN.
19. Bahwa hal ini juga tampaknya semakin menunjukkan
kekurangpahaman para Pemohon atas asas hukum Lex Posterior De
Rogat Legi Priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (Lex
posterior) dapat mengesampingkan hukum yang lama, sehingga
mekanisme pencabutan status badan hukum suatu Yayasan sebagai
suatu Ormas Berbadan Hukum yang diduga kuat telah melanggar
Pancasila adalah tunduk pada bagian ketentuan hukum mengenai
pencabutan status badan hukum yang diatur UU Ormas, sebagai Lex
Posterior dari mekanisme pencabutan/pembubaran yayasan yang
diatur dalam UU Yayasan yang merupakan Legi Priori.
20. Bahwa untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat PIHAK TERKAIT
TIDAK LANGSUNG kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi,
maka perkenankanlah Pihak Terkait Tidak Langsungmengingatkan
Para Pemohon bahwa penerapan Asas Contrarius Actus khususnya
dalam pencabutan status badan hukum dari suatu perkumpulan
sesungguhnya bukanlah suatu praktik hukum yang baru di Indonesia.
Adapun pandangan ini dikemukakan oleh salah satu pakar hukum
terkemuka di Indonesia, yaitu Wirjono Prodjodikoro selaku Guru Besar
Hukum Antar Negara dan mantan Ketua Mahkamah Agung RI, dalam
bukunya Hukum Perkumpulan Perseroan dan Koperasi Di Indonesia,
yang diterbitkan Dian Rakyat pada tahun 1985, pada halaman 19 yang
menyatakan:
“Bagi perkumpulan Indonesia, yang menjadi badan hukum
menurut Staatsblad 1939-570, hal kehilangan kedudukan sebagai
badan hukum ini diatur lebih panjang dan terperinci (Pasal-Pasal
22 s/d 29)…
Juga kini ada dua hal yang mengakibatkan kehilangan kedudukan
sebagai badan hukum, yaitu ke 1. ATAS PENETAPAN MENTERI
KEHAKIMAN, OLEH KARENA BERTENTANGAN DENGAN
KETERTIBAN UMUM, dan ke 2. Atas putusan hakim, oleh karena
tindakan perkumpulan yang menyimpang dari anggaran dasar atau
peraturan undang-undang.”
180

F. Tanggapan PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG mengenai dalil para


Pemohon dalam perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018, Tanggal 03
Januari 2018 yang menyatakan bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Ormas Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena didalilkan Multitafsir dan dapat
menjerat Pemohon hanya karena statusnya Pengurus atau Anggota
Ormas.
21. Bahwa PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan tegas
dalil Para Pemohon Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018,
tanggal 03 Januari 2018 mengenai Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Ormas Bertentangan dengan UUD 1945, karena
dengan adanya frasa “DENGAN SENGAJA” pada ketentuan Pasal
82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, maka dapat dipastikan bahwa
ancaman hukuman tersebut ditujukan bagi anggota dan/atau pengurus
Ormas yang memang dengan sengaja (Dolus) terlibat dalam tindak
pidana termaksud. Adapun perihal keberadaan frasa “tidak langsung
melanggar”, pun sesungguhnya bukanlah suatu hal yang perlu
dipersoalkan selama anggota dan/atau pengurus Ormas tersebut
dapat dibuktikan memang sengaja terlibat dalam tindak pidana
tersebut, terlepas dari apakah yang bersangkutan bertindak
sebagai pelaku (secara langsung) ataukah hanya membantu,
memberikan fasilitas, ataupun menyuruh-lakukan (secara tidak
langsung).
22. Bahwa selanjutnya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) juga tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena
penerapan sanksi pidana dalam suatu Perpu Ormas merupakan suatu
kebijakan kriminal atau politik hukum pidana yang sesuai dengan asas
legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, hal mana dalam hal Ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden dapat menetapkan suatu Perpu yang memiliki kekuatan
setingkat undang-undang yang dapat memuat sanksi administratif dan
sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium bagi Organisasi
Masyarakat atau pengurusnya yang melakukan hal-hal yang dilarang
181

oleh Perpu Ormas tersebut, misalnya dalam upaya yang dilakukan


secara sistematis dan masif dalam menganut, mengembangkan dan
menyebarkan paham komunisme, leninisme dan paham lain yang
hendak mengganti dan mengubah Pancasila.
23. Bahwa dengan demikian dalam memberikan pengaturan sanksi pidana
dalam suatu Perpu in casu yang telah disahkan menjadi UU Ormas
yang memiliki kekuatan mengikat setingkat undang-undang, maka
Pemerintah juga berhak menetapkan sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) formil, yaitu untuk menetapkan apakah suatu
perbuatan termasuk atau memiliki sifat melawan hukum. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari seorang Ahli Hukum Pidana terkemuka di
Indonesia, yakni Prof. Moeljatno, yang dalam pidato peringatan Dies
Natalis Ke VI UGM tanggal 19 Desember 1955 tentang Perbuatan
Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, halaman
19 berpendapat bahwa:
“Ada atau tidak adanya perbuatan pidana, dari apa yang dikatakan
diatas adalah tergantung dari hal, apakah perbuatan sebagaimana
yang dirumuskan dalam undang-undang dinilai sebagai melawan
hukum atau tidak, sebab pada umumnya sifat melawan hukumnya
perbuatan memang ditentukan dari unsur-unsur yang lahir. Tetapi dari
sejarah perumusan perbuatan pidana ternyata yang perlu dilarang
adalah bukan saja perbuatan yang dari keadaan lahirnya ternyata
bersifat melawan hukum, bahkan juga perbuatan yang meskipun
menurut sifat lahirnya tidak melawan hukum, tetapi dalam batin
orang yang melakukan dimaksud untuk mewujudkannya.” (Prof.
Mr. Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Djawab Dalam
Hukum Pidana, disampaikan dalam Pidato Upacara Peringatan Dies
Natalis Ke VI Universitas Gadjah Mada, di Sitihinggil Jogjakarta pada
tanggal 19 Desember 1955, Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada,
Jogjakarta)
24. Bahwa oleh karena itu, kebijakan kriminal dalam Undang-Undang
Ormas yang menentukan sanksi pidana bagi pengurus Ormas yang
melanggar PASAL 59 AYAT (3) HURUF C DAN D UNDANG–
UNDANG ORMAS (MISALNYA MELAKUKAN KEKERASAN,
182

MENGGANGGU KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN UMUM)


sebenarnya jauh lebih soft daripada pengaturan dari larangan terhadap
komunisme yang diatur Di KUHP.
Sebagai perbandingan, dalam KUHP yang sekarang berlaku terdapat
pengaturan tindak pidana komunisme yang dimasukkan ke dalam
KUHP melalui UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP
yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Kejahatan ini mulai dimasukkan kedalam KUHP sebagai konsekuensi
dari dicabutnya UU Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi melalui UU Nomor 26 Tahun
1999 serta masih berlakunya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/
1966 dan pemberlakuan TAP MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 tentang
Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, di antaranya dalam
ketentuan sebagai berikut:
Pasal 107 d KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan
1isan, tu1isan dan atau melalui rnedia apa pun. menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan
maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 e KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
c. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut
diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau
dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
d. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau
memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di
luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan
perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan Pemerintah yang sah
25. Bahwa berkenaan dengan persoalan mengenai ketentuan Pasal 59
ayat (3) dan ayat (4) yang diawali oleh frasa “ormas dilarang”, hal
tersebut adalah hal yang sudah sepatutnya dan sewajarnya, agar
183

suatu Ormas yang notabene identik dengan aksi yang melibatkan


anggota dalam jumlah besar, dibebani tanggung jawab pembinaan dan
pengawasan terhadap tindak-tanduk anggotanya. Dengan kata lain,
ketentuan tersebut mempunyai asas manfaat bahwa manakala terjadi
suatu tindakan anggota dan/ atau pengurus dari suatu Ormas yang
bertentangan dengan ketentuan dalam UU Ormas, maka Ormas tidak
dengan serta merta dapat “mencuci tangan” dan mendalilkan bahwa
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anggota dan/atau
pengurus Ormas adalah semata tanggung jawab pribadi yang
bersangkutan.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, maka Pihak Terkait Tidak
Langsung mohon kepada Yang Mulia Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
berkenan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
PETITUM:
DALAM EKSEPSI
Maka, berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, sudilah kiranya Mahkamah
Konstitusi memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian ini dengan amar
sebagai berikut:
1. Menerima dan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk ditetapkan menjadi
Pihak Terkait Tidak Langsungdalam pemeriksaan Permohonan Register
Nomor 2/PUU-XV/2017, tanggal 03 Januari 2017;
2. Menyatakan Permohonan para Pemohon sebagaimana dimaksud
Permohonan Register Nomor 2/PUU-XV/2017, tanggal 03 Januari 2017
ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima
(Niet Ontvankelijk Verklaard).
DALAM POKOK PERKARA
1. Menerima dan mengabulkan seluruhnya permohonan PIHAK TERKAIT
TIDAK LANGSUNG terhadap Permohonan Register Nomor 2/PUU-
XV/2017, tanggal 03 Januari 2017, tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6139);
184

2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6139) Konstitusional dan Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga mempunyai kekuatan hukum
mengikat untuk seluruhnya.
3. Menolak permohonan para Pemohon Permohonan Register Nomor 2/PUU-
XV/2017, tanggal 03 Januari 2017, tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6139)
4. Bahwa berdasarkan uraian PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG, maka
Permohonan PARA PEMOHON SUDAH SEPATUTNYA DITOLAK SAJA
ATAU SETIDAK-TIDAKNYA TIDAK DAPAT DITERIMA;
5. Memerintahkan Pemuatan Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan Pihak Terkait terhadap pengujian, dicatatkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia, sebagaimana seharusnya
Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).

[2.9] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pihak Terkait


Tidak Langsung LBH Pembela Pancasila telah mengajukan alat bukti surat/tulisan
yang diberi tanda bukti PTTL-1 sampai dengan bukti PTTL-4, sebagai berikut:

1. Bukti PPTTL-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon Pihak Terkait


Tidak Langsung;
2. Bukti PPTTL-2 : Fotokopi Akta Pendirian Perkumpulan LBH Pembela
Pancasila Nomor 2 tanggal 09 Oktober Tahun 2017 dan
SK Kementerian Hukum dan Ham Nomor AHU-
0016643.AH.01.07. TAHUN 2017, ditetapkan di Jakarta,
tanggal 20 November 2017;
3. Bukti PPTTL-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017
185

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang;
4. Bukti PPTTL-4 : Fotokopi Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.

[2.10] Menimbang bahwa para Pemohon, Presiden, Pihak Terkait Tidak


Langsung Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), dan Pihak Terkait Tidak
Langsung Lembaga Bantuan Hukum Pembela Pancasila (LBH Pembela
Pancasila) mengajukan kesimpulan tertulis yang pada pokoknya masing-masing
tetap dengan pendiriannya;

[2.11] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,


segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara
Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
186

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah


pengujian konstitusionalitas undang-undang, in casu Pasal I angka 6 sampai
dengan angka 21, frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4)
huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6084,
selanjutnya disebut UU Ormas) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang
mengadili permohonan para Pemohon;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap


UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
187

[3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU


MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana tersebut pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon
sebagai berikut:

1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian


konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal I angka 6 sampai
dengan angka 21, frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4)
huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2),
yang masing-masing menyatakan sebagai berikut:

Pasal I:

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013


tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5430) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut: …
188

2. ….
3. ….
4. ….
5. ….
6. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 66 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 69 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 70 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 71 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 76 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 77 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
22. ...
23. …

Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c:


Yang dimaksud dengan “ajaran atau paham lain yang bertentangan
dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-
leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 62 ayat (3):
(1) …
(2) …
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dan hak
asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum.
Pasal 80A:
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan
bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
ini.
189

Pasal 82A:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.

2. Bahwa Pemohon I, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, adalah Ormas


berbadan hukum berbentuk yayasan sebagaimana dibuktikan dengan Akta
Pernyataan Rapat Nomor 22 tanggal 22 Februari 2007 tentang Perubahan
Anggaran Dasar Yayasan serta Penetapan Susunan Pembina, Pengurus dan
Pengawas disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
yang dibuat dihadapan Notaris Lely Roostiati Yudo Paripurno, S.H., sebagai
pengganti sementara dari Notaris Yudo Paripurno, S.H., Notaris di Jakarta.
Pemohon I dalam Permohonan ini diwakili oleh Drs. H. Mohammad Siddik,
MA. selaku Ketua Umum dan H. Amril Saifa selaku Wakil Ketua Umum yang
diangkat berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Nomor 03 tanggal 03
Maret 2016 tentang Pengangkatan Anggota Pembina, Pengawas dan
Pengurus yang dibuat dihadapan Notaris Edi Priyono, S.H., Notaris di Kota
Administrasi Jakarta Pusat [bukti P.I-01], dan telah diterima dan dicatat di
dalam database Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI sebagaimana dimuat dalam Surat Nomor AHU-
AH.01.06-0001687 tentang Penerimaan Perubahan Data Yayasan Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia tertanggal 01 April 2016 [bukti P.I-02] serta
berdasarkan Surat Keputusan Pembina Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia Nomor 006/SK/Pembina/XI/1438 H/2016 M tentang Perubahan
Struktur Organisasi Pengurus Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Periode 2015-2020, sehingga berdasarkan hal tersebut dan juga Pasal 35
ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Drs. H.
190

Mohammad Siddik, MA. dan H. Amril Saifa sah dan berwenang bertindak
untuk dan atas nama Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia selaku
Pemohon dalam permohonan a quo;

3. Bahwa Pemohon II, Yayasan Forum Silaturahim Antar Pengajian, adalah


Ormas berbadan hukum berbentuk yayasan sebagaimana dibuktikan dengan
Akta Pendirian Yayasan Forum Silaturrahim Antar Pengajian Nomor 1 tanggal
06 Agustus 2012 yang dibuat di hadapan Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn.,
Notaris di Kota Jakarta Timur [bukti P.II-01] dan telah mendapatkan
pengesahan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-
2852.AH.01.04.Tahun 2014 tentang Pengesahan Forum Silaturrahim Antar
Pengajian tertanggal 03 Juni 2014 [bukti P.II-02]. Pemohon II dalam
Permohonan ini diwakili oleh Dra. Hj. Nurdiati Akma, M.Si selaku Ketua Umum
dan Hj. Zuriaty Anwar S.Sos selaku Sekretaris Umum yang diangkat
berdasarkan Surat Keputusan Pembina Nomor 002/SK Pembina PP
FORSAP/05/3026 tentang Kepengurusan PP Forsap Tahun 2015-2018 [bukti
P.II-03], sehingga berdasarkan hal tersebut serta Pasal 35 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Dra. Hj. Nurdiati Akma, M.Si
dan Hj. Zuriaty Anwar S.Sos sah dan berwenang bertindak untuk dan atas
nama Yayasan Forum Silaturrahim Antar Pengajian selaku Pemohon dalam
permohonan a quo;

4. Bahwa Pemohon III, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, adalah Ormas


berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan
Akta Pendirian Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia Nomor 39 tanggal
30 Januari 2015 yang dibuat di hadapan Yonsah Minanda, S.H., M.H., Notaris
di Kota Administrasi Jakarta Selatan [bukti P.III-01]. Pendirian dan susunan
pengurus telah mendapatkan pengesahan berdasarkan Keputusan Menteri
Hukum dan HAM Nomor AHU-0000119.01.07.Tahun 2015 tentang
Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Pemuda Muslimin
Indonesia tertanggal 02 Februari 2015 [bukti P.III-02 dan bukti P-III-03],
sehingga M. Muhtadin Sabili selaku Ketua Umum dan H. Muhclis Zamzami
Can, MA. Selaku Ketua I sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama
Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia selaku Pemohon dalam
permohonan a quo;
191

5. Bahwa Pemohon IV, Perkumpulan Hidayatullah, adalah Ormas berbadan


hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta
Pendirian Perkumpulan Hidayatullah Nomor 27 tanggal 20 Januari 2012 yang
dibuat dihadapan Hj. Wiwik Rowiyah Suparno, S.H., M.Kn., Notaris di Kota
Bekasi [bukti P.IV-01] dan Akta Pernyataan Keputusan Musyawarah Nasional
(Munas) IV Hidayatullah Nomor 09 tanggal 26 Januari 2016 yang dibuat
dihadapan Indah Khaerunnisa, S.H., M.Kn., Notaris di Jakarta [bukti P.IV-02]
dan telah mendapatkan pengesahan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum
dan HAM Nomor AHU-16.AH.01.07.Tahun 2013 tentang Pengesahan Badan
Hukum Perkumpulan Hidayatullah tertanggal 11 Februari 2013 [bukti P.IV-03].
Pemohon IV dalam Permohonan ini diwakili oleh Dr. Nashirul Haq Marling, Lc,
MA selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat dan Ir. Chandra Kurnianto,
MM selaku Sekretaris Jenderal yang telah mendapatkan pengesahan
berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor AHU-
0000589.AH.01.08.Tahun 2016 tentang Persetujuan Perubahan Badan
Hukum Perkumpulan Hidayatullah tertanggal 21 November 2016 [bukti P.IV-
04], sehingga berdasarkan hal tersebut Dr. Nashirul Haq Marling, Lc, MA dan
Ir. Chandra Kurnianto, MM sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama
Perkumpulan Hidayatullah selaku Pemohon dalam permohonan a quo;

6. Bahwa Pemohon V, H. Munarman, S.H., perorangan warga negara Indonesia


sebagaimana dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon
V [bukti P.V-01]. Pemohon IV juga merupakan Sekretaris Umum Dewan
Pimpinan Pusat Front Pembela Islam [bukti P.V-02] yang menurut Pemohon V
merupakan sebuah sebuah organisasi kemasyarakatan yang terdaftar di
Kementerian Dalam Negeri berdasarkan surat keterangan terdaftar Nomor 01-
00-00/0010/D.III.4/VI/2014;

7. Bahwa berdasarkan uraian pada angka 2 sampai dengan angka 6 di atas


telah ternyata keseluruhan Pemohon adalah Ormas dan perorangan warga
negara Indonesia anggota Ormas (yang selanjutnya disebut para Pemohon);

8. Bahwa dalam menjelaskan anggapannya perihal kerugian hak


konstitusionalnya yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan atau norma UU
Ormas yang dimohonkan pengujian, yaitu hak-hak sebagaimana tertera dalam
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945 yang disebabkan oleh norma Pasal I angka 6 sampai dengan
192

angka 21, frasa “atau paham lain” dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c,
Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, para
Pemohon menerangkan sebagai berikut:
a. menurut para Pemohon, berlakunya Pasal I angka 6 sampai dengan angka
21 UU Ormas menjadikan status badan hukum Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV terancam dicabut dan dibubarkan kapan pun tanpa adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang membuktikan
adanya pelanggaran yang dilakukan Pemohon I sampai dengan Pemohon
IV, oleh karenanya melanggar hak-hak konstitusional para Pemohon dalam
hal mendapatkan jaminan dalam proses hukum yang berkeadilan (due
process of law);
b. menurut para Pemohon, hak konstitusionalnya untuk meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya, dan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
dirugikan dengan adanya frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal
59 ayat (4) huruf c UU Ormas karena secara subjektif sangat berpotensi
disalahgunakan oleh aparatur pelaksana UU Ormas;
c. menurut para Pemohon, Pasal 62 ayat (3) dan Pasal 80A UU Ormas
merugikan hak kontitusionalnya karena memberikan kewenangan kepada
Menteri dalam bidang hukum dan HAM untuk mencabut status badan
hukum dan membubarkan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tanpa
proses pembuktian di pengadilan. Demikian juga terhadap Pemohon V,
tidak dapat beraktivitas dalam berserikat dan berkumpul, memajukan diri
dan memperjuangkan haknya secara kolektif di organisasinya karena
Menteri Dalam Negeri kapan pun dapat mencabut surat keterangan
terdaftar dan membubarkan organisasinya tanpa pertimbangan Mahkamah
Agung;
d. menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU
Ormas berpotensi merugikan hak kontitusionalnya untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
rasa aman dan perlindungan dari ancaman dan ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi karena para
Pemohon dapat dijerat hanya karena semata-mata berstatus sebagai
193

anggota atau pengurus suatu ormas, meskipun tidak melakukan perbuatan


pidana;

Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kedudukan


hukumnya di atas, Mahkamah berpendapat bahwa, terlepas dari terbukti atau
tidaknya dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma UU Ormas yang
dimohonkan pengujian, bahwa para Pemohon telah secara spesifik menjelaskan
hak konstitusionalnya yang oleh para Pemohon dianggap dirugikan karena
berlakunya Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21, frasa “atau paham lain”
dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, dan
Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, di mana telah terlihat pula kausalitas
anggapan para Pemohon perihal potensi kerugian hak konstitusional dimaksud
dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sehingga jika
permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak akan terjadi.

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
pokok permohonan para Pemohon.

Pokok Permohonan

[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas ketentuan


maupun norma UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo,
para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah
dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini yang pada pokoknya sebagai
berikut:

A. Berkenaan dengan Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU Ormas, para


Pemohon mendalilkan bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU
Ormas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan argumentasi
lebih lanjut yang pada intinya sebagai berikut:
a. bahwa, menurut para Pemohon, negara hukum menekankan pada
supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, dan pembagian
kekuasaan, di mana hal-hal tersebut dihilangkan oleh Pasal I angka 6
sampai dengan angka 21 UU Ormas karena menghapus prosedural
pemberian sanksi terhadap Ormas yang tercantum dalam Pasal 63 sampai
194

dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang


Organisasi Kemasyarakatan;
b. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21
UU Ormas mengancam hak konstitusional para Pemohon dalam kebebasan
berkumpul, berserikat, menyatakan pendapat, memperjuangkan hak secara
kolektif, mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai
dengan hati nurani, sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat
(2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena
menghilangkan peran pengadilan dalam menjatuhkan sanksi terhadap
Ormas, sehingga kapan pun secara subjektif pemerintah dapat melakukan
pencabutan terhadap status badan hukum Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV atau melakukan pencabutan terhadap surat keterangan
terdaftar dari Ormas Pemohon V;
c. bahwa, menurut para Pemohon, hilangnya peran pengadilan sebagaimana
dimaksud pada huruf b di atas juga berpotensi merugikan hak konstitusional
para Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena secara
subjektif kapan pun pemerintah dapat membubarkan Pemohon I sampai
dengan Pemohon IV dengan mencabut status badan hukumnya atau
mencabut surat keterangan terdaftar dari Ormas Pemohon V;
d. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21
UU Ormas mereduksi lembaga kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia;
e. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21
UU Ormas tidak sejalan dengan Article 14 point a International Covenant on
Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005;
f. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21
UU Ormas yang mencabut ketentuan Pasal 63 sampai dengan Pasal 78
195

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan yang menjamin due process of law menjadikan
pemerintah sebagai penafsir tunggal hidup matinya suatu Ormas tanpa
memberi kesempatan membela diri.

B. Berkenaan dengan frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat
(4) hurud c UU Ormas, para Pemohon mendalilkan bahwa frasa tersebut
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena tidak jelas, multitafsir
yang rentan digunakan secara serampangan oleh Pemerintah untuk menjerat
Ormas-ormas beserta pengurus dan anggotanya dengan tuduhan Anti-
Pancasila, dengan argumentasi lebih lanjut yang pada intinya:
a. bahwa, menurut para Pemohon, sampai saat ini tidak ada tafsir resmi
tentang Pancasila sehingga bergantung pada penafsiran rezim yang
berkuasa;
b. bahwa, menurut para Pemohon, secara legalistik konstitusional Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia telah mengkualifikasi paham atau
ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, yaitu:
- Paham atau ajaran ateisme, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 beserta
Penjelasannya dan Penjelasan Umum Penetapan Presiden Nomor
1/PNPS Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama;
- Paham Komunisme, Marxisme-Leninisme berdasarkan Ketetapan MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966, konsiderans bagian “Menimbang” huruf a
sampai dengan c. Kemudian, norma dalam TAP MPRS ini dijadikan
dasar pemidanaan orang yang menyebarkan ajaran dimaksud
sebagaimana tercantum dalam Pasal 107a, Pasal 107c, Pasal 107d,
Pasal 107e KUHP juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan
Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara;
c. bahwa, menurut para Pemohon, pencantuman frasa “atau paham lain”
dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) UU Ormas mengakibatkan makna
bertentangan dengan Pancasila tersebut menjadi sangat luas yang dapat
menyasar Ormas mana pun, termasuk para Pemohon sebagai Ormas-
196

ormas yang beraktivitas dalam bidang Dakwah Islam dan sosial


kemasyarakatan;
d. bahwa, menurut para Pemohon, karena frasa “atau paham lain” dalam
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas dapat digunakan secara
subjektif oleh Pemerintah, hal itu mengancam hak konstitusional para
Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28C, Pasal 28E,
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, apalagi ditambah
dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (2) UU
Ormas;
e. bahwa, menurut para Pemohon, aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para
Pemohon yang berkeyakinan mengenai kebenaran Al-Qur’an sebagai satu-
satunya hukum yang haq adalah dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Bahkan jaminan terhadap keyakinan tersebut tercantum dalam An
Agreement of the people for a firm and present peace upon grounds of
common rights, 28 October, 1647 yang menyatakan bahwa masalah agama
dan cara menyembah Tuhan sama sekali tidak diberikan kepada kita oleh
kekuatan manusia mana pun dan oleh sebab itu tidak bisa dicabut atau
menambah sedikitpun apa yang oleh hati kecil kita dianggap sebagai
pemikiran Tuhan tanpa berbuat dosa. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 48
sampai dengan ayat 50 memerintahkan tentang kewajiban umat Islam untuk
berhukum pada hukum Allah;
f. bahwa, menurut para Pemohon, dalam kaitan dengan perintah untuk
berhukum kepada hukum Allah tersebut umat Islam diperintahkan
berkewajiban menegakkannya secara kaffah sebagaimana dimaksud Surah
Al-Baqarah 208. Namun, karena multitafsirnya frasa “atau paham lain”
dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas para Pemohon
rentan dijerat karena keyakinannya tersebut dengan tuduhan menganut dan
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan
hendak mengganti/mengubahnya dengan syariat Islam;

C. Berkenaan dengan Pasal 62 ayat (3) UU Ormas, para Pemohon mendalilkan


bahwa Pasal 62 ayat (3) UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena
menjatuhkan sanksi terhadap Ormas hanya berdasarkan subjektivitas semata
197

tanpa dibuktikan mengenai pelanggarannya, dengan argumentasi lebih lanjut


yang pada intinya:
a. bahwa, menurut para Pemohon, kandungan Pasal 59 ayat (3) [sic!] UU
Ormas memaknai hak asasi manusia (natural rights) dengan menekankan
pada kewajiban, bukan pada hak masyarakat, karena mengartikan status
badan hukum dan surat keterangan terdaftar dari suatu ormas sebagai
pemberian negara sehingga kapan pun negara dapat mencabutnya sesuai
dengan kehendaknya. Padahal, menurut para Pemohon, konsepsi HAM di
Indonesia, sebagaimana tampak dari Pembukaan UUD 1945, menekankan
pada hak masyarakat yang mesti dijaga dan dilindungi oleh negara. Oleh
karena itu, dalam kaitannya dengan ormas, fungsi pemerintah hanyalah
mensahkan keberadaan suatu ormas melalui pendaftaran atau pemberian
status badan hukumnya karena hak dalam kemerdekaan berkumpul,
berserikat, mengeluarkan pendapat, memajukan diri dengan
memperjuangkan hak secara kolektif sama sekali bukan hak yang diberikan
negara melainkan hak-hak kodrati yang melekat pada setiap orang sebagai
pemberian Tuhan Yang Maha Esa (natural rights) yang mesti dijamin dan
dijaga oleh negara;
b. bahwa, menurut para Pemohon, sebagai pihak yang hanya mensahkan
keberadaan suatu ormas melalui pemberian status badan hukum atau surat
keterangan terdaftar, pemerintah tidak serta-merta dapat mencabutnya
sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa pembuktian bahwa ormas yang
bersangkutan memang layak mendapatkan sanksi tersebut. Sebab, apabila
demikian pasti dapat menimbulkan kesewenang-wenangan;

D. Berkenaan dengan Pasal 80A UU Ormas, para Pemohon mendalilkan bahwa


Pasal 80A UU Ormas bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena hak asasi dalam
kemerdekaan berkumpul dan berserikat tidak dapat dihapus dengan
pencabutan Surat Keterangan Terdaftar/Status Badan Hukum, dengan
argumentasi lebih lanjut yang pada intinya:
a. bahwa, menurut para Pemohon, oleh karena menurut Pasal 80A UU Ormas
ditentukan bahwa suatu Ormas bubar sebagai akibat pencabutan status
badan hukum pada Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf [sic!], yang
dilakukan oleh pemerintah sebagaimana Pasal 62 ayat (3) UU Ormas maka
198

dalil-dalil para Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 62 ayat


(3) UU Ormas mutatis mutandis berlaku terhadap pengujian Pasal 80A UU
Ormas;
b. bahwa, menurut para Pemohon, pengesahan status badan hukum suatu
Ormas hanya pengakuan pemerintah terhadap Ormas sebagai subjek
hukum yang memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang
terpisah dengan pengurus dan anggotanya. Para Pemohon kemudian
mengacu pada Pasal 15 UU Ormas serta mengutip sebagian dari
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-
XI/2013 dan menarik kesimpulan bahwa pencabutan status badan hukum
suatu Ormas tidak serta-merta mengakibatkan Ormas yang bersangkutan
bubar tetapi hanyalah membuatnya tidak mendapatkan pelayanan dari
pemerintah;
c. bahwa, menurut para Pemohon, tidak dinafikan kalau hak dan kebebasan
dapat dibatasi dengan undang-undang untuk menjamin hak orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, namun
pencabutan hak berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat dengan
membubarkan ormas secara sepihak tanpa dibuktikan pelanggarannya
merupakan kampanye perlawanan terhadap Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
d. bahwa, menurut para Pemohon, pendekatan ketertiban dan keamanan
digunakan oleh UU Ormas, sebagaimana tampak dari Konsiderans huruf a
UU Ormas, tidak dapat mengesampingkan hak masyarakat untuk
mendapatkan proses hukum yang berkeadilan (due process of law) yang
dalam hal ini mesti dibuktikan adanya kesalahan dan pelanggaran bagi
suatu ormas sebelum dibubarkan. Pasal 28J UUD 1945 adalah senapas
dengan Article 21 ICCPR maka, sebagai negara yang meratifikasi ICCPR,
haram hukumnya membatasi hak berkumpul dan berserikat secara subjektif
dan tanpa adanya pembuktian suatu ormas melakukan kekacauan,
gangguan, dan mengangkat senjata;
e. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 68 UU Ormas [sic!] yang memberi
kewenangan kepada pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa terlebih
dahulu dibuktikan pelanggarannya sama artinya menempatkan hak
konstiusional para Pemohon di belakang atau tidak penting dan membuka
199

lebar pemerintahan otoriter sebab secara sepihak pemerintah dapat


membredel Ormas-ormas yang berseberangan;
f. bahwa, menurut para Pemohon, tidak benar kerusakan yang ditimbulkan
oleh pembubaran suatu ormas dapat dipulihkan melalui saranan pengadilan
seperti PTUN yang membatalkan keputusan pembubarannya akan tetapi
faktanya kerusakan telah terjadi dan tidak mudah mengembalikan pada
keadaan semula karena seketika itu pula mencabut hak konstitusional para
Pemohon untuk berkumpul dan menyatakan pendapat dengan
menggolongkannya sebagai ormas terlarang yang memberi stigma negatif
di masyarakat;
g. bahwa, menurut para Pemohon, khusus untuk Pemohon I dan Pemohon II
selaku Yayasan, Pasal 80A UU Ormas tumpang tindih dengan Pasal 62
huruf c dan Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan sebagaima diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 [sic!]
Tahun 2004;

E. Berkenaan dengan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, para Pemohon
mendalilkan bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena
multitafsir dan tidak ketat yang dapat menjerat para Pemohon hanya karena
statusnya sebagai pengurus atau anggota Ormas, dengan argumentasi lebih
lanjut yang pada intinya:
a. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas
mengancam hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi karena tidak
dirumuskan secara jelas dan ketat yang dapat menjerat para Pemohon
meskipun tidak melakukan perbuatan pidana;
b. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) juncto
Pasal 59 ayat (3) UU Ormas mencampuradukkan dua subjek hukum yang
berbeda dengan perbuatan yang berbeda dalam satu ketentuan pidana.
Subjek hukum Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) adalah “orang.” Namun, Pasal
59 ayat (3) dan ayat (4) UU Ormas yang ditunjuk oleh Pasal 82A ayat (1)
dan ayat (2) UU Ormas merupakan perbuatan yang dilakukan oleh “ormas”,
200

bukan “orang”. Ketidakjelasan atau ambiguitas pemaknaan Pasal 82A ayat


(1) dan ayat (2) juncto Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) UU Ormas sangat
berbahaya karena menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat menjerat
para Pemohon selaku pengurus sekaligus anggota Ormas meskipun tidak
melakukan perbuatan apa pun berupa commission (aktif) maupun
ommission (pasif), sehingga hal itu menyalahi prinsip nulla poena sine
crimine. Para Pemohon kemudian mengutip sebagian pertimbangan hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 juncto Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-X/2012 yang berkait dengan prinsip lex
certa dan lex stricta dengan penekanan bahwa, menurut para Pemohon,
Pasal 59 ayat (1) huruf a Undang-Undang 17 Tahun 2013 yang disebut
dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut rumusannya identik dengan
rumusan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 59 ayat (3) dan ayat
(4) UU Ormas;
c. bahwa, menurut para Pemohon, selain mengandung ketidakjelasan, Pasal
82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas juga mengandung perumusan yang
tidak ketat karena menggunakan frasa “secara tidak langsung melanggar
ketentuan” sebagai unsur delik. Dengan frasa demikian, Pasal 82 ayat (1)
dan ayat (2) UU Ormas dapat menjadikan semua anggota atau pengurus
ormas yang menjadi faktor penyebab dari timbulnya tindak pidana dapat
dijerat dengan ketentuan tersebut.

[3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para


Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P.V-2 serta 1 (satu) orang saksi bernama Faridj Wadjdi dan 3 (tiga)
orang ahli yaitu Dr. Zen Zanibar M.Z., S.H., M.H., Dr. H. Abdul Chair Ramadhan,
S.H., M.H., dan Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. yang masing-masing telah didengar
keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya
(sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). Para Pemohon
juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 28 Maret 2018;

[3.9] Menimbang bahwa DPR telah memberikan keterangan lisan dalam


persidangan dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
201

pada tanggal 28 Maret 2018 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian


Duduk Perkara).

[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan lisan dalam


persidangan dan keterangan tertulis pada tanggal 22 Februari 2018 dan tanggal 27
Maret 2018 serta mengajukan 1 (satu) orang ahli yaitu Prof. Dr. H. Romli
Atmasasmita, S.H., LLM yang telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana
selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). Presiden juga telah
menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 27 Maret 2018;

[3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung Forum Advokat


Pengawal Pancasila (FAPP) telah memberikan keterangan lisan dalam
persidangan pada tanggal 6 Maret 2018 dan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Februari 2018 serta mengajukan bukti
surat/tulisan yang diberi tanda bukti PTTL-1 sampai dengan bukti PTTL-5 dan juga
telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 28 Maret 2018;

[3.12] Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung Lembaga Bantuan


Hukum Pembela Pancasila (LBH Pembela Pancasila) telah memberikan
keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 6 Maret 2018 dan keterangan
tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 14 Februari 2018
serta mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PPTTL-1 sampai
dengan bukti PPTTL-4 dan juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Maret 2018;

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan


para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan serta pihak-pihak sebagaimana
diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, sebelum mempertimbangkan pokok
permohonan lebih jauh, Mahkamah terlebih dahulu harus mempertimbangkan
perihal pengujian Pasal 80A UU Ormas, oleh karena Pasal 80A UU Ormas
tersebut telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-
XV/2017, bertanggal 13 Desember 2018, dengan amar putusan yang menyatakan
202

“Pemohonan para Pemohon tidak dapat diterima”. Hal yang menjadi persoalan
dalam hubungan ini, apakah berlaku ketentuan sebagaimana tertuang dalam Pasal
60 UU MK dan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK
06/2005).

Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika
materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Sementara itu, Pasal 42 PMK 06/2005 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU
terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan
perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan
pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi
alasan permohonan yang bersangkutan berbeda
Dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK
06/2005 di atas, secara formil, Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 tidak
berlaku terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 80A UU Ormas
dalam permohonan a quo, sebab Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005
adalah dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap permohonan kembali suatu
norma atau suatu ketentuan undang-undang di mana norma atau ketentuan
undang-undang tersebut sebelumnya telah pernah diuji dan dinyatakan ditolak
oleh Mahkamah. Oleh karena itu, ada atau tidak ada dasar pengujian
konstitusionalitas baru dalam permohonan a quo untuk menguji konstitusionalitas
Pasal 80A UU Ormas, terhadap Pasal 80A UU Ormas dapat dimohonkan
pengujian kembali.

Namun demikian, dalam hal ini Mahkamah penting menegaskan bahwa


meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 dalam
pengujian Pasal 80A UU Ormas menyatakan permohonan para Pemohon tidak
dapat diterima, secara substansial Mahkamah sesungguhnya menolak
permohonan para Pemohon. Dinyatakan “tidak dapat diterima”-nya permohonan
para Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017
tersebut karena ternyata kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan
203

tersebut berkait erat dengan pokok perkara sehingga perihal kedudukan hukum
para Pemohon itu baru dapat diketahui setelah Mahkamah mempertimbangkan
pokok permohonan. Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
94/PUU-XV/2017 menyatakan:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara
saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti surat/tulisan,
mendengar dan membaca keterangan ahli, dan membaca kesimpulan
yang diajukan para Pemohon, mendengar dan membaca keterangan
Presiden (Pemerintah) serta membaca dan mendengar keterangan ahli
yang diajukan oleh Presiden, maka sebelum mempertimbangkan lebih
jauh dalil-dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih
dahulu mempertimbangkan sebagai berikut:
1. bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
perbedaan dalam ajaran negara hukum menurut konsepsi rechtsstaat,
etat de droit, dan rule of law, ketiga konsepsi tersebut memuat tiga
substansi dasar yang sama yaitu: (1) substansi yang memuat
gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh hukum.
Sekalipun pada mulanya substansi ini ditujukan untuk membatasi
kekuasaan penguasa (in casu raja) yang dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat
tiranik, dalam perkembangan selanjutnya gagasan bahwa pemerintah
(dalam arti luas) dibatasi oleh hukum sekaligus dimaksudkan untuk
menjamin dan melindungi hak-hak dan kebebasan mendasar warga
negara; (2) substansi yang memuat gagasan tentang legalitas formal
yaitu gagasan yang menekankan keharusan adanya suatu tertib
hukum (legal order) yang dibuat dan dipertahankan oleh negara; (3)
substansi yang memuat gagasan bahwa hukumlah yang memerintah,
bukan manusia [vide, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 7/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018]. Secara umum,
lahirnya UU Ormas juga berpijak pada tiga substansi dasar negara
hukum di atas. Artinya, pertama, tindakan pemerintah yang berkait
dengan ormas dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam UU Ormas
tersebut di mana pembatasan demikian dilakukan demi melindungi
hak-hak dan kebebasan dasar warga negara; kedua, UU Ormas
adalah salah satu bentuk tertib hukum (legal order) yang dibuat dan
dipertahankan oleh negara demi melindungi berbagai kepentingan
dalam kehidupan bernegara guna mencapai tujuan negara; ketiga,
dengan mendasarkan tindakan pada tertib hukum dimaksud, in casu
UU Ormas, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa hukumlah yang
memerintah, bukan orang;
2. bahwa gagasan negara hukum yang dipraktikkan di Indonesia adalah
negara hukum yang berlandaskan prinsip supremasi konstitusi, dalam
hal ini UUD 1945. Artinya, seluruh tindakan negara maupun warga
negara tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, yaitu UUD 1945.
Sementara itu, yang dimaksud dengan UUD 1945, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, adalah terdiri
atas Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, dalam
menilai kesesuaian atau pertentangan suatu perbuatan dengan UUD
204

1945 bukanlah hanya berarti kesesuaian atau pertentangan perbuatan


itu dengan pasal-pasal UUD 1945 secara parsial melainkan terhadap
UUD 1945 secara holistik yaitu Pembukaan dan pasal-pasal UUD
1945. Hal demikian juga berlaku dalam menilai konstitusionalitas UU
Ormas;
3. bahwa Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan fundamental sebab
merupakan jiwa dari UUD 1945 secara keseluruhan di mana dari
semangat dan amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
itulah diturunkan pasal-pasal UUD 1945. Dari alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 diperoleh penegasan bahwa disusunnya UUD
1945 adalah kelanjutan dari “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”,
yang tiada lain adalah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal
ini dapat diketahui dari pernyataan, “…maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia…” Disusunnya Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yaitu UUD 1945,
adalah untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
salah satu tugasnya ialah melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Adapun bentuk susunan negara yang
diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 adalah Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
tiada lain adalah merujuk pada dasar negara Pancasila. Oleh karena
itu, dalam menilai konstitusionalitas norma yang tertuang dalam UU
Ormas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo juga
tidak boleh dilepaskan dari konteks ini. Terkait dengan hal itu, baik
Konsiderans “Menimbang” huruf a maupun Penjelasan Umum UU
Ormas menegaskan bahwa dibuatnya UU Ormas a quo adalah sejalan
dengan semangat yang tertuang dalam Alinea Keempat Pembukaan
UUD 1945. Dalam Konsiderans “Menimbang” huruf a UU Ormas
dinyatakan, “bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.” Sementara itu, dalam
Penjelasan Umum UU Ormas dikatakan, antara lain, “Dalam rangka
melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga dan memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar pertimbangan tersebut,
Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
pada tanggal 10 Juli 2017. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal
24 Oktober 2017 berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-
205

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu


ditetapkan menjadi Undang-Undang”.
[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas, selanjutnya terhadap
dalil-dalil para Pemohon Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. bahwa dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan
pertentangan Pasal 80A UU Ormas dengan prinsip negara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pertimbangan
Mahkamah sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.10] di atas untuk
sebagian telah dengan sendirinya menjawab dalil para Pemohon a
quo. Namun, Mahkamah perlu menegaskan lebih jauh bahwa negara
hukum memang menjamin hak asasi manusia, in casu hak atas
kemerdekaan berserikat tetapi pada saat yang sama negara hukum
juga membenarkan adanya pembatasan terhadap hak asasi manusia
sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu bahwa (1) pembatasan tersebut
ditetapkan dengan undang-undang; (2) pembatasan dilakukan semata-
mata dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain; (3) pembatasan dilakukan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. Pembatasan tersebut dapat berbentuk larangan maupun
keharusan yang disertai dengan sanksi jika larangan dilanggar atau
keharusan tersebut tidak dilaksanakan. Namun, dalam konteks
permohonan a quo, Pasal 80A tidaklah langsung berkenaan dengan
pembatasan demikian melainkan hanya mengatur tentang
konsekuensi dari dilanggarnya pembatasan yang berupa larangan
atau keharusan yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU Ormas;
2. para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A yang menyekaliguskan
pencabutan badan hukum Ormas dengan pembubaran tanpa due
process of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki
kekuatan hukum tetap telah mengesampingkan asas equality before
the law dan bertolak belakang dengan asas menjunjung hukum
dengan tidak ada kecualinya sehingga, menurut para Pemohon,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, Pasal 80A UU
Ormas berlaku terhadap ormas mana pun yang telah dicabut surat
keterangan terdaftar atau status badan hukumnya yang dilakukan oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 61
ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b UU Ormas. Pasal 80A UU Ormas
tidak membedakan perlakuan terhadap ormas tertentu melainkan
diperlakukan sama secara hukum. Setiap ormas juga wajib
menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada kecualinya, dalam hal ini
menjunjung tinggi hukum sebagaimana diatur dalam UU Ormas,
khususnya menaati larangan-larangannya dan melaksanakan
keharusan-keharusan yang ditentukan. Oleh karenanya tidak relevan
untuk mendalilkan Pasal 80A UU Ormas dengan hak atas persamaan
perlakuan terhadap warga negara dalam hukum dan pemerintahan
dan kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
206

dengan tidak ada kecualinya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat


(1) UUD 1945.
Adapun terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 80A UU Ormas
yang menyekaliguskan pencabutan status badan hukum dengan
pembubaran ormas tanpa due process of law, Mahkamah berpendapat
bahwa Pasal 80A UU Ormas adalah kelanjutan dari penjatuhan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ormas.
Sebagai sanksi administratif maka yang berwenang menjatuhkannya
adalah pejabat administrasi atau tata usaha negara yang relevan.
Dengan demikian menjatuhkan sanksi administratif adalah bagian dari
tindakan pejabat administrasi atau tata usaha negara. Setiap tindakan
atau perbuatan pejabat administrasi atau tata usaha negara bersandar
pada berlakunya prinsip atau asas legalitas dalam hukum administrasi
negara (yang berbeda dengan asas legalitas dalam hukum pidana)
yang mengandung pengertian: pertama, setiap perbuatan pejabat
administrasi negara didasarkan pada ketentuan hukum yang
memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan perbuatan itu;
kedua, dalam setiap perbuatan pejabat administrasi negara berlaku
asas praduga absah (presumption of legality) yaitu bahwa perbuatan
itu harus dianggap sah sampai ada tindakan hukum yang
membatalkan perbuatan tersebut. Salah satu institusi yang dapat
membatalkan perbuatan atau tindakan pejabat administrasi negara
adalah pengadilan, dalam hal ini pengadilan tata usaha negara. Oleh
karena itu, jika yang dimaksud oleh para Pemohon dengan due
process of law itu adalah adanya keterlibatan pengadilan maka jika
para Pemohon menganggap tindakan atau perbuatan pejabat
administrasi negara berupa penjatuhan sanksi administrasi itu sebagai
tindakan atau perbuatan yang berada di luar kewenangan pejabat
administrasi negara yang bersangkutan atau menganggap tindakan
penjatuhan sanksi itu tidak sah (meskipun dilakukan oleh pejabat yang
berwenang) maka hal itu dapat diadukan ke pengadilan tata usaha
negara;
3. di satu pihak, para Pemohon mengakui bahwa Pancasila dan UUD
1945 yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa adalah bersifat
mutlak sehingga apabila suatu ormas yang melalui pengurus dan/atau
anggota-anggotanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 maka pelanggaran demikian tidak dapat
ditolerir dan harus dijatuhi sanksi. Karena itu, penjatuhan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c dan ayat (3) huruf a dan huruf b UU Ormas, menurut
para Pemohon, dapat dibenarkan karena merupakan bentuk
pembinaan sekaligus pengawasan yang merupakan tugas dan
tanggung jawab Pemerintah dalam menjaga kedaulatan dan idelologi
negara. Namun, di lain pihak para Pemohon mendalilkan bahwa
pemberian kewenangan kepada Pemerintah melalui Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia, menurut para Pemohon, telah melampaui kewenangan
menteri sebagai pejabat pemerintahan sekaligus pejabat tata usaha
negara yang hanya berwenang menerbitkan atau tidak menerbitkan,
mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan
207

keputusan yang diterbitkannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal


6 ayat (1) dan ayat (2) huruf d UU Administrasi Pemerintahan.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat
bahwa kewenangan untuk memberikan status badan hukum terhadap
suatu ormas adalah kewenangan Menteri yang menyelenggarakan
urusan di bidang hukum dan hak asasi manusia maka, sesuai dengan
asas contrario actus yang berlaku dalam hukum administrasi negara,
menteri yang sama berwenang pula untuk mencabut status badan
hukum suatu ormas apabila ditemukan pelanggaran terhadap larangan
dan/atau keharusan yang membawa akibat dapat dijatuhkannya sanksi
administratif berupa pencabutan status badan hukum dimaksud;
4. para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 80A UU Ormas bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan argumentasi bahwa
pembubaran ormas tidak cukup hanya berdasarkan pandangan dan
penilaian subjektif Pemerintah. Asas praduga tak bersalah
mengharuskan proses pembuktian di lembaga yudikatif yang
independen dan imparsial sehingga pembubaran ormas seharusnya
diputuskan melalui lembaga peradilan, bukan mempersamakan
pencabutan status badan hukum dengan pembubaran ormas. Karena
itu, menurut para Pemohon, Pasal 80A UU Ormas telah
menghilangkan prinsip due process of law. Ketentuan a quo telah
merampas kewenangan lembaga peradilan.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mengatur tentang hak setiap
orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga
pertanyaannya adalah apakah Pasal 80A UU Ormas tidak memberikan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hubungan ini,
Pasal 80A UU Ormas justru memberikan kepastian hukum yang adil
dan perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap setiap ormas
yang melanggar larangan sebagaimana diatur dalam ketentuan lain
dalam UU Ormas sehingga dicabut status badan hukumnya. UU
Ormas mengakui, menjamin, dan melindungi dan memberi kepastian
hukum yang adil terhadap setiap ormas yang tidak melanggar
larangan sebagaimana ditentukan dalam UU Ormas dengan memberi
status badan hukum terhadap ormas dimaksud (jika status badan
hukum tersebut dimohonkan oleh para pendirinya). Namun, ketika
ormas yang telah memiliki status badan hukum tersebut melanggar
larangan yang ditentukan sehingga berakibat dijatuhkannya sanksi
berupa pencabutan status badan hukumnya maka dengan dicabutnya
status badan hukum tersebut segala tindakan atau perbuatan yang
dilakukan oleh ormas sebagai badan hukum menjadi tidak sah. Oleh
karena itu, dengan menyatakan bahwa pencabutan status badan
hukum suatu ormas sekaligus berarti pembubaran ormas yang
bersangkutan, Pasal 80A UU Ormas justru memberikan kepastian
hukum, terutama kepada masyarakat. Sebab, dengan sekaligus
menyatakan bubarnya suatu ormas yang telah dicabut status badan
hukumnya tidak akan timbul keraguan-raguan di tengah masyarakat
apakah ormas yang telah dicabut status badan hukumnya itu masih
ada atau tidak. Hal itu adalah juga adil khususnya bagi ormas-ormas
208

lain, baik yang memiliki status badan hukum maupun tidak. Sebab jika
ormas yang status badan hukumnya telah dicabut tetapi tidak
dinyatakan bubar dan dianggap tetap ada, hal itu justru menjadi tidak
adil sebab secara implisit berarti ormas yang bersangkutan masih
dapat melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana halnya
ormas-ormas lain yang tidak melakukan pelanggaran dan tidak dicabut
status badan hukumnya.
Adapun dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan due
process of law, hal itu telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf
[3.10] dan Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok
permohonan dan telah ternyata bahwa dalil-dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum namun oleh karena para Pemohon hanya prima
facie dianggap memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam
Permohonan a quo adalah Pasal 80A UU Ormas yang menyatakan,
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus
dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini”;
2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan a quo dengan
mendalilkan selaku anggota masyarakat yang hendak menggunakan
haknya untuk membentuk, menjadi pengurus, dan menjalankan
kegiatan Ormas yang diberi nama “Perkumpulan Tuna Karya untuk
Konstitusi (Perak) Indonesia”;
3. Bahwa menurut para Pemohon potensi kerugian hak konstitusional
Para Pemohon tidak akan terjadi, apabila ada pengaturan due process
of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki
kekuatan hukum tetap dalam Pasal 80A UU Ormas, sebagai bentuk
kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon dalam
memperjuangkan hak-hak berkumpulnya di lembaga peradilan yang
independen dan imparsial atas tuduhan tindakan-tindakan Ormas para
Pemohon kelak, yang secara subjektif dianggap oleh Pemerintah
melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia telah melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kerugian
hak konstitusionalnya di atas dikaitkan dengan alat bukti yang diajukan
para Pemohon dan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap pokok
permohonan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji oleh
para Pemohon (Pasal 80A UU Ormas) terkait dengan pembubaran Ormas
sekaligus pencabutan status badan hukum Ormas, sehingga mereka yang
secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dirugikan dengan berlakunya
norma a quo adalah Ormas yang telah berbadan hukum ataupun warga
negara Indonesia yang merupakan bagian dari kepengurusan ataupun
keanggotaan Ormas yang sudah terbentuk, sedangkan para Pemohon
209

telah ternyata bukan merupakan Ormas dan bukan pula bagian dari
kepengurusan atau keanggotaan suatu Ormas. Norma UU Ormas a quo
tidak menghambat, apalagi melarang, perseorangan warga negara
Indonesia untuk membentuk Ormas atau bergabung dalam suatu Ormas,
baik berbadan hukum atau tidak. Norma UU Ormas a quo adalah
mengatur tentang pencabutan status badan hukum suatu ormas yang
sekaligus sebagai pembubaran ormas yang bersangkutan. Dengan
demikian, logikanya adalah ormas dimaksud telah ada dan berbadan
hukum. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah bahwa syarat
adanya kerugian “potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi. Sebab, para Pemohon tidak saja
bukan ormas, apalagi ormas yang berbadan hukum, melainkan
perseorangan warga negara Indonesia. Lagi pula, andaipun benar bahwa
suatu saat nanti para Pemohon akan membentuk Ormas, hal itu pun tidak
serta-merta memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon untuk
menguji Pasal 80A UU Ormas sepanjang ormas tersebut tidak berbadan
hukum dan ormas dimaksud tidak dicabut status badan hukumnya
berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam UU Ormas. Berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak
memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
permohonan a quo.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut
di atas, telah ternyata para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun
kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa
pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonan
selebihnya tidak dipertimbangkan.

Setelah memerhatikan secara saksama pertimbangan hukum Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-XV/2017 di atas maka secara substansial
sesungguhnya Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 80A
UU Ormas. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan pengujian Pasal 80A
UU Ormas, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 94/PUU-XV/2017 mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo
sehingga sepanjang berkenaan dengan Pasal 80A UU Ormas, permohonan para
Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana


diuraikan pada Paragraf [3.13], terhadap dalil para Pemohon selebihnya,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

A. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka
21 UU Ormas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan
argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf A di atas yang
pada intinya menekankan bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU
210

Ormas mengancam hak-hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur


dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28E ayat (2),
dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menghilangkan peran pengadilan
dalam menjatuhkan sanksi terhadap Ormas, sehingga kapan pun secara
subjektif pemerintah dapat melakukan pencabutan status badan hukum atau
pencabutan surat keterangan terdaftar suatu Ormas, Mahkamah
mempertimbangkan:
1. Bahwa dengan dalil demikian, disadari atau tidak, secara esensial para
Pemohon sesungguhnya mempersoalkan keabsahan tindakan pembentuk
undang-undang yang menghapuskan dan menyatakan tidak lagi
berlakunya sejumlah ketentuan atau norma UU Ormas. Dengan kata lain,
esensi dalil para Pemohon adalah dalil pengujian formil namun
argumentasi yang digunakan adalah argumentasi pengujian materiil. Hal
demikian tidaklah dapat diterima. Lagi pula, dalam hal pengujian formil,
Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa permohonan pengujian
formil suatu undang-undang dibatasi jangka waktunya, yaitu 45 (empat
puluh lima) hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal
16 Juni 2010]. Sebagai positive legislator, pembentuk undang-undang
diberi kewenangan konstitusional oleh UUD 1945 untuk membuat undang-
undang yang dipandang perlu, termasuk untuk mengubah atau mengganti
suatu undang-undang yang dinilai tidak lagi memenuhi kebutuhan
perkembangan masyarakat, di mana kewenangan demikian tidak dapat
dan tidak boleh diintervensi atau dinilai oleh Mahkamah kecuali terbukti
bahwa pembentukan undang-undang demikian bertentangan dengan tata
cara pembentukan undang-undang menurut UUD 1945. Itu pun dengan
syarat bahwa ada pihak-pihak yang mengajukan permohonan pengujian
formil kepada Mahkamah.
2. Perihal dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa dengan
dihapuskannya sejumlah ketentuan dalam UU Ormas berdasarkan Pasal I
angka 6 sampai dengan angka 21 UU Ormas telah menghilangkan peran
pengadilan dalam penjatuhan sanksi terhadap Ormas, hal demikian
tidaklah benar. Sebab, peran pengadilan dalam hal ini tetap ada yaitu
dengan mempersoalkan keabsahan tindakan negara (pemerintah) yang
211

menjatuhkan sanksi terhadap suatu Ormas melalui pengadilan. Bedanya,


jika menurut ketentuan sebelumnya peran pengadilan ditempatkan di awal
proses penjatuhan sanksi, sedangkan pada saat ini peran pengadilan
ditempatkan di bagian akhir. Hal demikian tidaklah dapat dikatakan
bertentangan dengan negara hukum sebab peran pengadilan tetap ada.
Pertentangan dengan negara hukum baru dapat dikatakan ada apabila
tindakan penjatuhan sanksi terhadap suatu Ormas semata-mata dilakukan
secara sepihak oleh negara (pemerintah). Dalam hal ini, andaipun benar
bahwa tindakan negara (pemerintah) yang menjatuhkan sanksi terhadap
suatu Ormas didasari oleh penilaian atau pendapat subjektif negara
(pemerintah), subjektivitas tindakan negara (pemerintah) tersebut pada
akhirnya akan diuji oleh proses peradilan. Lagi pula, dilihat dari perspektif
kewajiban konstitusional negara (pemerintah) untuk melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana diamanatkan
oleh Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, langkah preventif yang
dilakukan oleh negara (pemerintah) untuk mencegah terjadinya ancaman
terhadap keselamatan negara prima facie harus dianggap sebagai
tindakan konstitusional sampai pengadilan membuktikan sebaliknya.
Sebaliknya, sebagai misal, ketika ancaman bahaya terhadap keselamatan
negara telah demikian nyata dan dekat (clear and present danger) dan
negara (pemerintah) tidak melakukan langkah-langkah tepat yang
diperlukan untuk mengatasi keadaan itu (appropriate and necessary
measures) maka negara (pemerintah) sesungguhnya telah melalaikan
kewajiban konstitusionalnya.

B. Terhadap dalil para Pemohon bahwa frasa “atau paham lain” dalam
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas bertentangan dengan Pasal
28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945 karena tidak jelas, multitafsir yang rentan digunakan secara
serampangan oleh Pemerintah untuk menjerat Ormas-ormas beserta pengurus
dan anggotanya dengan tuduhan Anti-Pancasila dengan argumentasi
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf B di atas, Mahkamah
mempertimbangkan:
1. Frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU
Ormas tersebut tidak dapat dipahami dan ditafsirkan dengan melepaskan
212

konteksnya dari keseluruhan pengertian yang terkandung di dalamnya.


Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas selengkapnya
menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila’ antara lain ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Dengan demikian, pengertian yang
terkandung dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas
tersebut adalah bahwa paham apa pun yang bertujuan mengganti/
mengubah Pancasila dan UUD 1945 maka paham demikian dinyatakan
dilarang. Masalahnya kemudian, secara normatif apakah larangan
demikian bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap masalah tersebut
Mahkamah berpendapat bahwa larangan demikian bukan hanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945 melainkan harus dipahami merupakan
kewajiban konstitusional negara yang diturunkan dari amanat Pembukaan
UUD 1945 Alinea Keempat. Pancasila, sebagai dasar negara dan
sekaligus ideologi negara yang telah menjadi kesepakatan para pendiri
negara sehingga ditempatkan sebagai perjanjian luhur Bangsa Indonesia,
adalah landasan eksistensial berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945. Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat menyatakan:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah


Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apabila Pembukaan UUD 1945 tersebut dikonstruksikan maka akan


diperoleh pemahaman sebagai berikut:
213

Pertama, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu merupakan


perwujudan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Pernyataan ini
adalah merujuk pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
Kedua, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu perlu disusun
guna membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia;
Ketiga, bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu harus melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia;
Keempat, bahwa dasar keikutsertaan Pemerintah Negara Indonesia dalam
melaksanakan ketertiban dunia itu adalah kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial;
Kelima, bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu adalah suatu Republik, yaitu
Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat;
Keenam, bahwa Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
yang dibentuk menurut Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu harus
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, mengganti atau mengubah Pancasila dengan paham lain
sama artinya dengan meniadakan landasan eksistensial berdirinya NKRI
yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Demikian pula halnya jika
paham lain itu digunakan dengan tujuan untuk mengubah UUD 1945.
Pertimbangan demikian sejalan dengan pandangan seluruh fraksi yang
ada di MPR pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang
menegaskan:
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat dasar filosofi
dan dasar normatif yang mendasari seluruh pasal dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) negara serta dasar negara
yang harus tetap dipertahankan [vide Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, 2003, Panduan Dalam
214

Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta,
halaman 25]

Oleh karena itulah pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945,
seluruh fraksi di MPR sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD
1945 dan sebaliknya menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai titik
tolak dalam melakukan perubahan. Kesepakatan tersebut secara
konstitusional kemudian diejawantahkan lebih jauh dalam rumusan pasal-
pasal UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945
menyatakan, “Dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal.” Sementara itu, perubahan UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 adalah perubahan terhadap pasal-pasal
UUD 1945. Dengan demikian, secara a contrario, terhadap Pembukaan
UUD 1945 tidak dapat dilakukan perubahan.
Adapun konteks mengganti/mengubah UUD 1945 dalam Penjelasan Pasal
59 ayat (4) huruf c UU Ormas tersebut bukan dalam pengertian perubahan
konsitusional terhadap pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana dimaksud
Pasal 37 UUD 1945 melainkan mengganti/mengubah UUD 1945 dengan
paham lain, sehingga UUD 1945 tidak lagi didasari oleh Pancasila.
2. Dengan pertimbangan terhadap frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas sebagaimana diuraikan pada angka 1
di atas maka tidaklah tepat jika dikatakan bahwa frasa “atau paham lain”
dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas bertentangan
dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat
(1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, Penjelasan Pasal 59 ayat
(4) huruf c UU Ormas tidak melarang kebebasan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sebagaimana
diatur Pasal 28 UUD 1945, juga tidak melarang hak untuk memajukan diri
dalam memperjuangkan hak seseorang secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C
ayat (2) UUD 1945. Begitu pula halnya Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf
c UU Ormas tidak melarang kebebasan seseorang untuk meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, apalagi jika
215

dikatakan bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi,


keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah
kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD
1945. Adapun dalam kaitannya dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut haruslah dikaitkan
konteksnya dengan norma yang dijelaskan yaitu bahwa Ormas dilarang
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila. Sehingga permasalahannya, apakah
norma demikian bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa secara a contrario jika
suatu Ormas menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau
paham yang tidak bertentangan dengan Pancasila maka Ormas demikian
dijamin dan dilindungi oleh negara, sehingga misalnya apabila negara
mengambil tindakan membubarkan suatu Ormas dengan alasan
melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c
UU Ormas maka Ormas yang bersangkutan tidak dihalangi haknya untuk
melakukan pembelaan diri dengan mempersoalkan keabsahan tindakan
negara tersebut ke pengadilan, dalam hal ini pengadilan tata usaha
negara. Artinya, tindakan negara tersebut dapat diuji keabsahannya di
hadapan pengadilan.
Lagi pula, negara hukum tidaklah melarang dilakukannya pembatasan
terhadap hak-hak konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945
atau hak asasi manusia pada umumnya sepanjang memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pembatasan dalam wujud larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 59
ayat (4) huruf c UU Ormas yang kemudian dijelaskan dalam Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas dengan maksud sebagaimana telah
dipertimbangkan pada angka 1 di atas tidaklah bertentangan dengan Pasal
28J ayat (2) UUD 1945.
216

Berdasarkan pertimbangan pada angka 1 dan angka 2 di atas, dalil para


Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “atau paham
lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas adalah tidak
beralasan menurut hukum.

C. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 62 ayat (3) UU Ormas


bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena menjatuhkan sanksi terhadap Ormas
hanya berdasarkan subjektivitas semata tanpa dibuktikan mengenai
pelanggarannya, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf
[3.7] huruf C di atas, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam norma
yang termuat dalam Pasal 62 ayat (3) UU Ormas merupakan rangkaian
kesatuan dari keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal 62 UU Ormas
yang selengkapnya menyatakan:
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1)
huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan
sanksi penghentian kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum.
Dengan demikian, apabila keseluruhan materi muatan norma Pasal 62 UU
Ormas dikonstruksikan maka akan didapatkan konstruksi logika sebagai
berikut:
Pertama, sanksi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum terhadap suatu Ormas dijatuhkan apabila
Ormas yang bersangkutan tidak mematuhi sanksi berupa penghentian
kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (2) UU Ormas. Sementara
itu, sanksi penghentian kegiatan tersebut dijatuhkan jika suatu Ormas dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tidak mematuhi peringatan tertulis yang
diberikan berdasarkan Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas di mana peringatan
217

tertulis dimaksud, menurut Pasal 62 ayat (1) UU Ormas, hanya diberikan satu
kali.
Kedua, adapun sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang diatur
dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas merujuk pada Pasal 60 ayat (1) UU
Ormas yang menyatakan, “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi
sanksi administratif.” Artinya, sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas adalah
dijatuhkan apabila suatu Ormas melanggar Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59
ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas.
Pasal 21 UU Ormas menyatakan:
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma
kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan
akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara
Pasal 51 UU Ormas menyatakan:
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) berkewajiban:
a. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menghormati dan menghargai nilai-nilai agama dan adat budaya
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia;
d. memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia;
e. mengumumkan seluruh sumber, jumlah, dan penggunaan dana;
dan
f. membuat laporan kegiatan berkala kepada Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui
media massa berbahasa Indonesia.
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas menyatakan:
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang
sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga
pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera
negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama,
lambang, atau bendera Ormas; dan/atau
218

c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar


yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda
gambar Ormas lain atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun
sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.

Apabila rangkaian yang saling berkait dari ketentuan-ketentuan dalam UU


Ormas di atas disederhanakan maka akan didapatkan pemahaman sebagai
berikut:
Pertama, bahwa Ormas yang melanggar ketentuan Pasal 21, Pasal 51, dan
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas dijatuhi sanksi administratif;
Kedua, sanksi administratif tersebut adalah berupa peringatan tertulis;
Ketiga, sanksi administratif berupa peringatan tertulis tersebut hanya diberikan
satu kali;
Keempat, sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang hanya diberikan
satu kali dimaksud harus ditaati dalam jangka waktu tujuh hari sejak tanggal
peringatan tertulis tersebut diterbitkan;
Kelima, jika dalam jangka waktu tujuh hari sejak tanggal peringatan tertulis
tersebut diterbitkan suatu Ormas tidak mematuhinya maka dijatuhkan sanksi
berupa penghentian kegiatan; dan
Keenam, jika sanksi berupa penghentian kegiatan dimaksud tidak juga dipatuhi
maka Ormas yang bersangkutan akan dicabut surat keterangan terdaftarnya
atau akan dicabut status badan hukumnya.
Dengan konstruksi pemahaman sebagaimana diuraikan di atas maka
mendalilkan tindakan penjatuhan sanksi berupa pencabutan surat keterangan
terdaftar atau status badan hukum terhadap suatu Ormas yang telah
melakukan rentetan pelanggaran demikian sebagai tindakan subjektif tanpa
bukti pelanggaran, apalagi menyatakannya sebagai bertentangan dengan
UUD 1945, adalah dalil yang sama sekali tidak dapat diterima. Sebab, jenis
pelanggaran yang terhadapnya diancamkan sanksi administratif telah
ditentukan secara jelas dan sanksi yang diancamkan untuk dijatuhkan pun
telah dirumuskan secara proporsional dan bertahap. Dengan demikian, dalil
219

para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 62


ayat (3) UU Ormas adalah tidak beralasan menurut hukum.

D. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 80A UU Ormas bertentangan


dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945 karena hak asasi dalam kemerdekaan berkumpul dan berserikat
tidak dapat dihapus dengan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar/Status
Badan Hukum, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf
[3.7] huruf D di atas, Mahkamah telah mempertimbangkannya dalam Paragraf
[3.13];

E. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU
Ormas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD
1945 karena multitafsir dan tidak ketat yang dapat menjerat para Pemohon
hanya karena statusnya sebagai pengurus atau anggota Ormas, dengan
argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf E di atas,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas selengkapnya menyatakan:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1) UU Ormas dimaksud


dinyatakan:
Yang dimaksud “dengan sengaja” adalah adanya niat atau
kesengajaan dalam bentuk apa pun (kesengajaan dengan
kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan
kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu, kesengajaan telah nyata
dari adanya “persiapan perbuatan” (voorbereidigings handeling)
sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan adanya percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat.
Yang dimaksud dengan “secara langsung atau tidak langsung”
adalah pernyataan pikiran dan atau kegiatan Ormas yang sejak
pendaftaran untuk disahkan sebagai badan hukum atau bukan
badan hukum, telah memiliki niat jahat (mens rea) atau itikad tidak
220

baik yang terkandung di balik pernyataan tertulis pengakuan


sebagai Ormas yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan dan
tercantum di dalam Anggaran Dasar Ormas, namun di dalam
kegiatannya terkandung pikiran atau perbuatan yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan memerhatikan secara saksama rumusan norma yang tertuang
dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas di atas maka diperoleh
pengertian bahwa yang diancam dengan pidana oleh ketentuan tersebut
bukan seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas
sebagaimana didalilkan para Pemohon melainkan:
Pertama, dalam konteks Pasal 82A ayat (1) UU Ormas, seseorang yang
menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan
secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan Pasal 59 ayat
(3) huruf c dan huruf d, yaitu: (i) melakukan tindakan kekerasan,
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas
umum dan fasilitas sosial; (ii) melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan
wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Kedua, dalam konteks Pasal 82A ayat (2) UU Ormas, seseorang yang
menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan
secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan Pasal 59 ayat
(3) huruf a dan huruf b dan ayat (4) UU Ormas, yaitu: (i) melakukan
tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; (ii)
melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama
yang dianut di Indonesia; (iii) menggunakan nama, lambang, bendera, atau
simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
gerakan separatis atau organisasi terlarang; (iv) melakukan kegiatan
separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (v) menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Dengan demikian telah jelas bahwa: pertama, seseorang meskipun


menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas namun tidak melakukan
221

perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana diuraikan di atas maka


orang yang bersangkutan bukanlah subjek yang diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas;
kedua, seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas
diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
UU Ormas adalah jika ia melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan
sengaja – baik kesengajaan dengan kemungkinan (opzet met
waarschijnlijkheidsbewustzijn), kesengajaan dengan maksud/tujuan (opzet
als oogmerk), ataupun kesengajaan dengan kepastian (opzet bij
noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn) – dan dilakukan secara
langsung atau tidak langsung.

Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang didasarkan pada proposisi
bahwa seseorang diancam pidana karena orang itu menjadi anggota atau
pengurus Ormas padahal yang melakukan pelanggaran adalah Ormasnya
adalah tidak benar.

2. Oleh karena dalil para Pemohon dalam mendalilkan inkonstitusionalitas


Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas bertumpu pada proposisi
bahwa seseorang dipidana karena menjadi anggota atau pengurus Ormas,
sementara berdasarkan pertimbangan pada angka 1 di atas telah ternyata
bahwa proposisi demikian tidak benar maka dalil para Pemohon perihal
adanya pelanggaran hak konstitusional sepanjang yang diturunkan dari
proposisi tersebut menjadi tidak relevan.

3. Sementara itu, perihal frasa “secara tidak langsung” yang oleh para
Pemohon didalilkan mengandung perumusan yang tidak ketat, hal itu telah
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1) UU Ormas sebagaimana
telah diuraikan di atas.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai


dengan angka 3 di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal
82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas adalah tidak beralasan menurut hukum.
222

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana


diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan


di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan


permohonan a quo;

[4.3] Pokok Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:

Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan


Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
I Dewa Gede Palguna, Arief Hidayat, Enny Nurbanigsih, Manahan M.P Sitompul,
Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota,
pada hari Selasa, tanggal tiga puluh, bulan April, tahun dua ribu sembilan
belas, dan hari Selasa, tanggal empat belas, bulan Mei, tahun dua ribu
sembilan belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh satu, bulan Mei, tahun
223

dua ribu sembilan belas, selesai diucapkan pukul 10.36 WIB, oleh sembilan
Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
I Dewa Gede Palguna, Arief Hidayat, Enny Nurbanigsih, Manahan M.P Sitompul,
Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota,
dengan dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh
para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden
atau yang mewakili, Pihak Terkait Tidak Langsung Forum Advokat Pengawal
Pancasila (FAPP) atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Tidak Langsung
Lembaga Bantuan Hukum Pembela Pancasila (LBH Pembela Pancasila) atau
yang mewakili.

KETUA,

ttd.

Anwar Usman

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Aswanto I Dewa Gede Palguna

ttd. ttd.

Arief Hidayat Enny Nurbaningsih

ttd. ttd.

Manahan M.P. Sitompul Saldi Isra


224

ttd. ttd.

Suhartoyo Wahiduddin Adams

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Syukri Asy’ari
14
DRAF REVISI PP
TANGGAL 13 JUNI
2023
13 Juni 2023

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR …

TENTANG
PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor


16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-
Undang, serta untuk meningkatkan kinerja, transparansi
sumber keuangan dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan Organisasi Kemasyarakatan, beberapa
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2016 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan perlu
dilakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5430) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun
-2 -

2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
239, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 138);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58
TAHUN 2016 PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
-3 -

yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara


pemerintahan daerah.
5. Surat Keterangan Terdaftar yang selanjutnya disingkat
SKT adalah dokumen yang diterbitkan oleh Menteri yang
menyatakan Ormas tidak berbadan hukum telah terdaftar
pada administrasi pemerintahan.
6. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah
peraturan dasar Ormas.
7. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat ART
adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD
Ormas.
8. Pemberdayaan Ormas adalah upaya untuk meningkatkan
kinerja dan menjaga keberlangsungan Ormas dengan
menciptakan kondisi yang memungkinkan Ormas dapat
tumbuh berkembang secara sehat, mandiri, akuntabel,
dan profesional.
9. Sistem Informasi Ormas adalah seperangkat tatanan yang
meliputi data, informasi, sumber daya manusia, dan
teknologi yang saling berkaitan dan dikelola secara
terintegrasi yang berguna untuk mendukung manajemen
pelayanan publik dan tertib administrasi.
10. Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen untuk
menjamin agar kinerja Ormas berjalan sesuai dengan
tujuan dan fungsi ormas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
11. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa internal
ormas yang difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk memperoleh kesepakatan atas permintaan
para pihak yang bersengketa.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidangdalam negeri.
13. Hari adalah hari kerja

Pasal 2
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia
atau lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.

Pasal 3
Ormas dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
-4 -

Pasal 4
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a dapat berbentuk:
a. perkumpulan; atau
b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan didirikan dengan
berbasis anggota dan memiliki struktur kepengurusan
berjenjang atau tidak berjenjang. (Masukan
Kemenkumham 16 Mei 2023)
(3) Ormas berbadan hukum yayasan didirikan dengan tidak
berbasis anggota.
(4) Ormas tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b dapat memiliki struktur
kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang.
(5) Ormas tidak berbadan hukum dengan struktur
kepengurusan berjenjang mempunyai kepengurusan
pusat dan cabang atau sebutan lainnya.
(6) Ormas tidak berbadan hukum dengan struktur
kepengurusan tidak berjenjang tidak mempunyai
kepengurusan cabang atau sebutan lainnya.
(7) Struktur kepengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam AD/ART Ormas.

BAB II
PENDAFTARAN

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Ormas melakukan pendaftaran dengan memilih salah satu
bentuk ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan pengesahan badan hukum dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
(3) Ormas tidak berbadan hukum dinyatakan terdaftar
setelah mendapatkan SKT dari Menteri.

Pasal 6
(1) Pengesahan badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
-5 -

(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di


bidang hukum dan hak asasi manusia melakukan
pengesahan ormas badan hukum setelah mendapat
rekomendasi dari Pemda.
(3) Rekomendasi dari Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disyaratkan juga bagi ormas
berbadan hukum yang melakukan perubahan.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan perubahan adalah perubahan
anggaran dasar dan/atau perubahan data.
(4) Dalam hal Ormas telah mendapat pengesahan badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
ormas tidak dapat mengajukan permohonan pendaftaran
sebagai ormas tidak berbadan hukum.
(5) Ormas yang telah memiliki SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) dapat mengajukan perubahan
bentuk ormas menjadi ormas berbadan hukum setelah
mendapatkan surat pencabutan SKT sebagai ormas tidak
badan hukum dari Menteri.

Pasal 7
SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) berlaku
selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditandatangani.

Pasal 8
(1) Dalam hal Ormas dengan struktur kepengurusan
berjenjang telah mendapatkan pengesahan badan hukum,
pengurus Ormas pada struktur cabang atau sebutan
lainnya, melaporkan keberadaan kepengurusannya di
daerah kepada Pemda setempat melalui perangkat Daerah
yang melaksanakan Urusan Pemerintahan Umum dengan
melampirkan surat keputusan pengesahan status badan
hukum dan susunan kepengurusan di daerah.
(2) Dalam hal Ormas dengan struktur kepengurusan tidak
berjenjang telah mendapatkan pengesahan badan hukum,
pengurus Ormas, melaporkan keberadaan
kepengurusannya kepada Pemda setempat melalui
perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan Umum dengan melampirkan surat
keputusan pengesahan status badan hukum dan susunan
kepengurusan di daerah.
-6 -

(3) Dalam hal Ormas dengan struktur kepengurusan


berjenjang telah memperoleh SKT, pengurus Ormas pada
struktur cabang atau sebutan lainnya melaporkan
keberadaan kepengurusannya di daerah kepada Pemda
setempat melalui perangkat Daerah yang melaksanakan
Urusan Pemerintahan Umum dengan melampirkan SKT
dan kepengurusan di daerah.

Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran

Pasal 10
(1) Ormas tidak berbadan hukum mengajukan permohonan
pendaftaran secara tertulis kepada Menteri melalui
gubernur atau bupati/wali kota yang disampaikan kepada
perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan Umum di provinsi atau kabupaten/kota
sesuai dengan domisili Ormas.
(2) Permohonan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi.
(3) Permohonan Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum
dengan struktur kepengurusan berjenjang dilakukan oleh
pengurus pusat Ormas.
(4) Permohonan Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum
dengan struktur kepengurusan tidak berjenjang dilakukan
oleh pengurus Ormas.
(5) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diajukan dan ditandatangani oleh
pendiri dan pengurus Ormas.
(6) Dalam hal pendiri meninggal dunia atau berhalangan
tetap, permohonan pendaftaran Ormas dapat diajukan dan
ditandatangani oleh pengurus Ormas.

Pasal 11
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 harus dilampiri persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengurus;
d. surat keterangan domisili sekretariat Ormas;
-7 -

e. nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas;


f. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan
atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 12
AD dan ART sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi

Pasal 13
(1) Susunan pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. ketua atau sebutan lain;
b. sekretaris atau sebutan lain; dan
c. bendahara atau sebutan lain.
(2) Seluruh pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan anggota Ormas berkewarganegaraan Indonesia.

Bagian Ketiga
Perpanjangan SKT

Pasal 14
(1) Pengurus Ormas dapat mengajukan perpanjangan SKT
untuk Ormas yang telah berakhir masa berlaku SKT.
(2) Permohonan perpanjangan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan paling lama 15 (lima belas) Hari
sebelum berakhir masa berlaku SKT.
(3) Ormas yang telah habis masa berlaku SKT dinyatakan
sebagai Ormas tidak terdaftar.
-8 -

(4) Tata cara Pendaftaran Ormas sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 13 berlaku mutatis
mutandis untuk perpanjangan SKT.

Bagian Keempat
Perubahan SKT

Pasal 15
Pengurus Ormas harus mengajukan perubahan SKT apabila
terjadi perubahan nama, pengurus, bidang kegiatan, Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan/atau alamat Ormas.

Pasal 16
(1) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 diajukan secara tertulis kepada Menteri
melalui Gubernur atau Bupati/Walikota yang
disampaikan kepada perangkat Daerah yang
melaksanakan Urusan Pemerintahan Umum di provinsi
atau kabupaten/kota sesuai dengan domisili Ormas.
(2) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh pengurus Ormas dan
dilengkapi bukti pendukung permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
(3) Permohonan Perubahan SKT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi.

Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran,
perpanjangan, atau perubahan SKT, format SKT, serta
ketentuan pelaporan kepengurusan Ormas tidak badan hukum
diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB III
PEMBERDAYAAN

Pasal 18
Pemberdayaan Ormas dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan, daya tahan, dan kemandirian Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
-9 -

Pasal 19
Dalam pelaksanaan Pemberdayaan Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Ormas dapat bekerjasama dengan :
a. Ormas lainnya;
b. masyarakat; dan/atau
c. swasta.
Pasal 20
(1) Pemberdayaan Ormas yang dilakukan dengan cara
bekerjasama dengan Ormas lainnya, masyarakat, atau
swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat
berupa:
a. pemberian penghargaan,
b. program, bantuan, dan
c. dukungan operasional organisasi.
(2) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan prinsip kemitraan,
kesetaraan, kebersamaan, dan saling menguntungkan.

Pasal 21
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat
melakukan pemberdayaan Ormas melalui:
a. fasilitasi kebijakan,
b. penguatan kapasitas kelembagaan, dan
c. peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
(2) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan
meningkatkan peran serta Ormas dalam perumusan dan
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa:
a. pembentukan kebijakan yang mendukung
pemberdayaan Ormas;
b. pelibatan dalam proses penyusunan kebijakan dan
penyusunan perencanaan pembangunan;
c. pembentukan kebijakan mitigasi risiko
penyalahgunaan ormas sebagai alat tindak pidana; dan
(Masukan PPATK)
d. sosialisasi kebijakan.
Catatan: Perlu dipertimbangkan mengenai dampak
dari rumusan ini terhadap tuntutan ormas untuk
dilibatkan dalam perumusan sebuah kebijakan.
- 10 -

(4) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan Ormas agar dapat:
a. menganalisa lingkungannya;
b. mengidentifikasikan masalah, kebutuhan, serta
peluang untuk kemandirian dan kesinambungan
Ormas; dan
c. mengidentifikasi, memahami, dan mitigasi risiko
penyalahgunaan ormas sebagai alat tindak pidana.
(Masukan PPATK)
(5) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat berupa:
a. penguatan manajemen organisasi;
b. penyediaan data dan informasi;
c. pengembangan kemitraan;
d. dukungan keahlian, program dan pendampingan;
e. penguatan kepimpinan dan kaderisasi;
f. pemberian penghargaan; dan/atau
g. penelitian dan pengembangan.
(6) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan, keahlian, pengalaman,
kompetensi, profesionalisme, etika, dan moralitas
pengurus dan/atau anggota Ormas dalam menjalankan
tugas dan fungsinya
(7) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dapat berupa:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. pemagangan; dan/atau
c. kursus.
(8) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dibiayai dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
c. sumber keuangan lain yang sah dan tidak mengikat
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 22
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dilakukan kepada:
a. Ormas yang berbadan hukum; dan
b. Ormas yang tidak berbadan hukum.
- 11 -

Pasal 23
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
harus:
a. selaras dengan program perencanaan pembangunan
nasional dan/atau program perencanaan pembangunan
daerah;
b. menghormati dan mempertimbangkan aspek sejarah,
rekam jejak, peran, dan integritas Ormas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 24
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kebutuhan,
kemampuan, dan ketersediaan anggaran dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
SISTEM INFORMASI ORMAS

Pasal 25
(1) Pemerintah membentuk Sistem Informasi Ormas untuk
meningkatkan pelayanan publik dan tertib administrasi.
(2) Pengelolaan Sistem Informasi Ormas memuat data dan
Informasi tentang keberadaan, kegiatan, dan informasi
lain yang dibutuhkan.
Catatan:
PPATK mengusulkan pemanfaatan SIORMAS tidak
hanya untuk pendataan dan pencatatan, tetapi dapat
juga digunakan untuk pendaftaran ormas dengan
pertimbangan untuk keakurasian data yang
disampaikan ke otoritas dengan data yang tersimpan di
dalam basis data SIORMAS.

Pasal 26
(1) Data dan informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) dikelola oleh kementerian terkait sesuai
dengan bidang Ormas, atau instansi terkait sesuai dengan
lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.
(2) Kementerian atau instansi terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberikan data atau informasi kepada
Menteri secara berkala 1 (satu) bulan sekali.
- 12 -

Pasal 27
(1) Pengelolaan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan dengan
menggunakan sistem komputerisasi yang memiliki
kemampuan terhubung secara online sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal belum tersedia infrastuktur dengan sistem
komputerisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengolahan data dan Informasi Ormas dapat dilakukan
secara manual.

Pasal 28
(1) Data dan informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 dilakukan pengamanan untuk menjamin agar
data dan informasi Ormas:
a. tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b. terjaga kerahasiaannya.
(2) Pengamanan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan
standar pengamanan.
(3) Kerahasiaan data dan informasi Ormas dan standar
pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 29
Sistem Informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau instansi
terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh Menteri.

Catatan:
PPATK mengusulkan agar adanya penambahan pengaturan
mengenai akses informasi SIORMAS oleh otoritas dan pihak
pelapor, misalnya PPATK dan penegak hukum, termasuk
perbankan dalam rangka memastikan ormas yang dapat
membuka rekening hanya ormas yang terdaftar sebagai bentuk
mitigasi risiko terjadinya penyalahgunaan ormas sebagai alat
tindak pidana.
- 13 -

Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sistem Informasi
Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

BAB V
PERIZINAN, TIM PERIZINAN, PENGESAHAN ORMAS YANG
DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING, DAN BANTUAN
DARI DAN KE PIHAK ASING

Pasal 31
(1) Ormas yang didirikan oleh Warga Negara Asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga
negara asing atau warga negara asing bersama
warga negara Indonesia; atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.

Pasal 32
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a
yang akan melakukan kegiatan di daerah dan telah
mendapatkan izin operasional wajib memberitahukan
kepada Menteri.
(2) Menteri memberitahukan kepada gubernur dan
bupati/wali kota terhadap Ormas badan hukum yayasan
asn atau sebutan lain yang akan melakukan kegiatan di
daerah.
(3) Gubernur dan bupati/wali kota melakukan pemantauan
terhadap Ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain dan melaporkan hasil nya kepada Menteri
setiap tahun pada periode kerjasama dan sewaktu-waktu
jika diperlukan.
(4) Ketentuan mengenai format laporan dan pemantauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.
(5) Ormas badan hukum yayasan asing yang
bertransformasi menjadi ormas lokal tidak boleh
- 14 -

menggunakan bendera/lambang/gambar simbol yang


sama dengan ormas asing dan pendiri, pengurus dan
anggotanya adalah Warga Negara Indonesia.
(6) Dalam hal terdapat ormas asing ingin bertransformasi
menjadi ormas lokal sebagaimana ayat (5), maka dibawa
ke sidang Tim Perizinan dengan melibatkan Kementerian
Terkait. (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Hukum dan HAM).

Pasal 32
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a
wajib memiliki izin prinsip dan izin operasional.
(2) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri dan Izin Operasional
diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 33
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a
yang akan melakukan kegiatan di daerah dan telah
mendapatkan izin operasional wajib memberitahukan
kepada Menteri.
(2) Menteri memberitahukan kepada gubernur dan
bupati/wali kota terhadap Ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain yang akan melakukan kegiatan
di daerah.
(3) Gubernur dan bupati/wali kota melakukan pemantauan
terhadap Ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain dan menyampaikan hasilnya kepada
Menteri setiap tahun pada periode kerjasama dan
sewaktu-waktu diperlukan.
(4) Setiap staf berkewarganegaraan asing yang telah
disetujui oleh Tim Perizinan untuk bekerja pada ormas
yang didirikan oleh warga negara asing wajib melaporkan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota
(5) Ketentuan mengenai format pemberitahuan,
pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.
- 15 -

Pasal 34
Badan hukum yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2) huruf b dan huruf c disahkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia setelah mendapatkan pertimbangan
tim perizinan.

Pasal 35
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Ormas yang didirikan
oleh warga negara asing wajib bermitra dengan
Pemerintah dan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia ata izin Pemerintah.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terdaftar di
Pemerintah.
(3) Dalam hal Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
bermitra dengan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia, maka Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia wajib dilakukan orientasi dengan Tim
Perizinan.
(4) Dalam hal dukungan anggaran melalui kemitraan Ormas
yang didirikan oleh warga negara asing dengan Ormas
yang didirikan oleh warga negara Indonesia, dilakukan
selama satu periode kerjasama kecuali ditentukan lain
berdasarkan atas pertimbangan Tim Perizinan.
(5) Dalam hal Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia menjalin kemitraan dengan Ormas yang
didirikan oleh warga negara asing, maka Ormas yang
didirikan oleh warga negara Indonesia wajib melaporkan
seluruh pendanaan dalam kemitraan dengan
pihak/ormas asing supaya tidak tumpang tindih
pembiaayan dalam program masing-masing dalam
kemitraan
(6) Dalam hal support anggaran melalui kemitraan
ormas/pihak luar dengan ormas lokal, dilakukan selama
1 periode kerjasama kecuali untuk program build
(program kemandirian ormas).
- 16 -

Pasal 37
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia dalam
Kemitraan dengan Ormas yang didirikan oleh warga negara
asing, berkewajiban:
(1) menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
(2) tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang
undang;
(3) menghormati dan menghargai nilai-nilai agama dan adat
budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia;
(4) memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia;
(5) mengumumkan seluruh sumber, jumlah, dan
penggunaan dana.

Pasal 38
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia dalam
Kemitraan dengan Ormas yang didirikan oleh warga negara
asing, dilarang:
(1) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
(3) melakukan kegiatan intelijen;
(4) melakukan kegiatan politik;
(5) melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan
diplomatik;
(6) melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan
organisasi;
(7) menggalang dana dari masyarakat Indonesia;
(8) menggunakan sarana dan prasarana instansi atau
lembaga pemerintahan; dan
(9) menerima dan memberikan sumbangan kepada pihak-
pihak yang masuk dalam daftar kejahatan domestik
dan negara lain/organisasi internasional (Masukan
PPATK)

Pasal 39
(1) Keuangan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia dapat bersumber dari bantuan pihak asing.
(2) Bantuan pihak asing bersumber dari:
a. pemerintah luar negeri;
- 17 -

b. pemerintah negara bagian atau pemerintah daerah di


luar negeri;
c. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi di
bawahnya;
d. organisasi internasional;
e. lembaga internasional;
f. organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh warga
negara asing;
g. badan usaha milik pemerintah negara/negara
bagian/daerah di luar negeri; dan/atau
h. Warga Negara Asing.
(3) Bantuan pihak asing dapat berupa:
a. uang;
b. barang; dan/atau
c. jasa tenaga ahli.
(4) Bantuan pihak asing dapat berbentuk:
a. hibah; dan/atau
b. pinjaman.
(5) Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia dapat
menerima bantuan pihak asing dengan persyaratan:
a. ada kesesuaian bantuan dengan ruang lingkup
kegiatan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia;
b. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
kegiatan sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberian bantuan;
c. bantuan dan kegiatan yang dilaksanakan dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
d. sumber dana tidak berasal dari pihak-pihak yang
masuk dalam daftar kejahatan domestik dan negara
lain/organisasi internasional; dan (Masukan PPATK)
e. mekanisme pemberian bantuan dilakukan melalui
transfer rekening, disclosure pemilik dana sebenarnya
(Bonya), mekanisme verifikasi keabsahan sumber
dana, serta laporan pengelolaan bantuan pihak asing
yang berbentuk uang. (Masukan PPATK)
(6) Bantuan pihak asing dikelompokkan dalam jenis:
a. bantuan pihak asing yang dapat diberikan kepada
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia
melalui Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
bersumber dari pemerintah negara bagian atau
- 18 -

pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan


Bangsa-Bangsa atau organisasi multilateral lainnya
termasuk badan-badannya, serta badan usaha milik
pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar
negeri dan organisasi kemasyarakatan yang didirikan
oleh warga negara asing dan badan swasta di luar
negeri
b. bantuan pihak asing yang dapat diberikan langsung
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia
bersumber dari organisasi kemasyarakatan yang
didirikan oleh warga negara asing dan badan swasta
di luar negeri.
(7) Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang
akan memberikan bantuan kepada pihak asing harus
mendapat persetujuan Pemerintah.
(8) Pemantauan kegiatan pemberian bantuan dari dan
kepada pihak asing dilakukan bersama oleh Menteri dan
organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan.
(9) Hasil pelaksanaan kegiatan organisasi kemasyarakatan
yang menerima bantuan asing dan kegiatan pemberian
bantuan kepada pihak asing diinformasikan secara
menyeluruh dan periodik kepada masyarakat.
(10) Ketentuan mengenai format laporan dan pemantauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.

Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan ormas yang
didirikan oleh warga negara asing dengan ormas yang
didirikan oleh warga negara indonesia dan penerimaan dan
bantuan ormas yang didirikan oleh warga negara indonesia
dari dan kepada pihak asing dimaksud dalam Pasal 35 sampai
dengan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI
PENGAWASAN

Pasal 41
(1) Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta
menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas atau
ormas yang didirikan oleh warga Negara asing dilakukan
pengawasan.
- 19 -

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan secara internal dan eksternal.

Pasal 42
(1) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) dilakukan oleh pengawas internal.
(2) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berfungsi menegakkan kode etik organisasi dan
memutuskan pemberian sanksi dalam internal
organisasi sesuai dengan AD/ART Ormas.

Pasal 43
(1) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) dilakukan oleh masyarakat,
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. aktivitas;
b. sumber keuangan; dan
c. pengelolaan keuangan.

Pasal 44
(1) Bentuk pengawasan oleh masyarakat terhadap
aktivitas Ormas sebagaimana dimaksud dalam pasal 43
ayat (2) huruf a berupa pengaduan yang disampaikan
kepada Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait,
gubernur, dan/atau bupati/walikota.
(2) Bentuk pengawasan oleh masyarakat terhadap sumber
keuangan dan pengelolaan keuangan Ormas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (2) huruf b
dan huruf c berupa pengaduan yang disampaikan
kepada lembaga pemerintah yang menyelenggarakan
urusan pemerintah bidang pelaporan dan analisis
transaksi keuangan
(3) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan secara tertulis
dan/atau tidak tertulis.

Pasal 45
(1) Pengaduan masyarakat secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44- ayat (3) difasilitasi oleh unit
pelayanan pengaduan masyarakat pada
- 20 -

kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengaduan masyarakat secara tidak tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat
disampaikan melalui aparatur Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 46
(1) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 paling sedikit memuat informasi mengenai
subjek, objek, dan materi pengaduan.
(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 47
Kementerian/lembaga, Gubernur, bupati/walikota, dan/atau
instansi vertikal terkait di daerah sesuai dengan lingkup tugas
dan fungsinya menindaklanjuti pengaduan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 secara terkoordinasi

Pasal 48
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dilakukan sesuai dengan jenjang pemerintahan.
(2) Pengawasan eksternal terhadap aktivitas Ormas dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait
sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya.
(4) Pengawasan eksternal di daerah dilakukan oleh gubernur,
bupati/walikota, dan instansi terkait di daerah.
(5) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh:
a. Menteri untuk Ormas berbadan hukum yang didirikan
oleh Warga Negara Indonesa dan tidak berbadan
hukum; dan
b. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang luar negeri bagi ormas yang didirikan oleh
Warga Negara Asing;
- 21 -

c. Gubernur dan Bupati/Walikota untuk Ormas yang


terdaftar dan tidak terdaftar sesuai dengan lingkup
wilayah masing-masing.

Pasal 49
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah terhadap sumber
keuangan dan pengelolaan keuangan Ormas dan ormas
yang didirikan oleh warga negara asing dikoordinasikan
oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintah bidang pelaporan dan analisis transaksi
keuangan.
(2) Pengaturan mengenai mekanisme pengawasan terhadap
sumber keuangan dan pengelolaan keuangan, tindak
lanjut atas hasil temuan, dan permintaan data/informasi
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut melalui peraturan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintah bidang pelaporan
dan analisis transaksi keuangan.
Catatan:
Mekanisme pengawasan/monitoring, tindak lanjut atas
hasil temuan PPATK, meminta data/informasi
tambahan, adanya delegasi penyusunan rincian
mengenai pengawasan ke Peraturan PPATK. (Masukan
PPATK)

Pasal 50
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 dilakukan secara terencana dan sistematis, baik
sebelum maupun sesudah terjadi pengaduan masyarakat.
(2) Pelaksanaan penerimaan bantuan asing dan pemberi
bantuan asing oleh Ormas wajib diinformasikan kepada
masyarakat melalui media publik, hal ini merupakan salah
satu bentuk dari pengawasan eksternal yang dapat
dilakukan oleh masyarakat.

Pasal 51
(1) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 dilaksanakan melalui monitoring dan evaluasi.
(2) Pelaksanaan Pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dikoordinasikan
Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan
- 22 -

pemerintahan di bidang luar negeri, gubernur atau


bupati/walikota melalui Tim Terpadu.
(3) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar
negeri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Hasil pemantauan menjadi bahan masukan untuk
evaluasi efektifitas dan efisiensi pendayagunaan bantuan
dan pemberian bantuan kepada pihak asing.
(5) Hasil pelaksanaan kegiatan organisasi kemasyarakatan
yang menerima bantuan asing dan kegiatan pemberian
bantuan kepada pihak asing diinformasikan secara
menyeluruh dan periodik kepada masyarakat.

BAB VII
MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA ORMAS

Pasal 51
(1) Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas,
penyelesaiannya dilakukan sesuai mekanisme yang diatur
dalam AD atau AD dan ART Ormas yang bersangkutan.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, Pemerintah atau pemerintah
daerah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa

Pasal 52
(1) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang berbadan hukum
disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia
(2) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang tidak berbadan
hukum, disampaikan kepada Menteri, gubernur atau
bupati/walikota.
(3) Menteri dapat mendelegasikan kepada gubernur atau
bupati/walikota untuk memfasilitasi mediasi penyelesaian
sengketa Ormas.
(4) Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berdasarkan domisili terdaftarnya Ormas.
- 23 -

Pasal 53
(1) Permintaan para pihak kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) disampaikan secara
tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melampirkan resume permasalahan yang
dipersengketakan.

Pasal 54
(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagai mediator
mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi dalam jangka
waktu 5 (lima) hari sejak diterimanya surat permohonan.
(2) Jadwal pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 55
(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib mendorong
para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan itikad
baik secara musyawarah dan mufakat.
(2) Mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari.

Pasal 56
(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para
pihak dibantu oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
merumuskan kesepakatan perdamaian.
(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan serta
ditandatangani oleh para pihak dan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.

Pasal 57
Kesepakatan perdamaian yang telah ditandatangani para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) bersifat
mengikat para pihak.

Pasal 58
(1) Jika mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada Pasal 53 ayat (2) tidak tercapai
- 24 -

kesepakatan, para pihak dapat menempuh penyelesaian


sengketa melalui pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri terkait penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya
dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Pasal 59
Dalam hal permintaan fasilitasi mediasi hanya diminta oleh
salah satu pihak maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dapat menyampaikan keinginan mediasi dimaksud kepada
pihak lainnya.
Pasal 60
(1) Pelaksanaan mediasi sengketa yang difasilitasi oleh
gubernur atau bupati/walikota dilaporkan kepada Menteri
(2) Pelaksanaan mediasi sengketa sebagaimana dimaksud
ayat 1 meliputi permintaan para pihak, pelaksanaan
mediasi, dan penyelesaian sengketa
(3) Pelaksanaan mediasi sengketa sebagaimana dimaksud
ayat 1 dimonitoring dan evaluasi oleh Menteri.
Pasal 61
Dalam hal sengketa yang terjadi di internal Ormas yang
berpotensi perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan baik perorangan maupun kelompok yang dapat
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan
pencegahan agar tidak terjadi konfliktanpa permintaan yang
bersengketa.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 62
(1) Ormas yang melanggar kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tentang
Organisasi Kemasyarakatan, dijatuhi sanksi administratif.
(2) Ormas yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang Undang-Undang tentang Organisasi
Kemasyarakatan, dijatuhi sanksi administratif.

Pasal 63
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (1) terdiri atas:
- 25 -

a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan; dan/atau
c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
(2) Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing,
selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga
dikenakan sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (2) berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri;
atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
(4) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 huruf c dan ayat (3), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari
instansi terkait.
(5) Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b
sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 64
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (1) huruf a diberikan secara berjenjang sesuai dengan
domisili Ormas.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.

Pasal 65
(1) Setiap peringatan tertulis bagi Ormas berbadan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 64 diberikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dan disampaikan kepada
gubernur dan bupati/walikota yang menjadi tempat
terjadinya pelanggaran dengan tembusan kepada Menteri
(2) Setiap peringatan tertulis bagi ormas tidak berbadan
hukum sebagaimana dimaksud Pasal 64 diberikan oleh
- 26 -

Menteri dan disampaikan kepada gubernur dan


bupati/walikota yang menjadi tempat terjadinya
pelanggaran.
Pasal 66
(1) Dalam hal Ormas telah mematuhi peringatan tertulis
sebelum berakhirnya jangka waktu 7 (tujuh) hari, Menteri
atau menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
dapat mencabut peringatan tertulis dimaksud dalam Pasal
65.
(2) Pencabutan peringatan tertulis yang diberikan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia kepada Ormas
berbadan hukum, disampaikan juga kepada gubernur,
atau bupati/walikota yang menjadi tempat terjadinya
pelanggaran dengan tembusan kepada Menteri.
(3) Pencabutan peringatan tertulis yang diberikan oleh
Menteri kepada Ormas tidak berbadan hukum,
disampaikan juga kepada gubernur, atau bupati/walikota
yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran.

Pasal 67
(1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi
peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, diberikan sanksi penghentian
kegiatan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi
peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, diberikan sanksi penghentian
kegiatan oleh Menteri.
(3) Penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) berakhir setelah Menteri atau menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia melakukan evaluasi terhadap
sanksi penghentian kegiatan.
(4) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
atau menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,
melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
- 27 -

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 68
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Ormas,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 69
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5958) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 70
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
- 28 -

YOSANA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR


LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI DALAM
NEGERI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…
TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN
PENDAFTARAN, PENGAWASAN DAN
PEMBERDAYAAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
A. FORMULIR ISIAN DATA ORMAS
a. Nama Organisasi : (diisi sesuai nama ormas yang tertuang dalam
akta)
b. Bidang Kegiatan : (diisi sesuai dengan bidang kegiatan ormas)
c. Alamat Kantor/Sekretariat : (sesuai domisili ormas)
d. Tempat dan Waktu Pendirian : (tempat pendirian dan waktu pendirian ormas
sesuai akta notaris atau statuta)
e. Asas Ciri Organisasi : (tidak bertentangan dengan Pancasila)
f. Tujuan Organisasi :
g. Nama Pendiri : (nama, NIK, agama, kewarganegaraan, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, alamat, nomor telepon/hp,
pekerjaan)
h. Nama Pembina : (jika ada)
i. Nama Penasehat : (jika ada)
j. Biodata Pengurus :
a. Ketua/Sebutan lain : (nama, NIK, agama, kewarganegaraan, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, alamat, nomor telepon/hp,
pekerjaan)
b. Sekretaris/Sebutan lain : (sda)
c. Bendahara/Sebutan lain : (sda)
k. Masa Bakti Kepengurusan : (sesuai dengan Surat Keputusan ormas)
l. Keputusan Tertinggi Organisasi : (sesuai dengan Anggaran Dasar)
m. Cabang Organisasi : (jika ada, disebutkan jumlah dan sebaran
cabang)
n. Sayap Organisasi : (jika ada, disebutkan jumlah dan nama sayap
organisasi)
o. Badan Otonom Organisasi : (jika ada, disebutkan jumlah dan nama badan
otonom organisasi)
p. Wadah Berhimpun : (jika tergabung dalam suatu wadah
berhimpun)
q. Usaha Organisasi : (jika ada)
Lambang/Logo Ormas
r. Nomor Rekening : (bank nasional)
s. Sumber Keuangan : (berasal dari dalam negeri/ luar negeri)
t. Lambang/logo Organisasi : (dilampirkan berwarna)
Bendera Ormas

Ketua, Sekretaris,
u. Bendera Organisasi : (jika ada, dilampirkan berwarna)

(cap stempel dan ditandatangani) (ditandatangani)


(nama lengkap) (nama lengkap)
B. FORMULIR KEABSAHAN DOKUMEN
1. Nama Organisasi : (diisi sesuai nama ormas yang tertuang
dalam akta)
2. Nama Notaris : (diisi sesuai dengan akta pendirian)
3. Nomor dan Tgl Akta Notaris : (diisi sesuai dengan akta pendirian)
4. Nomor dan Tgl Surat Permohonan : (disertai perihal surat)
5. Bidang Kegiatan : (diisi sesuai dengan bidang kegiatan ormas)
6. Ciri Khusus : (Keagamaan, Kepercayaan, Kewanitaan,
Kepemudaan, Kesamaan Kegiatan, Kesamaan
Profesi)
7. Program Kerja Ormas : (diisi sesuai dengan program kerja ormas)
8. Alamat Kantor/Sekretariat : (sesuai domisili ormas)
9. Tempat dan Waktu Pendirian : (tempat pendirian dan waktu pendirian ormas
sesuai akta notaris atau statuta)
10. Asas Ciri Organisasi : (tidak bertentangan dengan Pancasila)
11. Tujuan Organisasi :
12. Nama Pendiri : (nama, NIK, agama, kewarganegaraan, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, alamat, nomor telepon/hp,
pekerjaan)
13. Nama Pembina : (jika ada)
14. Nama Penasehat : (jika ada)
15. Biodata Pengurus :
a. Ketua/Sebutan lain : (nama, NIK, agama, kewarganegaraan, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, status
perkawinan, alamat, nomor telepon/hp,
pekerjaan)
b. Sekretaris/Sebutan lain : (sda)
c. Bendahara/Sebutan lain : (sda)
16. Masa Bakti Kepengurusan : (sesuai dengan Surat Keputusan ormas)
17. Keputusan Tertinggi Organisasi : (sesuai dengan Anggaran Dasar)
18. Cabang Organisasi : (disebutkan jumlah dan sebaran cabang)
(tempat pengajuan) , (tanggal/bulan/tahun)
19. Sayap Organisasi : (jika ada, disebutkan jumlah dan nama sayap
Pejabat Pemeriksa, Kepala Badan/Kantor
organisasi)
Kesatuan Bangsa dan Politik
20. Badan Otonom Organisasi : (jika ada, disebutkan jumlah dan nama
ttd (provinsi/kabupaten/kota)
badan otonom organisasi)
21. Wadah Berhimpun :stempel
(jika tergabungttd
dalam suatu wadah
Nama
Pangkat berhimpun)
22. NPWP NIP Nama
: (atas nama Ormas)
C. SURAT PERNYATAAN
23. Nomor Rekening Pangkat
: (bank nasional)
24. Sumber Keuangan NIP negeri/ luar negeri)
: (berasal dari dalam
25. Lambang/logo Organisasi : (dilampirkan berwarna)
KOP SURAT ORMAS
26. Bendera Organisasi : (foto dilampirkan berwarna)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


1. Nama : (nama lengkap)
Jabatan : Ketua atau sebutan lainnya
Nomor Identitas : (NIK)

2. Nama : (nama lengkap)


Jabatan : Sekretaris atau sebutan lainnya
Nomor Identitas : (NIK)

Dengan ini menyatakan bahwa :


a. Tidak merupakan badan hukum.
b. Tidak berafiliasi secara kelembagaan dengan partai politik tertentu;
c. Tidak dalam sengketa kepengurusan atau tidak dalam perkara di
pengadilan;
d. Nama, lambang, bendera, tanda gambar, simbol, atribut, dan/atau cap
- 31 -

Ketua, Sekretaris,

Materai

(cap stempel dan ditandatangani) (ditandatangani)


(nama lengkap) (nama lengkap)

D. SURAT KETERANGAN TERDAFTAR

KEMENTERIAN DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA

SURAT KETERANGAN TERDAFTAR


Nomor : (lihat petunjuk pengisian nomor 1)
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor XX Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pendaftaran, Pengawasan Dan Pemberdayaan Organisasi Kemasyarakatan, Serta Surat
(Kesbangpol Pemohon) nomor (nomor surat) tanggal (tanggal surat) hal (perihal surat),
setelah diadakan penelitian kelengkapan dokumen/berkas, dengan ini Kementerian
Dalam Negeri, menyatakan bahwa:

Nama Organisasi : (lihat petunjuk pengisian nomor 2)

Tanggal Berdiri : (lihat petunjuk pengisian nomor 3)


Bidang Kegiatan : (lihat petunjuk pengisian nomor 4)
NPWP : (lihat petunjuk pengisian nomor 5)
Alamat : (lihat petunjuk pengisian nomor 6)

Telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan, dan Surat Keterangan Terdaftar ini
berlaku 5 (lima) tahun sejak tanggal ditandatangani.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan, kesalahan, penyimpangan,
penyalahgunaan, dan pelanggaran hukum, akan dilakukan perbaikan dan/atau
pencabutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikian Surat Keterangan ini diberikan agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.

Dikeluarkan di : Jakarta
Pada Tanggal :
Ditandatangani secara elektronik oleh:
- 32 -
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN SURAT KETERANGAN TERDAFTAR


Nomor : (lihat petunjuk pengisian nomor 1)

Susunan Kepengurusan Organisasi

No. Nama Jabatan Masa Bakti Kepengurusan

(Nama) (Tahun s.d Tahun)


1 Ketua
(lihat petunjuk pengisian (atau sebutan lain) (lihat petunjuk pengisian
nomor 7) nomor 8)

2 (Nama) Sekretaris (Tahun s.d Tahun)


(atau sebutan lain)

3 (Nama) Bendahara (Tahun s.d Tahun)


(atau sebutan lain)

* Surat Keterangan Terdaftar (SKT) ditembuskan kepada Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai wilayah kerja Ormas, oleh Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik yang mengajukan.
E. PETUNJUK PENGISIAN
1. Nomor SKT
Contoh : 0000/0000-00/X/XXXX

Tahun
Bulan (huruf romawi)
Nomor urut perubahan
Nomor urut SKT (4 digit)
Kode khusus Kesbangpol
Pemohon
2. Nama Ormas diisi sesuai yang tercantum dalam akta, dalam hal nama
berbahasa asing / berbahasa daerah, ditambahkan arti dalam bahasa
Indonesia.
3. Tanggal berdiri diisi sesuai dengan tanggal berdirinya yang tercantum
dalam akta pendirian/statuta.
4. Bidang kegiatan diisi sesuai dengan bidang kegiatan sifat kekhususan
Ormas.
5. NPWP adalah Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Ormas.
6. Alamat sekretariat diisi berdasar surat keterangan domisili, disertai
dengan nomor telepon, faks (jika ada) dan email Ormas.
7. Nama Ketua, Sekretaris dan Bendahara diisi sesuai KTP.
8. Masa Bakti Kepengurusan diisi sesuai SK Kepengurusan.
9. Tembusan SKT disampaikan kepada Yth:
- Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan);
- Gubernur (sesuai domisili Ormas yang mengajukan);
- Bupati/Walikota (sesuai domisili Ormas yang mengajukan);
- Arsip.
10. Penulisan menggunakan jenis huruf bookman old style dengan huruf 12
(dua belas).

F. SURAT TANDA PELAPORAN KEBERADAAN ORMAS

KOP SURAT
PEMERINTAH DAERAH

SURAT TANDA PELAPORAN KEBERADAAN ORMAS


Nomor : (lihat petunjuk pengisian nomor 1)
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan; Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor XX Tahun
- 35 -

G. PETUNJUK PENGISIAN STPKO


1. Nomor STPKO diisi sesuai dengan penomoran surat yang berlaku di
Pemerintah Daerah).
2. Nama Organisasi diisi dengan Nama Ormas Pusatnya, sesuai SKT yang
disampaikan.
3. Nama Pengurus diisi dengan nama pengurus inti dari cabang organisasi
(Ketua, Sekretaris, Bendahara).
4. Nomor SKT diisi sesuai dengan nomor SKT organisasi Pusat.
5. Tanggal berlaku SKT diisi sesuai dengan tanggal berlakunya SKT
organisasi Pusat.
6. Bidang kegiatan diisi sesuai dengan bidang kegiatan yang tercantum
dalam SKT organisasi pusat.
7. Diisi dengan alamat sekretariat cabang Ormas, diisi berdasar surat
keterangan domisili, disertai dengan nomor telepon, faks (jika ada) dan
email Ormas.
8. Tembusan STPKO disampaikan kepada pihak terkait sesuai dengan
kebutuhan daerah.
9. Penulisan menggunakan jenis huruf bookman old style dengan huruf 12
(dua belas).

H. FORMAT FORMULIR PENGAWASAN

KOP SURAT PEMERINTAH DAERAH

I. Profil Ormas
- 36 -

Nama Ormas :
Bentuk Legalitas : 1. Badan Hukum:
a. Yayasan;
b. Perkumpulan
2. Surat Keterangan Terdaftar
*) Pilih salah satu
Nomor Legalitas : 1. Nomor Yayasan
2. Nomor Perkumpulan
3. Nomor Surat Keterangan Terdaftar
*) Pilih salah satu
Masa Berlaku :
Alamat :
Akta Pendirian :
Program Kerja :
Kepengurusan : h. Nama Lengkap:
i. Tempat dan tanggal lahir:
j. Nomor Induk Kependudukan atau
Identitas diri lain:
k. Alamat Domisili:
l. Pekerjaan:
m. Kewarganegaraan:
n. Jenis kelamin:
o. Jabatan pada Organisasi:
NPWP :
Mitra Ormas : 1. Nama Mitra Ormas:
2. Bentuk/jenis legalitas mitra Ormas:
3. Pengurus Mitra Ormas:
4. NPWP Mitra Ormas:
5. Program Kerja Mitra Ormas:
6. Negara Asal Mitra Ormas:
Sumber Keuangan : 1. Iuran anggota
2. Bantuan/sumbangan Ormas
3. Hasil Usaha Ormas
4. Bantuan/Sumbangan dari Ormas Asing
atau Lembaga Asing
5. Kegiatan Lain yang sah
6. Bantuan APBN dan APBD
Nomor Rekening :
Ormas
- 37 -

II. Pengamatan Lebih Lanjut


No. Uraian Ya Tidak Ket
1. Memiliki pengawas Internal dari Ormas
2. Memiliki Laporan Keuangan
3. Memberikan Laporan kepada Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah
4. Memiliki tujuan dan misi kegiatan sesuai
tujuan organisasi dan sesuai regulasi
yang berlaku.
5. Program yang dijalankan memberikan
manfaat bagi masyarakat.

III. Pengaduan Masyarakat


No. Bentuk Pengaduan
Tidak Subjek Objek Materi
Tertulis
Tertulis
1.
2.

IV. Temuan Lapangan


No. Bentuk Temuan Subjek Objek Materi

V. Catatan Tambahan
1. ..............................
2. ..............................
3. ..............................

VI. Saran dan Masukan


..................................................................................................................
..................................................................................................................
.........................................................................................................

VII. Identitas Pelapor


Nama :
No.Identitas :
Unsur : a) Warga Negara Indonesia dan/atau Warga Negara
Asing;
- 38 -

b) Kelompok;
c) Organisasi Kemasyarakatan; dan/atau
d) Badan Hukum
*Pilih salah satu
Jabatan :
Tanda :
Tangan

VIII. Pelaksana Pengawasan Ormas


Nama :
Jabatan :
Instansi :
NIP :
Tanda :
Tangan

Pelaksanaan Pengawasan
Tempat :
Hari/Tanggal :

IX. Laporan Hasil Pengawasan

KOP SURAT PERANGKAT DAERAH KESBANGPOL


LAPORAN HASIL PENGAWASAN ORMAS
DI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA .............
I. PENDAHULUAN
(menjelaskan tentang latar belakang mengenai permasalahan/kasus
terhadap ormas)

II. FAKTA-FAKTA
(Menjelaskan mengenai fakta-fakta pendukung)

III. PERMASALAHAN
(Menjelaskan mengenai permasalahan yang lebih teknis yang terjadi
dilapangan)
- 39 -

IV. TINDAKAN YANG TELAH DILAKUKAN


(Menjelaskan mengenai tindakan apa saja yang sudah dilakukan)

V. KESIMPULAN
(Menjelaskan mengenai kesimpulan sekaligus analisis terhadap
persoalan/permasalahan/kasus yang sedang ditangani)

VI. REKOMENDASI
(Menjelaskan mengenai rekomendasi yang disarankan guna
tindaklanjut penyelesaian kedepan)

VII. LAMPIRAN
(Dokumen, foto atau video sebagai bukti yang menguatkan dalam
penarikan kesimpulan dan pemberian rekomendasi hasil
pengawasan terhadap Ormas)
- 40 -

I. FORMULIR PENGADUAN MASYARAKAT

KOP SURAT PERANGKAT DAERAH KESBANGPOL

FORMAT FORMULIR PENGADUAN MASYARAKAT

I. Identitas Pelapor
a. N a m a:
b. Alamat :
c. Pekerjaan :
d. Umur :

II. Informasi Ormas Terlapor


a. N a m a Ormas :
b. Alamat Ormas :
c. Nama Pengurus : …………………………………………………………………
Anggota Ormas : …………………………………………………………………

III. Uraian laporan:


………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
……………

IV. Data yang di lampirkan


a. …………………………………………………………………………………………
b. …………………………………………………………………………………………
c. …………………………………………………………………………………………

Dengan ini pengadu membenarkan dan bertanggungjawab atas


keterangan yang diberikan.

(tempat), (tanggal, bulan dan tahun)


Penerima Pengaduan
- 41 -

__________________________________
NIP. ……………………
Nama Jelas Pengadu

J. FORMULIR PEMETAAN

KOP SURAT PERANGKAT DAERAH KESBANGPOL

FORMULIR PEMETAAN DATA ORGANISASI KEMASYARAKATAN


PROVINSI/ KABUPATEN/ KOTA……………
Nama Ormas
No SKT/Badan
Hukum
Masa Berlaku SKT
Tahun Berdiri
Pimpinan
Alamat
Afiliasi Parpol (1) Ya (2) Tidak
Jika Ya Nama Parpol……………………….
Jenis Kegiatan 1. Keagamaan
a. Islam
b. Katolik
c. Protestan
d. Hindu
e. Budha
f. Konghucu
2. Sosial-Kebudayaan:
a. Pendidikan
b. Olahraga
c. Kepemudaan
d. Kesenian
e. Perlindungan HAM
f. Hukum
g. Demokrasi
h. Paguyuban
- 42 -

i. Pemberdayaan Perempuan;
j. Perlindungan Anak
k. Hobi, Minat atau Bakat
l. Penelitian dan Pengembangan
m. Lainnya (sebutkan)
3. Ekonomi:
a. Pertanian
b. Perikanan
c. Kelautan
d. Lainnya (sebutkan)
4. Profesi:
a. Tenaga Pendidik
b. Tenaga Kesehatan
c. Akuntan
d. Teknisi
e. Arsitek
f. Fisikawan
g. Pustakawan
h. Advokat
i. Komputasi
j. Wartawan
k. Pengrajin
l. Lainnya (sebutkan)
5. Lingkungan dan Sumber Daya:
a. Sumber Daya Manusia
b. Lingkungan Hidup dan Sumber Daya
Alam
c. Ketenagakerjaan
d. Penguatan Kapasitas
e. Lainnya (sebutkan
Keanggotaan 1. Tanpa Anggota (Hanya Pengurus)
2. Anggota Terbatas
3. Anggota Massa
Pengerahan Massa 1 Kegiatan Tidak Melibatkan Massa
2 Kegiatan Melibatkan Massa
Konflik 1 Belum Pernah Konflik
2 Pernah Konflik
Struktur 1 Pengurus Pusat
Kepengurusan
Berjenjang
- 43 -

2 Pengurus Provinsi
3 Pengurus Kabupaten/Kota
Tingkat Partisipasi 1 Melibatkan Sejumlah Masyarakat pada
dalam Pelaksanaan Tingkat Kabupaten/Kota
Program 2 Melibatkan Sejumlah Masyarakat pada
Tingkat Provinsi
3 Melibatkan Sejumlah Masyarakat pada
Tingkat Nasional
4 Melibatkan Masyarakat Internasional
Media Penyebaran 1 Website Resmi Organisasi
Informasi 2 Sosial Media:
a. Facebook
b. Twitter
c. Whataspp
d. Telegram
e. Line
f. Instragram
g. Lainnya (sebutkan)
3 Tidak Punya Website dan Sosial Media
(Medsos)
K. FORMAT LAPOR DIRI ORMAS ASING

UPLOAD NAMA,
MITRA TENAGA
ORMAS K/L ASAL NO MULAI AKHIR SISA MASA LOKUS LOKUS LOKUS MSP & MITRA JABATAN,
NO HARI TGL JAM BENUA PROGRAM ORMAS KERJA
ASING Mitra NEGARA MSP MSP MSP MSP PROVINSI KABUPATEN KOTA AP, RIK, SKPD DAN CP
LOKAL ASING
RKT PELAPOR

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21)
1 … … … … … … … (1). … … ../../…. ../../…. (Contoh: 1 (1). ... (1). … (1). … … (1). … … (1). … …
(2). dst Thn, 3 Bln) (2). dst (2). dst (2). dst (2). dst (2). dst

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA,

MUHAMMAD TITO KARNAVIAN

Anda mungkin juga menyukai