Abstract
ICT policy relates deeply with power relations for its ability to create new spaces and to
change the relation between actors within. Therefore, being suspicious towards the policy
is a must as the changes in policy do not occur in vacuum. This article tries to scrutiny
the government’s policy on ICT and what implications of the policy on power relation lies
beneath. Using Foucault’s approach of genealogy and archeology, this articles tries to
trace the episteme, discourses and practices of power holders. This article, for instance,
identifies that the New Order’s policy on ICT was trapped into ‘blind’ liberalism that
put citizens as customers instead of the real citizen. This shows us that ICT policy is
still being used as an instrument for controlling and disciplinizing the citizen rather than
for improving the quality of democracy.
1 Pidato ini disampaikan dalam sambutan Overseas Private Invesment Corporation (OPIC)
Jakarta, 4 Mei 2011. DetikNews, SBY Bangga Pengguna Twitter RI Terbesar Ketiga Dunia, dapat
dilihat di http://news.detik.com/read/2011/05/04/135420/1632209/10/sby-banggapengguna-
twitter-ri-terbesar-ketiga-dunia, diunduh Senin, 16 Desember 2013, pukul 07.30 WIB.
Pendahuluan
Pernyataan di atas adalah ekspresi kebanggaan seorang Presiden karena
telah menjadi bagian dari negara-negara yang ikut menikmati perayaan kemajuan
teknologi. Sebuah gambaran jika selalu update dalam akses teknologi terbaru,
maka seolah memperoleh ‘token of membership’ yang menjadi bagian dari kelas elit
tertentu. Pernyataan ini muncul begitu saja, bahwa banyaknya warga negara yang
menjadi pengguna Facebook dan Twitter adalah prestasi tersendiri, terlepas
angka ICT Development Index (IDI) Indonesia di peringkat 101, ICT Price Basket
(IPB) dipertingkat 105, dibawah Malaysia, Thailand bahkan Vietnam. 2 Satu pesan
penting dari peristiwa kecil ini, bahwa menjadi bagian dari perayaan kemajuan
teknologi menggambarkan optimisme bahwa teknologi adalah sebuah keharusan
dalam mencapai kemajuan. Hal ini mendorong kesimpulan bahwa dalam benak
pengucap (Presiden) sedang terjadi euforia terhadap teknologi, (yang sayangnya)
sama sekali tidak muncul kecurigaan adanya kemungkinan perubahan relasi
kekuasaan baru. Antisipasi kemungkinan paling kritis dari pernyataan ini
hanyalah sebatas kekhawatiran penyalahgunaan teknologi terhadap kekuasaan.
Padahal sejarah pernah bercerita lain, bahwa temuan teknologi sekecil
apapun membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan relasi
kehidupan manusia. Kambing hitam kolonialisme di abad ke-15 misalnya,
mestinya tidak hanya ditimpakan kepada penjelajah Columbus yang dianggap
menginspirasi kolonialisme. Kesalahan juga harus dibebankan kepada biarawan
Roger Bacon yang menemukan kaca pembesar. Karena dengan ditemukannya
kaca pembesar, maka akan memberikan kemudahan penemu-penemu lain untuk
membuat alat-alat yang lebih detil dan lebih canggih lainnya, seperti alat navigasi
(kompas), pemetaan, survavilitas, teknologi perkapalan dan semacamnya. Pada
titik ini, jikapun Columbus tidak pernah dilahirkan ke dunia sekalipun, maka akan
Nalar Pasca Orde Baru dapat dipetakan kedalam 3 irisan episteme, yaitu :
Pertama, nalar liberalisme sebagai episteme baru. Euforia demokrasi setelah
runtuhnya Orde Baru menjadikan Indonesia ladang yang paling subur bagi
Dari pilihan kebijakan itu, pertanyaannya adalah apa yang menjadi batasan
(delimit) pemikiran dalam melahirkan kebijakan Palapa Ring? Sepertinya, ada
kesadaran yang terbentuk bahwa persoalan teknologi komunikasi adalah
persoalan ekonomi belaka, yang dikaitkan dengan jumlah individu sebagai jumlah
kepala perorang. Sehingga, kemudian proses pembangunan infrastruktur
backbone dilakukan atas pertimbangan banyaknya individu yang akan
5 Perhatikan wacana-wacana Good Governance Bappenas yang merujuk pada UNDP, World
6 http://www.investor.co.id/home/mayoritas-pelaku-e-commerce-belum-terdaftarwajib-
pajak/68606.
7 Inilah Cara Kemkominfo Cegah Penipuan SMS, Jumat, 01 Juni 2012 16:23 dapat diakses di
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/2014/Inilah+Cara+Kemkominfo+Cegah+Pe
nipuan+SMS/0/sorotan_media#.Ur_KLPvpx-8.
8 http://pegi.layanan.go.id/tentang-pegi/dimensi-pemeringkatan-e-governmentindonesia/.
Penutup
Uraian-uraian diatas tidak untuk menjelaskan mana yang benar dan mana
yang salah, namun tentang tindakan mana yang memiliki fungsi dan mana yang
tidak. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa logika pemikiran dari
pembuatan kebijakan ICT di Indonesia masih terbelenggu pada nalar
konvensional, dan masih sulit membayangkan atau memaknai teknologi sebagai
ruang baru. Akhirnya, ketakutan untuk memberi makna baru terhadap teknologi
inilah yang kemudian justru menyandarkan diri pada definisi-definisi
negaranegara yang memproduksi instrumen teknologi, yang praktiknya lebih
menyimpang lagi dengan nalar kekuasaan yang lokal. Disinilah dapat dipahami
bagaimana bekerjanya pengetahuan dalam melakukan kontrol dan kedisiplinan
yang memfokuskan fokus pada pemikiran tertentu daripada yang lain.
Entah disadari atau tidak, kebijakan negara kemudian banyak yang
mendistorsi bukan hanya masyarakat, namun juga dirinya sendiri. Pada konteks
ini misalnya adalah nalar liberal yang dipakai, di satu sisi bisa mendestruksi
gerakan masyarakat sipil, namun tanpa disadari justru juga mendistorsi legitimasi
dan kekuasaan negara. Dari refleksi ini, penting untuk tidak dalam konteks
melawan liberalisme sebagai sebuah wacana kebijakan, namun kesadaran bahwa
jika pilihan kita adalah liberal maka diperlukan kesadaran akan konsekuensinya.
Artinya, jika mau jadi liberal jadilah liberalis yang cerdas, dimana yang dibutuhkan
adalah kesadaran membangun strategi dalam mencapai tujuan bukan konsistensi
Aspinall, E., & Klinken, G. V. (2011). The State and Illegality in Indonesia. Leiden:
KITLV Press.
Beck, U. (1992). Risk Society: Toward a New Modernity. London: Sage .
Beck, U. (1992). Risk Society: Towards a New Modernity. New Delhi: Sage.
Beck, U. (1994). The Reinvention of Politics: Towards a Theory of Reflexive
Modernization. In U. Beck, A. Giddens, & S. Lash, Reflexive Modernization:
Politics, Tradition, Aesthetics in the Modern Social Order. Cambridge: Polity
Press.
Beck, U., Giddens, A., & Lash, S. (1994). Reflexive Modernization: Politics, Tradition,
Aesthetics in the Modern Social Order. Cambridge: Polity Press.
Chini, I. (2010). Governmentality and the information society: ICT policy practices in Greece
under the influence of the European Union. London: Thesis of Department of
Management of the London School of Economics for the degree of
Doctor of Philosophy ,.
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Dye, T. R. (1992). Understanding Public Policy. 7th ed. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York:
Vintage Books.
Foucault, M. (1991). Governmentality. In G. B. al., The Foucault Effect: Studies in
Govermentality. Harvester: Hemel Hempstead.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected interviews and other writings 1972- 1977.
New York: Pantheon Books.
Foucault, M. (1972). The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New
York: Panthenon Books.
Foucault, M. (1994). The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences.