Anda di halaman 1dari 5

Anak kecil

yang selalu menangis

Kau pasti tahu, bagaimana suaranya orang yang berbisik-bisik. Tadinya aku tidak
hiraukan, namun entah kenapa suara bisikan itu kedengarannya dekat sekali. Aku berjalan keluar
rumah di tengah malam. Semuanya gelap seperti sedang terjadi pemadaman listrik. Tidak ada
siapapun. Hanya suara desis. Hal itu jelas menakutkan tapi kedua kaki tanpa alas dan tanpa tahu
kenapa terus berjalan menyusuri aspal yang terasa sangat dingin sehabis hujan. Aku sudah tidak
bisa melihat apapun selain mendengar suara itu. Aku takut dan mudah kepikiran. Dan pikiran ini
menjadi semakin buruk.

Suara orang berbisik-bisik itu mulai terdengar jelas, tapi anehnya, tanpa menggunakan
bahasa yang kumengerti. Orang-orang Lombok biasanya menggunakan bahasa Sasak, namun ini
tidak. Mereka juga tidak pakai bahasa Indonesia, apalagi bahasa Inggris. Aku tahu yang
dikatakan mereka asal-asalan dan tidak benar. Tapi kenapa aku merasa terganggu sekali dengan
suara itu? walaupun tidak jelas dan berdengung… namun begitu sesak.

Gelisah mulai merangkak naik. Aku tidak bisa mengendalikan situasi ini dan aku jadi
ketakutan. Suara-suara itu terdengar keras dan semakin keras. Naik dan naik lagi sampai
melengking. Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi tapi sayangnya kedua kaki ini tidak bisa
beranjak pergi. Dua kali lipat rasa ketakutan hadir jika kuputuskan untuk kembali. Yang
kulakukan hanya berdiam diri dan membiarkan kedua kakiku mati gemetaran. Berusaha menutup
kedua telinga dan memejamkan mata kuat-kuat.

Dari kejauhan, hentakan kaki banyak orang tengah berlari ke arahku sambil berteriak.
Aku semakin takut dan tidak berani membuka mata. Aku menangis. Orang-orang membentak
dan berteriak kencang sekali sampai telingaku berdarah dan—TOLONG!!!

Ya Tuhan.

Aku terbangun dari tidurku.

—Itu mimpi buruk.


***

02.40 wita.27 Desember 2020

Sudah biasa. Aku sudah terbiasa bangun begitu pagi dengan cara yang aneh: membuka
mataku begitu saja dengan kesadaran penuh. Belakangan ini, ada banyak sekali hal yang mulai
kupikirkan sampai aku tidak menyadari aktivitas apapun yang kulakukan jadi terganggu. Tidurku
sangat larut, tapi terbangun pun terlalu pagi. Mimpi-mimpiku kebanyakan mimpi buruk. Mulai
dari dikejar-kejar Dinosaurus, hantu yang melambaikan tangan kepadaku, orang yang tak
dikenal, bencana alam atau bahkan seputar obrolan orang-orang kantoran. Barusan tadi mimpi
yang cukup buruk, sampai-sampai aku takut untuk kembali tidur.

Rasa-rasanya aku sudah mulai bosan. Setiap hari, aku seperti hanya pergi bekerja dan
melakukan pekerjaan rumah dengan setengah hati. Tidak ada semangat untuk mengangkat kaki
agar mau pergi ke mana-mana. Duduk di ranjang, aku hanya melamun. Mencoba berbaring dan
mematikan lampu. Pikiran tidak bagus lagi-lagi bertamu. Memberiku kaset tentang memori masa
lalu bersama lagu-lagunya yang begitu menyedihkan. Aku ingat, sebuah keluarga yang lengkap
tapi tidak utuh. Aku ingat, masa kecil yang penuh rasa khawatir jika kedua orang tuaku tidak ada
di rumah. Bukan rumah kami, maksudku rumah nenekku yang dihuni oleh dua kepala keluarga.
Di rumah semua orang yang menjadi satu tersebut, adik-kakak yang sudah dewasa itu, yang
sudah memiliki suami atau istri mereka dan memiliki anak-anak mereka, termasuk aku, mereka
tidak kenal kata akur sama sekali. Membuatku menangis.

Tiap kali mengingat tangisan itu, aku jadi ikut menangis. Aku menemukan kembali diriku
dimasa kecil yang berusaha bersembunyi dibalik selimut saat situasi terasa mulai memanas. Aku
menjadi ketakutan setengah mati ketika mendengar kata ancaman bahwa Ayahku akan dibunuh
jika berani menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Sosok diriku dengan kedua bola mata yang
nampak bergetar, tidak pernah mengerti tentang jalan pikiran orang dewasa. Aku saja yang
masih kecil sangat takut jika membunuh orang lain. Tapi orang dewasa sangat berbeda.

Orang dewasa cenderung lebih banyak melakukan kekerasan entah untuk berbagai alasan.
Jika tidak menggunakan kaki atau tangan, biasanya mereka menggunakan mulut. Ketiganya
menghasilkan luka yang sama dengan rasa sakit yang berbeda. Menurutku, anak-anak yang
sering dipukul secara fisik tumbuh menjadi berandal bermental pecundang. Kalau anak-anak
yang sering mendengar gunjingan dan perkataan kasar, biasanya tumbuh menjadi seseorang yang
tidak kenal etika dan sopan santun. Kalau anak yang menerima tindak kekerasan keduanya, maka
ia akan tumbuh menjadi seseorang yang pemalu, minder, anti sosial, mudah tersinggung, sangat
tertutup dan enggan berekspresi. Lalu, untuk sepanjang hidupnya, ia selalu menyalahkan dirinya
sendiri, menuntut kesempurnaan yang hanya diciptakan oleh mulut orang lain atau merasa tidak
pernah nyaman jika berada di dekat orang-orang di sekitarnya. Khawatirnya lebih-lebih tidak
masuk akal lagi, seperti: khawatir akan tidak disukai oleh orang lain atau tidak mau mendengar
candaan orang lain yang berpotensi menyakiti hatinya sendiri. Ini hanya menurutku. Sebab
kurasa… aku masuk kategori terakhir: Anak pengidap penyakit, ‘bermental lemah’.

Sejak kecil, kupikir aku akan terbiasa. Namun nyatanya ini menjadi lebih parah.
Kebiasaan tidak nyaman itu terbawa dan tanpa sengaja membentuk kepribadianku. Aku jadi anak
pendiam. Di sekolah dasar aku sempat jadi korban Bullying dan entah kenapa aku tidak pernah
punya keberanian untuk melawan meski aku ingin. Tubuh gemuk dan kulit hitam itu seolah
sebuah kesalahan. Aku tidak pernah membenci orang lain tapi aku pendendam yang handal. Aku
tidak ekspresif seperti anak perempuan seusiaku. Aku lebih terbiasa berbicara sendiri dan
memperhatikan sekitarku tanpa gerakan yang mencurigakan. Aku suka segala hal yang baru tapi
tidak dengan manusia. Bertemu orang baru, berteman, itu tidak pernah ada dalam kamusku. Aku
jadi orang yang begitu dingin jika terlihat sekilas. Cara bicaraku begitu hati-hati agar tidak
menyakiti orang lain, namun anehnya aku mudah sekali sakit hati dengan cibiran orang. Sedikit
saja kesalahan maka aku akan mencambuk diriku berkali-kali. Sedih berlarut-larut dan melamun
setiap malam.

Tapi sesekali, saat aku sudah begitu lelah mempertanyakan jutaan jawaban rahasia yang
disimpan alam semesta, aku hanya akan melihat langit-langit kamarku dengan tatapan kosong.
Entah kenapa terkadang mereka terasa begitu gemerlap. Mengalahkan aslinya yang
menggantung di luar sana.

Di malam yang begitu sesak, sepoi-sepoi angin membawa anganku pergi bersamanya.
Bagaimana jika seandainya aku memiliki bintangku sendiri? oh! atau bagaimana kalau aku yang
menjadi seperti bintang? Memiliki cahaya yang begitu bersinar di angkasa? Ah, tapi, saat
kenyataan menebas tengkukku dengan bongkahan es raksasa, aku jadi tersadar tengah melamun
lagi. Bintang-bintang itu telah menghilang.
Di luar, langit hitam yang terasa semakin pekat menemaniku menangis. Tidak ada yang
tahu dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak ada yang mendengar dan tidak ada yang
ingin mendengarkan. Semua orang hanya sibuk bercerita tentang diri mereka sendiri dan
menyisakanku untuk menjadi pendengarnya. Egois sekali. Semua orang yang berjenis ‘manusia,’
memang terlahir dengan bakat egois yang paling luar biasa dimuka bumi ini memang. Bibirnya
bisa berkata yang seolah dapat membuatnya terlihat baik, namun perilakunya sering kali
melenceng. Para bibir itu lebih gemar berkata tentang kebaikan dibanding berbuat tentang
kebaikan.

Ah, sakit sekali. Kalau kupikir-pikir aku jadi sakit hati sendiri. Entah ini sudah ke-berapa
milyar kalinya aku mengorbankan hati sendiri untuk merasakan sakit yang paling tidak masuk
akal. Mungkin bagimu yang sehat, aku ini aneh. Tapi orang-orang sepertiku tidak memiliki
kendali untuk menghentikannya. Bahkan dengan hal yang paling dasar sekalipun. Konsep
bersyukur itu hanya omong kosong. Tuhan bukan lagi penyelamat. Keluarga adalah rumusan
kegagalan. Bunuh diri adalah tujuan, dan akan terus berada dalam lingkaran itu hingga
menemukan keberanian. Entah itu keberanian untuk benar-benar menghabisi nyawa sendiri atau
keberanian menerobos badai tornado yang telah menerjang keberanianku. Tentu saja sulit,
namun tak ada opsi lebih. Dalam kesulitan bernapas pun aku harus memilih satu diantara
keduanya.

Aku menengok jendela dan angin masih berhembus kencang di sana. Beberapa jendela
tetangga terdengar terhempas keras. Berdiri lalu berjalan ke ambang jendela, aku merasakan
dingin anginnya membuat tubuhku menggigil. Karena tidak tahan, segera kututup rapat-rapat.

Ruangan yang sepi, hanya aku sendiri. Berbaring kembali untuk mencoba tidur—tidak
bisa. Tidak dapat tidur hanya membuatku sakit kepala. Selama ini aku tidak pernah terpikirkan
untuk minum obat tidur, tapi entah kenapa sekarang iya. Saat kurasa diriku sudah tidak berguna
lagi, tidak akan ada masa depan lagi, aku tiba-tiba ingat bisikan lembut yang selalu berkata
begini,“hei, Noumi Roula yang baik hati. Tidak apa-apa. Kau bisa gunakan aku sebagai teman.
Aku satu-satunya orang yang akan terus bersamamu tidak peduli sesakit apapun itu. Kamu
sudah melakukan yang terbaik, Roula. Kamu hebat.”

Itu membuatku tersenyum. Sesaat dadaku mulai terasa longgar. Berpikir sejenak, sadar
akan hal itu membuatku menangis haru. Gema suara itu bukanlah siapa-siapa, bukan khayalan
atau ilusi pendengaran. Itu hanyalah separuh bagianku yang berbicara sendiri guna menghibur
separuh bagiannya yang lain. Aku, orang yang pada akhirnya berkata semua akan baik-baik saja
meski jiwa terasa tidak utuh lagi, kini menyibak selimut dan menyalakan lampu meja belajar.

Sekarang sudah pukul tiga pagi dan rasanya akan sulit untuk tertidur lagi. Pena yang
kugenggam kini kugores-gores asal di atas kertas. Kubuat banyak coretan sampai tidak ada lagi
ruang yang tersisa. Sejenak, aku berhenti karena melamun. Melamun menatap jauh ke luar
jendela dari ventilasi udara. Membayangkan cahaya rembulan yang membias dengan lautan
lepas.

Di atas kapal yang bobotnya terlalu berat, aku menenggelamkan seluruh isinya kedalam
samudra untuk membiarkan badan kapalnya berlayar dengan ringan. Terombang-ambing ombak
yang begitu dahsyat dan berlayar sepanjang malam, menyusuri samudra.

Dan dalam hidup ini, seperti sebuah kapal, aku juga ingin terus berlayar tanpa pernah tahu
kapan akan berlabuh.

***

Anda mungkin juga menyukai