Anda di halaman 1dari 11

MUTASYABIH AL-QUR’AN

QS. AL-BAQARAH : 38 & TAHA :123, QS. AN-NAHL : 14 & FATHIR : 12,
QS. AL-MA’IDAH : 9 & AL-FATH : 29

Oleh :

Muhammad Pais Ashari


Darmansyah
Muhammad Abdullah

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 2


BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan Masalah ................................................................................................................ 3
BAB II........................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 4
2.1 Q.S. Al-Baqoroh: 38 & Q.S. Taha: 123. .......................................................................... 4
2.2 Q.S. An-Nahl: 14 & Q.S. Fathir: 12. .............................................................................. 7
2.3. Q.S. Al-Maidah: 9 & Q.S. Al-Fath: 29. ......................................................................... 8
BAB III .................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 11

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Quran merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai petunjuk bagi manusia khususnya bagi orang yang bertakwa. Ada banyak disiplin
ilmu ketika membahas tentang Al-Quran. Salah satu disiplin ilmu tersebut adalah Mutasyabih
dalam Al-Quran. Ketika membahas tentang mutasyabih ada berbagai macam pola maupun cara
yang bisa dipakai untuk menjelaskan maksud dari ayat yang mirip.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas Ayat- Ayat Mutasyabih Dalam Al-
Qur’an Yaitu Qs. Al-Baqarah : 38 & Taha :123, Qs. An-Nahl : 14 & Fathir : 12, Qs. Al-Ma’idah : 9 &
Al-Fath : 29.
.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu mutasyabih?
b. Bagaimana redaksi ayat Qs. Al-Baqarah : 38 & Taha :123, Qs. An-Nahl : 14 & Fathir : 12,
Qs. Al-Ma’idah : 9 & Al-Fath : 29 ?
c. Bagaimana pandangan Mufassir terhadap ayat tersebut?
d. Bagaimana penjelasan mutasyabih di ayat tersebut

1.3 Tujuan Masalah


Mengetahui salah satu dari sekian banyak ayat-ayat mutasyabih yaitu Qs. Al-Baqarah
: 38 & Taha :123, Qs. An-Nahl : 14 & Fathir : 12, Qs. Al-Ma’idah : 9 & Al-Fath : 29.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Q.S. Al-Baqoroh: 38 & Q.S. Taha: 123.
Redaksi Ayat
ࣰ ِِ ِ ۡ ِ ۖ ࣰ ِ ۡ ِ ِ ۡ ۡ
﴾ ٣٨ ﴿ ‫ف َعلَ ۡی ِه ۡم َوََل ُه ۡم َ َۡی َزنُو َن‬ ۡ
ٌ ‫ای فَ ََل َخو‬ ‫د‬
َ ‫ه‬ ‫ع‬
َ ُ َ َ
ِ‫ب‬َ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ف‬
َ ‫ى‬ ‫د‬ ‫قُلنَا ٱهبطُوا من َها ََجیعا فَإ َّما ََیتیَ نَّ ُكم منی ُه‬
ۡ ۖ ۡ ِ ۡ ‫َج َۢیع ۖا ب ۡع‬
ۡ ِ ‫ض ع ُد ࣱو فَإِ َّما َیتِی نَّ ُكم ِمنِی ه ࣰدى فَم ِن ٱتَّبع ه َدای فَ ََل ی‬ ِۡ ۡ
ُ َ َ َِ ‫ال ٱهبِطَا من َها‬
﴿ ‫ض ُّل َوََل یَش َقى‬ َ َ ُ ََ َ ُ ََ َ ٍ ‫ض ُكم لبَع‬ َ َ‫ق‬
﴾ ١٢٣
Munasabah
Q.S. Al-Baqarah : 38 : Ayat-ayat terus berlaniut dalam menjelaskan berbagai macam pemuliaan
Tuhan kepada manusia. Pemuliaan yang disebutkan di sini adalah tinggal di surga pada awal
penciptaan manusia. Akan tetapi hikmah ilahi menuntut manusia tinggal di bumi dan diberi tugas/misi
yang penting, yaitu menghuni alam ini. Dalam kisah ini tampak keistimewaan manusia dalam
periuangan melawan setan dan bujukan' bujukannya.
Kisah ini dipaparkan untuk menghibur Nabi saw. atas pengingkaran yang beliau terima, agar beliau
tahu bahwa berbuat maksiat sudah menjadi watak manusia, dan bahwa jika mereka ditugasi sesuatu-
meski mereka dimuliakan seti n ggi-tin gginya-mereka terkadang tidak melaksanakannya.1
Q.S. Taha : 123 : Ini merupakan kali keenam kisah Nabi Adam disebutkan di dalam Al-Qur'an,
setelah disebutkan di dalam surah al-Baqarah, al-A'raaf, al-Hijr, al-lsraa', dan al-Kahf. Korelasi ayat-
ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya adalah setelah Allah menyebutkan keagungan Al-Qur'an dan
menjelaskan ancaman di dalamnya untuk mendidik ketalnaraan, juga untuk menyampaikan nasihat
dan pelajaran, kemudian Allah menyebutkan kisah Nabi Adam untuk menunjukkan bahwa kepatuhan
manusia kepada setan merupakan hal yang telah lama terjadi, dan manusia lupa dengan perintah-
perintah Allah sebagaimana ayah mereka, Adam, yang iuga lupa. Allah menyebutkan keengganan iblis
untuk bersujud kepada Nabi Adam. Ini untuk memperingatkan manusia tentang musuh yang karena
bisikannya telah mengeluarkan Nabi Adam dari surga.
Allah kemudian menielaskan balasan bagi orang yang patuh kepada petunjuk Allah dan balasan
bagi orang yang berpaling darinya. Orang yang berpaling dari petunjuk Allah akan dikumpulkan dalam
kondisi tidak memiliki huijah yang dapat menyelamatkannya dari siksa karena ketika di dunia dia
berpaling dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang sangat jelas yang akan memberinya petunjuk pada
jalan yang benar.2

Tafsir
Di Q.S. Al-baqarah : 38, Quraish Shihab menyebut jika ayat ini mengulangi perintah untuk turun.
Untuk menghapus kesalahpahaman jika turun hanya satu tingkat syurga. Maka perintah ini memakai
ۡ
kata turunlah kamu darinya. Kata ‫ِمن َها‬ artinya dari syurga. Quraish Shihab juga menjelaskan
kemungkinan makna lain pengulangan ini menjelaskan dua makna berbeda, yaitu turun ke bumi dan

1
Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok, Jilid 1, hlm.
103.
2
Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok, Jilid 8, hlm.
549-550.

4
turunnya martabat keagamaan mereka.3 ‫ُه َدای‬
َ ‫ فَ َمن تَبِ َع‬Artinya orang yang mengikuti kitab yang
ۡ ۡ ‫ ف ََل خ ۡوف‬Yaitu dalam hal perkara akhirat yaitu atas
diturunkan dan menyambut para Rasul. ‫علَی ِهم‬ َ ٌ َ َ
urusan dunia yang tidak mereka peroleh ‫ن‬
ۡ ۡ 4
َ ‫وََل ُهم ََیَزنُو‬.َ
Q.S. Taha : 123 : Di ayat ini Allah SWT memerintahkan Adam, hawa dan Iblis untuk turun dari
ࣱۖ
syurga. ‫ض َع ُدو‬ ٍ ‫ض ُك ۡم لِبَ ۡع‬ ۡ
ُ ‫ بَع‬Yakni Adam dan anak cucunya dan Iblis dengan anak cucunya. ‫فَ َم ِن ٱتَّبَ َع‬
ۡ ِ ‫ ه َدای فَ ََل ی‬Yakni tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat.5
‫ض ُّل َوََل یَش َقى‬ َ َ ُ
Mutasyabih
Dalam ayat ini, tertera kalimat yang sama/mirip namun memiliki makna yang berbeda. Kalimat
tersebut tertera di 2 tempat yaitu ‫ ٱهبِطُوا‬dan
ۡ ۡ lalu ‫ تبِع‬dan ‫ٱتَّبع‬. Mutasyabih pada ayat ini masuk
‫ٱهبِطَا‬, ََ ََ
dalam kategori tabdil (perubahan kalimat). Perinciannya sebagai berikut:

a. ‫ ۡٱهبِطُوا‬dan ‫ۡٱهبِطَا‬
Kedua kalimat ini memiliki akar kata yang sama yaitu ‫ هبط‬yang artinya turun/jatuh dengan cara
paksaat atau sebuah keharusan6. Perubahan yang terletak pada kalimat ini adalah dari segi shorofnya,
‫ ۡٱهبِطَا‬menggunakan jenis tatsniyah pada dhomir-nya, sedangkan ‫ ۡٱهبِطُوا‬menggunakan dhomir dengan
ۡ ۡ
jenis jamak. Sehingga arti yang muncul dari perubahan ini adalah ‫ ٱهبِطَا‬turunlah kalian berdua, ‫ٱهبِطُوا‬
turunlah kalian semua. Namun bukankah yang turun adalah Adam dan Hawa?, lalu kenapa pada
ۡ
kalimat ‫ ٱهبِطُوا‬menunjukkan jamak yang mengandung perintah turun yang ditujukan kepada 3 orang
atau lebih?, Hal inilah yang dianggap Mutasyabih.

• ‫ ۡٱهبِطُوا‬: penggunaan dhomir jamak pada kalimat ini karena perintah turun ini tertuju kepada
Adam, Hawa dan keturunanya yang berada di sulbi Adam. Keturunan Adam menanggung
akibat dari kesalahan orang tuanya sebab mereka juga mendapatkan kemuliaan ketika malaikat
diperintahkan untuk sujud kepada Adam7. Dan implementasinya adalah siapapun melakukan
kesalahan yang sama (mengikuti godaan setan) maka akan mendapatkan akibat yang sama.
• ‫ۡٱهبِطَا‬ : ketika dhomir yang digunakan adalah tatsniyyah yang artinya 2, namun setelah
ۡ ۡ
ُ َّ‫ ََیتِیَ ن‬yang
menyebutkan kata ‫ ٱهبِطَا‬yang menggunakan tatsniyyah, Allah menyebutkan kata ‫كم‬
ِ ۖ َۢ
dhomir-nya jamak dan ‫یعا‬
َ ‫ ََج‬. Sehingga seakan bertentangan. untuk mengungkapkan siapa yang
dituju dalam perintah ini:

3
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian, Jakarta : Lentera Hati, 2002, Jilid
1, hlm. 166-167.
4
Abu’ Fida Ibnu Katsir, Lubab at-Tafsir Min Ibnu Katsir, Jilid 1, Pustaka Imam Syafi’i hal 114
5
Abu’ Fida Ibnu Katsir, Lubab at -Tafsir Min Ibnu Katsir, Jilid 5, hal 424.
6
Raghib Al-Asfahani, Al Mufradat fi Ghoribil Qur’an juz 2 hal 697.
7
Q.S. Al-A’raf: 11. (dapat dilihat ketika dhomir jama’ juga ditujukan kepada Adam dan keturunanya)

5
ۡ
➢ Ar-Razi8: perintah dalam kata ‫ ٱهبِطَا‬tertuju kepada pertama Adam dan keturunannya,
ۡ
ُ َّ‫ ََیتِیَ ن‬, menunjukkan
kedua Iblis dan keturunannya. Adapun kata jamak pada kalimat ‫كم‬
walau zahirnya mereka berdua yang turun, namun mencakup di dalamnya keturunan
mereka. Sehingga penggunaan jamak setelahnya pun dibenarkan.
➢ As-Sya’rawi9: ditujukan kepada Adam dan Hawa karena pada ayat ini, melihat dari
munasabahnya dan konteks ayatnya, bukan akibat dari kesalahan Adam, namun
konteksnya adalah Adam yang mendapatkan tugas dan kewajiban sebagai khalifah
yang akan dimulai setelah turun.
ۖ َۢ ِ
Adapun penggunaan kata ‫َج َیعا‬
َ yang berarti 3 atau lebih, pada ayat ini menunjukkan 3
orang tersebut adalah Adam, Hawa dan Iblis. Namun jika dikelompokkan mereka 3 namun 2
kelompok yaitu pertama Adam dan Hawa yang berambisi dalam ketaatan, kedua Iblis yang
berambisi dalam mengajak Adam untuk bermaksiat. Maka dari itulah kata selanjutnya
ٍ ‫ض ُك ۡم لِبَ ۡع‬
‫ض َع ُدو‬ ۡ
ُ ‫بَع‬ yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa perseteruan ini akan terus
berlanjut.

b. ‫ تَبِ َع‬dan ‫ٱتَّبَ َع‬


Kata ini memiliki kesamaan yaitu berupa fi’il madhi yang artinya mengikuti. Namun jika dilihat

َ َ‫ ٱتَّب‬adalah kata yang akarnya ‫ تَبِ َع‬namun ditambah dalam


2 kata ini sama tapi tidak serupa, karena kata ‫ع‬

wazannya mengikuti wazan ‫افتعل‬. Dalam kaidah Shorof, penambahan huruf ini memiliki fungsi, dan
fungsi pada ‫ افتعل‬pada kata ini adalah ‫املبالغة‬ ‫لزايدة‬. Sehingga kata memiliki arti ‫ ٱتَّبَ َع‬mengikuti dengan
susah payah. Hal ini masuk dalam kaidah ‫املعىن‬ ‫زايدة املبىن تدل على زايدة‬.
Sehingga kesimpulan perbedaannya ialah:

• ‫ تَبِ َع‬: dari munasabah Q.S. Al-Baqoroh: 38 terhadap ayat sebelumnya, dapat dilihat bahwa
Allah tidak menjelaskan bentuk godaan iblis sehingga lebih tepat penggunaan katanya adalah
‫ تَبِ َع‬yang menunjukkan ajakan untuk mengikuti manhajnya Allah.
• ‫ ٱتَّبَ َع‬: Allah menjelaskan bentuk godaan Iblis kepada Adam yang begitu menggiurkan pada
munasabah ayat ini. Sehingga ketika Allah mengajak dan memotivasi untuk mengikuti
manhaj-Nya, kata yang digunakan adalah ‫ ٱتَّبَ َع‬untuk menunjukkan ketika ingin mengikuti
manhaj-Nya, dibutuhkan usaha dan susah payah karena Iblis akan selalu menggunakan
berbagai macam strategi untuk meggoda dan menjatuhkan sebagaimana yang telah terjadi
kepada Adam.10

8
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, Juz 22 Hal 130.
9
Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, Juz 1 hal 277.
10
Ahmad Husnul Hakim, Mutasyabih Al-Qur’an, Lingkar Studi Al-Qur’an : Depok, 2021, hlm. 48-50.

6
2.2 Q.S. An-Nahl: 14 & Q.S. Fathir: 12.
Redaksi Ayat
ۡ ۡ ۡ ۡ
﴾ ١٤ ﴿ ‫اخَر فِ ِیه َولِتَ ۡب تَغُوا ِمن فَضلِ ِهۦ َولَ َعلَّ ُك ۡم تَش ُك ُرو َن‬
ِ ‫ك مو‬
َ َ ‫َوتَ َرى ٱل ُف‬
َ ‫ل‬
ۡ ۡ ۡ ۡ
﴾ ١٢ ﴿ ‫اخَر لِتَ ۡب تَغُوا ِمن فَضلِ ِهۦ َولَ َعلَّ ُك ۡم تَش ُك ُرو َن‬ ِ ‫ك فِ ِیه مو‬
َ َ َ ‫َوتَ َرى ٱل ُف‬
‫ل‬
Munasabah
Q.S. An-Nahl : 14 :Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya dalam memaparkan
bukti-bukti petunjuk tentang wujud Allah dan keesaan-Nya. Bukti-bukti petunjuk yang disebutkan di
sini adalah penciptaan tumbuhan dan empat unsur alam (air, tanah, api dan udara) dengan berbagai
kondisinya. Adapun air, mencakup hujan, laut dan sungai. Sedangkan unsur tanah dipahami dengan
unsur al-ardh (bumi). Adapun unsur api atau panas, biasa dipahami dari kata asy-syams (matahari).
Sedangkan udara adalah unsur yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, hewan dan
tumbuhan. Udara juga menjadi alat penggerak bahtera di lautan.11
Q.S. Fathir : 12 : setelah memaparkan bukti-bukti tentang ba’ats, Allah memaparkan dalil dan
bukti-bukti petunjuk atas keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya. Di antara bukti-bukti itu adalah Allah swt
menciptakan berbagai hal yang sejenis tetapi berbeda kemanfaatannya, seperti air, malam dan siang,
matahari dan rembulan. Kemudian dilanjutkan dengan sanggahan dan bantahan terhadap para paganis
penyembah berhala dan arca yang tiada memiliki apa-apa sedikit pun, tidak bisa mendengar seruan
dan doa, tidak bisa merespon dan menjawab panggilan, dan pada hari kiamat sembahan-sembahan
palsu itu berlepas diri dan lepas tangan dari penyembahnya.12
Tafsir
Q.S. An-Nahl : 14 : Allah SWT memberi kabar tentang pengendaliannya terhadap lautan dan
Allah memberi hambahnya anugerah untuk menundukkan lautan itu untuk mereka dan Allah memberi
mereka anugerah dengan apa yang Allah ciptakan dalam lautan itu. Maka dari itu Allah berfirman
ۡ ۡ
‫ِمن فَضلِ ِهۦ َولَ َعلَّ ُك ۡم تَش ُك ُرو َن َولِتَ ۡب تَغُوا‬ maksudnya nikmat-Nya dan kebaikan-Nya.13

Q.S. Fathir : 12 : Dan dua laut tidaklah senantiasa sama. Salah satunya tawar dan mudah
diminum, mengalir di sangui-sungai yang mengembara diantara manusia, baik sungai besar maupun
yang kecil-kecil, sesuai dengan kebutuhan di desa-desa dan kota-kota. Dan yang kedua ialah laut asin
uang diam di gunakan untuk berlayar kapal-kapal yang besar. Dan dari semua itu kamu dapat memakan
ikan yang baru lagi segar sebagai karunia dari Allah swt dan anugrahnya.
Dan kamu dapat mengeluarkan mutiara dan marjan dari laut yang asin dan dari air tawar yang segar.
Dan kapal-kapal berlayar pada masing-masing dari dua laut itu membelahnya dengan dada kapal-kapal
terebut ketika berlayar ke depan maupun ke belakang dengan membawa makanan-makanan dari satu
negeri ke negeri yang lain. Sehingga kamu dapat mencegah kelaparan dan memennuhi kubutuhan.

11
Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok, Jilid. 7, hlm.
356.
12
Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok, Jilid 11.
Hal. 564
13
Abu’ Fida Ibnu Katsir, Lubab at -Tafsir Min Ibnu Katsir, Jilid 5, hal 47.

7
Semoga kalian bersyukur kepada Allah swt atas penundukan terhadap kapal-kapal itu bagimu, kamu
berbuat terhadap kapal-kapal itu sebagaimana yang kamu kehendaki dan kamu bepergian dengan
mengendarainya jika kamu kehendaki.
Dan oleh karena ada kesesuaian antara kapal di laut dan matahari dan bulan pada tempat peredarannya,
yakni bahwa masing-masing berlayar pada amal masing-masing yang saling berjauhan.14
Mutasyabih

Mutasyabih pada kedua ayat ini terletak pada kalimat ‫اخَر فِ ِیه‬
ِ ‫مو‬
ََ dan ِ ‫فِ ِیه مو‬
‫اخَر‬ََ yang adanya
taqdim dan takhir. Yang menjadikan keduanya berbeda adalah:

a. ‫اخَر فِیه‬
ِ ‫ مو‬:
ََ
Pertama, dari segi nahwu, kata ‫( َوتَ َرى‬melihat) pada ayat ini memiliki 2 maf’ul yaitu ‫الفلك‬ maf’ul

pertama dan ‫ مواخر‬yang menjadi maf’ul kedua sekaligus dzhorof maka dari itu letaknya diakhirkan.
ۡ
Adapun penggunaan waw pada kalimat ۟‫ ولِتَ ب تَ غُوا‬disebabkan ia menjadi ma’thuf yang ma’thuf
َ
alaiyh nya adalah huruf lam (‫التعليل‬ ‫ )الم‬pada kalimat ‫لتاكلوا منه‬.

b. ِ ‫فِ ِیه مو‬


‫اخَر‬ََ
ِ ِ‫ )ف‬didahulukan dari maf’ulnya
Pertama dari segi nahwu, alasan jar dan majrur pada kalimat ini (‫یه‬
karena pada kalimat sebelumnya jar dan majrur juga didahulukan dari fi’il dan fa’ilnya, sehingga
disesuaikan.
Pada ayat ini huruf lam pada kata ‫لِتَ ۡب تَغُوا‬ digunakan untuk menjelaskan alasan (‫ )للعلة‬Allah
membelah laut dan menjadikan kapal berlayar di atasnya. Maka dari itulah waw athaf tidak digunakan
sebagaimana pada An-Nahl: 14.

2.3. Q.S. Al-Maidah: 9 & Q.S. Al-Fath: 29.


Redaksi Ayat

ِِۙ ‫وع َد اّلل الَّ ِذین امنُوا وع ِملُوا الصلِح‬


﴾ ٩﴿‫ت ََلُْم َّم ْغ ِفَرةٌ َّواَ ْجٌر َع ِظْی ٌم‬ َ َ ْ َ َْ ُ َ َ
﴾ ٢٩ ﴿ ࣖ ‫ت ِمْن ُه ْم َّمغْ ِفَرةً َّواَ ْجًرا َع ِظ ْی ًما‬
ِ ‫وع َد اّلل الَّ ِذین امنُوا وع ِملُوا الصلِح‬
َ َ ْ َ َْ ُ َ َ
Munasabah
Q.S. Al-Maidah : 9 : setelah dalam ayat-sebelumnya Allah swt mengingatkan kaum mukminin kepada apa
yang mengharuskan mereka untuk tunduk kepada perintah dan larangan-Nya, Allah swt menuntut mereka untuk
tunduk kepada pentaklifan-pentaklifan-Nya yang berhubungan dengan-Nya atau para hamba-Nya.15

14
Ahmad Musthafa al-maragi, Tafsir al-maraghi (semarang: toha putra) Jil. 22, hlm. 200-201.
15
Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok, Jilid. 3, hal.
450.

8
Q.S. Al-Fath : 29 : setelah menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah seorang rasul yang di utus membawa
petunjuk dan agama yang benar, selanjutnya Allah menerangkan keadaan Rasulullah Muhammad saw dan
umatnya. Allah swt mempertega kesaksian dengan ayat ( ِ‫ٱّلل‬ ُ ‫ َّر ُس‬ٞ‫) ُُّّمَ َّمد‬. Kemudian, Allah swt menyifati
َّ ‫ول‬
para sahabatnya dengan sejumlah sidat yang menakjubkan yaitu bersikap keras terhadap musuh, berbelas kasih
kepada kaum mukmin, banyak beribadah, senantiasa mencari pahala dan ridha Allah swt, memiliki tanda yang
bercahaya ketika di dunia dan di akhirat juga, menerangkan sifat-sifat mereka yang tercantum dalam Taurat dan
Injil, progresif dari lemah dan minoritas menjadi kuat dan bertambah, dan mereka dijanjikan ampunan dan surga
dari Allah SWT16.

Tafsir Ayat\
Q.S. Al-Maidah : 9 : Allah swt telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal soleh,
yaitu amal yang membuat beresnya hamba-hamba Allah pada diri mereka sendiri maupun dalam
kaitannya dengan hubunga-hubungan sosial mereka. Diantaranya yang terpenting adalah keadilan
sesama mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam segala hal.
Sesudah itu, Allah swt menerangkan apa yang dia janjikan kepada mereka, setelah dia katakan tadi
secara umum, yang tujuannya supaya hati tertuju untuk menanyakannya. Jadi, ketika jawaban itu tiba,
hal itu akan lebih mantap dalam hati, dan janji pun makin kokoh. Kemudian Allah melanjutkan bahwa
uman dan amal soleh dapat menutup dan menghapus dari dalam hati bekas-bekas perbuatan yang
sudah-sudah, yang melekat padanya. Sehingga hati, kemudian diliputi cinta kepada kebenaran dan
kebaikan, dan dapat mencapai alam kesucian dan kebersihan. Adapun pahala besar, yang dimaksud
ialah balasan yang berlipat ganda atas keimanan dan amal soleh, sebagai anugrah dan rahmat Allah
swt.17
Q.S. Al-Fath :29 : Setelah Allah swt menyebutkan bahwa dia mengutus rasul-Nya dengan
membawa petunjuk dan agama islam, supaya dia meluhurkan derajat agama tersebut atas semua
agama-agama yang lain, maka dilanjutkan dengan menerangkan ihwal rasul dan umat yang kepada
mereka ia di utus. Allah menggambarkan mereka dengan sifat-sifat yang seluruhnya terpuji dan
merupakan peringatan bagi generasi sesudah mereka dan dengan sifat-sifat itulah mereka dapat
menguasai bangsa-bangsa lain. Dan memiliki negeri mereka, bahkan menggenggam tampuk
kepemimpinan seluruh dunia. Yaitu:
1. Bahwa mereka bersikap keras terhadap siapapun yang menentang agamanya dan mengajak
bermusuhan, dan bersifat belas kasih kepada sesama
2. Bahwa mereka menjadikan salat dan keikhlasan kepada Allah sebagai kebiasaan mereka pada
kebanyakan waktu
3. bahwa mereka dengan amal mereka mengharapkan pahala dari Tuhan mereka dan kedekatan
di sisinya serta keridhaan darinya
4. bahwa mereka mempunyai tanda yang dengan itu mereka mudah dikenal. yakni bahwa mereka
bercahaya pada wajah mereka, Dan tunduk yang bisa dikenali oleh orang yang cerdas
5. bahwa Injil yang mengumpamakan keadaan mereka dengan mengatakan, akan muncul suatu
kaum yang akan tumbuh bagaikan tumbuhnya tanaman mereka menyuruh kepada yang Ma'ruf
dan mencegah dari kemungkaran
Bahwasanya pada permulaan Islam orang-orang Mukmin jumlahnya sedikit saja. kemudian mereka
semakin banyak dan semakin teratur dan hari demi hari semakin meningkat sehingga membuat
orang-orang kagum terhadap mereka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berdakwah sendirian.18

16
Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok, Jilid. 13, hal.
440
17
Ahmad Musthafa al-maragi, Tafsir al-maraghi. Jilid. 6, hal. 130
18
Ahmad Musthafa al-maragi, tafsir al-maraghi. Jil. 26, hal. 193

9
Mutasyabih Ayat
Kedua ayat ini menjelaskan akan janji Allah terhadap orang yang beriman dan amal saleh. Jika
dilihat, baik kata ataupun urutannya tidak ada perbedaan kecuali pada lafadz ْ‫ لَ ُهم‬dan ْ‫مِ ن ُهم‬. Untuk
mengidentifikasi perbedaan penggunaan kata ini, perlu dilihat munasabah ayat dan konteks ayat
tersebut. Pada Al-Maidah, Quraish Shihab, Wahbah Az-Zuhaili dan Ali Ash-Shobuni
mengelompokkan ayat ini dengan ayat sebelumnya yang berarti adanya keterkaitan (munasabah).
Quraish Shihab 6-11, Wahbah Az-Zuhaili 8-11 dan Ali As-Shobuni 1-10. Sebelum ayat 9, Allah
menjelaskan tentang orang-orang mukmin dan kewajiban/tuntutan yang Allah bebakan kepada mereka
seperi berbuat adil, shalat dan lain-lain. Sehingga Allah menjanjikan kepada orang mukmin tersebut
akan mendapatkan ampunan dan balasan berupa syurga. Maka sangat tepat ketika kalimat yang
digunakan adalah ‫ ََلُم‬, karena menjanjikan siapa saja diantara orang mukmin tersebut yang mengikuti
ْ
dan mengamalkan kewajiab dan tuntutan dari Allah.
Adapun pada Al-Fath, konteks pada ayat tersebut sedang menjelaskan sifat dan kriteria sahabat
nabi dan memberikan peringatan terhadap sahabat yang memiliki sifat kemunafikan. Sehingga Allah
menyatakan barang siapa diantara mereka (sahabat) memenuhi kriteria dan memiliki sifat yang
disebutkan, maka mereka akan mendapatkan balasan dan ampunan dari Allah. Maka walau ini ayat
masuk dalam kategori ‫السبب‬ ‫العربة بعموم اللفظ ال خبصوص‬, akan tetapi sangatlah tepat penggunaan kata
‫ ِمْن ُه ْم‬karena ia tertuju kepada sahabat nabi.

10
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asfahani, Raghib. Al Mufradat fi Ghoribil Qur’an.


Al-maragi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-maraghi (semarang: toha putra).
Ar-Razi, Fakhurddin. Mafatih al-Ghaib.
Hakim, Ahmad Husnul. Mutasyabih Al-Qur’an, Lingkar Studi Al-Qur’an : Depok, 2021.
Ibnu Katsir, Abu’ Fida. Lubab at-Tafsir Min Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i.
Sya’rawi, Mutawalli. Tafsir Sya’rawi.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian, Jakarta : Lentera Hati,
2002.
Zuhaily, Wahbah. Tafsir Al-Munir : Akidah, Syari’ah, dan Manhaj, Gema Insani : Depok.

11

Anda mungkin juga menyukai