Khutbah Jumat Ahlak Mulia
Khutbah Jumat Ahlak Mulia
Kita semua sepakat bahwa hidup ini hanya sementara dan pastinya kita nanti akan
kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengajarkan
kepada manusia agar mereka bisa selamat di dunia dan di akhirat.
Salah satu kunci agar seseorang bisa selamat di dunia dan di akhirat adalah dia
bisa bersikap dengan sikap terbaik kepada Tuhannya, diri dia sendiri, dan kepada
sesama makhluk yang ada di sekitarnya. Ketiga hal inilah yang menjadi dasar kita
berinteraksi.
Kita selalu berinteraksi dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan diri sendiri dan
dengan orang lain yang ada di sekitar kita. Dan agar bisa berbuat baik terhadap
ketiga hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikannya dalam
sebuah hadits,
وخالق الناس بخلق حسن، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، اتق هللا حيثما كنت
“Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan hendaknya setelah
melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya.
Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad 21354,
Tirmidzi 1987)
Di manapun kita berada, dituntut untuk selalu menjaga takwa ini. Karena Rabb
yang kita sembah ketika kita berada di tanah asal adalah Rabb yang sama yang
kita sembah ketika kita sedang safar dan di manapun kita berada.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kunci, “Kalau kamu ingin
mendapatkan balasan terbaik dari Allah, jagalah ketakwaan kepada-Nya di
manapun kamu berada.” Hapus Kejelekan dengan Kebaikan
Pesan kedua,
وأتبع السيئة الحسنة تمحها
“Hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat
menghapusnya.”
Ada dua tafsir yang para ulama sampaikan. Makna yang pertama, iringi perbuatan
maksiat dengan kebaikan artinya adalah iringi setiap perbuatan maksiat kita
dengan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut perbuatan taubat dengan al hasanah.
ِإَذ ا اْج َتَن َب اْلَك َب اِئَر، ُم َك ِّف َر اٌت َم ا َبْي َن ُهَّن، َو َر َمَض اُن ِإَلى َر َمَض اَن، َو اْلُجُمَع ُة ِإَلى اْلُجُمَع ِة، الَّص َلَو اُت اْلَخ ْم ُس
“Antara shalat lima waktu, (sholat) jum’at ke (sholat) jum’at (berikutnya), (puasa)
Ramadhan ke (puasa) Ramadhan (berikutnya) melebur dosa-dosa yang terdapat di
antaranya, selama pelakunya menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
Janji yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikan, orang yang mengiringi
perbuatan buruk dengan kebaikan, maka dosa perbuatan buruk tersebut akan Allah
Subhanahu wa Ta’ala hapuskan.
Dan ini adalah bagian dari cara terbaik untuk bermuamalah kepada diri kita agar
tidak terbebani dengan berbagai macam dosa yang kita lakukan.
Berakhlak Baik
Kemudian pesan yang ketiga,
وخالق الناس بخلق حسن
“Bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Ahmad 21354,
Tirmidzi 1987)
Karena dengan memberikan akhlak yang mulia kepada sesama, maka kita menjadi
orang yang berharga di mata masyarakat. Manusia dinilai karena akhlaknya, bukan
karena yang lainnya. Status sosial akan menjadi hilang apabila orang itu memiliki
akhlak yang tercela.
Maka kita dituntut untuk berakhlak mulia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita
juga dituntut untuk berakhlak mulia kepada diri kita sendiri. Dan kita juga dituntut
untuk berakhlak mulia dengan sesama manusia yang ada di sekitar kita. Baik
keluarga, tetangga, teman, maupun lingkungan di sekitar.
Ada sebagian orang yang memiliki prinsip; akhlak yang mulia itu adalah berbuat
baik kepada sesama manusia saja. Tentu prinsip ini adalah prinsip yang salah.
Karena jika demikian, bisa jadi dia meninggalkan aturan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, mengesampingkan akhlak kepada-Nya, dengan alasan dia berakhlak kepada
manusia.
Kalau ada orang lain yang mengajak kita untuk berbuat maksiat dan kita
menolaknya, maka kita tidak disebut berakhlak jahat padanya. Berbuat baik
kepada sesama manusia tidak boleh berlaku mutlak kelak sampai harus melanggar
aturan syariat.
Karena itulah, perlu diperhatikan. Ada akhlak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
akhlak kepada diri sendiri, dan ada akhlak kepada sesama manusia. Yang masing-
masing harus memiliki porsi sesuai dengan apa yang syariat tetapkan.