Anda di halaman 1dari 5

Di akhir bulan Nopember ini kalangan pebisnis di Indonesia sempat dibuat tercengang oleh keputusan Komisi Pengawasan Persaingan

Usaha (KPPU) yang mevonis Temasek Holdings yang diduga telah melanggar aturan persaingan tidak sehat karena telah memiliki saham secara silang di Indosat dan Telkomsel. Silang pendapatpun bermunculan, yang kemudian mengerucut pada dua kubu: yang pro pada keputusan otoritas KPUU dan yang kontra dengan berbagai keberatan atas landasan pemikiran dan alasan ditetapkannya keputusan tersebut. KPPU berdalih bahwa kepemilikan silang perusahaan Temasek Holdings Ltd. pada kedua perusahaan tersebut mengakibatkan terbentuknya kekuatan monopoli karena konsentrasi pasar yang melebihi 80 persen pada bisnis telpon selular. Ulasan khusus yang disajikan oleh Majalah Tempo (edisi 26 Nov 2 Des 2007) memaparkan dampak lebih lanjut atas dugaan kedudukan monopoli ini pada kerugian konsumen pemakai jasa selular antara Rp 14,3 triliun hingga Rp 30,8 triliun selama kurun waktu 2003-2006. Jika keputusan ini nantinya memiliki kekuatan hukum yang tetap, jumlah tersebut tentunya merupakan jumlah kerugian pada pihak konsumen yang cukup besar untuk satu jenis kegiatan usaha. Bahkan menurut KPPU, sebagai lembaga yang diberikan kuasa oleh negara untuk menjaga dan memonitor Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli di Indonesia, imperium perusahaan milik Pemerintah Singapura ini dituding telah melakukan beberapa perilaku kegiatan usaha yang kurang sehat. Menurutnya, perusahaan tersebut diterangai telah melakukan 4 kesalahan: masing-masing (a) Kekuatan perusahaanTelkomsel dalam mempengaruhi harga di industri selular, (b) Penetapan harga tarif percakapan Telkomsel yang kelewat mahal, (c) Kebijakan pimpinan perusahaan Indosat yang memperlambat penambahan menara BTS Indosat, dan (d) Tingkat keuntungan yang kelewat tinggi. Semua perilaku perusahaan Indosat dan Telkomsel ini akhirnya diduga mengakibatkan laba bersih perusahaan Telkomsel yang melonjak drastis dari Rp 2,79 triliun menjadi Rp 9,71 triliun pada akhir Juni 2007. Kontroversi kemudian muncul dengan berbagai alasan yang diutarakan oleh mereka yang temasuk pada kubu yang mengkritik atau menolak keputusan KPPU. Suara yang paling vokal telah dilontarkan oleh Pande Radja Silalahi pada Majalah Trust (Edisi 26 Nov- 2 Des 2007), yang menurutnya vonis KPPU tadi merupakan suatu keputusan yang salah fatal. KPPU yang seharusnya berposisi sebagai wasit tetapi justru turut bermain dalam proses penyelesaian masalah, yaitu dengan menetapkan kewajiban penurunan harga jual Telkomsel sebanyak 15% dan keharusan bagi perusahaan Temasek menjual kembali saham yang dimilikinya maksimal 5% kepada calon pembeli. Bersuara sama dengan apa yang juga dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, KPPU dituding kurang mampu memberikan landasan hukum yang kuat dalam keputusannya tersebut. Memang menarik landasan argumentasi oleh kedua kubu, yang menurut pengamatan penulis memiliki tingkat kebenarannya masing-masing. Namun, bukan maksud penulis untuk mengupasnya lebih mendalam ranah sengketa hukum yang pelik ini, mengingat secara historis dan konsepsual pelaksanaan pengawasan kekuatan monopoli pasar memang mengandung berbagai permasalahan, sehingga efektifitas pengendaliannya sulit diterapkan secara proper dan diterima secara aklamasi oleh para pelaku bisnis umumnya. Praktek Pengendalian Kekuatan Monopoli Keputusan KPPU untuk melarang praktek penguasaan pasar oleh para produsen bukan

kali ini saja dikeluarkan. Sebelumnya lembaga independen ini telah melakukan larangan serupa pada kasus perusahaan Carrefour, kasus perusahaan BUMN pengerukan, dan berbagai kasus praktek kegiatan bisnis yang kurang sehat, seperti dalam proses tender, program pengadaan maupun kasus-kasus penipuan pada para konsumen. Landasan yang digunakannya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sejatinya larangan praktek monopoli ini sudah lama dilakukan oleh beberapa negara maju, termasuk di negara adidaya Amerika Serikat. Kebijakan pengendalian kekuatan monopoli dikeluarkan oleh Pemerintah Federal dari negara tersebut dengan dikeluarkannya Sherman Antitrust Act pada tahun 1890. Dengan ketentuan tersebut maka para pebisnis dilarang untuk melakukan kongkalikong bisnis yang berpotensi merugikan konsumen atau melakukan upaya yang mengarah pada monopoli kegiatan perdagangan antar negara bagian, termasuk monopoli dalam kegiatan ekspor dan impor. Dalam pelaksanaannya, pembuktian dan penafsiran tingkat pelanggaran oleh kalangan pengusaha dilakukan oleh lembaga pengadilan. Jadi baik Pemeritah maupun lembaga independen lainnya tidak berhak untuk melakukan keputusan secara sepihak. Penafsiran atas suatu tindakan tidak terpuji memakan waktu lama, dan baru dapat tuntas disepakati setelah beberapa kasus berbeda di lapangan telah diputus oleh lembaga pengadilan. Sebagai contoh, penetapan tingkat tarif yang dianggap ilegal pada kasus Trans-Missouri Freight Association pada tahun 1898, kemudian berkembang dengan juga melarang praktek tender bodong (collusive bidding) pada kasus Addison Pipe and Steel Company tahun 1899. Penafsiran kekuatan monopoli kemudian berkembang dan disepakati pada tahun 1911, yaitu meliputi praktek mengeluarkan ancaman, membuat perusahaan alibaba, dan praktek menyogok pejabat, pada saat badan judisial menyelesaikan kasus monopoli Standard Oil of New Jersey. Kebingungan atas penafsiran Undang-Undang ini kemudian memuncak karena para pengusaha tidak dapat mengantisipasi terlebih dahulu apakah tindakannya (seperti melakukan kebijakan predatory pricing) yang disiasati untuk tujuan meningkatkan daya saing dapat dijerat kemudian oleh pengadilan karena dianggap melanggar UndangUndang. Baru setelah dikeluarkan Clayton Act tahun 1914 dan Robinson Patman Act tahun 1936, ketentuan predatory pricing dilarang sepenuhnya apabila ditujukan untuk mengurangi persaingan atau membentuk kekuatan monopoli. Ketentuan rambu-rambu membentuk mekanisme pasar yang berkeadilan (yaitu tidak mengarah ke monopoli) diperkuat lagi dengan Cellar-Kefauver Act pada tahun 1950, yang melarang proses merger dan akuisisi kepemilikan saham perusahaan lain apabila hanya ditujukan untuk mengurangi persaingan atau cenderung menciptakan kekuatan monopoli. Dari bahasan ini semakin jelas bahwa Pemerintah melalui mekanisme lembaga pemerintah dan pengadilan niaga sangat memperhatikan bahwa proses mekanisme pasar bebas dapat dilakukan, sepanjang para pelaku bisnis dapat juga menjunjung tinggi terselenggaranya pola persaingan usaha yang sehat, dengan menghindari strategi bisnis yang dapat mengarah pada terbentuknya kekuatan monopoli. Sengketa dapat saja timbul apabila ketentuan perundang-undangan tidak secara rinci menyatakan tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan dilarang. Uraian berikut akan mengulas konsep teoritis kekuatan monopoli dan motif dilakukannya pengaturan pasar oleh Pemerintah.

Click here to view map Click here to view map Click here to view map Temasek Tower Konsep Kekuatan Monopoli Pengendalian kekuatan monopoli merupakan antisipasi Pemerintah untuk memperbaiki proses berjalannya mekanisme pasar bebas dengan baik, karena didalamnya terkandung kemungkinan tindakan-tindakan pelaku bisnis yang berpotensi dapat merugikan kepentingan konsumen (Baye,2006). Kegagalan mekanisme pasar ini dapat bersumber dari terbentuknya kekuatan pasar yang merugikan konsumen, yaitu dengan menetapkan tingkat harga jual barang dan jasa jauh di atas kalkulasi biaya marginal dalam proses pengadaan dan proses produksi barang atau jasa tersebut. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Mudah diterka, karena kepincangan pasar dapat diciptakan apabila perusahaan telah menguasai pasar di kelompok industrinya, sehingga para pesaing tidak memiliki kemampuan untuk menambah pasokan barang di pasar dari insentif harga jual yang tinggi ini. Kekuatan monopoli dapat menghalangi sebagian kelompok konsumen yang ingin mengkonsumsi barang atau jasa perusahaan, tetapi tidak mempunyai daya beli yang cukup akibat penetapan harga yang tinggi. Dalam istilah ilmu ekonomi seluruh kerugian konsumen ini disebut dengan deadweight loss. Tetapi dilain pihak masih ada sebagian konsumen dengan daya beli tinggi dapat memperoleh manfaat dari pembelian barang dan jasa tadi. Manfaat ini menurut kelompok konsumen mampu dipersepsikan sebagai kepuasan yang mereka peroleh dengan mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, walaupun tingkat harga jual barang dan jasa yang dipatok produsen adalah relatif tinggi. Menurut istilah ilmu ekonomi hal ini disebut dengan consumer surplus. Bagaimana dengan kepentingan produsen? Tentunya bagi produsen yang menjual barang dan jasa tersebut, mereka akan memperoleh laba usaha. Dalam ilmu ekonomi terdapat 3 tingkatan laba usaha, masing-masing laba normal (normal profit) dan laba maksimal (super normal profit). Yang menjadi sumber sengketa antara Pemerintah dan pengusaha biasanya dipicu oleh tujuan pengusaha mendapatkan laba maksimal dengan menetapkan tarif sedemikian tingginya sehingga patut diduga tindakan ini akan mengorbankan kepentingan konsumen karena menambah areal deadweight loss. Disinilah letak permasalahan sengketa yang terjadi antara KPPU dan kelompok usaha Temasek, yang menurut dugaan KPPU mencapai nilai di atas Rp 14 triliun. Kita masih akan menunggu bagaimana kemudian keputusan pengadilan menyelesaikan sengketa

ini. Bagi perusahaan Telkomsel, salah satu jalan keluar adalah membuktikan bahwa laba usaha yang diperoleh masih dalam batas koridor pencapaian laba normal. Jika laba super normal terlampaui dalam jangka pendek, manajemen perusahaan masih perlu menunjukkan bahwa laba tersebut memang diakumulasikan untuk tujuan perluasan jaringan telpon dan pelayanan yang menuntut biaya investasi yang tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengukur tingkat monopoli adalah menggunakan angka konsentrasi n-perusahaan, yang diukur dari jumlah volume produksi atau penjualan. Angka yang sering dipakai adalah Angka Konsentrasi 4 perusahaan dan Konsentrasi 8 perusahaan. Kekuatan monopoli terjadi jika angka tersebut melebihi tingkatan 50%. Yang menjadi masalah dari kedua rasio ini adalah bahwa metode tersebut tidak cukup sensitif pada perubahan jumlah produksi dari perusahaan pada kedudukan yang teratas. Sebagai solusinya diperkenalkan Herfindahl index (Besanko, dkk, 2005). Indeks konsentrasi ini merupakan jumlah pangkat dua pangsa pasar semua perusahaan sejenis yang berada di pasar. Angka di atas 0,6 menunjukkan kondisi yang mengarah pada penguasaan pasar. Kemudian untuk kasus merger dan akuisisi, indeks yang biasa digunakan adalah Herfindahl-Hirschman Index (HHI). HHI merupakan jumlah pangkat dua saham yang dimiliki perusahaan dalam kegiatan sejenis dikalikan dengan 10.000. Kondisi pasar setelah merger dan akuisisi yang mencapai angka indeks dibawah 1000 menunjukkan kondisi tidak terkonsentrasinya pasar, sedangkan angka indeks di atas 1800 menggambarkan kondisi terjadinya kekuatan monopoli. Kembali pada kasus KPPU vs Temasek, penggunaan angka konsentrasi nperusahaan oleh KPPU perlu dipertanyakan tingkat validitasnya. Karena kasus yang dihadapi adalah akuisisi sebagian kepemilikan saham milik Pemerintah/BUMN maka seyogyanya digunakan Herfindahl-Hirschman Index. Apalagi ini menyangkut masalah kepemilikan silang, sebelum dan sesudah kehadiran perusahaan Temasex. Terlepas dari aspek tersebut, penulis meragukan penggunaan rasio kekuatan monopoli, karena rasio ini tidak dapat mengungkapkan perilaku pengusaha yang dapat secara sepihak atau bersama-sama mensiasati berbagai kecurangan yang mengarah pada kerugian di pihak konsumen. Dan memang metode konsentrasi pasar sudah mulai ditinggalkan banyak negara, dan menggantikan proses pengendalian konsentrasi pasar dengan berbagai memberlakukan ketentuan-ketentuan menyelenggarakan kegiatan usaha secara tertib, beretika dan menjunjung tinggi persaingan secara sehat. Ketentuan Persaingan Sehat Peraturan tentang persaingan sehat cukup banyak ragamnya, masing-masing dikeluarkan melalui Undang-Undang tersendiri di berbagai negara maju di dunia. Penelusuran dari informasi yang ada, umumnya negara-negara tersebut mengeluarkan peraturan permainan persaingan usaha yang sehat, dengan melarang hal-hal berikut ini: 1) Larangan melakukan persengkongkolan bisnis yang merugikan pesaing lainnya. 2) Monopoli atau memperoleh hak khusus atas dasar KKN dengan birokrat. 3) Proses tender yang tidak transparan, atau menggunakan perusahaan alibaba. 4) Differensiasi harga pada kelompok bisnis tertentu yang merugikan pihak pesaing. 5) Proses merger dan akuisisi yang ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan. 6) Horizontal dan vertical merger yang mangarah pada dominasi konsentrasi pasar. (Vertical merger untuk tujuan efisiensi dan pengurangan harga jual masih

diperbolehkan). 7) Proses produksi, kualitas produk, dan kampanye iklan yang merugikan pihak konsumen. Memberikan informasi tentang produk dan pelayanan yang menyesatkan kepentingan komsumen. 9) Ketentuan-ketentuan lainnya. Tantangan Kedepan Pengendalian kekuatan monopoli pasar jika ingin efektif perlu dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang mengikat demi terselenggaranya persaingan kegiatan usaha secara transparan, adil dan tidak merugikan konsumen. Penggunaan angka konsentrasi pasar sudah tidak dapat digunakan untuk menduga terjadinya persaingan yang tidak sehat. Peaturan-peraturan yang mengikat demi tegaknya persaingan sehat di negara kita masih harus ditegakkan, karena masih banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para pengusaha domestik di segala ukuran konsentrasi pasar di negara kita yang merugikan konsumen. Rasio konsentrasi pasar di masa mendatang menjadi tidak dapat digunakan sama sekali pada saat negara kita memasuki tahun 2015, dimana lalulintas barang, jasa dan uang menjadi bebas di kawasan perekonomian Asean. Hal ini merupakan komitmen bersama para pimpinan negara ASEAN termasuk Indonesia. Contoh kemungkinan mandulnya pengendalian pasar tersebut melalui rasio konsentrasi n-perusahaan sudah terjadi pada saat ini. Coba simak sendiri bagaimana malangnya masyarakat konsumen dunia, yang mengalami kerugian maha dahsyad dalam deadweight loss akibat ulah para spekulan dan para pembuat keputusan organisasi kartel produksi minyak bumi dunia OPEC, dimana Indonesia menjadi anggotanya. Bahkan pada pertemuan beberapa bulan yang lalu, Indonesia sebagai anggota kartel yang aktif, menjadi tidak begitu berdaya dihadapan para raja produsen minyak berukuran besar yang serakah. Sejatinya, consumer surplus dapat terselenggarakan jika anggota OPEC mau menggelontorkan tambahan pasokan produksi ke pasar dunia. Penulis sangat yakin jika hal ini dilakukan, maka dalam tempo hanya 2 minggu harga minyak dunia dapat turun menjadi di bawah $40 per barelnya. Tetapi ironisnya tidak ada badan KPPU di negara manapun di dunia yang dapat dan berdaya untuk melakukan pengendalian konsentrasi pasar pada sistem perekonomian yang mengglobal. Dan sayang jika solusi konsentrasi pasar ini hanya dapat diatasi melalui adu otot kekuatan armada militer adikuasa. Dugaan persaingan tidak sehat pada kelompok perusahaan Temasek akan cukup adil dilontarkan, dan tentunya tidak akan menjadi heboh, jika sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang yang mengatur ketentuan-ketentuan strategi bisnis terlarang bagi perusahaan yang melakukan proses merger dan akuisisi. Dengan demikian dunia usaha dapat memperoleh iklim investasi dan kepastian dalam kiprahnya melakukan kegiatan bisnis. Semoga saja kasus sengketa KPPU dan Temasek ini dapat menjadi pembelajaran yang berharga di masa yang akan datang. (copyright@aditiawan chandra). KEMBALI HALAMAN AWAL

Anda mungkin juga menyukai