Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling umum. Risiko seumur hidup dari

perkembangan apendisitis sekitar 7% dan biasanya membutuhkan perawatan

bedah. Insidensi keseluruhan pada kondisi ini sekitar 11 kasus per 10.000

penduduk per tahun. Apendisitis akut dapat terjadi pada semua usia. Rasio

terjadinya apendisitis antara pria dan wanita yaitu 3: 1. Ada peningkatan insidensi

pada pasien kulit putih berusia antara 15 dan 30 tahun dimana waktu insidensi

meningkat menjadi 23 per 10.000 populasi per tahun.1

Angka morbiditas apendisitis diketahui sebesar 10% dan angka mortalitas

apendisitis adalah 1 – 5%. Hal ini diduga erat kaitannya dengan keterlambatan

diagnosis dan juga penanganan pada pasien apendisitis. Pada wilayah regional

Asia Tenggara, kejadian apendisitis akut ditemukan hampir di seluruh negara di

Asia Tenggara. Indonesia dengan prevalensi 0,05% menempati urutan pertama

sebagai negara dengan angka kejadian apendisitis akut tertinggi, disusul oleh

dengan Filipina (0,022%) dan Vietnam (0,02%). Diketahui 5% kasus apendisitis

terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Pada pasien anak kejadian apendisitis

akut menempati puncaknya pada usia 6 – 10 tahun dengan 50 – 85% kejadian

terdiagnosis ketika sudah terjadi perforasi. Tingginya angka kejadian perforasi

pada kasus apendisitis diduga berhubungan dengan anatomi dinding apendiks

anak yang masih tipis dan juga omentum pada anak belum berkembang dengan

1
sempurna sehingga meningkatkan faktor resiko terjadinya perforasi pada anak.

Keterlambatan diagnosis apendisitis pada anak diduga juga menjadi salah satu

faktor tingginya angka perforasi. Angka perforasi yang tinggi juga terjadi pada

kasus apendisitis di kelompok usia lansia. Dilaporkan terdapat 60% kejadian

perforasi pada kasus apendisitis pada kelompok usia lansia. Hal ini diduga

dipengaruhi oleh anatomi apendiks pada lansia yang mengalami penyempitan

pada lumennya, serta arterosklerosis yang terjadi pada vaskular yang

memperdarahi apendiks sehingga menurunkan suplai darah ke apendiks.2

Apendisitis merupakan kegawatdaruratan abdomen dan jika dibiarkan dan

tidak ditangani dapat ruptur dan mengakibatkan infeksi yang fatal pada

peritoneum (peritonitis). Jika sudah seperti ini harus dilakukan tindakan

pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih luas lagi yang

berbahaya bagi pasien.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1.....................................................................................................................

Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. YE

Umur : 21 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Ling kenangan 005/003 Arken

Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Tanggal Masuk IGD : 10 Agustus 2023

Tanggal Masuk Ruangan : 11 Agustus 2023

Tanggal Operasi : 10 Agustus 2023 jam 16.00 Wita

3
Anamnesa

1. Keluhan Utama :

Nyeri pada perut kanan bawah.

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri perut kanan bawah sejak tujuh hari lalu namun memberat satu

hari sebelum MRS. Nyeri dirasakan dari ulu hati menjalar ke perut

kanan bawah dan menetap di perut kanan bawah. Perut kanan bawah

dirasa sangat nyeri hingga pasien tidak dapat berjalan. Nyeri bertambah

jika pasien berada dalam posisi tidur. Pasien tidak mau makan karena

merasa mual/muntah. Riwayat perut di pijat 1 minggu yang lalu. Makan

minum terakhir jam 9 pagi

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), penyakit jantung (-),

penyakit ginjal (-), asma (-), sakit maag (+), riwayat operasi (-),

riwayat opname di RS (-), asam urat (-), kolesterol (-), riwayat

trauma/jatuh (-)

4. Riwayat Pengobatan

Pasien belum mengobati keluhan yang dirasa.

5. Riwayat Alergi

Alergi terhadap makanan (-), alergi terhadap obat (-)

6. Riwayat Kebiasaan

Merokok (-), alkohol (-)

4
2.2.....................................................................................................................

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : tampak kesakitan

2. Kesadaran

a. Kualitatif : Compos Mentis

b. Kuantitatif : GCS 4-5-6

3. Tanda Vital

a. Tekanan darah : 117/83 mmHg

b. Nadi : 115 x/menit

c. Pernafasan : 20 x/menit

d. Suhu : 39,5 °C

4. Status Generalis

a. Kepala/Leher

Kepala : simetris (+), deformitas (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-), ikterus (-)

Hidung : pernafasan cuping hidung (-)

Telinga : dalam batas normal

Mulut : sianosis (-)

Leher : pembesaran KGB (-), massa (-)

b. Thorax

Jantung

5
 Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-), jejas (-),

deformitas (-)

 Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-)

 Perkusi : batas jantung normal

 Auskultasi : S1dan S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

 Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-), gerak nafas

tertinggal (-), massa (-), jejas (-)

 Palpasi : gerak dinding dada simetris, fremitus raba

pulmo kanan dan kiri simetris, fremitus vokal

pulmo kanan dan kiri simetris

 Perkusi : sonor di kedua lapang paru depan dan belakang

 Auskultasi : suara nafas vasikuler (+/+), rhonki (-/-),

wheezing (-/-)

c. Abdomen

 Inspeksi : soepl (+), jejas (-), massa (-)

 Auskultasi : bising usus (+) normal

 Palpasi : tegang, nyeri tekan (+), tugor baik (<2 detik),

hepar, lien, dan ginjal tidak teraba

 Perkusi : timpani

d. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), nadi kuat regular

5. Status lokalis (Regio Abdomen)

6
 Inspeksi : Perut tampak kembung, jejas (-), massa (-),

deformitas (-), kemerahan (-)

 Auskultasi : bising usus (+)

 Palpasi : tegang, nyeri tekan pada regio mc burney, psoas

sign (+) rovsing sign (-), defans muscular (+)

psoas sign (+), Obturator sign (+), tugor baik

(<2 detik), hepar, lien, dan ginjal tidak teraba

Alvarado Score :

M1

A0

N1

T2

R0

E1

L2

S1

Score : 8

 Perkusi : timpani, pekak hepar (+)

2.3.....................................................................................................................

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Agustus 2023

o Hemoglobin : 17 g/Dl (nilai rujukan 13-18 g/dL)

o Leukosit : 25.200/mm3 (nilai rujukan 4.000-11.000/mm3)

7
o Trombosit :182.000/mm3 (nilai rujukan 150.000-350.000/mm3)

o AST (SGOT) : 26 U/L (nilai rujukan 10-40 U/L)

o ALT (SGPT) : 17 U/L (nilai rujukan 10-40 U/L)

o BUN : 17 mg/dL (nilai rujukan 10-20 mg/dL)

o Kreatinin : 1,0 mg/dL (nilai rujukan 0,5-1,7 mg/dL)

2.4.....................................................................................................................D

iagnosis

Peritonitis Ec susp appendisitis perforasi

2.5.....................................................................................................................P

enatalaksanaan

1. Konservatif

a. Umum

Edukasi penderita dan keuarga mengenai penyakit yang

diderita pasien

b. Khusus

- Infus RL 20 tpm

- Inj Ceftriaxone 2 gr/12 jam

- Inj Paracetamol 3x500mg

2. Operatif

Pro Laparotomi pukul 16.00 wita

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-

kira 10cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit

di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada

bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit

ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden

appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak

intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan

ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.

Gambar 3.1 anatomi appendiks

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di

belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon

ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks.

9
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang

mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan

persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri

visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus.

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan

arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis

pada infeksi apendiks akan mengalami gangren.

3.2. Fisiologi

Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu

normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke

caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan

pada pathogenesis appendicitis.

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut

associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna

termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai

pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks

tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf

disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

dan di seluruh tubuh.

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-

akhir ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif

mensekresikan Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA).

Walaupun Appendix merupakan komponen integral dari sistem Gut

Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak penting dan

10
Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit

imunodefisiensi lainnya.

3.3. Etiologi dan Patofisiologi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta.

Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendic, yaitu sekitar

20% pada anak dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan

perforasi Appendic. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia

jaringan limfoid di sub mukosa Appendic, barium yang mengering pada

pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris

vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata,

dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella atau

akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius

vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat

diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,

chicken pox, dan cytomegalovirus.

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses

inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta

sederhana, sekitar 65% pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa

perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa dengan

perforasi.

11
Gambar 3.2 Appendicitis (dengan fecalith)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal

dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi.

Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL

pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60

cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,

mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau

di bawah epigastrium.

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari

pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan

tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat

menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak

terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan

nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa

Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan

perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.

12
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan

terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang

melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling

sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,

invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi

biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik.

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami

gejala gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan,

perubahan kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan

penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf

visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri

awal ini bersifat nyeri tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin

bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah

timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat

dipikirkan diagnosis lain.

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik

bagi perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan

intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang

lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal

Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan

aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia

jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri

melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan

13
leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan.

Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan

dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan

nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc

Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa

didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di

retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat

inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi

Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di

retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang

berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis

dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau

keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi

Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti

terjadi retensi urine.

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal

atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas

ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap

perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu

melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada

pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,

dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus

lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak

omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi

14
akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau

remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat

diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan

fisik.

Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai.

Diare sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu

yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare

dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.

3.4. Gejala Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam,

dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama

Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus

terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang

timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam.

Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi

anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh;

Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ

menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis

menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan

nyeri testicular.

Umumnya pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi

Appendix, biasanya suhu naik hingga 38 oC. Tetapi pada keadaan perforasi,

suhu tubuh meningkat hingga > 39 oC. Anoreksia hampir selalu menyertai

Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya

15
terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan

ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia,

diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka

diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri

abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut

dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar.

Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul

setelah terjadinya perforasi Appendix.

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor

Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor

>6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah

Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix

dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan

bukan radang akut.

Tabel 1. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.

16
Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor

>6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan

dengan tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa

nyeri pada nyeri lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan

Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya

psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi

dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi

17
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena

ruptur Appendix.

3.5. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm 3,

biasanya didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi

dan sering disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung

jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran

ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang

hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada Appendicitis

tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut

meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan

atau tanpa abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang

disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah

dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL,

hitung leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki

sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis

infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa

leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti

18
yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta

dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis

Appendicitis. Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran

yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum.

Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam diameter

anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi

ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya

appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari

Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur

akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan

menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan

negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan

atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir

dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga

abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-

wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan

pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat

menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri

akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah

dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar

85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil,

walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.

19
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung

pada pemakai. Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan

ditemukannya periappendicitis dari peradangan sekitarnya, dilatasi

Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai

appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan

karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu

banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis

terbatas hanya pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix

dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix

mengalami perforasi oleh karena tekanan.

Gambar 3.4 Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis

3. CT Scan

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis

acuta, tetapi dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis

banding. Pada pasien Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat

gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang

20
tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila

ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang

disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses

pneumoni lobus kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema,

dan radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama

atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan

biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai

adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage

secara tepat.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung

pada penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada

Caecum dan Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan

ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari

pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang

diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,

memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

21
Gambar 3.5 Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata

dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis

Gambar 3.6 Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix

(panah) dengan appendicolith

3.6. Diagnisis Banding

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung

dari usia dan jenis kelamin

1. Pada anak-anak balita

Diagnosis banding pada anak-anak balita adalah intususepsi, divertikulitis,

dan gastroenteritis akut.

22
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3

tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri

divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda,

yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya

inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang

agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-

gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan

ditemukan leukosit pada feses.

2. Pada anak-anak usia sekolah

Diagnosis banding pada anak-anak usia sekolah adalah gastroenteritis,

konstipasi, infark omentum.

Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan

appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi,

merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi

tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada

anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada

infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak

berpindah

3. Pada pria dewasa muda

Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s

disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum

dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,

pasien merasa sakit pada skrotumnya.

4. Pada wanita usia muda

23
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak

berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic

inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing.

Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada

kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

5. Pada usia lanjut

Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis

banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari

traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi

ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan

gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,

divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena

lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat

diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada

orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan

dengan pemeriksaan laboratorium.

3.7. Penatalaksanaan

1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala

klinis dehidrasi atau septikemia.

2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral

3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.

4. Pemberian antibiotika iv

5. Apendictomi

24
BAB IV

KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix

merupakan derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda

tiap individu. Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling

sering ditemukan. Faktor-faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya

Appendicitis meliputi faktor obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen

adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta.

Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah,

nyeri berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian

anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang

tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik

pada kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign,

Blumberg’s sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare,

nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau

Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.

Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan

laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding

Appendicitis antara lain; Adenitis Mesenterica Acuta, Gastroenteritis akut,

penyakit urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chron’s

enteritis, perforasi ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing,

batu urethra, peritonitis primer, Purpura Henoch–Schonlein, Yersiniosis, serta

kelainan–kelainan ginekologi.

25
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi,

peritonitis, Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial

pyemia dengan Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien

Appendicitis acuta meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala

klinis dehidrasi atau septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan

konsultasi ahli bedah, pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani

laparotomi.

Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta.

Appendicular infiltrat adalah proses radang Appendix yang penyebarannya dapat

dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga

membentuk massa (Appendiceal mass) yang lebih sering dijumpai pada pasien

berumur 5 tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan

baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses

radang.

Etiologi dan patofisiologi Appendicular infiltrat diawali oleh adanya

Appendicitis acuta. Dimulai dari acute focal Appendicitis  acute suppurative

Appendicitis  gangrenous Appendicitis (tahap pertama dari Appendicitis yang

mengalami komplikasi)  dapat terjadi 3 kemungkinan:

o perforated Appendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang

atau rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.

o terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama

kelamaan akan mengecil dan menghilang)

o Appendicitis kronis, merupakan serangan ulang Appendicitis yang telah

sembuh.

26
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya

riwayat Appendicitis acuta, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri

tekan di RLQ. Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan

tumor Caecum, limfoma maligna intra abdomen, Appendicitis tuberkulosa,

amoeboma, Crohn’s disease, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis

ataupun torsi kista ovarium.

Terapi Appendicular infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif

(konservatif) yang diikuti dengan Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian),

tetapi apabila massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi

abses dan massa harus segera dibuka dan dilakukan drainase.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ellis H, Nathanson LK. 2001. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s


Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI,
Ellis H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 1191-
222

Hardin DM. 1999. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy
of Family Physician News and Publication. 60: 2027-34.

Jaffe BM, Berger DH. 2005. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies
Inc.1119-34

Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ. 2004. Appendix. In: Sabiston Texbook of
Surgery. 17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders. 1381-93

Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. 2007. Evaluation of the
Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007.

Prinz RA, Madura JA. 2001. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery
of Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 1466-78

Sjamsuhidajat, W. de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. Kedokteran EGC
: Jakarta

Soybel DI. 2000. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1.

Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass

HI, Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 647-62

Way LW. 2003. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11
edition. Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 668-72

28

Anda mungkin juga menyukai