Anda di halaman 1dari 4

Mencoba Untuk Tetap Hidup

Oleh : Himas Akbar Kusuma

Jalan setapak kususuri. Persimpangan kutemui. Bimbang hati menimbang kanan atau kiri.

Sering diri ini bepergian seorang diri. Bahkan terkadang atau malah seringkali untuk kemana
tempat yang akan ku duduki nantinya saja aku belum mengetahuinya. Kali ini kaki ini beranjak menuju
tempat dimana banyak sekali hal yang sudah tercurahkan entah melalui kata yang terucap atau tulisan yang
tergores di atas kertas kuning. Hanya dengan beginilah kemudian diri ini meyakini hidup akan berjalan
dengan baik – baik saja meskipun tak semestinya.

Banyak hal yang sudah dituliskan. Banyak hal yang sudah dibiarkan menggantung di langit. Namun
banyak hal pula yang sudah terjatuh. Satu – persatu jatuh, satu – persatu pula ku kaitkan ulang di langit.
Ada beberapa juga yang kubiarkan berserakan di tanah dan hilang tersapu angin ingatan. Mereka tak pernah
beranjak dari tempatnya, diri ini saja yang beranjak pergi untuk tak mengingatnya kembali. Menatap mimpi
lama dan baru yang coba disusun ulang dengan rapi dan penuh keimanan.

“Tuhan katanya tak pernah tidur, kan? Maka ia seharusnya tak membiarkan manusia dengan penuh rasa
putus asa ini memandangi mimpinya masih bergantung tak bergerak,” Seru manusia pesakitan ini.

Terkadang diri ini bingung, bagaimana kemudian tuhan menjawab pertanyaan – pertanyaan
ciptannya yang begitu banyak. Sebagian mengatakan, tuhan akan memberitahukan kita melalui keyakinan
dari dalam diri kita. Lantas sebuah pertanyaan muncul, apakah manusia sebegitu tak memiliki daya dalam
mengatur keyakinan yang ada pada jiwanya? Pernyataan lainnya, konon katanya tuhan akan
memberitahukan jawaban melalui rentetan – rentetan kejadian kehidupan. Lalu pertanyaan kembali
menyeruak dari dalam diri, apakah tuhan sebegitu tidak berdayanya untuk sekedar berbisik pada ciptaan-
Nya sendiri?

“Ah, pertanyaan – pertanyaan ini sungguh akan segera membuat diriku gila,” Gumamku.

Segera ku hentikan pertanyaan tersebut. Ku perhatikan bagaimana alam memberikan kebahagiaan


dan ironisnya dengan kesedihan itu pula. Ku perhatikan bagaimana setiap manusia mengalami hal tersebut.
Ku perhatikan bagaimana manusia berjuang untuk beranjak dari kesedihan, walaupun tak sedikit pula yang
kemudian berhenti berharap atas hidup yang lebih baik. Dari pada kemudian mereka repot – repot untuk
menyembuhkan diri yang mati karena harapan yang tak tercapai. Bukankah kemudian berdamai dengan
segala hal adalah jalan paling menenangkan, Nerimo ing Pandum, begitulah kira – kira masyarakat jawa,
menyebutnya. Lalu apa bedanya dengan berputus asa? Seringkali yang kutemukan bukanlah rasa syukur
namun kematian jiwa. Kematian untuk terus berharap bahkan pada diri sendiri.

“Tidak, aku tidak ingin menjadi demikian,” Seruku.

Ada banyak hal yang kemudian menjadikan manusia terus merasa hidup. Pencarian itu sedang ku
susuri dari sudut tempat ke sudut tempat lainnya. Dari lubuk hati satu ke lubuk hati lainnya. dari manusia
satu ke manusia lainnya. Lamunan kuhentikan sejenak.

“Konon katanya kita tidak boleh menggantungkan harapan kepada manusia lainnya. dengan dalih manusia
adalah makhluk yang penuh kompleksitas. Di satu waktu ia akan mengatakan “iya”, namun bahkan satu
detik kemudian ia akan mengkhianati kaki mereka sendiri. Bisa terbayangkan bagaimana kemudian jika
kita menggantukkan harapan pada manusia, lelah,” lamunan lain membuyarkan semuanya

“Namun bukankah manusia juga saling bersinggungan? Lantas bagaimana mungkin mereka tidak saling
menggantungkan harapan satu sama lain? Bukankah itu adalah suatu hal yang sangat mungkin dilakukan
oleh manusia?” pertanyaan menyeruak merusak ketenangan.

Kuhentikan kembali pertanyaan - pertanyaan yang sia – sia tersebut. Memang manusia seperti
diriku ini akan selalu mempertanyakan segala hal, mengeluarkannya dari kabut yang mengaburkan segala
hal menjadikannya bias. Namun pertanyaan itu justru tidak mengeluarkanku dari kabut, malah membawaku
menghadapi badai yang hebat. Kuyakini bahwa kompleksitas manusia itulah yang menyebabkannya
disebut manusia. Maka kemudian menjadi wajar bahwa kesedihan dan kebahagiaan adalah bagian dari
manusia itu sendiri. Menjadi wajar pula kemudian kekhawatiran dan keyakinan adalah hal yang pasti ada
dalam diri manusia. Maka kemudian menjadi sangatlah wajar jika manusia menjadi hidup karena harapan
yang dimana kekecewaan akan menghantuinya. Dan menjadi sangat tidak wajar kemudian manusia
membunuh diri mereka sendiri, harapan.

Lantas untuk mengembalikan bagian yang hilang dari diri mereka sendiri, bagaimana? Dari sekian
jawaban yang saya dapatkan, tak satupun yang dapat menenangkan. Bukan karena jawabannya salah atau
kurang tepat. Ya karena saya memang manusia bebal yang ngeyelan dan tak pernah menemukan jawaban
yang diinginkan. Berdamai dengan angan – angan diri dan kompleksitas manusia adalah hal yang paling
ku benci namun kulakukan. Bagaimana tidak ketika kamu menyadari bahwa dirimu membutuhkan orang
lain namun di lain sisi, mereka tak akan pernah memberikan seluruh nafasnya atau bahkan setengahnya saja
untukmu. Hidup memang terkadang terdengar sangat paradoks, kadang kala orang lain mengatakan
membutuhkan kita. Namun kadang kala ia akan menjadi sangat menyebalkan jika kita terus – terusan
bersinggungan dengannya.

“Hidup ini tidak Cuma tentangku. Kamu akan bertemu orang baru. Pikirkan pula mereka,” Katanya

Padahal yang kulakukan adalah melibatkan ia di setiap lini kehidupan. Konsekuensi logis dari
mengangap ia adalah diriku, Mengajaknya kemanapun adalah mengajak diriku sendiri. Karena dirinya telah
menjelma nafas yang mengisi pada setiap rongga kehidupan.

“Mustahil terjadi.” Serunya

Kata – kata itu tergambar bias dari laku tubuhnya. Ini yang barang tentu oleh fromm disebut “hal
– hal diluar diri manusia sendiri” Mengharapkannya sesuai dengan apa yang kita inginkan adalah egosentris
yang gila. Hal tersebut adalah pengangkangan terhadap kebebasan manusia. Diriku meyakini itu, namun
mengingkarinya. Mengikuti setiap kebebasan manusia yang bertentangan dengan kita, adalah bunuh diri
yang paling disengaja. Dan aku menyukai itu.

“Anehnya manusia yang sangat getol dengan egosentris ini, keras kepala, seketika mampu dengan mudah
mengubah setiap keputusan penting dalam hidupnya hanya karena satu manusia, wanita,” aku keheranan
terhadap diri sendiri.

Ironisnya adalah dari setiap keputusan yang dipengaruhinya, bukan memberikan ketenangan dalam
hidup namun hanya kecemasan yang semakin dan semakin. Kebahagiaan yang awalnya kuyakini sebagai
sebuah kepastian, kini ia menjelma layaknya awan hitam yang menghadapkan manusia pada kematian.

“Siapapun tak mampu memberikan kepastian, kecuali waktu dan Tuhan,” Ucapku dalam kesunyian yang
mengerikan.

Tidak, kali ini aku tidak akan menyalahkan siapapun. Aku tidak akan menyalahkan dirimu. Karena
tak mampu memberikan waktumu. Bukan tak mampu tetapi kenapa kemudian kamu akan memberikan
seluruh waktumu hanya kepadaku. Aku juga tidak akan menyalahkan diriku sendiri karena tak mampu
mengatur segala harapan yang setiap detik semakin menjadi itu. Karena bukankah harapan adalah hal yang
lumrah yang terjadi kepada siapa saja yang sedang bercinta. Aku akan menganggap ini sebagai suatu
keharusan yang akan ditemui oleh setiap orang yang bercinta. Ketidak sesuaian ini yang menjadikan kita
sesuai. Manusia akhir – akhir ini terlanjur egois. Dan mereka harus menahannya untuk beberapa saat. Ada
suatu keharusan yang dilakukan manusia untuk menarik tangan sesamanya dan berdiri tegap dengan kaki
mereka sendiri.
“Kisah minke ini benar – benar membuka mataku yang tertutup karena panasnya rasa cemburu itu. Pram
telah berhasil memasukkan pesannya menusuk hati yang terlanjur keras ini,” ucapku pada suatu sore ketika
aku menunggunya sembari duduk di sofa tempat kita akan mengutarakan banyak – banyak hal yang sempat
tertahan sebelumnya.

Banyak hal yang sudah kutemui di umur hubungan yang tergolong premature sejak awal kita
bertemu. Tentang segala konsepsi yang kuyakini tanpa kujalani. Ia hanya akan menjadi nilai – nilai
kebaikan yang menjelma kegelapan dan kemudian diyakini oleh seorang yang buta pengalaman pula.
Berbicara kesana kemari tanpa laku yang pasti. Berkhotbah seakan paling shahih.

“Gila, apa yang sudah kukatakan pada setiap orang? Kesulitan itu kini benar – benar kutemui,” kata orang
buta ini

Fii, benar – benar kau telah ajari aku banyak hal. Terkait bagaimana kemudian mau
mendengarkanmu. Meskipun sekarang masih kecil – kecilan, dan semoga nantinya besar – besaran segera.
Ada banyak hal yang ternyata berbeda setelah kemudian sedikit kesamaan yang sebelumnya kita temui.
Ada banyak hal yang musti disyukuri hadirnya karena tak semua manusia mampu melakukannya. Ada
banyak hal yang tak mampu terucapkan, Namun dari masing – masing kita musti belajar
mengungkapkannya entah dengan kata atau laku.

Anda mungkin juga menyukai