Anda di halaman 1dari 8
PANEL 16 LOKUS MIKROSATELIT UNTUK DETEKSI POLIMORFISME DAN HUBUNGAN FILOGENETIK PADA GENOM SAPI Winaya, A), Muladno® & B. Tappa? “Fakuitas Peternakan - Univ. Muhanemadiyah Malang UFakultus Peternakan - Institut Pertanian Bogor Pusat Penclitian dan Penrgembangan Bioteknologi - LIPT ABSTRACT ‘ost linkage and population genetic study that hased on microsatellite marker assume that the polymorphism at these oct and more complex, 60 dispersed abundantly in the genome and easy to amplified by PCR. The aims af this study were to get [Singerprinting based on microsatellite marker and ta constract the phylogenetic tree to know the genetic relationship among slation, that were Bali, Madura, Ongole cross breed and Brangus cattle’s, The PCR technique was used to amplified DNA. ch extracted from whole blood cells with the primer pairs that flanking 16 microsatellite luci (BM 2113, CSSM 66, ETH 3, HEL 1, BEL §, HEL 9, ILSTS, INRA 023, INRA 022, INRA 085, INRA 037 and HAUT 24) to get nin samples population. Vertical 6 % polyacrylamide gel electrophoresis was used to separate PCR products, while at each locus using silver staining technique. Polymorphism stated by allele variation at each locus. The research from 16 microsatellites panel wae get average allele number ian all population 2.17, while the highest allele number was 5 Madura cattle population. From phylogenetic relationship showed that Madura and Brangus caftles in the same cluster with Ongole breed eattle, while Bali cattle separated from others. words : microsatellite, silver staining, PCR, polymorphism, phylogenetic tree, catile genome. spesies maupun antar populasi yang relatif dekat Kekerabatannya (Takezaki & Nei, 1996). Dalam hal i populasi dan pautan genetik mongguna- ini, penggunaannya untuk memperkirakan jarak a mikrosatelit banyak dilakukan dengan genetik pada konstruksi pohon filogenetik (Ciampolini behwa polimorfisme tiap lokus tinggi dan et al; 1995). Neict al; (1983) dengan menggunakan leks, disamping itu dalam genom eukariot simulasi komputer telah menguji efisiensi relatif pada asi sccara luas dengan polimorfisme makin pengukuran jarak genetik untuk — memperoleh eebila unit ulangannya tergandakan lebih dari topologi yang tepat pada pohon filogenetik dengan ‘pat (Weber, 1990), Perbedaan panjang alel asumsi bahwa alel mutan baru akan selalu berbeda lit pada lokus biasanya dikarenakan variasi dari alel yang telah ada sebelumnya pada suatu malah ulangannya can ketidaksepadanan populasi (infimtte-allele model atau 1AM). nukleotida saat kejadian replikasi di- Pada penelitian ini digunakan 16 buah pasang. ckan sebagai mekanisme ulama yang me- primer unik pengapit mikrosatelit untuk mendapat- wen panjangnya variasi alel terscbut, bahkan kan sidik jari DNA dari 4 bangsa sapi potong, yakni a aleLalel baru (Travis et al; 1996). Variasi sapi Bali, Madura, Peranakan Ongole (P.0) dan Jokus-lokus mikrosatelit dapat diuji dengan Brangus, dengan metode penentuan polimorfisme @si PCR menggunakan primer-primer yang genelik secara “Klasik” (Astolfi ef al; 1983). Prosedur emen dengan sekuen unik pengapit rangkaian statistik digunakan untuk analisis data yang berulang, sertadiikuti dengan dihasilkan dari variasi frckuensi alel antar populasi produk PCR (Lauzt, 1993). sapi, juga berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang Junaan mikrosatelit dalam studi populasi terkait dengan penentuan struktur genetik dalam ah berkembang cepat terutama pada studi analisis populasi terutama untuk konstruksi pohon manusiz (Edwards et al; 1991), sedangkan _filogenetik. ik ini untuk kerakterisasi bangsa ternak esi masih merupakan isu yang relatif baru. MATERLDAN MELODE hal ini merupakan ‘potensi utama untuk m sebagai teknik dalam analisis genom Materi utama dalam penelitian ini adalah DNA polimorfisme yang dihasilkan genom sapi_ yang diperoleh dari sel darah sapi Bali, imi et al; 1995). Madura, P.O dan Brangus, masing-masing sebanyak frekuensi alel pada mikrosatelit dapat 25 ekor. Sampel darah yang digunakan sebanyak 10 untuk studi hubungan genetik pada mL disimpan dalam tabung yang mengandung EDTA PENDAHULUAN 81 Med. Pet. Vel. 24No.2 (Konsentrasi 4 mM), Sedangkan prosedur ckstraksi DNA didasarkan pada metode standart fenol-Koroforn Gambrook et al; 1989), Adapun primer yang digunakan sebanyak 16 buah, yaitu : BM 2113, CSSM 66, ETH 3, ETH 10, ETH 152, FTH 185, ETH 295, HEL 1, HEL 5, HEL 9, ILSTS, INRA 023, INRA 032, INRA 035, INRA 037 dan HAUT 24, yang merupakan sekuen spesifik pengapit lokus mikrosatelit. Reaksi PCR dilakukan dengan volume total 25 ul dari 50 mM KCL, 10 mM Tris-Cl, 0.01% gelatin pl 83 serta 0.42 mM dati sotiap GNTP’s (Pharmacia) Konsentrasi MgCh dan temperatur annealing di- optimasi pada setiap mikrosatelit yang digunakan. Reaksi mengandung 400 ng setiap pasangan primer (Forward 200 ng dan Reverse 200 ng) dengan DNA genom kurang lebih 50-100 ng dan penambahan enzim Tag polimerase scbanyak 2.5 unit (Perkin Elmer Cetus). Suhu denaturasi 95°C selama 3 menit dan siklus temperatur diatur sebanyak 36 kali, dengan masing-masing siklus terdiri 30 detik 94°C, 30 detik untuk suhu annealing dan 55 detik dengan suhu 72°C untuk sintesis. Deteksi alel mikrosatelit produk PCR dilakukan dengan vertikal poliakrilamid gel elektroforesis (PAGF) 6%, yang dilanjutkan dengan pewamaan perak (silver staining) (Tegelstrm, 1986) untuk —penentuan ukuran dan jumlah lel. Polimorfisme fragmen ditentukan dari pola pita yang berbeda hasil elektroforesis, sedangkan penentuan posisi pita DNA dilakukan secara manual (Pena et al, 1999) Konstruksi pohon filogenetik atau dedogram untuk membedakan antar individu maupun populasi diperoleh dari profil DNA setiap individu berdasar- an perhitungan frekuensi alel menggunakan rumus Nei (1987). Kemudian, digunakan untuk menghitung nilai heterosigositas (A) sebagai nilai_keragaman genetik. Nilai H ini kemudian digunakan untuk mengkonstruksi pohon genctik guna mengetahui perbedaan genetik dari ke 4 populasi sapi. Dengan asumsi infinite allele model, nilai baku Nei (Ds) dihitung, untuk memperoleh matrik jarak. Hasil perhitungan’ matrik jarak kemudian digunakan untuk konstruksi pohon genetik dengan metode UPGMA dengan software PHYLIP ver. 3.5¢ (Felsenstein, 1995). 82 HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme Mikrosatelit Genom Sapi Polimorfisine mikrosatelit dari ke empat ge sapi (Bali, Madura, P.O dan Brangus) ditetapkan hasil amplifikasi DNA dengan primer peng mikrosatelit yang diseparasi dengan elektroforesis Poliakrilamid dan “dilanjutkan dengan teks pewarnaan perak (silver staining). Elektroforesis poliakeilamid mampu memisahkan DNA sempurna dan jumlah sampel yang dibutuhkan lek sedikit, sedangkan metode pewarnaan perak sensitif Karena _mampu_mendeteksi DNA deng kandungan lebih kecil dari 10 ng/pL (Allen ct 1984). Adapun untuk menentukan ukuran maup jumlah alel dilakukan sesuai petunjuk Leung ct q (1998) dengan asumsi bahwa semua pita DNA de: laju_migrasi yang sema, diasumsikan sebagai lo yang homolog. Kemudian, data profil DNA diterjemahkan ke dalam data matrik jarak berdasz kan nilai heterosigositas dari populasi yang bandingkan. Pada studi ini, dilakukan ” genoti terhadap empat populasi sapi (Bali, Madura, P.O ag Brangus) berdasarkan 16 lokus mikrosatelit. Jumleh alel tertinggi ditemukan mikrosatelit ETH 225 (5 buah) dari populasi Madura dengan jumlah rata-rata alel pada ke em Populasi adalah 2,17 dan secara keseluruhan jun alel_masih cukup. rendah (1 hingga 5 ba Sedangkan nilai heterosigositas ke empat pop: antara 31% hingga 46%. Hasil ini sebenarnya Gd jauh berbeda jika dibandingkan dengan sebelumnya oleh “Moore et al; (1992) menggunakan 4 individu Bos indicus dan 15 indi persilangan Bos indicus x Bos taurus, dit didapatkan jumlah alel antara 2 hingga 14 d tingkat heterosigositas antara 15,8% hingga 100 Fenomena rate-rata jumlah alel yang rendah dicks antara Jain Karena variasi genetik sapi Bali Madura masih seragam (dalam kasus ini sam kedua sapi tersebut berasal dari habitat aslinya) Kemnungkinan lain adalah pada teknik pengamb sampel yang belum berasal dari habitat atau geografis yang sangat berjauhan sehingga memu Kinkan terjadinya keragaman genetik akibat pra seleksi \ sd, et Vol 26 No.2 ‘1 Jumlah dan Frekuensi Alel Setiap Lokus Mikrosatelit Pada 4 Populasi Sapi (Bali, Madura, P.O dan Brangu) ie Sapi Balt Sapi Madura EapiP.O ~~ Sapi Brangus 7 J2] 3 7 [2] 3 a Lalas i [aoe Bay [3 | A om | 15@) | 2] A oi| ee | 4] A 006 | 15GH [1 | A 10 B O50 B O27 B O47 C 046 < 025 Do Hay [2p a os | aH | TP Ato | ay [4 [A om | eH | 1 | A 100 B O50 B 036 cc 043 Dom BEN TZ Aa os | 96s | 2] A om | 16H [4] A O16 [ae [2] A 050 B 050 B 068 B O56 B 050 © 025 B_008 Bey apa on | Bay pa) aos | way PS | A oss | BGs |Z A oso B 050 B 050 B 047 B 050 | C 015 Bee | 2] A oso | Be | 5 eH | 3] A 0s | WeH|1| A 10 B 050 B 058 C007 Bay 2] a oso | Bae [z Tey | 2] A 07s [ieee | 1] A 100 050 B 025 Tey | T | A 100 | Bae | 2 wey Ta] A oad | ona | S| A Om B 040 B 050 €.033 Bey pz} ao | aaa} s | a oir | 5G] 2 | A oa | 7a [S| A oz B 030 B 065 B 083 BOOS7 C017 € 021 BE pap aon | Bey |s| Ao | we | s| A 020 | 1560 [2] A 050 B 050 B 03 BOs 8 030 © ott © 0,7 D 099 E015 | 4 Bay ip ain [way |i] A io [aes [2] so [Bia [1 | A 100 B 007 Bay }a2] a os | Bay | 2] A 050 | 1308) | 2] A ost [BEE [2] A 086 B_o50 B O50 B 046 B O44 BEAT a os | BG) [1] Aro | wey | 3] A OM [ise [2] A Om B Opt B O69 B O69 Cc 046 c 02 D 044 mae | 1] A100 | G2 | 4] A O19 | 135) T=) A oa | 214) [2] A O76 | BOA B 038 B 024 cos D099 Bay i] Aim [eH | 2] aA os | Ba) [1 [A Loo | 1560 [2] A 027 8050 B Oz Tea TZ Pa os | ta) [2] A 00 [me | 2) A Os [ous [3 [A O17 B02 B 050 B 065 B 050 C033 | is) | 2] A oe | 30H | 1) Aioo | wa) |S [A O20 | 6a2) [3] A O42 B 033 B 070 B 050 c 0.10 ¢ 908 7) jamlah sampel yang diuji; 2) jumlah alel; 8) jenis dan Frekuensi alel 83 Med. Pet. Vol. 24.No.2 Pada Tabel 1 ditampilkan secara rinci genotipe dari ke empat populasi sapi berdasarkan frekuensi ale] pada 16 Jokus mikrosatelit, Adanya kecenderung-an mikzosalelit ETH 225 pada sapi Madura yang lebih polimorfik dibandingkan dengan mikrosatelit lain- nya, maka sebenarnya mikrosatelit ini dapat dijadikan kandidat marker. Namun, untuk menjamin akurasi dan ketepatan serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka penggunaan marker mikrosatelit ETH 225 fersebut sebaiknya perlu dilakukan uji lebih lanjut atau berulang kali, misal dengan wi keturunan (pedigree) dan segregasi Mendel dengan mengguna- kan jumlah individu lebih banyak serla cakupan geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik’ maupun filogenetik bagi ternak-ernak domestik di Indonesia alaupun yang, terkait dapat ditetapkan berdasarkan penanda ini. Namikawa et al; (1982), menyatakan bahwa studi hubungan genetik sapi-sapi di Indonesia sangat menarik dikarcnakan variasi genetiknya yang cukup luas, Dalam kaitan ini, terdapat kecenderungan perbedaan yang meningkat dari beberapa tipe bangsa sapi pada beberapa lokasi di Indonesia. Misal, sapi Bali yang merupakan bangsa sapi unik Indonesia, merupakan sapi domestikasi dari sapi liar Banteng, juga di sisi lain, bangsa sapt zebu Ongole yang masih dipelihara di pulau Sumba, demikian pula bangsa sapi tokal lain seperti sapi Acch di Sumatra dan sapi Madura. Oleh karena itu, dengan memanfaati penanda mikrosatelit ini dapat dijadikan sacana w1 ‘arifikasi tentang perbedaan genetik diantara ter ternak sapi endemik Indonesia. Sebagai tempat konsentrasi terbesar sapi maka diasumsikan bahwa pulau Bali atau pulau ya berdekatan merupakan pusat domestikasi sapi (Payne & Rollinson, 1973). Dukungan kual akan ini adalah ditunjukkan dari hasil penelitian Namika (1981) yang melaporkan bahwa komponen Hbb3 haemoglobin darah umumnya ditemukan pada darz sapisapi yang ada di Asia Tenggara, dan insi tinggi dari Hbb-X diduga merupakan hasil aliran dari sapi Bali, Sebagaimana diketahui pula bahy distribusi_lokus alel Hbb ini secara geogr: menunjukkan hubungan filogeni untuk sapi-sapi Asia Tenggara dan Asia Timur, dimana polimortis: alel tersebut bersumber dari Res tazrus, Bos indicus Bibos hanteng. Analisis sederhana untuk —_mengel hoterosigositas genetik relatif dari populasi ke emy sapi dapat dilakukan dengan menghitu helerosigositas pada ke 16 lokus sekaligus y. kemudian didapatkan pula nilai tengah atau rata heterosigositas ke empat populasi sapi tersebut. Pa Tabel 2 berikut secara ringkas dilampilkan rata- Lingkat heterosigositas dari ke empat populasi ban; sapi pada 16 lokus mikrosatelit. Tabel 2, Rata-rata Heterosigositas (H) Pada 4 Populasi Sapi Rerdasarkan 16 Lokus Mikrosatelit, Sapi Hsp Bali oa 012 Madura 31> 0017 P.O O46 = 0,022 [Brangus 040+ 0,001 ~ Sebagai perbandingan, tampak bahwa populasi sapi P.O memiliki tingkat heterosigositas tertinggi (46%), diikuti sapi Brangus (40%), Bali @3%) dan terendah sapi Madura (31%). Hasil yang menunjuk- kan bahwa heterosigositas sapi Madura dan Bali lebih rendah dapat dibuat suatu pendckalan bahwa salah satu efck yang dapat dimunculkan dari heterosigositas adalah dihasilkannya heterosis _positif atau over dominance dalam swatu bangsa (Baker & Manwell, 1991), walaupun kemungkinan torsebut memerlukan proses seleksi yang ketat dan panjang. Gambaran heterosigositas yang lebih rendah pada sapi Madura dan Bali tersebut dapat sebapai indikasi bahwa say Madura dan Bali masih cukup terjaga vari genietiknya. Hal ini dimungkinkan karena selama it peternak cukup protektif terhadap perkawinan sil sehingga sumbangan keragaman genetik dari 1 cakup rendah. Sebayaimana studi genetik sejenis sebelumny pada sapi-sapi potong endemik Indonesia y dimulai sejak tahun 1974 (Namikawa ef ai; 1! keragaman genetiknya telah ditunjukkan berdasar! perbedaan golongan darah dan protein da (Namikawa ef al; 1980 dan Martojo ef al: 1988). Stu Med. Pet. Vol. 24 No. 2 bahwa dari golongan darah, sapi Bali frekuensi alel lebih tinggi untuk alel faktor =n dibandingkan sapi Madura dan Peranakan (2.0), dan bahwa berdasarkan protein Emoglobin darah, sapi Bali memiliki alel yang bags spesifik (Hb"). Sehingga, penggunaan marker Biot saat itu dirasakan-gukup efektif untuk studi atau evaluasi bangsa sapi potong untuk Indonesia. Oleh karena itu, pada studi ini aan DNA mikrosatelit yang dimanfaatkan penanda dirasakan menjadi penting karena n marker DNA lebih diskriminatif. bedingkan penggunaan marker protein ataupun marker yang lain, penggunaan marker mn tingkat keyakinan satelit dapat memberi Mfsiece) lebih tinggi. Oleh karena marker mikrosatelit mampu erikan perbedaan nilai basa hingga satu pasang, penggunaan mikrosatelit akan sangat dalam analisis genom yang akural, ena untuk studi keterpautan antar individu yang gkan hanya satu pasang basa. Sebagaimana studi Cooper & Krawezak (1993) yang adanya Korelasi tinggi antara sekuen berulang dengan beberapa penyakit mutasi manusia —_dimana_alternatif perubahan sekuen DNA berulang dapat memberikan itagen. Filogenetik dari Penanda Mikrosatelit Berdasarkan tingkat heterosigositas pada ke populasi bangsa sapi (Tabel 2), maka dapat an matrik jarak genetik baku Nei yang kemudian digunakan untuk menyusun pohon filogenctik dengan metode waveighted puir-group method with arithmatic average (UPGMA) (Nei, 1987). Program komputer yang digunakan adalah PHYLIP 3.5c yang dikembangkan oleh Felsenstein (1995). Pohon genetik dikonstruksi menggunakan program NEIGHBOR juga dari paket PHYLIP. * Pohon filogenetik merupakan _penampilan secara grafis terdiri atas titik-titik sebagai perwakilan unit taksonomi dan cabang-cabang (merupakan jalur penghubung (itik-titik tersebut) yang menggambar kan secara. ringkas hubungan evolusi maupun topologi diantara organisme atau populasi (Avise, 1994). Sehingga dalam hal ini, gambaran heterosigositas populasi sapi dapat pula merupakan gambaran topologi populasi. Penetapan topologi ber dasarkan heterosigositas populasi dari polimorfisme mikrosatelit dilakukan dengan pertimbangan bahwa alel pada lokus-lokus mikrosatelit yang dianalisis bersifat kodominan pada tataran genotipe individu- nya dan bukan bersifat multialel, Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis genom dengan menggunakan penanda mikrosatelit cukup representatif untuk mengetahui adanya heterosigositas yang ditetupkan berdasarkan polimorfisine mikrosatelit, yang kemudian digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik. Untuk itu, hheterosigositas masing-masing populasi dihitung jarak genetiknya berdasarkan jarak genetik baku Nei (1987). Pada Tabel 3 berikut ditampilkan jarak genetik antar 4 populasi sapi. 3. Jarak Genetik Antar 4 Populasi Sapi (Bali, Madura, P.O dan Brangus) Sapi Bali ‘Madura P.O Brangus = 025 om 032 0,02 - 038 0,29 013 os - 035 0,07 0.09 0.06 = sangan Pada Gambar 1 ditunjukkan pohon filognetik kan jarak genetik baku Nei (1987) dari tingkat jositas ke 4 populasi sapi. Dari gambar pohon tersebut menunjukkan bahwa sapi Madura sapi Brangus membentuk klaster, dimana klaster fupakan percabangan dari sapi P.O. Hasil ini diasumsikan bahwa berdasarkan 16 lokus ‘diatas diagonal adalah perbedaan heterosigositas dibawah diagonal adalah jarak genetik baku mikrosatelit yang dianalisa, maka sapi Madura dan sapi Brangus berdekatan jarak genetiknya dan kedua bangsa ini berada dalam satu klaster genetik dengan sapi P.O dibandingkan sapi Bali. Fenomena demikian memang masih harus dibuktikan lagi lebih jauh, misalnya dari sekuen nukleotidanya. Med, Pet. Vol. 24.80. 2 Hasil Klaster tersebut sebenarnya relevan dengan hasil studi Namikawa ef al; (1981); bahwa pveporsi sumbangan gen sapi Madura asal Bos indicus (Zebu cattle) adalah 32,8% dan Bos taurus sebesar 45,6%, dimana nilai ini lebih besar dibandingkan propersi gen sapi Bali yang hanya 29.2% berasal d: Bos indicus dan 84% berasal dari Bos Sedangkan sapi Bali proporsi gen asal justru terbe dari Banteng (Bos hunteng), yaitu 79,1% dibanding! sapi Madura (21,7%). tea 1% Perbedaan Heterosigositas Gambar 1, Pohon Filogenetik Berdasarkan Heterosigositas 4 Populasi Sapi (Bali, Madura, P.O dan Brany yang Ditetapkan dengan metode UPGMA (Nei, 1987), Sebagaimana diketahui bahwa sapi Brangus merupakan persilangan Brahman (Bos indicus) yang berasal dari India dan Angus (Bos taurus) dari Inggris, sedangkan sapi Bali dan Madura yang ditetapkan sebagai bangsa sapi asli Indonesia umumnya berasal dari keturunan Banteng. Hasil studi ini dapat memberikan gambaran awal bahwa kemungkinan sapi Madura secara genetik lebih berdekatan dengan Bos mudicus sedangkan sapi Bali sebagaimana hasil studi awal oleh 86 Namikawa (1981) telah diketabui lebih d secara genetis dengan Bos banteng. Memang, impli hasil ini belum dapat sepenuhnya diterima, al tetapi gambaran awal studi ini dapat dimanfaat bagi pengembangan metode dalam pemuliaan te maupun untuk tujuan kenservasi plasma nuft Pada Tabel 4 berikut selengkapnya ditampil estimasi proporsi sumber gen-gen dari Bos taurs, indicus dan Bos hanteng oleh Namikawa (1981 ‘Med, Pet Vol. 24 No. 2 Estimasi Proporsi Sumber Gen-gen dari Bos taunts, Bos indicus dan Bos banteng Pendekatan penggunaan mikrosatelit dalam iS variasi genetik pada 4 bangsa sapi, yaitu sapi Madura, Peranakan Ongole (P.0) dan Brangus merupakan ternak sapi yang dipelihara di eesia telah mampu dilakukan meskipun erfiknya masih rendah (rata-rata alel 2.17). » mikrosatelit ETH 225 memiliki alel tertinggi ak 5 buah pada sapi Madura schingga masih ‘awal bahwa — penanda Sehingga_masih i untuk Kandidat penanda spesifik maupun tasmya Konstruksi pohon filogenctik yang diperoleh § perhitungan nilai baku Nei yang menggambarkan mgan genetik, maka dari topologi pohon enetik sapi Madura membentuk klaster dengan 9 Brangus dan kedua bangsa sapi ini berada dalam er sapi Peranakan Ongole (P.O) yang merupakan Bos indicus dan berbeda Klaster dengan sapt yang merupakan turunan Bos banteng. Hasil ini jika dibandingkan basil penelitian Namikawa Bl) sebelumnya yang mengindikasikan bahwa porsi gen terbesar sapi Madura berasal dari Bos sedangkan sapi Bali proporsi terbesar dari Bos 8 Penggunaan genotipe dengan multilokus arkan sejumlah lokus mikrosatelit pada studi 87 mgsaSapi Tokast Proporsi sumber gen berasal dari: Bos taras Bos indicus Bibos banteng (benua utara atau (sapi Zebu) (sapi Bali) sapi Eropa) a 1,000 0,000 0.000 Thailand Utara oie 088 O54 Thailand Selatan 0.539) 346 O15 Malaysia Barat 0,604 0,285 0,111 Luzon 0.107 0723 0.170 Palawan; 0,109 0681 0,250 Mindoro ‘Padang: Sumatra 786 0509 0194 Madura 056 0338 0.217 Jawa Timur 0374 0395, 0231 Bali 0,084 0,292 0791 Namikawa (1981) KESIMPULAN DAN SARAN ini telah membuktikan bahwa teknik ini cukup relevan untuk digunakan dalam studi kesamaan genetik (genetic similarity) , baik dalam populasi maupun antar populasi beberapa populasi ternak sapi yang dipelihara di Indonesia yaitu sapi Bali, Madura, Peranakan Ongole (P.O) dan Brangus. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana dan Dewan Riset Nasional melaiui Riset Unggulan Terpadu (RUT) VI/2 atas nama Dr. Muladno, MSA dalam penyediaan dana penelitian. Demikian pula kepada Pemerintah Kota Denpasar - Bali; Pemerintah Kabupaten Bangkalan - Madura; Pemerintah Kabupaten Bogor dan PT. Rejosari Bumi, Tapos - Bogor; dalam penyediaan sampel darah. Juga kepada Ir. Ahmad Farojallah, ‘MSi,, atas bantuan teknik dan sumbangan ide-nya, terutama dalam teknik PAGE dan silver stain. Kepada Dr. Bambang Suryobrato, Kepala Laboratorium Zoologi, F-MIPA IPB; Drs. Eddy Jusuf, Kepala Laboratorium Rekayasa Mikroba dan Genetika dan Ir. Endang Tri Margawati, MAgr., Kepala Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Hewan, Puslitbang Bioteknologi LPI atas bantuan dan dukungan laboratoriumnnya. Med. Pet. Vol. 24 No. 2 DAFTAR PUSTAKA Allen, RC, C.A. Saravis & ELR. Maurer. 1984, Gel electrophorests and isoelectric focusing of protein. Walter ile Gruyter. New York. Astolfi, P, G. Pagnacco, & C.R. Guglielmino-Matessi, 1983. Phylogenetic analysis of native Italian Cattle breed. Z, Tierz, Znechtungsbiol. 100 : 87. Avise, J.C. 1994. Molecular Natural History é& Evolution, Chapman ard Hall. Inc. London. pp. 93.138, Baker, CM.A. & C. Manwell, 1991. Population genetics, molecular marker and gene conservation of bovine. In : Cutile genetic resosirees, edited by CG. Hickman, Elsevier Science Publisher BV. The Netherland, pp.221- 289, Ciampolini, R; K, Moazami-Goudarzi; D. Vaiman; C. Dillman; F. Mazzants; JL, Fouley; H. Leveziel & D. Cianci, 1995. Individual multilocus genotypes using microsatcllile polymorphisme to. permit the analysis of genetic variability ‘within and between Italian beef cattle breeds. [. Anim, Sci. 73 : 3259-3268. Cooper, D.N. & Krawezak, M. 1998. Human Gen Mutation. Bios Scientific Publishers, Oxford, UK. Edwards, A., A. Civitello, HA: Hammond, & C.T. Caskey. 1991. DNA typing and genetic mapping with trimetric and tetrametric tandem repeat. Aut J. Hunt, Gen. 49: 746-756. Felsenstein, J. 1995. PHYLIP (Phylogeny inference Package) version 3.5c. University of Washington Leung, IL, Nelson RJ, & Leach, JE. 1993. Population structure of plant pathogenic fungi and bacteria Ado. Plant Pathol. 10 : 15? - 205, Martojo, H. 1988. Produktivitas Sapi Bali dan Silangannya. Prosiding Seminar Ekspor Ternak Potong. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Moore, SS, Barendse, W., Berger, KT, Armitage, SM. & Hetzeel, DJS. 1992. Bovine and ovine DNA. nicrosatellite from the EMBL and GENEBANK databases. Animal Gonetics 23(5) 2463-467. Namikawa, T; ¥. Matsuda; K. Kondo; B. Pangestu & HL. Martojo, 1980. Blood group and blood protein polimorphisms of different types of the cattle in Indonesia, The Origin — and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Report by Grant in Aid for Overseas Scientific Surveys), No. 404315) : 35-45. Namikawa, T. 1981. Geographic distribution bovine huemoglobin-bela (Hb) alleles a the phylogenetic analysis of cattle in Fast Asia. 7. Tierz. Ziiclt.Biol. 98 : 151-159, Namikawa, T; I. Amano; &. Pangestu & Natasasmita. 1982. Electrophoretic variation blood protein and enzyme in Indonesia ca and bantengs. The Origin and Phylogeny Indenesi Native Livestock (Report by Grant-in ‘for Overseas Scientific Surveys, No, 57043041). 35-42. Nei, M, F. Tajima, & Y. ‘Tateno. 1983. Accuracy estimated phylogenetic trees from molecu data. J. Mol. Evol. 19: 153-170. Nei M. 1987. Molecular evolutionary gene Columbia University Press, New York Nei, M. & N. Takezaki. 1996, Genetic distances reconstruction of phylogenetic trees microsatellite DNA. Genetic 144 - 389-399. Payne, WJ.A. & Rollinson, D.H.L. 1973. Bali cu World Anim, Rev. 7: 13-21. Pena, S.DJ.; PC. Santos; MC BN. Campos é& A Macedo. 1993. Paternity test with the Fi multilocus DNA fingerprinting probe. In » Di Fingerprinting : State of the science, by Pena, ST R. Chakraborty; J.T. Epplen & AJ. J (editors). Birkhauser Verlag, Basel, Switzrlan Sambrook, J. EF. Fritsch & Maniatis, T. 1 Molectlar Cloning : @ teboratory manual Edition. Cold Spring Harbor Laboratory P USA, Tautz, D. 1993. Notes on definition and romenclatu tandenily repetitive DNA sequences. In Di Fingerprinting : State of the Science edited by S. J. Pena, R. Chakraborty, JT. Epplen and Jeffreys. Birkhauser Verlag, P.O, Box T (CH4010 Basel, Switzerland. pp. 1-20. ‘Tegelstrim, HI. 1986. Mitochondrial DNA in nat population»: An improved routine thescreening of genetic variation based sensitive silver stain. Flectrophoresis 7: 226 22% Travis, CG, W. Stephan, H.C. Dessauer, and 3 Braun. 1996. Allelic diversity Alligatormicrosatellite loci is _negati correlated with GC content of flan sequences and evolutionary conservation PCR amplifiability. Mol, Biol. Evol. 13(8) : 11 1154, Weber, J.L. 1990, Informativeness of human ( dA),.(dG-dT)a polymorphisms, Genomics 524-530.

Anda mungkin juga menyukai