Novel Haifa
Novel Haifa
Kelas:MIPA 5
Poetra pertiwi.
Laut. Sepanjang batas pandangan, warna biru itu seakan bercerita bahwa dirinya
terasa asin. Mungkin hal yang sama akan melintas di pikiran orang orang yang melihatku.
"Arum pertiwi, sepanjang sudut wajahmu, raut itu seakan bercerita bahwa dirinya merasa
hampa"
20 tahun lalu, seorang sinyo lahir dari rahim wanita berstatus nyai yang kabur dari
tuannya. Keputusan berat ini ia ambil karna tidak sudi membayangkan anaknya merendah
rendahkan saudara sebangsanya. Untuk bisa kabur dari cengkraman tuannya, ia harus
menjadi penumpang gelap sebuah kapal nelayan besar yang mengangkut ribuan bangkai ikan.
Setelah sampai di pelabuhan, dia harus berjalan berjam jam mencari tempat tersembunyi di
sisi hutan dengan kaki bengkak dan perut yang besar.
Harapannya mulai padam, tenggorokannya terasa kering dan terbakar oleh dahaga.
Dengan sedikit tenaga yang tersisa, ia membaringkan tubuhnya agar tidak terjatuh dalam
keadaan tengkurap. Kesadarannya menipis, ia bergumam "tuhan, selamatkan anakku" dan
jatuh pingsan setelahnya.
“Namaku pertiwi” Aku mengingat dengan baik. Saat itu, aku menjawabnya dengan
nada sangat letih seakan aku adalah tentara yang baru saja pulang dari medan perang.
Benar, aku adalah sang “nyai” yang dimaksud. Dikarenakan lingkungan pengungsian yang
sangat beresiko, aku dipindahkan ke desa pribumi terdekat.
Hari itu, tubuhku terasa tercabik menjadi dua. Proses persalinanku berlangsung
kurang lebih 5 jam. Pada awalnya, seluruh wanita di desa bersemangat menyambut anggota
baru di desa ini. Namun ketika putra ku lahir, raut wajah mereka berubah masam. Aku
dengan mimik takut dan suara gemetar bertanya “apa bayiku baik baik saja?”.
Tidak sempat seorang pun menjawab pertanyaanku, pintu dibuka secara kasar oleh
seorang prajurit. “PENGHIANAT, BERANINYA KAU MEMBAWA DARAH KOTOR
PENJAJAH DISINI?” teriaknya dengan amarah yang menggebu gebu.
Seiring bergantinya hari, keadaan semakin mengkeruh. Warga desa terbelah menjadi
dua kubu. Kubu pertama yang kebanyakan terdiri dari wanita, membelaku dengan anggapan
bahwa aku hanya korban dari praktik gundik yang tidak manusiawi. Sementara kubu kedua,
mendesakku untuk pergi, atau setidaknya diasingkan dari masyarakat. Pada akhirnya, kepala
desa beserta istrinya memanggilku untuk memberi keputusan.
Aku, diasingkan oleh bangsaku sendiri. Mereka memindahkanku di rumah tua dekat
pantai. Namun aku cukup bersyukur karna diberi seekor kambing betina dan sepitak kebun
untuk bertahan hidup. Terlebih lagi hobi lamaku yaitu membaca, membuatku mendapatkan
matapencaharian tetap sebagai tabib dan guru. Tahun pertama kelahiran putraku menjadi hari
hari yang sangat sulit dilalui. Aku harus melakukan pekerjaan berat seperti membenahi
rumah, mencari nafkah sembari merawat putraku dengan tatapan diskriminasi oleh
masyarakat. Terkadang karna tak tahan dengan makian warga desa, aku pergi ke desa besar
yang berjarak sangat jauh dari rumah.
Ketika berakhirnya hari, wajah tertidur putraku menjadi pelipur lara untukku. Janaka
poetra pertiwi, nama itulah yang aku pilih untuk dirinya. Janaka, nama lain dari arjuna yang
merupakan seseorang dengan paras cantik namun berkekuatan setara dengan 10 kesatria.
“temukan aku dulu bu, baru kita makan bersama” ujar janaka kecil berusia lima tahun.
Duk,, duk,,duk. Dengan wajah memerah karna kesal, ia berlari kecil menghampiriku
sambil berkata “sudah bu, ibu yang menang.”
Ketika usia janaka 7 tahun, kami pindah di daerah kota dengan menjual satu satunya
kambing yang kami miliki. Hal pertama yang aku lakukan setibanya di kota adalah mencari
sekolah untuk janaka. Aku benar benar harus membuang harga diriku ketika
mendaftarkannya bersekolah. Agar tidak dipandang sebagai putra seorang nyai, aku
berbohong bahwa dia anak bernama john yang merupakan putra tuan tanah yang selamat
ketika inlander melakukan perlawanan balik.
Hari ini merupakan hari pertama janaka bersekolah. Aku sengaja hendak memasak
makanan kesukaannya untuk menyambutnya sepulang sekolah. Sepulangnya aku dari pasar,
aku dikejutkan dengan sepasang sandal janaka yang sudah berada di depan pintu rumah.
“jon, sudah pulang? Maaf, ibu belum sempat memasak. Tunggu sebentar ya le”
“Hiks,, hiks.” Akupun dengan panik menghampiri suara tangisan tersebut. Betapa
terkejutnya diriku melihat janaka dipenuhi dengan noda arang sedamg duduk terisak isak.
“ibu, orang orang memanggilku sinyo ibu. Aku tidak mau, aku ini bumipoetra” kata
janaka terbarta bata.
Dadaku terasa sesak mendengarnya. Lidahku kelu menghadapi situasi ini, fakta
bahwa kami tidak diterima kedua masyarakat adalah hal yang tidak dapat kubantah. Aku
hanya memeluk putraku dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
Keesokan harinya aku memutuskan untuk mengantar dan menjemput janaka setiap
pulang sekolah. Tanpa kusadari, aku telah mengambil keputusan yang akan aku sesali sumur
hidupku.
“Well..well, siapa sangka aku akan bertemu dengan nyai lancangku disini.” Ucap
seseorang dari belakang.
Aku terkejut bukan main, bertemu ayah janaka adalah kemungkinan paling buruk saat
memutuskan merantau ke kota. Dan hal itu, benar benar terjadi. Bahkan semakin buruk
karena ternyata pria itu merupakan tuan tanah mahsyur di kota ini.
“DOR” suara tembakan yang entah darimana munculnya membuat orang orang huru
hara melarikan diri. Aku memanfaatkan situasi ini untuk kabur dan pulang ke rumah.
Di malam hari, putraku demam tinggi. Sepertinya kejadian ini membuat dia trauma
dan ketakutan. Kami tidak punya uang, tidak punya makanan, dan hanya bisa berlindung di
puing puing bangunan tua. Kekhawatiranku bertambah, janaka secara tiba tiba tidak sadarkan
diri.
Persetan dengan masa lalu, yang aku pikirkan saat ini hanyalah kesembuhan janaka.
Aku melupakan segala dendamku dan mengemis belas kasihan pada ayah janaka agar dia
mau menyelamatkan putranya.
Aku menerima banyak ejekan dan siksaan. Namun aku lega, janaka dirawat dengan
baik oleh mereka. Siksaan yang ajudan ajudan itu berikan kepadaku menyebabkan
pendarahan cukup parah di kepala bagian belakang. Akupun tidak sadarkan diri.
Setelah tersadar, dengan kaki bernodakan darah yang sudah kering, aku berjalan
mencari janaka. Nihil, tidak ada seorang pun ada di rumah ini. Aku yang sudah seperti orang
gila, berlari berteriak menanyakan putraku pada siapa saja orang yang aku temui di jalan.
Aku berhasil menerobos kerumunan dan menggenggam tangan putraku yang sedang
digendong oleh pelayan. Putraku terisak dan berkata “ibu, aku bumipoetra. Aku putra tanah
pertiwi.” Aku dengan berderai air mata berusaha mati matian mengambil kembali putraku.
Namun sia sia, saat itu menjadi kali terakhirnya aku mendengar suara janaka. Dia, pergi ke
nederland. Hindia, tidak lagi menjadi tanah yang ia pijak.