Anda di halaman 1dari 17

Catastrophe

Rabbani Adham Hasyim


Apakah monster itu nyata?? Apakah ini mitos atau benar-benar ada??
Aku berlari tanpa henti, terus menerobos semak belukar, seraya memekik memohon pertolongan.
Suara keputusasaan mencuat dari dalam dadaku.
"Tolongggg!" Teriakku dengan penuh ketakutan, suara itu terasa hanyut dalam angin
malam yang gelap.
Dalam kegelapan yang menyelimuti, aku berpacu dengan ketakutan yang membuncah. Teman-
temanku telah tiada, tubuh mereka menjadi saksi bisu dari tragedi mengerikan yang terjadi di
hadapanku. Darah membasahi tanah, menciptakan gambaran kengerian yang tak terlupakan.
"Bagaimana bisa seperti ini? Di mana kesalahanku? Apa yang telah kulakukan?"
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benakku, merajut keraguan dan penyesalan.
Aku hanya bisa terus berlari, pasrah pada takdir yang mengejar dengan rasa takut yang
memuncak. Tidak ada jalan kembali, hanya kegelapan yang merangkul. Di kegelapan itu, sosok
mengerikan mengintai: tubuh besar dipenuhi bau darah, gigi tajam seperti mata pisau, dan cakar
yang mematikan. Monster itu, lebih menakutkan daripada yang pernah kulihat di layar film.
Bahkan, kengerian ini terasa lebih nyata, lebih mencekam, menguasai setiap detik yang berlalu.
Aku berlari sejauh kakiku mampu menapaki jalanan yang sunyi. Hembusan angin malam
menyapu rambutku yang berkibar. Namun, langkahku terhenti tiba-tiba, ketika napasku
tersengal-sengal, kelelahan mendera tubuhku seperti ombak yang menghantam karang. Aku
berhenti, napasku terengah-engah. Dalam hati, aku bertanya-tanya,
"Apa ini semua akan sepadan dengan usahaku? Apakah aku akan sampai ke tujuan
dengan segala jerih payahku?" Rasa kelelahan menuntut jawabanku.
“Apa aku memang benar-benar bisa selamat jika terus seperti ini? Ataukah mungkin aku
harus menyerah aja?” Pikirku yang mulai ragu dalam hati.

Suara monster itu menggema, menguar dengan kekuatan hawa pembunuh yang kuat.
Ketakutanku mencapai puncaknya, aku berusaha berlari, namun kaki-kakiku terasa berat, lemah,
tak berdaya. Kakiku enggan melangkah lebih jauh, melumat oleh kelelahan dan ketakutan yang
melanda. Dalam kegelapan yang mencekam, langkah-langkah monster semakin dekat. Aku
hanya bisa duduk, terdiam, menyerah pada takdir yang memanggil. Dengan napas yang berdebar,
aku menatap ke belakang. Rongga mulut monster itu terbuka lebar, mengancam, mengintai
wajahku dengan kehausan akan ketakutan.
Dan tiba-tiba, aku terlempar dari belenggu mimpi, terjaga dari tidurku dengan nafas yang
tersengal-sengal, merasakan kelegaan dari tekanan mimpi buruk yang membelenggu.
“Huft, untung aja cuma mimpi,” ucapku dengan perasaan lega.
“TINOOO... BELUM BANGUN JUGA KAMUU?? SUDAH JAM BERAPA INII!!”
Teriak ibuku dari dapur.
“Eh iya Bun, ini udah bangun kok,” balasku
“IYA IYA, CEPET MANDI SANA, KEBURU TELAT NANTI,” Teriak ibuku yang
terdengar penuh dengan rasa kesal.
Dengan gerakan cepat, aku melompat dari kasur, bergegas untuk segera mandi sebelum
berangkat ke sekolah.
“Bunn, aku berangkat dulu yaa, roti di meja kumakan, Bun,” ucapku pada ibuku.
“Iya Nak, hati hati yaa,” balas ibuku.
Inilah aku Lucius Faustino, seorang anak dari desa kecil di pinggir kota. Desa yang terletak di
pinggir hutan, dengan hawa yang sangat amat sejuk. Disuguhi dengan pemandangan yang indah
serta beragam flora dan fauna, membuat desaku sangatlah cocok untuk menjadi tempat tinggal.
Desa Euthanasia, itulah namanya. Namun dibalik keindahannya ada sejarah kelam. Kata orang-
orang, pada 50 tahun yang lalu, ada pembantaian di desa ini. Banyak warga dan anak-anak yang
tak bersalah menjadi korban. Saat kutanya siapa yang melakukan itu, mereka selalu tidak
menjawab dan mengalihkan pembicaraan. Dan karena sejarah kelam itulah orang orang juga
menyebut desa ini sebagai desa terkutuk.

Saat perjalanan ke sekolah, mimpi itu masih terbayang-bayang di pikiranku. Mimpi yang sangat
nyata, bahkan aku masih merinding jika mengingatnya.
“Setelah dipikir-pikir, mimpi itu sangat nyata.. Huft bikin merinding aja,” ucapku sambil
menghela nafas.
Tiba-tiba ada yang menerkaku dari belakang.
“Dorr.. pagi-pagi gini dah ngeluh aja No,” ucap sesosok orang dari belakangku.
Ternyata sosok itu adalah sahabatku. Namanya Andre Mores, ia merupakan teman masa kecilku.
Sejak kecil, kita selalu bermain bersama. Ia memang tipe anak yang suka usil, tiada hari tanpa ia
tak menggangguku. Tapi ia juga sangat setia, saat aku ada masalah, ia pasti yang pertama akan
datang membantuku.
“Ahh kebiasaan kamu, Ndre. Bikin jantungan aja,” ucapku padanya.
“Hahaha, maaf sengaja,” ucapnya dengan nada mengejek,
“Tapi kenapa kamu, No?? Pagi-pagi gini dah loyo aja.” lanjutnya.
Sambil berjalan ke sekolah, akupun menceritakan semua mimpiku kepada Andre. Ia
memperhatikanku dan menyimak semua ceritaku dengan seksama. Akhirnya, sampailah kami di
kelas. Kami berada di kelas yang sama, bahkan kami juga berbagi meja. Saat dikelas, kami
masih melanjutkan pembicaraan tadi.
“Jadi aku ada di mimpimu dan mati?? Eh, aku matinya gimana tuh??” Tanya Andre
kepadaku.
“Seriusan ni, itu yang kamu tanyain Ndre!” Balasku dengan nada kesal.
“Yaa, namanya juga penasaran,” balasnya.
Kemudian ada dua anak perempuan menghampiri meja kami, mereka adalah Freya dan Felicia.
Sama seperti kami, mereka adalah teman sejak kecil. Kami bertemu mereka saat hari pertama
masuk sekolah ini. Dulu mereka sangat pendiam dan pemalu, mereka terlihat kesulitan ketika
pertama kali datang ke tempat baru. Jadi, kami dulu berinisiatif untuk berkenalan dan mengajak
mereka berteman. Sejak saat itu kami sering bertemu dan sekarang menjadi sahabat.
“Haloo, pagi Tino... Ngomongin apasih pagi-pagi gini? Kok kayaknya seru banget,” sapa
salah satu dari mereka kepada kami.
“Tino aja nih yang disapa, Fre??” Ujar Andre dengan nada sedikit kecewa.
“Eh iya, Pagi juga Andre,” sapa Freya kepada Andre,
“Hehe jangan marah dong, Ndre. Kelupaan tadi kamunya,” lanjutnya.
“Cukup tau sih, kalo ini mah dah terlanjur sakit hati akunya,” ujar Andre.
“Maaf yaa, Andre yang tampan gagah perkasa,” jawab Freya.
“Minimal kalo minta maaf traktir kantin sih biasanya,” balas lagi Andre.
“Yee, malah cari kesempatan dalam kesempitan,” ucap Freya dengan nada sedikit kesal.
Mereka berdua pun terus berseteru pada pagi yang seharusnya damai itu.
“Haduhh mereka ini, kebiasaan… Oiya, kalian tadi ngomongin apa, No?” Tanya Felicia
kepadaku.
“Oh iya, tadi pertanyaan ku tadi belum dijawab,” tambah Freya.
“Eh enggak, ini tadi cuma bahas mimpiku semalem aja kok,” balasku.
Aku pun mulai menceritakan semua yang ada di mimpiku kepada mereka. Hingga tak terasa bel
masuk jam pertama pun telah terdengar. Kami kembali ke bangku masing-masing dan
menyiapkan buku untuk memulai pelajaran. Pagi itu, semangat membuncah ketika pelajaran
pertama menghadirkan sejarah, mata pelajaran yang kusukai. Bagiku, sejarah bukan sekadar
rangkaian fakta kering, melainkan kisah-kisah penuh warna tentang masa lalu yang memikat
hati.

Kedatangan Ibu Syaja menghiasi ruang kelas, mengambil tempat di kursi pengajar. Beliau adalah
sosok guru yang dihormati dan disegani di kalangan murid. Tak heran, beliau menjadi favorit
bagi banyak murid, termasuk aku. Kesabaran adalah sifat yang melekat padanya, tak pernah
terdengar suara keras atau bentakan saat mengajar. Metodenya yang jelas dan lugas membuat
pelajaran mudah dipahami. Dan pengetahuannya yang luas, sungguh mengagumkan.

Aku tak henti memperhatikan setiap kata yang terucap dari bibirnya, membenamkan diri dalam
cerita-cerita masa lalu yang disampaikannya. Saat itu, dengan penuh perhatian, aku
mendengarkan penjelasan Ibu Syaja. Waktu berjalan begitu saja, dan kami sampai pada
pertengahan jam pelajaran. Di momen itu, Ibu Syaja mengulik tentang berbagai tragedi di masa
lalu, baik yang disebabkan oleh tangan manusia maupun ulah alam. Dia menguraikan kejadian-
kejadian seperti perang dunia, letusan gunung berapi terbesar, dan tragedi-tragedi lainnya.

Penasaran oleh kisah-kisah kelam yang disampaikan, aku akhirnya menemukan keberanian
untuk bertanya, mengangkat tangan dengan penuh keingintahuan.
"Bu, apakah tragedi di desa kita 50 tahun yang lalu juga termasuk?" Tanyaku, suara
bergetar sedikit oleh rasa ingin tahu.
Tiba-tiba, kesunyian merayap memenuhi kelas. Ibu Syaja terlihat bagity terkejut dengan
pertanyaanku dan teman-teman sekelas pun terdiam, suasana yang tadinya riuh kini berubah
menjadi hening.
"Iya, Tino, kamu benar. Itu salah satunya," jawab Ibu Syaja dengan cermat, wajahnya
mencerminkan keragu-raguan.
Antusiasme masih menyala di mataku saat aku menambahkan, "Bisakah Ibu ceritakan
lebih lanjut tentang kejadiannya?" Tanyaku.
Sejenak, Ibu Syaja terdiam. Terlihat ragu-ragu dalam menyusun kata-kata untuk menjawab
pertanyaanku.
"Dulu, No, desa ini jauh lebih besar dan indah daripada sekarang. Namun, suatu hari,
datanglah makhluk misterius dari tempat yang tidak diketahui. Makhluk itu meneror desa dengan
kekejaman yang tak terbayangkan. Membunuh, mengejar, bahkan memakan seluruh warga yang
ditemuinya. Desa pun menjadi hancur, dipenuhi dengan darah dan mayat. Para penduduk pun
melarikan diri, mengungsi dari teror yang mengerikan. Ketika mereka kembali beberapa bulan
kemudian, desa mereka hanya tinggal puing-puing. Tak seorang pun tahu ke mana makhluk itu
pergi. Maka dari itu, warga berusaha melupakan tragedi itu," penjelasan Ibu Syaja membuatku
terperangah.

Sunyi menyergap kelas. Ketakutan dan kesedihan terpancar dari wajah teman-temanku. Mereka
tidak menyadari bahwa desa tempat mereka tinggal pernah menjadi saksi kejadian mengerikan
itu.
"Aku minta maaf, Bu. Sudah mengingatkan Ibu tentang kejadian yang buruk," ucapku
penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, No. Seharusnya kalian mengetahui tentang hal ini," ucap Ibu Syaja
kepadaku.
Andre pun bertanya, "Bu.. Lalu berapa usia Ibu saat kejadian itu terjadi?"
"Seingatku, sekitar 10 tahunan. Mengapa, Andre?" Jawab Ibu Syaja.
"Beneran, Bu? Berarti sekarang Ibu berusia sekitar 60 tahunan, tapi Ibu tetap terlihat
cantik seperti dulu," goda Andre dengan manis kepada Ibu Syaja.
Serentak, aku dan semua teman-temanku tertawa terbahak-bahak dengan perkataan Andre.
“Aish bisa aja kamu Ndre.” Ucapku
“Cewe mana sih yang ngga kamu panggil cantik Ndre,” Saut Freya, “ Huu dasar buaya.”
Lanjutnya.
Bu Syaja pun tersenyum melihat kelakuanku muridnya.
“Wah kamu mau nilai berapa Ndre? 100 mau?!” Ucap Bu Syaja dengan nada bercanda.
“LOOO MANA BISA GITU BUUU??!!” Ucap kami yang tak terima akan hal itu.
Suasana kelas yang awalnya cukup suram pun kembali berseri, hingga tak terasa waktu istirahat
pun telah tiba. Aku menata buku-buku, serta alat tulisku ke dalam tas dan berencana untuk ke
kantin.
“Tino, kesini sebentar!!” Panggil Bu Syaja.
“Iya bu, ada apa ya?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Kalau kamu masih penasaran sama kejadian itu, kamu bisa cari buku di perpustakaan, dulu
kayaknya ada buku yang bahas kejadian itu,” ucap Bu Syaja.
“ WAHH BENERAN ADA BU?!, Baik bu nanti saya cari,” jawabku dengan penuh semangat.

Aku pun begegas pergi ke perpustakaan sekolah dan mencari buku yang dimaksud Bu Syaja tadi.
Disana tersusun rapi, ribuan buku di raknya. Kucari rak demi rak, tapi tak kunjung menemukan
buku yang dimaksudkan itu, hingga Bel masuk berbunyi. Mendengar Bel itu, kutata dan
kurapikan buku yang kuambil dengan segera. Namun, tidak sengaja malah kujatuhkan tumpukan
buku yang terlihat sangat usang. Takut akan hukuman jikalau sampai terlambat, akupun segera
merapikan buku-buku itu, hingga perhatianku tertuju pada salah satu buku yang berserakan
dilantai itu. Kulihat ada cover dengan gambar yang sangat familiar, yakni lukisan desaku.
Berbeda dengan buku-buku lain yang menggunakan mesin cetak, buku ini masih dibuat dengan
cara manual yang sangat khas. Rasa penasaran dan ketertarikan pada buku ini memuncak,
akupun memutuskan untuk meminjam dan membawa buku tersebut.

Saat dikelas, aku membaca lembaran-lembaran kertas itu. Buku itu membahas mengenai segala
hal tentang desa ini bahkan awal mula terbentuknya desa ini yang terjadi ratusan tahun lalu,
tokoh-tokoh , hingga segala budaya yang ada disini, semua ada di buku ini. Ditengah aku yang
terbawa oleh serunya cerita, ada sebuah pengumuman dari ketua kelas.
“Mohon perhatiannya teman teman, jadi ini ada pengumuman dari Walikelas kita bahwasanya
kelas kita akan diikutkan dalam outbond di gunung dekat desa kita, dan kegiatan ini akan
dilaksanakan 2 Minggu lagi.. Jadi bagi teman-teman yang sekiranya tidak bisa hadir mohon
segera mengkonfirmasi dan memberikan surat tertulis.” Ucap ketua kelasku dengan penuh
semangat.
“HOREEEEE!!!!” Teriak semua temanku dengan penuh rasa senang.
“Seru nih kayaknya, jarang jarang ada kegiatan kek gini, No kamu ikut kan?!” Tanya Andre
padaku.
“Pake nanyaa.. Ya pasti ikut lah Ndree,” jawabku dengan penuh semangat.
Kelaspun menjadi riuh tak terkontrol, waktu terasa lambat, semua orang terlalu bersemangat dan
tidak sabar menunggu 2 minggu lagi.

Berbanding terbalik dengan di kelas, saat dirumah suasana begitu tenang, aku pun melanjutkan
membaca buku yang ku pinjam dari perpustakaan tadi. Ku habiskan waktuku dengan duduk di
meja bacaku, dan terhanyut dalam keseruan buku itu. Hingga tak terasa hari sudah mulai gelap,
aku memang sudah selesai dalam membaca buku itu, namun aku masih penasaran dengan tragedi
50 tahun lalu. Dalam buku ini memang disebutkan tentang kejadian tersebut, namun ada
beberapa halaman dalam buku itu yang kosong. Tampak seperti tulisan yang luntur. Akupun
berencana untuk bertanya langsung kepada pembuat buku itu, yang mana nama dan alamat
penulis itu terletak di cover terakhir buku itu.

Keeseokan harinya setelah pulang sekolah, aku membulatkan tekad untuk mengunjungi rumah
penulis buku itu. Menurut bukunya, rumah beliau terletak di tepi hutan, jadi akupun sedikit takut
awalnya. Tapi perasaan penasaranku lebih besar dari rasa takutku, dengan penuh keberanian ku
jelajahi hutan itu dan akhirnya aku menemukan bangunan tua dengan kayu yang sudah lapuk,
tampak seperti rumah kosong yang tak terawat. Akupun mencoba mengetuk pintu yang sudah
lapuk itu.

“Halo permisii, apa ada orang di dalam?” ucapku dengan agak takut.
Setelah beberapa kali kupanggil, tak ada seorang pun menyaut. Akupun menyerah dan berencana
untuk pulang. Namun ketika akan pulang tiba-tiba terdengar suara seorang kakek memanggilku.

“Cari siapa kau nak?!” Ucap kakek itu dengan nada tinggi.
“Anu Kek, Aku sedang cari penulis buku ini.” Ucapku sambil menunjukkan bukuku.
“Wah itukan karyaku, darimana kau dapat buku itu, sini-sini masuk dulu kerumah.” Ucap kakek
itu dengan ramah.
Akupun mengikuti kakek itu dari belakang dan duduk di kursi tua yang ada di sana. Dan
berbincang-bincang tentang bagaimana bisa kudapat buku itu.
“Jadi gini kek, sebenarnya aku kesini untuk cari tau tentang tragedi 50 tahun lalu di desa ini. apa
kakek tau mengenai kejadian itu?” Ucapku.
Sang kakek pun terdiam sejenak, lalu berkata “Emang kenapa kamu pengen tau tragedi itu
hah??”
“Aku itu cuma penasaran kek, soalnya aku juga mimpi kejadian yang mirip sama kejadian itu,”
ucapku.
Aku pun mulai membujuk kakek itu agar mau menceritakan mengenai kejadian itu. Dan
akhirnya kakek pun luluh dengan permintaanku.
“Iya iya, kakek ceritain, tapi kamu sekarang pulang dulu, sekarang udah mulai gelap,besok
kesini lagi!” Ujar kakek padaku.
“Horee asyikkk.. yauda kek, aku pulang dulu ya, inget ya janjinya besok,” Ucapku dengan
kegirangan.
Akupun segera kembali kerumah, dengan perasaan tak sabar menunggu besok.

Hingga keesokan harinya pun tiba, setelah pulang sekolah aku berkunjung kerumah kakek itu.
Sesuai janjinya, Sang kakek pun menceritakan tentang seluruh kejadian itu. Aku yang
mendengarnya ikut terenyuh, aku seperti merasakan bagaimana takutnya dan gentingnya
kejadian itu. Aku sangat menyukai kakek itu, beliau menjelaskan dengan sangat rinci dan detail,
beliau juga sabar dalam menanggapi seluruh pertanyaanku. Tak hanya sekali aku berkunjung
kerumahnya, setiap hari aku pun berkunjung kerumahnya, disana aku tak hanya mendengar
cerita dari beliau saja, aku ikut membantu pekerjaannya, memasak untuknya dan banyak lainnya.
Hingga tak terasa 2 Minggu hampir berlalu.

Sehari sebelum outbound, setelah pulang sekolah aku pun mencari perlengkapan yang diperlukan
untuk besok. Lalu setelah selesai dengan segala persiapan, aku baru berkunjung ke rumah kakek,
meskipun sudah hampir gelap.
“Halo kek… aku masuk yaa,” ucapku sambil membuka pintu.
“Eh ternyata kau toh, iya masuk aja, tumben jam segini baru kesini?” Tanya kakek padaku.
“ Eh iya kek, ini tadi nyiapin bekal buat besok, mau ada kegiatan sekolah,” balasku, “Oiya besok
aku juga ngga kesini dulu ya kek,” lanjutku.
“Yaa syukurlah kalau kamu ngga kesini, jadi ngga ngerepotin lagi,” ucap kakek dengan nada
mengejek.
“Yah kakek mah gitu, padahal aslinya suka kan kalo aku kesini,” balasku pada ejekan kakek.
Tiba-tiba sebelum aku pulang, kakek itu pun memberikan sebuah buku berjudul ‘Catastrophe’
kepadaku. Kakek bilang untuk jangan membukanya dulu dan memintaku untuk selalu
membawanya kemanapun. Akupun menahan rasa penasaranku, dan menunggu sampai di rumah
untuk membukanya.

Namun saat kubuka buku itu, akupun terkejut, kukiran buku itu akan penuh dengan kumpulan
kata berwarna hitam, namun yang kulihat hanya lah lembaran lembaran kosong tanpa noda. Aku
bertanya-tanya apa yang dimaksud kakek itu.
“Apakah kakek salah mengambil buku??” pikirku dalam hati.
“Yauda deh, kalo kesana ta tanyain aja deh.” gumamku sambil memancal selimut.
Akupun segera terlelap, tak sabar untuk menunggu outbond besok.

Pada pagi hari, semangatku memuncak. Tak sabar rasanya ingin segera pergi. Aku bersama
teman-teman sekelasku berkumpul di sekolah terlebih dahulu. Kami akan segera berangkat
menuju ke pegunungan di dekat desa kami. Jaraknya tak terlalu jauh, tapi medan ke sana lah
yang sangat sulit. Kami tak bisa menggunakan kendaraan untuk sampai ke tujuan. Tapi hal itulah
yang membuat kami bersemangat, Semakin terjal jalanannya, semakin seru petualangan kami.
Tapi kata orang-orang, keindahan dari pegunungan itu tak ada duanya. Katanya, pegunungan itu
bagaikan tempat-tempat di dongeng fiksi. Karena rumor itulah, aku sangat ingin pergi ke
pegunungan itu. Meski cukup dekat, aku belum pernah pergi ke pegunungan itu karena
medannya yang susah ini. Bagiku ini adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan.

Setelah berjuang selama 5 jam, kami pun sampai di pegunungan itu. Memang benar rumor itu,
tempat ini bagaikan berbeda dimensi dengan dunia ini, sungguh tempat yang sangat indah, aku
hanya bisa terkagum dengan keindahan pemandangan disana. Apalagi suasana sore harinya,
sungguh mirip dengan dunia fantasi di film-film.
Matahari mulai menghilang, dan langitpun menjadi gelap. Kami pun segera mendirikan tenda
dan menyalakan api unggun. Malamnya, kami pun tidur di tenda masing masing. Saat aku sudah
mulai terlelap, tiba-tiba ada yang menggoyang tendaku. Akupun segera keluar untuk memeriksa,
ternyata mereka adalah teman-temanku yang ingin mengajakku untuk mencari air di sungai.

“No, temani kami cari air yuk,” ucap Wilton, salah seorang temanku
“Haduhh... Kirain apaan goyang-goyang tendaku,” ucapku dengan perasaan lega, “Yaudah
ayoo,” Imbuhku.

Kami berlima pun segera pergi ke sungai untuk mengambil air. Air di sungai ini sangatlah segar
karena dekat dengan mata air, jadi akan aman jika diminum langsung.
“Tuh udah keliatan sungainya, ayo cepetan kesana!” Ucapku kepada yang lain.
“Ngapain buru buru, santai aja No, kita nikmatin pemandangan sungainya.. Mending kita lihat
air terjun disana aja.”Ajak Wilton kepada teman-temannya.
“Wah ide bagus tu, ayo kesana!!” Ucap lainnya.

Akupun tak bisa melarang mereka yang ingin bermain, aku hanya terus melanjutkan
mengumpulkan air untuk dibawa ke tenda. Tiba tiba terdengar suara BRUKKK..
“Suara apa tuh?!” Ucapku dengan ekspresi kaget.
Akupun langsung menuju ke asal suara dan melihat pohon jatuh dari air terjun dan membelah air
menjadi dua bagian.
“Loh kenapa ini?!” Tanyaku pada teman-temanku.
“Hehe maaf, kami tadi main main sama pohon ini, eh ternyata udah ngga kuat dan akhirnya
jatuh,” ucap mereka sambil tersenyum.
“Haduhh kan tadi udah dibilangin sama pak guru, jangan aneh-aneh disini,” ucapku.
“Hehe iya iya, maaf-maaf,” ucap mereka.
“Yauda ayo kita cepet balik, keburu dicariin nanti,” Ucapku sambil bergegas kembali.

Namun saat ku menoleh kebelakang, kulihat muncratan darah di mana mana, kepala salah
seorang temanku sudah terpisah dari kepalanya.
“AAAAAAAA…” Teriak kami melihat mayat salah seorang dari kami.
“N-n-no, li-li-lihat dibelakangmu,” ucap Wilton gemetar ketakutan.
Kutoleh kebelakang dengan hati hati, dan.. kulihat sosok hitam yang amat besar, aku seperti
pernah melihat makhluk itu.
“WAAAA LARIIII!!” Ucapku sambil berlari terbirit-birit.
Makhluk itu mengejar kami dengan sangat cepat, kami hanya bisa berlari dengan berharap bisa
selamat. Namun satu demi satu dari kami tertangkap dan dimakan olehnya. Sungguh makhluk
yang sangat amat kejam. Kami terus berlari di tengah gemerlap malam, hingga sampai di tepi
sungai.
“G-g-gimana ni no??” Tanya wilton padaku dengan gemetar.
“Kita harus segera cari tempat yang am-” sebelum aku menyelesaikan ucapanku dipotong oleh
Wilton.
“Awas noooo!!, makhluk itu di belakangmu,” teriaknya dengan sangat keras sambil
mendorongku ke arah sungai.

Saat terdorong, pandangan ku masih mengarah ke Wilton yang tergigit oleh makhluk itu,
rahangnya kuatnya membuat tubuh temanku terbelah menjadi dua. Akupun berteriak, menangis,
dan langsung mengambil kayu yang mengapung di sungai itu.
“MAJU SINI KAU MAKHLUK KEJII!!” Teriakku sambil mengarahkan kayu ke arah monster
itu.
Teriakku dengan penuh emosi, aku sudah tak tahu apa yang akan terjadi padaku. Aku sudah
membulatkan tekad untuk membalas dendam teman-temanku. Namun, monster itu bukannya
menyerang, ia malah pergi meninggalkan tantanganku. Akupun merasa keheranan dan tidak
percaya terhadap apa yang makhluk itu lakukan.
“Hah?! Kenapa dia pergi??” Aku yang bertanya-tanya, “ Tapi itu tidak penting, sekarang aku
harus memberitahu yang lain.” lanjutku sambil berlari menuju tenda.

Namun saat aku sampai di perkemahan, kulihat darah dimana-mana, banyak tenda yang rusak,
hingga mayat dengan anggota tubuh yang tak lengkap. Seketika akupun terdiam.. Derasnya air
mata tak bisa kutahan. Ini pemandangan yang sangat familiar bagiku, mirip dengan mimpiku.
Yang awalnya kukira ini merupakan petualangan penuh sukacita, berakhir tragis seperti ini.
Namun, kupikir aku tak bisa terus terusan seperti ini, ku langsung mencari korban yang masih
bisa untuk ku tolong. Tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggilku.

“No, itu kamu ya?” Ucap guruku dengan penuh darah di tubuhnya.
“Wah pak guru masih hidup, benar pak ini Tino, tunggu pak.. Tino bakal selamatin bapak,”
ucapku dengan panik dan berlinang air mata.
“Bapak ngga akan lama, percuma juga usaha kamu, mending sekarang kamu cepet selamatin
diri. dari sini uhuk.. uhukk...” Ucap pak guru sambil muntah darah.
“Pakk.. jangan ngomong gitu,” ucapku dengan perasaan sedih.
“Oh iya, sepertinya monster itu punya luka di p-” sebelum menyelesaikan ucapannya, maut telah
memanggilnya.

Saat ku telusuri sekitar aku hanya melihat beberapa mayat saja, selain pak guru ada 3 mayat
lainnya. Akupun sedikit lega, karena teman temanku yang lain berarti masih memiliki
kemungkinan untuk hidup. Akupun sudah membulatkan tekad untuk membunuh monster itu, aku
mengambil tasku,beberapa pisau, makanan dan minuman. Kemudian, akupun mulai mencari
keberadaan monster itu, saat kuteluauri jejaknya, setiap jalur yang dilewati sangat berantakan.
Penuh dengan darah, dan beberapa mayat dari teman temanku. Setiap langkahku hatiku bagaikan
teriris melihat teman yang bisanya bercanda gurau denganku, harus bernasib seperti ini.
Perasaanku dendam ku pun juga semakin meningkat, langkah demi langkahku semakin bulad
tekadku untuk membunuh makhluk itu.

Langkah demi langkah kutapak di lautan darah itu, sinar rembulan menyinari jalanku. Hingga
kudengar jeritan tolong dengan penuh ketakutan menggema. Kuberlari secepat angin menuju asal
suara, disana kulihat pemandangan yang sama dengan tempat lain, penuh dengan darah dan
mayat. Namun, kulihat ada tiga anak yang masih berjuang melawan makhlu itu, mereka adalah
Andre, Freya, dan Felicia, mereka adalah ketiga sahabatku.
“JANGAN KAU BERANI SENTUH SAHABATKUU..” Teriakku dengan melempar batu
sekuat tenaga.
Batu itu tepat mendarat di kepalanya, ia langsung mengubah targetnya menjadi diriku. Namun,
ketakutanku padanya telah hilang bak ditiup angin. Akupun bisa menghindari terkaannya dengan
begitu mudah. Kemudian, aku bersama ketiga temanku lari menjauh dari monster itu. Kami pun
berhenti sejenak di bawah pohon besar.
“Kalian gapapa?” Tanyaku pada ketiga temanku itu.
“Iya,kami gapapa, tapi temen-temen yang lain...” jawab Andre dengan raut wajah sedih.
“Iya aku tahu, berat rasanya.. tapi kita harus bisa bertahan dan pulang dengan selamat,” ucapku
untuk memotivasi mereka.
“Jalan pulangnya kita harus pergi ke arah barat terus, kalian akan sampai ke tenda, kemudian
kalian hanya harus mengikuti jalan setapak disana,” ucapku sambil memberi mereka minum.
“Kalian?? emangnya kamu ngga ikut?” Saut Andre.
“Aku akan memancing makhluk itu dulu ke arah sebaliknya, lalu-” Jelasku pada Andre, tapi
sebelum aku menyelesaikan penjelasanku, Ia memegang kerahku.
“Apa maksudnya?! Mau jadi pahlawan kamu??!Gausah sok sokan lah ya!” Ucapnya sambil
menarik kerahku, “Saat kupukul tadi, badan nya sungguh keras, sekeras batu, apalagi ia punya
taring yang bisa potong pohon sekali tebas, Jadi kamu ga mungkin bisa ngelawannya,
iImbuhnya.
“Iyaa, aku tau, tapi hanya ini satu-satunya cara dengan korban paling sedikit,” ucapku sambil
melepas cengkraman Andre.
“Gabisa, mending aku aja yang jadi pancingan, kamu yang mandu mereka, soalnya kamu kan
yang lebih tahu jalan,” ucap Andre sambil menepuk bahuku.
“Tapi aku lebih paham tentang monster itu, aku juga pernah selamat darinya sekali,” ucapku
yang berusaha meyakinkan Andre.

Kami pun berdebat dengan intens tanpa membuahkan keputusan. Tiba tiba terdengar suara
langkah kaki yang datang.
“Hushhh… Monsternya ada didekat sini,” ucapku dengan lirih.
“Kita harus pergi dari sini!” Ucapku sambil berjalan perlahan.
Kami pun dapat menjauh dari monster itu tanpa ketahuan.
“Sepertinya dugaanku benar, Monster itu memiliki kecerdasan dan indra yang rendah,” jelasku
pada ketiga sahabatku, “Aku ada sebuah rencana yang harus dicoba, jika teoriku benar, harusnya
kita semua bisa selamat,” lanjutku.
Akupun menjelaskan seluruh rencanaku kepada mereka, pada awalnya mereka tampak ragu, tapi
pada akhirnya semua setuju.
“Baik, ini patut dicoba,” ujar Andre
“Yaa, aku juga setuju,” tiimpal Freya dan Felicia.

Kami pun mencari lokasi monster itu dan menjalankan rencana tadi.
“Haha ketemu kau monster jelek.., SINI KAU KALAU BERANI” Teriakku dengan lemparan
batu pada monster itu.
Monster itu dengan sekejap berlari ke arahku. Akupun langsung bersembunyi di balik semak dan
pepohonan yang begitu lebat.
Kemudian Andre, Freya, dan Felicia juga melakukan hal yang sama, ketika monster sudah
menuju tempat mereka, mereka akan bersembunyi. Dan ternyata cara ini sangat efisien, semakin
lama pergerakannya semakin lambat, teoriku benar bahwa monster ini memiliki stamina yang
rendah. Sebenarnya aku tidak hanya asal berteori, aku menganalisa dari kejadian kejadian yang
telah berlalu. Monster ini ada dalang dibalik kejadian 50 tahun lalu dan juga pembantaian di
perkemahan malam ini, persamaan dari keduanya adalah banyak korban yang bisa melarikan diri
darinya, padahal ia memiliki pergerakan yang cepat. Dari situlah aku berteori bahwa ia memiliki
stamina yang rendah. Dengan rencana ini aku berharap ia akan kehabisan stamina sehingga tak
bisa mengejar kami. Ada alasan mengapa kami tidak melarikan diri dengan diam-diam, karena
wilayah perkemahan hingga kebawah itu tidak memiliki banyak pepohonan, jadi akan sangat
berbahaya jika kita ketahuan saat melalui jalur tersebut.

Akhirnya, monster itu benar benar tak bergerak. Kami pun segera berlari menuju arah barat
untuk menuju arah pulang.Ditengah perjalanan, aku mendengar auman yang sangat keras.
Mendengarnya, kami merinding dan kaget, bagaimana ia bisa bangun begitu cepat. Akupun
mulai berpikir, bagaimana caranya dia bisa mengejar seluruh mangsanya yang melarikan diri,
padahal jumlah kami ada 40-an lebih. Apakah teoriku salah?. Setelah kupikir, jika ia memiliki
kelemahan se-fatal itu, bagaimana ia bisa menghancurkan desa besar sendirian. Akupun merasa
bahwa ia memiliki cara untuk mengatasi kelemahannya itu.
“Maaf teman-teman seperti teoriku tak sepenuhnya benar, sepertinya ia memiliki cara untuk
mengatasi kelemahannya,” Jelasku kepada teman-temanku.
“Sudah gausah dipikir, mending kita segera pergi dari sini,” Ucap Freya sambil
menyemangatiku.
“Tidak, itu sulit untuk dilakukan, dibawah sana sangat minim tempat sembunyi, kita tak akan
bisa selamat jika membiarkan makhluk itu mengejar,” Jelasku, “Biar aku yang memancingnya,
sesuai rencana awal,” Lanjutku.
“Gabisa, aku ga setu-” Ucap Andre yang membantahku.
“CUKUP NDRE, kali ini aja percaya padaku,” sautku
“Tapi.. Ah yaudah,kamu janji harus pulang ya, tunggu nanti ku balik lagi,” jawab Andre
“Pastinya dong, tenang aja Ndre,” ucapku pada Andre.
Kami pun berpisah, aku berencana untuk mengalihkan monster itu dari mereka.
“Woi, Kita ketemu lagi nih, masa daritadi ga kena kena sih,” ucapku pada monster itu sambil
berlari ke arah hutan.

Monster itu pun mengejarku dengan kecepatan penuh, jauh lebih cepat daripada sebelum.
Memang benar ia dapat mengisi staminanya dengan sangat cepat. Akupun terus menghindar dari
berbagai terkamannya. Pikirku saat itu, hanya untuk mengulur waktu selama-lamanya. Kusudah
hampir mencapai batasku, dikejar monster ini dengan stamina penuh sangat melelahkan. Hingga
akhirnya serangannya pun berhasil mengenaiku. Ia memukulku hingga aku terpental sejauh 5
meter, sungguh bagai tertabrak mobil rasanya. Namun saat aku, terbaring ia tak langsung
menyerangku, ia bagaikan waspada terhadapku. Aku mulai menyadari bahwa monster itupun
juga seperti terluka, setiap langkahnya ia bagaikan meninggalkan tetesan hitam. Luka yang ia
alami bagaikan terkena lelehan sesuatu. Akupun mulai terpikirkan akan kejadian di sungai
beberapa waktu lalu.

Saat mataku memandang ke dalam kegelapan, pikiranku melayang pada kemungkinan yang
menipu: tak mungkin monster itu tak memiliki celah. Di balik rahasia yang tersembunyi, pastilah
ada cara untuk menaklukkannya. Aku mulai terpikirkan suatu cara,ku bangkit dan meraih
sebatang kayu yang ada di sampingku. Dengan penuh keberanian ku melompat ke arah monster
itu.
“HYAAA...” Teriakku dengan menusukkan kayu ke monster itu.
Namun monster itu.. bagai tak merasakan apa apa, ia membuka mulutnya lebar-lebar di depan
wajahku, dalam hitungan detik hidupku sudah akan berakhir. Tapi bukan itu akhir rencanaku, ku
ambil air di tasku dan menuangkan kemulut monster itu. Dan… Berhasil.. Ternyata monster itu
memiliki kelemahan terhadap air.
“ARRRGGGGG!” Jeritannya menggema, teriakan kehancuran yang meluluhlantakkan
keheningan malam. Tubuhnya mulai mencair, merayap ke arah kekalahan yang tak terbantahkan.
“Mati kau, monster yang sialan.” Bisikku, penuh dengan dendam yang membara di dalam hatiku.

Jeritannya melaju ke angkasa, mengirimkan getaran ketakutan ke jantung malam yang gelap.
Monster itu meleleh, bagaikan patung lilin yang terkena panas api. Dugaanku benar, kelemahan
monster ini adalah air, itulah mengapa ia tak membunuhku saat itu.Belum sempat merayakan
kemenangan ini, aku sekarang di ambang kelelahan yang menghampiri, merasakan pintu
kesadaran yang semakin merapat. Sebelum kehilangan kesadaran, mataku terakhir kali
menangkap lelehan monster yang tersedot masuk ke dalam tasku, lebih tepatnya ke dalam
bukuku.

Kedua matanya, penuh dengan air mata kelegaan, menatapku dengan penuh kasih. Begitu aku
membuka mata, pelukannya memelukku erat, seolah tidak ingin melepaskan lagi. Aku
merasakan getaran kehangatan dari belaian tangannya, getaran yang menyiratkan rasa syukur
yang begitu dalam, begitu murni.
Dalam dadanya, terdengar getaran-getaran kebahagiaan yang terlukis dalam isak tangisnya. Ia
menangis bukan karena kelemahan, melainkan karena kekuatan cinta yang tak terhingga. Dia
bersyukur, sungguh bersyukur bahwa aku masih ada, masih bersamanya di dunia ini, melangkah
bersamanya dalam cakrawala hidup yang terbentang di hadapannya. Lewat pelukan dan isak
tangisnya, aku merasakan sentuhan kasih yang tiada tara. Dan di situlah, di dalam ruang
kebersamaan itu, aku merasakan bahwa aku bukanlah seorang diri. Aku memiliki ibu yang akan
selalu berada di sisiku, menuntunku melewati badai, dan merayakan setiap matahari yang terbit
dalam hidupku.

Beberapa hari setelah kembali ke kesadaran, aku merenungi peristiwa yang mengubah hidupku.
Dalam kesepiannya, aku meraih buku-buku yang telah lama terabaikan, di antaranya adalah buku
yang pernah diberikan oleh kakek itu. Dan kagetnya aku, saat kubuka lembaran buku itu, buku
yang awalnya kosong kini menjadi penuh dengan cerita. Isi buku ini adalah tentang monster
yang kulawan waktu itu. Ternyata monster itu berasal dari buku ini, tak tahu bagaimana ia bisa
keluar dan nama dari monster itu adalah ‘Catastrophe’.

Anda mungkin juga menyukai