ATURAN
PERATURAN BIDANG
ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
02 UU 17/2013
03 UU 16/2017
04 UU 16/2001
05 UU 28/2004
07 PP 58/2016
08 PP/59/2016
11A PP 63/2008
11B PP 2/2013
13 PUTUSAN MK
UNDANGUNDANG DASAR
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
SEKRETARIAT JENDERAL
UNDANGUNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM SATU NASKAH
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
UNDANGUNDANG DASAR
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
Pasal 3
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UndangUndang
Dasar. ***/****)
BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
Pasal 4
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.
Pasal 5
Pasal 6
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. ***)
(2) Syaratsyarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undangundang. ***)
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat. ***)
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum. ***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden. ***)
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden. ****)
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undangundang. ***)
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan. *)
Pasal 7A
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 7C
Pasal 8
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya. ***)
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersamasama.
Selambatlambatnya tigapuluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai polotik yang psangan calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya. ****)
Pasal 9
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguhsungguh akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan
sebaikbaiknya dan seadiladilnya, memegang teguh UndangUndang Dasar
dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan selurus
lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa” . *)
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak
dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh
pimpinan Mahkamah Agung. *)
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lainlain tanda kehormatan yang
diatur dengan undangundang. *)
Pasal 16
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Dihapus. ****)
BAB V
KEMENTERIAN NEGARA
Pasal 17
BAB VI
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undangundang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. **)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. **)
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undangundang. **)
Pasal 18A
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang
undang. **)
Pasal 18B
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB VII
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pasal 19
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. **)
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. **)
Pasal 20
(5) Dalam hal rancangan undangundang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan undangundang
tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan. **)
Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan. **)
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasalpasal
lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. **)
(3) Selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain UndangUndang Dasar ini,
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undangundang. **)
Pasal 21
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
Pasal 22A
Pasal 22B
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB VIIA ***)
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum. ***)
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama
dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
Pasal 22D
Pasal 22E
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. ***)
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. ***)
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang
undang. ***)
BAB VIII
HAL KEUANGAN
Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar
besarnya kemakmuran rakyat. ***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
***)
Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undangundang. ***)
Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undangundang. ****)
Pasal 23C
Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang
undang. ****)
Pasal 23E
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 23F
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden. ***)
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota. ***)
Pasal 23G
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi. ***)
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan
undangundang. ***)
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ***)
Pasal 24A
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. ***)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden. ***)
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
***)
Pasal 24B
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
Pasal 24C
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga
orang oleh Presiden. ***)
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi. ***)
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)
Pasal 25
Pasal 25A****)
BAB X
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK **)
Pasal 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orangorang bangsa Indonesia asli dan
orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai
warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia. **)
(3) Halhal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang
undang. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 27
(2) Tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara. **)
Pasal 28
BAB XA **)
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Pasal 28B
Pasal 28C
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. **)
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. **)
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. **)
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. **)
Pasal 28F
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. **)
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun. **)
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun. **)
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu. **)
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. **)
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundanganundangan.
**)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. **)
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan
maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis. **)
BAB XI
AGAMA
Pasal 29
BAB XII
PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA **)
Pasal 30
(1) Tiaptiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. **)
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. **)
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. **)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya,
syaratsyarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan diatur dengan undangundang. **)
BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****)
Pasal 31
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. ****)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 32
BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL****)
Pasal 33
(2) Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undangundang. ****)
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara. ****)
(2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. ****)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undangundang. ****)
BAB XV
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA , SERTA
LAGU KEBANGSAAN **)
Pasal 35
Pasal 36
Pasal 36A
Pasal 36B
Pasal 36C
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
BAB XVI
PERUBAHAN UNDANGUNDANG DASAR
Pasal 37
(5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan. ****)
ATURAN PERALIHAN
Pasal I
Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan UndangUndang Dasar dan belum diadakan yang baru
menurut UndangUndang Dasar ini. ****)
Pasal III
Pasal I
Pasal II
_________
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat
2
UU 17/2013
-1-
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
5. Pemerintah . . .
-3-
BAB II
ASAS, CIRI, DAN SIFAT
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan
demokratis.
BAB III
TUJUAN, FUNGSI, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 5
d. melestarikan . . .
-4-
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
BAB IV
PENDIRIAN
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
b. program kerja;
c. sumber pendanaan;
d. surat keterangan domisili;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; dan
f. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa
kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan.
(2) Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dilakukan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
meminta pertimbangan dari instansi terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum
perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang.
Pasal 13
Pasal 14
BAB V . . .
-7-
BAB V
PENDAFTARAN
Pasal 15
Pasal 16
(1) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b
dilakukan dengan pemberian surat keterangan terdaftar.
(2) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memenuhi persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengurus;
d. surat keterangan domisili;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas;
f. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan
atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
(3) Surat keterangan terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh:
a. Menteri bagi Ormas yang memiliki lingkup nasional;
b. gubernur bagi Ormas yang memiliki lingkup provinsi;
atau
c. bupati/walikota bagi Ormas yang memiliki lingkup
kabupaten/kota.
Pasal 17 . . .
-8-
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 20
Ormas berhak:
a. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara
mandiri dan terbuka;
b. memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk nama dan
lambang Ormas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi;
d. melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi;
e. mendapatkan perlindungan hukum terhadap keberadaan
dan kegiatan organisasi; dan
f. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta, Ormas lain, dan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan keberlanjutan organisasi.
Pasal 21
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma
kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan
akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
BAB VII . . .
- 10 -
BAB VII
ORGANISASI, KEDUDUKAN, DAN KEPENGURUSAN
Bagian Kesatu
Organisasi
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 25
Pasal 26
Ormas dapat memiliki struktur organisasi dan kepengurusan di
luar negeri sesuai dengan kebutuhan organisasi dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
Ormas dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua . . .
- 11 -
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 28
Bagian Ketiga
Kepengurusan
Pasal 29
Pasal 30
(1) Struktur kepengurusan, sistem pergantian, hak dan
kewajiban pengurus, wewenang, pembagian tugas, dan hal
lainnya yang berkaitan dengan kepengurusan diatur dalam
AD dan/atau ART.
(2) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan, susunan
kepengurusan yang baru diberitahukan kepada
kementerian, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan
kepengurusan.
Pasal 31 . . .
- 12 -
Pasal 31
(1) Pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan dari
kepengurusan tidak dapat membentuk kepengurusan
dan/atau mendirikan Ormas yang sama.
(2) Dalam hal pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk
kepengurusan dan/atau mendirikan Ormas yang sama,
keberadaan kepengurusan dan/atau Ormas yang sama
tersebut tidak diakui oleh Undang-Undang ini.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi,
kedudukan, dan kepengurusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 sampai dengan Pasal 31 diatur dalam AD dan/atau
ART.
BAB VIII
KEANGGOTAAN
Pasal 33
Pasal 34
BAB IX . . .
- 13 -
BAB IX
AD DAN ART ORMAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Bagian Kedua
Perubahan AD dan ART Ormas
Pasal 36
BAB X . . .
- 14 -
BAB X
KEUANGAN
Pasal 37
Pasal 38
BAB XI . . .
- 15 -
BAB XI
BADAN USAHA ORMAS
Pasal 39
BAB XII
PEMBERDAYAAN ORMAS
Pasal 40
(5) Penguatan . . .
- 16 -
Pasal 41
Pasal 42
BAB XIII
ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING
Pasal 43
Pasal 44
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a
wajib memiliki izin Pemerintah.
(2) Izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. izin prinsip; dan
b. izin operasional.
(3) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri setelah memperoleh
pertimbangan tim perizinan.
(4) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45 . . .
- 18 -
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
(1) Badan hukum ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (2) huruf b dan huruf c disahkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia setelah
mendapatkan pertimbangan tim perizinan.
(2) Selain . . .
- 19 -
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, tim perizinan, dan
pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 49
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) berkewajiban:
a. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. menghormati . . .
- 21 -
Pasal 52
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. melakukan kegiatan intelijen;
d. melakukan kegiatan politik;
e. melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan
diplomatik;
f. melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan
organisasi;
g. menggalang dana dari masyarakat Indonesia; dan
h. menggunakan sarana dan prasarana instansi atau lembaga
pemerintahan.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 53
Pasal 54
(1) Untuk menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas,
setiap Ormas atau ormas yang didirikan oleh warga negara
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
memiliki pengawas internal.
(2) Pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi untuk menegakkan kode etik organisasi dan
memutuskan pemberian sanksi dalam internal organisasi.
(3) Tugas dan kewenangan pengawas internal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam AD dan ART atau
peraturan organisasi.
Pasal 55
Pasal 56
BAB XV . . .
- 23 -
BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA ORGANISASI
Pasal 57
Pasal 58
(1) Dalam hal mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat
ditempuh melalui pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan
upaya hukum kasasi.
(3) Sengketa Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan perkara dicatat di pengadilan negeri.
(4) Dalam hal putusan pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diajukan upaya hukum kasasi,
Mahkamah Agung wajib memutus dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
BAB XVI
LARANGAN
Pasal 59
BAB XVII
SANKSI
Pasal 60
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68 . . .
- 28 -
Pasal 68
Pasal 69
Pasal 70
(3) Permohonan . . .
- 29 -
Pasal 71
Pasal 72
Pasal 73 . . .
- 30 -
Pasal 73
Pasal 74
Pasal 75 . . .
- 31 -
Pasal 75
(1) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori
kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 kepada
termohon kasasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi
didaftarkan.
(2) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi
kepada panitera pengadilan paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak tanggal memori kasasi diterima.
(3) Panitera pengadilan wajib menyampaikan kontra memori
kasasi termohon kepada pemohon kasasi dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal
kontra memori kasasi diterima.
(4) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori
kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara
yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung dalam jangka
waktu paling lama 40 (empat puluh) hari terhitung sejak
tanggal permohonan kasasi didaftarkan atau paling lama
7 (tujuh) hari sejak kontra memori kasasi diterima.
Pasal 76
(1) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
ayat (5) tidak terpenuhi, ketua pengadilan negeri
menyampaikan surat keterangan kepada Mahkamah Agung
yang menyatakan bahwa pemohon kasasi tidak mengajukan
memori kasasi.
(2) Penyampaian surat keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
hari kerja sejak berakhirnya batas waktu penyampaian
memori kasasi.
Pasal 77
(1) Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi
dan menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan
kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
(2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
harus diputus dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
Pasal 78 . . .
- 32 -
Pasal 78
(1) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan
putusan kasasi kepada panitera pengadilan negeri dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan kasasi diputus.
(2) Pengadilan negeri wajib menyampaikan salinan putusan
kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pemohon kasasi, termohon kasasi, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) hari kerja terhitung sejak putusan kasasi diterima.
Pasal 79
Dalam hal ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 atau Pasal 52, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional;
e. pembekuan izin prinsip;
f. pencabutan izin prinsip; dan/atau
g. sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 80
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 78
berlaku secara mutatis mutandis terhadap penjatuhan sanksi
untuk ormas berbadan hukum yayasan yang didirikan oleh
warga negara asing atau warga negara asing bersama warga
negara Indonesia, atau yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.
Pasal 81 . . .
- 33 -
Pasal 81
(1) Setiap orang yang merupakan anggota atau pengurus
Ormas, atau anggota atau pengurus ormas yang didirikan
oleh warga negara asing, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama melakukan tindak pidana, dipidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang yang merupakan anggota atau pengurus
Ormas, atau anggota atau pengurus ormas yang didirikan
oleh warga negara asing, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama melakukan tindakan yang menimbulkan
kerugian bagi pihak lain, pihak yang dirugikan berhak
mengajukan gugatan perdata sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai penjatuhan sanksi Ormas,
ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lainnya, dan
Ormas badan hukum yayasan yang didirikan warga negara
asing atau warga negara asing bersama warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 80
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83
Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku:
a. Ormas yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya
Undang-Undang ini tetap diakui keberadaannya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini;
b. Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad
1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan
Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen)
yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tetap diakui keberadaan dan
kesejarahannya sebagai aset bangsa, tidak perlu melakukan
pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. surat . . .
- 34 -
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan Ormas, dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang Undang ini.
Pasal 85
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 3298) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 86
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 35 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara individu
ataupun kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai perwujudan hak asasi manusia.
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya
secara individu maupun kolektif, setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia lainnya dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis.
Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas dengan segala
bentuknya hadir, tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah
perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia, Ormas
merupakan wadah utama dalam pergerakan kemerdekaan di antaranya
Boedi Oetomo, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lain yang
didirikan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Peran dan rekam jejak
Ormas yang telah berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut
mengandung nilai sejarah dan merupakan aset bangsa yang sangat penting
bagi perjalanan bangsa dan negara.
Dinamika . . .
-2-
Undang-Undang . . .
-3-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
-4-
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “mewujudkan tujuan negara” adalah
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial”.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 . . .
-5-
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
-6-
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42 . . .
-7-
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan politik” adalah kegiatan yang
mengganggu stabilitas politik dalam negeri, penggalangan dana
untuk jabatan politik, atau propaganda politik.
Huruf e . . .
-8-
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana pada instansi
atau lembaga Pemerintahan”, antara lain kantor, kendaraan
dinas, pegawai, dan peralatan dinas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa izin” adalah tanpa izin dari
pemilik nama, pemilik lambang, atau bendera negara,
lembaga/badan internasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat 2 . . .
-9-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan „‟ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila‟‟ adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-
leninisme.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghentian bantuan dan/atau hibah”
adalah penghentian oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah atas bantuan dan/atau hibah yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
Huruf c
Penghentian sementara kegiatan dalam ketentuan ini tidak
termasuk kegiatan internal, seperti rapat internal Ormas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67 . . .
- 10 -
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “permohonan” tidak dapat diartikan
sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte, tetapi
harus diperiksa secara contentiusa, yaitu pihak yang
berkepentingan harus ditarik sebagai termohon untuk memenuhi
asas audi et alteram partem.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75 . . .
- 11 -
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
rJRES IDEI{
REPusrttr tNDohtEsl/\
TENTANG
-2-
Mengingat: 1.
iasal 5 ayat (1), Pasal 2A, pasal 22 ayat..(2)Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal d.iundangkan.
Agar
rJRES IDEN
RET,UBLIK INDOI.IEIiI/\
-3-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2OL7
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2Ol7
ttd.
YASONNA H. LAOLY
.stuti Sukardi
rJRES IDEN
REFU htLlt( | trt Dr}trlESt/\
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
II. PASAL
ffi
REPUISLII( INDOhIE[iIA
-2-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2OL7
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG.UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2OI7 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OL3
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
MENJADI UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2AL7
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
2-
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor tZ
Tahun 2oL3 tentang organisasi Kemasyarakatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OL3 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5430) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan .
ffi
PRES IDEr{
Ri:puBltt( tNDol..tE$lA
.3-
Pasal 1
b. menggunakan
PRES IDEl.{
RETJUEILIIl INIDOI!ESIA
4-
-5-
Pasal 60
(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59
ayat (1) dan ayat (21dijatuhi sanksi administratif.
(21 Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan
ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana.
(a) Dalam
rJRES IDEN
REPUEILII( II{DOI{E$IA
-6-
(4) Dalam melakukan pencabutan . . sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dapat meminta
pertimbangan dari instansi terkait.
-7 -
BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA
27 . Di antara .
REPU
ffiPRES I DEN
t:,Lll( | lrtDClhtEgtA
-8-
27. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan.l (satu) pasal,
yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82A
(1) Setiap orarlg yang menjadi anggota dan/atau
pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara
langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3)
huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
1 (satu) tahun.
l2l Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau
pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara
langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan
.sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3)
huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.
(3) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana
tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan pidana.
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar .
ffi
REfTUEILIK lNDr}t.tEStA
-9 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1O Juli 2Ol7
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2Ol7
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2OL7
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2OL3
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
I. UMUM
Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
"Kemudian daripada itu unhtk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia Aang melindungi segenap bangsa Indoruesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dqn unfitk memajukan kesejahteraan rtmum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia Aqng
berdasarkan kem.erdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosfal, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ifit dalam suafit Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Aang terbenfuk dalam suattt
susunan Negara Republik Indonesia Aang berkedaulatan rakyat dengan
berdasdr kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Aang adil d.an
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakgatan Aang dipimpin oleh hikmat
kebijal<sanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilary serta d.engan
meuujudkan suatu Keadilan sosral bagi seluruh rakgat Ind.onesia".
Untuk
FIRESIDEN
REpuBltK tNDoruEsl/\
-2-
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemerintah telah mengundangkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ot3 tentang Organisasi Kemasyarakatan
dan undang-Undang Nomor 9 Tatrun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka umum. Di dalam kedua Undang-Undang
tersebut telah dicantumkan hak-hak setiap warga Negara sebagai bentuk
perlindungan Pemerintah terhadap hak d.sasi manusia (HAM). Namun
demikian, di dalam rangka perlindungan hak asasi manusia tersebut, setiap
warga negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi orang lain.
"First tlere is the matter of fair apptication: tlrc approach to human rights tr;,rs
to be '6alanced'; 'double standard.s in the implementation of human r@hts' are
to be auoided; 'concern' ls expressed about the prioritg accorded 'one categorg
of rights'; 'economic, social, atltural, ciuil and political rights' are
interdependent and 'indiuisible and rrutst tlwrefore be 'addressed in an
integrated and balance m.anner'. The barelg disguised subtert here is thnt ciuil
and political ights (with their assertions of democratic and protest rights) lnue
been uronglg prioritised bg the supporters of lrumnn ights in tle Global North
tttith tle result that tle subject of human rights ofien appears exhausted once
th.e issue of democratic freedom l:r,s been fuUA uentilated. In fact from tle
Bangkok perspectiue,. social and economic rights are of at least equal
importanceo.
Second.
T.lRESIDEN
RErruBttx u\DaNE$lA
-3-
Second the declaration introduces the notion of regional ualues as potentiatty in
opposition to human rights. Ttte 'diuerse and rich qtltures and traditioni 'of
Asia need to be better recognised.. '[Qconfrontation and. th.e imposition if
incompatible ualues' are to be auoided. Tlwugh'unh)ersal in nature', hrtman
rights must, as the, substance of the declaration went on to sag, 'be considered.
in the antert of a dynamic and euoluing process of international norm-setting,
bearing in mind tl.rc signifrcance of national and regional partia,ttarities and.
u arious historical, cttltural and religious b ackgrounds" .
-4-
Ketiga karakteristik "hal ihwal kegentingan yang memaksa" tersebut
juga sejalan dengan artikel 4 Internationat Ciuenant on Ciuil' and. politicat
Rights (ICCPR), sebagai berikut:
"In time of public effLergencA which threatens the life of the nation and. tlrc
exbtence of which is offtciallg proctaim.ed., tle States Parties to the present
Couenant may take rleesures derogating from their obligations und"er the
present Couenant to the ertent strbtlg required by ttte exigencies of the
sifuation, prouided that such measures are not inconsistent iitn fiieir other
obligations under international law and d"o not inuolue discrimination solelg on
the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin".
-5-
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanpa iztn" adalah tanpa izin
dari pemilik narna, pemilik lambang, atau bendera
negara, lembaga/badan internasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
rJRES IDE}{
REPUBLIK II{DoI'.IEsIA
-6-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ."tindakan permusuhan" adalah
ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara
lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik
maupun tidak melalui media elektronik yang
menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok
tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke
penyelenggara negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Hu.ruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang menjadi tugas
dan wewenang penegak hukum" adalah tindakan
penangkapan, penahanan dan membatasi kebebasan
bergerak seseorang karena latar belakang etnis, agErma
dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku,
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "melakukan kegiatan separatis"
adalah kegiatan yang ditujukan untuk memisahkan
bagian dari atau seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau menguasai bagian atau seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik atas
dasar etnis, agama, maupun ras.
Huruf c
frRES lDEf{
REF!UElLll( tNDOt.tEStA
-7-
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
-8-
Angka 5
Pasal 62
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 63
Dihapus.
Angka 7
Pasal 64
Dihapus.
Angka 8
Pasal 65
Dihapus.
Angka 9
Pasal 66
Dihapus.
Angka 10
Pasal 67
Dihapus.
Angka 11
Pasal 68
Dihapus.
Angka 12
Pasal 69
Dihapus.
Angka 13
Pasal 70
Dihapus.
Angka L+. . .
ffi
PRES IDEN
REtruEtLlK il{D(}t{EstA
-9 -
Angka 14
Pasal 71
Dihapus.
Angka 15
Pasd 72
Dihapus.
Angka 16
Pasal 73
Dihapus.
Angka 17
Pasal 74
Dihapus.
Angka 18
Pasal 75
Dihapus.
Angka 19
Pasal 76
Dihapus.
Angka 20
Pasal 77
Dihapus.
Angka 21
Pasal 78
Dihapus.
Angka22
Pasal 79
Dihapus.
Angka 23
rJRES IDEN
REPUEILIK II\DoI.IESI/\
-10
Angka 23
Pasal 80
Dihapus.
Angka 24
Pasal 80A
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 81
Dihapus.
Angka 26
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 82A
Ayat (1)
Ayat (2)
PRES IDET{
RErJU BLII( II\DoI!EsIA
- 11-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 83A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan
dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Yayasan;
b. bahwa Yayasan di Indonesia telah berkembang pesat dengan berbagai kegiatan,
maksud, dan tujuan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai
dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
kepada masyarakat, perlu membentuk Undang-undang tentang Yayasan;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN.
BAB I …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas .
Pasal 3
(1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya
dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan
Pengawas.
Pasal 4
Yayasan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam
Anggaran Dasar.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
Pasl 5 …
Pasal 5
Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan
berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung
kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap
Yayasan.
Pasal 6
Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam rangka
menjalankan tugas Yayasan.
Pasal 7
(1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan
yayasan.
(2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif
dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari
seluruh nilai kekayaan Yayasan.
(3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota
Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 8
Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan
maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
PENDIRIAN
Pasal 9
(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
(2) Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan
dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.
(4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
(5) Dalam hal Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan oleh orang asing atau
bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan tersebut diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Dalam pembuatan akta pendirian Yayasan, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat
kuasa.
(2) Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat bertindak
mewakili pemberi wasiat.
(3) Dalam hal surat wasiat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilaksanakan, maka atas
permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau penerima
wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.
Pasal 11
(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.
(2) Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagai badan
hukum dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan.
(3) Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.
Pasal 12
(1) Pengesahan akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diajukan oleh pendiri
atau kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal …
(3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) pengesahan
diberikan atau tidak diberikan dalam jangka waktu:
a. paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan
pertimbangan diterima dari instansi terkait; atau
b. setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan
pertimbangan kepada instansi terkait tidak diterima.
Pasal 13
(1) Dalam hal permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditolak,
Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada pemohon
mengenai penolakan pengesahan tersebut.
(2) Alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bahwa permohonan yang
diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 14
(1) Akta pendirian memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu.
(2) Anggaran Dasar Yayasan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan tempat kedudukan;
b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. jangka waktu pendirian;
d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang
atau benda;
e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas;
g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
(3) Keterangan …
(3) Keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang-kurangnya nama,
alamat, pekerjaan, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan Pendiri, Pembina, Pengurus,
dan Pengawas.
(4) Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi Pendiri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Pasal 16
(1) Yayasan dapat didirikan untuk jangka waktu tertentu atau tidak tertentu yang diatur dalam
Anggaran Dasar.
(2) Dalam hal Yayasan didirikan untuk jangka waktu tertentu, Pengurus dapat mengajukan
perpanjangan jangka waktu pendirian kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu pendirian Yayasan.
BAB III
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 17
Anggaran Dasar dapat diubah, kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan.
Pasal 18
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
(1) Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina.
(2) Rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan, apabila dihadiri
oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Pembina.
(3) Perubahan …
(3) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris
dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 19
(1) Keputusan rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan rapat berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak tercapai, keputusan ditetapkan berdasarkan persetujuan paling sedikit 2/3
(dua per tiga) dari seluruh jumlah anggota Pembina yang hadir.
Pasal 20
(1) Dalam hal korum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) tidak tercapai, rapat Pembina
yang kedua dapat diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal rapat Pembina
yang pertama diselenggarakan.
(2) Rapat Pembina yang kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sah, apabila dihadiri oleh lebih
dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh anggota Pembina.
(3) Keputusan rapat Pembina yang kedua sah, apabila diambil berdasarkan persetujuan suara
terbanyak dari jumlah anggota Pembina yang hadir.
Pasal 21
(1) Perubahan Anggaran Dasar yang meliputi nama dan kegiatan Yayasan harus mendapat
persetujuan Menteri.
(2) Perubahan Anggaran Dasar mengenai hal lain cukup diberitahukan kepada Menteri.
Pasal 22
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 secara mutatis mutandis berlaku juga
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
bagi permohonan perubahan Anggaran Dasar, pemberian persetujuan, dan penolakan atas perubahan
Anggaran Dasar.
Pasal 23 …
Pasal 23
Perubahan Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan pada saat Yayasan dinyatakan dalam keadaan pailit,
kecuali atas persetujuan kurator.
BAB IV
PENGUMUMAN
Pasal 24
(1) Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran
Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan permohonannya oleh Pengurus
Yayasan atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik Indonesia dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan yang disahkan
atau perubahan Anggaran Dasar yang disetujui.
(3) Ketentuan mengenai besarnya biaya pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 belum dilakukan, Pengurus Yayasan
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas seluruh kerugian Yayasan.
BAB V
KEKAYAAN
Pasal 26
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
(1) Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau
barang.
(2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari :
a. sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
b. wakaf;
c. hibah;
d. hibah …
Pasal 27
(1) Dalam hal-hal tertentu Negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
ORGAN YAYASAN
Bagian Pertama
Pembina
Pasal 28
(1) Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada
Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
(3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat
anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan
Yayasan.
(4) Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota
Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Keputusan …
(5) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) sah apabila dilakukan sesuai
dengan ketentuan mengenai korum kehadiran dan korum keputusan untuk perubahan Anggaran
Dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.
Pasal 29
Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas.
Pasal 30
Bagian Kedua
Pengurus
Pasal 31
Pasal 32
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
(1) Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka
waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. seorang ketua;
b. seorang sekretaris; dan
c. seorang bendahara.
(3) Dalam hal Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selama menjalankan tugas melakukan
tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan keputusan rapat
Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir.
(4) Ketentuan …
(4) Ketentuan mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 33
(1) Dalam hal terdapat penggantian Pengurus Yayasan, Pembina wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengurus Yayasan.
Pasal 34
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian Pengurus dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan
dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian,
atau penggantian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
pembatalan diajukan.
Pasal 35
(1) Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan
tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
(2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan dan tujuan Yayasan.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengurus dapat mengangkat
dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 36
Pasal 37
Pasal 38
(1) Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan,
Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal perjanjian tersebut
bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.
Pasal 39
(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Bagian Ketiga …
Bagian Ketiga
Pengawas
Pasal 40
(1) Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat
kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.
(2) Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang,
tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan
perbuatan hukum.
(4) Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.
Pasal 41
(1) Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan
rapat Pembina.
(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan umum, Pengadilan
dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian atau penggantian tersebut.
Pasal 42
Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Yayasan.
Pasal 43
(1) Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, wajib dilaporkan secara tertulis kepada
Pembina.
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima, Pembina wajib
memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan membela diri.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Pembina wajib:
a. mencabut …
Pasal 44
(1) Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka
waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Ketentuan mengenai susunan, tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
Pengawas diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 45
(1) Dalam hal terdapat penggantian Pengawas Yayasan, Pembina wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian Pengawas Yayasan.
Pasal 46
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian,
dan penggantian Pengawas tersebut.
Pasal 47
(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengawas dalam melakukan tugas
pengawasan dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
(2) Anggota Pengawas Yayasan yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.
(3) Setiap …
(3) Setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan
yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau Negara berdasarkan putusan
Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan manapun.
BAB VII
LAPORAN TAHUNAN
Pasal 48
(1) Pengurus wajib membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan mengenai
hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha Yayasan.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pengurus wajib membuat dan
menyimpan dokumen keuangan Yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung
administrasi keuangan.
Pasal 49
(1) Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) bulan terhitung sejak tanggal tahun buku Yayasan
ditutup, Pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat
sekurang-kurangnya:
a. laporan keadaan dan kegiatan Yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil yang
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
telah dicapai;
b. laporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan
aktivitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan.
(2) Dalam hal Yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi Yayasan, transaksi tersebut wajib dicantumkan dalam laporan tahunan.
Pasal 50
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditandatangani oleh Pengurus dan Pengawas
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
(2) Dalam hal terdapat anggota Pengurus atau Pengawas tidak menandatangani laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka yang bersangkutan harus menyebutkan alasannya
secara tertulis.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disahkan oleh rapat Pembina.
Pasal 51 …
Pasal 51
Dalam hal dokumen laporan tahunan ternyata tidak benar dan menyesatkan, maka Pengurus dan
Pengawas secara tanggung renteng bertanggungjawab terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 52
(1) Ikhtisar laporan tahunan Yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Yayasan.
(2) Ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan dalam surat
kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang:
a. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, atau pihak lain sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih; atau
b. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) atau lebih.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(4) Hasil audit terhadap laporan tahunan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
disampaikan kepada Pembina Yayasan yang bersangkutan dan tembusannya kepada Menteri dan
instansi terkait.
(5) Bentuk ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun sesuai dengan
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
BAB VIII
PEMERIKSAAN TERHADAP YAYASAN
Pasal 53
(1) Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam
hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a. melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b. lalai dalam melaksanakan tugasnya;
Pasal 54
(1) Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2).
(2) Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan
mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli
sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
(3) Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan Yayasan tidak dapat
diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 55
(1) Pemeriksa berwenang memeriksa semua dokumen dan kekayaan Yayasan untuk kepentingan
pemeriksaan.
(2) Pembina, Pengurus, Pengawas, dan pelaksana kegiatan serta karyawan Yayasan, wajib
memberikan keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
(3) Pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada pihak
lain.
Pasal 56
(1) Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua
Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
(2) Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.
BAB IX
PENGGABUNGAN
Pasal 57
(1) Perbuatan hukum penggabungan Yayasan dapat dilakukan dengan menggabungkan 1 (satu) atau
lebih Yayasan dengan Yayasan lain, dan mengakibatkan Yayasan yang menggabungkan diri
menjadi bubar.
(2) Penggabungan …
(2) Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
memperhatikan:
a. ketidakmampuan Yayasan melaksanakan kegiatan usaha tanpa dukungan Yayasan lain;
b. Yayasan yang menerima penggabungan dan yang bergabung kegiatannya sejenis; atau
c. Yayasan yang menggabungkan diri tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Anggaran Dasarnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
(3) Usul penggabungan Yayasan dapat disampaikan oleh Pengurus kepada Pembina.
(4) Penggabungan Yayasan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan rapat Pembina yang
dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina dan disetujui paling
sedikit oleh 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina yang hadir.
Pasal 58
(1) Pengurus dari masing-masing Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang akan menerima
penggabungan menyusun usul rencana penggabungan.
(2) Usul rencana penggabungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam rancangan
akta penggabungan oleh Pengurus dari Yayasan yang akan menggabungkan diri dan yang akan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
menerima penggabungan.
Pasal 59
Pengurus Yayasan hasil penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dalam surat kabar
harian berbahasa Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggabungan
selesai dilakukan.
Pasal 60
(1) Rancangan akta penggabungan Yayasan dan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang
menerima penggabungan wajib disampaikan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(3) Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon
secara tertulis disertai alasannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 61 …
Pasal 61
Ketentuan mengenai tata cara penggabungan Yayasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMBUBARAN
Pasal 62
dicabut.
Pasal 63
(1) Dalam hal Yayasan bubar karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a dan
huruf b, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan.
(2) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, Pengurus bertindak selaku likuidator.
(3) Dalam hal Yayasan bubar, Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk
membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.
(4) Dalam hal Yayasan sedang dalam proses likuidasi, untuk semua surat keluar, dicantumkan frasa
"dalam likuidasi" di belakang nama Yayasan.
Pasal 64
(1) Dalam hal Yayasan bubar karena putusan Pengadilan, maka Pengadilan juga menunjuk likuidator.
(2) Dalam hal pembubaran Yayasan karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang
Kepailitan.
(3) Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian,
wewenang, kewajiban, tugas dan tanggung jawab, serta pengawasan terhadap Pengurus, berlaku
juga bagi likuidator.
Pasal 65 …
Pasal 65
Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan Yayasan yang bubar atau
dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukan wajib mengumumkan
pembubaran Yayasan dan proses likuidasinya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.
Pasal 66
Likuidator atau kurator dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses
likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.
Pasal 67
(1) Likuidator atau kurator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal proses
likuidasi berakhir wajib melaporkan pembubaran Yayasan kepada Pembina.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
(2) Dalam hal laporan mengenai pembubaran Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
pengumuman hasil likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 tidak dilakukan, bubarnya
Yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Pasal 68
(1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan
tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar.
(2) Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan
tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan
kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan
tersebut.
BAB XI
YAYASAN ASING
Pasal 69
(1) Yayasan asing yang tidak berbadan hukum Indonesia dapat melakukan kegiatannya di wilayah
Negara Republik Indonesia, jika kegiatan Yayasan tersebut tidak merugikan masyarakat, bangsa,
dan Negara Indonesia.
(2) Ketentuan …
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 70
(1) Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga
dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan
yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah:
a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia; atau
b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi
terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5
(lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini Yayasan tersebut wajib
menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat
1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
(3) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan
Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
BAB XIV …
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
(1) Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau
sumbangan masyarakat yang diperolehnya sebagai akibat berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan wajib mengumumkan ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) yang mencakup kekayaannya selama 10 (sepuluh) tahun sebelum
Undang-undang ini diundangkan.
(2) Pengumuman ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menghapus
hak dari pihak yang berwajib untuk melakukan pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan apabila
ada dugaan terjadi pelanggaran hukum.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
Pasal 73
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG
YAYASAN
I. UMUM
Pendirian Yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam
masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud
untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah
mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan
untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Sejalan dengan kecenderungan
tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan Yayasan yang
tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara
Pengurus dengan Pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk
menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara
melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum karena belum ada hukum
positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada
masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan
fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang ini menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan
hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan
dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum
setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau
pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan
suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya
Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Dalam rangka …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
Pasal 1
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
Cukup jelas
Pasal 2 …
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang bersifat sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor
tetap.
Pasal 4
Dalam hal kedudukan Yayasan disebutkan nama desa atau yang dipersamakan dengan itu, harus
disebutkan pula nama kecamatan, kabupaten, kota dan propinsi.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain
hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup,
kesehatan, dan ilmu pengetahuan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan atau badan hukum.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Ayat (2) …
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila terdapat surat wasiat yang berisi pesan untuk mendirikan Yayasan, maka hal
tersebut dianggap sebagai kewajiban yang ditujukan kepada mereka yang ditunjuk dalam surat
wasiat selaku penerima wasiat, untuk melaksanakan wasiat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
Ayat (2)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Yang dimaksud dengan istilah "benda" adalah benda berwujud dan benda tidak
berwujud yang dapat dinilai dengan uang.
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
huruf h
Cukup jelas
huruf i
Cukup jelas
huruf j
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
huruf k
Cukup jelas
Ayat (3) …
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
Ayat (2)
Permohonan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dapat
diajukan secara langsung atau dikirimkan melalui surat tercatat.
Ayat (3)
Besarnya biaya pengumuman diperhitungkan sesuai dengan besarnya kekayaan
Yayasan.
Pasal 25
Maksud dari Pasal ini adalah Pemberian sanksi perdata kepada Pengurus, karena Pengurus tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
huruf a
Yang dimaksud dengan "sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat" adalah
sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima Yayasan, baik dari Negara, masyarakat, maupun
dari pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
huruf b
Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah wakaf dari orang atau dari badan hukum.
huruf c
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah hibah dari orang atau dari badan hukum.
huruf d
Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan tidak boleh
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
huruf e
Yang dimaksud dengan "perolehan lain" misalnya deviden, bunga tabungan bank,
sewa gedung, atau perolehan dari hasil usaha Yayasan.
Ayat (3) …
Ayat (3)
Kekayaan Yayasan yang berasal dari wakaf tidak termasuk harta pailit.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Bantuan Negara untuk Yayasan dilakukan sesuai dengan jiwa ketentuan Pasal 34
Undang-Undang Dasar 1945.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan bahwa Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya
harus menjadi Pembina. Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh Pengurus atau Pengawas.
Ayat (4)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31 …
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang
tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara Pembina, Pengurus dan Pengawas yang
dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pelaksana kegiatan" adalah Pengurus harian Yayasan yang
melaksanakan kegiatan Yayasan sehari-hari.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Jika Pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, Anggaran
Dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum
tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/atau Pengawas, misalnya untuk
menjaminkan kekayaan Yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 31 ayat (3)
Pasal 41 …
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini mewajibkan Yayasan melaporkan secara rinci tentang berbagai
transaksi yang dilakukan oleh Yayasan dengan pihak lain. Hal tersebut merupakan cerminan dari
asas keterbukaan dan akuntabilitas pada masyarakat yang harus dilaksanakan oleh Yayasan
dengan sebaik-baiknya.
Pasal 50 …
Pasal 50
Ayat (1)
Laporan harus ditandatangani oleh semua Pengurus dan Pengawas karena laporan
tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas dalam melaksanakan
tugasnya.
Apabila diantara Pengurus atau Pengawas ada yang tidak menandatangani, alasan atau
penyebab tidak menandatangani laporan tersebut harus dijelaskan secara tertulis sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh rapat Pembina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengesahan laporan oleh rapat Pembina berarti pemberian pelunasan dan pembebasan
tanggung jawab kepada Pengurus dan kepada Pengawas, selama tahun buku yang bersangkutan.
Pasal 51
Yang dimaksud dengan “pihak yang dirugikan” adalah Yayasan yang bersangkutan, masyarakat,
dan/atau Negara.
Pasal 52
Ayat (1)
Penempelan ikhtisar laporan tahunan Yayasan pada papan pengumuman ditempatkan
sedemikian rupa sehingga dapat dibaca oleh masyarakat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar bantuan yang diterima oleh Yayasan atau
Yayasan yang mempunyai kekayaan dalam jumlah tertentu, dapat diketahui oleh masyarakat
sesuai dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ahli" adalah mereka yang memiliki keahlian sesuai dengan
masalah yang akan diperiksa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61 …
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan bahwa kekayaan Yayasan yang dibubarkan harus
dibereskan (likuidasi). Dengan pembubaran tersebut, keberadaan Yayasan masih tetap ada
sampai pada saat likuidator dibebaskan dari tanggung jawab.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 64
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal pembubaran Yayasan berdasarkan putusan Pengadilan, penunjukan likuidator
ditetapkan oleh Pengadilan, sedangkan penunjukan kurator hanya apabila Yayasan dinyatakan
pailit.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66 …
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
Ayat (3)
"Pihak yang berkepentingan" adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung
dengan Yayasan.
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
- 2 -
MEMUTUSKAN :
Pasal I
“Pasal 5
- 3 -
“Pasal 11
(4) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
“Pasal 12
(4) Dalam …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
“Pasal 13A
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama
Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum
menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng.”
“Pasal 24
(1) Akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan
hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui
atau telah diberitahukan wajib diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian
Yayasan disahkan atau perubahan Anggaran Dasar disetujui
atau diterima Menteri.
(3) Tata cara mengenai pengumuman dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.”
7. Pasal 25 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
7. Pasal 25 dihapus.
“Pasal 32
“Pasal 33
- 7 -
“Pasal 34
“Pasal 38
- 8 -
“Pasal 44
“Pasal 45
“Pasal 46
- 9 -
(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian
Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas
permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan
umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian Pengawas tersebut dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.”
“Pasal 52
- 10 -
“Pasal 58
“Pasal 60
- 11 -
“Pasal 68
“Pasal 71
- 12 -
“Pasal 72 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
“Pasal 72
“Pasal 72 A
Pasal 72 B
23. Penjelasan …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Pasal II
Agar …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
ttd
BAMBANG KESOWO
ttd
Lambock V. Nahattands
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001
TENTANG YAYASAN
I. UMUM
II. PASAL …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan
Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung
tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau
melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan
kekayaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa kekayaan Yayasan, termasuk hasil kegiatan usaha
Yayasan, merupakan kekayaan Yayasan sepenuhnya untuk
dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan Yayasan,
sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus,
dan Pengawas Yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima
gaji, upah, atau honorarium.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “terafiliasi” adalah hubungan
keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai
derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal.
Huruf b …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “secara langsung dan penuh”
adalah melaksanakan tugas kepengurusan sesuai dengan
ketentuan hari dan jam kerja Yayasan bukan bekerja
paruh waktu (part time).
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan bahwa permohonan pengesahan badan hukum
Yayasan melalui Notaris dimaksudkan untuk mempermudah
pelayanan kepada masyarakat dalam pengajuan permohonan
pengesahan akta pendirian Yayasan di daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 12
Cukup jelas
Angka 5 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Angka 5
Pasal 13A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini dalam Anggaran Dasar Yayasan
dimuat berapa kali jangka waktu 5 (lima) tahun bagi Pengurus
untuk dapat diangkat kembali.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 33
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 11 …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Angka 11
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini dalam Anggaran Dasar Yayasan
dimuat berapa kali jangka waktu 5 (lima) tahun bagi Pengawas
untuk dapat diangkat kembali.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 45
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 46
Cukup jelas
Angka 16
Pasal 52
Ayat (1)
Penempelan ikhtisar laporan keuangan Yayasan pada papan
pengumuman ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat
dibaca oleh masyarakat.
Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar bantuan yang
diterima oleh Yayasan atau Yayasan yang mempunyai kekayaan
dalam jumlah tertentu, dapat diketahui oleh masyarakat sesuai
dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 58
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 60
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 68
Cukup jelas
Angka 20
Pasal 71
Ayat (1)
Jangka waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada Yayasan tersebut untuk
menentukan apakah akan meneruskan atau tidak keberadaan
Yayasan. Jika akan diteruskan, dalam jangka waktu tersebut
Yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan
Undang-undang ini.
Ayat (2) …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah
pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan Yayasan.
Angka 21
Pasal 72
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 72 A
Cukup jelas
Pasal 72 B
Cukup jelas
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Cukup jelas
Angka 25
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
BERBADAN HUKUM
Pasal 2.
Pasal 3.
(s.d.u. dg. S. 1937-572.) Penolakan Pengakuan hanya dilakukan berdasarkan kepentingan umum.
Keputusan disertai dengan alasan- alasan.
Pasal 4.
Perubahan atau penggantian statuta yang telah disetujui memerlukan persetujuan lebih lanjut.
Pasal 5.
Statuta yang disetujui, perubahan atau pergantian diumumkan dalam surat kabar resmi.
Pasal 5a.
(s.d.t. dg. S. 1933-89.) Perkumpulan yang didirikan untuk waktu tertentu, yang statutanya atau
reglemennya disetujui, juga setelah habis waktu yang ditentukan dalam statuta dan reglemen itu
tanpa persetujuan lebih lanjut dipandang sebagai badan hukum, bila sepanjang perbuatan-
perbuatan, dan tingkah laku anggota-anggotanya atau pengurusnya menunjukkan bahwa
perkumpulan itu, setelah waktu yang ditentukan, tetap ada (pasal 2, 4, 5 bis, 6, 7 bis). Dengan S-
1933-84, Pasal 11 ditentukan sebagai berikut:
KETENTUAN PERALIHAN
(1) Pasal 5a yang ditentukan dalam pasal 1 huruf b berlaku juga untuk perkumpulan-
perkumpulan, yang pada saat berlakunya ordonansi ini (8 Maret 1933) karena lewat waktu yang
ditentukan dalam statutanya atau reglemennya tidak lagi berbadan hukum, tetapi masih ada
sebagai perkumpulan.
(2) Perkumpulan seperti dimaksud dalam ayat yang lalu dianggap tidak pernah kehilangan sifat
badan hukumnya dengan ketentuan, bahwa dalam pada itu diperoleh pihak-pihak ketiga.
Pasal 5 bis
574.) Perkumpulan yang oleh Gubernur Jenderal dinyatakan bertentangan dengan ketertiban
umum, kehilangan sifat badan hukum karena pernyataan itu.
Pasal 6.
Penyimpangan dari statuta-statuta yang telah disetujui memberikan kewenangan kepada kejaksaa
untuk menuntut di depan hakim Perdata pernyataan gugurnya sifat badan hukum perkumpulan
itu. Pengesahan barang-barang perkumpulan yang badan hukumnya dinyatakan gugur dilakukan
di bawah pengawasan hakim, yang menyatakan gugurya ditentukan tentang harta pertinggalan
yang dikuasai.
Pasal 7.
oleh balai harta peninggalan, yang demi hukum bertugas mengenai pengurusannya, dan utang-
utangnya dibayar, maka sisanya, bila ada, diberikan kepada mereka, yang pada saat pernyataan
gugur menjadi anggota perkumpulan atau kepada yang berhak, masing-masing untuk bagian
yang mereka bayarkan kepada perkumpulan
Pasal 7 bis
(s.d.t. dg. S. 1913-432; s.d.u. dg. S. 1919-27.) Ketentuan dalam alinea ketiga pasal 6 dan 7 juga
berlaku, bila perkumpulan kehilangan sifatnya sebagai badan hukum sesuai dengan ketentuan 6
dilakukan oleh hakim, yang berwenang memeriksa tuntutan kejaksaan berdasarkan alinea
pertama pasal itu.
Pasal 8.
Perkumpulan-perkumpulan, yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum
atau tidak diakui menurut peraturan ini dengan demikian tidak dapat melakukan tindakan-
tindakan perdata. yang didapat atas namanya, terhadap negara dan terhadap pihak ketiga
dipandang mengikuti orang-orang yang menutup perjanjian dan menerima barang-barang
sekalipun juga bahwa perjanjian-perjanjian itu dan dasar hukum orang-orang yang bertindak
hanya sebagai. kuasa atau pengurus perkumpulan.
Pasal 9.
Hubungan para anggota perkumpulan satu sama lain, yang tidak dapat ditentukan oleh mereka
dan ketentuan-ketentuan umum hukum perdata. Ketentuan-ketentuan pasal 1663-1664 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tetap berlaku bagi perkumpulan ini, sekalipun tidak dipandang
sebagai badan hukum.
Pasal 10.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang lalu tidak berlaku bagi perseroan-
perseroan perdata atau firma-firma, maskapai saling menanggung atau saling menjamin dan
perusahaan kapal. Ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang tetap berlaku terhadap hal-hal ini. (s.d.t. dg. S. 1927-157.)
Ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang lalu juga tidak berlaku terhadap gereja-gereja atau
perkumpulan- perkumpulan gereja dan bagian-bagiannya yang berdiri sendiri.
Pasal 11.
PRES I DEN
REPUELIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
BAB I
PRtrS IDEI\
I( I I\ DON ESIA
RtrF'I,J L:ILI
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
8. Pemberdayaan
PITIS IDEI\
l( I N Dot\l ESI/\
nl::IrLi Elt-l
-3-
Pasal 2
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia
atau lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.
Pasal 3
(1) Ormas dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
(21 Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat berbentuk perkumpulan atau
yayasan.
Pasal 4
PRES I DEN
REPUISt-II( INDOI\ESIA
-4-
Pasal 4
(1) Ormas tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dapat memiliki struktur
kepengurusan berj enjang atau tidak berj enj ang.
(21 Struktur kepengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam AD/ART Ormas.
BAB II
PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan pengesahan badan hukum dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia.
(21 Pengesahan badan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundan g-undangan.
(3) Dalam hal Ormas telah mendapat pengesahan badan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memerlukan SKT.
Pasal 6
Ormas tidak berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan SKT.
Pasal 7
SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh
Menteri.
Pasal8...
PRES IDEI{
REItrU ELII(. IN DOI.JESIA
-5-
Pasal 8
(1) Pendaftaran Ormas yang memiliki struktur
kepengurusan berjenjang sebagaimana dimaksud
daiam Pasal 4 ayat(1) dilakukan oleh pengurus Ormas
di tingkat pusat.
(21 Pengurus Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaporkan keberadaan kepengurusannya di daerah
kepada Pemerintah Daerah setempat dengan
melampirkan SKT dan kepengurusan di daerah'
Pasal 9
ormas yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum
sebagaimana d.imaksud dalam Pasal 5 ayat (1), pengurus
Ormls melaporkan keberadaan kepengurusannya di daerah
kepada pemLrintah Daerah setempat dengan melampirkan
suiat keputusan pengesahan status badan hukum dan
susunan kepengurusan di daerah.
Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 10
(1) Ormas mengajukan permohonan pendaftaran secara
tertulis kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat disampaikan melalui gubernur
bupati/walikota pada unit layanan administrasi
"t",
di provinsi atau kabuPaten/kota'
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan dan ditandatangani oleh pendiri
dan pengurus Ormas.
(4) Dalam hal pendiri meninggal dunia atau berhalangan
tetap, perrnohonan pendaftaran Ormas dapat diajukan
dan ditandatangani oleh pengurus Ormas.
Pasal 1L
PRES IDEN
REFTUE]LII( INDONESI,A
-6-
Pasal 11
Pasal 12
AD dan ART sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan Pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi.
Pasal 13
(1) Susunan pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. ketua atau sebutan lain;
b. sekretaris atau sebutan lain; dan
c. bendahara atau sebutan lain.
(2) Seluruh...
irRr_s illEI..l
F..]EF]U ELI I( i NI DO I\I ESIA
-7 -
Pasal 14
(1) Petugas unit layanan administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memeriksa
kelengkapan permohonan pendaftaran.
(2) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi
kelengkapan, berkas permohonan dikembalikan
kepada pemohon.
Pasal 15
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) yang telah memenuhi
kelengkapan dicatat oleh petugas unit layanan
administrasi dalam daftar registrasi permohonan.
{21 Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
sejak permohonan pendaftaran dicatat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan atau
menolak penerbitan SKT.
(3) Dalam penerbitan atau penolakan SKT, Menteri dapat
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait
sesuai dengan bidang Ormas.
(41 Keputusan penerbitan SKT atau surat penolakan
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Menteri melalui
petugas unit layanan administrasi kepada pemohon.
Bagian Ketiga
Perubahan SKT
Pasal 16
Pengurus Ormas harrrs mengajukan perubahan SKT apabila
terjadi perubahan nama, bidang kegiatan, nomor pokok
wajib pajak, dan/atau alamat Ormas.
Pasal 17
PRES IDEI\
REPLIBLIl( INDOT{ESIA
-8-
Pasal 17
(1) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 diajukan secara tertulis kepada
Menteri melalui unit layanan administrasi.
(2) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada gubernur
dan/ atau bupati/walikota.
(3) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh pengurus Ormas dan
dilengkapi bukti pendukung permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Pasal 18
(1) Petugas unit layanan administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) memeriksa
kelengkapan permohonan perubahan SKT.
(2) Dalam hal permohonan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi
kelengkap&fl,' berkas permohonan perubahan SKT
dikembalikan kepada pemohon.
Pasal 19
(1) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dicatat
dalam daftar registrasi permohonan perubahan SKT.
(21 Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak permohonan perubahan SKT dicatat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
menerbitkan atau menolak perubahan SKT.
(3) Dalam penerbitan atau penolakan perubahan
SKT, Menteri dapat berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait sesuai dengan bidang
Ormas.
(41 Keputusan penerbitan atau penolakan perubahan
SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan oleh Menteri melalui petugas unit
layanan administrasi kepada pemohon.
Pasal 20
If I{E:S IDEN
I?trPUBLIl( INDOT!ESIA
-9-
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan atau
perubahan SKT, format, penomoran, dan pejabat
penandatangan SKT, serta ketentuan pelaporan kegiatan
Ormas diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB III
PEMBERDAYAAN
Pasal 21
Pemberdayaan Ormas dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan, daya tahan, dan kemandirian Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 22
(1) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dilakukan oleh Ormas yang bersangkutan.
(2) Dalam melakukan pemberdayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Ormas dapat bekerja sama
dengan:
a. Ormas lainnya;
b. masyarakat; dan/atau
c. swasta.
Pasal 23
(1) Pemberdayaan Orrnas yang dilakukan dengan cara
bekerja sama dengan Ormas lainnya, masyarakat,
atau swasta sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
ayat (21 dapat berupa pemberian penghargaan,
program, bantuan, dan dukungan operasional
organisasi.
(2) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan prinsip
kemitraan, kesetaraan, kebersamaan, dan saling
menguntungkan.
Pasal24...
PRES IDEN
REIfUBLII( INDONESIA
- 10-
Pasal24
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan
Pemberdayaan Ormas melalui fasilitasi kebijakan,
penguatan kapasitas kelembagaan, dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
(2) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibiayai dari APBN dan/atau APBD.
Pasal 25
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dilakukan kepada:
a. Ormas yang berbadan hukum; dan
b. Ormas yang terdaftar.
Pasal 26
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 harus:
a. selaras dengan program perencanaan pembangunan
nasional dan/ atau program perencanaan pembangunan
daerah;
b. menghormati dan mempertimbangkan aspek sejarah,
rekam jejak, peran, dan integritas Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 27
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
PRES I DEN
REPUE,LII( INDONESIA
- 11-
BAB IV
SISTEM INFORMASI ORMAS
Pasal 28
(1) Pemerintah membentuk Sistem Informasi Ormas
untuk meningkatkan pelayanan publik dan tertib
administrasi.
(2) Pengelolaan Sistem Informasi Ormas memuat data dan
informasi tentang keberadaan, kegiatan, dan informasi
lain yang dibutuhkan.
(3) Sistem Informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada
ayat (21 diintegrasikan dan dikoordinasikan oleh
Menteri.
Pasal 29
(1) Data dan informasi Ormas dikelola oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri, kementerian terkait sesuai
dengan bidang Ormas, atau instansi terkait sesuai
dengan lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.
(21 Kementerian atau instansi terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memberikan data atau
informasi yang diperlukan oleh Menteri secara berkala
6 (enam) bulan sekali.
Pasal 30
(1) Pengolahan data dan informasi Ormas dilakukan
dengan menggunakan sistem komputerisasi yang
memiliki kemampuan terhubung secara online sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(21 Dalam hal pengelolaan Sistem Informasi Ormas
belum memiliki infrastruktur dengan sistem
komputerisasi, pengolahan data dan informasi
Orrnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara manual.
Pasal 31 .
PRES IDEN
F{EI]UE}LII( INDONESIA
-t2_
Pasal 31
(1) Pengamanan informasi Ormas dilakukan untuk
menjamin agar informasi Ormas:
a. tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b. terjaga kerahasiaannya.
(21 Pengamanan informasi Ormas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan standar
pengamanan.
(3) Kerahasiaan informasi Ormas dan standar
pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
Sistem Informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau
instansi terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan
oleh Menteri.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sistem
Informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (21diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
PERIZINAN, TIM PERIZINAN, DAN PENGESAHAN
ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING
Pasal 34
(1) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan
PIIES IDEN
REPIJEILII( INDOI{ESIA
-13-
Pasal 35
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
huruf a wajib memiliki izin prinsip dan izin
operasional.
(2) lzin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri dan izin
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 36
Badan hukum yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) huruf b dan huruf c disahkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia setelah mendapatkan
pertimbangan tim perizinan.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, tim perizinan,
dan pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan
Pasal 36 diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
BAB VI
PRES I DEN
REPUBLIK INDONESIA
-14-
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 38
(1) Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta
menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas
atau ormas yang didirikan oleh warga negara asing
dilakukan Pengawasan.
(2t Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara internal dan eksternal.
Pasal 39
(1) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) dilakukan oleh pengawas internal.
(2) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi menegakkan kode etik organisasi dan
memutuskan pemberian sanksi dalam internal
organisasi sesuai dengan AD/ART Ormas.
Pasal 40
Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah,
dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 4 1
(1) Bentuk Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 berupa pengaduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri, menteri/pimpinan
lembaga terkait, gubernur, dan/ atau bupati/ walikota.
(3) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disampaikan secara tertulis dan/atau
tidak tertulis.
Pasal42...
PRES I DEN
REPUE}LII( INDONESIA
-15-
Pasal 42
(1) Pengaduan masyarakat secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4l ayat (3) difasilitasi oleh unit
pelayanan pengaduan masyarakat pada
kementerian/lembaga danlatau Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengaduan masyarakat secara tidak tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4I
ayat (3) dapat
disampaikan melalui aparatur Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 43
(1) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (21 paling sedikit memuat informasi
mengenai subjek, objek, dan materi pengaduan.
(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus objektif dan dapat
dipertan ggun gj awabkan.
Pasal 44
(1) Kementerian/lembaga sesuai dengan lingkup tugas
dan fungsinya menindaklanjuti pengaduan
masyarakat secara terkoordinasi dengan
kementerian / lembaga terkait.
(2) Gubernur dan bupati/walikota menindaklanjuti
pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) secara terkoordinasi.
Pasal 45
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dilakukan sesuai dengan jenjang
pemerintahan.
(2) Pengawasan
PRES Ii]EI..I
RE:FUBLll( llrlDol\ESIA
16-
Pasal 46
Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal45
dilakukan secara terencana dan sistematis, baik sebelum
maupun sesudah terjadi pengaduan masyarakat.
Pasal 47
(1) Pelaksanaan Pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 dilaksanakan melalui
monitoring dan evaluasi oleh tim terpadu.
(2) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri, menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
luar negeri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
BAB VII
MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA ORMAS
Pasal 48
(1) Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas,
penyelesaiannya dilakukan sesuai mekanisme yang
diatur dalam AD atau AD dan ART Ormas yang
bersangkutan.
(2) Dalam...
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t7-
Pasal 49
(1) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang berbadan hukum
disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia.
(2) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang tidak berbadan
hukum, disampaikan kepada Menteri melalui
gubernur dan/ atau bupati/walikota.
Pasal 50
(1) Menteri dapat mendelegasikan kepada gubernur
atau bupati/walikota untuk memfasilitasi Mediasi
penyelesaian sengketa Ormas.
(21 Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan domisili terdaftarnya Ormas.
Pasal 51
(1) Permintaan para pihak kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) disampaikan secara
tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa.
(21 Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melampirkan resume permasalahan yang
dipersengketakan.
Pasal 52
(1) Pemerintah sebagai mediator mempersiapkan jadwal
pertemuan Mediasi dalam jangka waktu 5 (lima) hari
sejak diterimanya surat permohonan.
(2) Jadwal
PRES I DEN
RtrPUELII( INDOI!ESIA
-18-
Pasal 53
(1) Pemerintah wajib mendorong para pihak untuk
menyelesaikan sengketa dengan itikad baik secara
musyawarah dan mufakat.
(21 Mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (21 dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 54
(1) Jika Mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian,
para pihak dibantu oleh Pemerintah merumuskan
kesepakatan perdamaian.
(2t Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara
kesepakatan serta ditandatangani oleh para pihak dan
Pemerintah.
Pasal 55
Kesepakatan perdamaian yang telah ditandatangani para
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
bersifat mengikat para pihak.
Pasal 56
(1) Jika Mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasa1 53 ayat 12) tidak tercapai
kesepakatan, para pihak dapat menempuh
penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri terkait
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Pasal57...
PRES I DEN
REPUBLII( INDONESI/\
-19-
Pasal 57
Dalam hal sengketa yang terjadi di internal Ormas yang
berpotensi perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan baik perorangan maupun kelompok yang dapat
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan pencegahan agar tidak terjadi konflik tanpa
permintaan yang bersengketa.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 58
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan
sanksi administratif kepada Ormas yang melanggar
kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2l dan Pasal 59 Undang-Undang.
(2) Sebelum menjatuhkan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah terlebih dahulu
melakukan upaya persuasif
(3) Upaya persuasif sebagaimana dimaksud pada ayat (21
berupa:
a. pemanggilan pengurus Ormas untuk dimintai
klarifikasi;
b. menyampaikan kepada Ormas bahwa
pelanggaran yang dilakukan merupakan tindakan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
c. meminta kepada Ormas untuk tidak mengulangi
pelanggaran;
d. meminta pengurus Ormas untuk menjaga
ketertiban umum serta persatuan dan kesatuan
bangsa;
e. meminta kepada Ormas untuk mematuhi
peraturan perundan g-undangan.
Pasal 59
Pl{[:S lDEl{
t:{EtrLJ t-it-t t( I N Dot\ EStA
-20-
Pasal 59
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) terdiri atas:
a. peringatantertulis;
b. penghentian bantuan dan/atau hibah;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pencabutan SKT atau pencabutan status badan hukum.
Pasal 60
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 huruf a diberikan secara berjenjang sesuai
dengan tempat kejadian pelanggaran.
(21 Pelanggaran yang terjadi di wilayah kabupaten/kota,
peringatan tertulis diberikan oleh bupati/walikota.
(3) Pelanggaran yang terjadi di lebih dari satu
kabupaten/kota dalam wilayah provinsi, peringatan
tertulis diberikan oleh gubernur.
(4) Pelanggaran yang terjadi di lebih dari satu provinsi,
peringatan tertulis diberikan oleh:
a. Menteri untuk Ormas yang tidak berbadan hukum;
atau
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia untuk Ormas yang berbadan hukum.
Pasal 61
(1) Setiap peringatan tertulis yang diberikan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4)
diberitahukan kepada gubernur yang menjadi tempat
terjadinya pelanggaran dan/atau kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi rnanusia bagi Ormas yang
berbadan hukum.
(2) Setiap
PRES I DEN
REPUEILIl( INDONESIA
-21 -
Pasal62
(1) Dalam hal Ormas telah mematuhi peringatan tertulis
sebelum berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat mencabut
peringatan tertulis dimaksud.
(2) Pencabutan peringatan tertulis yang diberikan oleh
Menteri atau menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (41
diberitahukan kepada gubernur atau bupati/walikota.
(3) Pencabutan peringatan tertulis yang diberikan oleh
gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal60 ayat (2) atau ayat (3) dilaporkan kepada
Menteri dan/atau kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia bagi Ormas yang
berbadan hukum.
Pasal 63
(1) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis
ketiga, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
menjatuhkan sanksi berupa:
a. penghentian bantuan danf atau hibah; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan.
12) Penghentian bantuan dan/atau hibah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan di setiap
jenjang pemerintahan yang diperoleh Ormas.
Pasal 64
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-22-
Pasal 64
Penghentian bantuan dan/atau hibah oleh gubernur
dan/atau bupati/walikota dilaporkan kepada Menteri
dan/atau kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia bagi
Ormas yang berbadan hukum.
Pasal 65
Dalam hal Ormas tidak memperoleh bantuan dan/atau
hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
huruf a Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c.
Pasal 66
(1) Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
Ormas oleh Pemerintah wajib meminta pertimbangan
hukum dari Mahkamah Agung.
(21 Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari Mahkamah Agung tidak memberikan
pertimbangan hukum, Pemerintah berwenang
memberikan sanksi penghentian sementara kegiatan.
(3) Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
Ormas oleh gubernur terlebih dahulu dimintakan
pertimbangan pimpinan DPRD provinsi, kepala
kejaksaan tinggi, dan kepala kepolisian daerah.
(41 Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
Ormas oleh bupati/walikota terlebih dahulu
dimintakan pertimbangan pimpinan DPRD
kabupatenf kota, kepala kejaksaan negeri, dan kepala
kepolisian wilayah.
(s) Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari pimpinan DPRD, kepala kejaksaan, dan
kepala kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (41 tidak memberikan pertimbangan,
gubernur dan bupati/walikota berwenang mernberikan
sanksi penghentian sementara kegiatan.
Pasal 67
PRES I DEN
REPUBLIK INDONESIA
-23-
Pasal 67
(1) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak
mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota dapat menjatuhkan
sanksi pencabutan SKT.
(2) Pencabutan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terlebih dahulu dimintakan pertimbangan hukum
kepada Mahkamah Agung.
Pasal 68
(1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi
sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dapat menjatuhkan
sanksi pencabutan status badan hukum.
(21 Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan
hukum.
Pasal 69
Pencabutan status badan hukum Ormas, pembubaran
Ormas berbadan hukum, dan proses hukum pembubaran
Ormas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 70
Dalam hal ormas berbadan hukum yayasan asing atau
sebutan lainnya melanggar kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan Pasal 52
Undang-Undang, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi:
a. peringatan tertulis;
b. penghentiankegiatan;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional;
e. pembekuan . .
{,ffi
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-24-
Pasal 71
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap ormas
berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal72
(1) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan Ormas,
pengurus Ormas memberitahukan perubahan
kepengurusan dimaksud kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.
(21 Pemberitahuan perubahan kepengurusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
terjadinya perubahan kepengurusan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
Sistem Informasi Ormas yang terhubung secara online
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus sudah
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Pasal 74
Peraturan Pemerintah mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar
{ru
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-25-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
Bt-
{iw
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 58 TAHUN 2016
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
I. UMUM
Undang-Undang Nomor t7 Tahun 2Ol3 tentang Organisasi
Kemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut Pasal 19 mengenai
tata cara pendaftaran dan pendataan Ormas, Pasal 40 ayat (7) mengenai
pemberdayaan Ormas, Pasal 42 ayat (3) mengenai Sistem Informasi Ormas,
Pasal 50 mengenai perizinart, tim perizinan, dan pengesahan Ormas yang
didirikan oleh warga negara asing, Pasal 56 mengenai pengawasan oleh
masyarakat dan Pemerintah serta Pemerintah Daerah terhadap Ormas,
Pasal 57 ayat (3) mengenai tata cara Mediasi, dan Pasal 82 mengenai
penjatuhan sanksi bagi Ormas, ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lainnya, dan Ormas badan hukum yayasan yang didirikan warga
negara asing atau warga negara asing bersama dengan warga negara
Indonesia.
Pendaftaran Ormas dalam Peraturan Pemerintah ini hanya mengatur
Ormas yang tidak berbadan hukum dimaksudkan untuk pencatatan dalam
administrasi pemerintahan dengan diberikan SKT oleh Pemerintah yang
diselenggarakan oleh Menteri. Sedangkan materi muatan mengenai
pendataan Ormas dalam Peraturan Pemerintah ini tidak diatur, karena
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82lPUU-XI l2Ol3
dinyatakan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2Ol3 tentang
Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemberdayaan Ormas dimaksudkan untuk memberikan kemampuan
dan daya tahan serta peningkatan kemandirian Ormas. Pemberdayaan tidak
hanya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tetapi dilakukan
juga oleh Ormas, masyarakat, dan swasta.
Dalam
PRES IDEN
REPUELIK INDONESIA
-2-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
PI{ES lDEt\
FtE[:]t,l BLI ti I l'..l f)ot\l tasl/-\
-3-
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "kepengurusannya di daerah"
kepengurusan di daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 1 1
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14. . .
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-4-
Pasal 14
. Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "unit layanan administrasi" adalah unit
layanan yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 2 1
Cukup jelas.
Pasal22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "prinsip kemitraan" adalah hubungan kerja
sama saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling
menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan
untuk mencapai tujuan bersama.
Yang
PRES I DEN
IlEPIJBLI}(. II!DONESIA
-5-
Pasal24
Ayat (1)
Pemberdayaan Ormas melalui fasilitasi kebijakan dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman dan meningkatkan peran serta
Ormas dalam perumusan dan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
PRES IDEN
REPUELIK INDONESIA
-6-
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "aspek sejarah" adalah peran serta Ormas di
masa lalu dalam penentuan keadaan sekarang serta arah di masa
depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan "rekam jejak" adalah semua hal yang telah
dilakukan oleh organisasi di masa lalu yang menunjukkan sikap
perilaku dan perbuatan organisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Yang dimaksud dengan "peran" adalah keikutsertaan Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat atau bernegara.
Yang dimaksud dengan "integritas" adalah potensi dan kemampuan
Ormas yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
Pasal 27
Cukup je1as.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Kementerian terkait" adalah kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang terkait dengan
bidang kegiatan Ormas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
PRESIOEN
REPU BLIK INDONESIA
-7-
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 4O
Cukup jelas.
Pasal 4 I
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "difasilitasi" meliputi penatausahaan,
penerimaan, dan pemantauan tindak lanjut pengaduan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
PRES I DEN
IIEIfLJBLII( INDONESIA
-8
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "monitoring dan evaluasi" adalah deteksi
dini, peringatan dini, dan pencegahan dini.
Ayat (21
Yang dimaksud dengan "tim terpadu tingkat pusat" adarah tim yang
terdiri atas unsur kementerian/lembaga terkait.
Yang dimaksud dengan "tim terpadu tingkat daerah" adalah tim
yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, kepolisian, kejaksaan,
dan badan intelijen negara di daerah serta unsur terkait lainnya
sesuai kebutuhan.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "sengketa internal Ormas" adalah sengketa
kepengurusan Ormas.
Ayat (21
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "resume permasalahan" adalah kronologi
terjadinya sengketa di internal Ormas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
PRES IDEI{
REPUBLII( INDONESIA
-9 -
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "undang-Undang" adalah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2073 tentang organisasi Kemasyarakatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "setiap peringatan tertulis" adalah
peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
PRES IDEI\
REFJU EILII( INDONESI,T\
-10-
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Yang dimaksud dengan "Undang-Undang" adalah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2ol3 tentang organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memberitahukan perubahan
kepengurusan" adalah ormas memberitahukan perubahan
kepengurusan kepada pejabat penandatangan SKT sesuai dengan
tempat terdaftar Ormas dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup je1as.
Pasal 74
Cukup jelas.
PRES IDEN
REPUBLII( INDONESIA
TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING
2. Undang-Undang
{,D
PRESIDEN
REPUBLII( INDONESIA
-2
MEMUTUSI(AN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
-3-
Pasal 2
(1) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga
negara asing atau warga negara asing bersama warga
negara Indonesia; atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh' badan
hukum asing.
Pasal 3
ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hurufl terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang
mengelola dana secara mandiri; dan
b. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang
melaksanakan program kegiatan dari lembaga donor."irrg.
BAB II
PERIZINAN ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH
WARGA NEGARA ASING
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) ormas badan hukumyayasan asing atau sebutan lain wajib
memiliki izin Pemerintah pusat.
(2)Izin. . .
#%\,
%^-ry"''#
-ffi4p544ff
PRES IDEI\
REPUBLIK II!DONESIA
-4-
Bagian Kedua
Tirn Perizinan
Pasal 5
(1) Tim Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) beranggotakan unsur yang terdiri atas:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan;
c. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesekretariatan negara;
f. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
g. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
bidang teknis terkait.
(21 Tim Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Menteri.
(3) Anggota Tirn Perizinan sebagairnana dirnaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 6. .
ffi *W--69_!:i'
-5-
Pasal 6
(1) Tim Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
mempunyai tugas:
a. membantu Menteri dalam pelaksan aan perizinan ormas
badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. memberikan pertimbangan kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia atas permohonan
pengesahan yayasan yang didirikan oleh warga negara
asing; dan
c. melaksanakan tugas lain yang diperintahkan
oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata kerja Tim
Perizinan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Izin Prinsip
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh izin prinsip, ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain harus memenuhi
persyaratan paling sedikit:
a. ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
dari negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan Indonesia; dan
b. memiliki asas, tujuan, dan kegiatan organisasi yang
bersifat nirlaba.
(21 Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang.
(3) Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin
prinsip berakhir.
Pasal 8
ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain harus
mempunyai tempat kedudukan manajemen efektif dan
berkantor pusat di negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan Indonesia
Pasal9...
*,itn,
6E,{i{io
#l--'rffi-$h
,,i{,,h,:J,
Itrt{ES lDEl''l
I?EPU BLI ti I l{ DC)l\l ESI/-\,
-6-
Pasal 9
Izin prinsip bagi ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a diperoleh melalui tahapan:
a. pengajuan permohonan;
b. verifikasi dokumen;
c. pertimbangan dari Tim Perizinan; dan
d. penerbitan.
Pasal 10
(1) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal t huruf a dilakukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia oleh ketua atau pengurus ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain kepada Menteri.
(21 Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
dilengkapi dengan dokumen persyaratan paling sedikit:
a. surat permohonan untuk melakukan kegiatan di
Indonesia;
b. surat keterangan mengenai rencana pembukaan
kantor perwakilan di Indonesia;
c. surat pernyataan mengenai asas, tujuan, dan kegiatan
organisasi yang bersifat nirlaba;
d. surat penunjukan kepala perwakilan di Indonesia dari
' kantor pusat organisasi;
e. surat rekomendasi dari perwakilan negara tempat
kedudukan kantor pusat organisasi;
f. salinan akta pendirian organisasi yang dilegalisasi oleh
otoritas yang berwenang di negara asal organisasi
didirikan;
o
b' anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
h. profil yang berisi informasi mengenai visi, misi,
struktur organisasi, dan staf;
i. sumber dan jumlah dana yang tersedia;
j. perencanaan pengelolaan keuangan;
k. surat
i!..
t '.t.t,
i,''i:H';',
( ':j. _._ ,.,r ,, ;irrir
::i::. "r.,,r'.1,r:-:. liiill
ri, r :ll,ft",ii
." :.i
jilii
.i( r ..
trREStDEi,l
i.iiii::1,.I l1lL-! lr. ! I'InC, I I i::S|,^.
-7 -
Pasal 11
ri-.ii. . :i .
IJI{ES IDEI,I
REPUEL.II( II.IDOI.IIISIA
-8-
Pasal 11
Pasal 12
(1) Dalam hal verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 telah terpenuhi, pemohon menyampaikan
paparan visi, misi, dan rencana kegiatan di Indonesia di
hadapan Tim Perizinan.
(2) Paparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk mengetahui motivasi, kapasitas, rencana kegiatan,
pendanaan, kesiapan pemohon, dan menyesuaikan dengan
program Pemerintah Pusat.
Pasal 13
(1) Dalam hal paparan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) telah disampaikan, Tim Perizinan
memberikan pertimbangan kepada Menteri.
(2) Dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Tim Perizinan menyelenggarakan pertemuan
paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Pertimbangan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa pertimbangan untuk menerima atau
menolak izin prinsip.
Pasal 14
(1) Berdasarkan pertimbangan Tim Perizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Menteri menyampaikan
keputusan mengenai pemberian atau penolakan izin
prinsip.
(2) Dalam
.I:rt i-:' .? t.,
.r:rl{k-{(\r':.:J!,r!
/L-di{'' n '{i'r,i),
iS,n
-(iirisF+--_\llt
,,1:,.,.1_
rrili i+.[
4":r .{,Er&.i j}lli
I!-4,.
r.ti[; '' \ -+l:,!\?
rr
tril:-e_n-r -,i!jt'.'
- hIiie"'/_-.i,':4:21' '
'r J' -r
rJRES IDEI..I
REFU t3t_tl(. It.tDot..lEStA
-9-
pasal 15
(1) Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dilakukan melalui pengajuan permohonan
secara tertulis dengan Bahasa Indonesia kepada Menteri
dengan melampirkan persyaratan paling sedikit:
a. laporan kegiatan dan laporan keuangan akhir; dan
b. rekomendasi dari kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra kerja sama.
(21 Dalam hal permohonan perpanjangan izin prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, maka:
a. Tim Perizinan merekomendasikan pemohon untuk
bermitra dengan 1 (satu) kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian terkait;
b. Menteri memberitahukan kepada pemohon dan
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
terkait perihal perpanjangan.
(3) Dalam hal permohonan perpanjangan izin prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, pemohon
tidak dapat melakukan kegiatannya di wilayah Indonesia.
Bagian Keempat
Izin Operasional
Pasal 16
(1) Izin operasional bagi ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain hanya dapat diberikan seterah ormas
mendapatkan izin prinsip.
(2) Untuk
ffi
'lii.;fu,-,1i.,i.i.r'
tf,RES tDEt,t
IIEIfULILII( II.IDOIIESIA
-10-
Pasal 17
(1) Pengqjuan permohonan izin operasional diajukan secara
tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh ketua atau pengurus
ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
kepada menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilengkapi dengan dokumen persyaratan paling
sedikit:
a. perjanjian tertulis dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang
kegiatannya;
b. nomor rekening bank nasional yang digunakan untuk
kegiatan ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain; dan
c. nomor pokok wajib pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
ttii.[--'':Y+,i
".+,
{$ "*ui,* 'it}
,,,tiri,o,l,
)ui!|?
.,.tr;';tr-:(,.,,ir"-
PRL.S IDEI..I
lQEtrLl BLIN ll.{DOt\t ESIA
_ 11_
Pasal 18
(1) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud daram
Pasal 16 ayat (2) huruf a harus memuat paling sedikit:
a. tujuan kerja sama;
b. ruang iingkup kerja sama;
c. wilayah kerja sama;
d. lembaga pelaksana;
e. arahan program;
f. rencana kegiatan;
o
b' kewajiban para pihak;
h. batasan aktivitas ormas badan hukum yayasan asing
atau sebutan lain dan stafnya;
i. status perlengkapan dan material pendukung;
j. kedudukan para pihak;
k . penyelesaian sengketa; dan
l. masa berlaku.
(21 Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dibahas dalam rapat antarkementerian yang
dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain dan dihadiri oleh
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
Pasal 19
(1) Pengajuan permohonan izin operasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal lZ wajib dibahas dalam
rapat antarkementerian yang dikoordinasikan oleh
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang
menjadi mitra ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain dan dihadiri oleh kementerian/rembaga
pemerintah nonkementerian terkait.
(2) ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan rain yang
akan melakukan kegiatan di daerah wajib memberitahukan
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri.
Pasal 20
*riu$' ';i:li:i..
i'ifl A "''*hr
if,ffi).}}
,]l+.1. ,1.,r,i,+
',, i{?ri'}_. I;.-,
-'
:.-=.
PRES IDEI.I
RElrUBl-.1 l( ll\lDt)l'lESlA
-t2_
Pasal 20
Berdasarkan hasil pembahasan dalam rapat antarkementerian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat ( 1),
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang
menjadi mitra dan Pemerintah Daerah terkait menyampaikan
keputusan mengenai pemberian atau penolaka n izin operasional
kepada ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain.
Pasal 2 1
Dalam hal permohonan izin operasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ditolak, menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada pemohon disertai alasan
penolakan.
Pasal 22
Perpanjangan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) harus disampaikan oleh pengurus ormas badan
hukum yayasan asing atau sebutan lain kepada
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang
menjadi mitra dengan melampirkan persyaratan paling sedikit:
a. perjanjian tertulis baru dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang
kegiatannya;
b. laporan kegiatan dan laporan keuangan akhir; dan
c. nomor rekening bank nasional yang digunakan untuk
kegiatan.
Pasal 23
Ketentuan mengenai materi muatan dan pembahasan perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku mutatis
mutandis terhadap perjanjian tertulis baru sebagaimana
dirnaksud dalam Pasal 22 h:urt;f a.
Pasal24
PIlESIDEI\
REFU BLI f(. I l{ DOt\l ESl,r\
-13-
Pasal24
Dalam hal perpanjangan izin operasional disetujui, ormas yang
meneruskan kegiatannya di daerah wajib melaporkan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri.
Bagian Kelima
Personel Ormas yang Didirikan
oleh Warga Negara Asing
Pasal 25
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain yang
telah mendapatkan izin prinsip dan izin operasional dapat
menjalankan kegiatannya di wilayah Indonesia.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menjalankan kegiatannya di wilayah Indonesia wajib
mempekerj akan staf berkewargane garaan Indone sia.
(3) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat
mengajukan permohonan penugasan staf
berkewarganegaraan asing paling banyak 3 (tiga) orang.
(4) Permohonan penugasan staf berkewarganegaraan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diqiukan kepada Tim
Perizinan melalui kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra.
(5) Setiap staf berkewarganegaraan asing yang telah disetujui
oleh Tim Perizinan untuk bekerja pada ormas yang
didirikan oleh warga negara asing wajib tunduk dan patuh
pada perjanjian tertulis dengan kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang menjadi mitra dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Permohonan penugasan staf berkewarganegaraan asing
tersebut tidak melebihi masa berlaku izin operasional.
(7) Dalam hal izin operasional tersebut diperpanjang, masa
penugasan staf berkewarganegaraan asing tidak melebihi
5 (lima) tahun dan penugasannya tidak dapat diperpanjang
kembali.
(8) Dalam...
. :.,,
.il,!ii':r '."i '
..
r,','.s.ilir.
.:l'.ir.ij "
:.
-14-
BAB III
PERTIMBANGAN PENGESAHAN BADAN HUKUM YAYASAN
YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING
Pasal 26
(1) ormas badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c hanya dapat disahkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia setelah
mendapatkan pertimbangan Tirn p erizinan.
(2) Untuk memperoleh pertimbangan Tim perizinan, ormas
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (2) huruf b dan huruf c mengajukan permohonan
kepada Menteri selaku koordinator Tim perizinan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
dengan melampirkan persyaratan paling sedikit:
a. surat permohonan pertimbangan pengesahan;
b. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan yayasan yang
didirikan tidak merugikan masyarakat, -bangsa,-dan
negara Indonesia;
c. identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang
sah; dan
d. struktur kepengurusan yayasan.
Pasal 27
,.',"ih{ilo,i.t$"
Nrti l'i\ '\th
tti=tffi'Jifi
'tfun* "|tdP'
FrHt:Slt"lEl..l
Ftfi::PL.l BLI l( I l'n D()1,! ESl,r\
-15-
Pasal 27
(1) Tim Perizinan menyampaikan keputusan mengenai hasil
pertimbangan kepada ormas badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Dalam hal hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditolak, Menteri memberitahukan secara tertulis
kepada pemohon.
BAB IV
SANKSI
Pasal 28
Dalam hal ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 dan Pasal 52 Undang-Undang tentang Organisasi
Kemasyarakatan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentiankegiatan;
c. pembekuan izin operasional;
d. pencabutan izin operasional;
e. pembekuan izin prinsip;
f. pencabutan izin prinsip; dan/atau
g. sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Sebelum menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Pemerintah pusat dan/atau
Pemerintah Daerah terlebih dahulu melakukan upaya
persuasif secara terkoordinasi.
(2) Upaya persuasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. pemanggilan pengurus ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain untuk dimintai klarifikasi;
b.menyampaikan...
i'("
#_ /ii
Ilii:+{f
^';+ii'u.
'{*lr
qL }ffi"",i#
-'i'iF+ll.*
't7*
:;t{!|
'''i-^" -"
PRr:S;lilEl.l
IQEPU li: I l{ D$l.l ESIA
L:-lLl
-16-
Pasal 30
(1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf e, dan
huruf f.
(2) Menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf c dan huruf d.
(3) Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, yakni
melalui pembatalan persetujuan rencana kerja tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b.
Pasal 3 1
Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3o dilaksanakan sebagai
berikut:
a. pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dapat melakukan secara
bertahap dan/atau tidak bertahap;
b. penjatuhan sanksi oleh pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal go ayat (g) ditakukan setelah
berkoordinasi dengan Menteri melalui Tirn perizi.nan;
c. pembatalan
Ar"]tiiiti,,,.,ili*ir"
ffi #
'**flr,gp-...4io
13I?ESIDEI\I
ft[:t-u BL-tr( I tn D{)l..t EStr\
-t7-
Pasal 32
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjatuhan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan
Pasal 31 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2) Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan
kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
Pasal 33
Penjatuhan sanksi administratif untuk ormas yang didirikan
oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan sesuai dengan
ketentuan penjatuhan sanksi administratif terhadap Ormas
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OlA tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar
FRES IDEN
REPIJBLII( INDONESIA
_18_
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
t Karyono
$, ,,$,
tfr,.ffi
'lil#;*--.,4w*j
#
F[i:[::sItiEl''!
tilEF,LI tf t..l ti. I Nt DO t.,t F:$tA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 TAHUN 2016
TENTANG
I. UMUM
PIlES IDEI\I
t?EPU Bt_il( tI.tDot.tEStA
-2-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 1 1
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal14...
W
ITEPU
PRES IDEI'I
HLil( il!DOt!ESt4\
3-
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perjanjian tertulis" adalah memorandum
saling pengertian yang ditandatangani oleh ormas badan hukum
yayasan asing atau sebutan lain dan pihak kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian yang menjadi mitra.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkait'' adalah kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan, keamanan, pemerintahan dalam negeri, luar
negeri, keuangan, danf atau kesekretariatan negara.
Pasal 19
,$i.li,, n'. .
ffi$h
n{f;*[*J@
[]RES IDEt\l
l( I I,l DON ESIA
t-lE[:,tJ BL-l
-4-
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkaif' adalah kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan, keamanan, pemerintahan dalam negeri, luar
negeri, keuangan, dan/atau kesekretariatan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal31...
If RES IDEI{
REPUBLIl,( II{DONESIA
-5-
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian" adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menjadi mitra ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG
PENGAWASAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI
LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN
PEMERINTAH DAERAH.
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
4. Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen untuk
menjamin agar kinerja Ormas berjalan sesuai dengan
tujuan dan fungsi Ormas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5. Tim Terpadu adalah tim yang dibentuk oleh pemerintah
dan pemerintah daerah dalam upaya pengawasan Ormas.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.
7. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri.
8. Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus
Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka
Dekonsentrasi.
-4-
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk:
a. menjamin aktivitas Ormas berjalan secara efektif dan
efisien sesuai dengan rencana dan program kerja serta
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. meningkatkan kinerja dan akuntabilitas Ormas; dan
c. menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas atau
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing.
BAB II
MEKANISME PENGAWASAN
Pasal 3
(1) Untuk melaksanakan tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan Pengawasan secara internal dan
eksternal.
(2) Pengawasan secara internal dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan secara eksternal dilakukan oleh masyarakat,
Menteri, gubernur dan bupati/wali kota.
Pasal 4
(1) Pengawasan dilakukan terhadap Ormas yang berbadan
hukum dan/atau tidak berbadan hukum.
(2) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di antaranya dapat berupa Ormas yang didirikan
oleh warga negara asing.
(3) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga
negara asing atau warga negara asing bersama warga
negara Indonesia; dan/atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.
-5-
Pasal 5
(1) Bentuk Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan melalui
pengaduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan kepada Menteri, menteri/pimpinan lembaga
terkait, gubernur, dan/atau bupati/wali kota.
(3) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat disampaikan secara tertulis dan/atau tidak
tertulis.
Pasal 6
(1) Pengaduan masyarakat secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) difasilitasi oleh unit
pelayanan pengaduan masyarakat pada
kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal unit layanan pengaduan di Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia,
pengaduan masyarakat dapat disampaikan melalui
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik.
(3) Pengaduan masyarakat secara tidak tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dapat disampaikan
melalui aparatur pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah setempat.
Pasal 7
(1) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) paling sedikit memuat informasi mengenai
subjek, objek, dan materi pengaduan.
(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 8
(1) Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum menindaklanjuti pengaduan
masyarakat.
-6-
Pasal 9
(1) Pengawasan eksternal yang dilaksanakan oleh Menteri,
gubernur dan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan sesuai dengan jenjang
pemerintahan.
(2) Pelaksanaan Pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh:
a. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum;
b. Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di
provinsi; dan/atau
c. Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di
kabupaten/kota.
Pasal 10
(1) Menteri mengoordinasikan Pengawasan eksternal
terhadap Ormas berbadan hukum Indonesia dan tidak
berbadan hukum.
(2) Gubernur mengoordinasikan Pengawasan eksternal di
daerah provinsi.
(3) Bupati/Wali Kota mengoordinasikan Pengawasan
eksternal di daerah kabupaten/kota.
Pasal 11
Pengawasan eksternal terhadap ormas berbadan hukum
yayasan asing atau sebutan lain, dikoordinasikan oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang luar negeri
-7-
Pasal 12
(1) Pengawasan eksternal oleh Menteri, gubernur dan
bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), dilakukan secara terencana dan sistematis baik
sebelum maupun setelah terjadi pengaduan masyarakat.
(2) Pelaksanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan melalui monitoring dan evaluasi.
Pasal 13
(1) Untuk meningkatkan pelaksanaan Pengawasan Ormas
dibentuk Tim Terpadu.
(2) Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas:
a. Tim Terpadu Nasional;
b. Tim Terpadu Provinsi; dan
c. Tim Terpadu Kabupaten/Kota.
(3) Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melibatkan instansi vertikal.
Pasal 14
(1) Tim Terpadu Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf a, memiliki susunan keanggotaan,
yang terdiri atas:
a. Pengarah : Menteri Dalam Negeri.
b. Ketua : Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri.
c. Sekretaris : Direktur Organisasi
Kemasyarakatan Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan
Umum Kementerian Dalam Negeri.
d. Anggota : 1. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon I yang
membidangi Ormas di
Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan.
2. Unsur Pejabat Struktural
-8-
Pasal 15
(1) Tim Terpadu Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf b, memiliki susunan keanggotaan, yang
terdiri atas:
a. Penanggung : Gubernur.
Jawab
b Ketua : Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik.
c. Sekretaris : Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik.
d. Anggota : 1. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Komando
Daerah Militer.
2. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Kepolisian
Daerah.
3. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Kejaksaan
Tinggi.
4. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon III yang
membidangi Ormas di Badan
Intelijen Daerah.
5. Pejabat Struktural setingkat
Eselon III yang membidangi
Ormas di provinsi dan/atau
instansi vertikal terkait lainnya
sesuai kebutuhan.
(2) Tim Terpadu Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
- 10 -
Pasal 16
(1) Tim Terpadu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c, memiliki susunan
keanggotaan, yang terdiri atas:
a. Penanggung : Bupati/Wali Kota.
Jawab
b. Ketua : Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan
lainnya.
c. Sekretaris : Kepala Bidang/Kepala Seksi
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik atau sebutan lainnya.
d. Anggota : 1. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon IV yang
membidangi Ormas di Komando
Distrik Militer.
2. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon IV yang
membidangi Ormas di
Kepolisian Resor.
3. Unsur Pejabat Struktural
setingkat Eselon IV yang
membidangi Ormas di
Kejaksaan Negeri.
4. Pejabat Struktural setingkat
eselon IV di kabupaten/kota
dan/atau instansi vertikal
terkait lainnya sesuai
kebutuhan.
(2) Tim Terpadu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Wali
Kota.
BAB III
PELAPORAN
Pasal 17
(1) Gubernur melaporkan hasil Pengawasan di provinsi
kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum.
- 11 -
BAB IV
PENDANAAN
Pasal 18
(1) Pendanaan Pengawasan Ormas yang dilakukan oleh
Menteri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Pendanaan pengawasan Ormas yang dilakukan oleh
gubernur dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi.
(3) Pendanaan Pengawasan Ormas yang dilakukan oleh
bupati/wali kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai pemantauan organisasi masyarakat asing
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 49 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemantauan Orang
Asing dan Organisasi Masyarakat Asing di Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 455), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 12 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2017
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
ttd
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG
PENDAFTARAN DAN PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI
ORGANISASI KEMASYARAKATAN.
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Surat Keterangan Terdaftar yang selanjutnya disingkat
SKT adalah dokumen yang diterbitkan oleh Menteri yang
menyatakan Ormas tidak berbadan hukum telah
terdaftar pada administrasi pemerintahan.
3. Pendaftaran adalah proses pencatatan terhadap Ormas
yang tidak berbadan hukum untuk pencatatan dalam
administrasi pemerintahan dengan persyaratan tertentu
untuk diberikan SKT oleh Pemerintah yang
diselenggarakan oleh Menteri.
4. Sistem Informasi Ormas yang selanjutnya disebut
SIORMAS adalah seperangkat tatanan yang meliputi
data, informasi, sumber daya manusia, dan teknologi
yang saling berkaitan dan dikelola secara terintegrasi
yang berguna untuk mendukung manajemen pelayanan
publik dan tertib administrasi.
5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
6. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah
peraturan dasar Ormas.
7. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat
ART adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran
AD Ormas.
-4-
Pasal 2
(1) Ormas dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
(2) Pengaturan Ormas berbadan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
(1) Peraturan Menteri ini mengatur pendaftaran Ormas yang
tidak berbadan hukum dan pengelolaan SIORMAS.
(2) Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbasis anggota atau
tidak berbasis anggota.
Pasal 4
(1) Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat memiliki struktur
kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang.
(2) Struktur kepengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam AD/ART Ormas.
BAB II
PENDAFTARAN
Pasal 5
Ormas tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan SKT.
-5-
Pasal 6
SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diterbitkan oleh
Menteri.
Pasal 7
(1) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dan
memiliki struktur kepengurusan berjenjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh
pengurus Ormas di tingkat pusat kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(2) Pengurus Ormas yang tidak berbadan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melaporkan
keberadaan kepengurusannya di daerah kepada
Pemerintah Daerah setempat dengan melampirkan SKT
dan kepengurusan di daerah.
Pasal 8
Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dan
memiliki struktur kepengurusan tidak berjenjang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan
oleh pengurus Ormas sesuai dengan domisili sekretariatnya.
BAB III
TATA CARA PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
Pendaftaran Ormas dilakukan melalui tahapan:
a. pengajuan permohonan;
b. pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen
Pendaftaran; dan
c. penerbitan SKT atau penolakan permohonan
Pendaftaran.
-6-
Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pasal 10
(1) Pengurus Ormas mengajukan permohonan pendaftaran
secara tertulis kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi Kementerian dengan tembusan kepada
gubernur dan bupati/wali kota.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disampaikan melalui gubernur atau
bupati/wali kota pada unit layanan administrasi di
daerah provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Permohonan pendaftaran melalui bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tembusan
kepada Gubernur.
(4) Permohonan pendaftaran melalui Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan tembusan kepada
bupati/wali kota.
(5) Unit layanan administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di antaranya terdiri dari perwakilan Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(6) Unit layanan administrasi di daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di
antaranya terdiri dari perwakilan Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
(7) Dalam hal unit layanan administrasi di daerah provinsi
atau daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum tersedia, permohonan pendaftaran
disampaikan melalui Badan/Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik atau sebutan lainnya di daerah provinsi atau
daerah kabupaten/kota.
(8) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diajukan dan ditandatangani oleh
pendiri dan pengurus Ormas.
-7-
Pasal 11
(1) Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan dengan
melampirkan persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh Notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengurus;
d. surat keterangan domisili sekretariat Ormas;
e. Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Ormas;
f. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan
atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan
g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
(2) Selain persyaratan permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ormas
melampirkan:
a. formulir isian data Ormas;
b. surat pernyataan tidak berafiliasi secara kelembagaan
dengan Partai Politik;
c. surat pernyataan bahwa nama, lambang, bendera,
tanda gambar, simbol, atribut, dan cap stempel yang
digunakan belum menjadi hak paten dan/atau hak
cipta pihak lain serta bukan merupakan milik
Pemerintah;
d. rekomendasi dari kementerian yang melaksanakan
urusan di bidang agama untuk Ormas yang memiliki
kekhususan bidang keagamaan;
e. rekomendasi dari kementerian dan/atau perangkat
daerah yang membidangi urusan kebudayaan untuk
Ormas yang memiliki kekhususan bidang kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan
f. surat pernyataan kesediaan atau persetujuan dari
pejabat negara, pejabat pemerintahan, dan/atau
-8-
Pasal 12
AD dan ART sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi.
Pasal 13
(1) Susunan pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. ketua atau sebutan lain;
b. sekretaris atau sebutan lain; dan
c. bendahara atau sebutan lain.
(2) Seluruh pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan anggota Ormas berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 14
Kelengkapan dokumen susunan pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c mencakup:
a. biodata pengurus organisasi, yaitu ketua, sekretaris dan
bendahara atau sebutan lainnya;
b. pas foto pengurus organisasi berwarna, ukuran 4 x 6
(empat kali enam), terbaru dalam 3 (tiga) bulan terakhir;
c. foto copy Kartu Tanda Penduduk Elektronik pengurus
organisasi; dan
-9-
Pasal 15
(1) Surat keterangan domisili sekretariat Ormas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d,
dikeluarkan oleh lurah/kepala desa setempat atau
sebutan lainnya.
(2) Surat keterangan domisili sekretariat Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat lampiran:
a. bukti kepemilikan, atau surat perjanjian kontrak atau
ijin pakai dari pemilik/pengelola; dan
b. foto kantor atau sekretariat Ormas, tampak depan
yang memuat papan nama.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemeriksaan Kelengkapan dan Keabsahan
Dokumen Pendaftaran
Pasal 16
(1) Unit layanan administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) memeriksa kelengkapan
permohonan Pendaftaran.
(2) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi kelengkapan:
a. petugas unit layanan administrasi Kementerian
melakukan pencatatan dalam daftar registrasi
permohonan; atau
b. petugas unit layanan administrasi daerah provinsi
dan/atau daerah kabupaten/kota, melakukan
pencatatan dan membuat tanda terima permohonan.
(3) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi kelengkapan,
berkas permohonan dikembalikan kepada pemohon.
- 10 -
Pasal 17
(1) Pemeriksaan kelengkapan permohonan Pendaftaran yang
telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (2), dilakukan melalui pemeriksaan
keabsahan dokumen Pendaftaran.
(2) Untuk pengajuan permohonan Pendaftaran melalui unit
layanan administrasi Kementerian, pemeriksaan
keabsahan dokumen Pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan oleh Menteri melalui Direktur
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(3) Untuk pengajuan permohonan Pendaftaran melalui unit
layanan administrasi daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota, dan pemeriksaan keabsahan dokumen
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh gubernur atau bupati/wali kota melalui
Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
(4) Hasil pemeriksaan keabsahan dokumen Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dituangkan dalam
formulir keabsahan dokumen.
(5) Formulir keabsahan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disertai dengan surat pengantar dari Kepala
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik provinsi atau
kabupaten/kota, dikirimkan kepada Menteri melalui unit
layanan administrasi Kementerian.
(6) Pengiriman formulir keabsahan dokumen Pendaftaran
dan surat pengantar dari Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik provinsi atau kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat disampaikan
melalui pos atau melalui media elektronik.
(7) Unit layanan administrasi Kementerian melakukan
pencatatan hasil pemeriksaan dokumen Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam daftar
registrasi permohonan.
- 11 -
Pasal 18
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak
permohonan pendaftaran dicatat di unit layanan
administrasi Kementerian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), Menteri memberikan
atau menolak penerbitan SKT.
Bagian Keempat
Tata Cara Penerbitan SKT atau Penolakan Permohonan
Pendaftaran
Pasal 19
(1) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 diterima, Direktur Jenderal
Politik dan Pemerintahan Umum atas nama Menteri
menerbitkan SKT.
(2) Dalam hal permohonan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ditolak, Direktur Jenderal
Politik dan Pemerintahan Umum atas nama Menteri
menerbitkan surat penolakan dengan disertai alasan
penolakan.
(3) Dalam penerbitan SKT atau penolakan permohonan
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Menteri dapat berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga sesuai dengan bidang Ormas.
(4) Penerbitan SKT atau surat penolakan permohonan
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), disampaikan oleh Menteri melalui petugas unit
layanan administrasi kepada pemohon.
(5) Penerbitan SKT atau penolakan permohonan Pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan
kepada gubernur dan bupati/wali kota di wilayah
domisili sekretariat Ormas.
- 12 -
Pasal 20
(1) SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, memuat:
a. nomor SKT;
b. nama organisasi;
c. tanggal berdiri organisasi;
d. bidang kegiatan organisasi;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama organisasi;
f. alamat organisasi;
g. masa berlaku SKT;
h. nama instansi yang menerbitkan; dan
i. nama dan tanda tangan pejabat.
(2) SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicetak dalam
kertas yang bertanda khusus dengan ukuran F4.
(3) Penulisan SKT dengan menggunakan jenis huruf
bookman old style dengan huruf 12 (dua belas).
(4) Kertas bertanda khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), menggunakan nomor seri dan/atau huruf, yang
diletakkan pada halaman belakang samping kiri bagian
bawah.
(5) SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditandatangani oleh pejabat yang menangani Ormas 1
(satu) tingkat di bawah Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum atas nama Menteri.
Pasal 21
Masa berlaku SKT selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal ditandatangani.
Pasal 22
Format tentang formulir isian data Ormas, formulir
keabsahan dokumen, Surat Pernyataan, SKT dan petunjuk
pengisian SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf a, Pasal 17 ayat (4), Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 20 tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
- 13 -
BAB IV
TATA CARA PERPANJANGAN DAN PERUBAHAN SKT
Pasal 23
(1) Pengurus Ormas dapat mengajukan permohonan
perpanjangan SKT Ormas untuk SKT Ormas yang telah
berakhir masa berlakunya.
(2) Tata cara pendaftaran Ormas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 21 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap tata cara perpanjangan SKT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 24
Pengurus Ormas harus mengajukan perubahan SKT apabila
terjadi perubahan nama, bidang kegiatan, Nomor Pokok
Wajib Pajak, dan/atau alamat Ormas.
Pasal 25
(1) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ditandatangani oleh pengurus Ormas dan
dilengkapi bukti pendukung.
(2) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat diajukan kepada Menteri melalui
unit layanan administrasi Kementerian.
(3) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat disampaikan melalui gubernur atau
bupati/wali kota pada unit layanan administrasi di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
Pasal 26
Tata cara pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan
dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 dan Pasal 17, berlaku secara mutatis mutandis terhadap
tata cara pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan
dokumen permohonan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
- 14 -
Pasal 27
(1) Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari
sejak permohonan perubahan SKT dicatat dalam daftar
registrasi permohonan perubahan SKT oleh unit layanan
administrasi Kementerian, Menteri menerbitkan atau
menolak perubahan SKT.
(2) Penerbitan atau penolakan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi
dengan kementerian/lembaga terkait sesuai dengan
bidang Ormas.
(3) Penerbitan atau penolakan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri
melalui petugas unit layanan administrasi kepada
pemohon.
(4) Penerbitan atau penolakan perubahan SKT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditembuskan kepada gubernur
dan bupati/wali kota di wilayah domisili sekretariat
Ormas.
Pasal 28
Perubahan SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27,
tidak mengubah masa berlaku SKT yang telah diterbitkan
sebelumnya.
Pasal 29
Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyimpan
dokumen kelengkapan permohonan, perpanjangan dan
perubahan SKT Ormas yang diajukan melalui unit layanan
administrasi di daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota
kepada Menteri.
- 15 -
BAB V
PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI ORMAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 30
(1) Menteri melalui Direktorat Jenderal Politik Dan
Pemerintahan Umum membentuk SIORMAS untuk
meningkatkan pelayanan publik dan tertib administrasi.
(2) SIORMAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengelolaan data dan informasi, sumber daya manusia
dan teknologi.
(3) SIORMAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diintegrasikan dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 31
(1) Pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dilakukan dengan menggunakan
sistem komputerisasi yang memiliki kemampuan
terhubung secara online.
(2) Dalam hal pengelolaan SIORMAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum memiliki infrastruktur dengan sistem
komputerisasi, pengelolaan data dan informasi Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara manual.
(3) Pengelolaan data secara manual sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui:
a. pengiriman data dan informasi ormas melalui pos;
b. pengiriman data dan informasi ormas secara
langsung; atau
c. pengiriman data dan informasi ormas secara
elektronik.
(4) Pengiriman data sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a, huruf b, dan huruf c ditujukan kepada Menteri
melalui Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan
Umum.
- 16 -
Bagian Kedua
Data dan Informasi
Pasal 32
Pengelolaan SIORMAS memuat data dan informasi tentang
keberadaan, kegiatan, dan informasi lain yang dibutuhkan.
Pasal 33
Menteri mengoordinasikan data dan informasi Ormas yang
diperlukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dari
Kementerian, instansi terkait, dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya.
Pasal 34
Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyimpan dan
mengamankan data dan informasi Ormas yang diajukan
kepada Menteri.
Pasal 35
(1) Pengamanan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan untuk menjamin:
a. tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b. terjaga kerahasiaannya.
(2) Pengamanan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan
standar pengamanan.
(3) Kerahasiaan informasi Ormas dan standar pengamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Ketiga
Teknologi
Pasal 36
(1) Teknologi SIORMAS meliputi perangkat keras dan
perangkat lunak.
- 17 -
Bagian Keempat
Sumber Daya Manusia
Pasal 37
(1) Operasional SIORMAS dilakukan oleh operator yang
memiliki kompetensi.
(2) Operator yang memiliki kompetensi sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) perlu didukung dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(3) Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui bimbingan
teknis, sosialisasi, dan konsultasi.
Pasal 38
Operator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ditetapkan
dengan keputusan Menteri, keputusan gubernur, dan
keputusan bupati/wali kota.
- 18 -
BAB VI
PELAPORAN KEGIATAN ORMAS
Pasal 39
Ormas menyampaikan laporan perkembangan organisasi
dan kegiatan organisasi setiap 6 (enam) bulan sekali yang
ditandatangani ketua dan sekretaris atau sebutan lainnya
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota.
Pasal 40
Laporan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 meliputi:
a. nama dan jenis kegiatan;
b. tempat dan waktu kegiatan; dan
c. hal-hal lain yang dianggap perlu.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 41
(1) Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum melakukan pembinaan dan
pengawasan Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan
hukum secara nasional.
(2) Gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik di provinsi melakukan pembinaan dan
pengawasan Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan
hukum di daerah provinsi dalam wilayahnya.
(3) Bupati/Wali Kota melalui Kepala Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik di kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan pendaftaran
Ormas yang tidak berbadan hukum di daerah
kabupaten/kota dalam wilayahnya.
Pasal 42
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dilakukan melalui koordinasi, bimbingan, pendidikan
- 19 -
BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 43
(1) Pendanaan Pendaftaran dan pengelolaan SIORMAS di
lingkungan Kementerian dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Pendanaan Pendaftaran dan pengelolaan SIORMAS di
daerah provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Provinsi.
(3) Pendanaan Pendaftaran dan pengelolaan SIORMAS di
daerah kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, SKT yang
telah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhir masa berlakunya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di
Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah
- 20 -
Pasal 46
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2017
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
ttd
Lambang/logo Ormas
Bendera Ormas
- 22 -
C. Surat Pernyataan
SURAT PERNYATAAN
Jabatan : Ketua/sederajat
Nomor KTP/SIM/Identitas Lain : …………………….
Jabatan : Sekretaris/sederajat
Nomor KTP/SIM/Identitas Lain : …………………….
Dengan ini menyatakan bahwa:
a. tidak berafiliasi secara kelembagaan dengan partai politik tertentu;
b. tidak terjadi konflik kepengurusan;
c. nama, lambang, bendera, tanda gambar, simbol, atribut, dan/atau cap
stempel yang digunakan belum digunakan oleh Ormas lain;
d. bersedia menertibkan kegiatan, pengurus, dan/atau anggota organisasi;
e. bersedia menyampaikan laporan perkembangan dan kegiatan organisasi
setiap akhir tahun;
f. bertanggungjawab terhadap keabsahan dan keseluruhan isi, data dan
informasi dokumen/berkas yang diserahkan; dan
g. tidak akan melakukan penyalahgunaan SKT.
Demikian pernyataan dibuat dengan sebenar-benarnya dalam keadaan sadar
tanpa tekanan/paksaan dari pihak manapun, bertanggungjawab dan bersedia
dituntut secara hukum sebagai akibat dari pernyataan ini.
(nama tempat, tanggal, bulan, tahun)
..........................., ..... ........................................ ..........
Ketua, Sekretaris,
Materai
Rp. 6.000
(ditandatangani)
(Cap stempel dan ditandatangani)
(Nama Lengkap) (Nama Lengkap)
………………………… …………………………
- 24 -
Halaman depan
..............................................
Pangkat ...................
NIP. ........................
Halaman Belakang
Tanda Khusus
nomor seri dan/atau huruf
- 26 -
Petunjuk Pengisian
1. Nomor SKT
Contoh: 01-00-00/0001/XI/2017
Tahun
2. Nama Ormas diisi sesuai yang tercantum dalam Anggaran Dasar, dalam hal
nama berbahasa asing/bahasa daerah, ditambahkan arti dalam bahasa
Indonesia.
3. Tanggal berdiri diisi sesuai dengan tanggal berdirinya yang tercantum
dalam Akte Pendirian/statuta.
4. Bidang Kegiatan diisi sesuai dengan bidang kegiatan sifat kekhususan
Ormas.
5. NPWP adalah Nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas.
6. Alamat Sekretariat diisi berdasarkan surat keterangan domisili.
7. Tembusan SKT disampaikan kepada Yth:
a. Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan);
b. Gubernur …. (sesuai domisili ormas yang mengajukan)
c. Bupati/Wali kota.. (sesuai domisili ormas yang mengajukan)
d. Arsip
ttd
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KERJA
SAMA KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN PEMERINTAH
DAERAH DENGAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DAN
BADAN ATAU LEMBAGA DALAM BIDANG POLITIK DAN
PEMERINTAHAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Kerja Sama adalah kesepakatan antara
menteri, gubernur, bupati/wali kota dengan organisasi
kemasyarakatan bidang politik dan pemerintahan umum,
untuk melaksanakan urusan pemerintahan bidang
politik dan pemerintahan umum, berdasarkan
kewenangan dan peran masing-masing pihak, yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban.
2. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
3. Badan atau Lembaga adalah badan atau lembaga yang
bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
-4-
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi kerja sama
Kementerian dan Pemerintah Daerah dengan Ormas dan
Badan atau Lembaga dalam bidang politik dan
pemerintahan umum.
BAB II
KERJA SAMA
Bagian Kesatu
Subjek Kerja Sama
Pasal 3
Para pihak yang menjadi subjek kerja sama meliputi:
a. Kementerian dengan Ormas yang terdaftar dan/atau
Ormas yang berbadan hukum;
b. Kementerian dengan Badan/Lembaga;
c. Pemerintah Daerah dengan Ormas yang terdaftar
dan/atau Ormas yang berbadan hukum; dan
d. Pemerintah Daerah dengan Badan/Lembaga.
Bagian Kedua
Objek Kerja Sama
Pasal 4
Objek kerja sama terdiri atas:
a. politik dalam negeri dan kehidupan demokrasi, serta
organisasi masyarakat;
b. penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila,
wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional,
penanganan konflik sosial, kewaspadaan nasional,
kerukunan antar suku dan intra suku, ras, dan golongan
lainnya, ketahanan ekonomi, ketahanan pangan dan
-5-
Bagian Ketiga
Bentuk Kerja sama
Pasal 5
Bentuk kerja sama dapat dilaksanakan melalui kegiatan:
a. dialog atau sejenisnya;
b. halaqoh;
c. pagelaran, festival seni dan budaya;
d. jambore, perkemahan, dan napak tilas;
e. perlombaan seperti lomba pidato, cipta lagu, lagu
kebangsaan dan jalan sehat;
f. pemberdayaan masyarakat;
g. pelatihan masyarakat;
-6-
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 6
(1) Dalam melakukan kerja sama, Kementerian dan
Pemerintah Daerah berhak:
a. mendapatkan laporan hasil pelaksanaan kegiatan dan
laporan penggunaan anggaran;
b. mendapatkan pemberitahuan pelaksanaan kegiatan
melalui Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik
provinsi dan/atau kabupaten/kota atau sebutan
lainnya; dan
c. menetapkan Ormas atau Badan/Lembaga yang
melakukan kerja sama.
(2) Dalam melakukan kerja sama, Kementerian dan
Pemerintah Daerah wajib:
a. memberikan fasilitas anggaran kegiatan; dan
b. memberikan pembinaan dan dukungan kelancaran
kegiatan.
Pasal 7
(1) Dalam melakukan kerja sama, Ormas atau
Badan/Lembaga berhak:
a. mendapatkan fasilitas anggaran kegiatan; dan
b. mendapatkan pembinaan dan dukungan kelancaran
kegiatan.
(2) Dalam melakukan kerja sama, Ormas atau
Badan/Lembaga wajib:
a. melaksanakan Perjanjian Kerja Sama dengan iktikad
baik;
b. melakukan penggunaan keuangan dan menyusun
laporan pertanggungjawaban keuangan;
c. menyampaikan laporan hasil pelaksanaan kegiatan;
-7-
BAB IV
JANGKA WAKTU
Pasal 8
Waktu pelaksanaan kerja sama dilaksanakan sesuai
kesepakatan dalam Perjanjian Kerja Sama.
BAB V
TAHAPAN KERJA SAMA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
Kerja sama dilakukan melalui tahapan:
a. persiapan;
b. pelaksanaan; dan
c. pelaporan.
Pasal 10
(1) Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a,
dilaksanakan melalui tahapan:
a. perencanaan kerja sama;
b. pengajuan kelengkapan administrasi;
c. penelitian kelengkapan administrasi; dan
d. penetapan.
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
b, dilaksanakan melalui tahapan:
a. pelaksanaan kegiatan kerja sama; dan
b. supervisi.
-8-
Bagian Kedua
Persiapan
Paragraf 1
Perencanaan Kerja Sama
Pasal 11
Para pihak yang akan melakukan kerja sama wajib membuat
perencanaan kerja sama.
Pasal 12
(1) Perencanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 terdiri dari:
a. perencanaan teknis; dan
b. perencanaan penggunaan anggaran.
(2) Perencanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), disusun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-9-
Paragraf 2
Pengajuan Kelengkapan Administrasi
Pasal 13
Pengajuan kerja sama oleh Ormas atau Badan/Lembaga
dapat ditujukan kepada:
a. Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum;
b. gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik di tingkat daerah provinsi; dan
c. bupati/wali kota melalui Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di tingkat daerah
kabupaten/kota.
Pasal 14
(1) Dalam hal Ormas atau Badan/Lembaga memiliki struktur
kepengurusan berjenjang, pengajuan kerja sama dapat
dilakukan oleh kepengurusan daerah kepada gubernur
dan bupati/wali kota di wilayah setempat, dengan
ketentuan:
a. memiliki kepengurusan daerah yang jelas di wilayah
administrasi daerah setempat;
b. memiliki surat keterangan domisili dari lurah/kepala
desa setempat atau sebutan lainnya;
c. berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah
Daerah yang bersangkutan;
d. telah melaporkan keberadaannya kepada Pemerintah
Daerah setempat; dan
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
rekening aktif dari bank nasional atas nama
kepengurusan di daerah.
(2) Dalam hal Ormas atau Badan/Lembaga yang memiliki
struktur kepengurusan tidak berjenjang dilakukan oleh
pengurus.
- 10 -
Pasal 15
(1) Pengajuan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, harus memiliki kelengkapan persyaratan umum
paling sedikit:
a. surat usulan kerja sama;
b. dokumen usulan kerja sama;
c. salinan akte notaris pendirian;
d. salinan surat keterangan terdaftar (SKT) atau surat
pengesahan badan hukum;
e. salinan surat keputusan susunan pengurus;
f. surat keterangan domisili terbaru dari lurah/kepala
desa setempat atau sebutan lainnya;
g. salinan buku tabungan atau giro dari bank nasional
atas nama Ormas atau badan/lembaga;
h. surat keterangan rekening aktif dari bank nasional;
i. salinan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama
Ormas dan surat keterangan terdaftar wajib pajak;
j. surat pernyataan tidak terjadi konflik internal yang
dibubuhi materai; dan
k. surat pernyataan tidak berafiliasi dengan partai politik
yang dibubuhi materai.
(2) Selain kelengkapan persyaratan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur dan
bupati/wali kota mempertimbangkan persyaratan khusus
meliputi:
a. tidak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan
ideologi Pancasila;
b. telah melakukan kerja sama secara simultan dengan
pemerintah dan Pemerintah Daerah;
c. melakukan aktivitas yang sejalan dengan program
pemerintah dan Pemerintah Daerah;
d. berperan aktif di masyarakat;
e. tidak terlibat dalam perbuatan yang melanggar hukum;
f. tidak terlibat dalam perbuatan yang mengganggu
ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
g. melaksanakan kewajiban dan mematuhi larangan
dalam undang-undang yang terkait dengan Organisasi
- 11 -
Kemasyarakatan; dan/atau
h. tidak melakukan tindakan permusuhan terhadap
suku, agama, ras, atau golongan.
Paragraf 3
Penelitian Kelengkapan Administrasi
Pasal 16
(1) Tim verifikasi Kementerian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4) huruf a, melakukan penelitian
kelengkapan administrasi terhadap pengajuan kerja sama
oleh Ormas atau badan/lembaga kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum.
(2) Tim verifikasi daerah provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, melakukan penelitian
kelengkapan administrasi terhadap pengajuan kerja sama
oleh Ormas atau Badan/Lembaga kepada gubernur
melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di
tingkat daerah provinsi.
(3) Tim verifikasi daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c, melakukan
penelitian kelengkapan administrasi terhadap pengajuan
kerja sama oleh Ormas atau Badan/Lembaga kepada
bupati/wali kota melalui Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di tingkat daerah
kabupaten/kota.
Pasal 17
Penelitian kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, meliputi:
a. kelengkapan persyaratan umum;
b. persyaratan khusus; dan
c. dokumen perencanaan kerja sama.
- 12 -
Paragraf 4
Penetapan
Pasal 18
(1) Ormas atau Badan/Lembaga yang memenuhi kelengkapan
administrasi dan telah dilakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ditetapkan sebagai
pelaksana kerja sama melalui Keputusan Menteri.
(2) Ormas atau Badan/Lembaga yang memenuhi kelengkapan
administrasi dan telah dilakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), ditetapkan sebagai
pelaksana kerja sama melalui keputusan gubernur.
(3) Ormas atau Badan/Lembaga yang memenuhi kelengkapan
administrasi dan telah dilakukan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), ditetapkan sebagai
pelaksana kerja sama melalui keputusan bupati/wali kota.
Pasal 19
(1) Keputusan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, dilanjutkan dengan penandatanganan
Perjanjian Kerja Sama para pihak.
(2) Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Direktur Organisasi Kemasyarakatan atas nama Direktur
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum dengan ketua
Ormas atau Badan/Lembaga atau sebutan lainnya, untuk
Ormas atau Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1).
b. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik atau sebutan
lainnya atas nama gubernur dengan ketua Ormas atau
Badan/Lembaga atau sebutan lainnya, untuk Ormas atau
Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2).
c. Kepala Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik atau
sebutan lainnya atas nama bupati/wali kota dengan
ketua Ormas atau Badan/Lembaga atau sebutan lainnya,
untuk Ormas atau badan/lembaga sebagaimana
- 13 -
Pasal 20
(1) Dalam hal kepentingan tertentu, Ormas atau
Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
dapat melakukan kerja sama lebih dari 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun anggaran.
(2) Kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada:
a. Ormas atau Badan/Lembaga yang menjalankan
program berkesinambungan terkait pencegahan dan
penanganan masalah yang mengancam keamanan
nasional dan stabilitas politik nasional;
b. Ormas atau Badan/Lembaga yang menjalankan
program kegiatan di daerah yang memiliki kekhususan
dan daerah perbatasan antarnegara; dan/atau
c. Ormas atau Badan/Lembaga yang melaksanakan
program strategis nasional.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Paragraf 1
Pelaksanaan Kegiatan Kerja Sama
Pasal 21
Ormas atau badan/lembaga wajib melaksanakan kerja sama
setelah menandatangani Perjanjian Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 22
(1) Pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, ditindaklanjuti dengan kegiatan kerja sama.
(2) Kegiatan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib diawali dengan menyanyikan Lagu Indonesia
Raya.
- 14 -
Pasal 23
(1) Pelaksanaan kegiatan kerja sama antara Menteri dengan
Ormas atau Badan/Lembaga, wajib memberitahukan
kepada Pemerintah Daerah setempat.
(2) Pelaksanaan kegiatan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihadiri oleh Pemerintah Daerah setempat
yang dapat diwakili oleh Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di daerah
kabupaten/kota.
Paragraf 2
Pembicara Utama dan Supervisi
Pasal 24
(1) Pelaksanaan kegiatan kerja sama antara Menteri dengan
Ormas atau Badan/Lembaga yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dilakukan
dengan melibatkan Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum sebagai pembicara utama.
(2) Pelaksanaan kegiatan kerja sama antara Pemerintah
Daerah dengan Ormas atau Badan/Lembaga yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah
setempat yang dapat diwakili oleh Kepala Badan/Kantor
Kesatuan Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota sebagai
pembicara utama.
(3) Pelaksanaan kegiatan kerja sama yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana pada ayat
(1) dan ayat (2) perlu dilakukan supervisi.
(4) Supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali Kota sesuai
dengan kewenangannya.
- 15 -
Bagian Keempat
Pelaporan
Pasal 25
(1) Ormas atau Badan/Lembaga pelaksana kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), wajib
menyampaikan laporan kegiatan kerja sama kepada
Menteri melalui Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum.
(2) Ormas atau Badan/Lembaga pelaksana kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), wajib
menyampaikan laporan kegiatan kerja sama kepada
Gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Provinsi.
(3) Ormas atau Badan/Lembaga pelaksana kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), wajib
menyampaikan laporan kegiatan kerja sama kepada
bupati/wali kota melalui Kepala Badan/Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik atau sebutan lainnya di daerah
kabupaten/kota.
Pasal 26
Pelaporan kegiatan kerja sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 memuat:
a. surat penyampaian laporan kegiatan
b. pendahuluan;
c. maksud dan tujuan;
d. hasil kegiatan;
e. penggunaan anggaran;
f. permasalahan;
g. rekomendasi dan saran;
h. penutup; dan
i. lampiran.
- 16 -
Pasal 27
(1) Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1) dilakukan penelitian hasil pelaksanaan
kegiatan kerja sama oleh tim verifikasi Kementerian.
(2) Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) dilakukan penelitian hasil pelaksanaan
kegiatan kerjasama oleh tim verifikasi daerah provinsi.
(3) Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (3) dilakukan penelitian hasil pelaksanaan
kegiatan kerja sama oleh tim verifikasi daerah
kabupaten/kota.
Pasal 28
Penelitian laporan hasil pelaksanaan kegiatan kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dilakukan setelah
kegiatan dilaksanakan, melalui penelitian dokumen
pertanggungjawaban administrasi dan keuangan.
BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 29
(1) Dalam hal terjadi perselisihan kerja sama antara
Kementerian, Pemerintah Daerah provinsi, atau
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Ormas atau
Badan/Lembaga, diselesaikan sesuai kesepakatan yang
diatur dalam Perjanjian Kerja Sama.
(2) Apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak terselesaikan, perselisihan
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 17 -
BAB VII
PERUBAHAN KERJA SAMA
Pasal 30
Para pihak dapat melakukan perubahan kerja sama
berdasarkan kesepakatan para pihak yang melakukan kerja
sama.
BAB VIII
BERAKHIRNYA KERJA SAMA
Pasal 31
Kerja sama berakhir apabila:
a. berakhirnya masa perjanjian;
b. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang
ditetapkan dalam perjanjian;
c. tujuan kerja sama telah tercapai;
d. terdapat perubahan mendasar yang mengakibatkan
perjanjian kerja sama tidak dapat dilaksanakan;
e. Ormas atau Badan/Lembaga tidak melaksanakan atau
melanggar ketentuan perjanjian;
f. dibuat perjanjian baru yang menggantikan perjanjian
lama;
g. muncul norma baru dalam peraturan perundang-
undangan; atau
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 32
(1) Pendanaan kerja sama Kementerian dengan Ormas atau
Badan/Lembaga dalam bidang politik dan pemerintahan
umum dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
(2) Pendanaan kerja sama Pemerintah Daerah provinsi
dengan Ormas atau Badan/Lembaga dalam bidang politik
- 18 -
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap:
a. kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian dengan
Ormas atau Badan/Lembaga; dan
b. kerja sama yang dilakukan oleh Gubernur dengan
Ormas atau Badan/Lembaga.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap:
a. kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
dengan Ormas atau Badan/Lembaga; dan
b. kerja sama yang dilakukan oleh bupati/wali kota
dengan Ormas atau badan/lembaga.
(3) Bupati/wali kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan Ormas atau badan/lembaga.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan antara lain dengan:
a. pemberian pedoman;
b. standardisasi;
c. sosialisasi;
d. perencanaan;
e. pengembangan;
- 19 -
f. bimbingan;
g. asistensi; dan/atau
h. pendidikan dan pelatihan.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan kerja
sama diatur dengan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh
Menteri melalui Direktur Jenderal politik dan pemerintahan
umum atau oleh Gubernur, Bupati, Wali Kota melalui Kepala
Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik.
Pasal 35
Menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan Ormas atau
Badan/Lembaga yang melakukan kerja sama bertanggung
jawab menyimpan dan memelihara naskah asli kerja sama.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Perjanjian Kerja Sama yang telah ada tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya kerja sama; dan
b. Perjanjian Kerja Sama yang akan dilakukan atau
diperpanjang disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan
- 20 -
Pasal 38
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 21 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2017
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
ttd
www.peraturan.go.id
2016, No.115 -2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PERKUMPULAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perkumpulan adalah badan hukum yang merupakan
kumpulan orang didirikan untuk mewujudkan kesamaan
maksud dan tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan dan tidak membagikan
keuntungan kepada anggotanya.
2. Sistem Administrasi Badan Hukum yang selanjutnya
disingkat SABH adalah sistem pelayanan administrasi
badan hukum secara elektronik yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
3. Pemohon adalah Notaris yang diberikan kuasa untuk
mengajukan permohonan pengesahan badan hukum
Perkumpulan melalui SABH.
4. Format Isian adalah bentuk pengisian data yang
dilakukan secara elektronik untuk permohonan
pengajuan pemakaian nama Perkumpulan, pengesahan
badan hukum dan pemberian persetujuan perubahan
www.peraturan.go.id
2016, No.115
-3-
BAB II
PERMOHONAN PENGAJUAN NAMA PERKUMPULAN
Pasal 2
Permohonan pengesahan badan hukum Perkumpulan harus
didahului dengan pengajuan nama Perkumpulan.
Pasal 3
(1) Pemohon mengajukan permohonan pemakaian nama
Perkumpulan kepada Menteri melalui SABH.
(2) Pengajuan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengisi Format Pengajuan Nama
Perkumpulan.
(3) Format Pengajuan Nama Perkumpulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. identitas Pemohon; dan
b. nama Perkumpulan yang dipesan.
Pasal 4
(1) Nama Perkumpulan yang dipesan harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
www.peraturan.go.id
2016, No.115 -4-
Pasal 5
(1) Nama Perkumpulan yang telah disetujui oleh Menteri
diberikan persetujuan pemakaian nama secara
elektronik.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Perkumpulan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
untuk 1 (satu) nama Perkumpulan.
Pasal 6
Dalam hal nama tidak memenuhi persyaratan pengajuan dan
pemakaian nama Perkumpulan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Menteri dapat menolak
nama Perkumpulan tersebut secara elektronik.
Pasal 7
Nama Perkumpulan yang telah mendapat persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berlaku untuk
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
Pasal 8
Format Pengajuan Nama Perkumpulan dan tata cara
pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 serta
surat pernyataan dan tata cara pengisiannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
www.peraturan.go.id
2016, No.115
-5-
BAB III
PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM
PERKUMPULAN
Pasal 9
(1) Permohonan pengesahan badan hukum Perkumpulan
diajukan oleh Pemohon kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan melalui SABH.
Pasal 10
(1) Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Perkumpulan, Pemohon harus
mengajukan permohonan secara elektronik kepada
Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengisi Format Pendirian.
Pasal 11
(1) Pemohon wajib membayar biaya permohonan pengesahan
badan hukum Perkumpulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 sebelum mengisi Format Pendirian.
(2) Biaya pengesahan badan hukum Perkumpulan
dibayarkan melalui bank persepsi.
(3) Besarnya biaya pengesahan badan hukum Perkumpulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 12
(1) Pengisian Format Pendirian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 juga dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa surat pernyataan secara elektronik dari
www.peraturan.go.id
2016, No.115 -6-
Pasal 13
(1) Pemohon wajib mengisi surat pernyataan secara
elektronik yang menyatakan data isian pengesahan
badan hukum Perkumpulan dan keterangan mengenai
dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta bertanggung jawab
penuh terhadap data isian dan keterangan tersebut.
(2) Dalam hal Format Pendirian Perkumpulan dan dokumen
pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan
tidak berkeberatan atas permohonan pengesahan badan
hukum Perkumpulan secara elektronik.
www.peraturan.go.id
2016, No.115
-7-
Pasal 14
(1) Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Perkumpulan dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal pernyataan tidak berkeberatan dari Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemohon secara elektronik.
(3) Notaris dapat langsung melakukan pencetakan sendiri
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Perkumpulan, menggunakan kertas berwarna putih
ukuran F4/Folio dengan berat 80 (delapan puluh) gram.
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh
Notaris serta memuat frasa yang menyatakan “Keputusan
Menteri ini dicetak dari SABH”.
Pasal 15
Dalam hal Format Pendirian pengesahan badan hukum
Perkumpulan yang dilengkapi dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, Keputusan
Menteri tersebut dicabut.
Pasal 16
Format Pendirian dan tata cara pengisiannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 serta surat pernyataan dan tata
cara pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN
DASAR PERKUMPULAN
Pasal 17
(1) Perubahan anggaran dasar harus mendapat persetujuan
Menteri.
www.peraturan.go.id
2016, No.115 -8-
Pasal 18
Perubahan anggaran dasar yang diputuskan di luar rapat
anggota atau nama lainnya harus dinyatakan dalam akta
Notaris.
Pasal 19
Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) diajukan oleh
Pemohon melalui SABH dengan cara mengisi Format
Perubahan dilengkapi keterangan mengenai dokumen
pendukung.
Pasal 20
Jika dalam permohonan persetujuan perubahan anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 terdapat
perubahan nama Perkumpulan, permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar diajukan setelah pemakaian nama
memperoleh persetujuan dari Menteri.
Pasal 21
Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 13
sampai dengan Pasal 15, berlaku secara mutatis mutandis
untuk tata cara permohonan persetujuan perubahan
anggaran dasar.
www.peraturan.go.id
2016, No.115
-9-
Pasal 22
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 juga harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan anggaran dasar yang
telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan anggaran dasar Perkumpulan.
(4) Dokumen perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan oleh Notaris, yang
meliputi:
a. minuta akta perubahan Anggaran Dasar
Perkumpulan;
b. notulen rapat anggota atau sebutan lain;
c. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan
penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak
Perkumpulan;
d. bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan
anggaran dasar dan pengumumannya; dan
e. surat pernyataan tidak dalam sengketa dan pailit.
(5) Ketentuan mengenai surat pemberitahuan tahunan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c tidak
berlaku bagi Perkumpulan yang melakukan perubahan
anggaran dasar di bawah 1 (satu) tahun setelah nomor
pokok wajib pajak diterbitkan.
BAB V
PERMOHONAN SECARA NONELEKTRONIK
Pasal 23
(1) Dalam hal permohonan pengesahan badan hukum,
permohonan perubahan anggaran dasar, atau
www.peraturan.go.id
2016, No.115 -10-
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, permohonan
perubahan anggaran dasar Perkumpulan yang telah diajukan
dan sedang diproses sebelum Peraturan Menteri ini mulai
berlaku, diproses berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perkumpulan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2014
tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 394), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
www.peraturan.go.id
2016, No.115
-11-
Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2016
ttd
YASONNA H. LAOLY
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
www.peraturan.go.id
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.660, 2019 KUMHAM. Pengajuan Permohonan Pengesahan
Badan Hukum. Persetujuan Perubahan Anggaran
Dasar Perkumpulan. Tata Cara. Perubahan.
www.peraturan.go.id
2019, No.660 -2-
www.peraturan.go.id
2019, No.660
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN
BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR PERKUMPULAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan
Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 115) diubah
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Nama Perkumpulan yang dipesan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, harus
memenuhi syarat:
a. menggunakan huruf latin;
b. paling sedikit terdiri dari 3 (tiga) kata;
c. terdiri dari rangkaian huruf yang membentuk
kata;
d. tidak menggunakan angka dan tanda baca;
e. tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan/atau kesusilaan;
f. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan
serta kegiatan sebagai Nama Perkumpulan; dan
g. tidak mempunyai arti sebagai Perkumpulan
atau memiliki arti yang sama dengan
www.peraturan.go.id
2019, No.660 -4-
Pasal 4A
(1) Nama Perkumpulan yang dipesan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dapat
disertai dengan singkatan nama.
(2) Singkatan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh sama dengan nama Perkumpulan dan
singkatan nama Perkumpulan lain yang telah
terdaftar dalam Daftar Perkumpulan.
(3) Singkatan nama sebagaimana dimaksud ayat (1)
berupa:
a. singkatan yang terdiri atas huruf depan dari
setiap kata Nama Perkumpulan; atau
b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama
Perkumpulan.
Pasal 4B
Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan
atas pengajuan Nama Perkumpulan yang disampaikan
oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
www.peraturan.go.id
2019, No.660
-5-
Pasal 5
(1) Nama Perkumpulan yang telah disetujui oleh
Menteri diberikan persetujuan pemakaian nama
secara elektronik.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Perkumpulan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya diberikan untuk 1 (satu) nama Perkumpulan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan secara elektronik kepada Pemohon
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengajuan diterima.
Pasal 7A
(1) Nama Perkumpulan yang telah berakhir status
badan hukumnya dihapus dari Daftar Perkumpulan
yang ada pada pangkalan data Direktorat Jenderal
Administrasi Umum.
(2) Nama Perkumpulan yang telah berakhir status
badan hukumnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diajukan permohonan kembali oleh
Pemohon lain.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
www.peraturan.go.id
2019, No.660 -6-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 2019
ttd
YASONNA H. LAOLY
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
www.peraturan.go.id
11
ATURAN TEKNIS
ORMAS YAYASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2008
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Nama Yayasan adalah nama diri dari Yayasan yang
bersangkutan.
2. Penggabungan . . .
-2-
BAB II
PEMAKAIAN NAMA YAYASAN
Pasal 2
(1) Setiap Yayasan harus mempunyai nama diri.
(2) Nama Yayasan yang telah didaftar dalam Daftar Yayasan
tidak boleh dipakai oleh Yayasan lain.
(3) Nama Yayasan dari Yayasan yang telah berakhir status
badan hukumnya harus diberitahukan kepada Menteri
untuk dihapus dari Daftar Yayasan oleh likuidator,
kurator, atau Pengurus Yayasan.
Pasal 3
(1) Kata “Yayasan” hanya dapat dipakai oleh:
a. Yayasan yang diakui sebagai badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1)
Undang-Undang; dan
b. Yayasan . . .
-3-
Pasal 4
(1) Pemakaian Nama Yayasan ditolak jika:
a. sama dengan Nama Yayasan lain yang telah terdaftar
lebih dahulu dalam Daftar Yayasan; atau
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau
kesusilaan.
(2) Ketentuan mengenai alasan penolakan pemakaian Nama
Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga bagi Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (1) Undang-Undang yang memberitahukan kepada
Menteri mengenai penyesuaian Anggaran Dasar Yayasan
yang bersangkutan.
(3) Dalam hal pemakaian Nama Yayasan ditolak berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Yayasan
dapat mengajukan pemakaian nama lain.
Pasal 5
(1) Nama Yayasan dicatat dalam Daftar Yayasan apabila:
a. akta pendirian Yayasan telah disahkan oleh Menteri;
b. Anggaran Dasar Yayasan telah disesuaikan dengan
Undang-Undang dan penyesuaian tersebut telah
diberitahukan kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang;
atau
c. akta perubahan Anggaran Dasar yang memuat
perubahan Nama Yayasan telah disetujui oleh
Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Daftar
Yayasan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III . . .
-4-
BAB III
KEKAYAAN AWAL YAYASAN
Pasal 6
(1) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang
Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan
pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(2) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang
Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang
berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri,
paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 7
Pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai
keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan
bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan
Yayasan.
BAB IV
PENDIRIAN YAYASAN BERDASARKAN SURAT WASIAT
Pasal 8
Pendirian Yayasan berdasarkan surat wasiat harus dilakukan
dengan surat wasiat terbuka.
Pasal 9
Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilaksanakan sebagai berikut:
a. pendirian Yayasan langsung dimuat dalam surat wasiat
yang bersangkutan dengan mencantumkan ketentuan
Anggaran Dasar Yayasan yang akan didirikan; atau
b. pendirian Yayasan dilaksanakan oleh pelaksana wasiat
sebagaimana diperintahkan dalam surat wasiat oleh
pemberi wasiat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah ini.
BAB V . . .
-5-
BAB V
SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN YAYASAN OLEH ORANG ASING
Pasal 10
(1) Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia
dapat mendirikan Yayasan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang
Asing bersama Orang Indonesia selain berlaku Peraturan
Pemerintah ini berlaku juga ketentuan peraturan
perundang-undangan lain.
Pasal 11
(1) Yayasan yang didirikan oleh orang perseorangan asing
harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a. identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang
sah;
b. pemisahan sebagian harta kekayaan pribadi pendiri
yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit
senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
dibuktikan dengan surat pernyataan pendiri
mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan
c. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan Yayasan
yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa,
dan negara Indonesia.
(2) Yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing harus
memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut:
a. identitas badan hukum asing pendiri Yayasan yang
dibuktikan dengan keabsahan badan hukum pendiri
Yayasan tersebut;
b. pemisahan sebagian harta kekayaan pendiri yang
dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit
senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan
hukum pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan
tersebut; dan
c. surat . . .
-6-
Pasal 12
(1) Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang
Asing bersama Orang Indonesia, salah satu anggota
Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau
bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia.
(2) Anggota Pengurus Yayasan yang didirikan oleh Orang
Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia wajib
bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan
asing harus pemegang izin melakukan kegiatan atau
usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan
pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(4) Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan
asing yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), karena hukum berhenti dari
jabatannya.
(5) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Pengurus yang
menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal terjadinya lowongan jabatan tersebut harus sudah
diangkat penggantinya.
Pasal 13
(1) Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang
berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di
Indonesia harus pemegang izin melakukan kegiatan atau
usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan
pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
(2) Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang
berkewarganegaraan asing yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena
hukum harus meninggalkan wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 14 …
-7-
Pasal 14
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan
Pasal 13 ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat korps diplomatik
beserta keluarganya yang ditempatkan di Indonesia.
BAB VI
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN
DAN PERSETUJUAN AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN
Pasal 15
(1) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan untuk
memperoleh status badan hukum Yayasan diajukan
kepada Menteri oleh pendiri atau kuasanya melalui
notaris yang membuat akta pendirian Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri:
a. salinan akta pendirian Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
c. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa
setempat;
d. bukti penyetoran atau keterangan bank atas Nama
Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang
memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan
sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
e. surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan
kekayaan awal tersebut;
f. bukti penyetoran biaya pengesahan dan
pengumuman Yayasan.
(3) Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian
Yayasan untuk memperoleh status badan hukum Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan
kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung
sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.
Pasal 16 ...
-8-
Pasal 16
(1) Permohonan persetujuan perubahan Anggaran Dasar
Yayasan mengenai nama dan kegiatan Yayasan diajukan
kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya
melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran
Dasar Yayasan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri:
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris; dan
c. bukti penyetoran biaya persetujuan perubahan
Anggaran Dasar dan pengumumannya.
Pasal 17
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, mulai berlaku sejak tanggal persetujuan
Menteri.
BAB VII
TATA CARA PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
DAN PERUBAHAN DATA YAYASAN
Pasal 18
(1) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan
selain perubahan nama dan kegiatan Yayasan
disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan
untuk dicatat dalam Daftar Yayasan dan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri :
a. salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang
telah dilegalisir oleh notaris;
c. bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar dan pengumumannya.
(3) Selain . . .
-9-
Pasal 19
(1) Pemberitahuan perubahan data Yayasan disampaikan
kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya
dengan melampirkan dokumen yang memuat perubahan
tersebut.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku sejak tanggal perubahan data dicatat dalam
Daftar Yayasan.
BAB VIII
SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN NEGARA KEPADA YAYASAN
Pasal 20
(1) Bantuan negara adalah bantuan dari negara kepada
Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Bantuan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Pasal 21 ...
- 10 -
Pasal 21
(1) Bantuan negara hanya dapat diberikan kepada Yayasan
jika Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan
kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sesuai dengan alokasi dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat dalam
bentuk:
a. uang; dan/atau
b. jasa dan/atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan
uang yang dilakukan dengan cara hibah atau dengan
cara lain.
(3) Pelaksanaan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Bantuan negara kepada Yayasan dapat diberikan tanpa
adanya permohonan atau atas dasar permohonan dari
Yayasan.
(2) Bantuan negara kepada Yayasan yang diberikan tanpa
adanya permohonan dari Yayasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Bantuan negara yang diberikan kepada Yayasan atas
dasar permohonan, diajukan secara tertulis oleh Pengurus
Yayasan kepada:
a. menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nondepartemen yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya berkaitan dengan kegiatan
Yayasan; atau
b. gubernur, bupati, atau walikota di tempat kedudukan
Yayasan dan/atau di tempat Yayasan melakukan
kegiatannya.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilampiri dokumen:
a. fotokopi Keputusan Menteri mengenai status badan
hukum Yayasan;
b. fotokopi . . .
- 11 -
Pasal 23
Menteri terkait atau pimpinan lembaga pemerintah
nondepartemen, gubernur, bupati, atau walikota dilarang
memberikan bantuan negara kepada Yayasan jika bantuan
tersebut akan memberikan keuntungan kepada:
a. perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung
dimiliki atau dikendalikan oleh Pembina, Pengurus,
Pengawas, atau pelaksana harian Yayasan; atau
b orang atau badan usaha mitra kerja Yayasan atau pihak
lain yang menerima penyertaan dari Yayasan.
Pasal 24 ...
- 12 -
Pasal 24
(1) Yayasan yang menerima bantuan negara wajib membuat
dan menyampaikan laporan tahunan Yayasan setiap 1
(satu) tahun sekali kepada menteri terkait atau pimpinan
lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur, bupati,
atau walikota yang memberikan bantuan tersebut.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan.
Pasal 25
(1) Bantuan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
hanya dapat digunakan oleh Yayasan sesuai dengan
maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan berdasarkan
Anggaran Dasar dan sesuai dengan program kerja
Yayasan.
(2) Penggunaan bantuan negara yang telah diterima oleh
Yayasan tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab anggota
Pengurus Yayasan secara tanggung renteng.
(3) Bantuan negara yang diterima oleh Yayasan dilarang
dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak
langsung kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, atau
pihak lain.
(4) Tanggung jawab perdata sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) tidak menghapus tanggung jawab
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB IX
SYARAT DAN TATA CARA YAYASAN ASING MELAKUKAN KEGIATAN
DI INDONESIA
Pasal 26
(1) Yayasan asing dapat melakukan kegiatan di Indonesia
hanya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
(2) Yayasan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk melakukan kegiatannya di Indonesia harus
bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang
Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang
sama dengan yayasan asing tersebut.
(3) Kemitraan . . .
- 13 -
BAB X
TATA CARA PENGGABUNGAN YAYASAN
Pasal 27
(1) Penggabungan Yayasan dilakukan dengan cara
penyusunan usul rencana Penggabungan oleh Pengurus
masing-masing Yayasan.
(2) Usul rencana Penggabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
a. keterangan mengenai Nama Yayasan dan tempat
kedudukan Yayasan yang akan melakukan
Penggabungan;
b. penjelasan dari masing-masing Yayasan mengenai
alasan dilakukannya Penggabungan;
c. ikhtisar laporan keuangan Yayasan yang akan
melakukan Penggabungan;
d. keterangan mengenai kegiatan utama Yayasan dan
perubahan selama tahun buku yang sedang berjalan;
e. rincian masalah yang timbul selama tahun buku
yang sedang berjalan;
f. cara penyelesaian status pelaksana harian, pelaksana
kegiatan, dan karyawan Yayasan yang akan
menggabungkan diri;
g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
h. keterangan mengenai nama anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas; dan
i. rancangan perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang
menerima Penggabungan, jika ada.
Pasal 28 …
- 14 -
Pasal 28
(1) Rencana Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 merupakan bahan penyusunan rancangan
akta Penggabungan oleh Pengurus Yayasan yang akan
melakukan Penggabungan.
(2) Rancangan akta Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pembina
masing-masing Yayasan.
(3) Rancangan akta Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dituangkan dalam akta Penggabungan yang
dibuat di hadapan notaris, dalam bahasa Indonesia.
Pasal 29
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan tidak diikuti dengan
perubahan Anggaran Dasar maka Pengurus Yayasan yang
menerima Penggabungan wajib menyampaikan akta
Penggabungan kepada Menteri.
(2) Penggabungan mulai berlaku terhitung sejak tanggal
penandatanganan akta Penggabungan atau tanggal yang
ditentukan dalam akta Penggabungan.
(3) Tanggal yang ditentukan dalam akta Penggabungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih akhir
dari tanggal akta Penggabungan.
Pasal 30
Dalam hal Penggabungan Yayasan diikuti dengan perubahan
Anggaran Dasar, akta perubahan Anggaran Dasar disusun
oleh Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan dan
harus mendapat persetujuan dari Pembina yang menerima
Penggabungan.
Pasal 31
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan diikuti dengan
perubahan Anggaran Dasar yang tidak memerlukan
persetujuan Menteri, Pengurus Yayasan wajib
memberitahukan perubahan Anggaran Dasar kepada
Menteri dengan dilampiri salinan akta perubahan
Anggaran Dasar dan salinan akta Penggabungan.
(2) Perubahan …
- 15 -
Pasal 32
(1) Dalam hal Penggabungan Yayasan disertai perubahan
Anggaran Dasar yang mencakup ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang,
Pengurus Yayasan yang menerima Penggabungan wajib
menyampaikan akta perubahan Anggaran Dasar kepada
Menteri untuk mendapat persetujuan, dengan dilampiri
salinan akta perubahan Anggaran Dasar dan salinan akta
Penggabungan.
(2) Penggabungan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mulai berlaku sejak tanggal perubahan Anggaran
Dasar disetujui oleh Menteri atau tanggal kemudian yang
ditetapkan dalam persetujuan Menteri.
Pasal 33
Hasil Penggabungan Yayasan wajib diumumkan oleh Pengurus
Yayasan yang menerima Penggabungan dalam 1(satu) surat
kabar harian berbahasa Indonesia, paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal Penggabungan berlaku.
BAB XI
BIAYA
Pasal 34
Biaya pembuatan akta pendirian dan/atau akta perubahan
Anggaran Dasar Yayasan ditetapkan berdasarkan nilai
ekonomis dan sosiologis sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Jabatan Notaris.
Pasal 35 ...
- 16 -
Pasal 35
Biaya pengesahan akta pendirian, biaya persetujuan
perubahan Anggaran Dasar, biaya penerimaan pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar, dan pengumumannya dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya
Undang-Undang dan tidak diakui sebagai badan hukum
dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2)
Undang-Undang, harus mengajukan permohonan
pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status
badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam premise aktanya disebutkan asal-usul pendirian
Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan.
(3) Perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang belum memperoleh status
badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota
organ Yayasan secara tanggung renteng.
Pasal 37
(1) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang diakui sebagai
badan hukum menurut ketentuan Pasal 71 ayat (1)
Undang-Undang dilakukan oleh organ Yayasan sesuai
dengan Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan.
(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah
seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat
penyesuaian yang dibuktikan dengan :
1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani
oleh Pengurus Yayasan; atau
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik bagi Yayasan yang laporan tahunannya
wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang;
b. data . . .
- 17 -
Pasal 38
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 mulai berlaku sejak tanggal dicatatnya
perubahan Anggaran Dasar tersebut dalam Daftar Yayasan.
Pasal 39 ...
- 18 -
Pasal 39
Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan”
di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya
serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-
Undang.
Pasal 40
(1) Yayasan asing yang telah melakukan kegiatan di
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 26 setelah lewat jangka waktu 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku dapat dihentikan kegiatannya oleh
instansi yang berwenang atau kejaksaan untuk
kepentingan umum.
Pasal 41
Yayasan yang kekayaannya berasal dari bantuan negara yang
diberikan sebagai hibah, bantuan luar negeri, dan/atau
sumbangan masyarakat yang diterima sebelum Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku menjadi kekayaan Yayasan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 19 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
ttd
ANDI MATTALATTA
I. UMUM
Keberadaan Yayasan dalam masyarakat untuk mencapai berbagai
kegiatan, maksud, dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan telah berkembang pesat dan makin beragam coraknya.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata
hukum dalam rangka mencapai kegiatan, maksud, dan tujuannya, telah
diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut bahwa beberapa ketentuan
perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan
tersebut sebagaimana dimaksud dalam:
1. Pasal 9 ayat (4) mengenai biaya pembuatan akta notaris pendirian
Yayasan.
2. Pasal 9 ayat (5) mengenai pendirian Yayasan oleh orang asing atau
bersama-sama orang asing serta mengenai syarat dan tata cara
pendirian Yayasan.
3. Pasal 14 ayat (4) mengenai jumlah minimum harta kekayaan awal
yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri Yayasan.
4. Pasal 15 ayat (4) mengenai pemakaian nama Yayasan.
5. Pasal 27 ayat (2) mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan
Negara kepada Yayasan.
6. Pasal 61 mengenai tata cara penggabungan Yayasan.
7. Pasal 69 ayat (2) mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing
melakukan kegiatan di Indonesia.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas maka penyusunan
pengaturan pelaksanaannya diatur dalam satu Peraturan Pemerintah,
yakni Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan. Hal tersebut dimaksudkan, agar Peraturan Pemerintah
ini dengan mudah dipahami oleh masyarakat khususnya pengguna.
Adapun ...
-2-
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nama diri” adalah nama dari
Yayasan yang bersangkutan.
Contoh Nama Yayasan antara lain: Yayasan Jhonson and
Jhonson, Yayasan Al-Muttaqin, Yayasan Matahari, dan
Yayasan Rumah Abu Oei.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yayasan yang telah selesai likuidasinya, diberitahukan
kepada Menteri oleh likuidator.
Yayasan yang dinyatakan pailit dan telah selesai likuidasinya,
diberitahukan kepada Menteri oleh kurator.
Yayasan ...
-3-
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sama”, adalah sama dalam
pengucapan atau tulisan. Dalam hal demikian maka
nama tersebut dapat ditambah dengan nama desa,
dan/atau nama kabupaten/kota atau ditambah nama
lain sebagai ciri pembeda dengan nama yang sama
dengan nama Yayasan tersebut, misalnya, “Yayasan
Diponegoro Semarang” berbeda dengan “Yayasan
Diponegoro Buba’an Semarang”.
Huruf b
Contoh:
- Nama Yayasan yang bertentangan dengan
ketertiban umum, misalnya Yayasan Togel.
- Nama Yayasan yang bertentangan dengan
kesusilaan, misalnya Yayasan Pekerja Seks
Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Yayasan” pada ayat ini termasuk
Yayasan yang oleh ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-
Undang tidak diakui sebagai badan hukum.
Yang dimaksud dengan “nama lain” adalah nama yang
berbeda dengan nama semula atau dengan menambahkan
nama desa/kelurahan, kecamatan, atau kata lainnya pada
Nama Yayasan yang ditolak tersebut sehingga tampak
perbedaannya.
.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6 ...
-4-
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "senilai" adalah apabila harta
kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah,
nilai harta kekayaan tersebut sama dengan Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "senilai" adalah apabila harta
kekayaan yang dipisahkan tidak dalam bentuk uang rupiah,
nilai harta kekayaan tersebut sama dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “keabsahan harta kekayaan” adalah harta
kekayaan yang diperoleh tidak dengan cara melawan hukum,
misalnya, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “surat wasiat terbuka” adalah surat wasiat
yang dibuat di hadapan notaris sesuai dengan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan
lain”, misalnya, peraturan perundang-undangan di bidang
keimigrasian atau ketenagakerjaan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "izin melakukan kegiatan atau
usaha", misalnya:
- izin . . .
-5-
- izin kerja;
- izin melakukan penelitian;
- izin belajar;
- izin melakukan kegiatan keagamaan;
- izin usaha sesuai dengan Undang-Undang tentang
Penanaman Modal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah suami atau istri
beserta anaknya.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perubahan data Yayasan” adalah
perubahan yang bukan merupakan perubahan Anggaran
Dasar.
Contoh: - Perubahan nama Pembina, Pengurus, dan/atau
Pengawas Yayasan.
- Perubahan alamat lengkap Yayasan yang
diberitahukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 …
-6-
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
- Yang dimaksud dengan “bantuan negara dalam
bentuk jasa”, antara lain, berupa pelatihan,
beasiswa atau pemberian bantuan konsultasi
yang dinilai dengan uang.
- Yang dimaksud dengan “bantuan negara dalam
bentuk lain” dapat berupa tanah, gedung, atau
aset lain yang dimiliki negara dan/atau daerah
termasuk fasilitas yang diberikan oleh negara
dan/atau daerah.
- Yang dimaksud dengan “cara lain”, antara lain
sewa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan atau
badan hukum.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “1 (satu) tahun sekali” adalah pada
akhir tahun buku selama pemberian bantuan atau
penggunaan bantuan berlangsung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk
kegiatan penelitian dan pengembangan.
Ayat (2) . . .
-7-
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “aspek politis” adalah kegiatan
yayasan harus sesuai dengan politik luar negeri dalam
bingkai dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan kebhinekaan masyarakat
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “aspek yuridis” adalah kegiatan
yayasan asing tidak bertentangan dengan semua ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “aspek teknis” adalah kegiatan
yayasan tesebut dapat terlaksana dengan baik di lapangan.
Yang dimaksud dengan “aspek sekuriti” adalah kegiatan
yayasan tidak ditujukan untuk kegiatan intelejen asing yang
dapat merugikan keamanan bangsa dan negara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 ...
-8-
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Anggaran Dasar Yayasan yang
bersangkutan” adalah Anggaran Dasar Yayasan yang diakui
sebagai badan hukum dan belum disesuaikan dengan
Undang-Undang.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “seluruh kekayaan Yayasan”
adalah baik berupa kekayaan awal Yayasan maupun
kekayaan yang diperoleh setelah Yayasan didirikan
sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan
Yayasan pada saat penyesuaian, sehingga pada saat
penyesuaian dapat terjadi nilai seluruh kekayaan
Yayasan kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang” adalah pemberitahuannya 1
(satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian, dengan batas akhir
penyesuaiannya 6 Oktober 2008.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah
baik instansi yang memberikan izin untuk melakukan
kegiatan di Indonesia maupun instansi yang memberikan izin
orang asing masuk ke Indonesia.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TENTANG
2. Undang-Undang . . .
-2-
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Pasal 15A
b. laporan . . .
-3-
Pasal 18
(3) Selain . . .
-4-
Pasal 19
4. Di antara . . .
-5-
Pasal 19A
Pasal 37A
(3) Pemberitahuan . . .
-6-
6. Ketentuan . . .
-7-
Pasal 38
Pasal 39
Pasal II
Agar . . .
-8-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013
ttd
AMIR SYAMSUDIN
ttd
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Keberadaan Yayasan dalam masyarakat untuk mencapai kegiatan,
maksud, dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan telah berkembang pesat dan makin beragam coraknya.
Sehubungan dengan hal tersebut untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata
hukum dalam rangka mencapai kegiatan, maksud, dan tujuannya, telah
diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.
Yayasan wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
agar tetap diakui sebagai badan hukum. Namun sampai saat ini banyak
Yayasan yang belum menyesuaikan Anggaran Dasarnya berdasarkan
Undang-Undang tersebut. Oleh karena itu perlu diberikan kesempatan
kepada Yayasan-Yayasan yang ada untuk segera menyesuaikan dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Yayasan.
Pasal I
Angka 1
Pasal 15A
Cukup jelas.
Angka 2 . . .
-2-
Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Pengurus Yayasan”
adalah pengurus yang berhak mewakili Yayasan
sesuai Anggaran Dasar Yayasan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemberitahuan” adalah
pemberitahuan yang dapat dibuktikan dengan tanda
terima yang sah.
Yang dimaksud dengan “perubahan data Yayasan”
adalah perubahan yang bukan merupakan perubahan
Anggaran Dasar.
Contoh: - Perubahan nama Pembina, Pengurus,
dan/atau Pengawas Yayasan.
- Perubahan alamat lengkap Yayasan yang
diberitahukan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tanggal kemudian” adalah
tanggal setelah tanggal keputusan rapat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 19A
Cukup jelas.
Angka 5 . . .
-3-
Angka 5
Pasal 37A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -2-
MEMUTUSKAN:
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan
yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
2. Sistem Administrasi Badan Hukum yang selanjutnya
disingkat SABH adalah sistem pelayanan administrasi
badan hukum secara elektronik yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
3. Pemohon adalah Notaris yang diberikan kuasa untuk
mengajukan permohonan pengesahan badan hukum
Yayasan melalui SABH.
4. Format Isian adalah bentuk pengisian data yang
dilakukan secara elektronik untuk permohonan
pengajuan pemakaian nama Yayasan, pengesahan badan
hukum dan pemberian persetujuan perubahan anggaran
dasar, penyampaian pemberitahuan perubahan anggaran
dasar dan perubahan data Yayasan.
5. Format Isian Pengajuan Pemakaian Nama Yayasan yang
selanjutnya disebut Format Pengajuan Nama adalah
format isian untuk pengajuan nama Yayasan yang akan
dipakai dalam pendirian Yayasan ataupun perubahan
nama Yayasan.
6. Format Isian Pendirian yang selanjutnya disebut Format
Pendirian adalah format isian untuk permohonan
pengesahan badan hukum Yayasan.
7. Format Isian Perubahan Anggaran Dasar dan/atau Data
Yayasan yang selanjutnya disebut Format Perubahan
adalah format isian untuk permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar, pemberitahuan anggaran
dasar, dan/atau data Yayasan.
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -4-
BAB II
PERMOHONAN PENGAJUAN NAMA YAYASAN
Pasal 2
Permohonan Pengesahan Badan Hukum Yayasan harus
didahului dengan pengajuan nama Yayasan.
Pasal 3
(1) Pemohon mengajukan permohonan pemakaian nama
Yayasan kepada Menteri melalui SABH.
(2) Pengajuan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengisi Format Pengajuan Nama
Yayasan.
(3) Format Pengajuan Nama Yayasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. nomor pembayaran persetujuan pemakaian nama
Yayasan dari bank persepsi; dan
b. nama Yayasan yang dipesan.
Pasal 4
(1) Pemohon wajib membayar terlebih dahulu biaya
persetujuan pemakaian nama Yayasan melalui bank
persepsi untuk 1 (satu) nama Yayasan yang akan
disetujui.
(2) Besarnya biaya persetujuan pemakaian nama Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Biaya yang telah dibayarkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal dibayarkan.
(4) Biaya yang telah dibayarkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dapat ditarik kembali.
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-5-
Pasal 5
(1) Nama Yayasan yang dipesan harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemohon wajib mengisi formulir pernyataan yang berisi
bahwa nama Yayasan yang dipesan telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
bertanggung jawab penuh terhadap nama Yayasan yang
dipesan.
Pasal 6
(1) Nama Yayasan yang telah disetujui oleh Menteri
diberikan persetujuan pemakaian nama secara
elektronik.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Yayasan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
untuk 1 (satu) nama Yayasan.
Pasal 7
Dalam hal nama tidak memenuhi persyaratan pengajuan dan
pemakaian nama Yayasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri dapat menolak nama Yayasan
tersebut secara elektronik.
Pasal 8
Nama Yayasan yang telah mendapat persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berlaku untuk
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
Pasal 9
Format Pengajuan Nama Yayasan dan tata cara pengisiannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 serta surat pernyataan
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -6-
BAB III
PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM YAYASAN
Pasal 10
(1) Permohonan pengesahan badan hukum Yayasan
diajukan oleh Pemohon kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan melalui SABH.
Pasal 11
(1) Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, Pemohon harus mengajukan
permohonan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari terhitung sejak tanggal akta pendirian
ditandatangani.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengisi Format Pendirian.
Pasal 12
(1) Pemohon wajib membayar biaya permohonan pengesahan
badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 sebelum mengisi Format Pendirian.
(2) Biaya pengesahan badan hukum Yayasan dibayarkan
melalui bank persepsi.
(3) Besarnya biaya pengesahan badan hukum Yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-7-
Pasal 13
(1) Pengisian Format Pendirian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) juga dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa surat pernyataan secara elektronik dari
pemohon tentang dokumen untuk pendirian Yayasan
yang telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
pendirian Yayasan.
(4) Dokumen untuk pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi
a. salinan akta pendirian Yayasan;
b. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat
lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan dan diketahui oleh lurah/kepala desa
setempat atau dengan nama lainnya;
c. bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama
Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang
memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan
sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
d. surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan
kekayaan awal tersebut;
e. bukti penyetoran biaya persetujuan pemakaian
nama, pengesahan, dan pengumuman Yayasan;
f. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa
kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan;
dan
g. surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk
memperoleh kartu nomor pokok wajib pajak dan
laporan penerimaan surat pemberitahuan tahunan
pajak.
(5) Selain melengkapi dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bagi Yayasan yang Pendirinya
orang asing, orang asing bersama-sama dengan orang
Indonesia, atau badan hukum asing harus melampirkan
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -8-
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-9-
Pasal 14
(1) Pemohon wajib mengisi surat pernyataan secara
elektronik yang menyatakan data isian pengesahan
badan hukum Yayasan dan keterangan mengenai
dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan serta Pemohon
bertanggung jawab penuh terhadap data isian dan
keterangan tersebut.
(2) Dalam hal Format Pendirian Yayasan dan dokumen
pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan
tidak berkeberatan atas permohonan pengesahan badan
hukum Yayasan secara elektronik.
Pasal 15
(1) Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai
pengesahan badan hukum Yayasan dalam jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
pernyataan tidak berkeberatan dari Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemohon secara elektronik.
(3) Notaris dapat langsung melakukan pencetakan sendiri
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
Yayasan, menggunakan kertas berwarna putih ukuran
F4/Folio dengan berat 80 (delapan puluh) gram.
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh
Notaris serta memuat frasa yang menyatakan “Keputusan
Menteri ini dicetak dari SABH”.
Pasal 16
Dalam hal Format Pendirian pengesahan badan hukum
Yayasan yang dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, Keputusan Menteri tersebut
dicabut.
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -10-
Pasal 17
Format Pendirian dan tata cara pengisiannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 serta surat pernyataan dan tata
cara pengisiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN
Pasal 18
(1) Perubahan anggaran dasar tertentu harus mendapat
persetujuan Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. nama Yayasan; dan
b. kegiatan Yayasan.
(3) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dimuat atau dinyatakan dalam akta Notaris
dalam Bahasa Indonesia.
(4) Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada
Menteri, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal akta Notaris yang
memuat perubahan anggaran dasar.
(5) Apabila jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) telah lewat, permohonan
persetujuan perubahan anggaran dasar tidak dapat
diajukan kepada Menteri.
Pasal 19
Perubahan anggaran dasar yang diputuskan pembina di luar
rapat pembina harus dinyatakan dalam akta Notaris.
Pasal 20
Permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) diajukan oleh
Pemohon melalui SABH dengan cara mengisi Format
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-11-
Pasal 22
Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan badan
hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan
Pasal 14 sampai dengan Pasal 16, berlaku secara mutatis
mutandis untuk tata cara permohonan persetujuan
perubahan anggaran dasar Yayasan.
Pasal 23
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 juga harus dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang disampaikan secara elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan anggaran dasar yang
telah lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan anggaran dasar Yayasan.
(4) Dokumen perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan oleh Notaris, yang
meliputi:
a. minuta akta perubahan anggaran dasar Yayasan;
b. notulen rapat Pembina atau keputusan pembina di
luar rapat pembina;
c. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan
penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak
Yayasan;
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -12-
BAB V
PEMBERITAHUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
YAYASAN DAN PERUBAHAN DATA YAYASAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan
Pasal 24
(1) Perubahan anggaran dasar Yayasan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 cukup diberitahukan oleh
Pemohon kepada Menteri.
(2) Perubahan anggaran dasar Yayasan bagi Yayasan yang
sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan
namanya cukup diberitahukan oleh Pemohon kepada
Menteri.
(3) Permohonan pemberitahuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diajukan oleh Pemohon melalui SABH dengan cara
mengisi Format Perubahan dilengkapi dengan dokumen
pendukung.
Pasal 25
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) juga harus
dilengkapi dengan dokumen pendukung yang
disampaikan secara elektronik.
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-13-
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -14-
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-15-
Pasal 26
(1) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan
badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 16, berlaku
secara mutatis mutandis untuk tata cara permohonan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar Yayasan.
(2) Surat penerimaan pemberitahuan dari Menteri wajib
ditandatangani dan dibubuhi cap jabatan oleh Notaris
serta memuat frasa yang menyatakan “Surat Penerimaan
Pemberitahuan ini dicetak dari SABH”.
Bagian Kedua
Pemberitahuan Perubahan Data Yayasan
Pasal 27
(1) Perubahan data Yayasan cukup diberitahukan oleh
Pemohon kepada Menteri.
(2) Perubahan data Yayasan dengan mengisi Format
Perubahan pada SABH.
(3) Perubahan data Yayasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. perubahan pembina;
b. perubahan atau pengangkatan kembali pengurus
dan/atau pengawas; dan
c. perubahan alamat lengkap.
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -16-
Pasal 28
(1) Pengisian Format Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) juga harus dilengkapi dengan
dokumen pendukung yang disampaikan secara
elektronik.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa pernyataan secara elektronik dari Pemohon
mengenai dokumen perubahan data Yayasan yang telah
lengkap.
(3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemohon juga harus mengunggah akta
perubahan data Yayasan.
(4) Dokumen perubahan data Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disimpan oleh Notaris, untuk:
a. perubahan pembina, berupa:
1. minuta akta tentang perubahan pembina; dan
2. fotokopi identitas pembina.
b. perubahan atau pengangkatan kembali pengurus
dan/atau pengawas, berupa:
1. minuta akta tentang perubahan atau
pengangkatan kembali pengurus dan/atau
pengawas; dan
2. fotokopi identitas pengurus dan/atau
pengawas.
c. perubahan alamat lengkap, berupa:
1. minuta akta tentang perubahan alamat;
2. surat pernyataan dari pengurus Yayasan yang
diketahui oleh lurah/kepala desa atau dengan
nama lain atau pengelola gedung; dan
3. fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan
laporan penerimaan surat pemberitahuan
tahunan pajak Yayasan.
Pasal 29
(1) Ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan
badan hukum Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 sampai dengan Pasal 16, berlaku secara mutatis
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-17-
Pasal 30
Pengisian Format Perubahan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 24 dapat dilakukan juga
secara bersama dengan pengisian Format Perubahan data
Yayasan.
BAB VI
PERMOHONAN SECARA NONELEKTRONIK
Pasal 31
(1) Dalam hal permohonan pengesahan badan hukum,
permohonan perubahan anggaran dasar, atau
permohonan perubahan data Yayasan tidak dapat
diajukan secara elektronik disebabkan oleh:
a. Notaris yang tempat kedudukannya belum tersedia
jaringan internet; atau
b. SABH tidak berfungsi sebagaimana mestinya
berdasarkan pengumuman resmi oleh Menteri,
Pemohon dapat mengajukan permohonan secara manual.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan melampirkan:
a. dokumen pendukung; dan/atau
b. surat keterangan dari kepala kantor telekomunikasi
setempat yang menyatakan bahwa tempat
kedudukan Notaris yang bersangkutan belum
terjangkau oleh fasilitas internet.
www.peraturan.go.id
2016, No.114 -18-
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, permohonan
perubahan anggaran dasar dan perubahan data Yayasan yang
telah diajukan dan sedang diproses sebelum Peraturan
Menteri ini mulai berlaku, diproses berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Yayasan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 5 Tahun 2014
tentang Pengesahan Badan Hukum Yayasan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 393), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
www.peraturan.go.id
2016, No.114
-19-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2016
ttd
YASONNA H. LAOLY
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
www.peraturan.go.id
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.709, 2019 KUMHAM. Permohonan Pengesahan Badan
Hukum. Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar.
Penyampaian Pemberitahuan. Perubahan
Anggaran Dasar dan Perubahan Data Yayasan
Tata Cara. Perubahan.
www.peraturan.go.id
2019, No.709 -2-
www.peraturan.go.id
2019, No.709
-3-
www.peraturan.go.id
2019, No.709 -4-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN
BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR SERTA PENYAMPAIAN PEMBERITAHUAN
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN DATA
YAYASAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan
Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian
Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan
Data Yayasan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 114) diubah sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Nama Yayasan yang dipesan harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(1a) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), nama Yayasan harus
memenuhi syarat:
a. menggunakan huruf latin;
b. minimal terdiri dari 3 (tiga) kata;
c. terdiri dari rangkaian huruf yang membentuk
kata;
d. tidak menggunakan angka dan tanda baca;
e. tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan
serta kegiatan sebagai nama Yayasan;
www.peraturan.go.id
2019, No.709
-5-
Pasal 5A
(1) Nama Yayasan yang diajukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat disertai dengan
singkatan nama.
(2) Singkatan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh sama dengan nama Yayasan dan
singkatan nama Yayasan lain yang telah terdaftar
dalam Daftar Yayasan.
(3) Singkatan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berupa:
a. singkatan yang terdiri atas huruf depan Nama
Yayasan; atau
b. singkatan yang merupakan akronim dari Nama
Yayasan.
www.peraturan.go.id
2019, No.709 -6-
Pasal 6
(1) Nama Yayasan yang telah disetujui oleh Menteri
diberikan persetujuan pemakaian nama secara
elektronik.
(1a) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pemohon dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengajuan diterima.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a. nomor pemesanan nama;
b. nama Yayasan yang dapat dipakai;
c. tanggal pemesanan;
d. tanggal kedaluwarsa; dan
e. kode pembayaran.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya untuk 1 (satu) nama Yayasan.
Pasal 7
Menteri dapat memberikan persetujuan, penolakan, atau
pelarangan atas pengajuan Nama Yayasan yang
disampaikan oleh Pemohon.
Pasal 8A
Nama Yayasan yang telah berakhir status badan
hukumnya dihapus dari Daftar Yayasan yang ada pada
www.peraturan.go.id
2019, No.709
-7-
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2019
ttd
YASONNA H. LAOLY
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
www.peraturan.go.id
12
ATURAN TEKNIS
KEUANGAN ORMAS
SALINAN
^uur#i,io,',?i5n,u'o
TENTANG
2. Undang-Undang
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-2-
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OL3 Nomor 50, Tambahan
kmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 54O6);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2Ol3 Nomor 116,
Tambahan kmbaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5430);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 261,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5958);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2016 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh
Warga Negara Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OL6 Nomor 262, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5959);
MEMUTUSKAN:
BAB I
PRESIDEN
REPU BLII( INDONESIA
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
5. Penerima .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
5. Penerima Sumbangan adalah orang perseorangan
atau Kbrporasi yang menerima Sumbangan.
6. Tindak Pidana Pendanaan Terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
yang mengatur pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pendanaan terorisme.
Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda
fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu membaca atau memahaminya.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.
Pasal 2
(1) Lingkup Ormas yang diatur dalam Peraturan
Presiden ini meliputi:
a. Ormas yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan dapat menerima Sumbangan dari luar
negeri dan/ atau memberikan Sumbangan ke luar
negeri; dan
b. Ormas yang sumber keuangannya secara
signifrkan atau sebagian besar berasal dari
sumbangan masyarakat baik untuk keperluan
operasional, kas, maupun kegiatan Ormas yang
bersangkutan.
(2) Ormas .
PRESIDEN
R EPU B LII(
INDONESIA
-5-
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi
Ormas yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum.
BAB II
TATA CARA PENERIMAAN SUMBANGAN
Pasal 3
(1) Ormas yang akan menerima Sumbangan wajib
melakukan identilikasi terhadap Pemberi
Sumbangan.
(2) Identilikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal:
a. Sumbangan yang diberikan paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau yang
nilainya setara dengan itu;
b. Sumbangan yang akan diterima berasal dari
Pemberi Sumbangan yang berkewargzrnegaraan
atau berdomisili di negara yang dinyatakan belum
memadai dalam melaksanakan konvensi dan
standar internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; atau
c. Sumbangan yang akan diterima dimaksudkan
untuk diberikan kepada Penerima Sumbangan di
negara yang dinyatakan belum memadai dalam
melaksanakan konvensi dan standar
internasional di bidang pencegal.an dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
(3) Negara .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
(3) Negara yang dinyatakan belum memadai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c sesuai dengan informasi yang disampaikan
oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan kepada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri.
Pasal 4
(1) Ormas Penerima Sumbangan melakukan identilikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melalui
pengumpulan informasi Pemberi Sumbangan.
(21 Pengumpulan informasi mengenai Pemberi
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
paling sedikit mencakup:
a. bagi orang perseorangan:
1) nama lengkap;
2) tempat dan tanggal lahir;
3) nomor identitas diri;
4) alamat tempat tinggal;
5) pekerjaan;
6) kewarganegaraan;
7) jenis kelamin;
8) tujuan pemberian Sumbangan; dan
9) bentuk dan nilai Sumbangan.
b. bagi Korporasi:
l) nama Korporasi;
2l susunan pengurus Korporasi;
3) identitas pengurus Korporasi;
4l Nomor Pokok Wajib Pajak atau Dokumen
sejenis bagi Korporasi asing;
5) alamat kedudukan Korporasi;
6) status Korporasi;
7) tqiuan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7 -
Pasal 5
Ormas wajib menolak menerima Sumbangan jika:
a. Pemberi Sumbangan menolak untuk memberikan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
atau
b. identitas Pemberi Sumbangan termasuk dalam orang
atau Korporasi yang tercantum dalam daftar terduga
teroris dan organisasi teroris yang dikeluarkan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 6
BAB III
TATA CARA PEMBERIAN SUMBANGAN
Pasal 7
(1) Ormas yang akan memberikan Sumbangan wajib
melakukan identifikasi dan verifikasi calon Penerima
Sumbangan.
(2) Identifikasi .
PRESIDEN
REPUBLIK IN DO N ESIA
-8-
(21 Identifikasi dan verilikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) dilakukan dalam hal calon Penerima
Sumbangan berkewarganegaraan atau berdomisili di
negara yang dinyatakan belum memadai dalam
melaksanakan konvensi dan standar internasional di
bidang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.
(3) Negara yang dinyatakan belum memadai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
informasi yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan kepada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang dalam negeri.
Pasal 8
(1) Ormas Pemberi Sumbangan melakukan identilikasi
sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 7 melalui
pengumpulan informasi calon Penerima Sumbangan.
(2t Pengumpulan informasi mengenai calon Penerima
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
paling sedikit mencakup:
a. bagi orang perseorangan:
l) nama lengkap;
2) tempat dan tanggal lahir;
3) nomor identitas;
4) alamat tempat tinggal;
5) pekerjaan;
6) kewargane garaai;
7) jenis kelamin; dan
8) bentuk dan nilai Sumbangan.
b. bagi Korporasi:
1) nama Korporasi;
2) susunan .
PRESIDEN
REPUBLII( INDONESIA
-9-
2) susunan pengurus Korporasi;
3) identitas pengurus Korporasi;
4) Nomor Pokok Wajib Pajak atau Dokumen
sejenis bagi Korporasi asing;
5) alamat kedudukan Korporasi;
6) status Korporasi;
7) tqjuan penerimaan Sumbangan; dan
8) bentuk dan nilai Sumbangan.
Pasal 9
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dilakukan melalui penelitian terhadap Dokumen
yang memuat informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dengan sumber informasi dan/atau
Dokumen lainnya yang dapat dipercaya serta
memastikan bahwa data tersebut merupakan data
terkini.
(21 Ormas dapat melakukan klarifikasi dengan calon
Penerima Sumbangan untuk meneliti dan meyakini
keabsahan dan kebenaran Dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal diperlukan, Ormas dapat meminta kepada
calon Penerima Sumbangan untuk memberikan lebih
dari I (satu) Dokumen identitas yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan
kebenaran identitas calon Penerima Sumbangan.
Pasal 10
Ormas dilarang memberikan Sumbangan jika:
a. calon Penerima Sumbangan menolak untuk
memberikan informasi dan Dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8; atau
b. identitas
PRESIDEN
R EPU B LII(
INDONESIA
- 10-
b. identitas calon Penerima Sumbangan termasuk
dalam orang atau Korporasi yang tercantum dalam
daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang
dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Pasal 1 I
Ormas wajib menyimpan catatan informasi identitas
Penerima Sumbangan paling singkat 5 (lima) tahun
sejak tanggal transaksi pemberian Sumbangan selesai
dilakukan.
BAB IV
KER.IA SAMA PENERIMAAN DAN
PEMBERIAN SUMBANGAN
Pasal 12
(t) Dalam hal Ormas yang menerima Sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau
memberikan Sumbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tujuan untuk
disalurkan melalui suatu kerja sama wajib
melakukan identilikasi dan verilikasi terhadap orang
perseorangan atau Korporasi.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk kerja sama dengan asosiasi Ormas.
(3) Identifikasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi informasi mengenai nama,
alamat, dan kedudukan orang perseorangan atau
Korporasi.
Pasal 13. . .
PRESIOEN
REPU BLII( INDONESIA
- 11-
Pasal 13
Pasal 14
BABV.
-$",D
PRESIDEN
REPU BLII< INDONESIA
-12-
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 15
(1) Pengawasan terhadap penerimaan atau pemberian
Sumbangan oleh Ormas dalam pencegahan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme dilakukan oleh
Menteri.
(21 Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
Pasal 16
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
dalam bentuk:
a. meminta laporan kepada Ormas mengenai
penerimaan dan pemberian Sumbangan; dan
b. meminta klarilikasi atau penjelasan mengenai
penerimaan dan pemberian Sumbangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan hasil penilaian risiko Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme.
Pasal 17
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme terkait
penerimaan dan pemberian Sumbangan oleh Ormas
dapat dilakukan kerja sama pertukaran informasi.
(2) Pelaksanaan .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-13-
(21 Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
nasional dilakukan melalui forum koordinasi lintas
instansi terkait yang difasilitasi oleh Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan.
(3) Pelaksanaan kerja sama pertukaran informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam lingkup
internasional dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang hubungan luar
negeri dan perjanjian internasional.
Pasal 18
Pasal 19
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Agar .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t4-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Febntari 20 17
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2017
MENTERI HUKUM DAN HAKASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat
warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk
berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Pihak asing adalah pemerintah luar negeri, pemerintah negara bagian atau pemerintah
daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi di bawahnya,
organisasi multilateral, lembaga internasional, organisasi kemasyarakatan luar negeri,
serta badan usaha milik pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan
badan swasta di luar negeri.
3. Bantuan Pihak Asing adalah bantuan yang berasal dari pemerintah luar negeri,
pemerintah negara bagian atau pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-
Bangsa atau organisasi multilateral lainnya termasuk badan-badannya, organisasi atau
lembaga internasional, organisasi kemasyarakatan luar negeri, serta badan usaha milik
pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan badan swasta di luar negeri.
4. Hibah adalah penerimaan dari pemerintah luar negeri, pemerintah negara bagian atau
pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi
multilateral lainnya termasuk badan-badannya, organisasi atau lembaga internasional,
organisasi kemasyarakatan luar negeri, serta badan usaha milik pemerintah
negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan badan swasta di luar negeri dalam
bentuk rupiah maupun barang dan atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang
tidak perlu dikembalikan.
5. Pinjaman adalah penerimaan dari pemerintah luar negeri, pemerintah negara bagian
atau pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi
multilateral lainnya termasuk badan-badannya, organisasi atau lembaga internasional,
organisasi kemasyarakatan luar negeri, serta badan usaha milik pemerintah
negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan badan swasta di luar negeri.
6. Naskah Perjanjian Hibah, selanjutnya disingkat NPH adalah naskah perjanjian antara
pemberi hibah dan penerima hibah.
7. Naskah Perjanjian Penerusan Hibah, selanjutnya disingkat NPPH adalah naskah
perjanjian antara Pemerintah atau kuasanya dengan organisasi kemasyarakatan dalam
rangka penerusan hibah dari pihak asing.
8. Naskah Perjanjian Pinjaman, yang selanjutnya disingkat NPP, adalah naskah perjanjian
atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman dari
Pihak asing kepada Organisasi Kemasyarakatan.
BAB II
SUMBER, JENIS, BENTUK DAN SIFAT BANTUAN
DARI PIHAK ASING
Pasal 2
(1) Bantuan pihak asing bersumber dari:
a. pemerintah luar negeri;
b. pemerintah negara bagian atau pemerintah daerah di luar negeri;
c. Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi di bawahnya;
d. organisasi multilateral;
e. lembaga internasional;
f. organisasi kemasyarakatan luar negeri; dan/atau
g. badan usaha milik pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri.
(2) Bantuan dari pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari negara
yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara Republik Indonesia.
Pasal 3
(1) Bantuan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat berupa:
a. uang;
b. barang; dan/atau
c. jasa tenaga ahli.
(2) Bantuan pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. hibah; dan/atau
b. pinjaman.
Pasal 4
(1) Bantuan jasa tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c sesuai
ketentuan perundang-undangan di bidang keimigrasian dan ketenagakerjaan.
(2) Hibah berupa uang dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dikenakan pajak, bea dan/atau cukai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, hanya dalam bentuk
barang bergerak dan wajib dikembalikan.
(2) Pinjaman dalam bentuk barang bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk kegiatan pameran, peragaan, penelitian dan/atau kegiatan pendidikan.
Pasal 6
(1) Bantuan dari pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersifat tidak mengikat.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh digunakan untuk kegiatan
yang:
a. bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. mengganggu dan/atau mengancam kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. mengganggu dan/atau memecah belah persatuan, kesatuan, dan kerukunan
nasional;
d. mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
e. menimbulkan keresahan sosial, kekacauan perekonomian nasional dan
daerah;dan/atau
f. terkait dengan kegiatan intelijen, pencucian uang, terorisme, dan separatisme.
BAB III
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PENERIMAAN BANTUAN DARI PIHAK ASING
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 7
(1) Untuk dapat menerima bantuan dari pihak asing, organisasi kemasyarakatan harus
terdaftar di:
a. Departemen Dalam Negeri; atau
b. instansi pemerintah lainnya; dan/atau
c. pemerintah daerah.
(2) Selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), organisasi kemasyarakatan dapat
menerima bantuan pihak asing dengan persyaratan:
a. ada kesesuaian bantuan dengan ruang lingkup kegiatan organisasi kemasyarakatan;
b. mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan maksud dan
tujuan pemberian bantuan; dan
c. bantuan dan kegiatan yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tata Cara
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
(1) Bantuan pihak asing dikelompokkan dalam jenis:
a. bantuan pihak asing yang dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan
melalui Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah bersumber dari pemerintah negara
bagian atau pemerintah daerah di luar negeri, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
organisasi multilateral lainnya termasuk badan-badannya, serta badan usaha milik
pemerintah negara/negara bagian/daerah di luar negeri dan organisasi
kemasyarakatan luar negeri dan badan swasta di luar negeri.
b. bantuan pihak asing yang dapat diberikan langsung kepada organisasi
kemasyarakatan bersumber dari organisasi kemasyarakatan luar negeri dan badan
swasta di luar negeri.
(2) Bantuan dari pihak asing berupa hibah dapat diterima dengan cara:
a. langsung; atau
b. tidak langsung.
(3) Bantuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara:
a. pengiriman uang melalui rekening bank; atau
b. pemberian uang/barang kepada penerima bantuan.
(4) Bantuan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara:
a. penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional;
b. penerusan dari Pemerintah; atau
c. penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 9
(1) Bantuan dari pihak asing berupa pinjaman dapat diterima dengan cara:
a. langsung; atau
b. tidak langsung.
(2) Bantuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara
pemberian barang kepada penerima bantuan.
(3) Bantuan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara:
a. penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional;
b. penerusan dari Pemerintah; atau
c. penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.
Paragraf 2
Penerimaan Bantuan Dengan Cara Langsung
Pasal 10
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan asing secara langsung wajib
melaporkan rencana penerimaan bantuan kepada:
a. Menteri Dalam Negeri, untuk organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya
nasional;
b. Menteri Dalam Negeri melalui gubernur, untuk organisasi kemasyarakatan yang
cakupan wilayah kerjanya provinsi; atau
c. Menteri Dalam Negeri melalui bupati/walikota dengan tembusan gubernur, untuk
organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya kabupaten/kota.
Pasal 11
Laporan rencana penerimaan bantuan asing meliputi:
a. asal sumber bantuan;
b. maksud dan tujuan bantuan;
c. sifat dan jenis bantuan;
d. jumlah dan jangka waktu bantuan;
e. rencana pemanfaatan bantuan;
f. ketersediaan dana pendamping yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan dan
rencana penggunaannya;
g. nomor rekening bank nasional dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan asing;
dan
h. Nomor Pokok Wajib Pajak dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan asing.
Pasal 12
Menteri Dalam Negeri dapat memberikan persetujuan rencana penerimaan bantuan asing
bagi organisasi kemasyarakatan setelah berkoordinasi dengan departemen/lembaga
pemerintah non departemen terkait untuk mendapatkan pertimbangan.
Pasal 13
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diberikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. pimpinan departemen/lembaga Pemerintah non departemen terkait.
Paragraf 3
Penerimaan Bantuan Berupa Pinjaman
Pasal 14
(1) Dalam hal bantuan berupa pinjaman, persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah perjanjian pemberian pinjaman antara
pihak pemberi bantuan asing dengan organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan penerima bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.
Pasal 15
Naskah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. para pihak;
b. obyek;
c. tujuan dan dampak;
d. ruang lingkup , yang meliputi:
1) kelompok sasaran;
2) wilayah/tempat pelaksanaan kegiatan;
3) jadwal kegiatan;
4) jumlah dan keahlian tenaga kerja asing dan domestik;
5) besaran, jenis, sifat dan bentuk bantuan;
e. hak dan kewajiban para pihak;
f. jangka waktu kerjasama;
g. pemantauan dan pelaporan;
h. pengakhiran perjanjian;
i. keadaan memaksa; dan
j. penyelesaian perselisihan.
Pasal 16
(1) Organisasi kemasyarakatan yang menerima bantuan asing dapat bekerja sama dengan
organisasi kemasyarakatan lain dalam melaksanakan kegiatannya.
(2) Organisasi kemasyarakatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Paragraf 4
Penerimaan Bantuan Berupa Hibah
Pasal 17
(1) Dalam hal bantuan berupa hibah, persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ditindaklanjuti dengan naskah perjanjian hibah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Salinan naskah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.
Paragraf 5
Penerimaan Bantuan Melalui Penerusan
Dari Organisasi Kemasyarakatan Afiliasi Internasional
Pasal 18
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan dengan cara tidak langsung
melalui penerusan dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional wajib melaporkan
rencana penerimaan bantuan dimaksud kepada:
a. Menteri Dalam Negeri, untuk organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya
nasional;
b. Menteri Dalam Negeri melalui gubernur, untuk organisasi kemasyarakatan yang
cakupan wilayah kerjanya provinsi;
c. Menteri Dalam Negeri melalui bupati/walikota dengan tembusan gubernur, untuk
organisasi kemasyarakatan yang cakupan wilayah kerjanya kabupaten/kota.
Pasal 19
Laporan rencana penerimaan bantuan asing meliputi:
a. asal sumber bantuan;
b. maksud dan tujuan bantuan;
c. sifat dan jenis bantuan;
d. jumlah dan jangka waktu bantuan;
e. rencana pemanfaatan bantuan;
f. ketersediaan dana pendamping yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan dan
rencana penggunaannya;
g. nomor rekening bank nasional dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan luar
negeri; dan
h. Nomor Pokok Wajib Pajak dari organisasi kemasyarakatan penerima bantuan luar
negeri.
Pasal 20
Menteri Dalam Negeri dapat memberikan persetujuan rencana penerimaan bantuan asing
bagi organisasi kemasyarakatan setelah berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri dan
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait untuk mendapatkan pertimbangan.
Pasal 21
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diberikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. pimpinan departemen/lembaga Pemerintah non departemen terkait.
Pasal 22
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditindaklanjuti dengan penyusunan
naskah perjanjian antara pihak pemberi bantuan dengan organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.
(4) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.
Pasal 23
Organisasi kemasyarakatan yang menerima bantuan dari pihak asing melalui penerusan
dari organisasi kemasyarakatan afiliasi internasional dapat bekerjasama dengan organisasi
kemasyarakatan lain dalam melaksanakan kegiatannya.
Paragraf 6
Penerimaan Bantuan Melalui Penerusan Dari Pemerintah
Pasal 24
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan dengan cara tidak langsung
melalui penerusan dari Pemerintah:
a. ditunjuk oleh Pemerintah cq. departemen mitra kerja pihak sumber bantuan asing; atau
b. mengajukan permohonan kepada Pemerintah cq. departemen mitra kerja pihak sumber
bantuan asing.
Pasal 25
Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dilakukan setelah
Memorandum Saling Pengertian (MSP) antara Pemerintah cq. departemen mitra kerja
dengan pihak sumber bantuan asing.
Pasal 26
Organisasi kemasyarakatan penerima bantuan dengan cara tidak langsung melalui
penerusan dari Pemerintah harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.
Pasal 27
(1) Penunjukan organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a
ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah perjanjian antara pihak sumber bantuan
asing dengan organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan penerima bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen mitra kerja pemberi bantuan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak ditandatangani.
(4) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.
Paragraf 7
Penerimaan Bantuan Melalui Penerusan Dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 28
Penerimaan bantuan asing dengan cara tidak langsung kepada organisasi kemasyarakatan
melalui penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan dengan cara:
a. departemen yang akan menerima bantuan asing memberitahukan kepada pemerintah
daerah untuk menunjuk organisasi kemasyarakatan yang akan menerima penerusan
bantuan asing;
b. pemerintah daerah menunjuk organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan
asing berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh depatemen yang akan
meneruskan bantuan.
Pasal 29
Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan setelah Memorandum Saling
Pengertian (MSP) antara Pemerintah cq. departemen mitra kerja dengan pihak pemberi
bantuan asing.
Pasal 30
Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan dengan cara tidak langsung
melalui penerusan dari Pemerintah dan pemerintah daerah harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 31
(1) Penunjukan organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ditindaklanjuti dengan penyusunan naskah perjanjian antara pemberi bantuan dengan
organisasi kemasyarakatan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak kepada Menteri Dalam
Negeri dengan tembusan kepada:
a. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen mitra kerja pemberi bantuan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.
BAB IV
PERSYARATAN DAN TATA CARA
PEMBERIAN BANTUAN KEPADA PIHAK ASING
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 32
Organisasi kemasyarakatan yang akan memberikan bantuan kepada pihak asing harus
mendapat persetujuan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Untuk dapat memberi bantuan kepada pihak asing, organisasi kemasyarakatan harus
terdaftar di:
a. Departemen Dalam Negeri;
b. instansi pemerintah lainnya; atau
c. pemerintah daerah.
(2) Bantuan kepada pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan kepada penerima bantuan di negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan negara Republik Indonesia.
(3) Bantuan kepada pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
diberikan dengan syarat:
a. ditujukan untuk kegiatan kemanusiaan;
b. tidak bersumber dari hasil tindak pidana dan/atau bertujuan menyembunyikan atau
menyamarkan hasil tindak pidana;
c. tidak dipergunakan untuk kegiatan melawan hukum di negara penerima bantuan dan
hukum internasional;
d. tidak mengganggu hubungan diplomatik dengan negara penerima bantuan; dan/atau
e. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di
dalam negeri.
Bagian Kedua
Tata Cara
Pasal 34
(1) Bantuan kepada pihak asing dapat diberikan dengan cara:
a. langsung; atau
b. tidak langsung.
(2) Bantuan langsung kepada pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan cara:
a. pengiriman uang melalui rekening bank;
b. pemberian uang/barang kepada penerima bantuan; atau
c. bantuan jasa tenaga kerja.
(3) Bantuan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:
a. penerusan melalui organisasi kemasyarakatan di negara penerima;
b. penerusan melalui pemerintah negara penerima; atau
c. penerusan melalui pemerintah daerah atau negara bagian di negara penerima.
Pasal 35
Organisasi kemasyarakatan yang akan memberikan bantuan dengan cara langsung ke
pihak asing wajib melaporkan rencana pemberian bantuan dimaksud kepada:
a. Menteri Dalam Negeri, untuk organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan yang
cakupan wilayah kerjanya nasional;
b. Menteri Dalam Negeri melalui gubernur, untuk organisasi kemasyarakatan pemberi
bantuan yang cakupan wilayah kerjanya provinsi;
c. Menteri Dalam Negeri melalui bupati/walikota dengan tembusan gubernur, untuk
organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan yang cakupan wilayah kerjanya
kabupaten/kota.
Pasal 36
Laporan rencana pemberian bantuan meliputi:
a. maksud dan tujuan bantuan;
b. sifat dan jenis bantuan;
c. pihak penerima bantuan;
d. informasi tentang sumber bantuan;
e. jumlah dan jangka waktu bantuan; dan
f. rencana pemanfaatan pemberian bantuan.
Pasal 37
Menteri Dalam Negeri dapat memberikan persetujuan rencana pemberian bantuan kepada
pihak asing oleh organisasi kemasyarakatan setelah berkoordinasi dengan departemen/
lembaga pemerintah non departemen terkait untuk mendapatkan pertimbangan.
Pasal 38
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 diberikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. pimpinan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
b. gubernur/bupati/walikota; dan
c. pimpinan departemen/lembaga Pemerintah non departemen terkait.
Pasal 39
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ditindaklanjuti dengan penyusunan
naskah perjanjian pemberian bantuan antara pihak pemberi bantuan dengan pihak
penerima bantuan.
(2) Salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pimpinan organisasi kemasyarakatan pemberi bantuan kepada Menteri Dalam Negeri
dengan tembusan kepada:
a. gubernur/bupati/walikota; dan
b. pimpinan departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait.
(3) Penyampaian salinan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak naskah kerjasama ditandatangani.
(4) Bentuk naskah perjanjian berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 15.
BAB V
INFORMASI PELAKSANAAN KEGIATAN
Pasal 40
(1) Pelaksanaan penerimaan bantuan asing dan pemberian bantuan kepada pihak asing
oleh organisasi kemasyarakatan diinformasikan kepada masyarakat melalui media
publik.
(2) Informasi melalui media publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan.
(3) Hasil pelaksanaan kegiatan organisasi kemasyarakatan yang menerima bantuan asing
dan kegiatan pemberian bantuan kepada pihak asing diinformasikan secara menyeluruh
dan periodik kepada masyarakat.
(4) Penyampaian informasi hasil pelaksanaan kegiatan organisasi kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui pagelaran/pameran hasil
karya organisasi kemasyarakatan.
(5) Menteri Dalam Negeri memfasilitasi dan mengkoordinasikan penyelenggaraan
pagelaran/pameran hasil karya organisasi kemasyarakatan.
BAB VI
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 41
(1) Pemantauan kegiatan pemberian bantuan dari dan kepada pihak asing dilakukan
bersama oleh Menteri Dalam Negeri dan organisasi kemasyarakatan yang
bersangkutan.
(2) Hasil pemantauan menjadi bahan masukan untuk evaluasi efektifitas dan efisiensi
pendayagunaan bantuan dan pemberian bantuan kepada pihak asing.
(3) Menteri Dalam Negeri mengkoordinasikan penyelenggaraan rapat koordinasi tahunan
evaluasi kerjasama antara organisasi kemasyarakatan dengan pihak asing.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari
penerimaan bantuan asing atau pemberian bantuan kepada pihak asing yang sedang
berlangsung, tetap dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15-8-2008
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd.
H. MARDIYANTO
13
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
PUTUSAN
Nomor 82/PUU-XI/2013
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 12 September 2013
memberi kuasa kepada 1). Dr. Syaiful Bakhri, S.H., MH., 2). Dr. Trisno
Rahardjo, S.H., M. Hum., 3). Dr. Danang Wahyu Muhammad, S.H., M.Hum., 4).
Dr. Natangsa Surbakti, S.H., M.H., 5). Noor Ansyari. S.H., 6). Ibnu Sina
Chandranegara, S.H., 7). Bachtiar, S.H., 8). Mochamad Iksan, S.H., M.H., 9).
Sudaryono, S.H., M.Hum., 10). Iwan Satriawan, S.H., M.CL., 11). Muhammad
Najih, S.H., MH., 12). Aris Budi Cahyono, S.H., 13). Mujahid Latief, S.H., MH.,
14). Iswanto, S.H., M.Hum., 15). Jamil Burhan, S.H., 16). Saptono Hariadi, S.H.
Kesemuanya adalah Advokat dan Pembela Umum, yang tergabung dalam Tim
Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
yang beralamat di Jalan Menteng Raya Nomor 62, Jakarta Pusat, baik sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2
2. DUDUK PERKARA
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5
8. Bahwa selain ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK diatur pula syarat dalam
Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang tentang Kedudukan
Hukum diatur sebagai berikut, “Pemohon dalam pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 adalah:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6
9. Bahwa oleh karena itu syarat permohonan Pemohon telah terpenuhi dalam
permohonan ini, sedangkan untuk hak konstitusional menurut penjelasan
Pasal 51 ayat (1) adalah hak-hak yang diberikan oleh UUD 1945,
Yurisprodensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan putusan-putusan selanjutnya, memberikan penafsiran
terhadap Pasal 51 ayat (1) UU MK terkait dengan hak konstitusional.
Dalam yurisprudensi dijelaskan sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat
spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
Pasal 4
Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis.
Pasal 5
Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya
yang hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.
Pasal 8
Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; atau c. kabupaten/kota.
Pasal 9
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih,
kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.
Pasal 10
(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berbasis
anggota; atau b. tidak berbasis anggota.
Pasal 11
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf a dapat berbentuk: a. perkumpulan; atau b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a didirikan dengan berbasis anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b didirikan dengan tidak berbasis anggota.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9
Pasal 21
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan
serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel;
dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Pasal 23
Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Pasal 24
Ormas lingkup provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pasal 25
Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf c memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit dalam
1 (satu) kecamatan.
Pasal 29
(1) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah
dan mufakat.
(2) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua atau sebutan lain;
b. 1 (satu) orang sekretaris atau sebutan lain; dan
c. 1 (satu) orang bendahara atau sebutan lain.
(3) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan Ormas.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
Pasal 30
(1) Struktur kepengurusan, sistem pergantian, hak dan kewajiban
pengurus, wewenang, pembagian tugas, dan hal lainnya yang
berkaitan dengan kepengurusan diatur dalam AD dan/atau ART.
(2) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan, susunan kepengurusan
yang baru diberitahukan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan
kepengurusan.
Pasal 31
(1) Pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan
tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau mendirikan Ormas
yang sama.
(2) Dalam hal pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk kepengurusan
dan/atau mendirikan Ormas yang sama, keberadaan kepengurusan
dan/atau Ormas yang sama tersebut tidak diakui oleh Undang-Undang
ini.
Pasal 33
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas.
(2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.
Pasal 34
(1) Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 35
(1) Setiap Ormas yang berbadan hukum dan yang terdaftar wajib memiliki
AD dan ART.
(2) AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling
sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15
dengan Pasal 28A UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.” dan Pasal 29 UUD 1945: (1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20
tersebut sudah lebih dulu mengatur maksud dan tujuan Pasal 41 atau
penyediaan sanksi melalui Pasal 61 huruf b dan huruf c, Pasal 64 ayat
(1) huruf a, dan Pasal 64 ayat (2). Oleh karena itu, konstruksi norma
yang demikian itu jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.
5. Bahwa selain ketentuan HAKI, larangan terhadap Ormas sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (1) huruf a Undang-Undang a quo sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. khususnya
Pasal 66 yang menentukan: “Setiap orang yang merusak, merobek,
menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan
maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 67:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap
orang yang: a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk
reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf b; b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak,
robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf c; c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar
atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada
Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d; d.
dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap,
pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan
kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf e”. Pasal 68: “Setiap orang yang mencoret, menulisi,
menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud
menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
IV. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar mengadili permohonan a quo
dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bertentangan secara keseluruhan dengan UUD NRI
Tahun 1945, khususnya Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal
28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara
keseluruhan
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara RI sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal
33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38,
Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Paragraf Keempat
Pembukaan UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25
1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Prof. Dr. Dien
Syamsuddin, MA;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Dr. Abdul Mu’ti,
M.Ed;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor AHU-88.AH.01.07 Tahun 2010 tentang Perubahan
Anggaran Dasar Pesyarikatan Muhammadiyah;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Petikan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU-88.AH.01.07 Tahun 2010 tentang
Perubahan Anggaran Dasar Persyarikatan Muhammadiyah;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan;
Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli tiga orang ahli yang memberi
keterangan di bawah sumpah, sebagai berikut:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26
Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR merupakan, “The right to
form and join for the protectional of its interest,” atau hak untuk membentuk
dan mengikutisuatu serikat organisasi untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya. Akan tetapi di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak terdapat nomenklatur tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Nomenklatur Organisasi Kemasyarakatan
diadopsi oleh pembuat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menggunakan nama yang
sama yakni Organisasi Kemasyarakatan. Hal ini jelas disebutkan dalam
konsideran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada huruf d.
- Nomenklatur yang terdapat di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar
1945, jelas menyebutkan kebebasan berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapat. Para pembuat Undang-Undang, seharusnya
mengikuti nomenklatur yang tersedia dalam ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut. Hal ini juga koheren, atau sinkron dengan
penggunanan nomenklatur pada Undang-Undang yang lain, yang juga
mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Yakni Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1988 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat
di Muka Umum, sekalipun tidak persis sama dengan nomenklatur dalam
Undang-Undang Dasar, tetapi nomenklatur Kemerdekaan menyatakan
pendapat di muka umum jelas mengacu pada ketentuan Pasal 28 Undang-
Undang Dasar 1945, yang menyatakan kemerdekaan berserikat, dan
berkumpul, mengeluarkan lisan dan tulisan, dan lain sebagainya ditetapkan
dengan Undang-Undang.
- Penggunaan nomenklatur organisasi kemasyarakatan secara formal pada
dasarnya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
sementara Undang-Undang Dasar 1945, selain karena tidak mencerminkan
pengaturan tentang kemerdekaan berserikat, penggunaan nomenklatur
tersebut tidak koheren dan sinkron dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Ahli
melihat bahwa persoalan nomenklatur ini penting karena untuk pasal yang
sama tetapi ada Undang-Undang yang juga menggunakan nomenklatur
kemerdekaan menyatakan pendapat, tetapi ada Undang-Undang dengan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Akan tetapi, harus diingat,
apabila kita mengacu pada general comment ICCPR dari Human Right
Commission Nomor 34 yang diterbitkan tahun 2011. Pada paragraf 26
dikatakan pembatasan oleh Undang-Undang restriction by law itu harus
compatible with the profession, aim, and objective of the covenant. Artinya,
pembatasan atas kebebasan berserikat yang dilakukan oleh negara dalam
Undang-Undang harus tetap sesuai dengan ketentuan dan tujuan dari
perlindungan hak berserikat sebagai bagian dari hak sipol yang secara
paradigmatik berpijak pada penolakan atas segala bentuk koersi, tekanan,
dan campur tangan negara Pemerintah. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 justru mengingkari paradigma tersebut dengan lebih menekankan
pada pembatasan untuk melakukan campur tangan terhadap hak dan
kebebasan berserikat dibandingkan untuk melindungi hak dan kebebasan
berserikat itu sendiri. Setidaknya hal itu terlihat di antaranya pada Pasal 40
yang memberikan wewenang kepada Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah untuk melakukan pemberdayaan ormas, untuk meningkatkan kinerja
dan menjaga keberlangsungan hidup ormas. Ketentuan Pasal 40 tersebut
pada dasarnya memiliki semangat yang sama dengan ketentuan Pasal 12
Undang-Undang Ormas Tahun 1985 yang dibentuk oleh rezim orde baru,
yang memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk melakukan
pembinaan terhadap Ormas. Secara esensial tidak ada perbedaan antara
pembinaan dan pemberdayaan oleh Pemerintah dan Pemda terhadap
Ormas karena semangatnya sama, yakni melakukan sub ordinasi dan
kooptasi terhadap hak berserikat sebagai bagian hak Sipol. Istilah
pemberdayaan itu sendiri lebih merupakan suatu eufemisme atau
penghalusan bahasa yang tidak memiliki akibat hukum yang secara
esensial berbeda dengan pembinaan. Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang
Ormas tahun 2013 tersebut menunjukkan tujuan pembatasan dalam bentuk
campur tangan Pemerintah dan/atau pemda terhadap kebebasan berserikat
lebih diutamakan dibandingkan dengan tujuan untuk melindungi kebebasan
berserikat itu sendiri. Hal yang sama juga terlihat pada ketentuan Pasal 57
yang memberikan peran kepada pemerintah untuk dapat memfasilitasi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
31
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
32
2. Eryanto Nugroho
- Dari aspek proses, Undang-Undang Ormas merupakan bagian dari paket
Undang-Undang politik pada masa orde baru bersama dengan Undang-
Undang Pemilu, Undang-Undang Parpol, Undang-Undang MPR, DPR,
DPRD, dan Undang-Undang Referendum. Melihat sejarahnya kita mengkaji
risalah pembahasan pada tahun 1985, terlihat sekali bahwa tujuan
utamanya adalah saat itu untuk mengedepankan stabilitas politik, itu adalah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
33
hasil bacaan kami terhadap risalah di tahun 1985. Setelah reformasi, pada
Prolegnas 2005-2009 sudah sempat masuk RUU Ormas untuk dibahas, tapi
kemudian tidak sempat untuk dibahas dan disahkan. RUU Ormas kemudian
masuk lagi di Prolegnas 2010 dan 2014, sampai tahun 2010 pun tidak
masuk dalam prioritas pembahasan sampai kemudian kami mencatat baru
mendapatkan momentumnya ketika terjadi serangkaian tindak kekerasan
yang diduga melibatkan anggota Ormas. Pada tanggal 30 Agustus 2010
setelah terjadinya rentetan tindak kekerasan, diselenggarakan rapat
gabungan pemerintah dan DPR RI untuk merespon tindak kekerasan
tersebut, dengan dihadiri oleh wakil ketua DPR, Menkopolhukam, Mendagri,
Kapolri, Jaksa Agung, dan kepala BIN. Rapat itu menghasilkan kesepakatan
untuk bersama mendorong revisi Undang-Undang Ormas.
Pembahasan RUU ormas cukup panjang sampai pembahasan hingga
ditunda perpanjangan sehingga 7 kali masa sidang, mulai masuk sebagai
usulan inisiatif DPR 21 Juli 2011 dan kemudian pada saat pengesahannya
sampai ditunda dua kali rapat paripurna. Dalam proses pembentukannya
pun ada banyaknya penolakan dari masyarakat, beberapa yang ahli catat
adalah perserikatan Muhammadiyah yang menolak sampai sekarang,
PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) tidak menolak tetapi memberikan
catatan kritis soal definisi Ormas yang dianggap menggeneralisasi dan tidak
membedakan antara yayasan, perkumpulan, dan organisasi
kemasyarakatan. PBNU meminta DPR untuk menunda pengesahan untuk
menghidari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari pengesahan
RUU ini. Selain dua lembaga keagamaan tersebut ada berbagai organisasi
yang menyatakan penolakannya dari perwakilan buruh, organisasi
masyarakat sipil, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan mendesak DPR untuk
tidak mengesahkan RUU Ormas. Tanpa bermaksud mengecilkan organisasi
lain, tetapi bahwa Muhammadiyah menolak dan kemudian PBNU meminta
ditunda merupakan sebuah catatan khusus dalam proses legislasi ini.
- Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan mengatur tentang asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan kepada asas
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
34
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
35
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
36
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
37
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
38
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
39
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
40
atau alterisme, satu lagi adalah sektor profit. Di sektor sosial ada yayasan
dan perkumpulan, di private sector atau swasta, ada PT, koperasi, dan lain-
lain. Semuanya menggunakan alur yang sama, yaitu untuk menjadi badan
hukum dia ke Kementerian Hukum dan HAM, semacam tanda lahirnya
begitu. Ketika badan hukum yang telah disebutkan tadi ingin bergerak ke
bidang industri maka harus ke Menperindag dan sebagainya. Kalau di
bidang sosial maka badan hukum yang berbentuk yayasan ada pada
kewenangan Kemenkumham, kalau badan hukum tersebut ingin bergerak di
bidang kesehatan maka badan hukum tersebut haruslah ke Kementerian
Kesehatan, di bidang agama maka badan hukum tersebut haruslan ke
kementerian keagamaan.
- Pertanyaan yang mendasar jadi organisasi sosial seperti apa yang
diharapkan berurusan dengan dirjen kesbangpol? Dalam pandangan Ahli,
dengan melihat sejarah pada tahun 1985 maka lebih tepat ditujukan kepada
organisasi underbow Parpol. UU Ormas ini mencampuradukkan aspek
politik ke dalam sektor sosial. Seperti yang ahli sampaikan masuknya
yayasan itu akan berdampak besar, hal tersebut dikarekan adanya kampus
dan rumah sakit yang dikelola oleh sebuah Ormas, jika tidak ada kejelasan
dan tetap rancu maka akan bermasalah di tingkat praktiknya. Jadi bukan
hanya istilah, di berbagai negara sipil lainnya, bahkan sudah ada penelitian
yang merekomendasikan bahwa memang sebaiknya kementerian yang
berurusan dengan civil society organization adalah kementerian yang
berkaitan dengan hukum, Ministry Of Justice kalau di negara lain. Jadi tidak
direkomendasikan untuk menggunakan pendekatan politik.
- Mengenai istilah Ormas ini mungkin ini satu-satunya RUU yang dibentuk
tanpa melakukan studi banding. Karena menurut ahli memang tidak mudah
menemukan konsep Ormas di negara lain atau bisa jadi tidak ada. Di
negara lain selain foundation, atau yayasan, atau association, kalau ada
jenis lain pasti disertai dengan alasannya. Misalnya penyebutan sebagai
public benefit organization yaitu yayasan yang dilekatkan atau ditambah
status lain, yaitu status bebas pajak. Itu ada namanya, tetapi tetap saja dia
yayasan atau perkumpulan. Pertanyaannya di sini ketika sebuah yayasan
jadi Ormas, maka yayasan tersebut dapat apa? Memiliki status apa? proses
apa yang terjadi?. Sekadar flashback sedikit, di tahun 1985, Prof. Hamid
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
41
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
42
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
43
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
44
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
45
biasanya melalui upacara adat Bakar Batu atau makan bersama. Kenyataan
inilah kemudian membuat spirit Luber dalam Pemilu pun harus “mundur”
karena masyarakat adat harus diakui keberadaannya oleh negara. Oleh
karenanya, tidak semua spirit yang benar yang disusun oleh negara, bisa
ditetapkan secara sama karena ada pranata tertentu seperti daerah yang
tergolong istimewa atau kelompok masyarakat adat, harus diakui
keberadaannya akan praktik dan kegiatannya yang sudah lama
berlangsung sebelum NKRI ini terbentuk. Praktik kegiatan yang sudah lama
berlangsung ini sesungguhnya memiliki spirit yang sama mulianya dengan
politik hukum legislasi itu. Namun, prosedur, cara, atau kegiatan yang
ditempuh selama ini secara turun-temurun sejak kelahirannya sudah seperti
itu dan tidak menimbulkan masalah signifikan yang bisa dianggap
menentang secara diameteral dengan spirit Undang-Undang atau konstitusi.
- Dalam sejarah konstitusi, bukan hanya daerah yang berperan dalam
pembentukan organisasi kekuasaan bernama negara ini, sehingga dikenal
keistimewaan atau kelompok masyarakat adat yang kemudian negara pun
mengakui keberadaannya, termasuk kegiatannya yang tidak dapat dianulir
oleh negara, hanya karena kompleksitas perkembangan negara yang
semakin modern. Kenyataannya, organisasi masyarakat, perkumpulan,
yayasan, perserikatan, juga tidak dapat dipungkiri sumbangsih dan
perannya dalam pendirian NKRI. Jauh sebelum NKRI terbentuk, organisasi
seperti Muhammadiyah, sudah menjalankan fungsi yang seharusnya
dijalankan oleh sebuah negara, seperti menjalankan berbagai amal usaha,
menolong kesengsaraan umum dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial,
kesehatan, atau kegiatan sosial lainnya. Oleh karenanya, jikalau Pasal 18B
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa, maka konstitusi melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi, dapat menetapkan bahwa negara juga mengakui dan
menghormati keberadaan Sebuah organisasi, perserikatan atau
perkumpulan, yang tergolong istimewa yang telah menjalankan praktik atau
kegiatan organisasinya yang sudah berlangsung sebelum NKRI terbentuk.
Penetapan ini dapat dikawinkan dengan ketentuan Pasal 28C Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
46
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
47
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
48
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
49
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
50
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
51
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
52
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
53
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
54
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
55
terkait erat dengan teritori keberadaan Ormas itu sendiri, justru Undang--
Undang a quo memberikan kemudahan seluas-luasnya kepada Ormas untuk
dapat melakukan kegiatan di seluruh wilayah Indonesia bahkan dapat
membentuk cabang di Iuar negeri sesuai ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27
Undang-Undang a quo. Dengan perkataan lain kategorisasi ruang lingkup
Ormas tidak dalam rangka untuk membatasi aktivitas dan pengembangan
Ormas itu sendiri.
18. Pengaturan dalam Undang-Undang Ormas memang disarikan dan
diharmoniskan dengan peraturan lain, hal ini tidak membatasi kebebasan
masyarakat, justru dengan pengaturan tersebut, Undang-Undang Ormas telah
harmonis dan sejalan dengan amanat konstitusi maupun peraturan
perundang-undangan lain seperti KUHP, KUHAP, KUHPerdata, Undang-
Undang Yayasan, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Anti Terorisme,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Undang-Undang Hak Kekayaan
Intelektual, dan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
19. Bahwa ketentuan pasal Undang-Undang Ormas memberikan pilihan kepada
masyarakat yang akan mendirikan Ormas baik berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum, hal tersebut sesuai dengan ciri pemerintahan yang
demokratis dengan memberikan kebebasan bagi warganya dalam membentuk
Ormas. Hal ini karena mengatur mengenai hak dan kewajiban kolektif warga
negara, maka perlu diatur pada level Undang-Undang.
20. Tanggapan atas Pasal 20 huruf a, huruf c, dan huruf d dan Pasal 21 Undang-
Undang Ormas menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Terhadap anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah berpendapat
bahwa pengaturan mengenai hak dan kewajiban dalam Undang-Undang
a quo pada prinsipnya mengatur perlakuan Ormas dalam menjalankan
aktivitasnya diruang publik, sehingga perlu diatur hak dan kewajiban Ormas
yang seimbang di hadapan hukum.
21. Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat
dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam
membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran-pemikiran
masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
56
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, kiranya
dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard)
2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35,
Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2) ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, serta Pasal 59 ayat (1) dan (3)
huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak bertentangan dengan paragraf ke-empat Pembukaan
UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28E ayat (3) UUD 1945.
Saksi Presiden
1. Malik Haramain
- Saksi menyatakan sempat memimpin dan ikut dalam pembahasan RUU
Ormas. Pembahasan RUU Ormas ini menghabiskan sidang tujuh sampai
delapan kali, artinya memang salah satu RUU yang dibahas di DPR sangat
lama, meskipun ada beberapa Undang-Undang yang lain juga lebih lama
ketimbang RUU Ormas. Faktor yang membuat lama RUU Ormas ini
dibahas adalah pertama, pembahasan mengenai eksistensi kebebasan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
57
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
58
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
59
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
60
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
61
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
62
terkait dengan RUU Ormas itu sudah dihadirkan dalam rapat di DPR RI,
mulai dari ormas keagamaan, kepemudaan, dan juga ormas-ormas yang
dengan segala macam coraknya. Selain itu juga proses juga dilalui dengan
melakukan tinjauan ke lapangan. Bukan saja perwakilan atau entitas ormas
DPP-nya, tapi juga Ormas-Ormas di daerah, Pansus ketika itu juga
melakukan kunjungan ke beberapa Ormas yang ada di berbagai daerah
sehingga konstruksi yang dibahas dalam pasal per pasal diharapkan bisa
mendapatkan masukan yang lebih utuh dan menyeluruh.
- Tujuan atau semangat ketika rapat pembahasan RUU Ormas tersebut
adalah ingin mengubah Undang-Undang yang lama Nomor 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menerapkan asas tunggal,
bersifat represif, dan subjektif sehingga sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan kehidupan berdemokrasi bangsa Indonesia sehingga
keberadaan civil society seperti yang diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 28
UUD 1945.
- Pembahasan ketika itu dimulai dengan membahas mengenai asas. Jika
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menerapkan asas tunggal. Dalam
rapat pembahasan ketika itu disepakati untuk tidak menerapkannya kembali
karena tidak sesuai lagi dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
- Mengenai masalah kebebasan. Undang-Undang ini juga sangat
memberikan ruang yang sangat luas, mulai dari kegiatan apa pun selagi
perkumpulan-perkumpulan itu berkumpul dan mau mengikuti dan mematuhi
Undang-Undang yang ada di negara Republik Indonesia, maka Undang-
Undang ini mengakomodasi, tanpa harus diwajibkan. Sebagai contoh,
mengenai hal pendaftaran, mulai dari yang berbadan hukum, tidak
berbadan hukum semua sudah diatur dari pasal per pasal.
- Selain itu dalam pembahasan RUU Ormas ini juga mencoba
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Di dalam Pasal 28 huruf j UUD
1945, terdapat pengaturan pengaturan bahwa dalam pelaksanaan hak
seseorang juga harus menghargai hak orang lain atau menjalankan
kewajiban sebagaimana dalam Undang-Undang, maka didalamnya juga
memberikan pengaturan mengenai larangan serta sanksi yang bertujuan
menciptakan ketertiban secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
63
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
64
Ahli Presiden
1. Dr. Wawan Purwanto, S.H., M.H
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas disebutkan telah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Maksud Pemerintah ini baik yaitu untuk
mengatur kehidupan organisasi kemasyarakatan, sehingga menjadi
maslahah bagi masyarakat luas dalam wilayah NKRI, maksud dan tujuan
tersebut tentu ada pihak yang pro dan kontra, meskipun aspirasinya juga
telah diterima di dalam berbagai kesempatan sebelum pengesahan
Undang-Undang tersebut.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
65
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
66
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
67
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
68
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
69
dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (1). Oleh sebab itu, keberadaan
Undang-Undang Ormas perlu dipertahankan guna tetap tegaknya NKRI
tanpa mengurangi hak dan kewajiban secara seimbang menuju era
transparansi dan akuntabilitas yang sehat.
- Mengenai masalah pendanaan dan bantuan sumbangan dari asing,
memang harus ada verifikasi yang benar. Sebab banyak juga dengan
mereka yang pakai braspas pertemuan di perbatasan (hand by hand),
kemudian berubah menjadi membentuk sebuah usaha dengan pemasukan
setiap bulan Rp. 3,5 miliar, dana tersebut cukup besar untuk membuat
kekacauan di negeri ini, karena itulah dibutuhkan transparansi. Mengenai
transparansi ini juga PPATK sendiri tidak dapat melacaknya, karena
transaksi pendanaan atau bantuan sumbangan asing kebanyakan tidak
melalui bank.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
70
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
71
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
72
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
73
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
74
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
75
Tahun 2013 tentang Ormas itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak?
Menurut pandangan ahli, manusia belum tentu orang. Sosok titah Tuhan
oleh umum disebut manusia itu dapat dilihat ketika sosok bayi mungil
ciptaan Tuhan yang lahir dari garba seorang ibu, menangis, bernafas, haus,
lapar, dan lain-lain karakter yang melekat dalam dirinya. Karakter bawaan
itulah yang harus dijaga, dihormati, dilindungi oleh yang lain. Serangkaian
karakter bawaan itulah yang disebut secara popular sebagai hak asasi
manusia sehingga ia berhak hidup sebebas-bebasnya, menangis sepuas-
puasnya, tidur sepulas-pulasnya, dahaga sehaus-hausnya, dan lain
sebagainya. Namun manusia yang menyandang hak serba “se” tadi akan
bersentuhan dengan manusia yang lahir sebelumnya dan sesudahnya, dan
memiliki hak yang sama. Posisi bersentuhan tersebut terlihat ketika
keduanya berada dalam satu arena yang sama, maka secara naluriah yang
satu berkontak dengan yang lain dan yang lain pun demikian sehingga
konsekuensi logisnya adalah yang satu mengetahui kelebihan dan
kelemahan yang lain, mengetahui pula kesamaan dan perbedaannya
dibanding dengan yang lain. Oleh sebab itu secara sosiologis, kelebihan
dan kelemahan, kesamaan dan perbedaan dalam diri masing-masing itu
lahirlah dalam kontak itu. Sehingga merupakan modal sosiologis bagi
mereka untuk berinteraksi. Pada saat berinteraksi itulah, manusia yang
memiliki hak yang serba “se” tadi bersentuhan dengan yang lain sehingga
keterbatasan dan pembatasan atas dirinya telah lahir secara naluriah.
Artinya, interaksi antarkeduanya merupakan pembatasan yang datang dari
pihak satu terhadap yang lain. Ketika pihak satu menerima dirinya ada
kelemahan dan yang lain ada kelebihan sehingga saling interaksi tersebut,
maka pada saat itulah posisi manusia telah mengalami transformasi
menjadi orang. Oleh sebab itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28 dan seterusnya ada terminologi manusia.
- Pasal berikutnya, terminologi orang. Kapan manusia menjadi orang? Harus
dijawab dengan baik. Implikasi konstitusionalitasnya adalah penerapan
frasa setiap orang sebagaimana tersebut pada Pasal 28A, Pasal 28C ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan bahwa keberadaan setiap orang itu diatur oleh konstitusi.
Keberadaan manusia itu diatur oleh konstitusi. Artinya adalah Undang-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
76
Undang Dasar 1945 telah secara eksplisit dan implisit mengakui bahwa
setiap orang tidak bebas sebebas-bebasnya saat seperti manusia tadi.
Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, maka manusia yang bebas tadi
telah mengalami transformasi berjenjang dari manusia ke orang. Di mana
posisi manusia telah memperoleh pembatasan ketika bertransformasi
menjadi orang. Dengan demikian, Ormas juga berada pada posisi yang
sama, yaitu mengalami pembatasan karena bersentuhan dengan yang lain.
- Kemudian mengenai pandangan oleh Pemohon bahwa Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 merupakan Undang-Undang yang membatasi hak
asasi manusia dan mengebiri, dan tidak memberi perlindungan bagi
segenap bangsa. Ahli perlu menjelaskan bahwa pada dasarnya secara
sosial mahluk manusia memiliki kelemahan, secara sosial. Yaitu tidak
merasa nyaman, tidak aman dengan apa yang ada dalam dirinya, pasti
rumusnya sehingga setiap manusia selalu merasa kurang nyaman dan
kurang aman apabila bersentuhan dengan yang lain. Manusia saja tidak
merasa aman dan nyaman, orang juga demikian, Ormas pun juga demikian.
Konsekuensi antropologisnya adalah manusia akan selalu berusaha untuk
mengurangi rasa ketidaknyamanan. Untuk mengurangi ketidakamanan
tersebut dengan mencari manusia lain yang memiliki kesamaan ciri untuk
berkumpul atau berserikat. Dengan berkumpul dan berserikat, menjadikan
mereka merasa nyaman dan aman. Artinya, upaya setiap manusia untuk
menemukan kenyamanan dan keamanan dimaksud memang tidak boleh
dibatasi karena bertentangan dengan sifat kodrati yang melekat pada diri
manusia sebagaimana disebut ahli sebelumnya. Implikasi
konstitusionalitasnya, penyebutan frasa kemerdekaan berserikat dan
berkumpul sebagaimana disebut Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, selain merupakan bentuk
pengakuan negara terhadap sifat kodrati dan bawaan manusia yang
memang lemah secara sosial juga negara berkewenangan mengatur
kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
atau tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Maknanya adalah upaya berserikat, berkumpul itu diatur oleh konstitusi.
- Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat dimaksud Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
77
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
78
sosial, budayanya, di mana hukum itu ada, yaitu Indonesia. Oleh sebab itu,
hukum hendaknya dipahami secara baik, hukum not separated from its
social, its culture where it’s existence. Dengan pemahaman demikian ini,
maka setiap perilaku manusia, setiap perilaku orang, tentu demikian pula
setiap perilaku Ormas-Ormas harus menginternalisasikan dan
mengekspresikan kembali setidak-tidaknya Pasal 5 huruf c Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tersebut.
- Dalam konteks filosofi negara Indonesia, sebagaimana tersurat dan tersirat
pada ungkapan nenek moyang yang sudah membumi, yang sudah diyakini
kebenarannya, alam terkembang jadi guru, maka keseluruhan isi alam raya
ini telah memiliki tatanan masing-masing. Maknanya adalah jangankan
orang, jangankan ormas, manusia pun ketika makhluk Tuhan yang memiliki
kebebasan yang serba “se” tadi sebagaimana disebut di muka, ternyata
juga tidak bebas dari tatanan alam raya ini. Alam laut memiliki tatanan
sendiri, alam hutan memiliki tatanan sendiri, alam angkasa memiliki tatanan
sendiri, alam sosial memiliki tatanan sendiri. Semua itu adalah kenyataan
yang tak terhindarkan. Jangankan ormas, jangankan orang, jangankan
manusia yang sendiri saja ketika masuk hutan harus menundukkan diri
pada tatanan alam hutan itu. Jangankan Ormas, jangankan orang, manusia
sendiri masuk alam laut, maka harus menundukkan diri pada tatanan alam
laut. Alam raya ini sudah memiliki tatanan masing-masing. Implikasi
konstitusionalitasnya adalah manusia, orang, Ormas, baik yang lahir di
Indonesia maupun lahir bukan di Indonesia, namun berada di Indonesia,
saya tekankan kembali, manusia, orang, Ormas, baik yang lahir di
Indonesia maupun lahir bukan di Indonesia namun berada di Indonesia,
maka mereka tidak terhindar dari nilai-nilai keindonesiaan sehingga mereka
harus berguru kepada alam untuk menginternalisasikan ke dalam alam
pikirannya dan mengekspresikan nilai-nilai keindonesiaan setidak-tidaknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c pada perilaku manusia itu
sendiri, perilaku orang, perilaku ormas yang sesuai dengan faktor sosial di
mana manusia, orang, Ormas itu ada dalam konteks ini adalah Indonesia.
Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia, tidak ada satu pun orang,
tidak ada satu pun Ormas yang tidak terlepas dan terjerat dari akar sosial
budaya di mana dia berada.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
79
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
80
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
81
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
82
6. Jika Ormas memiliki sumber pendanaan tetap secara mandiri, hal tersebut
akan meningkatkan independensi Ormas dan mencegah ketergantungan
Ormas pada sumber pendanaan dari pihak lain, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, sehingga Ormas tidak tergoda untuk melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan hukum untuk sekadar mencari biaya
guna membiayai operasional organisasinya, atau sebagai upaya Ormas
untuk bertahan hidup.
7. Rumusan pasal-pasal a quo juga merupakan wujud dari sinkronisasi dan
harmonisasi dengan Undang-Undang terkait yaitu Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan, yang mengatur bahwa pada dasarnya, yayasan dapat membentuk
badan usaha untuk tujuan mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh
dari kegiatan usaha tersebut, dapat dipakai untuk menjaga
keberlangsungan hidup yayasan itu sendiri.
8. Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 39 Undang-Undang a quo, tidaklah saling bertentangan dan
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
b. Terhadap permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 Undang-
Undang Ormas terhadap Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, DPR memberikan
keterangan sebagai berikut.
1. Di dalam praktik, banyak timbul terminologi untuk mendefinisikan
organisasi yang bergerak di bidang sosial, dengan alasan dan sudut
pandang tertentu, seperti organisasi sosial, organisasi kepemudaan, LSM,
ornop, organisasi profesi, NGO, dan sebagainya. Namun terminologi-
terminologi tersebut muncul di dalam praktik tanpa tolak ukur yang jelas
karena bergantung pada pandangan setiap organisasi yang bersangkutan.
2. Dalam pandangan hukum, untuk bidang kegiatan sosial, hukum mengenal
dua jenis peraturan organisasi, yaitu nonmembership organization
(organisasi tanpa anggota), dan membership based organization
(organisasi berdasarkan keanggotaan). Sedangkan untuk badan
hukumnya, rechtspersoon, Indonesia mengenal dua jenis badan hukum
yang khusus untuk bidang kegiatan sosial yaitu yayasan, stichting, dan
perkumpulan, vergadering. Pembeda penting dari yayasan dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
83
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
84
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
85
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
86
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
87
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
88
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
89
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
90
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
91
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
92
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Pasal 1 angka 1
Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi
yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Pasal 4
Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis.
Pasal 5
Ormas bertujuan untuk:
a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang
hidup dalam masyarakat;
e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat;
g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan
h. mewujudkan tujuan negara.
Pasal 8
Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; dan c. kabupaten/kota.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
93
Pasal 9
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih, kecuali
Ormas yang berbadan hukum yayasan.
Pasal 10
(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat berbentuk: a. badan
hukum; atau b. tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. berbasis anggota;
atau b. tidak berbasis anggota.
Pasal 11
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a dapat berbentuk: a. perkumpulan; atau b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a didirikan dengan berbasis anggota.
(3) Ormas berbadan hukum yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b didirikan dengan tidak berbasis anggota.
Pasal 21
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta
memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Pasal 23
Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Pasal 24
Ormas lingkup provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
94
Pasal 25
Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit dalam 1 (satu)
kecamatan.
Pasal 30
(2) Dalam hal terjadi perubahan kepengurusan, susunan kepengurusan yang
baru diberitahukan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan kepengurusan.
Pasal 33
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas.
(2) Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka.
Pasal 34
(1) Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 35
(1) Setiap Ormas yang berbadan hukum dan yang terdaftar wajib memiliki AD
dan ART.
(2) AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan internal; dan
h. pembubaran organisasi.
Pasal 36
(1) Perubahan AD dan ART dilakukan melalui forum tertinggi pengambilan
keputusan Ormas.
(2) Perubahan AD dan ART sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan kepada kementerian, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
95
Pasal 38
(1) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola dana dari iuran anggota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, Ormas wajib
membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar
akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART.
(2) Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola bantuan/sumbangan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas
wajib mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala.
(3) Sumber keuangan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Ormas
untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas.
(2) Dalam melakukan pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menghormati dan
mempertimbangkan aspek sejarah, rekam jejak, peran, dan integritas Ormas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. fasilitasi kebijakan;
b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
c. peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(4) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa
peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberdayaan Ormas.
(5) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b dapat berupa:
a. penguatan manajemen organisasi;
b. penyediaan data dan informasi;
c. pengembangan kemitraan;
d. dukungan keahlian, program, dan pendampingan;
e. penguatan kepemimpinan dan kaderisasi;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
96
Pasal 57
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para pihak
yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
(1) Dalam hal mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) tidak
tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui pengadilan
negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan upaya hukum
kasasi.
(3) Sengketa Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diputus oleh
pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan perkara dicatat di pengadilan negeri.
(4) Dalam hal putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diajukan upaya hukum kasasi, Mahkamah Agung wajib memutus dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
Pasal 59
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau
lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang
Ormas;
b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan
nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
97
terhadap Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan:
Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”
Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
98
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
99
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
100
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
101
Pokok Pemohonan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
103
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
104
Itupun hanya berlaku bagi Ormas yang ingin mengajukan dan mengelola
sebagian anggaran APBN/APBD. Pengaturan dalam bentuk Undang-
Undang jelas menunjukan arogansi pembentuk Undang-Undang agar
mempersempitkan pemaknaan kemerdekaan berserikat yang jelas
bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan hak dan kepentingan
konstitusional Pemohon.
2. Bahwa pengakuan seperti “hak dan kewajiban” Ormas sebagaimana
termuat dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU 17/2013 adalah contoh “norma
administratif”. Tanpa itu pun, sudah ada konstitusi yang mewadahi dan
AD/ART Ormas yang akan menjabarkannya lebih lanjut (Pasal 20 huruf a,
huruf c, dan huruf d UU 17/2013). Bahkan ketentuan tentang Hak Atas
Kekayaan Intelektual/HAKI (yang tersebar pada UU Hak Cipta, Paten,
Merek, Desain Industri, atau Rahasia Dagang) sudah lebih dari cukup
untuk mewadahi Ormas memperoleh hak atas kekayaan intelektual untuk
nama dan lambang ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b
UU 17/2013. Ketentuan yang demikian jelas bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
3. Bahwa mengenai hak Ormas untuk mendapatkan perlindungan hukum
terhadap keberadaan dan kegiatan organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf e UU 17/2013 sudah lebih dari cukup diakomodasi
oleh KUHP, KUHAP, KUHPerdata hingga Undang-Undang Kepolisian.
Begitu pula hak Ormas untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah,
pemerintah daerah, swasta, ormas lain, dan pihak lain dalam rangka
pengembangan dan keberlanjutan organisasi (Pasal 20 huruf f UU
17/2013) sudah diatur melalui AD/ART hingga Permendagri Nomor 44
Tahun 2009 tentang Pedoman Kerja Sama Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga
Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
sebagaimana diubah oleh Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 dan
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah sebagaimana diubah oleh Permendagri Nomor 39 Tahun
2012. Bahkan kedua Permendagri tersebut sudah lebih dulu mengatur
maksud dan tujuan Pasal 41 atau penyediaan sanksi melalui Pasal 61
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
105
huruf b dan huruf c, Pasal 64 ayat (1) huruf a , dan Pasal 64 ayat (2). Oleh
karena itu konstruksi norma yang demikian itu jelas bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
4. Bahwa selain ketentuan HAKI, larangan terhadap Ormas sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013 sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya Pasal 66, Pasal 67,
dan Pasal 68. Adanya pertentangan ketentuan yang demikian itu jelas
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka pasal a quo
sudah seharusnya dibatalkan.
5. Bahwa mengenai Pasal 59 ayat (3) huruf a UU 17/2013 jelas multi tafsir
karena sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, khususnya Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5. Adanya pertentangan
ketentuan yang demikian jelas melahirkan suatu ketentuan yang multi
tafsir karena disatu sisi perbuatan yang demikian itu merupakan tindak
pidana dan disisi lain hanya bersifat pelarangan yang justru akan
membingungkan, oleh karena itu ketentuan a quo bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
106
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
107
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
108
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
109
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
110
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
112
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
113
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
114
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
115
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
116
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
117
Pendapat Mahkamah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
118
5. Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum yang seharusnya tidak perlu diatur
undang-undang (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 UU 17/2013);
6. Hak dan kewajiban Ormas yang seharusnya tidak perlu diatur undang-
undang, tetapi cukup dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Ormas. Demikian juga pengaturan mengenai lambang Ormas yang
seharusnya sudah diatur dalam UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri,
atau Rahasia Dagang (Pasal 20, dan pengaturan pidana yang berlebihan
dalam 59 ayat (1) huruf a, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 UU 17/2013);
7. Perlindungan hukum bagi Ormas yang sudah cukup diatur dalam berbagai
Undang-Undang, antara lain, KUHP, KUHPerdata, KUHAP;
8. Pengaturan yang berlebihan mengenai kerja sama Ormas (Pasal 20 UU
17/2013);
9. Pengaturan pidana yang berlebihan [Pasal 59 ayat (3) UU 17/2013];
10. Kewajiban laporan keuangan Ormas yang harus sesuai dengan standar
akuntansi (Pasal 37 dan Pasal 38 UU 17/2013);
11. Pengaturan kesamaan hak dan kewajiban anggota yang tidak menghargai
keragaman Ormas (Pasal 33 dan Pasal 34 UU 17/2013);
12. Pemberdayaan Ormas oleh pemerintah (Pasal 40 UU 17/2013) yang menurut
Pemohon berpotensi adanya tindakan korup.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
120
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
121
dijamin dalam konstitusi. Negara juga harus memberi ruang kepada masyarakat
untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan norma-norma yang termuat dalam pasal-pasal yang
dimohonkan pengujian oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, sebagai
berikut:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
122
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
123
nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang terganggu oleh keberadaan
Ormas yang memiliki ketiga lingkup tersebut secara bersamaan, walaupun suatu
Ormas hanya memiliki kepengurusan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun
masalah administrasi, ketika suatu Ormas melakukan aktivitas yang dibiayai oleh
negara di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, maka hal itu persoalan
administrasi yang tidak perlu diatur dalam Undang-Undang. Artinya, pelayanan
terhadap Ormas dalam menjalankan suatu kegiatan dengan menggunakan
anggaran negara, atau pelayanan dalam bentuk pembinaan oleh pemerintah
terhadap suatu Ormas dapat dibatasi oleh pemerintah dengan peraturan yang
lebih rendah sesuai lingkup Ormas yang bersangkutan. Menurut Mahkamah, yang
menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat
mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu
dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan
hukum, telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas
yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun
nasional. Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi
pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan
berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada
instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah
(negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas
terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut
sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban
umum, atau melakukan pelanggaran hukum;
berserikat serta hak dan kebebasan untuk memperjuangkan hak secara kolektif
untuk memajukan masyarakat dan negaranya;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
128
yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga dalil Pemohon mengenai Pasal 40
Undang-Undang a quo beralasan menurut hukum;
[3.19.9] Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) huruf a UU
17/2013 merupakan ketentuan yang multitafsir karena di satu sisi perbuatan yang
demikian itu merupakan tindak pidana dan di sisi lain hanya bersifat pelarangan.
Oleh karena itu, menurut Pemohon pasal tersebut bertentangan dengan Pasal
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
129
28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap larangan penggunaan lambang negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a UU 17/2013, Mahkamah
perlu mengutip Putusan Nomor 4/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013 yang
antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
“... Mahkamah berpendapat larangan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 huruf d Undang-Undang a quo tidak tepat. Apalagi larangan tersebut
diikuti dengan ancaman pidana, yang seharusnya ketentuan mengenai perbuatan
yang diancam pidana harus memenuhi rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex
certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta);
Terkait penggunaan lambang negara, hal yang tidak boleh dilupakan adalah
keberadaan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya”. Mahkamah berpendapat bahwa kata “menjamin” dalam Pasal 32
ayat (1) UUD 1945 harus diartikan sebagai kewajiban negara yang di sisi lain
merupakan hak warga negara atau masyarakat untuk “memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Dengan mengingat bahwa Pancasila,
yang dilambangkan dalam bentuk Garuda Pancasila, adalah seperangkat sistem
nilai (budaya) yang menjadi milik bersama atau kebudayaan bersama seluruh
warga negara Indonesia maka menjadi hak warga negara untuk melaksanakan
nilai-nilainya termasuk di dalamnya menggunakan lambang negara. Apalagi jika
mengingat bahwa Pancasila sebagai sistem nilai adalah terlahir atau merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia;
[3.19] Menimbang bahwa sesuai pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat
pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan
ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara.
Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada
warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam
derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan
dengan maksud dibentuknya Undang-Undang a quo;
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang Pasal 59 ayat (1) huruf b dan huruf d
serta ayat (3) huruf a UU 17/2013 tidak beralasan menurut hukum;
[3.19.10] Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21,
Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal
38 UU 17/2013 bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E
ayat (3), dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil tersebut,
Mahkamah tidak menemukan alasan yang diajukan Pemohon tentang adanya
pertentangan antara norma dalam pasal-pasal a quo dengan UUD 1945, karena
Pemohon hanya secara umum dan tidak menguraikan secara spesifik alasan
bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu,
menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo kabur atau tidak jelas;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.4] Permohonan Pemohon mengenai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21,
Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36,
serta Pasal 38 UU 17/2013 kabur atau tidak jelas;
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
132
1.4. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
1.5. Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5430) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Permohonan Pemohon mengenai Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal
30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, serta Pasal
38 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) tidak
dapat diterima;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
133
ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan
Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.31 WIB,
oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman,
Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir dan Saiful Anwar
sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd. ttd.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
PUTUSAN
Nomor 3/PUU-XII/2014
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Sebagai-----------------------------------------------------------------Pemohon I;
Sebagai-----------------------------------------------------------------Pemohon III;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 November 2013,
memberi kuasa kepada Wahyudi Djafar, S.H., Al Araf, S.H., M.T., Indriaswati D.
Saptaningrum, S.H., LL.M., Kristina Virri, S.H., Bahrain, S.H., Zainal Abidin,
S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Ardimanto Putra, S.H.,
Ridwan Bakar, S.H., Jeremiah U.H. Limbong, S.H., Emerson Junto, S.H.,
Donal Fariz, S.H., Lola E. Kaban, S.H., Abraham Utama, S.H., Erwin Natosmal
Oemar, S.H., Refki Saputra, S.H., Moh. Ainul Yaqin, S.H.I., Julius Ibrani, S.H.,
Wahyu Nandang Herawan, S.H., Dina Ardiyanti, S.H., M.A., M. Fandrian
Hadistianto, S.H., Ari Lazuardi, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Eddy
H. Gurning, S.H., dan Adiani Viviana, S.H., para advokat/pengacara
publik/asisten advokat/asisten pengacara publik, yang tergabung dalam Tim
Advokasi untuk Kebebasan Berserikat, yang beralamat di Jalan Siaga II Nomor 31
Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
2. DUDUK PERKARA
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”;
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal
konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat Undang-
Undang yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi
(inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya
dengan membatalkan keberadaan Undang-Undang tersebut secara
menyeluruh atau pun perpasalnya;
5. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-
Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah
Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal Undang-Undang tersebut
merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang
memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang
memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula
dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
6. Bahwa ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8; Pasal 10; Pasal 11;
Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6; Pasal
57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan huruf e UU
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menurut para
Pemohon telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan
penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang
pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya para
Pemohon, sehingga merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon;
7. Bahwa oleh karena itu melalui permohonan ini para Pemohon bermaksud
mengajukan pengujian materiil Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1; Pasal 8; Pasal
10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan
huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
terhadap UUD 1945;
8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena permohonan pengujian
ini merupakan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
20. Bahwa Pemohon I s.d Pemohon IV adalah Organisasi Non Pemerintah atau
Lembaga Swadaya Masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara
swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang
didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat mendorong transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam
pemberantarasan korupsi, memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta
menumbuhkembangkan partisipasi dan insiatif masyarakat dalam
pembangunan;
21. Bahwa tugas dan peranan Pemohon I s.d Pemohon IV dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan dalam rangka mendorong transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam pemberantarasan korupsi,
memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta menumbuhkembangkan
partisipasi dan insiatif masyarakat dalam pembangunan di Indonesia telah
secara terus-menerus mendayagunakan lembaganya sebagai sarana untuk
merperjuangkan berbagai tujuan tersebut, serta cita-cita bangsa sebagaimana
termaktub di dalam Mukadimah UUD 1945;
22. Bahwa tugas dan peranan Pemohon I s.d Pemohon IV dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan tersebut di atas, dalam hal ini mendayagunakan
lembaganya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin
anggota masyarakat dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam pemberantarasan korupsi,
memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta menumbuhkembangkan
partisipasi dan insiatif masyarakat dalam pembangunan, tanpa membedakan
jenis kelamin, suku bangsa, ras, agama, dan lain-lain. Hal ini tercermin di
dalam Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian para Pemohon (bukti P-3);
23. Bahwa dasar dan kepentingan hukum Pemohon I s.d Pemohon IV dalam
mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c dan
huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dapat
dibuktikan dengan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga para
Pemohon. Dalam Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga para
Pemohon disebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi,
dan para Pemohon juga telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
Anggaran Dasar-nya:
a. Dalam Pasal 2 Anggaran Dasar dari Pemohon I, disebutkan bahwa
Yayasan FITRA Sumut mempunyai maksud dan tujuan di bidang: a. sosial;
b. kemanusiaan; dan c. keagamaan;
b. Dalam Pasal 5 Anggaran Dasar dari Pemohon II, disebutkan bahwa YLBHI
mempunyai maksud dan tujuan adalah memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma, memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai
Negara hukum dan martabat serta hak asasi manusia, berperan aktif dalam
proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum
sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan deklarasi umum hak-hak asasi
manusia, dan memajukan dan mengembangkan program-program yang
mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum;
c. Dalam Pasal 6 Angaran Dasar dari Pemohon III, disebutkan bahwa
Perkumpulan ICW memiliki visi untuk menguatkan posisi tawar rakyat yang
teroganisir dalam mengontrol negara dan turut serta dalam pengambilan
keputusan serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis,
bebas korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, dan gender. Sementara
misinya sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 Anggaran Dasar, adalah
bersama rakyat dalam: (1) mengintegrasikan agenda antikorupsi untuk
memperkuat partisipasi rakyat yang terorganisir dalam proses pengambilan
dan pengawasan kebijakan publik; (2) memberdayakan aktor-aktor
potensial untuk mewujudkan sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi
yang bersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial dan gender;
d. Dalam Pasal 2 Anggaran Dasar dari Pemohon IV, disebutkan bahwa
maksdud dan tujuan pendirian adalah bertujuan di bidang sosial dan
kemanusiaan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
24. Bahwa dalam mencapai maksud dan tujuannya Pemohon I s.d Pemohon IV
telah melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus, sebagaimana halnya telah menjadi pengetahuan umum (notoire
feiten). Adapun, bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh para Pemohon
adalah sebagai berikut:
a. Turut aktif dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara, termasuk
dalam pembentukan Undang-Undang a quo, dengan cara memberikan
sejumlah masukan kritis, serta hasil studi, dalam rangka memastikan bahwa
setiap kebijakan yang dihasilkan selaras dengan kewajiban negara untuk
memajukan, memenuhi dan melindungi hak-hak asasi manusia setiap
warga negara;
b. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma terutama kepada
masyarakat miskin dan marginal yang harus berhadapan dengan hukum;
c. Terus-menerus melakukan kampanye publik guna mendesakkan reformasi
hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi;
d. Secara aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan
partisipasi dan prakarsa rakyat dalam rangka pemberdayaan masyarakat
dalam bidang sosial;
e. Menerbitkan berbagai macam buku maupun bentuk-bentuk publikasi lainnya
dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses
pengambilan kebijakan negara maupun dalam penyelenggaraan negara
secara umum.
25. Bahwa upaya-upaya dan serangkain kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon
I s.d Pemohon IV adalah dalam rangka melaksanakan hak konstitusional
yang dimilikinya, guna memperjuangkan haknya secara bersama untuk
kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;
26. Bahwa selain jaminan perlindungan konstitusional bagi ruang partisipasi
masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara, penegasan serupa
juga mengemuka di dalam sejumla peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
11
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
12
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
13
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
martabat serta hak asasi manusia, juga upayanya untuk berperan aktif dalam
proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaruan hukum
sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Terbentuknya rumusan pasal-pasal
dalam Undang-Undang a quo, lebih jauh telah berimplikasi pada kegagalan
dari tujuan organisasi yang hendak dicapai oleh Pemohon II (vide bukti P-3);
36. Bahwa terhadap Pemohon III, berlakunya Undang-Undang a quo juga telah
menghambat upaya menguatkan posisi tawar rakyat yang teroganisir dalam
mengontrol negara dan turut serta dalam pengambilan keputusan serta
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas korupsi,
berkeadilan ekonomi, sosial, dan gender. Jaminan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan (UU Nomor 28 Tahun 1999) bagi seluruh
kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemohon II dalam rangka mencapai
tujuannya maupun maksud yang hendak dicapai oleh UU Nomor 28 Tahun
1999, potensila digagalkan oleh lahirnya Undang-Undang a quo, yang
menciptakan situasi ketidakpastian hukum;
37. Bahwa pembatasan dan rezim pengaturan tunggal terhadap organisasi
masyarakat sipil yang diatur oleh Undang-Undang a quo, dengan berbagai
kerumitannya, telah berakibat pada dirugikannya hak-hak konstitusional
Pemohon IV. Kerugian ini khususnya terjadi dikarenakan lahirnya Undang-
Undang a quo sangat potensial menggagalkan upaya-upaya Pemohon IV di
dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan
kebijakan negara maupun dalam penyelenggaraan negara secara umum.
Dalam rangka upaya tersebut, Pemohon IV berupaya untuk
menumbuhkembangkan berbagai macam organisasi masyarakat sipil,
dengan beragam bentuk dan aktivitasnya. Sebaliknya, berlakunya Undang-
Undang a quo, malah berupaya untuk membatasi upaya itu semua, yang
diakibatkan oleh berbagai kerumitan aturan pendirian organisasi;
38. Bahwa secara umum berlakunya Undang-Undang a quo juga telah
mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional Pemohon I s.d. Pemohon
IV. Lahirnya Undang-Undang a quo nyata-nyata atau setidak-tidaknya
potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I s.d. Pemohon IV
untuk berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara,
sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, maupun peraturan
perundang-undangan lainnya. Hal ini terjadi sebagai akibat: (i) Undang-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
14
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
41. Bahwa Pemohon V merupakan individu warga negara Indonesia (bukti P-5),
yang saat ini menjabat sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), yang aktif memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan
buruh di Indonesia, melalui wadah serikat/organisasi buruh. Bahwa
keberadaan serikat buruh, selain dilindungi oleh UUD 1945, juga dijamin oleh
sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU Ketenagakerjaan dan
UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah
disahkan Indonesia dalam Undang-Undang nasionalnya;
42. Bahwa lahirnya Undang-Undang a quo nyata-nyata atau setidak-tidaknya
berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon V, dalam rangka
memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan buruh melalui wadah organisasi
buruh, dikarenakan munculnya Undang-Undang a quo baik secara langsung
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
15
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
16
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
46. Bahwa selain itu, Pemohon V s.d. Pemohon VII juga merupakan pembayar
pajak (tax payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) (vide bukti P-5). Bahwa Pemohon V s.d. Pemohon VII sebagai tax
payer menyatakan kepentingan konstitusionalnya telah terlanggar dengan
adanya Undang-Undang a quo, karena menciptakan kondisi ketidakpastian
hukum, serta menghambat pemenuhan hak berpartisipasi dalam
pembangunan dan hak atas kebebasan berserikat. Dengan demikian, syarat
legal standing seperti disebutkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-
VIII/2009 terpenuhi;
47. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan para Pemohon telah
memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 51 huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi dan sejumlah putusan Mahkamah
Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk
menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Karenanya, jelas pula keseluruhan para Pemohon memiliki hak
dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan
permohonan pengujian materiil Pasal 5 dan Pasal 1 angka 1;Pasal 8; Pasal
10; Pasal 11; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6; Pasal 57 ayat (2) dan (3); serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c
dan huruf e UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
terhadap UUD 1945;
C. Pokok Perkara
Ketentuan Rumusan
Pasal 1 Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah
angka 1 organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara
sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,
kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
17
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
18
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Ketentuan
Materi
UUD 1945
Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan Undang-undang.
Pasal 28C ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
19
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 1 angka (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat
(2) dan ayat (3) UU Ormas telah menyempitkan jaminan perlindungan
hak atas kebebasan berserikat, sehingga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
48. Bahwa kebebasan berserikat dan berorganisasi adalah bagian dari hak
konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi,
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
49. Bahwa selain jaminan di dalam pasal-pasal konstitusi tersebut, penegasan
serupa juga mengemuka di dalam Pasal 24 UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan:
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk
maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk
berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan
negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan dan pemajuan
hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
50. Bahwa kebebasan berserikat juga merupakan salah satu hak fundamental
yang menjadi perhatian seluruh umat manusia di dunia, yang kemudian
melahirkan suatu komitmen di dalam Pasal 20 Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia 1948, yang menyatakan: (1) Setiap orang mempunyai hak atas
kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan; (2) Tidak seorang pun
boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Komitmen tersebut
tentunya sejalan dengan pikiran para pembentuk UUD 1945, yang
terejawantahkan dengan lahirnya ketentuan Pasal 28 UUD 1945;
51. Bahwa sebagai bagian dari komunitas bangsa-bangsa yang ingin berturut
serta dalam pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, Indonesia juga
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
20
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
21
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Tahun 1984; dan Pasal 15 Convention on the Rights of the Child 1990 yang
disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990;
54. Bahwa merujuk pada klausul Pasal 22 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik sebagaimana telah disahkan dengan UU Nomor 12
Tahun 2005, dapat dijelaskan ruang lingkup atas hak kebebasan berserikat
setidaknya meliputi hak untuk membentuk serikat dan bergabung dalam
serikat tersebut. Oleh karenanya hak ini juga menjamin perlindungan atas
kebebasan dalam memilih serikat mana pun yang diiinginkan oleh individu
untuk bergabung;
55. Bahwa makna lebih jauh dari jaminan perlindungan tersebut, meski hanya
ada satu individu sekali pun, jika dia tidak menyetujui metode maupun tujuan
suatu organisasi, maka dia tidak dapat dipaksa untuk bergabung dalam
organisasi tersebut, meskipun organisasi tersebut merupakan organisasi
satu-satunya yang ada dalam suatu negara. Sebaliknya, Kovenan menjamin
hak individu tersebut–bersama orang lain tentunya—untuk membentuk
organisasi lain seperti yang dia inginkan, sebagai sebuah mekanisme
pelaksanaan hak untuk mengembangkan diri dan terlibat dalam
pembangunan;
56. Bahwa berdasar pada Resolusi 15/21 yang diadopsi oleh Dewan HAM PBB
pada 6 Oktober 2010, hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara
damai antara lain berfungsi sebagai kendaraan untuk pelaksanaan hak-hak
sipil, politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya. Hak atas
kebebasan berserikat merupakan komponen penting bagi demokrasi karena
memberdayakan laki-laki dan perempuan untuk: mengekspresikan pendapat
politik mereka, terlibat dalam kegiatan sastra dan seni budaya, ekonomi dan
sosial lainnya, terlibat dalam ibadah agama atau keyakinan, membentuk dan
bergabung dengan serikat buruh dan koperasi, serta memilih pihak yang
bertanggung jawab untuk mewakili kepentingan mereka (bukti P-7);
57. Bahwa selain menekankan arti penting dari kebebasan berserikat, Resolusi
15/21 juga menegaskan kembali bahwa setiap orang memiliki hak atas
kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat. Ketentuan ini harus
dibaca bersama-sama dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 26 Kovenan
Internasional Hak Sipil-sipil dan Politik, yang telah disahkan melalui UU
Nomor 12 Tahun 2005. Perlindungan tersebut juga diberikan termasuk
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
22
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
23
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
24
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
25
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
kepentingan satu atau lebih orang atau organisasi; (e) charity: bentuk hukum
untuk organisasi sukarela yang umum berlaku di Inggris dan beberapa
negara Persemakmuran; (f) bentuk-bentuk khusus, seperti perusahaan untuk
kepentingan publik, dana, pusat kajian/lembaga, cso, organisasi
kemanusiaan, dll;
67. Bahwa pembatasan terhadap tujuan organisasi kemasyarakatan,
sebagaimana diatur ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo, juga nampak
sekali pertentangannya dengan cakupan perlindungan hak atas kebebasan
berserikat, maupun syarat-syarat pembatasan tehadap hak atas kebebasan
berserikat. Merujuk pada instrumen hukum internasional hak asasi manusia,
maupun peraturan perundang-undangan nasional, pembatasan dan
pengurangan hak atas kebebasan berserikat, dalam bentuk administrasi,
yang terkait erat dengan alasan kepentingan ketertiban umum, hanya dapat
dilakukan dalam bentuk: keharusan untuk memberitahu tentang keberadaan
dari suatu organisasi, adanya sistem lisensi dan pendaftaran (registrasi) agar
dapat diketahui dasar hukum dari pembentukan suatu organisasi, penjelasan
mengenai tujuan yang hendak dicapai dari suatu organisasi, kegiatan, organ
di bawahnya, serta pendanaan mereka. Artinya, negara tidak diperkenankan
untuk menentukan tujuan dari suatu organisasi—tetapi sekadar mendapat
penjelasan mengenai tujuan, dan tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk pelanggaran serius terhadap hak atas kebebasan berserikat,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945;
68. Bahwa semangat membatasi dan menyempitkan pelaksanaan hak atas
kebebasan berserikat menjadi semakin terlihat kentara bilamana kita
perhatikan ketentuan yang mengatur tentang batasan pengertian dari
organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1 angka 1 UU
a quo;
69. Bahwa batasan pengertian (Pasal 1 angka 1) mengenai organisasi
kemasyarakatan yang kemudian membawahi semua bentuk asosiasi atau
organisasi yang hidup di Indonesia, dengan memberikan lebel organisasi
kemasyarakatan (Ormas), nampak telah mempersempit ruang lingkup
perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan tidak mampu
mengakomodasi berbagai macam bentuk asosiasi atau organisasi yang
masuk dalam cakupan perlindungan hak tersebut. Semangat dari Undang-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
26
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
27
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 8 juncto Pasal 23, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 1
angka 6, serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU Ormas
pengaturannya telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, yang
diakibatkan munculnya pertentangan (konflik) antar norma dan menimbulkan
keluasan dalam penafsiran, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
77. Bahwa salah satu pilar terpenting dari terbentuknya negara Indonesia selain
bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan bahwa Indonesia
tunduk pada prinsip negara hukum, sebagaimana termaktub di dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
78. Bahwa salah satu unsur terpenting dari negara hukum adalah adanya
jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum, hal ini sebagaimana
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
28
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
29
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
30
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
batas minimal jumlah cabang yang dimiliki untuk menentukan lingkup suatu
organisasi;
89. Bahwa benturan antar pasal dalam Undang-Undang a quo, jelas telah
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, yang menghendaki adanya
kejelasan rumusan dari suatu undang-undang. Dijelaskan oleh Charles
Eisenmann, ahli hukum Perancis: “Let no one claim that the legislator is
precluded from creating law. No, he is still free to create whatever he likes,
but everything that he validly creates will be regular law. What is more, in this
way the certainty of law is guaranteed by means of the uniformity and
homogeneity of legislative law” (bukti P-11);
90. Bahwa tiadanya kepastian hukum dalam rumusan Undang-Undang a quo,
juga berakibat pada tiadanya moralitas hukum pada Undang-Undang a quo.
Dijelaskan oleh Lon H. Fuller, seorang pemikir hukum alam generasi terakhir,
bahwa kepastian hukum merupakan salah satu unsur utama moralitas
hukum. Ditegaskannya sebuah peraturan hukum perlu tunduk pada internal
moraliti, oleh karena itu dalam pembentukannya harus memperhatikan antara
lain: (i) Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
dimengerti oleh rakyat biasa, yang juga dinamakan sebagai hasrat untuk
kejelasan; (ii) Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain (bukti
P-12);
91. Bahwa dalam konteks pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat, Pelapor
Khusus PBB untuk kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai dalam
laporannya (A/HRC/20/27) mengatakan, hukum internasional HAM
menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berserikat.
Oleh karena itu, Undang-Undang nasional tidak boleh terlalu jauh mengatur
pembatasan mengenai pelaksanaan hak ini, selain di dalam pembatasan
harus sepenuhnya memenuhi kaidah pembatasan. Dalam konteks pendirian
organisasi atau serikat, cukup dilakukan tidak lebih dari dua orang.
Menurutnya jumlah yang lebih tinggi mungkin hanya diperlukan untuk
membentuk sebuah partai politik atau serikat buruh, tetapi jumlah ini tidak
boleh ditetapkan pada tingkat yang akan mencegah orang dari terlibat dalam
suatu organisasi atau serikat (bukti P-13);
92. Bahwa ketidakjelasan dan kelenturan penafsiran dari rumusan Undang-
Undang a quo, semakin terlihat dengan tidak adanya ketegasan perbedaan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
31
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
32
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
97. Bahwa dalam konteks pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat negara
memiliki kewenangan untuk melakukan pembatasan dan pengurangan atas
hak tersebut, dengan syarat memenuhi seluruh kaidah pembatasan
sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Lebih jauh untuk memastikan
perlindungan terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat dan juga
pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang lain, negara dapat menghadirkan
sejumlah Undang-Undang untuk mengatur pelaksanaan hak atas kebebasan
berserikat, dengan catatan aturan tersebut dapat menjamin kepastian atas
pelaksaan hak serta tidak ada pemaksaan pada satu rezim pengaturan
tertentu;
98. Bahwa di dalam hukum internasional hak asasi manusia, juga di dalam
praktik negara-negara di dunia yang selaras dengan prinsip-prinsip
perlindungan hak atas kebebasan berserikat, pengaturan terhadap
pelaksanaan hak ini dapat ditemukan atau dapat dilakukan melalui sejumlah
peraturan perundang-undangan sekaligus, tergantung dengan tujuan dari
pengaturannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan prinsip tidak bolehnya
pemaksaan rezim pengaturan tunggal terhadap organisasi, guna memastikan
perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat. Bentuk-bentuk
pengaturan tersebut antara lain:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
33
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
99. Bahwa lahirnya Undang-Undang a quo justru menunjukan adanya upaya dari
pembentuk Undang-Undang untuk memaksakan suatu rezim pengaturan
tunggal terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat. Selain itu,
lahirnya Undang-Undang a quo juga telah menimbulkan terjadinya konflik
norma yang mengatur jaminan hak atas kebebasan berserikat, dan justru
tidak memperkuat perlindungan pelaksanaan hak tersebut, melainkan
sebaliknya mempersempit pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat;
100. Bahwa konflik norma yang ditimbulkan akibat disahkannya Undang-Undang
a quo maupun tercermin dari rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang
a quo telah mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dalam
pengaturan mengenai perlindungan hak atas kebebasan berserikat, yang
dijamin oleh UUD 1945. Hal ini terutama nampak dari ketentuan di dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
34
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
35
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
36
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
37
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
114. Bahwa kepastian hukum merupakan ciri utama dari suatu negara hukum,
yang di dalamnya mengandung asas legalitas, prediktabilitas dan
transparansi, sebab negara hukum sendiri, khususnya dalam tradisi the rule
of law berarti sebagai “a legal system in which rules are clear, well-
understood, and fairly enforced”—sebuah sistem hukum yang jelas (kecil
kemungkinan untuk disalahgunakan), mudah dipahami, dan menjaga
tegaknya keadilan;
115. Bahwa ‘kepastian hukum’ atau legal certainty sebagai esensi penting dari
suatu negara hukum anatar lain diakui oleh Friedrrich von Hayek, yang
menyatakan bahwa kepastian hukum adalah salah satu atribut utama dari the
rule of law itu sendiri, selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum
(generality), dan atribut kesetaraan (equality) (bukti P-19);
116. Bahwa kepastian hukum (legal certainty) menurut pendapat Hayek berarti
hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga
seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari
perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan
dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat
terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang (vide bukti P-19)
117. Bahwa sejalan dengan pendapat tersebut, dalam tradisi negara hukum
rechtsstaat, ditegaskan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa kepastian hukum
adalah bagian penting yang harus diperhatikan oleh negara yang menganut
paham negara hukum, dijelaskannya, bahwa the Rechtsstaat “must
determine with precision and with certainty the boundaries and the limits of its
activity, as well as the free sphere of its citizens, according to the modalities
of law” (vide bukti-11);
118. Bahwa untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam setiap rumusan
Undang-Undang yang dibentuk, hukum nasional telah mengaturnya secara
detail di dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam peraturan perundang-
undangan tersebut dinyatakan bahwa kepastian hukum merupakan salah
satu asas yang tidak dapat disimpangi dalam setiap pembuatan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
38
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
39
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 10 dan Pasal 11 serta Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 42 ayat (2) UU
Ormas menghambat peran serta masyarakat dalam pembangunan, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
126. Bahwa ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah memberikan
penegasan bahwa setiap warga negara Indonesia dengan mekanisme, tata
cara atau peranan apa pun, memiliki kesempatan yang sama untuk bersama-
sama mengembangkan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia;
127. Bahwa jaminan hak untuk turut serta dalam pengembangan masyarakat,
bangsa dan negara, juga secara detail diatur di dalam UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang hak asasi manusia, khususnya dalam ketentuan Pasal 15 dan
Pasal 16:
Pasal 15
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya,
baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
40
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 16
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan,
mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
128. Bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara, juga mengemuka di dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, yang dengan tegas menyebutkan bahwa
peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan yang bersih. Jaminan bagi keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan maupun penyelenggaraan negara juga kian diakui oleh
sejumlah peraturan perundang-undangan lain, seperti UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan UU Penanganan Konflik Sosial, yang membuka
partisipasi masyarakat;
129. Bahwa adanya jaminan untuk berperan secara aktif dalam pengembangan
masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945
dan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang lain,
memperlihatkan bahwa sesungguhnya negara hendak memberikan ruang
yang sangat besar bagi setiap individu, masyarakat, termasuk yang
tergabung dalam organisasi untuk terlibat dalam pembangunan;
130. Bahwa dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, Dewan HAM PBB
sendiri menyadari betapa pentingnya keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam
proses tata kelola yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pengakuan ini
setidaknya nampak dalam Resolusi 21/16 yang diadopsi oleh Dewan HAM
pada 11 Oktober 2012. Dalam resolusi tersebut Dewan HAM mengingatkan
negara-negara tentang kewajibannya untuk menghormati dan sepenuhnya
melindungi hak-hak semua individu untuk berkumpul secara damai dan
berserikat secara bebas, baik offline maupun online, termasuk dalam konteks
Pemilu, dan termasuk kelompok minoritas atau yang memiliki pandangan
atau keyakinan yang berbeda, para pembela hak asasi manusia, anggota
serikat buruh, dan lain-lain (bukti P-15);
131. Bahwa negara-negara Eropa, melalui Komisi Eropa dan OSCE telah
menyepakati jika kebebasan berserikat adalah syarat penting untuk
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
41
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
D. Petitum
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutus sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-
Undang yang diajukan oleh para Pemohon;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
42
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
43
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
5. Bukti P-5 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Nomor Pokok Wajib
Pajak dari Pemohon V sampai dengan Pemohon VII;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Buku Frans Magnis Suseno, Etika Politik,
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern;
11. Bukti P-11 : Fotokopi Buku Pietro Costa And Danilo Zolo (eds.), The
Rule Of Law History, Theory And Criticism;
12. Bukti P-12 : Fotokopi Buku Lon L. Fuller, Morality Of Law, New
Heaven And London;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
44
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
14. Bukti P-14 : Fotokopi Buku Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di
Indonesia;
19. Bukti P-19 : Fotokopi Buku Friedrich A. Von Hayek, The Constitution
Of Liberty;
Selain itu para Pemohon juga mengajukan satu orang saksi dan tujuh orang
ahli yang didengar keterangannya di dalam persidangan serta satu orang ahli
menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
kebijakan publik seperti rancangan peraturan bupati tentang usaha kecil dan
keterampilan, Peraturan bupati hasil hutan bukan kayu, mendorong lahirnya
perda perencanaan partisipatif bersama dengan PNPM, dan mendorong
keluarnya Perda Penanggulangan Kemiskinan serta Peraturan Daerah
Pengelolaan Jasa Lingkungan. Dalam waktu dekat bekerja sama juga dengan
program PNPM GSC (Generasi Sehat dan Cerdas) dalam mendorong lahirnya
ramperdes tentang PNPM kesehatan masyarakat miskin dan rancangan
peraturan desa tentang penyelenggaraan pendidikan di tingkat desa di
Kabupaten Lombok Tengah;
- Konsorsium juga mengambil peran warga desa dan terus aktif berpartisipasi
dalam pembangunan desa, terutama dalam tahapan perancangan
pembangunan desa, yaitu momentum Musrenbangdes, menerima pengaduan
masyarakat terkait pelayanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, seperti
beras untuk masyarakat miskin, dan berbagai macam implementasi kebijakan-
kebijakan Pemerintah yang terkait kebutuhan dasar masyarakat miskin.
- Selama ini, dalam koalisi, teman-teman NGO selalu bekerja sama dengan
pemerintah daerah. Telah terbangun dengan baik proses pengambil kebijakan.
- Kerja sama dengan pemerintah daerah, DPRD, dan hampir semua SKPD di
Lombok Tengah. Konsorsium juga menjadi bagian dari Anggota TKPKD (Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) Kabupaten Lombok Tengah
yang dikuatkan dengan SK Bupati Lombok Tengah.
- Dengan berlakunya Undang-Undang Ormas, saksi tidak tahu mengapa muncul
pernyataan dari Kepala Kesbangpoldagri Kabupaten Lombok Tengah bahwa
organisasi saksi illegal. Hal tersebut merugikan saksi dan menghambat
kebebasan berserikat organisasi masyarakat sipil secara umum.
Ahli:
Selama ini peran OMS dikenal oleh Pemerintah dan masyarakat dalam bidang-
bidang pendidikan, pemberdayaan, pelayanan masyarakat, dan kontrol
terhadap berjalannya pemerintahan. Namun yang tidak banyak diketahui
adalah apa karakter dari OMS, peran potensialnya, dan sumber dayanya.
Beberapa OMS memang ada yang memiliiki sumber daya yang cukup baik
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
46
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Yang dibutuhkan Ornop adalah perbaikan akses sumber daya publik melalui
Pemerintah, tehnokrasi memperkuat jaringan, promosi/endorsement skema
pembangunan strategik yang disediakan pemerintah, perlindungan hukum dari
ornop lain yang melakukan kekerasan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
48
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata nasional kinerja tata kelola provinsi,
buruk. Yogyakarta yang meraih nilai tertinggi hanya mencapai angka 6,80 (hal.
34). Artinya, institusi pemerintahan yang ada di daerah belum mampu menjadi
responsif atas kepentingan masyarakat.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
49
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Jadi, suatu Undang-Undang tidak cukup hanya dilihat dari rumusannya namun
harus diletakkan pada konteks institusional dan organisasional dimana akan
diterapkan. Sebagai contoh, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas Pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
perusahaan. Tampaknya pasal ini secara rumusan tidak merugikan
perusahaan. Dalam kenyataannya, pasal ini memperkuat tekanan politisi
maupun kelompok lain di daerah agar perusahaan memberikan materi untuk
kepentingan pribadi/kelompok.
Satu hal mendasar yang perlu dipahami dalam memetakan masalah ini ialah
bahwa Organisasi Masyarakat Sipil tidak sama dengan Ormas.
(OMS ≠ Ormas)
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kapasitas dan orientasi negara
dalam memimpin, mengatur, dan mengembangkan sumber daya publik dengan
baik. Suatu negara dalam berinteraksi dengan OMS setidaknya mempunyai
empat macam hubungan, yaitu hubungan pengaturan negatif, fasilitasi,
kemitraan, dan promosi (endorsing).
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
50
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Peran dan hubungan yang ketiga adalah kemitraan, yaitu negara mendorong
kapasitas dan keterlibatan OMS dalam mengelola sumber daya publik,
termasuk di dalamnya, mengembangkan skema dan prosedur pelibatan OMS
dalam sumber daya publik.
Mengapa suatu negara perlu melakukan keempat dimensi di atas? Semua itu
berdasarkan kenyataan bahwa setiap institusi negara mempunyai banyak
keterbatasan dalam melakukan upaya mensejahterakan masyarakat, apalagi
khususnya negara seperti Indonesia. Bagaimana suatu pemerintah/negara
memenuhi dimensi-dimensi ini mencerminkan beberapa hal penting, yaitu
pandangannya tentang masyarakat, orientasi dalam melakukan pembangunan,
kepentingan politik, dan kapasitas institusi negara dalam berinteraksi dengan
organisasi masyarakat.
2. Surya Tjandra
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
51
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
52
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
53
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
54
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
55
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Isinya penuh dengan semangat anti demokrasi dan bersifat sangat otoriter.
Betapa tidak semua organisasi kemasyarakatan wajib mendaftarkan diri dan
memperoleh surat keterangan terdaftar (SKT) yang dapat diperpanjang,
dibekukan, ataupun dicabut. SKT ini diberlakukan seolan-olah izin beroperasi
yang dapat dibekukan dan kemudian dicabut apabila, antara lain, menyebarkan
ideologi marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, serta ideologi Iain yang
bertentangan dergan Pancasila dan UUD 1945.
Apakah dasar hukum utama permen 33/2012 itu? Ternyata adalah Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 yang sangat bersifat otoriter, yang
dikeluarkan memang pada zaman Indonesia berada dalam sistem politik yang
represif otoriter. Undang-Undang dan peraturan pemerintah itu secara jelas
menyebutkan bahwa setiap Ormas hanya boleh memiiiki Pancasila sebagai
satu-satunya asas serta dapat dibekukan dan dibubarkan sebagaimana alasan
yang telah disebutkan dalam Permendagri di atas.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
56
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala bentuk dan
perwujudannya.
Lebih dari itu, Permendagri 33/2012 ini secara eksplisit dan lebih luas lagi
menyatakan bahwa pembekuan SKT bisa dilakukan, antara lain, jika dianggap
menyebarkan ideologi marxisme atheisme, kapitalisme, sosialisme, serta
ideologi lainnya yang bertentangan Pancasila dan UUD 1945.
Sejak 2006, belasan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi
Kebebasan Berekspresi (KKB) menolak RUU. Kemudian belasan organisasi
masyarakat sipil bidang media bergabung, yang menyebabkan koalisi
mempunyai nama lain, yaitu Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi.
Selanjutnya koalisi menjadi lebih besar lagi dengan bergabungnya organisasi
buruh, pekerja, serta organisasi keagamaan, termasuk Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama, sehingga mempunyai nama lain yang disebut sebagai Koalisi
Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI), yang pada 28 Februari 2013
mengeluarkan siaran pers menolak RUU Ormas. Selanjutnya, pada 4 April,
mereka mengeluarkan tujuh alasan penting menolak RUU, yaitu 1) RUU Ormas
Tidak Urgen; 2) Represi dan Rezim Otoriter; 3) Anti-Kemajemukan; 4)
Inkonstitusional; 5) Diskrimlnatif; 6) RUU Ormas Disharmoni; 7) RUU Ormas
Membubarkan Ormas-Ormas Perkumpulan. KAMSI terdiri atas sekitar 200
organisasi masyarakat sipil dan tokoh masyarakat.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
57
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Tetap otoriter
Ambisi dan nafsu negara, dalam hal ini Pemerintah untuk mengatur dan
mengontrol seluruh organisasi masyarakat sipil terlihat dengan jelas. Seluruh
organisasi masyarakat sipil yang tidak berbadan hukum (bayangkan organisasi
kecil-kecil termasuk yang memiliki aktivitas olahraga, sosial dan lainnya) harus
memperoleh surat keterangan terdaftar atau terdata dengan proses yang rumit.
Bila tidak, kegiatannva dapat terganggu atau bahkan dihentikan (Pasal 8 dan
10). Seluruh Ormas ternasuk Yayasan dan Perkumpulan yang sudah
memperoleh pengesahan badan hukum dan sudah dianggap terdaftar harus
patuh dan mengikuti Undang-Undang Ormas yang antara lain dapat dijatuhi
perghentian sementara (Pasal 61). Ini dapat dilakukan langsung tanpa lewat
proses pengadilan. Semua ini menyebabkan terjadinya pelanggaran dan
bertentangan dengan Pasal 28; Pasal 28C ayat (2); Pasal 28E ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) UUD 1945. Sebenarnya bila terdapat tindakan kekerasan atau
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi
berbasis massa tertentu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah lebih dari
cukup. KUHP juga mengatur delik yang memberikan konsekuensi pidana
kepada pelaku maupun perencana.
Dilihat dari perspektif komunikasi, media, dan kemerdekaan pers, UU Ormas ini
tampak akal-akalan sekaligus memperlihatkankan wajah represif dan
otoriternya. Betapa tidak, beberapa contoh memberikan gambaran itu. Pasal
dalam RUU Ormas yang semula berbunyi: Ormas dilarang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila. Yang dimaksud dengan "ajaran dan paham yang
bertentangan dengan Pancasila" antara lain ajaran atau paham Komunisme,
Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme; sekarang dalam UU
ORMAS 17/2013 diubah menjadi: Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila" adalah ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme [Pasal 59 ayat (4) dan Penjelasannya].
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
59
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
UU Ormas 17/2013 ini berbahaya dan sangat anti demokrasi, bukan hanya
dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat sipil
secara umum juga sangat merugikan dan berbahaya buat organisasi media,
pers, wartawan, dan jurnalis. Organisasi-organisasi ini dapat diklasifikasikan
sebagai organisasi bermasalah dan melanggar Undang-Undang karena
pemberitaan, artikel, infOrmasinya seringkali menyebarkan ideologi lain yang
kadangkala memang tidak sesuai dengan Pancasila.
Media dan para jurnalis/wartawan bisa dihukum dan berhenti bekerja bila
menyajikan berita karena dapat dianggap menyebarkan ajaran tersebut! Tugas
wartawan dan media adalah menyajikan infOrmasi yang lengkap dari berbagai
macam sudut pandang, termasuk pandangan dan ajaran y0ng dapat saja
bertentangan dengan Pancasila, agar pembaca dapat memperoleh gambaran
dan infOrmasi yang komprehensif dan bermanfaat buat meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan praktek
atau aktivitas dan gerakan yang merongrong Pancasila, ideologi, dan
kewibawaan negara.
Akal-akalan UU Ormas
Di samping itu, pada pasal peralihan terdapat beberapa alternatif yang mencoba
ingin memberi keistimewaan kepada NU dan Muhammadiyah sebagaimana
dapat dilihat pada Ketentuan Peralihan Pasal 83 huruf b yang berbunyi: Ormas
yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van
Vereengingen) yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa,
tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Ini.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
61
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Penutup
Pada prinsipnya, Undang-Undang ini tetap tidak berubah, tetap otoriter dan anti
demokrasi. Undang-Undang ni sangat berambisi secara ketat mengatur seluruh
organisasi masyarakat sipil dengan berbagai kegiatan yang didirikan oleh tiga
orang atau lebih, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Organisasi
masyarakat sipil dapat diberi sanksi penghentian sementara kegiatan dan atau
pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum secara sepihak
karena melanggar pasal-pasal larangan yang umumnya juga bersifat karet.
Pada bagian menimbang yang merupakan landasan filosofis dan yuridis,
Undang-Undang ini melupakan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan, mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, serta menyampaikan
infOrmasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Undang-
Undang ini justru menggunakan pertimbangan menghormati kebebasan dan hak
asasi orang lain untuk mengurangi kebebasan berserikat, berkumpul, dan
berpendapat.
Ketika awal April 2013 DPR menunda pengesahan UU, Menteri Dalam Negeri
mengatakan hal Ini adalah sebuah ironi karena secara hukum masih berlaku UU
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang otoriter dan
lebih keras serta bertentangan dengan UUD 1945. Menurut saya, justru yang
sangat menyedihkan adalah mengapa Mendagri dalam alam yang demokratis,
pada 20 April 2012, masih mengeluarkan Permendagri Nomor 33 tentang
Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
62
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, yang tidak kalah represifnya dan
mendasarkan dirinya pada UU Nomor 8 Tahun 1985 itu. Bukankah ini justru
yang ironi?
Indonesia telah memilih demokrasi sebagai jalan hidup bemegara. Selama ini
kita merasa bahwa hak-hak sipil dan politik dalam bentuk kebebasan berbicara,
berekspresi, kemerdekaan pers, dan berorganisasi telah secara relatif diperoleh
dan selanjutnya mencoba memperjuangkan demokrasi ekonomi, sosial, dan
budaya dalam usaha menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat,
kini ditarik mundur oleh UU ORMAS 17/2013 yang bersifat otoriter itu.
Seolah-olah ingin menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain, negara
mengambil alih peranan untuk mengurangi kebebasan berserikat, berkumpul
dan berpendapat. UU Ormas ini berentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
juga sekaligus bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1945 tentang Pers
sebagaimana telah saya uraikan di atas. Kepada Majelis Hakim Mahkamah
Korstitusi Yang Mulia diharapkan dapat memberikan keputusan yang tepat
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, untuk kepentingan seluruh
masyarakat agar demokratisasi politik, ekonomi, sosial, dan juga komunikasi
bisa berjalan secara sehat dan baik. Mari kita membahas dan memperbaiki
Undang-Undang Perkumpulan dan Yayasan untuk Indonesia yang lebih baik
dan demokratis. Ini adalah gerakan kita bersama mencegah otoritarianisme
baru dalam kehidupan berbangsa dan bemegara di Indonesia.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
63
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
A. Hubungan Negara dan Masyarakat Sipil: Dari masa sulit, euforia, dan
ketegangan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
64
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Tentu saja hasilnya dapat kita amati bersama. Ruang politik dikuasai oleh
mobilisasi bukan partisipasi. Rezim orde baru secara ketat mengawasi kegiatan
aktivis/organisasi kemasyarakatan sehingga pada akhirnya mengalami ledakan
politik pada akhir periode orde baru (pasca Pemilu 1997).
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
66
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
sumber rekrutmen politik, dimana selama orde baru menjadi basis mobilisasi
politik rezim. Riuh rendahnya dunia masyarakat sipil mestinya tidak dibaca
sebagai ancaman oleh negara karena dalam dunia masyarakat sipil pun terjadi
proses seleksi alamiah dalam meraih kepercayaan masyarakat.
Apa implikasi dari cara pandang tersebut? Pembuat kebijakan tidak memahami
keragaman dunia masyarakat sipil yang bahkan dapat tumbuh dari lingkungan
komunitas yang kecil seperti rukun warga dan desa/kelurahan. Geliat forum-
forum warga yang bertujuan merespon kebijakan kepada desa atau lurah
misalnya, merupakan fora baru organisasi masyarakat sipil yang perlu
diapresiasi sebagai bentuk nyata kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Pengorganisasian masyarakat hingga tingkat desa dalam upaya menghadirkan
kepentingan mereka adalah bukti perluasan partisipasi politik pada era
demokratisasi dewasa ini.
OMS tidak selalu terlembaga, dalam arti memiliki struktur organisasi formal,
berjenjang, dan memiliki AD/ART. Pembuat kebijakan tampaknya kurang
memahami kemajemukan dan keunikan OMS yang berbasis pada kebutuhan
yang disesuaikan dengan konteksnya. Dengan meluasnya partisipasi politik,
muncul kebutuhan untuk berkumpul dan mengorganisir kepentingan agar
tersampaikan secara Iuas. Misalnya kelompok-kelompok adat merasa perlu
mengorganisir diri untuk menyampaikan aspirasinya namun tidak selalu dalam
bentuk organisasi formal.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
68
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dengan logika seperti itu pembuat kebijakan mengatur agar Ormas harus
terdaftar, menyerahkan program kerjanya, melakukan pemberdayaan yang bisa
dimaknai sebagai pembinaan, bahkan juga mengatur komposisi kepengurusan.
Satu hal lain yang terlupakan, selain soal kemajemukan, OMS memiliki otonomi
mengatur dirinya sendiri yang harus dihargai dan tidak boleh diintervensi oleh
Pemerintah (negara). Dalam relasi kuasa dengan negara yang (pasti) timpang,
OMS perlu ruang otonomi memadai agar dapat hidup dan memberikan
kontribusinya.
D. Rekomendasi
Mengacu pada penjelasan di atas maka UU Ormas ini sangat beralasan untuk
dicabut sepenuhnya. Pembuat kebijakan masih menggunakan logika atau cara
pandang Ormas dari masa orde baru dan sangat tidak tepat digunakan lagi
pada era demokratisasi saat ini. Indonesia telah mengalami perjalanan panjang
dalam relasi antara negara dengan masyarakat sipil, dan jangan lagi dibuat
dalam kerangka untuk mengendalikan atau pembinaan oleh Pemerintah. Ketika
kita sebagai bangsa menerima kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat sebagai hak warga negara maka sejatinya hal itu
dilaksanakan secara konsekuen. Ranah sosial kemasyarakatan haruslah
dikelola dengan pendekatan dan kerangka yang benar, yaitu melalui badan
hukum Yayasan (untuk organisasi sosial tanpa anggota) dan badan hukum
Perkumpulan (untuk organisasi sosial dengan anggota) yang dikelola oleh
Kementerian Hukum dan HAM. Sementara yang tidak berbadan hukum
sebenarnya telah dijamin oleh UUD 1945. Pendekatan ini ke depannya akan
membangun kerangka yang baik dalam menjalankan perbaikan demokratisasi
di Indonesia.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
69
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Untuk lingkup hak tersebut di atas, ahli merujuk pada pengaturan hak
tersebut sekaligus pemaknaannya dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang
telah disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005.
Baik berdasarkan Konstitusi kita maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, hak
atas kebebasan berserikat tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Dengan demikian,
pembatasan atas hak ini diperbolehkan. Namun demikian pembatasan
tersebut tidak boleh membahayakan perlindungan kebebasan berserikat.
Perlu pula kita perhatikan bahwa dalam hukum internasional hak asasi
manusia, hak atas kebebasan berserikat masuk dalam zona irisan antara
hak sipil dan politik. Walaupun pembatasan atas hak ini diperbolehkan,
namun pembatasan tersebut harus tetap melindungi hak ini dari intervensi
negara maupun pihak lain oleh karena pentingnya hak ini bagi adanya dan
berfungsinya demokrasi. Bahwa kepentingan politik individu akan lebih bisa
diperjuangkan melalui sebuah perkumpulan dengan orang lain baik melalui
partai politik, kelompok profesional, organisasi maupun perserikatan lainnya
dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
71
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
b). pertimbangan moral, c). nilai-nilai agama; d). keamanan umum; e).
ketertiban umum.
Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan
sebagai memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau
perseorangan hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang
bertujuan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam
Kovenan ini, atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar
daripada yang ditentukan dalam Kovenan ini.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
72
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
atau moral publik, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang
lain.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
74
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Harus diperhatikan bahwa Kovenan Hak Sipil dan Politik juga memasukkan
istilah "perlu" (necessary) dalam ketentuan-ketentuan yang mengandung
pembatasan termasuk dalam hal ini Pasal 22 yang mengatur hak atas
berserikat yang dengan demikian berlaku pula bagi pembatasan hak
tersebut. Hal ini memperlihatkan adanya maksud dari perancang Kovenan
Hak Sipil dan Politik untuk membatasi penerapan pembatasan hak-hak
hanya pada situasi dimana ada kebutuhan riil untuk pembatasan tersebut.
Untuk menyatakan bahwa kebutuhan itu memang ada, persyaratan
mendasar yang harus dipenuhi adalah bahwa pembatasan sejalan dengan
semangat dan apa yang tertulis dalam Kovenan. Prinsip Siracusa juga
menyatakan istilah `necessary' mengimplikasikan bahwa pembatasan:
Hal yang sangat penting untuk diingat adalah prinsip umum bahwa tidak ada
pembatasan atau dasar untuk menerapkan pembatasan tersebut terhadap
hak yang dijamin oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diperbolehkan,
kecuali seperti apa yang terdapat dalam kovenan itu sendiri. Di dalam Prinsip
Siracusa disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan
esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan
ditujukan untuk mendukung hak-hak dan bahwa pembatasan harus
ditafsirkan secara jelas dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip
ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara
sewenang-wenang.
Organisasi dapat mengambil bentuk apa Baja oleh karena tidak ada
pembatasan apa pun, baik berbentuk formal, dalam bentuk pengaturan
orgaisasi yang lebih kompleks atau pun dalam bentuk informal dan dalam
struktur organisasi yang lebih sederhana. Seluruh organisasi dapat memilih
secara bebas bentuk organisasi mereka sesuai dengan kehendak para
anggotanya. Semua organisasi dapat kemudian mencari status badan hukum
atau jaminan untuk dapat beroperasi. Namun demikian, semua bentuk
organisasi dilindungi dan dapat berupa sebuah organisasi dengan struktur yang
formal, informal, memiliki status badan hukum dan dapat pula sebuah entitas
yang tidak terdaftar.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
77
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
78
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Terdapat dua model peran yang berwenang dalam hal pengaturan organisasi
masyarakat sipil: a). notifikasi; b). pendaftaran (registrasi). UU Ormas
menganut rejim pendaftaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 sampai
dengan Pasal 19 UU Ormas. Rezim pendaftaran terhadap suatu organisasi
masyarakat sipil, sebagai suatu bentuk keterlibatan negara memang
dimungkinkan, akan tetapi ada sejumlah prinsip yang tidak dapat disimpangi.
Registrasi sendiri dimaksudkan untuk dapat diketahui dasar hukum dari
pembentukan suatu organisasi, oleh karena itu sifatnya administratif, tidak
diperkenankan adanya pembatasan bersifat substantif, seperti adanya
pembatasan tujuan dari suatu organisasi. Selain itu, ketika rezim pendaftaran
dijalankan, semestinya ruang komplain yang memadai juga diberikan, untuk
melakukan banding terhadap keputusan Pemerintah, jika tidak berkenan
melakukan pendaftaran terhadap suatu organisasi.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
79
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bentuk lain dari pembatasan adalah adanya sebuah sistem "peringatan" dari
lembaga yang berwenang kepada sebuah organisasi apabila tidak sesuai
dengan pengaturan administratif. Peringatan dalam UU Ormas diatur dalam
Bab XVII yang mengatur tentang sanksi yang juga mengatur tentang
pembubaran sebuah organisasi. Ketentuan "peringatan" dalam UU Ormas
diatur dalam Pasal 62 s.d. Pasal 64. Pasal-pasal ini memuat ketentuan tentang
"peringatan tertulis" yang diberikan oleh Pemerintah (pusat/daerah) kepada
organisasi sebagai langkah pertama sebelum akhirnya sebuah organisasi
dibubarkan. Dasar pemberikan peringatan adalah tidak dipatuhinya Pasal 21
yang memuat ketentuan tentang kewajiban dan Pasal 59 tentang larangan.
Pada dasarnya alasan dikenakannya sanksi dalam UU Ormas didasarkan pada
Pasal 21 dan Pasal 59. Pasal 21 tentang kewajiban memuat ketentuan yang
dapat didefinisikan luas serta kabur khususnya huruf b dan huruf c.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
80
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dalam hal ini harus diingat bahwa alasan lembaga yang berwenang untuk
membubarkan sebuah organisasi haruslah jelas didefinisikan dan
keputusannya haruslah dikeluarkan oleh pengadilan serta harus pula dapat
diuji oleh pengadilan. Pendeknya, untuk membubarkan suatu organisasi alasan
haruslah sesuatu yang sangat serius. Mengapa? Karena pembubaran sebuah
organisasi merupakan sebuah pembatasan yang paling serius dari kebebasan
berserikat, alasannya harus Pula sangat serius.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
81
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
82
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
IV. Kesimpulan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
83
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Pasal 52 (larangan) bagi Ormas asing memuat rumusan yang tidak jelas,
kabur dan bisa didefinisikan secara luas. Hal ini bisa menjadi ancaman
organisasi asing dalam melaksanakan kegiatan. Sekali lagi hal ini juga
menjelaskan bahwa UU Ormas memuat perbedaan perlakuan antara Ormas
asing dan Ormas nasional/lokal. Pasal 51 UU Ormas juga memuat
ketentuan kewajiban bagi Ormas asing untuk membuat laporan kegiatan
berkala kepada Pemerintah dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui
media massa berbahasa Indonesia. Hal ini dapat menjadi alat kontrol
kegiatan mereka.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
85
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Apabila kita sepakat bahwa bangsa Indonesia dewasa ini tengah membangun
sistem pemerintahan demokrasi yang berdasarkan hukum dan konstitusi, maka
sangat jelas, masyarakat adalah sumber legitimasi bagi hadirnya negara dan
pemerintahan yang sah atau absah. Dari sudut pandang sistem demokrasi
konstitusional yang dianut bangsa Indonesia, tidak ada negara dan
pemerintahan yang sah tanpa legitimasi dan mandat politik dari segenap warga
negara yang secara sosiologis berhimpun menjadi masyarakat. Melalui
pemilihun umum yang bebas dan demokratis, rakyat memilih sekaligus
memberi mandat kepada wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif
untuk mengatur politik dan pemerintahan dengan cara merumuskan kebijakan
di berbagai bidang kehidupan. Karena itu dalam konteks demokrasi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
86
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
87
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
kepentingan dan bersifat sukarela pada dasarnya adalah wujud partisipasi dan
kontribusi berbagai elemen masyarakat bagi pembangunan bangsa.
Pemerintah dan segenap penyelenggara negara semestinya bersyukur atas
dinamika partisipasi masyarakat melalui wadah Ormas karena dengan
demikian sebagian beban negara terkurangi oleh aktivitas sukarela masyarakat
di berbagai bidang. Lebih khusus lagi, keberadaan Ormas pada dasamya
merupakan implementasi dari hak politik dan kebebasan berserikat yang
dijamin oleh konstitusi kita.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
88
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Rekomendasi
Kedua, paradigma dan kerangka pikir UU Nomor 17 Tahun 2013 tak hanya
keliru, melainkan juga cenderung sesat karena bertolak dari cara pandang rejim
otoriter, yakni memposisikan masyarakat sebagai sumber ancaman dan musuh
negara serta pemerintahan yang sah. Atas dasar cara pandang yang keliru dan
sesat itu maka negara memberi otoritas kepada dirinya sendirl untuk
mengawasi dan membina ("memberdayakan") setiap aktivitas sukarela
masyarakat melalui wadah Ormas,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
90
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
91
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
92
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
93
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
94
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Ormas yang berbasis anggota yaitu perkumpulan dan Ormas yang tidak
berbasis anggota yakni yayasan. Pencampuran pengaturan ini sangatlah
tidak tepat, karena keduanya memang memiliki tipikal berbeda sama sekali
sehingga tidak perlu dipaksakan diatur dalam satu Undang-Undang yakni
UU Ormas ini.
p. Bahwa pengaturan dalam Pasal 10 dan Pasal 11 merupakan pengaturan
ulang tetapi tidak selaras dengan UU Yayasan dan statsblad Perkumpulan
Berbadan Hukum. Pengaturan ini tidak memberi jaminan atas pelaksanaan
hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Akibatnya menimbulkan
ketidakpastian hukum yang nyata-nyata bertentangan dengan prinsip
negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
q. Bahwa lingkup Ormas yang diatur dalam Pasal 8 yaitu nasional, provinsi,
dan kabupaten atau kota menyesuaikan dengan pembagian pemerintahan
yaitu pusat dan daerah secara hierarkis. Klasifikasi ini berkaitan dengan
pendaftaran dan tugas pemberdayaan. Lebih lanjut Pasal 23 mengatur
ketentuan Ormas lingkup nasional harus memiliki struktur organisasi dan
kepengurusan paling sedikit 25% dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Begitu juga Pasal 24 mengatur ketentuan Ormas lingkup provinsi harus
memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% dari
jumlah kabupaten/kota di provinsi. Pengaturan demikian meniru pengaturan
partai politik yang harus tersebar di seluruh wilayah. Padahal diantara
keduanya terdapat perbedaan secara prinsipil. Ormas tidak memiliki fungsi
representasi. Ormas juga tidak harus tersebar di setiap wilayah, karena
Ormas tidak hendak bertujuan menjadi perekat antar komponen bangsa.
Sederhananya Ormas memang hanya bertujuan mencapai apa yang
hendak diperjuangkan oleh Ormas tersebut.
r. Bahwa paradigma kontrol negara terhadap Ormas juga terlihat dalam Pasal
29 (1) yaitu "kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara
musyawarah dan mufakat." Seharusnya negara tidak perlu membatasi dan
mencampuri bagaimana mekanisme internal pengaturan Ormas. Cara
Ormas menentukan kepengurusan di setiap tingkatan tidak seharusnya
dibatasi. Hal itu merupakan bagian dari manifestasi kemerdekaan berserikat
dan berkumpul yang dijamin atas setiap orang. Bebas saja bagi Ormas
menentukan mekanisme pemilihan pengurus.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
95
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
s. Bahwa paradigma kontrol negara juga terlihat dalam Pasal 57 ayat (2)
"apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa". Penyelesaian sengketa pada Ormas seharusnya
tetap menjadi urusan internal Ormas yang bersangkutan. Pemerintah yang
tentu saja bisa memiliki politik kepentingan tertentu tidak perlu mencampuri
urusan tersebut. Apabila Ormas tidak dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri secara musyawarah mufakat, Ormas memiliki jalur penyelesaian,
diantara melalui proses judicial di pengadilan.
t. Bahwa UU Ormas mengatur larangan bagi Ormas yang tidak jelas sehingga
menimbulkan multitafsir di antara Pasal 59 ayat (2) b. melakukan
penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di
Indonesia; c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan
negara kesatuan Republik Indonesia; e. melakukan kegiatan yang menjadi
tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
u. Bahwa pada masing-masing larangan tersebut tidak terdapat penjelasan
dan pengaturan lebih lanjut yang jelas. Artinya makna dari pasal ini akan
sangat bergantung dari tafsir penguasa. Kegiatan apa saja yang
dikategorikan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI
misalnya, akan sangat didominasi oleh tafsir Pemerintah, terlebih
pemerintah pusat. Ketidakjelasan makna yang bisa menimbulkan multi tafsir
ini dapat menimbulkan korban Ormas-Ormas kritis yang selama ini banyak
melakukan kegiatan kritis terhadap Pemerintah, khususnya Pemerintah
pusat.
v. Bahwa ketidakjelasan pengaturan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e juga
dapat menimbulkan korban, karena tidak terdapat penjelasan maupun
pengaturan lebih lanjut yang memadai. Misalnya saja partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi apakah termasuk atau tidak termasuk dalam
melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
Padahal secara minimal bahkan peraturan perundang-undangan telah
menjamin partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi seperti
dimuat UU 31/99 maupun PP 71/2000.
w. Bahwa melihat permohonan Pemohon kami melihat kesesuaian dengan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
96
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
hak konstitusional yang satu ini memang memerlukan pengaturan lebih lanjut di
level Undang-Undang. Hal itu ditujukan untuk menghindari agar kebebasan yang
dimiliki tetap dilaksanakan dalam koridor hukum yang berlaku. Kebebasan
berserikat dan berkumpul sebagai manivestasi alam demokasi mesti dibingkai
oleh hukum. Dalam kerangka seperti itulah konsep negara hukum yang
demokrasi menjadi berada dan perlu ditempatkan secara benar.
Hanya saja, pengaturan ataupun pembatasan hak oleh hukum tidak dapat
dilakukan secara sewenang-wenang. Di mana pembatasan tersebut tidak boleh
menabrak atau mengganggu berfungsinya masyarakat yang demokratis.
Terkait hal itu, merujuk pada berbagai instrumen internasional dan peraturan
perundang-undangan dibidang hak asasi manusia, pembatasan dan
pengurangan hak atas kebebasan berserikat hanya dapat dilakukan dengan
alasan kepentingan: (a) keamanan nasional yang dibuktikan adanya ancaman
politik atau militer terhadap bangsa dari suatu organisasi, dalam hal ini negara
dapat melarang organisasi bersangkutan dan menerapkan hukuman pidana
pada pelakunya; (b) keamanan publik, jika ada suatu aksi dari suatu organisasi
tertentu yang mengancam keamanan publik, negara dapat membatasi
organisasi yang bersangkutan; (c) moral atau kesehatan publik, seperti
pembatasan atau pengurangan terhadap organisasi klub seks atau film porno;
(d) ketertiban umum, pembatasan dan pengurangan dengan alasan ketertiban
umum dapat dilakukan dalam bentuk: keharusan untuk memberitahu tentang
keberadaan dari suatu organisasi, adanya sistem lisensi dan pendaftaran
(registrasi) agar dapat diketahui dasar hukum dari pembentukan suatu
organisasi, organisasi juga harus menjelaskan tujuan mereka, kegiatan, organ
di bawahnya; serta pendanaan mereka.
Dalam koridor itulah kebebasan berserikat dan berkumpul harus diatur atau
dibatasi. Disamping itµ, agar frame pembatasan tersebut tidak dilanggar, maka
ketentuan pembatasan hak berserikat dan berkumpul mesti dapat memberikan
kepastian hukum. Dalam arti, semua norma yang dibuat harus jelas dan tidak
kabur dan multiinterpretatif. Ketidakjelasan norma akan menjadi salah satu
penyebab terlanggarnya hak berserikat dan berkumpul. Sebab, kekuasaan
negara akan cenderung menafsirkan norma sesuai dengan kepentingannya.
Sehingga, jaminan hak berserikat dan berkumpul akan kehilangan arti. Dalam
batas-batas tertentu, kehadiran norma yang kabur dan memiliki interpretasi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
98
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sehubungan dengan itu, keterangan yang akan ahli sampaikan ini hanya fokus
pada aspek jaminan kepastian hukum terkait norma-norma UU Ormas sebagai
salah satu Undang-Undang yang mengatur tentang pembatasan kebebasan
berserikat dan berkumpul di Indonesia.
Kepastian hukum tidak hanya bagi hukum yang berlaku dalam pergaulan
sesama warga masyarakat dalam sebuah negara, melainkan juga diperlukan
dalam pelaksanaan setiap tindakan Pernerintah. Di mana, pernerintah mesti
mendasarkan setiap tindakannya kepada hukum yang berlaku secara sah.
Keharusan demikian ditujukan untuk menjaga agar kekuasaan yang ada tidak
disalahgunakan. Agar kekuasaan yang ada tetap dilaksanakan dalam kerangka
menghormati hak setiap warga negara.
Agar kepastian hukum dapat dinikmati oleh setiap warga negara, maka semua
norma yang dibuat untuk tujuan membatasi atau menata kehidupan rakyat
sebuah negara harus dirumuskan secara jelas. Kejelasan rumusan norma
dapat diukur dari sejauh mana orang-orang memiliki pemahaman yang sama
terhadap suatu norma tertentu. Pada saat bersamaan, dengan kepastian
hukum, seseorang dapat mengukur batas kebebasan yang dapat ia miliki dan
dapat diekspresikan.
Bagi Lon H. Fuller, kepastian hukum merupakan salah satu unsur utama
moralitas hukum. ia menegaskan, sebuah peraturan hukum perlu tunduk pada
internal morality. Oleh karena itu, dalam pembentukannya harus memerhatikan
dua hal: (1) Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti
oleh rakyat biasa; dan (2) Aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain. Poin
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
99
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
kedua tersebut tidak saja terkait dengan pertentangan antar norma dalam satu
undang-undang, melainkan juga pertentangan antar norma satu Undang-
Undang dengan norma Undang-Undang lainnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
100
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
anggota dengan Ormas berbadan hukum yang tidak berbasis anggota dengan
Ormas yang tidak berbadan hukum. Dengan demikian, seluruh ketentuan Pasal
Bab VII Undang-Undang Ormas ini berlaku untuk semua Ormas tanpa
membeda-bedakan bentuknya. Terlepas apakah berbadan hukum yayasan,
perkumpulan atau tidak berbadan hukum.
Lalu, apabila norma-norma yang terdapat dalam Bab VII UU Ormas dikatakan
tidak berlaku untuk Ormas yang berbadan hukum yayasan, pada ketentuan
mana pengecualian tersebut diatur? Pengecualian terhadap yayasan hanya
ditemukan dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Ormas yang mengatur
persyaratan pendirian Ormas. Oleh karena itu, dapat dipastikan ketentuan
terkait organisasi dan kepengurusan Ormas yang diatur dalam Bab VII juga
berlaku untuk Ormas berbadan hukum yayasan. Dengan demikian, apabila
Ormas tersebut lingkup organisasinya adalah nasional, maka Ormas dimaksud
mesti memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Pasal 23 UU Ormas.
Dalam konteks inilah akan muncul ketidakpastian hukum bagi Ormas.
Sehingga, menjadi benar apa yang didalikan Pemohon bahwa Pasal 8, Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 23 UU Orrnas bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.
Sehubungan dengan semakin terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada alasan
yang cukup jelas bagi pembentuk Undang-Undang untuk membuat kategori
lingkup Ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Ormas. Di
mana, pengkategorian itu justru menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaannya. Sehingga, ketentuan tersebut layak untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Apabila tetap ingin mempertahankan kategori
seperti ini, semestinya pembentuk Undang-Undang tidak memaksakan semua
Ormas dengan berbagai macam bentuknya masuk dalam satu payung yang
sama. Dalam arti, tidak boleh dilakukan penyeragaman. Sebab, penyeragaman
sangat potensial bagi terlanggarnya hak kebebasan berserikat dan berkumpul.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
102
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
103
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
104
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena yang dimohonkan pengujian oleh para
Pemohon adalah Pasal 1 angka 1 dan angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3),
serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e UU 17/2013, terhadap Pasal 1
ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
105
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
107
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
6. Pasal 23
Ormas lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
7. Pasal 29 ayat (1)
(1) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara musyawarah dan
mufakat.
8. Pasal 42 ayat (2)
(2) Sistem informasi Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait yang dikoordinasikan
dan diintegrasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri.
9. Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3)
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e:
(2) Ormas dilarang:
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
108
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
109
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
buruh, karena baik langsung maupun secara tidak langsung telah menghambat
hidup dan berkembangnya organisasi buruh sebagai ruang perjuangan buruh;
f. Pemohon VI yang aktif mendorong pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia, termasuk hak atas kebebasan berserikaat dan berorganisasi, dan
juga aktif melakukan penyadaran publik serta terlibat secara terus menerus
dalam berbagai proses pengambilan kebijakan publik, potensial dihambat
bahkan digagalkan oleh berlakunya UU 17/2013;
g. Pemohon VII yang bekerja di sebuah organisasi hak asasi manusia di
Indonesia yang aktif melakukan pemantauan pelaksanaan HAM di Indonesia
untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan juga aktif dalam
melakukan penyadaran publik dan terlibat secara terus menerus dalam
berbagai proses pengambilan kebijakan publik, berpotensi dihambat atau
digagalkan upayanya tersebut dengan berlakunya UU 17/2013;
h. kepentingan konstitusional Pemohon V sampai dengan Pemohon VII yang
merupakan pembayar pajak (tax payer), telah terlanggar dengan adanya UU
17/2013, karena Undang-Undang a quo telah menciptakan kondisi
ketidakpastian hukum, serta menghambat pemenuhan hak berpartisipasi dalam
pembangunan dan hak atas kebebasan berserikat;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
110
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
111
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
c. Pasal 10 dan Pasal 11 serta Pasal 1 angka 6 juncto Pasal 42 ayat (2) UU
17/2013 menghambat peran serta masyarakat dalam pembangunan sehingga
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena ketentuan-
ketentuan tersebut telah mempersempit ruang bagi individu untuk mendirikan
suatu organisasi dan/atau mereka yang ingin tergabung dalam suatu wadah
organisasi guna berperan serta dalam pengembangan masyarakat, bangsa,
dan negara sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945;
[3.15] Menimbang bahwa terhadap Pasal 1 angka 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal
29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf c, serta huruf e
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
112
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
113
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
[3.15.3] Bahwa terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 29 ayat (1)
UU 17/2013, menurut Mahkamah, musyawarah dan mufakat adalah proses
pengambilan keputusan yang didasarkan pada demokrasi Pancasila. Namun
demikian, demokrasi Pancasila tidak menegasikan proses pengambilan keputusan
melalui suara terbanyak. Ketentuan a quo yang tidak memungkinkan adanya
pengambilan keputusan melalui suara terbanyak dapat menimbulkan persoalan
dan stagnasi terhadap Ormas karena musyarawah dan mufakat tidak selalu dapat
dicapai dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan demikian dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru bertentangan
dengan UUD 1945. Untuk menghindari timbulnya persoalan dan stagnasi tersebut
menurut Mahkamah ketentuan a quo harus memberikan kemungkinan terhadap
proses pengambilan keputusan melalui suara terbanyak sehingga pasal a quo
harus dimaknai sebagaimana dalam amar putusan di bawah;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
114
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
115
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
116
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin
Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar
sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasa, Presiden atau
yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd ttd
ttd ttd
ttd ttd
ttd ttd
PANITERA PENGGANTI,
ttd
Saiful Anwar
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN
PUTUSAN
Nomor 2/PUU-XVI/2018
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Sebagai---------------------------------------------------------------------------Pemohon V;
2. DUDUK PERKARA
Pasal 80A:
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”
Pasal 82A:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan
huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan
huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Dengan berlakunya ketentuan tersebut telah merugikan hak-hak konstitusional
para Pemohon dalam hal:
a. Berserikat, berkumpul, memperjuangkan hak secara kolektif terancam;
b. Menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan;
c. Meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati
nuraninya;
d. Atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
e. Atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
5. Bahwa sehubungan kerugian konstitusional harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, maka dengan berlakunya Pasal I angka 6 sampai
dengan angka 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bahwa status badan
hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon IV terancam dicabut dan
dibubarkan kapanpun oleh Pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon IV. Hal tersebut apabila
9
Pasal 80A:
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”
Oleh karena norma yang diatur dalam Pasal 62 ayat (3) dan Pasal 80A di atas
memberikan kewenangan kepada Menteri dalam bidang hukum dan HAM
untuk mencabut status badan hukum dan membubarkan Pemohon I sampai
dengan Pemohon IV tanpa proses pembuktian di pengadilan.
Selain itu ketentuan tersebut juga merugikan Pemohon V sebagai pengurus
sekaligus anggota ormas Front Pembela Islam (FPI), karena dengan
pemberlakuannya maka Menteri Dalam Negeri kapanpun dapat mencabut surat
keterangan terdaftar dan membubarkan FPI tanpa pertimbangan Mahkamah
Agung, yang mengakibatkan Pemohon V tidak dapat beraktifitas dalam
berserikat, berkumpul, memajukan diri, dan memperjuangkan haknya secara
kolektif di FPI.
8. Bahwa isi ketentuan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2017 adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf
d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 1 (satu) tahun.
2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf
b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Dengan berlakunya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) di atas berpotensi
merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi, karena para Pemohon dapat dijerat hanya karena
semata-mata berstatus sebagai anggota atau pengurus suatu Ormas,
meskipun tidak melakukan perbuatan pidana;
11
1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, yang menurut Friedrich J. Stahl di dalam negara hukum
setidaknya mesti memiliki unsur yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan
atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintah
berdasarkan peraturan-peraturan; dan (4) peradilan administrasi dalam
perselisihan. Unsur negara hukum menurut Stahl tersebut senafas dengan
apa yang dinyatakan Albert Venn Dicey tentang tiga unsur fundamental
daril rule of law yaitu (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti, seseorang hanya boleh
dihukum kalau melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama dalam
menghadapi hukum baik bagi masyarakat biasa maupun para pejabat; dan
(3) terjaminya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta
keputusan-keputusan pengadilan (Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia
Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007,
halaman 23-24);
2. Unsur negara hukum menurut Stahl dan Dicey tersebut menekankan
kepada supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia,
dan pembagian kekuasaan. Dalam pembagian kekuasaan tersebut baik
Stahl maupun Dicey menempatkan pengadilan sebagai tempat untuk
menjamin tegaknya supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia;
12
sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena kapanpun dan secara
subjektif Pemerintah dapat membubarkan Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV dengan mencabut status badan hukumnya atau melakukan
pencabutan terhadap surat keterangan terdaftar dari Ormas Pemohon V
tanpa dibuktikan secara sah mengenai kesalahan atau
pelanggarannya;
7. Bahwa melalui pengadilan supremasi hukum dan penghormatan hak asasi
manusia dapat terjamin, sekalipun hanya sebatas keadilan prosedural,
akan tetapi setidak-tidaknya di Pengadilan semua pihak diperlakukan
sama (equality before the law), dan pihak yang menuduh diwajibkan
membuktikan tuduhannya dan pihak yang dituduh diberi kesempatakan
untuk membela diri (audi alteram partem) sebagai pengejewantahan azas
proses hukum yang berkeadilan (due prosess of law). Sebaliknya tanpa
peranan pengadilan, supremasi hukum dan penghormatan hak asasi
manusia mustahil terjamin;
8. Bahwa pengenyampingan asas due process of law tersebut yang telah
merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon oleh karena memberikan
hak monopoli kepada pemerintah untuk menentukan hidup matinya ormas
merupakan pengingkaran terhadap konsep negara hukum yang
mensyarakatkan adanya jaminan hak azasi manusia dengan
pengawasaan dari badan-badan peradilan;
9. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-
Undang Ormas mereduksi lembaga kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (vide Pasal 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman),
karena meniadakan peranan pengadilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum/
keterangan terdaftar yang berkonsekuensi pembubaran;
10. Krusialnya peranan pengadilan dalam menentukan perbuatan yang hak
dan yang bathil sebelum menjatuhkan sanksi (in casu penjatuhan sanksi
terhadap Ormas) ditegaskan pada Article 14 point a International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-
20
korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun”.
Pasal 107d:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,
tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dengan
maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107e:
“Dipidana dengan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun):
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut
diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam
segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan
bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang
diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau
dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah
dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
5. Bahwa kualifikasi legalistik konstitusional menyangkut paham atau ajaran
yang bertentangan dengan Pancasila tersebut selaras dengan penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang
menjelaskan “Yang dimaksud dengan ‟ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila‟ adalah ajaran ateisme, komunisme/
marxisme-leninisme”, yang tentunya para Pemohon sangat setuju
dengannya. Namun menjadi tidak jelas dengan berlakunya frasa “atau
paham lain” sebagaimana yang tercantum pada penjelasan Pasal 59 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017;
6. Bahwa pencantuman frasa “atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59
ayat (4) huruf c tersebut mengakibatkan makna bertentangan dengan
Pancasila menjadi sangat luas, yang dapat menyasar Ormas manapun
termasuk para Pemohon sebagai Ormas-ormas yang beraktivitas dalam
bidang Dakwah Islam dan sosial kemasyarakatan. Hal mana mengancam
hak konstitusional para Pemohon dalam kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran, memajukan diri dalam memperjuangkan
26
Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini” adalah
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang isinya sebagai berikut:
Pasal 28 UUD 1945:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 28C ayat (2):
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya”.
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Pasal 28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
2. Ketentuan Pasal 80A ini menentukan Ormas dinyatakan bubar sebagai
akibat pencabutan status badan hukum pada Pasal 61 ayat (1) huruf c dan
ayat (3) huruf, yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana Pasal 62 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, maka dalil dalil-dalil yang telah
para Pemohon kemukakan pada uji materiil Pasal 62 ayat (3) di atas
secara mutatis mutandis menjadi dalil Para Pemohon untuk menyatakan
Pasal 80A Perppu Nomor 2 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 28,
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa pengesahan status badan hukum suatu Ormas hanyalah
pengakuan pemerintah terhadap Ormas sebagai subjek hukum, yang
memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang terpisah dengan
pengurus dan anggotanya. Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 bahwa pengesahan status badan hukum dari suatu Ormas
sebagai bukti pendaftarannya:
34
Oleh sebab itu pencabutan status badan hukum terhadap suatu Ormas
tidak serta merta mengakibatkannya bubar, tetapi hanyalah membuatnya
tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah;
5. Bahwa tidak dinafikkan dalam menjalankan hak dan kebebasan bukannya
tanpa batas tetapi dapat dibatasi dengan Undang-Undang untuk menjamin
hak orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sebagaimana Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Namun pembatasan tersebut
bukan dengan jalan pintas dengan cara menumpuk kekuasaan pada satu
tangan;
6. Bahwa pencabutan hak berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat
dengan membubarkan Ormas secara sepihak tanpa dibuktikan mengenai
pelanggarannya merupakan kampanye perlawanan terhadap konstitusi
Pasal 28J ayat (2) UUD yang memaksudkan pembatasan atas hak-hak
tersebut semata-mata ditujukan dalam lingkup masyarakat demokratis
guna mengakui dan menghormati hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum. Karena tidak ada tempat bagi
tindakan sewenag-wenang pada masyarakat demokratis dengan
membatasi hak berkumpul dan menyatakan pendapat hanya berdasarkan
subjektifitas semata tanpa adanya pembuktian dan memberikan hak untuk
membela diri pada pengadilan yang bebas dan tidak memihak;
7. Mengacu pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang
memungkinkan adanya pembatasan dari hak-hak konstitusional bahwa
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas semata-mata
menggunakan pendekatan (self contracditiory) keamanan dan ketertiban
umum yang tampak dari pertimbangannya pada konsideran huruf a
“bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
36
10. Tidak menunggu lama bencana besar sosial tersebut dapat dirasakan di
perguruan tinggi sebagai tempat kaum pelajar dan cerdik cendikiawan
berada dan bahkan di institusi Pemerintahan. Di mana saat ini pemerintah
sedang gencar-gencarnya mencari dan menandai para pendidik dan
pegawai negeri yang disinyalir anggota atau berafiliasi dengan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) sebagai Ormas terlarang, padahal sampai dengan
saat ini pelanggaran yang dilakukan oleh HTI sama sekali belum pernah
terbukti;
11. Bahwa tidaklah benar kerusakan yang ditimbulkan tersebut dapat
dipulihkan melalui sarana pengadilan seperti PTUN yang membatalkan
keputusan pembubarannya, akan tetapi faktanya kerusakan telah terjadi
dan tidak mudah untuk mengembalikan pada keadaan semula, karena
seketika itu pula mencabut hak konstitusional para Pemohon untuk
berkumpul dan menyatakan pendapat dengan menggolongkannya sebagai
Ormas terlarang yang memberi stigma negatif di masyarakat;
12. Bahwa dalam hal Pemohon I dan Pemohon II selaku Yayasaan bahwa
secara positifistis legalisitik norma yang terkandung pada Pasal 80A
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bertentangan dan tumpang
tindih dengan Pasal 62 huruf c dan Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, yang menentukan pembubaran
yayasan berdasarkan pelanggaran hukum atau pailit hanya dapat
dilakukan melalui Pengadilan dengan putusan berkekuatan hukum
tetap:
Pasal 62 huruf c:
“Yayasan bubar karena: c. putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
1. yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2. tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3. harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah
pernyataan pailit dicabut”
Pasal 71 ayat (4):
“Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana
38
anggota ormas X lain untuk dipergunakan mengisi bensin mobil, dan selain
itu pula mobil yang mereka gunakan juga meminjam dari anggota ormas X
yang lain lagi. Sesampainya di Rutan Salemba mereka tabrakkan mobil
tersebut ke pintu gerbang sebagai wujud protes penahanan ketuanya”;
12. Dari contoh ilustrasi di atas, dikaitkan dengan rumusan Pasal 82A ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 yang terdapat unsur “tidak
langsung melanggar ketentuan”, maka yang dapat dijerat dengan
menggunakan pasal tersebut tidak hanya kedua anggota ormas X yang
menabrak pintu gerbang Rutan Cipinang, tetapi juga anggota ormas yang
memberi informasi, yang meminjamkan uang, dan yang meminjamkan
mobil juga dapat dijerat, karena mereka secara “tidak langsung” sebagai
penyebab terjadinya pengrusakan tersebut, yang dikenal dalam hukum
pidana sebagai teori conditio sine quanon dari Von Burri;
13. Teori conditio sine quanon telah lama ditinggalkan oleh negara-negara
yang menjunjung tinggi supremasi hukum melalui penerapan azas
legalitas, karena menilai semua faktor sama pentingnya terhadap
timbulnya suatu akibat, yang menjadikan meluasnya orang yang dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana meskipun bukan pelaku perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang. Bahkan berdasarkan teori conditio
sine quanon, orang-orang yang tidak mempunyai kesalahan (schuld) dapat
dijerat sebagai pelaku tindak pidana selama memenuhi syarat sebagai
faktor penyebab, yang menyalahi azas hukum pidana “Geen straft zonder
schuld” atau tiada pidana tanpa kesalahan;
14. Dengan demikian jelaslah bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 multi tafsir, tidak jelas, tidak ketat, yang
berpotensi mengancam hak konstitusional para Pemohon untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi sebagaimana Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Oleh karenanya sudah sepatutnya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 untuk dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
45
V. PETITUM
Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami uraikan di atas, dengan ini para
Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara ini dan
memutus sebagai berikut:
1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan:
2.1. Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
2.2. Frasa “atau paham lain” dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
2.3. Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.4. Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.5. Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
46
20. Bukti P.IV-03 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor AHU-16.AH.01.07. Tahun 2013, tanggal
11 Februari 2013;
21. Bukti P.IV-04 : Fotokopi Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor AHU-0000589.AH.01.08.TAHUN
2016, tanggal 21 November 2016;
22. Bukti P.IV-05 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Nashirul Haq
Marling;
23. Bukti P.IV-06 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Candra
Kurnianto;
24. Bukti P.V-01 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Munarman;
25. Bukti P.V-02 : Fotokopi Kartu Identitas Front atas nama H. Munarman,
S.H.
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli yang didengar
keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 22 Februari 2018
dan 20 Maret 2018 serta 1 (satu) orang saksi yang didengar keterangannya di
bawah sumpah dalam persidangan tanggal 22 Februari 2018, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut.
AHLI PEMOHON
1. Dr. Zen Zanibar M.Z., S.H., M.H.
Pertama, bahwa Lampiran Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang khususnya
bagian konsideran Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
sebagai berikut:
Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 substansinya adalah
Perpu Nomor 2 Tahun 2017 yang telah disetujui DPR, sebab itu Perpu Nomor
2 Tahun 2017 merupakan bagian utuh dan tidak terpisahkan dari Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017. Dengan demikian ide, konsep, dan
rumusannya berasal dari Perpu Nomor 2 Tahun 2017.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 hanya merubah jubah
Perpu menjadi Undang-undang, sementara jiwa dan semangat tetap semangat
49
Perpu Nomor 2 Tahun 2017.Oleh karena itu judicial review terhadap Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017 fokus pada kelemahan dan kekeliruan dalam
Perpu Nomor 2 Tahun 2017.
Keempat, mengacu pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945 ayat (1) Hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Menurut Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Nomor 138/PUU-VI/2009 pada [3.10] Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan;
Penegasan perlunya syarat dimaksud lebih lanjut terdapat pada angka
[3.11] tiga syarat di atas adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa
sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Pembuatan Perpu
memang di tanganTermohon yang artinya tergantung kepada penilaian
subjektif Termohon namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut
tergantung kepada penilaian subjektif Termohon karena sebagaimana telah
diuraikan di atas penilaian subjektif tersebut harus didasarkan kepada keadaan
yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan
memaksa.
Kelima, memperhatikan lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2017 dalam hal ini Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, khususnya bagian
menimbang huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak
ditemukan alasan memenuhi syarat sebagaimana Putusan Mahkamah
Konstitusi seperti telah diuraikan di atas, karena penilaian subjektif Termohon
tidak memenuhi tiga syarat yang dijadikan parameter pembuatan Perpu yang
50
ditetapkan Mahkamah Konstitusi. Justru yang ada adalah alasan subjektif yang
sangat kentara dan tidak terukur.
Konsideran pada huruf a. “bahwa negara berkewajiban melindungi
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
pertimbangan ini mengungkapkan subjektifitas Termohon bahwa telah ada
ancaman terhadap kedaulatan NKRI, artinya dalam pikiran Termohon seolah
telah terjadi gangguan terhadap pertahanan negara dan perlu langkah
mengatasinya dengan kekuatan alat dan fasilitas pertahanan negara, padahal
yang dianggap persoalan adalah kegiatan organisasi masyarakat. Dalam
telaah keilmuan justru di negara moderen di seluruh dunia paling tidak sejak
tahun 1979 organisasi masyarakat ditumbuhkan untuk mendorong semangat
kemandirian masyarakat secara luas untuk menopang kehidupan bernegara.
Konsideran huruf b. “bahwa pelanggaran terhadap asas dan tujuan
organisasi kemasyarakatan yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan perbuatan yang
sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari
latar belakang etnis, agama dan kebangsaan Indonesia”. Pertimbangan ini
ungkapan subjektivitas Termohon tentang tafsir Pancasila dan UUD 1945
sebagai asas. Penafsiran demikian pernah kita alami dengan tafsir tunggal
(asas tunggal Pancasila) yang ternyata kemudian kita tinggalkan karena
menjadi alat mengecam/memojokkan bahkan mendegradasi kewibawaan dan
kehormatan pribadi dan organisasi katika itu.
Konsideran huruf c. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan mendesak untuk segera dilakukan
perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai
keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal
penerapan sanksi yang efektif”. Pertimbangan ini sekali lagi bersifat
subjektifitas Termohon. Oleh karena sepanjang pengetahuan saya belum ada
tolok ukur “keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Semestinya sebagai
landasan bertindak untuk menghukum terhadap ormas, dan anggota harus
ada lebih dulu undang-undang yang merinci tolok ukur suatu ormas yang
51
bersifat luar biasa (lihat: Penjelasan Umum, paragraf kedua belas). Penerapan
yang bersifat luar biasa inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik norma,
tidak sesuai dengan asas/doktrin hukum pidana.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Ormas ini, pemerintah
dapat melakukan pembubaran terhadap suatu Ormas yang didasarkan pada
penilaian sepihak dan subjektif semata dengan alasan bahwa asas dan
kegiatan suatu Ormas telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
dan bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945.
Kita ketahui, bahwa kepentingan hukum berfungsi sebagai
perlindungan bagi kepentingan individu (individuale belangen), kepentingan
hukum masyarakat (sosiale belangen), dan kepentingan hukum negara (staats
belangen) (Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah, Bagian
Dua, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun; Wirjono Prodjodikoro, Tindak-
tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 348).
Tujuan sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu
menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian
(rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket) (Gustav Radbruch
sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty,
Yogyakarta, 2003. hlm.15). Dalam memfungsikan penegakan hukum
(Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang
mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian
menjadi kenyataan (lihat: Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum,
Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1993, hlm. 15. Soedarto
mengartikan penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapan
perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu)
maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 111),
maka ketiga tumpuan hukum tersebut harus mendasari baik dalam tahap
pembentukan hukum maupun dalam tahap aplikasi penegakan hukumnya
(Wolf Middendorf menyatakan bahwa peradilan pidana (penegakan hukum)
akan berjalan efektif apabila dipenuhi tiga faktor yang saling berkaitan yaitu:
55
(1) adanya undang-undang yang baik (good legislation); (2) pelaksanaan yang
cepat dan pasti (quick and certain enforcement); dan (3) pemidanaan yang
layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform sentencing) (Lihat:
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm.50).
Pengujian terhadap Undang-Undang Ormas, adalah juga termasuk dalam
pemenuhan tujuan hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian, asas
keadilan, dan asas kemanfaatan.
Uraian pada pembahasan dan analisis pada keterangan tertulis ini
merupakan pendapat penulis berdasarkan kajian ilmiah, sesuai dengan
pengetahuan penulis di bidang hukum pidana materil.
II. Pembahasan dan Analisis (Inti Keterangan Ahli)
Dalam kepentingan pemberian keterangan ahli hukum pidana, analisis
difokuskan pada adanya rumusan yang bersifat multi tafsir yang mengandung
ketidakjelasan suatu norma, serta rumusan pasal-pasal yang mencantumkan
suatu norma larangan yang bertentangan dengan asas-asas/doktrin hukum
pidana. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
1. Perumusan Multi Tafsir
Dalam hukum pidana terkandung asas legalitas. Makna terpenting
yang terkandung dalam asas legalitas, adalah tidak diperbolehkan adanya
keberlakuan surut dari ketentuan pidana (non-retroaktif) (lebih lanjut periksa:
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, diterjemahkan oleh J.E.
Sahetappy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm.6-14). Larangan
keberlakuan surut ini berdasarkan prinsip “nullum crimen, noela poena sine
lege praevia.”), Menurut Jan Remmelink makna dalam asas legalitas adalah
bahwa undang-undang yang dirumuskan harus terperinci dan cermat (Jan
Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003, hlm.357-359). Hal ini didasarkan pada prinsip “nullum crimen, nulla
poena sine lege certa”. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa rumusan
perbuatan pidana harus jelas, sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat
membahayakan bagi kepastian hukum (Machteld Boot sebagaimana dikutip
oleh Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya
56
Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016, hlm.79). Selain itu, asas legalitas juga
mengandung makna larangan untuk menerapkan analogi, yang dikenal
dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta” (Jan
Remmelink, Op.cit, hlm.357-359). Terkait dengan asas legalitas, rumusan
dalam Perppu Ormas jelas-jelas telah melanggar asas legalitas, didalilkan
sebagai berikut:
1) Bentuk pelanggaran Undang-Undang Ormas terhadap asas legalitas adalah
terkait dengan larangan retroaktif. Sebagaimana diketahui pada sidang uji
materi Perppu Ormas yang lalu, pihak pemerintah telah menyampaikan
bukti video kegiatan Ormas (in casu Hizbut Tahrir Indonesia) pada tahun
2013 dan dengannya dijadikan alasan hukum pembubaran Ormas HTI.
Tidak dapat dipungkiri telah terjadi penerapan retroaktif yang dilakukan oleh
pemerintah.
2) Bentuk pelanggaran Undang-Undang Ormas terhadap asas legalitas juga
menunjuk pada penerapan analogi. Hal ini dapat dilihat pada Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c, disebutkan “Yang dimaksud dengan “ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indoensia Tahun 1945. “Rumusan tersebut – dan ini terkait dengan
pembubaran HTI – telah menganalogikan suatu ajaran atau paham yang
bersumber dari agama dianalogikan sama dengan ajaran atau paham yang
dihasilkan dari pemikiran manusia. Ajaran ateisme, komunisme/marxisme-
leninisme adalah jelas bukan bersumber dari agama, melainkan dari hasil
pemikiran manusia, berbeda dengan paham yang dianut oleh HTI adalah
bersumber dari ketentuan agama.
Selanjutnya, Pasal 59 ayat (4) huruf c menyatakan “Ormas dilarang
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila”. Rumusan ayat ini, jelas mengandung sifat
multi tafsir, tidak ada pendefenisian tentang apa yang dimaksud dengan
“ajaran atau faham yang bertentangan dengan Pancasila” itu. Frasa dalam
penjelasan yang mengatakan “atau paham lain yang bertujuan untuk
mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” lebih-lebih lagi bersifat multi tafsir. Sifat multi tafsir
57
seperti ini membuka peluang bagi pemerintah untuk bertindak abuse of power.
Sifat multi tafsir norma larangan Pasal 59 ayat (4) huruf c, didalikan sebagai
berikut:
1) Frasa kata “menganut” telah merugikan seluruh warga negara Republik
Indonesia karena norma tersebut telah mengadili perbuatan pidana yang
bukan dalam bentuk tindakan, melainkan sekedar pikiran saja sudah dapat
dipidana. Terhadap pernyataan pikiran suatu ormas juga dikatakan telah
memiliki niat jahat, dan bahkan niat jahat dipersamakan dengan kesalahan
(mens rea), padahal antara niat dan kesalahan dalam bentuk kesengajaan
adalah dua hal yang berbeda. Dalam doktrin hukum pidana, pikiran
seseorang tidaklah dapat dipidana.
2) Frasa kata “mengembangkan, serta menyebarkan” adalah sebagai bentuk
pengamalan terhadap suatu ajaran agama. Dalam hal ajaran agama Islam,
maka pada setiap ulama melekat kewajiban untuk menyampaikannya.
Terhadap apa yang dikembangkan serta disebarkannya terkait erat dengan
keyakinan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Dengan kata lain,
meyakini kebenaran ajaran agama Islam, dan kemudian menganut,
mengembangkan serta menyebarkan keyakinan keaagamaan tersebut
melalui kegiatan-kegiatan dakwah melalui suatu Ormas adalah tidak
termasuk perbuatan tercela atau bersifat melawan hukum.
3) Frasa “yang bertujuan untuk mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dalam Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c, ditinjau dari perspektif ilmu hukum pidana adalah
menunjuk pada corak kesengajaan dengan maksud, tidak termasuk
kesengajaan dengan kepastian maupun kesengajaan dengan kemungkinan
sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1). Frasa kata
“bertujuan” identik dengan adanya suatu maksud yang dikehendaki dan
diketahuinya atas perbuatan yang dilakukan dan termasuk akibat yang
ditimbulkan. Tegasnya kata “bertujuan” bermakna ingin menimbulkan suatu
akibat yakni dirubahnya Pancasila dan UUD 1945.
4) Bahwa seandainya ajaran agama Islam yang dianut, dikembangkan serta
disebarkan oleh Ormas dianggap dan dinyatakan oleh pemerintah
bertentangan dengan Pancasila, maka siapakah yang berwenang
memutuskan? apakah pemerintah dapat dibenarkan secara hukum sebagai
58
delik. Padahal, apakah niat itu berdiri sendiri atau merupakan bagian dari
kesengajaan telah menjadi perbedaan di antara para ahli. Sepanjang
pengetahuan penulis, para ahli berbeda pendapat tentang masalah niat.
Hazewinkel Suringa berpendapat, niat itu adalah kesengajaan. Lebih lanjut
Suringa mengatakan, niat adalah tidak lebih dari suatu rencana untuk
melakukan suatu perbuatan. Pendapat yang kurang lebih sama
disampaikan oleh Simons, Van Hamel, dan Zevebergen. Termasuk juga
vos, namun dia membatasi niat hanya dalam kesengajaan dengan maksud,
tidak termasuk corak kesengajaan kepastian dan kesengajaan
kemungkinan. Pompe menyatakan, terdapat hubungan erat antara niat dan
sengaja, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan. Pompe dengan
tegas menolak pembatasan pengertian sengaja semata-mata sebagai
maksud. Menurut Moeljatno, ada perbedaan antara niat dan kesengajaan.
Dia menyatakan bahwa niat adalah sikap batin, tempatnya di dalam hati.
Namun, perlu dicatat, Moeljatno juga memberikan penegasan, jika niat
sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat berubah menjadi
kesengajaan.
Dari diskursus tentang niat, penulis sepakat dengan pandangan yang
mengatakan bahwa niat memiliki perbedaan dengan kesengajaan dan niat
hanya berkaitan dengan kesengajaan dengan maksud. Penulis juga
sepakat dengan pandangan Moeljatno yang mengatakan bahwa apabila
niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat berubah menjadi
kesengajaan. Ketika kehendak dalam niat sudah diwujudkan dalam
perbuatan, maka dengan sendirinya di dalam kesengajaan itu pastilah
sudah terkandung adanya niat.
Kemudian, suatu Ormas dianggap telah memiliki niat jahat dengan
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila yang hanya berdasarkan penilaian subektif
atas pernyataan pikirandan/atau kegiatan Ormas. Pernyataan pikiran ini
disebut mendahului dari frasa kata “kegiatan” Ormas. Dengan demikian,
penilaian pertama dan utama didasarkan pada penilaian pemerintah
terhadap pernyataan pikiran suatu ormas (lihat: Penjelasan Pasal 82A ayat
(1) yang menyebutkan: Yang dimaksud dengan “secara langsung atau tidak
langsung” adalah pernyataan pikiran dan atau kegiatan Ormas yang sejak
61
hukum pidana. Pada Penjelasan Pasal 82A ayat (1) disebutkan, bahwa
“dengan sengaja” adalah adanya niat atau kesengajaaan dalam bentuk
apapun, yakni ketiga corak (gradasi) kesengajaan, baik kesengajaan
dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan dan
kesengajaan dengan kepastian. Penjelasan Pasal 82A ayat (1) menjelaskan
sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dan tidak relevan untu dijelaskan,
yakni penegasan unsur dengan sengaja yang mencakup ketiga corak
(gradasi) kesengajaan. Berdasarkan penelusuran literatur yang penulis
lakukan, belum pernah ada suatu rumusan penjelasan Pasal yang
menjelaskan unsur dengan sengaja seperti dalam Undang-Undang Ormas.
Apabila kita membaca literatur, maka akan kita temui adanya kesepakatan
diantara para ahli bahwa jika pembentuk undang-undang menyebutkan
“dengan sengaja” secara experssive verbis maka telah sepakat para ahli
bahwa dalam rumusan demikian di dalamnya sudah pasti terkandung ketiga
corak kesengajaan. Dalam KUHP, misalnya terdapat rumusan “dengan
sengaja” (lihat: Pasal 156a huruf a, Pasal 187, Pasal 281, Pasal 304, Pasal
310, Pasal 333, Pasal 338, Pasal 340, dan Pasal 372 KUHP), “dengan
maksud” (lihat: Pasal 156a huruf b, Pasal 362, Pasal 368 ayat (1), Pasal
369 ayat (1), dan Pasal 378), “dapat mengetahui” (lihat: Pasal 164, dan
Pasal 464 KUHP), “yang diketahuinya” (lihat: Pasal 204, Pasal 220, dan
Pasal 419 KUHP), “sudah diketahuinya” (lihat: Pasal 110, Pasal 250, dan
Pasal 275 KUHP), “telah diketahuinya” (lihat: Pasal 282 KUHP), “sudah
tahu” (lihat: Pasal 483 ke-2 KUHP), “telah dikenalnya” (lihat: Pasal 245, dan
Pasal 247 KUHP), dan “bertentangan dengan pengetahuannya.” (lihat:
Pasal 311 KUHP) Namun tidak pernah ada rumusan kesengajaan (dolus)
yang menyebutkan “dengan sadar kepastian” atau “dengan sadar
kemungkinan”. Bahkan ada pula dalam satu Pasal yang memisahkan corak
kesengajaan, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 156a KUHP. Pada
huruf a disebutkan “dengan sengaja”, sedangkan pada huruf b disebutkan
“dengan maksud.”
Kesengajaan adalah hubungan antara sikap batin pelaku dengan
perbuatan yang dilakukan, ada atau tidaknya kesengajaan harus
disimpulkan dari perbutan yang tampak. Adagium “animus homis est anima
scripti”, kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan. Hukum pidana
63
kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan kesalahan dalam
bentuk kealpaan (culpa). Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang
harus memenuhi beberapa unsur, yaitu: (Jika ketiga-tiga unsur ada maka
orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai
pertanggung jawab pidana, sehingga bisa di pidana. Sudarto, Hukum Pidana I,
Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1990, hlm. 91; Sudarto, Hukum dan
Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm.73)
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, (Kemampuan
bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau
sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal
yang baik dan yang buruk atau dengan kata lain mampu untuk menginsyafi
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu
mampu untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu
faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sedangkan
kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan
atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan (Mahrus Ali,
Dasar - Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 171).
2. Hubungan pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk kesalahan,
(Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya,
keinginan dalam melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan
batin si pembuat yang kemudian pikirannya mengarahkan dirinya untuk
melakukan perbuatan tersebut atau tidak. Dalam hukum pidana
penggunaan pikiran yang kemudian mengarahkan pembuatnya melakukan
tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut
dengan kesengajaan (Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 13) dan
3. Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Perihal hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang
berupa kesengajaan inilah yang menjadi permasalahan serius dalam
perumusan Penjelasan Pasal 82A Undang-Undang Ormas.
Perihal kesengajaan yang disebutkan dalam Pasal 82A Undang-
Undang Ormas adalah bersifat pilihan yang harus disesuaikan dengan
66
tergolong luar biasa sehingga penerapannya harus pula dengan cara-cara luar
biasa pula).
Undang-Undang Ormas, harus dikritis dengan serius, karena baik
langsung maupun tidak langsung, akan menimbulkan suatu akibat berupa
penodaan terhadap agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156a
huruf a KUHPidana. Ketika suatu Ormas – melalui angggota dan/atau
pengurusnya - yang menganut, mengembangkan serta menyebarluaskan
ajaran sistem politik, sistem hukum atau sistem ketatanegaraan berdasarkan
referensi agama (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagaimana dipraktekkan oleh
Rasulullah SAW dan kemudian diikuti oleh Khulafaur Rasyidin dianggap telah
memenuhi unsur Pasal 59 ayat (4) huruf c, maka Ormas tersebut dapat
dibubarkan.
Apabila kita simulasikan dengan pendekatan kausalitas, maka akan
terlihat adanya penodaan terhadap agama, sepanjang paham yang diyakini
tidaklah tergolong/termasuk paham yang menyimpang atau sesat
menyesatkan berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Secara
singkat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, suatu ajaran sistem politik, sistem hukum atau sistem
ketatanegaraan diyakini bersumber dari perintah agama, terlepas dari adanya
perbedaan pendapat diantara para ulama dan ini suatu sunnatullah.
Kedua, seeorang yang menyakini ajaran dimaksud tentu tidak ada
larangan atau bersifat melawan hukum untuk mengembangkan termasuk juga
menyebarluaskannya dalam kepentingan dakwah yang juga dalam dimensi
kewajiban beribadah. Implementasi pengamalan dalam wujud penyebarluasan
(baca: dakwah) adalah tidak melawan hukum.
Ketiga, ketika suatu Ormas–di mana seseorang aktif menjadi anggota/
pengurus – dinyatakan bertentangan dengan Pancasila oleh pemerintah dan
dilakukan pembubaran, maka akan berdampak pada kedudukan ajaran agama
tersebut.
Diakui atau tidak diakui, perbuatan pemerintah tergolong melecehkan,
menghina atau merendahkan ajaran agama. Kesemuanya itu termasuk
penodaan agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156a huruf a
KUHP. Dikatakan demikian, oleh karena ketika suatu ajaran/paham sistem
politik, sistem hukum atau sistem ketatanegaraan - yang didasarkan dari
69
FAKTOR SEBAB
1 2 3
AJARAN
(POLITIK-HUKUM-NEGARA): PEMAHAMAN PENGAMALAN
SUMBER DARI AL-QUR’AN & HADITS KEYAKINAN YANG DIANUT (DIKEMBANGKAN/DISEBARLUASKAN
AKIBAT
III. Kesimpulan
Menurut asas, undang-undang harus melindungi rakyat terhadap
kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Jaminan pemenuhan asas
legalitas seperti asas lex stricta, scripta, certa, dan lex previa harus dipenuhi
dalam setiap rumusan undang-undang. Perpu Ormas sangat jelas
mengandung ketidaktaatan asas, bertentangan dengan prinsip-prinsip (doktrin)
hukum pidana. Kesemuanya itu akan memberikan peluang terjadinya tindakan
yang sewenang-wenang oleh pemerintah. Jika norma Pasal 59 ayat (4) huruf
c, dan Pasal 82A Undang-Undang Ormas tetap ada dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat, akan memberikan justifikasi kepada pemerintah untuk
melakukan tindakan yang melampui kewenangannya (ultra vires/abuse of
power) dan bertentangan dengan hukum itu sendiri
Selain menyampaikan keterangan di atas, ahli menambahkan
keterangan dalam persidangan yang pada pokoknya antara lain sebagai
berikut:
• Undang-undang sekarang lebih mundur daripada undang-undang
sebelumnya karena tidak dikenal adanya ultimum remedium namun primum
remedium;
• Bahwa doktrin yang diusung HTI secara subjektif oleh pemerintah dianggap
bertentangan dengan Pancasila, namun hal ini belum pernah diuji di
pengadilan padahal menurut asas dan doktrin hukum pidana delik yang
dimaksudkan harus dibuktikan.
cukup dilakukan pasca keputusan tersebut dibuat melalui judicial review, hal
tersebut sama saja dengan pembiaran pelanggaran hak asasi manusia. Peran
kekuasaan kehakiman harus ditarik lebih awal sebelum keputusan pemerintah
tersebut dapat dieksekusi. Oleh karena itu, penghapusan mekanisme
peradilan sebelum pemerintah memiliki wewenang membubarkan ormas
bertentangan dengan dasar pemikiran bahwa peradilan harus menjadi shield
bagi keputusan pemerintah yang berpotensi hak asasi manusia dalam due
process of law. Bahwa keputusan pembubaran ormas kemudian dapat menjadi
objek PTUN hal tersebut merupakan upaya hukum lain yang tidak bersifat
alternatif terhadap izin dari peradilan sebelum pembubaran itu dilakukan.
Pada perkembangannya, doktrin due process of law dipahami dalam
dua pengertian, yaitu procedural due process of law dan substantive due
process of law. Menurut Erwin Chemirinsky, procedural due process of law
menghendaki agar keputusan pemerintah yang berpotensi melanggar hak dan
kebebasan dibuat dengan mengikuti prosedur tertentu yang memadai.
Sedangkan substantive due process of law menghendaki agar keputusan
pemerintah yang berpotensi melanggar hak dan kebebasan dibuat dengan
memiliki tujuan yang memenuhi justifiable dan alasan yang reasonable (Erwin
Chemirinsky, “Substantive Due Process”, Touro Law Review, Vol. 15, 1999,
hlm. 1501).
Secara prosedural, keputusan pemerintah untuk membubarkan ormas
tidak cukup mengikuti prosedur yang ditetapkan undang-undang, namun lebih
jauh dari itu doktrin due process menghendaki agar lembaga legislatif
mengatur prosedur yang memadai. Salah satu materi krusial sehingga
mekanisme pembubaran ormas dalam Undang-Undang yang diuji dipandang
tidak memadai adalah absennya peran kekuasaan kehakiman dalam
melakukan preview terhadap keputusan pemerintah dalam pembubaran
ormas. Penjelasan hal tersebut terkait dengan pemahaman substantive due
process of law yang menghendaki keputusan pemerintah yang potensial
melanggar HAM harus justifiable dan reasonable.
Para pihak yang didengar secara fair dalam pembuatan keputusan
administrasi merupakan tujuan pokok dari Due Process, John Bell menyatakan
“the performance of a procedure— as opposed to an isolated decision— can
74
tentang ormas bukan pengaturan yang berada pada rejim Hukum Administrasi
Negara semata, tetapi Hukum Tata Negara. Dalam perkembangan hukum
modern antara rejim hukum itu terjadi pertautan, bahkan dengan hukum
pidana dan perdata, sehingga prinsip contraries actus tidak lagi berdiri sendiri.
Dalam Hukum Administrasi Perancis, prinsip contarius actus itu dijalankan
simultan dengan droit de la defense (right of defense principle), yaitu hak untuk
membela diri terlebih dulu di muka pengadilan ketika keputusan pemerintah
yang akan mencabut keputusan sebelumnya berpontesi melanggar Hak asasi.
Prinsip itu telah diadopsi dalam Undang-undang No. 17 tahun 2013, sehinggap
pembubaran sebuah ormas tidak serta merta dapat diterapkan prinsip
contrarius actus melalui cara intrekking, tetapi melibatkan lembaga
yudisial/peradilan, sebagaimana pengaturan tentang pembubaran partai politik
yakni dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Pengaturan dari prinsip Contrarius Actus dalam rezim Hukum
Administrasi terkait dengan pengenaan sanksi adminitarsi berupa intrekking
(penarikan kembali) dan herroeping (pencabutan) yakni mengakhiri daya kerja
dari keadaan hukum yang sudah dinyatakan berlaku. Prinsip Contrarius Actus
juga terkait dengan penerapan prinsip vermoeden van rechtamtigheids (suatu
keputusan dinyatakan sah dan berlaku, kecuali telah dilakukan pembatalan
atau pencabutan dari pejabat yang menerbitkan keputusan tersebut).
Penggunaan prinsip contrarius actus ini dikenakan terhadap kegiatan
masyarakat yang bersifat privat, misalnya kegiatan usaha, membangun rumah,
menjalankan kegiatan sosial, dan lain-lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang Hukum Administrasi.
Selain menyampaikan keterangan di atas, ahli menambahkan
keterangan dalam persidangan yang pada pokoknya antara lain sebagai
berikut:
• Frasa “paham lain” harus dirumuskan, tidak boleh teka-teki, tidak boleh
membuka potensi penafsiran sepihak bagi pemerintah;
• Undang-Undang memiliki keterbatasan jangkauan sehingga kalau belum
tertampung perlu dilakukan perubahan melalui mekanisme revisi undang-
undang;
76
• Persekusi yang paling berat dialami HTI dari aspek teror psikologis, karena
sudah dibangun pandangan seolah-oleh HTI membahayakan. Teror psikologis
tersebut telah menimbulkan ketakutan dan kekhwatiran di keluarga-keluarga
HTI;
• Muncul saling curiga di tengah masyarakat pasca izin HTI dicabut.
• Persekusi yang lain misalnya dihalanginya kewajiban utama HTI untuk
berdakwah;
• Bahwa kewajiban taat kepada ulil amri tidak bersifat mutlak tanpa syarat, tapi
harus ada sikap koreksi yang bukan berarti menghilangkan atau menegasikan
ketaatan kepada ulil amri tersebut.
Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak
dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang a quo.
Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan
pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai
berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang
diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam
perkara pengujian undang-undang a quo, maka para Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi
permohonan Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa para
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para
Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk
79
merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun
hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau
Undang-Undang Dasar maupun yang tidak tertulis. Dalam kedudukannya
sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum.
4) Bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai
sumber tertib hukum Indonesia maka setiap produk hukum harus
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pancasila
tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian
dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang
meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
dikonkretkan atau dijabarkan dari UUD 1945, serta hukum positif lainnya.
Bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup bangsa
serta ideologi bangsa dan negara, bukanlah hanya untuk sebuah rangkaian
kata- kata yang indah namun semua itu harus kita wujudkan dan di
aktualisasikan di dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasarakat,
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum juga dipertegas dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan (untuk selanjutnya disebut
UU 12 Tahun 2011) yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara. Sehingga, tentunya segala produk
hukum yang ada di dalam negara Republik Indonesia sama sekali tidak
diperkenankan untuk bertentangan dengan Pancasila
5) Bahwa secara historis, eksistensi dari Pancasila hari ini tidak terlepas dari
berbagai dialektika dan dinamika yang terjadi selama pembahasannya,
terutama antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam. Sejak
pembacaan Pancasila pada 1 Juni 1945 hingga 18 Agustus 1945.
Kompromi yang dihasilkan pada 22 Juni 1945 ini, oleh M. Yamin, diberi
nama Piagam Jakarta. Prinsip komprominya adalah Islam tidak menjadi
dasar negara, tetapi umat Islam wajib menjalankan syariat Islam yang akan
diatur dalam konstitusi. Hal itu tertuang dalam kalimat: “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dimana
hingga 16 Juli 1945, Sukarno masih menyampaikan bahwa rumusan
Piagam Jakarta sebagai rumusan terbaik pembukaan UUD NRI Tahun
83
(1) dan ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut UU HAM) yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya
untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan
penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan,
penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
9) Dikutip dari “The Declaration of the Rights and Duties of Nations Adopted by
the American Institute of International Law” pada poin I dan poin IV
Declaration of the Rights and Duties of Nations berbunyi:
Every nation has the rights to exist and to protect and to conserve its
existence...
Terjemahan:
Setiap bangsa memiliki hak untuk ada dan untuk melindungi dan untuk
mempertahankan keberadaannya...
Every nations has the right to territory within defined boundaries and to
exercise exclusive jurisdiction over its territory, and all persons whether
native or foreign found therein.
Terjemahan:
Setiap bangsa memiliki hak terhadap wilayah dalam batas-batas yang
ditentukan dan untuk melaksanakan yurisdiksi eksklusif atas wilayahnya,
dan terhadap semua orang baik penduduk asli atau asing yang ada di
dalamnya.
Berdasarkan dokumen tersebut secara jelas dikatakan bahwa setiap
bangsa memiliki hak untuk mempertahankan keberadaannya dan
memberlakukan hukum di dalam wilayah yurisdiksinya. Setiap bangsa yang
dimaksud di dalam dokumen tersebut tentunya termasuk juga Indonesia.
Bahwa dalam rangka mempertahankan keberadaannya atau kedaulatannya
tersebut, negara dimungkinkan untuk membuat sebuah hukum yang
ditujukan untuk membatasi hak asasi manusia dari warga negaranya.
Dimana dalam kondisi-kondisi tertentu, hak asasi manusia tersebut harus
85
terdapat pembatasan dalam pelaksanaannya. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
telah menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Keberadaan UU Ormas memiliki fungsi utama untuk melakukan pengaturan
lebih lanjut mengenai eksistensi Ormas, yang mana di dalamnya diatur juga
mengenai berbagai pembatasan yang harus dituruti oleh Ormas yang
beraktivitas di dalam wilayah NKRI sebagai bentuk dukungan atas
pelaksanaan demokrasi, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta
cinta tanah air. Pembatasan tersebut, selain merupakan amanat dari Pasal
28J UUD 1945 juga mutlak dibutuhkan untuk menjamin perlindungan
terhadap upaya-upaya untuk mencapai tujuan serta kedaulatan negara.
13) Bahwa Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dengan segala bentuknya
hadir, tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah perkembangan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia, Ormas merupakan
wadah utama dalam pergerakan kemerdekaan di antaranya Boedi Utomo,
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lain yang didirikan sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia. Peran dan rekam jejak Ormas yang telah
berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut mengandung nilai sejarah dan
merupakan aset bangsa yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan
negara.
14) Dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan
membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan
jumlah Ormas, sebaran dan jenis kegiatan Ormas dalam kehidupan
demokrasi makin menuntut peran, fungsi dan tanggung jawab Ormas untuk
berpartisipasi dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu Ormas sejatinya adalah alat
88
yang pada saat ini belum dapat diidentifikasi sebagai suatu paham
yang bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi NKRI.
DPR-RI juga berpandangan bahwa kekhawatiran dari para
Pemohon atas keberadaan frasa “atau paham lain yang
bertentangan dengan Pancasila” di dalam Penjelasan dari Pasal 59
ayat (3) huruf c UU Ormas tidaklah relevan, mengingat bahwa
aktivitas dari Para Pemohon sebagaimana yang telah diuraikan
dalam permohonannya bahwa aktivitasnya yang meliputi bidang
dakwah Islam dan sosial kemasyarakatan, dimana kedua hal
tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan
secara eksplisit didukung oleh sila-sila di dalamnya, yaitu sila ke-1
dan ke-5.
Dalil II
“Sampai dengan saat ini tidak terdapat tafsir resmi tentang
Pancasila, melainkan antar rezim yang pernah berkuasa
menafsirkan Pancasila dengan cara dan untuk kepentingannya
sendiri. Malah Presiden Soeharto berani menyatakan bahwa
Presiden Soekarno sebagai salah satu perumus Pancasila telah
menyimpangi Pancasila. Lalu Pancasila juga yang digunakan oleh
para tokoh reformasi dalam menurunkan Soeharto dengan
menuduhnya telah memonopoli Pancasila demi melanggengkan
kekuasaan dan menjustifikasi pemerintahannya yang otoriter. Begitu
pula pada rezim Joko Widodo yang dalam menafsirkan
Pancasila menganggap Hizbut Tahrir Indonesia sebagai Ormas
anti Pancasila. Padahal selama 10 (sepuluh) tahun Susilo
Bambang Yudhoyono berkuasa, HTI tidak dianggap sebagai
Ormas anti Pancasila. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 14 angka
3)”
DPR-RI memberikan pandangan terhadap argumen yang
disampaikan oleh Para Pemohon bahwa tidak ada tafsir resmi
tentang Pancasila adalah benar. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
pandangan tiap rezim, baik dari Orde Lama hingga Reformasi,
mengenai Pancasila, juga mempunyai nilai kebenaran yang sama.
101
2. Lebih lanjut disampaikan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh negara pada
hakikatnya memuat tanggung jawab dasar untuk melindungi individu-
individu, harta benda, dan untuk menjalankan fungsi pemerintahan di
wilayah teritorial masing-masing. Dengan kedaulatan yang ada pada
negara, negara diberi kekuasaan membentuk hukum sesuai karasteristik
negaranya. Karasteristik negara dapat mempengaruhi terciptanya hukum
yang berlaku pada suatu negara. Dengan terciptanya hukum sesuai
karasteristik negara maka hukum tidak hanya sebagai alat untuk mengatur
akan tetapi hukum dapat memberikan kemasyalahatan bagi bangsa dan
negara. Dengan hukum yang demikian maka negara dapat membuat
aturan sesuai kebutuhan baik pengaturan secara umum atau secara
khusus, termasuk pengaturan untuk mengantisipasi cepatnya
perkembangan dan banyaknya paham/ideologi dan ajaran yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang dibawa oleh ormas
yang berpotensi akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa yang
berdampak pada disintegrasi bangsa.
3. Hak dan kebebasan berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan
pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap warga negara
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dijamin
oleh UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila. Eksistensi keberadaan
ormas sebagai wadah berserikat dan berkumpul adalah perwujudan
kesadaran dan tanggung jawab kolektif warga negara untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Ormas merupakan potensi masyarakat secara
kolektif, yang harus dikelola sehingga tetap menjadi energy positif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, negara
berkewajiban mengakui keberadaannya, dan menjamin keberlangsungan
hidup ormas.
4. Pada sisi lain, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap warga
negara baik secara individu maupun kolektif, berkewajiban untuk
menghormati hak dan kebebasan orang lain. Dalam konteks itu, negara
berkewajiban dan harus mampu mengelola dan mengatur keseimbangan,
keharmonisan dan keselarasan atara hak dan kebebasan individu dengan
hak dan kebebasan kolektif warga negara.
115
lalu dan juga membaca fenomena yang berkembang pada masa kini.
Sehingga dapatlah dipahami bahwa frasa “atau paham lain” tidaklah
ditujukan sebagai alat pemerintah untuk secara serampangan menjerat
ormas, namun memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap
bangsa dan negara atas ancaman paham/ideologi yang berpotensi
mengancam kedaulatan dan kemanan NKRI.
b. Keadaan yang berpotensi dapat mengancam kedaulatan dan kemanan
NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, antara lain kegiatan
Ormas tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain,
ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun
tertulis, melalui media elektronik ataupun tidak memakai media
elektronik, yang menimbulkan kebencian baik terhadap kelompok
tertentu maupun terhadap mereka yang termasuk ke dalam
penyelenggara negara. Tindakan tersebut merupakan tindakan
potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat
sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah
dan diatasi aparat penegak hukum.
c. Bahwa perkembangan sekarang ini banyak ormas yang dalam
aktifitasnya ternyata mengembangkan paham/ideologi dan ajaran yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang tidak termasuk
dalam paham atheism, komunisme/marxisme-leninisme yang
berkembang sangat cepat di Indonesia.
d. Bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sangat
terbatas dalam hal definisi tentang ajaran yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 dimana didalam Pasal 59 ayat (4) disebutkan
bahwa yang dimaksud ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945 hanya terbatas pada atheism, komunisme/marxisme-
leninisme, sehingga dengan mendasarkan pada pertimbangan
sebagaimana telah dijelaskan pada huruf a sampai dengan c, adalah
tepat pengaturan dalam UU a quo yang memasukkan ketentuan frasa
“atau paham lain” sehingga diharapkan UU a quo dapat menyesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
perlindungan terhadap kedaulatan NKRI dari ancaman paham/ideology
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang tentunya
123
e. Bahwa Pencabutan SKT oleh Mendagri dan status badan hukum oleh
Menkumham masuk dalam ranah hukum administrasi negara yakni perbuatan
hukum yang dilakukan oleh aparat administrasi negara berdasarkan
wewenang istimewa dalam hal membuat suatu ketetapan yang mengatur
hubungan antara sesama administrasi negara maupun antara administrasi
Negara dan warga masyarakat. Sehingga adalah tepat pengaturan dalam UU
a quo yang memberikan wewenang bagi Pemerintah untuk segera mengambil
tindakan terhadap ormas yang menurut pendangan Pemerintah nyata-nyata
menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham yang bertentangan
dengan Pancasila.
f. Pasal 59 UU a quo berbunyi sebagai berikut:
(1). Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama
dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara
lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau
bendera Ormas; dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai
politik.
(2). Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan
dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/ atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3). Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia
c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas social;
dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(4). Ormas dilarang:
a. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau symbol organisasi
yang Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau symbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang;
b. Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila.
134
Pendahuluan
UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
diundangkan dengan tujuan mengatur perizinan, pendirian dan aktivitas Ormas di
dalam kehidupan bangsa Indonesia. UU ormas sesungguhnya mencerminkan
itikad baik pemerintah di dalam mewujudkan ketentuan Pasal 28 UUD 1945 yang
menjamin kemerdekaan setiap orang untuk berserikat dan berkumpul, termasuk
penerbitan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum.
UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dilengkapi dengan ASAS, CIRI,
dan SIFAT ORMAS (Pasal 2); TUJUAN, FUNGSI DAN RUANG LINGKUP (Pasal
5). Di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 secara eksplisit kalimat, “tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”
yang mencerminkan bahwa kedudukan Pancasila dan UUD 1945 di dalam Negara
Kesatuan RI, merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia, dan penegasan
136
kembali rangkaian kalimat dari alinea ke-empat yang antara lain menyatakan
sebagai berikut:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar, yang terbentuk dalam suatu negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945, yang memuat kelima nilai
Pancasila merupakan landasan bangun Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk tujuan melindungi dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, dan ikut
melaksanakan perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi atau tergantikan ataupun digantikan dengan idiologi lain selain Pancasila
yang dicantumkan di dalam UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Penegasan dimaksud memberikan sinyal kuat bahwa, di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia setiap ide-ide atau insiatif atau ajakan baik langsung
maupun tidak langsung orang perorangan atau organisasi kemasyarakatan atau
organisasi lain yang berkehendak menggantikan Pancasila dan UUD 1945, adalah
ide-ide, insiatif atau ajakan yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Selain dasar konstitusional, kedudukan hukum
Pancasila telah dikunci dan diperkuat di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mencantumkan secara
eksplisit bahwa, PANCASILA MERUPAKAN SUMBER SEGALA SUMBER
HUKUM NEGARA. Kedudukan hukum Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum negara mengandung arti bahwa, Pancasila harus dijadikan dasar rujukan
utama dalam setiap aktivitas organisasi kemasyarakatan, dan aktivitas perorangan
lain. Namun demikian, hasil proses legislasi tersebut masih mengandung beberapa
kekeliruan setidak-tidaknya merupakan kelemahan mendasar. Kelemahan
mendasar tersebut, adalah, pertama, UU Nomor 17 Tahun 2013 telah luput
memagari Pancasila dalam bentuk larangan dan sanksi pidana disamping sanksi
administratif. Kedua, UU a quo hanya membatasi lingkup aktivitas Ormas yang
bertentangan dengan Pancasila hanya terhadap penyebaran paham komunisme,
137
pernyataan ahli hukum sejak Frederich Karl Von Savigny lebih dari satu abad yang
lampau, dan masih tetap berlaku sampai saat ini, terkenal dengan kata-katanya,
“Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke”( hukum tidak dibuat
tetapi berkembang bersama masyarakatnya). Teori hukum modern pertengahan
abad 19 dan awal abad 20 juga ditandai dengan paham yang serupa yaitu
munculnya paham sociological jurisprudence, dari Roscoue Pound, mantan Hakim
MA di AS, yang telah menegaskan, bahwa sumber hukum bukan hanya undang-
undang (hukum yang tertulis) tetapi juga hukum yang tidak tertulis atau
yurisprudensi tetap. Pernyataan aliran/paham sociological jurisprudence semakin
melunturkan paham positivisme hukum-legal positivism- yang berkembang dalam
praktik peradilan abad 18 sampai saat ini terutama di negara-negara yang
menganut sistem hukum Common Law.
Perkembangan baru di dalam sistem-sistem hukum di dunia, yaitu antara
sistem hukum Civil Law dan Common Law, atau pergeseran yang bersifat
transcedental sehubungan dengan perkembangan teknologi modern; telah
menembus sekat-sekat yang bersifat parochial untuk membuka kemungkinan
perubahan dalam cara memandang dan menempatkan hukum sebagai sarana (as
a tools) rekayasa sosial dalam arti untuk kemajuan peradaban masyarakat/bangsa.
Contoh terkini dan relevan sampai saat ini, perubahan bentuk dan susunan
perundang-undangan sebagai sumber hukum: dari pengakuan sumber hukum
tertulis menuju ke arah pengakuan sumber hukum tidak tertulis-hukum kebiasaan
(common law) atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dan dijadikan rujukan dalam putusan pengadilan kemudian-yurisprudensi
tetap. Contoh lain, pemuliaan hak asasi manusia, yang tidak lagi bersifat absolut
(mutlak) melainkan juga di akui bersifat relatif (Bangkok Declaration, ……).
Isu Non-Retroaktif dan prinsip “Due Process of Law”.
Isu yang sering dikemukakan ahli pemohon dalam kaitan berlakunya UU
Nomor 16 Tahun 20017, antara lain tentang asas non-retroaktif suatu undang-
undang. Isu hukum tersebut dalam konteks idiologi atau pandangan hidup
kelompok ormas tertentu masih dapat diperdebatkan, apakah suatu idiologi atau
pandangan hidup atau “way of life” merupakan suatu tindakan (act) atau suatu
“immaterial facts” yang dapat diancam pidana? Pertanyaan tersebut sehubungan
dengan doktrin hukum pidana klasik selama ini selalu berpedoman pada “hukum
pidana atas perbuatan (daadstrafrecht)” bukan pada pikiran manusia. Dalam
139
konteks ini, doktrin hukum pidana menempatkan unsur locus delicti dan tempus
delicti sebagai unsur penting sekaligus prasyarat yang harus dicantumkan dalam
setiap surat dakwaan; begitupula berdasarkan KUHAP [Pasal 143 ayat (2) b
KUHAP]. Namun sejalan dengan perkembangan lalu lintas dan mobilitas
masyarakat dari satu negara ke negara lain yang didorong oleh perkembangan
teknologi modern, kedua prasyarat tersebut tidak lagi menjadi penting misalnya
dalam pendakwaan kejahatan siber di mana locus delicti dimungkinkan
perpindahan/perubahan tempat peristiwa pidana.
Dalam kaitan suatu pandangan hidup atau way of life terlebih suatu idiologi
perkenankan ahli menyampaikan bahwa, ia merupakan kesatuan pemikiran/ide/
pandangan tentang asas dan tujuan yang hendak dicapai terkait kehidupan suatu
bangsa, dan ia juga merupakan ide/gagasan yang tidak lahir seketika dan sesaat
melainkan merupakan hasil nalar (olah pikir) baik dari aspek historis, sosiologis,
maupun aspek budaya, atau keyakinan, yang disusun secara sistematis di dalam
suatu konsep/pemikiran tertentu dan telah berlangsung lama, contoh paham
komunisme, marxisme dan leninisme. Ketika seseorang atau sekelompok orang
menyatakan dirinya menganut paham tertentu maka seketika itupula paham
tersebut melekat pada dirinya sampai akhir hayatnya.
Dalam konteks pemikiran tentang paham/idiologi/pandangan hidup
tersebut sulit untuk menemukan justifikasi bahwa, ia masih relevan dipertautkan
dengan tempus (waktu) dan locus (tempat) peristiwa tertentu; ia bersifat abadi
(eternal) dan tidak lekang oleh pergantian peradaban manusia. Intinya, ahli
menolak keabsahan penerapan asas non-retroaktif terhadap suatu pandangan
hidup atau way of life apalagi terkait pandangan hidup atau way of life yang secara
- langsung atau tidak langsung bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,
dan kemungkinan (Terkait pengertian “kemungkinan” disini, doktrin hukum pidana
mengakui 3 (tiga) macam dolus yaitu: dolus dengan kesadaran akan keniscayaan
akibat (opzet noodzakelijkheidisbewutstzijn), dolus. Dengan kesadaran akan
besarnya kemungkinan (opzet metwaarschijnleikssbewutszijn), dan kesengajaan
bersyarat (opzet met mogelijkheidsbewutszijn, voorwardelijke opzet) atau dolus
eventualis (J. Remmelink, Hukum Pidana; Gramedia,2003, halaman 153-155)
berdampak sosial serius di dalam kehidupan bangsa yang bercita-cita satu negara
kesatuan dalam wadah Pancasila dan UUD 1945.
140
Selain pandangan ahli di atas, perlu ahli sampaikan beberapa hal sebagai
berikut:
1) Bahwa Indonesia yang merupakann negara hukum modern mengakui baik
hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis termasuk hukum adat dan
yurisprudensi tetap. Dinamika perkembangan hukum di Indonesia termasuk
perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 – UU Nomor 16 Tahun 2017, diakui
merupakan hasil dari perpaduan nalar teoritik dan nalar empiris yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga setiap perubahan
perundang-undangan dipastikan bukan hanya merupakan kehendak politik
(political will) pemegang mandat kedaulatan rakyat (negara) semata,
melainkan juga harus memenuhi aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan
komparatif.
2) Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 dan UU Nomor 16 Tahun 2017 dibedakan
12 (dua belas) jenis perbuatan yang dilarang, dan dapat dibedakan dalam dua
golongan sifat perbuatan, yaitu perbuatan yang dilarang dengan ancaman
sanksi administratif, perbuatan yang dilarang dengan ancaman sanksi pidana,
dan atau ancaman kedua jenis sanksi tersebut. Ketiga golongan sifat
larangan tersebut termasuk ancaman sanksi pidana adninistratif dilandaskan
pada prinsip ultimum remedium atau ultima ratio principle yaitu sanksi pidana
diterapkan jika ancaman sanksi administratif tidak efektif atau situasi dan
keadaan sekitar perbuatan yang dilarang memerlukan digunakan penerapan
sanksi pidana dibandingkan dengan sanksi administratif, misalnya, perbuatan
Ormas yang melakukan tindakan seolah-olah sebagai penegak hukum telah
menimbulkan kerusakan dan cacat fisik atau tindakan ormas yang secara
terang-terangan telah menodai agama tertentu atau memusuhi golongan
tertentu atau agama tertentu serta perbuatan separatisme.
3) Bagi Ormas yang telah didirikan sebagai badan hukum atau bukan badan
hukum dan telah mencantumkan asas, ciri dan tujuan ormas yang sesuai
dengan ketentuan mengenai syarat pendirian berdasarkan UU Ormas Nomor
17 tahun 2017, jelas telah memiliki niat baik (in good faith-te gooder trouw)
serta komitmen sejak awal permohonan pendiriannya untuk tetap memastikan
dan konsisten melakukan aktivitas yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Atas dasar nalar
sistematis logis dan secara abstraksi yuridis dipastikan bahwa, ormas yang
142
7. Bahwa akhir-akhir ini diketahui adanya suatu paham yang tersebar dan
berkembang secara luas, hal mana paham tersebut berikhtiar untuk
menempatkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif pada suatu
pihak/lembaga saja yang berupaya mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai Norma Dasar Bernegara
(Staatsfundamentalnoorm) dan falsafah hidup bernegara dari Bangsa
Indonesia (Way of Life), sebagaimana terbukti berdasarkan Rancangan
Undang-Undang Dasar DAULAH KHILAFAH, yang sudah pasti
meniadakan sistem demokrasi maupun konsep negara hukum yang
didasarkan pada Pancasila, sehingga akan berdampak sangat buruk dan
mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Selain itu, Diskriminasi berdasarkan perbedaan agama juga
dinyatakan dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Khilafah,
yang niscaya akan menimbulkan disharmoni dan perpecahan antar suku
bangsa, sehingga haruslah ditolak demi kelangsungan, kesatuan, dan
persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Bahwa dalam aktivitas sehari-harinya sebagai Advokat, PEMOHON PIHAK
TERKAIT TIDAK LANGSUNG memegang peran dan fungsi yang penting
dalam penegakkan hukum di dalam suatu negara yang menganut sistem
Demokrasi yang didasarkan pada sila-sila Pancasila, serta senantiasa
berupaya untukmengamalkan profesi advokat sebagai profesi yang
terhormat (officium nobile), sebagaimana Sumpah Advokat yang sudah
PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG ucapkan, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
- Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dst..............”
Oleh karena itu, apabila Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Norma
Dasar Bernegara (staatsfundamentalnoorm) dan berdemokrasidi
Indonesia, kemudian lalu diubah atau diganti menjadi paham atau sistem
pemerintahan lainnya, misalnya dengan sistem KHILAFAH, maka
dikhawatirkan tidak akan ada jaminan kepastian hukum yang adil bahwa
146
peran dan fungsi advokat selaku penegak hukum dan pengawal demokrasi
tidak dapat dipertahankan seperti saat ini, serta tidak dapat melaksanakan
hak dan kewajiban profesinya secara murni dan konsekuen di Negara
Hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Advokat.
9. Bahwa setelah membaca dan mempelajarinya dengan seksama,
PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG berpendapat bahwa
secara historis, filosofis, sosiologis dan yuridis maupun asas kemanfaatan
dan kepastian hukum (rechtzakerheid), seluruh norma hukum dan asas
yang terkandung dalam UU Ormas, yang saat ini sedang diuji materi dan
norma hukumnya oleh PARA PEMOHON tersebut adalah peraturan yang
KONSTITUSIONAL DAN SAMA SEKALI TIDAK BERTENTANGAN
dengan UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945, baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil
subtansi, isi dan norma hukum yang tersirat maupun tersurat di dalam UU
Ormas tersebut, dan oleh karena itu, apabila dihapuskan atau dibatalkan
keberlakuannya akan menimbulkan kekosongan hukum di tengah-tengah
masyarakat, bahkan dapat memicu perilaku intoleransi dan perpecahan di
tengah masyarakat.
Bahkan saat pertama kali diterapkan sebagai Perpu hingga saat sekarang
ini, UU Ormas tersebut telah banyak memberikan ketenangan atas gejolak
potensi intoleransi di masyarakat dan senyatanya dapat memberikan
jaminan ketenangan, ketentraman dan kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat yan penuh toleransi, saling menghormati dan menghargai
satu dengan lainnya sesama warga negara, serta memberikan
perlindungan hak-hak kepada warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
10. Bahwa dengan demikian, upaya dari PARA PEMOHON yang hendak
memaksakan kehendaknya dengan sudut pandang kepentingan sepihak
dari golongan atau kelompoknya sendiri yang menganggap dirinya sendiri
paling benar, jelas-jelas telah mengabaikan dan meniadakan hak-hak
warga negara lainnya yang telah dijamin dan dibatasi oleh Konstitusi
dengan kekuatan undang-undang (vide: Pasal 28 J Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
147
dan HAM memiliki alas hak dan wewenang untuk mencabut status badan
hukum ormas tersebut, tanpa mengurangi wewenang Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk menguji keabsahan dari Objek Sengketa tersebut.
Hal inilah yang menurut pandangan dari Pihak Terkait Tidak Langsung
sebagai pembatasan-pembatasan yang dapat dilakukan dengan kekuatan
suatu undang-undang (vide Pasal 28J UUD 1945)
Ormas Bertentangan Dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945 Karena Didalilkan Multitafsir Dan Dapat Menjerat PARA
PEMOHON Hanya Karena Statusnya Pengurus Atau Anggota Ormas.
BERDASARKAN PRINSIP KEBIJAKAN KRIMINAL, PEMBUAT UNDANG-
UNDANG BERWENANG PENUH BUKAN HANYA UNTUK
MENENTUKANPERBUATAN MANA YANG DIANGGAP MEMILIKI SIFAT
MELAWAN HUKUM (WEDERECHTELIJK), NAMUN JUGA UNTUK
MENENTUKAN PERBUATAN MANA YANG MENURUT SIFAT DAN NIAT
BATINNYA MERUPAKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM, DENGAN
TETAP MENGEDEPANKANASAS ULTIMUM REMEDIUM
31. Bahwa PEMOHON PIHAK TERKAIT TIDAK LANGSUNG menolak dengan
tegas dalil PARA PEMOHON Dalam Perkara Reg. Nomor 2/PUU-XVI/2018
mengenai Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ormas
Bertentangan dengan UUD 1945, karenadengan adanya frasa “DENGAN
SENGAJA” pada ketentuan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas,
maka dapat dipastikan bahwa ancaman hukuman tersebut ditujukan bagi
anggota dan/atau pengurus Ormas yang memang dengan sengaja (Dolus)
terlibat dalam tindak pidana termaksud.
Adapun perihal keberadaan frasa “tidak langsung melanggar”, pun
sesungguhnya bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan selama
anggota dan/atau pengurus Ormas tersebut dapat dibuktikan memang
sengaja terlibat dalam tindak pidana tersebut, terlepas dari apakah
yang bersangkutan bertindak sebagai pelaku (secara langsung)
ataukah hanya membantu, memberikan fasilitas, ataupun menyuruh-
lakukan (secara tidak langsung).
32. Bahwa selanjutnya Pasal 82 A ayat (1) dan ayat (2) juga tidak
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena penerapan
sanksi pidana dalam suatu Perpu Ormas yang telah disahkan menjadi UU
Ormas merupakan suatu kebijakan kriminal atau politik hukum pidana yang
sesuai dengan Asas Legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, hal mana dalam hal Ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden dapat menetapkan suatu Perpu yang memiliki
kekuatan setingkat undang-undang yang dapat memuat sanksi
159
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
Pasal I:
2. ….
3. ….
4. ….
5. ….
6. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 66 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 69 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 70 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 71 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 76 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 77 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
22. ...
23. …
Pasal 82A:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Mohammad Siddik, MA. dan H. Amril Saifa sah dan berwenang bertindak
untuk dan atas nama Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia selaku
Pemohon dalam permohonan a quo;
angka 21, frasa “atau paham lain” dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c,
Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, para
Pemohon menerangkan sebagai berikut:
a. menurut para Pemohon, berlakunya Pasal I angka 6 sampai dengan angka
21 UU Ormas menjadikan status badan hukum Pemohon I sampai dengan
Pemohon IV terancam dicabut dan dibubarkan kapan pun tanpa adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang membuktikan
adanya pelanggaran yang dilakukan Pemohon I sampai dengan Pemohon
IV, oleh karenanya melanggar hak-hak konstitusional para Pemohon dalam
hal mendapatkan jaminan dalam proses hukum yang berkeadilan (due
process of law);
b. menurut para Pemohon, hak konstitusionalnya untuk meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya, dan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
dirugikan dengan adanya frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal
59 ayat (4) huruf c UU Ormas karena secara subjektif sangat berpotensi
disalahgunakan oleh aparatur pelaksana UU Ormas;
c. menurut para Pemohon, Pasal 62 ayat (3) dan Pasal 80A UU Ormas
merugikan hak kontitusionalnya karena memberikan kewenangan kepada
Menteri dalam bidang hukum dan HAM untuk mencabut status badan
hukum dan membubarkan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tanpa
proses pembuktian di pengadilan. Demikian juga terhadap Pemohon V,
tidak dapat beraktivitas dalam berserikat dan berkumpul, memajukan diri
dan memperjuangkan haknya secara kolektif di organisasinya karena
Menteri Dalam Negeri kapan pun dapat mencabut surat keterangan
terdaftar dan membubarkan organisasinya tanpa pertimbangan Mahkamah
Agung;
d. menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU
Ormas berpotensi merugikan hak kontitusionalnya untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
rasa aman dan perlindungan dari ancaman dan ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi karena para
Pemohon dapat dijerat hanya karena semata-mata berstatus sebagai
193
Pokok Permohonan
B. Berkenaan dengan frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat
(4) hurud c UU Ormas, para Pemohon mendalilkan bahwa frasa tersebut
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena tidak jelas, multitafsir
yang rentan digunakan secara serampangan oleh Pemerintah untuk menjerat
Ormas-ormas beserta pengurus dan anggotanya dengan tuduhan Anti-
Pancasila, dengan argumentasi lebih lanjut yang pada intinya:
a. bahwa, menurut para Pemohon, sampai saat ini tidak ada tafsir resmi
tentang Pancasila sehingga bergantung pada penafsiran rezim yang
berkuasa;
b. bahwa, menurut para Pemohon, secara legalistik konstitusional Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia telah mengkualifikasi paham atau
ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, yaitu:
- Paham atau ajaran ateisme, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 beserta
Penjelasannya dan Penjelasan Umum Penetapan Presiden Nomor
1/PNPS Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama;
- Paham Komunisme, Marxisme-Leninisme berdasarkan Ketetapan MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966, konsiderans bagian “Menimbang” huruf a
sampai dengan c. Kemudian, norma dalam TAP MPRS ini dijadikan
dasar pemidanaan orang yang menyebarkan ajaran dimaksud
sebagaimana tercantum dalam Pasal 107a, Pasal 107c, Pasal 107d,
Pasal 107e KUHP juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan
Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara;
c. bahwa, menurut para Pemohon, pencantuman frasa “atau paham lain”
dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) UU Ormas mengakibatkan makna
bertentangan dengan Pancasila tersebut menjadi sangat luas yang dapat
menyasar Ormas mana pun, termasuk para Pemohon sebagai Ormas-
196
E. Berkenaan dengan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, para Pemohon
mendalilkan bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena
multitafsir dan tidak ketat yang dapat menjerat para Pemohon hanya karena
statusnya sebagai pengurus atau anggota Ormas, dengan argumentasi lebih
lanjut yang pada intinya:
a. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas
mengancam hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi karena tidak
dirumuskan secara jelas dan ketat yang dapat menjerat para Pemohon
meskipun tidak melakukan perbuatan pidana;
b. bahwa, menurut para Pemohon, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) juncto
Pasal 59 ayat (3) UU Ormas mencampuradukkan dua subjek hukum yang
berbeda dengan perbuatan yang berbeda dalam satu ketentuan pidana.
Subjek hukum Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) adalah “orang.” Namun, Pasal
59 ayat (3) dan ayat (4) UU Ormas yang ditunjuk oleh Pasal 82A ayat (1)
dan ayat (2) UU Ormas merupakan perbuatan yang dilakukan oleh “ormas”,
200
“Pemohonan para Pemohon tidak dapat diterima”. Hal yang menjadi persoalan
dalam hubungan ini, apakah berlaku ketentuan sebagaimana tertuang dalam Pasal
60 UU MK dan Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK
06/2005).
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika
materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Sementara itu, Pasal 42 PMK 06/2005 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang
telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU
terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan
perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan
pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi
alasan permohonan yang bersangkutan berbeda
Dengan mempertimbangkan ketentuan dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK
06/2005 di atas, secara formil, Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005 tidak
berlaku terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 80A UU Ormas
dalam permohonan a quo, sebab Pasal 60 UU MK dan Pasal 42 PMK 06/2005
adalah dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap permohonan kembali suatu
norma atau suatu ketentuan undang-undang di mana norma atau ketentuan
undang-undang tersebut sebelumnya telah pernah diuji dan dinyatakan ditolak
oleh Mahkamah. Oleh karena itu, ada atau tidak ada dasar pengujian
konstitusionalitas baru dalam permohonan a quo untuk menguji konstitusionalitas
Pasal 80A UU Ormas, terhadap Pasal 80A UU Ormas dapat dimohonkan
pengujian kembali.
tersebut berkait erat dengan pokok perkara sehingga perihal kedudukan hukum
para Pemohon itu baru dapat diketahui setelah Mahkamah mempertimbangkan
pokok permohonan. Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
94/PUU-XV/2017 menyatakan:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara
saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti surat/tulisan,
mendengar dan membaca keterangan ahli, dan membaca kesimpulan
yang diajukan para Pemohon, mendengar dan membaca keterangan
Presiden (Pemerintah) serta membaca dan mendengar keterangan ahli
yang diajukan oleh Presiden, maka sebelum mempertimbangkan lebih
jauh dalil-dalil para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih
dahulu mempertimbangkan sebagai berikut:
1. bahwa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya
perbedaan dalam ajaran negara hukum menurut konsepsi rechtsstaat,
etat de droit, dan rule of law, ketiga konsepsi tersebut memuat tiga
substansi dasar yang sama yaitu: (1) substansi yang memuat
gagasan bahwa pemerintah (dalam arti luas) dibatasi oleh hukum.
Sekalipun pada mulanya substansi ini ditujukan untuk membatasi
kekuasaan penguasa (in casu raja) yang dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat
tiranik, dalam perkembangan selanjutnya gagasan bahwa pemerintah
(dalam arti luas) dibatasi oleh hukum sekaligus dimaksudkan untuk
menjamin dan melindungi hak-hak dan kebebasan mendasar warga
negara; (2) substansi yang memuat gagasan tentang legalitas formal
yaitu gagasan yang menekankan keharusan adanya suatu tertib
hukum (legal order) yang dibuat dan dipertahankan oleh negara; (3)
substansi yang memuat gagasan bahwa hukumlah yang memerintah,
bukan manusia [vide, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 7/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018]. Secara umum,
lahirnya UU Ormas juga berpijak pada tiga substansi dasar negara
hukum di atas. Artinya, pertama, tindakan pemerintah yang berkait
dengan ormas dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam UU Ormas
tersebut di mana pembatasan demikian dilakukan demi melindungi
hak-hak dan kebebasan dasar warga negara; kedua, UU Ormas
adalah salah satu bentuk tertib hukum (legal order) yang dibuat dan
dipertahankan oleh negara demi melindungi berbagai kepentingan
dalam kehidupan bernegara guna mencapai tujuan negara; ketiga,
dengan mendasarkan tindakan pada tertib hukum dimaksud, in casu
UU Ormas, hal itu sekaligus menunjukkan bahwa hukumlah yang
memerintah, bukan orang;
2. bahwa gagasan negara hukum yang dipraktikkan di Indonesia adalah
negara hukum yang berlandaskan prinsip supremasi konstitusi, dalam
hal ini UUD 1945. Artinya, seluruh tindakan negara maupun warga
negara tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi, yaitu UUD 1945.
Sementara itu, yang dimaksud dengan UUD 1945, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, adalah terdiri
atas Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Oleh karena itu, dalam
menilai kesesuaian atau pertentangan suatu perbuatan dengan UUD
204
lain, baik yang memiliki status badan hukum maupun tidak. Sebab jika
ormas yang status badan hukumnya telah dicabut tetapi tidak
dinyatakan bubar dan dianggap tetap ada, hal itu justru menjadi tidak
adil sebab secara implisit berarti ormas yang bersangkutan masih
dapat melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana halnya
ormas-ormas lain yang tidak melakukan pelanggaran dan tidak dicabut
status badan hukumnya.
Adapun dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan due
process of law, hal itu telah dipertimbangkan pada angka 2 di atas.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf
[3.10] dan Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para
Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok
permohonan dan telah ternyata bahwa dalil-dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum namun oleh karena para Pemohon hanya prima
facie dianggap memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
1. Bahwa norma UU Ormas yang dimohonkan pengujian dalam
Permohonan a quo adalah Pasal 80A UU Ormas yang menyatakan,
“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus
dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini”;
2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan a quo dengan
mendalilkan selaku anggota masyarakat yang hendak menggunakan
haknya untuk membentuk, menjadi pengurus, dan menjalankan
kegiatan Ormas yang diberi nama “Perkumpulan Tuna Karya untuk
Konstitusi (Perak) Indonesia”;
3. Bahwa menurut para Pemohon potensi kerugian hak konstitusional
Para Pemohon tidak akan terjadi, apabila ada pengaturan due process
of law oleh lembaga peradilan yang putusannya telah memiliki
kekuatan hukum tetap dalam Pasal 80A UU Ormas, sebagai bentuk
kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon dalam
memperjuangkan hak-hak berkumpulnya di lembaga peradilan yang
independen dan imparsial atas tuduhan tindakan-tindakan Ormas para
Pemohon kelak, yang secara subjektif dianggap oleh Pemerintah
melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia telah melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kerugian
hak konstitusionalnya di atas dikaitkan dengan alat bukti yang diajukan
para Pemohon dan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap pokok
permohonan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji oleh
para Pemohon (Pasal 80A UU Ormas) terkait dengan pembubaran Ormas
sekaligus pencabutan status badan hukum Ormas, sehingga mereka yang
secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dirugikan dengan berlakunya
norma a quo adalah Ormas yang telah berbadan hukum ataupun warga
negara Indonesia yang merupakan bagian dari kepengurusan ataupun
keanggotaan Ormas yang sudah terbentuk, sedangkan para Pemohon
209
telah ternyata bukan merupakan Ormas dan bukan pula bagian dari
kepengurusan atau keanggotaan suatu Ormas. Norma UU Ormas a quo
tidak menghambat, apalagi melarang, perseorangan warga negara
Indonesia untuk membentuk Ormas atau bergabung dalam suatu Ormas,
baik berbadan hukum atau tidak. Norma UU Ormas a quo adalah
mengatur tentang pencabutan status badan hukum suatu ormas yang
sekaligus sebagai pembubaran ormas yang bersangkutan. Dengan
demikian, logikanya adalah ormas dimaksud telah ada dan berbadan
hukum. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah bahwa syarat
adanya kerugian “potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi” tidak terpenuhi. Sebab, para Pemohon tidak saja
bukan ormas, apalagi ormas yang berbadan hukum, melainkan
perseorangan warga negara Indonesia. Lagi pula, andaipun benar bahwa
suatu saat nanti para Pemohon akan membentuk Ormas, hal itu pun tidak
serta-merta memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon untuk
menguji Pasal 80A UU Ormas sepanjang ormas tersebut tidak berbadan
hukum dan ormas dimaksud tidak dicabut status badan hukumnya
berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam UU Ormas. Berdasarkan
pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak
memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
permohonan a quo.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut
di atas, telah ternyata para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Andaipun
kedudukan hukum demikian dimiliki, quod non, telah ternyata pula bahwa
pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonan
selebihnya tidak dipertimbangkan.
A. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka
21 UU Ormas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan
argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf A di atas yang
pada intinya menekankan bahwa Pasal I angka 6 sampai dengan angka 21 UU
210
B. Terhadap dalil para Pemohon bahwa frasa “atau paham lain” dalam
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas bertentangan dengan Pasal
28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28E
ayat (2) UUD 1945 karena tidak jelas, multitafsir yang rentan digunakan secara
serampangan oleh Pemerintah untuk menjerat Ormas-ormas beserta pengurus
dan anggotanya dengan tuduhan Anti-Pancasila dengan argumentasi
sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf B di atas, Mahkamah
mempertimbangkan:
1. Frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU
Ormas tersebut tidak dapat dipahami dan ditafsirkan dengan melepaskan
212
Oleh karena itulah pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945,
seluruh fraksi di MPR sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD
1945 dan sebaliknya menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai titik
tolak dalam melakukan perubahan. Kesepakatan tersebut secara
konstitusional kemudian diejawantahkan lebih jauh dalam rumusan pasal-
pasal UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945
menyatakan, “Dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal.” Sementara itu, perubahan UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 adalah perubahan terhadap pasal-pasal
UUD 1945. Dengan demikian, secara a contrario, terhadap Pembukaan
UUD 1945 tidak dapat dilakukan perubahan.
Adapun konteks mengganti/mengubah UUD 1945 dalam Penjelasan Pasal
59 ayat (4) huruf c UU Ormas tersebut bukan dalam pengertian perubahan
konsitusional terhadap pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana dimaksud
Pasal 37 UUD 1945 melainkan mengganti/mengubah UUD 1945 dengan
paham lain, sehingga UUD 1945 tidak lagi didasari oleh Pancasila.
2. Dengan pertimbangan terhadap frasa “atau paham lain” dalam Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas sebagaimana diuraikan pada angka 1
di atas maka tidaklah tepat jika dikatakan bahwa frasa “atau paham lain”
dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas bertentangan
dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat
(1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, Penjelasan Pasal 59 ayat
(4) huruf c UU Ormas tidak melarang kebebasan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sebagaimana
diatur Pasal 28 UUD 1945, juga tidak melarang hak untuk memajukan diri
dalam memperjuangkan hak seseorang secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28C
ayat (2) UUD 1945. Begitu pula halnya Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf
c UU Ormas tidak melarang kebebasan seseorang untuk meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, apalagi jika
215
tertulis dimaksud, menurut Pasal 62 ayat (1) UU Ormas, hanya diberikan satu
kali.
Kedua, adapun sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang diatur
dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas merujuk pada Pasal 60 ayat (1) UU
Ormas yang menyatakan, “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi
sanksi administratif.” Artinya, sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Ormas adalah
dijatuhkan apabila suatu Ormas melanggar Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59
ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas.
Pasal 21 UU Ormas menyatakan:
Ormas berkewajiban:
a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma
kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam
masyarakat;
e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan
akuntabel; dan
f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara
Pasal 51 UU Ormas menyatakan:
Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) berkewajiban:
a. menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menghormati dan menghargai nilai-nilai agama dan adat budaya
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia;
d. memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia;
e. mengumumkan seluruh sumber, jumlah, dan penggunaan dana;
dan
f. membuat laporan kegiatan berkala kepada Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui
media massa berbahasa Indonesia.
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas menyatakan:
(1) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang
sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga
pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera
negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama,
lambang, atau bendera Ormas; dan/atau
218
E. Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU
Ormas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD
1945 karena multitafsir dan tidak ketat yang dapat menjerat para Pemohon
hanya karena statusnya sebagai pengurus atau anggota Ormas, dengan
argumentasi sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] huruf E di atas,
Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas selengkapnya menyatakan:
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang
dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang didasarkan pada proposisi
bahwa seseorang diancam pidana karena orang itu menjadi anggota atau
pengurus Ormas padahal yang melakukan pelanggaran adalah Ormasnya
adalah tidak benar.
3. Sementara itu, perihal frasa “secara tidak langsung” yang oleh para
Pemohon didalilkan mengandung perumusan yang tidak ketat, hal itu telah
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 82A ayat (1) UU Ormas sebagaimana
telah diuraikan di atas.
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
dua ribu sembilan belas, selesai diucapkan pukul 10.36 WIB, oleh sembilan
Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto,
I Dewa Gede Palguna, Arief Hidayat, Enny Nurbanigsih, Manahan M.P Sitompul,
Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota,
dengan dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh
para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden
atau yang mewakili, Pihak Terkait Tidak Langsung Forum Advokat Pengawal
Pancasila (FAPP) atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Tidak Langsung
Lembaga Bantuan Hukum Pembela Pancasila (LBH Pembela Pancasila) atau
yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Anwar Usman
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Syukri Asy’ari
14
DRAF REVISI PP
TANGGAL 13 JUNI
2023
13 Juni 2023
TENTANG
PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58
TAHUN 2016 PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI
KEMASYARAKATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
-3 -
Pasal 2
Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia
atau lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.
Pasal 3
Ormas dapat berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
-4 -
Pasal 4
(1) Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a dapat berbentuk:
a. perkumpulan; atau
b. yayasan.
(2) Ormas berbadan hukum perkumpulan didirikan dengan
berbasis anggota dan memiliki struktur kepengurusan
berjenjang atau tidak berjenjang. (Masukan
Kemenkumham 16 Mei 2023)
(3) Ormas berbadan hukum yayasan didirikan dengan tidak
berbasis anggota.
(4) Ormas tidak berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b dapat memiliki struktur
kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang.
(5) Ormas tidak berbadan hukum dengan struktur
kepengurusan berjenjang mempunyai kepengurusan
pusat dan cabang atau sebutan lainnya.
(6) Ormas tidak berbadan hukum dengan struktur
kepengurusan tidak berjenjang tidak mempunyai
kepengurusan cabang atau sebutan lainnya.
(7) Struktur kepengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam AD/ART Ormas.
BAB II
PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Ormas melakukan pendaftaran dengan memilih salah satu
bentuk ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah
mendapatkan pengesahan badan hukum dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
(3) Ormas tidak berbadan hukum dinyatakan terdaftar
setelah mendapatkan SKT dari Menteri.
Pasal 6
(1) Pengesahan badan hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
-5 -
Pasal 7
SKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) berlaku
selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditandatangani.
Pasal 8
(1) Dalam hal Ormas dengan struktur kepengurusan
berjenjang telah mendapatkan pengesahan badan hukum,
pengurus Ormas pada struktur cabang atau sebutan
lainnya, melaporkan keberadaan kepengurusannya di
daerah kepada Pemda setempat melalui perangkat Daerah
yang melaksanakan Urusan Pemerintahan Umum dengan
melampirkan surat keputusan pengesahan status badan
hukum dan susunan kepengurusan di daerah.
(2) Dalam hal Ormas dengan struktur kepengurusan tidak
berjenjang telah mendapatkan pengesahan badan hukum,
pengurus Ormas, melaporkan keberadaan
kepengurusannya kepada Pemda setempat melalui
perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan Umum dengan melampirkan surat
keputusan pengesahan status badan hukum dan susunan
kepengurusan di daerah.
-6 -
Bagian Kedua
Tata Cara Pendaftaran
Pasal 10
(1) Ormas tidak berbadan hukum mengajukan permohonan
pendaftaran secara tertulis kepada Menteri melalui
gubernur atau bupati/wali kota yang disampaikan kepada
perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan
Pemerintahan Umum di provinsi atau kabupaten/kota
sesuai dengan domisili Ormas.
(2) Permohonan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi.
(3) Permohonan Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum
dengan struktur kepengurusan berjenjang dilakukan oleh
pengurus pusat Ormas.
(4) Permohonan Pendaftaran Ormas tidak berbadan hukum
dengan struktur kepengurusan tidak berjenjang dilakukan
oleh pengurus Ormas.
(5) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diajukan dan ditandatangani oleh
pendiri dan pengurus Ormas.
(6) Dalam hal pendiri meninggal dunia atau berhalangan
tetap, permohonan pendaftaran Ormas dapat diajukan dan
ditandatangani oleh pengurus Ormas.
Pasal 11
(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 harus dilampiri persyaratan:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang
memuat AD atau AD dan ART;
b. program kerja;
c. susunan pengurus;
d. surat keterangan domisili sekretariat Ormas;
-7 -
Pasal 12
AD dan ART sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
memuat paling sedikit:
a. nama dan lambang;
b. tempat kedudukan;
c. asas, tujuan, dan fungsi;
d. kepengurusan;
e. hak dan kewajiban anggota;
f. pengelolaan keuangan;
g. mekanisme penyelesaian sengketa dan pengawasan
internal; dan
h. pembubaran organisasi
Pasal 13
(1) Susunan pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. ketua atau sebutan lain;
b. sekretaris atau sebutan lain; dan
c. bendahara atau sebutan lain.
(2) Seluruh pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan anggota Ormas berkewarganegaraan Indonesia.
Bagian Ketiga
Perpanjangan SKT
Pasal 14
(1) Pengurus Ormas dapat mengajukan perpanjangan SKT
untuk Ormas yang telah berakhir masa berlaku SKT.
(2) Permohonan perpanjangan SKT sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan paling lama 15 (lima belas) Hari
sebelum berakhir masa berlaku SKT.
(3) Ormas yang telah habis masa berlaku SKT dinyatakan
sebagai Ormas tidak terdaftar.
-8 -
Bagian Keempat
Perubahan SKT
Pasal 15
Pengurus Ormas harus mengajukan perubahan SKT apabila
terjadi perubahan nama, pengurus, bidang kegiatan, Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan/atau alamat Ormas.
Pasal 16
(1) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 diajukan secara tertulis kepada Menteri
melalui Gubernur atau Bupati/Walikota yang
disampaikan kepada perangkat Daerah yang
melaksanakan Urusan Pemerintahan Umum di provinsi
atau kabupaten/kota sesuai dengan domisili Ormas.
(2) Permohonan perubahan SKT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh pengurus Ormas dan
dilengkapi bukti pendukung permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
(3) Permohonan Perubahan SKT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui unit layanan
administrasi.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran,
perpanjangan, atau perubahan SKT, format SKT, serta
ketentuan pelaporan kepengurusan Ormas tidak badan hukum
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB III
PEMBERDAYAAN
Pasal 18
Pemberdayaan Ormas dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan, daya tahan, dan kemandirian Ormas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
-9 -
Pasal 19
Dalam pelaksanaan Pemberdayaan Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Ormas dapat bekerjasama dengan :
a. Ormas lainnya;
b. masyarakat; dan/atau
c. swasta.
Pasal 20
(1) Pemberdayaan Ormas yang dilakukan dengan cara
bekerjasama dengan Ormas lainnya, masyarakat, atau
swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat
berupa:
a. pemberian penghargaan,
b. program, bantuan, dan
c. dukungan operasional organisasi.
(2) Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan prinsip kemitraan,
kesetaraan, kebersamaan, dan saling menguntungkan.
Pasal 21
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat
melakukan pemberdayaan Ormas melalui:
a. fasilitasi kebijakan,
b. penguatan kapasitas kelembagaan, dan
c. peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
(2) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan
meningkatkan peran serta Ormas dalam perumusan dan
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Fasilitasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa:
a. pembentukan kebijakan yang mendukung
pemberdayaan Ormas;
b. pelibatan dalam proses penyusunan kebijakan dan
penyusunan perencanaan pembangunan;
c. pembentukan kebijakan mitigasi risiko
penyalahgunaan ormas sebagai alat tindak pidana; dan
(Masukan PPATK)
d. sosialisasi kebijakan.
Catatan: Perlu dipertimbangkan mengenai dampak
dari rumusan ini terhadap tuntutan ormas untuk
dilibatkan dalam perumusan sebuah kebijakan.
- 10 -
Pasal 22
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dilakukan kepada:
a. Ormas yang berbadan hukum; dan
b. Ormas yang tidak berbadan hukum.
- 11 -
Pasal 23
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
harus:
a. selaras dengan program perencanaan pembangunan
nasional dan/atau program perencanaan pembangunan
daerah;
b. menghormati dan mempertimbangkan aspek sejarah,
rekam jejak, peran, dan integritas Ormas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 24
Pemberdayaan Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kebutuhan,
kemampuan, dan ketersediaan anggaran dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
SISTEM INFORMASI ORMAS
Pasal 25
(1) Pemerintah membentuk Sistem Informasi Ormas untuk
meningkatkan pelayanan publik dan tertib administrasi.
(2) Pengelolaan Sistem Informasi Ormas memuat data dan
Informasi tentang keberadaan, kegiatan, dan informasi
lain yang dibutuhkan.
Catatan:
PPATK mengusulkan pemanfaatan SIORMAS tidak
hanya untuk pendataan dan pencatatan, tetapi dapat
juga digunakan untuk pendaftaran ormas dengan
pertimbangan untuk keakurasian data yang
disampaikan ke otoritas dengan data yang tersimpan di
dalam basis data SIORMAS.
Pasal 26
(1) Data dan informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) dikelola oleh kementerian terkait sesuai
dengan bidang Ormas, atau instansi terkait sesuai dengan
lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.
(2) Kementerian atau instansi terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberikan data atau informasi kepada
Menteri secara berkala 1 (satu) bulan sekali.
- 12 -
Pasal 27
(1) Pengelolaan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan dengan
menggunakan sistem komputerisasi yang memiliki
kemampuan terhubung secara online sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal belum tersedia infrastuktur dengan sistem
komputerisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengolahan data dan Informasi Ormas dapat dilakukan
secara manual.
Pasal 28
(1) Data dan informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 dilakukan pengamanan untuk menjamin agar
data dan informasi Ormas:
a. tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
b. terjaga kerahasiaannya.
(2) Pengamanan data dan informasi Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan
standar pengamanan.
(3) Kerahasiaan data dan informasi Ormas dan standar
pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 29
Sistem Informasi Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) dikembangkan oleh kementerian atau instansi
terkait yang dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh Menteri.
Catatan:
PPATK mengusulkan agar adanya penambahan pengaturan
mengenai akses informasi SIORMAS oleh otoritas dan pihak
pelapor, misalnya PPATK dan penegak hukum, termasuk
perbankan dalam rangka memastikan ormas yang dapat
membuka rekening hanya ormas yang terdaftar sebagai bentuk
mitigasi risiko terjadinya penyalahgunaan ormas sebagai alat
tindak pidana.
- 13 -
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sistem Informasi
Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB V
PERIZINAN, TIM PERIZINAN, PENGESAHAN ORMAS YANG
DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING, DAN BANTUAN
DARI DAN KE PIHAK ASING
Pasal 31
(1) Ormas yang didirikan oleh Warga Negara Asing dapat
melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga
negara asing atau warga negara asing bersama
warga negara Indonesia; atau
c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan
hukum asing.
Pasal 32
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a
yang akan melakukan kegiatan di daerah dan telah
mendapatkan izin operasional wajib memberitahukan
kepada Menteri.
(2) Menteri memberitahukan kepada gubernur dan
bupati/wali kota terhadap Ormas badan hukum yayasan
asn atau sebutan lain yang akan melakukan kegiatan di
daerah.
(3) Gubernur dan bupati/wali kota melakukan pemantauan
terhadap Ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain dan melaporkan hasil nya kepada Menteri
setiap tahun pada periode kerjasama dan sewaktu-waktu
jika diperlukan.
(4) Ketentuan mengenai format laporan dan pemantauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.
(5) Ormas badan hukum yayasan asing yang
bertransformasi menjadi ormas lokal tidak boleh
- 14 -
Pasal 32
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a
wajib memiliki izin prinsip dan izin operasional.
(2) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang luar negeri dan Izin Operasional
diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 33
(1) Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a
yang akan melakukan kegiatan di daerah dan telah
mendapatkan izin operasional wajib memberitahukan
kepada Menteri.
(2) Menteri memberitahukan kepada gubernur dan
bupati/wali kota terhadap Ormas badan hukum yayasan
asing atau sebutan lain yang akan melakukan kegiatan
di daerah.
(3) Gubernur dan bupati/wali kota melakukan pemantauan
terhadap Ormas badan hukum yayasan asing atau
sebutan lain dan menyampaikan hasilnya kepada
Menteri setiap tahun pada periode kerjasama dan
sewaktu-waktu diperlukan.
(4) Setiap staf berkewarganegaraan asing yang telah
disetujui oleh Tim Perizinan untuk bekerja pada ormas
yang didirikan oleh warga negara asing wajib melaporkan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota
(5) Ketentuan mengenai format pemberitahuan,
pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.
- 15 -
Pasal 34
Badan hukum yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (2) huruf b dan huruf c disahkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia setelah mendapatkan pertimbangan
tim perizinan.
Pasal 35
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Ormas yang didirikan
oleh warga negara asing wajib bermitra dengan
Pemerintah dan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia ata izin Pemerintah.
(2) Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terdaftar di
Pemerintah.
(3) Dalam hal Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
bermitra dengan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia, maka Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia wajib dilakukan orientasi dengan Tim
Perizinan.
(4) Dalam hal dukungan anggaran melalui kemitraan Ormas
yang didirikan oleh warga negara asing dengan Ormas
yang didirikan oleh warga negara Indonesia, dilakukan
selama satu periode kerjasama kecuali ditentukan lain
berdasarkan atas pertimbangan Tim Perizinan.
(5) Dalam hal Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia menjalin kemitraan dengan Ormas yang
didirikan oleh warga negara asing, maka Ormas yang
didirikan oleh warga negara Indonesia wajib melaporkan
seluruh pendanaan dalam kemitraan dengan
pihak/ormas asing supaya tidak tumpang tindih
pembiaayan dalam program masing-masing dalam
kemitraan
(6) Dalam hal support anggaran melalui kemitraan
ormas/pihak luar dengan ormas lokal, dilakukan selama
1 periode kerjasama kecuali untuk program build
(program kemandirian ormas).
- 16 -
Pasal 37
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia dalam
Kemitraan dengan Ormas yang didirikan oleh warga negara
asing, berkewajiban:
(1) menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
(2) tunduk dan patuh pada ketentuan peraturan perundang
undang;
(3) menghormati dan menghargai nilai-nilai agama dan adat
budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia;
(4) memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia;
(5) mengumumkan seluruh sumber, jumlah, dan
penggunaan dana.
Pasal 38
Ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia dalam
Kemitraan dengan Ormas yang didirikan oleh warga negara
asing, dilarang:
(1) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
(3) melakukan kegiatan intelijen;
(4) melakukan kegiatan politik;
(5) melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan
diplomatik;
(6) melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan
organisasi;
(7) menggalang dana dari masyarakat Indonesia;
(8) menggunakan sarana dan prasarana instansi atau
lembaga pemerintahan; dan
(9) menerima dan memberikan sumbangan kepada pihak-
pihak yang masuk dalam daftar kejahatan domestik
dan negara lain/organisasi internasional (Masukan
PPATK)
Pasal 39
(1) Keuangan Ormas yang didirikan oleh warga negara
Indonesia dapat bersumber dari bantuan pihak asing.
(2) Bantuan pihak asing bersumber dari:
a. pemerintah luar negeri;
- 17 -
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan ormas yang
didirikan oleh warga negara asing dengan ormas yang
didirikan oleh warga negara indonesia dan penerimaan dan
bantuan ormas yang didirikan oleh warga negara indonesia
dari dan kepada pihak asing dimaksud dalam Pasal 35 sampai
dengan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 41
(1) Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta
menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas atau
ormas yang didirikan oleh warga Negara asing dilakukan
pengawasan.
- 19 -
Pasal 42
(1) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) dilakukan oleh pengawas internal.
(2) Pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berfungsi menegakkan kode etik organisasi dan
memutuskan pemberian sanksi dalam internal
organisasi sesuai dengan AD/ART Ormas.
Pasal 43
(1) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2) dilakukan oleh masyarakat,
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. aktivitas;
b. sumber keuangan; dan
c. pengelolaan keuangan.
Pasal 44
(1) Bentuk pengawasan oleh masyarakat terhadap
aktivitas Ormas sebagaimana dimaksud dalam pasal 43
ayat (2) huruf a berupa pengaduan yang disampaikan
kepada Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait,
gubernur, dan/atau bupati/walikota.
(2) Bentuk pengawasan oleh masyarakat terhadap sumber
keuangan dan pengelolaan keuangan Ormas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (2) huruf b
dan huruf c berupa pengaduan yang disampaikan
kepada lembaga pemerintah yang menyelenggarakan
urusan pemerintah bidang pelaporan dan analisis
transaksi keuangan
(3) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan secara tertulis
dan/atau tidak tertulis.
Pasal 45
(1) Pengaduan masyarakat secara tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44- ayat (3) difasilitasi oleh unit
pelayanan pengaduan masyarakat pada
- 20 -
Pasal 47
Kementerian/lembaga, Gubernur, bupati/walikota, dan/atau
instansi vertikal terkait di daerah sesuai dengan lingkup tugas
dan fungsinya menindaklanjuti pengaduan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 secara terkoordinasi
Pasal 48
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dilakukan sesuai dengan jenjang pemerintahan.
(2) Pengawasan eksternal terhadap aktivitas Ormas dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait
sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya.
(4) Pengawasan eksternal di daerah dilakukan oleh gubernur,
bupati/walikota, dan instansi terkait di daerah.
(5) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh:
a. Menteri untuk Ormas berbadan hukum yang didirikan
oleh Warga Negara Indonesa dan tidak berbadan
hukum; dan
b. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang luar negeri bagi ormas yang didirikan oleh
Warga Negara Asing;
- 21 -
Pasal 49
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah terhadap sumber
keuangan dan pengelolaan keuangan Ormas dan ormas
yang didirikan oleh warga negara asing dikoordinasikan
oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintah bidang pelaporan dan analisis transaksi
keuangan.
(2) Pengaturan mengenai mekanisme pengawasan terhadap
sumber keuangan dan pengelolaan keuangan, tindak
lanjut atas hasil temuan, dan permintaan data/informasi
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut melalui peraturan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintah bidang pelaporan
dan analisis transaksi keuangan.
Catatan:
Mekanisme pengawasan/monitoring, tindak lanjut atas
hasil temuan PPATK, meminta data/informasi
tambahan, adanya delegasi penyusunan rincian
mengenai pengawasan ke Peraturan PPATK. (Masukan
PPATK)
Pasal 50
(1) Pengawasan eksternal oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 dilakukan secara terencana dan sistematis, baik
sebelum maupun sesudah terjadi pengaduan masyarakat.
(2) Pelaksanaan penerimaan bantuan asing dan pemberi
bantuan asing oleh Ormas wajib diinformasikan kepada
masyarakat melalui media publik, hal ini merupakan salah
satu bentuk dari pengawasan eksternal yang dapat
dilakukan oleh masyarakat.
Pasal 51
(1) Pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 dilaksanakan melalui monitoring dan evaluasi.
(2) Pelaksanaan Pengawasan eksternal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dikoordinasikan
Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan
- 22 -
BAB VII
MEDIASI PENYELESAIAN SENGKETA ORMAS
Pasal 51
(1) Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas,
penyelesaiannya dilakukan sesuai mekanisme yang diatur
dalam AD atau AD dan ART Ormas yang bersangkutan.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, Pemerintah atau pemerintah
daerah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para
pihak yang bersengketa
Pasal 52
(1) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang berbadan hukum
disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia
(2) Permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (2) untuk Ormas yang tidak berbadan
hukum, disampaikan kepada Menteri, gubernur atau
bupati/walikota.
(3) Menteri dapat mendelegasikan kepada gubernur atau
bupati/walikota untuk memfasilitasi mediasi penyelesaian
sengketa Ormas.
(4) Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berdasarkan domisili terdaftarnya Ormas.
- 23 -
Pasal 53
(1) Permintaan para pihak kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) disampaikan secara
tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melampirkan resume permasalahan yang
dipersengketakan.
Pasal 54
(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagai mediator
mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi dalam jangka
waktu 5 (lima) hari sejak diterimanya surat permohonan.
(2) Jadwal pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 55
(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib mendorong
para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan itikad
baik secara musyawarah dan mufakat.
(2) Mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
Pasal 56
(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para
pihak dibantu oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
merumuskan kesepakatan perdamaian.
(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan serta
ditandatangani oleh para pihak dan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Pasal 57
Kesepakatan perdamaian yang telah ditandatangani para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) bersifat
mengikat para pihak.
Pasal 58
(1) Jika mediasi penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada Pasal 53 ayat (2) tidak tercapai
- 24 -
Pasal 59
Dalam hal permintaan fasilitasi mediasi hanya diminta oleh
salah satu pihak maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dapat menyampaikan keinginan mediasi dimaksud kepada
pihak lainnya.
Pasal 60
(1) Pelaksanaan mediasi sengketa yang difasilitasi oleh
gubernur atau bupati/walikota dilaporkan kepada Menteri
(2) Pelaksanaan mediasi sengketa sebagaimana dimaksud
ayat 1 meliputi permintaan para pihak, pelaksanaan
mediasi, dan penyelesaian sengketa
(3) Pelaksanaan mediasi sengketa sebagaimana dimaksud
ayat 1 dimonitoring dan evaluasi oleh Menteri.
Pasal 61
Dalam hal sengketa yang terjadi di internal Ormas yang
berpotensi perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan baik perorangan maupun kelompok yang dapat
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan
pencegahan agar tidak terjadi konfliktanpa permintaan yang
bersengketa.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 62
(1) Ormas yang melanggar kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan
Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tentang
Organisasi Kemasyarakatan, dijatuhi sanksi administratif.
(2) Ormas yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang Undang-Undang tentang Organisasi
Kemasyarakatan, dijatuhi sanksi administratif.
Pasal 63
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (1) terdiri atas:
- 25 -
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan; dan/atau
c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
(2) Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing,
selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga
dikenakan sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (2) berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri;
atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
(4) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 huruf c dan ayat (3), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari
instansi terkait.
(5) Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b
sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Undang-Undang.
Pasal 64
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (1) huruf a diberikan secara berjenjang sesuai dengan
domisili Ormas.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
Pasal 65
(1) Setiap peringatan tertulis bagi Ormas berbadan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 64 diberikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia dan disampaikan kepada
gubernur dan bupati/walikota yang menjadi tempat
terjadinya pelanggaran dengan tembusan kepada Menteri
(2) Setiap peringatan tertulis bagi ormas tidak berbadan
hukum sebagaimana dimaksud Pasal 64 diberikan oleh
- 26 -
Pasal 67
(1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi
peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, diberikan sanksi penghentian
kegiatan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi
peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64, diberikan sanksi penghentian
kegiatan oleh Menteri.
(3) Penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) berakhir setelah Menteri atau menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia melakukan evaluasi terhadap
sanksi penghentian kegiatan.
(4) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
atau menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,
melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.
- 27 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Ormas,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 69
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5958) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 70
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
- 28 -
YOSANA H. LAOLY
Ketua, Sekretaris,
u. Bendera Organisasi : (jika ada, dilampirkan berwarna)
SURAT PERNYATAAN
Ketua, Sekretaris,
Materai
Telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan, dan Surat Keterangan Terdaftar ini
berlaku 5 (lima) tahun sejak tanggal ditandatangani.
Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan, kesalahan, penyimpangan,
penyalahgunaan, dan pelanggaran hukum, akan dilakukan perbaikan dan/atau
pencabutan sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikian Surat Keterangan ini diberikan agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Dikeluarkan di : Jakarta
Pada Tanggal :
Ditandatangani secara elektronik oleh:
- 32 -
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
* Surat Keterangan Terdaftar (SKT) ditembuskan kepada Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai wilayah kerja Ormas, oleh Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik yang mengajukan.
E. PETUNJUK PENGISIAN
1. Nomor SKT
Contoh : 0000/0000-00/X/XXXX
Tahun
Bulan (huruf romawi)
Nomor urut perubahan
Nomor urut SKT (4 digit)
Kode khusus Kesbangpol
Pemohon
2. Nama Ormas diisi sesuai yang tercantum dalam akta, dalam hal nama
berbahasa asing / berbahasa daerah, ditambahkan arti dalam bahasa
Indonesia.
3. Tanggal berdiri diisi sesuai dengan tanggal berdirinya yang tercantum
dalam akta pendirian/statuta.
4. Bidang kegiatan diisi sesuai dengan bidang kegiatan sifat kekhususan
Ormas.
5. NPWP adalah Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Ormas.
6. Alamat sekretariat diisi berdasar surat keterangan domisili, disertai
dengan nomor telepon, faks (jika ada) dan email Ormas.
7. Nama Ketua, Sekretaris dan Bendahara diisi sesuai KTP.
8. Masa Bakti Kepengurusan diisi sesuai SK Kepengurusan.
9. Tembusan SKT disampaikan kepada Yth:
- Menteri Dalam Negeri (sebagai laporan);
- Gubernur (sesuai domisili Ormas yang mengajukan);
- Bupati/Walikota (sesuai domisili Ormas yang mengajukan);
- Arsip.
10. Penulisan menggunakan jenis huruf bookman old style dengan huruf 12
(dua belas).
KOP SURAT
PEMERINTAH DAERAH
I. Profil Ormas
- 36 -
Nama Ormas :
Bentuk Legalitas : 1. Badan Hukum:
a. Yayasan;
b. Perkumpulan
2. Surat Keterangan Terdaftar
*) Pilih salah satu
Nomor Legalitas : 1. Nomor Yayasan
2. Nomor Perkumpulan
3. Nomor Surat Keterangan Terdaftar
*) Pilih salah satu
Masa Berlaku :
Alamat :
Akta Pendirian :
Program Kerja :
Kepengurusan : h. Nama Lengkap:
i. Tempat dan tanggal lahir:
j. Nomor Induk Kependudukan atau
Identitas diri lain:
k. Alamat Domisili:
l. Pekerjaan:
m. Kewarganegaraan:
n. Jenis kelamin:
o. Jabatan pada Organisasi:
NPWP :
Mitra Ormas : 1. Nama Mitra Ormas:
2. Bentuk/jenis legalitas mitra Ormas:
3. Pengurus Mitra Ormas:
4. NPWP Mitra Ormas:
5. Program Kerja Mitra Ormas:
6. Negara Asal Mitra Ormas:
Sumber Keuangan : 1. Iuran anggota
2. Bantuan/sumbangan Ormas
3. Hasil Usaha Ormas
4. Bantuan/Sumbangan dari Ormas Asing
atau Lembaga Asing
5. Kegiatan Lain yang sah
6. Bantuan APBN dan APBD
Nomor Rekening :
Ormas
- 37 -
V. Catatan Tambahan
1. ..............................
2. ..............................
3. ..............................
b) Kelompok;
c) Organisasi Kemasyarakatan; dan/atau
d) Badan Hukum
*Pilih salah satu
Jabatan :
Tanda :
Tangan
Pelaksanaan Pengawasan
Tempat :
Hari/Tanggal :
II. FAKTA-FAKTA
(Menjelaskan mengenai fakta-fakta pendukung)
III. PERMASALAHAN
(Menjelaskan mengenai permasalahan yang lebih teknis yang terjadi
dilapangan)
- 39 -
V. KESIMPULAN
(Menjelaskan mengenai kesimpulan sekaligus analisis terhadap
persoalan/permasalahan/kasus yang sedang ditangani)
VI. REKOMENDASI
(Menjelaskan mengenai rekomendasi yang disarankan guna
tindaklanjut penyelesaian kedepan)
VII. LAMPIRAN
(Dokumen, foto atau video sebagai bukti yang menguatkan dalam
penarikan kesimpulan dan pemberian rekomendasi hasil
pengawasan terhadap Ormas)
- 40 -
I. Identitas Pelapor
a. N a m a:
b. Alamat :
c. Pekerjaan :
d. Umur :
__________________________________
NIP. ……………………
Nama Jelas Pengadu
J. FORMULIR PEMETAAN
i. Pemberdayaan Perempuan;
j. Perlindungan Anak
k. Hobi, Minat atau Bakat
l. Penelitian dan Pengembangan
m. Lainnya (sebutkan)
3. Ekonomi:
a. Pertanian
b. Perikanan
c. Kelautan
d. Lainnya (sebutkan)
4. Profesi:
a. Tenaga Pendidik
b. Tenaga Kesehatan
c. Akuntan
d. Teknisi
e. Arsitek
f. Fisikawan
g. Pustakawan
h. Advokat
i. Komputasi
j. Wartawan
k. Pengrajin
l. Lainnya (sebutkan)
5. Lingkungan dan Sumber Daya:
a. Sumber Daya Manusia
b. Lingkungan Hidup dan Sumber Daya
Alam
c. Ketenagakerjaan
d. Penguatan Kapasitas
e. Lainnya (sebutkan
Keanggotaan 1. Tanpa Anggota (Hanya Pengurus)
2. Anggota Terbatas
3. Anggota Massa
Pengerahan Massa 1 Kegiatan Tidak Melibatkan Massa
2 Kegiatan Melibatkan Massa
Konflik 1 Belum Pernah Konflik
2 Pernah Konflik
Struktur 1 Pengurus Pusat
Kepengurusan
Berjenjang
- 43 -
2 Pengurus Provinsi
3 Pengurus Kabupaten/Kota
Tingkat Partisipasi 1 Melibatkan Sejumlah Masyarakat pada
dalam Pelaksanaan Tingkat Kabupaten/Kota
Program 2 Melibatkan Sejumlah Masyarakat pada
Tingkat Provinsi
3 Melibatkan Sejumlah Masyarakat pada
Tingkat Nasional
4 Melibatkan Masyarakat Internasional
Media Penyebaran 1 Website Resmi Organisasi
Informasi 2 Sosial Media:
a. Facebook
b. Twitter
c. Whataspp
d. Telegram
e. Line
f. Instragram
g. Lainnya (sebutkan)
3 Tidak Punya Website dan Sosial Media
(Medsos)
K. FORMAT LAPOR DIRI ORMAS ASING
UPLOAD NAMA,
MITRA TENAGA
ORMAS K/L ASAL NO MULAI AKHIR SISA MASA LOKUS LOKUS LOKUS MSP & MITRA JABATAN,
NO HARI TGL JAM BENUA PROGRAM ORMAS KERJA
ASING Mitra NEGARA MSP MSP MSP MSP PROVINSI KABUPATEN KOTA AP, RIK, SKPD DAN CP
LOKAL ASING
RKT PELAPOR
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21)
1 … … … … … … … (1). … … ../../…. ../../…. (Contoh: 1 (1). ... (1). … (1). … … (1). … … (1). … …
(2). dst Thn, 3 Bln) (2). dst (2). dst (2). dst (2). dst (2). dst
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal