Anda di halaman 1dari 20

RITUAL DIRAPAI’: PAHAM KESELAMATANNYA DALAM

SUDUT PANDANG ALUK TO DOLO DAN AGAMA KATOLIK


Sidang Akademik

Disusun oleh:
Fr Agustinus Martin Larangka
Fr Cornelius Satrio Tonapa

SEMINARI TINGGI ANGING MAMMIRI


YOGYAKARTA
2022
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk yang multi-dimensional. Karena itu di mana pun manusia
berada, umumnya mereka selalu menganut suatu agama. Menurut Geertz, agama merupakan
bagian dari sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar yang hubungan antara
keduanya menciptakan keteraturan budaya1. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Durkheim bahwa seluruh kerangka berpikir manusia dipengaruhi oleh agama yang menjadi
sumber dari kerangka berpikir tersebut2. Melihat perkembangan zaman ini, sistem kepercayaan
atau agama kian mengalami perkemabangan dan variasi. Bisa jadi dalam suatu locus
kebudayaan, agama yang dianut oleh masyarakatnya bervariasi namun tradisi tetap dijalankan
sebagaiman eksistensi awal dari kebudayaan tersebut. Pertanyaannya, apakah saat keyakikan
masyarakat berubah dengan kehadiran agama baru dalam suatu kelompok masyarakat, wujud
dari tradisi tersebut juga akan mengalami perubahan? Sebagai contoh, upacara pemakaman dari
dulu hingga sekarang pasti akan dilakukan oleh masyarakat, terlepas dari ikatan budaya dan
agama. Tetapi, jika upacara pemakaman tersebut dilakukan dalam ikatan agama, apakah upacara
tersebut mengalama perubahan jika masyarakatnya juga berpindah keyakinan?
Salah satu suku yang masih melestarikan upacara pemakaman adalah suku Toraja. Upacara
ini disebut Rambu Solo’ (rambu = asap, solo = turun, jadi rambu solo’ secara harafiah berarti
‘asap yang turun’). Orang-orang Toraja percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-
galanya, melainkan menjadi puncak dari eksistensi manusia. Kepercayaan ini membuat orang
Toraja menanggapi peristiwa kematian dengan upacara yang berbeda dengan upacara kematian
pada umumnya. Mereka sangat menghormati keluarga yang meninggal dengan
mengupacarakkannya secara meriah dengan meyertakan pengurbanan hewan yang tidak sedikit.
Hal terkesan aneh bagi orang lain, namun inilah yang terjadi pada suku Toraja. Mereka
melakukan demikian karena mereka mempunyai paham keselamatan sendiri.
Ritul Rambu Solo’ merupakan bagian dari warisan agama leluhur yang disebut aluk to
dolo. Sebagaimana beberapa agama lain yang mengharapkan kedamaiana jiwa setelah kematian,
orang Toraja juga mempunyai kepercayaan demikian. Puya, alam roh, adalah akhirat bagi
masyarakat Toraja yang telah meninggal. Manusia juga dapat menjadi dewa (membali puang)
untuk bersatu dengan Puang Matua (Sang Pencipta) melalui ritual dirapai' (ritual kematian
1
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, New York: Basic Book, Inc., 1973, hal. 87.
2
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Terjemahan Karen E. Fields), New York: The Free
Press, 1995, hal. 9-10.

1|
tertinggi) yang dibawa oleh Tamboro Langi'. Namun ritual ini hanya menjamin arwah bagi
mereka yang memiliki kasta tinggi (tana' bulaan). Maka dirapai’ tidak menjamin keselamatan
bagi orang Toraja secara umum mengingat kelas sosial dalam masyarakat Toraja yang juga
terbagi dalam beberapa kasta. Banyak arwah menanti keselamatan di puya.
Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama akan menjelaskan
kepercayaan mendasar masyarakat Toraja, khususnya tentang Puang Matua Sang Pencipta dalam
konteks Aluk To dolo. Bagian ini juga akan menampilkan tentang kejatuhan manusia dalam dosa
hingga munculnya Aluk Sanda Saratu' yang dibawakan oleh Tamboro Langi'. Bagian kedua akan
mengupas tentang keselamatan yang diyakini masyarakat Toraja melalui ritual Rambu Solo',
khususnya dalam upacara dirapai’. Ritual dirapai’ ini terdiri dari bagian-bagian upacara dan
sistem kasta dalam melaksanakan ritual ini. Bagian ini juga akan menjelaskan tentang
pengurbanan hewan, tentang puya yang merupakan akhirat setelah kematian, dan membali
Puang (menjadi dewa). Bagian ketiga akan menjelaskan tentang pergeseran kepercayaan
masyarakat Toraja dari Aluk To Dolo menjadi Kristen, khususnya Katolik. Tulisan tersebut
bertujuan untuk memberikan informasi tentang keselamatan yang dianut masyarakat Toraja baik
dari pandangan Aluk To Dolo hingga terjadinya kristenisasi. Tulisan ini disusun dengan metode
deskriptif dengan berbagai informasi yang diperoleh dari buku dan komunikasi pribadi. Semoga
tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang tepat terkait budaya dan kepercayaan masyarakat
Toraja.

2|
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
Tujuan Penulisan...........................................................................................................................4
ISI....................................................................................................................................................5
BAB I...............................................................................................................................................5
A. Puang Matua, Tuhan dalam kepercayaan Aluk To Dolo.......................................................5
B. Kisah Eran Di Langi’............................................................................................................6
C. Aluk Sanda Saratu’ – Kedatangan To Manurun...................................................................7
BAB II.............................................................................................................................................9
DIRAPAI’ DALAM RAMBU SOLO’.........................................................................................9
A. Kepercayaan Awal................................................................................................................9
B. Ritual Dirapai’ dalam Rambu Solo’...................................................................................10
1. Sistem Kasta....................................................................................................................10
2. Dirapai’...........................................................................................................................11
3. Pengurbanan Hewan.......................................................................................................13
4. Puya.................................................................................................................................14
5. Membali Puang...............................................................................................................14
BAB III.........................................................................................................................................15
RESTORASI KEPERCAYAAN................................................................................................15
A. Restorasi Kepercayaan di Toraja........................................................................................15
1. Kedatangan Kekristenan di Toraja..................................................................................15
2. Aluk To Dolo - Dirapai' - dalam pandangan Kekristenan..............................................16
B. Penerapan Iman dalam Budaya Saat Ini.............................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19

3|
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepercayaan orang Toraja dalam agama Aluk To Dolo??
2. Bagaimana paham keselamatan dalam ritual diparai’ dari sudut pandang agama leluhur?
3. Bagaimana pandangan keselamatan dalam ritual dirapai’ dari sudut pandang
Kekristenan, khususnya Katolik?

Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Aluk To Dolo sebagai agama leluhur Toraja.
1. Menjelaskan ritual Rambu Solo’, khususnya dirapai’ dalam Aluk To Dolo dan paham
keselatannya?
2. Menjelaskan keselamatan dalam dirapai’ dipahami dari sudut pandang Kekristenan
khususnya Katolik setelah masuknya agama Kristen ke Toraja.

4|
ISI

BAB I
ALUK TO DOLO

A. Puang Matua, Tuhan dalam kepercayaan Aluk To Dolo

Sejak dahulu, orang Toraja telah menganut agama atau kepercayaan leluhur yang
dinamakan aluk to dolo (aluk = agama/aturan, todolo = leluhur). Aluk to Dolo adakah suatu
kepercayaan anamis tua yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh Ajaran Hidup Konfisius
dan Agama Hindu3. Sampai saat ini, masih ada sebagian kecil masyarakat Toraja yang menganut
Aluk To Dolo ini.

Ajaran aluk to dolo mengatakan bahwa ajaran ini diturunkan oleh Puang Matua (Sang
Pencipta) kepada leluhur manusia yang pertama yang bernama Datu La Ukku’ dan ajaran-ajaran
diyakini oleh agama ini dinamakan Sukaran Aluk (sukaran = susunan/ketentuan/aturan, aluk =
agama/keyakinan). Sukaran Aluk ini berisi ajaran-ajaran atau ketentan-ketentuan bahwa manusia
dan segala isi bumi harus menyambah pada Puang Matua yang dilakukan dalam bentuk sajian
persembahan, sebagaimana yang terjadi dalam sejumlah agama animis lainnya di Indonesia.

Puang Matua, dalam ajaran aluk to dolo, merupakan pencipta segala isi bumi. Puang
Matua pertama-tama menciptakan 8 makhluk di atas langit yang nantinya akan menjadi 8
(delapan) leluhur dari makhluk dalam kepercayaan orang Toraja. Dikisahkan bahwa Puang
Matua berangkat ke sebalah Barat untuk mengambil sebakul emas dan Puang Matua kembali
membawa sebakul penuh emas itu. Kemudian dimasukkannya emas itu ke dalam tempahan yang
bernama sauan sibarrung dan dihembusinya sauan sibarrung itu. Lalu terciptalah 8 macam
makhluk, yaitu Datu La Ukku’ (nenek dari manusia), Menrante (nenek dari racun), La Ungku
(nenek dari kapas), Riako’ (nenek dari besi), Pong Pirik-Pirik (nenek dari hujan), Menturiri
(nenek dari kerbau), Takke Buku (nenek dari padi). Di antara kedelapan makhluk itu, Datu La
Ukku yang mempunyai wujud manusia sehingga dialah yang menjadi nenek moyang orang
Toraja.

Di samping itu, Puang Matua juga memberi kekuasaan kepada Deata-Deata (dewa-dewa
yang memelihara ciptaan Puang Matua) dan to membali Puang (arwah leluhur). Deata-Deata
3
Stanislaus Sandarupa, Life and Death of The Toraja People, An Introduction to Toraja Culture and A Guide to
Places of Onterest, Ujung Pandang: CV Tiga Taurus, 1984, hal 33-34.

5|
diberi kekuasaan untuk memelihara serta menguasai isi bumi agar seluruh isi bumi dapat
dipergunakan oleh manusia untuk memuja dan menyembah kepada deata-deata. Sedangkan To
membali Puang deberi kekuasaan untuk memperhatikan perbuatan dan tingkah laku manusia
turunannya serta memberi berkat kepada manusia turunannya. Jadi menurut ajaran Aluk Todolo,
dalam Sukaran Aluk, orang Toraja percaya dan menyembah kepada tiga oknum yaitu:

1. Puang Matua sebagai pencipta segala isi bumi.


2. Deata-Deata sebagai pemelihara ciptaan Puang Matua.
3. To membali Puang/Todolo sebagai pengawas dan memberi berkat kepada manusia
turunannya.

B. Kisah Eran Di Langi’


Salah satu mitos yang sangat terkenal dalam kepercayaan masyarakat Toraja ialah mitos
tentang Eran Di Langi’. Masyarakat Toraja percaya bahwa mitos inilah yang menjadi penyebab
putusnya hubungan langsung antara manusia dengan Puang Matua, Sang Pencipta.
Dikisahkan bahwa pada mulanya, segala sesuatu berada dalam damai. Hubungan Puang
Matua dengan manusia masih sangar erat. Manusia dapat bertatapan muka secara lansung
dengan Puang Matua melalui eran di langi’ (tangga ke langit) yang menghubungkan antara langit
dan bumi. Jadi manusia secara bebas menaiki tangga itu untuk menghadap Puang Matua.
Di bagian selatan Toraja, menetaplah sepasang suami istri bernama Puang Bura Langi’
dan Kombong Bura. Mereka mempunyai seorang anak bernama Pong Mula Tau yang dianggap
sebagai manusia pertama yang turun dari langit melalui eran di langi’. Pong Mula Tau menikah
dengan Sanda Bilik dan mempunyai dua orang anak: Longdong Di Langi’ dan Londong Di Rura.
Londong Di Rura mempunyai dua orang putra dan dua orang putri 4. Karena tidak menemukan
pasangan untuk anak-anaknya, Londong Di Rura memutuskan untuk menikahkan kedua
putranya dengan kedua putrinya dan mengadakan pesta 5. Puang Matua mengetahui Tindakan
Londong Di Rura itu tetapi Puang Matua tidak bisa mentolerir kesalahan itu. Sebagai akibatnya,
Puang Matua menumbangkan tangga itu dan menimpa pesta perkawinan itu. Sebagian peserta
4
Roxana Waterson, Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation. The Netherlands: Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, hal. 136-137. Menurut versi Tato’ Dena’, Londong Di Rura
mempunyai delapan anak, empat laki-laki dan empat perempuan. Ia menikahkan keempat pasang anaknya tersebut
yang biasa disebut Rindu Karua (Eight Twins). Keempat perempuan mengakui bahwa kembar (laki-laki dan
perempuan) dilahirkan untuk menikah nantinya.
5
Kisah ini mempunyai beberapa variasi. Marampa’ (Mengenal Toraja, hal 42-23) mengisahkan bahwa Puang
Matua merobohkan Eran Dilangi’ karena orang kepercayaannya yang bernama Saratu’ Sumbung Pio mencuri
te’tekan bulan (korek api emas) milik Puang Matua.

6|
mati, ada yang menjadi batu, ada yang tenggelam ke dalam celah memanjang yang dalam.
Upacara kematian yang dilakukan untuk memakamkan orang-orang yang meninggal saat itu
dianggap sebagai upacara yang pertama.
Tumbangnya eran di langi’ turut memengaruhi hubungan manusia dengan Puang Matua.
Manusia tidak bisa lagi langsung bertatap muka dengan Puang Matua. Sejak itu, Sang Pencipta
menjadi Puang Matua yang jauh dari jangkauan manusia.

C. Aluk Sanda Saratu’ – Kedatangan To Manurun


Turunnya aluk sanda saratu’ di Toraja erat kaitaannya dengan kedatangan nenek moyang
orang Toraja ke bumi. Harbangan mengemukakan bahwa kedatangan nenek moyang Toraja
terbagi atas tiga gelombang, antara lain sebagai berikut6:

a. Gelombang pertama disebut sebagai to mellao langi’ (orang yang turun dari langit). Ada
yang menyebutnya Pong Mula Tua (orang pertama di bumi). Ia turun dari langit melalu
eran di langi’ dengan membawa perlengkapan hidup, termasuk tata-cara sosio religius
yang dikenal dengan sebutan Aluk Sanda Pitunna (7.777.777), emas, dan tombak sakti.
Namun keturunan dari Pong Mula Tau musnah karena Londong di Rura melanggar
aturan Aluk Sanda Pitunna khususnya yang berkaitan dengan Aluk Rampanan Kapa’
(perkawinan).
b. Nenek moyang pada gelombang kedua adalah Pong Tandilino yang datang ke Toraja
dengan perahu melalu sungai. Pong Tandilino datang bersama pembantunya yang
bernama Suloara’. Tangdilintin menyebut bahwa Pong Tandilino Pong Tandilino
bersama dengan Pong Suloara’ membuat seprangkat aturan sebagai tanggapan terhadap
wilayah selatan Toraja (wilayah Bamba Puang dan sekitarnya) yang masyarakatnya
dipengaruhi pemerintahan Puang yang pada akhirnya menimbulkan kekacauan dalam
masyarakat7. Seperangkat aturan tersebut dinamakan Aluk Pitung Sabu Pitu Ratu’ Pitung
Pulo Pitu (7.777) yang berisi ajaran mengenai aturan kahidupan dan penyembahan
kepada Puang Matua, deata-deata, dan To Membali Puang.
Ajaran ini kemudian tersebar dari Banua Puan (tempat kekuasaan Pong Tandilino) ke
berbagai daerah di Toraja, termasuk tiga daerah pembagian kekuasaan yang diterapkan

6
Seno Paseru Harbangan, Aluk To Dolo Toraja, Salatiga: Widya Sari Press, 2004, hal. 63-65.
7
L. T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya, Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1980, hal. 13-24.

7|
oleh Pong Tandilino. Daerah-daerah yang menggunakan ajaran ini kemudian
menggunakan lambang Pa’ Barre Allo (matahari terbit) seperti yang tertera di depan
rumah toraja di seluruh daerah Toraja. Sehingga seluruh daerah ini bersatu dalam istilah
tondok lepongan bulan, tana matarik allo.
c. Periode yang ketiga adalah periode to manurun. Setelah aluk pitung sa’bu pitu ratu’
pitung pulo pitu menyebar secara luas di masyarakat, datang pula gelombang penguasa
baru yang dikenal dengan istilah to manurun. Kedatangan to manurun menjadi ancaman
besar bagi penguasa aluk 7.777 sebab mereka lebih cakap, cerdik, dan mempunyai
wibawa serta kebijaksanaan dalam mendidik masyarakat. Mulailah mereka peralahan-
lahan mengambil kekuasaan khususnya di daerah Padang Di Puangi. Di daerah ini,
Puang-puang To Manurun kemudian membuat ajaran-ajaran baru yang berbeda dengan
pemerintahan sebelumnya dari penguasa aluk 7.777. To Manurun Tamboro Langi’
sebagai To Manurun terakhir akhirnya menciptakan aturan baru untuk pembinaan
kekuasaan yang disebut dengan Aluk Sanda Saratu’ (suatu aturan genap seratus yang
artinya monarkis). Daerah Padang di Puangi atau daerah tengah Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari Allo pada akhirnya menganut dua ajaran yaitu aluk 7.777 dan Aluk Sanda
Saratu’ yang dibawa oleh To Manurun Tamboro Langi’, sedangkan kedua daerah lainnya
(Padang di Ambe’i dan Padang di Ma’dikai) tetap menganut aluk 7.777. Namun lama
kelamaan, daerah Padang Di Puangi banyak mengalami perubahan, di mana
pemerintahannya berobah menjadi pemerintah yang monarkis, tidak lagi demokratis
sebagaimana yang termuat dalam aluk 7.777, namun tetap dalam keyakinan agama dalam
aluk 7.777.

Perlu dicatat bahwa To Manurun khususnya Tamboro Langi’, oleh sejumlah orang,
dipercaya sebagai orang yang turun langusung dari langit dan membawa ajaran Aluk Sanda
Saratu’. Ada kisah yang mengatakan bahwa Tamboro Langi’ turun langsung dari langit melalui
banua ditoke’ (rumah yang digantung).

Kedatangan Tamboro Langi’ dengan Aluk Sanda Saratu’ memberikan makna tersendiri
bagi orang Toraja yang menganut Aluk To Dolo. Walapun tangga ke langit yang menghubungkan
Puang Manusia dengan manusia telah runtuh, namun Puang Matua tidak mengingalkan manusia.
Ia mengirim utusannya yakni Tamboro Langi’ untuk memulihkan kembali hubungannya dengan

8|
manusia. Syarat untuk memperoleh keselamatan dari Puang Matua sebagaimana yang terdapat
dalam ajaran Aluk Sanda Saratu’ orang harus melaksanakan ritual tertinggi dalam aluk itu, yakti
dirapai’.

BAB II
DIRAPAI’ DALAM RAMBU SOLO’

A. Kepercayaan Awal

Berdasarkan kepercayaan orang Toraja, seseorang yang baru saja meninggal belumlah
dianggap betul sebagai orang yang meninggal, namun sebagai To Makula’ (orang sakit).
Sehingga pada saat itu juga orang yang baru saja meninggal masih diberikan makanan dan
minuman di dalam pinggan dan cangkir selayaknya orang yang masih hidup. Makanan dan
minuman yang disajikan pun sudah diganti tempatnya di mana pinggan dan cangkir menjadi
daun pisang dan minumannya dalam bambu. Orang yang sudah dianggap meninggal itu pun juga
diperlakukan sama halnya merawat orang yang masih hidup. Segala perlengkapan, fasilitas dan
kebutuhannya di Puya (tempat bersemayam roh-roh) pun diberikan. Bekal dan perlengkapan
yang utama itu adalah semua yang digunakan dalam upacara pemakamannya dan juga semua
harta yang di masukkan di dalam peti.
Orang yang meninggal baru dikatakan meninggal (to mate) dimulainya acara pemakaman
yang dinamakan Doya (ma’karu’dusan). Pada waktu itu, keluarga mulai berkabung dan pantang
makan nasi. Pada hari tersebut jenazah dipindahkan ke sali (ruang tengah rumah tongkonan)
yang sebelumnya diletakkan di sumbung (ruang selatan rumah tongkonan) dengan kepala
mengarah ke selatan.

B. Ritual Dirapai’ dalam Rambu Solo’

1. Sistem Kasta
Masyarakat Toraja mengenal ada empat (4) kasta sebelum memulainya acara Rambu Solo’
yakni:
 Tana’ Bulaan (Kasta Bangsawan)
 Tana’ Bassi ( Kasta Bangsawan Menengah)
 Tana’ Karurung (Kasta Masyarakat Biasa/Merdeka)
9|
 Tana’ Kua-kua ( Kasta Hamba dari Tana’ Bulaan dan Tana Bassi)
Upacara pemakaman menurut kepercayaan Aluk Todolo pertama-tama harus
memperhatikan Tana’ (kasta) dari seseorang yang mati. Seorang yang kastanya rendah tidak
dapat diupacarakan menurut kasta yang lebih tinggi dari kastanya. Misalnya seorang Tana” Bassi
tidak dapat diupacarakan pemakamannya dengan upacara pemakaman Tana’ Bulaan atau Tana’
Karurung dengan pemakaman Tana’ Bassi. Sebaliknya ada ketentuan bahwa Tana’ Bulaan atau
Tana’ Bassi bisa saja dimakamkan lebih rendah atau seredah-rendahnya karena tidak mampu
untuk membiayai pemakaman.
Demikianlah upacara pemakaman menurut Aluk Todolo juga mempunyai jenis dan
ketentuan berdasarkan Tana’-Tana’ sebagaimana yang diungkapkan oleh Tangdilintin 8, yakni.
1. Upacara Silli’ merupakan upacara pemakaman yang paling rendah dan diperuntukkan
untuk pemakaman kasta yang paling rendah (Tana’ Kua-Kua) atau anak yang belum
memiliki gigi. Untuk pengurbanan hewan, seekor babi disembelih pada sore hari dan
mayat akan dikuburkan pada malam hari dengan menggunakan suluh. Proses ini disebut
Di Bai’ Tungga’ (hanya menggunakan seekor babi). Untuk pemakaman bayi, tak ada
ketentuan mengenai penyembelihan hewan.
2. Dipasang Bongi atau upacara hanya berlangsung semalam saja. Upacara ini digunakan
untuk kasta atau Tana’ Karurung namun berlaku juga bagi kasta Tana’ Bulaan dan
Tana’ Bassi yang tidak mampu. Upacara ini pun memiliki beberapa tingkatan yaitu Di
Bai A’pa’, Di Tedong Tungga’, dan Ma’ Tangke Patomali’. Di Bai A’pa’ yaitu dengan
menggunakan empat (4) babi saja. Kemudian Di Tedong Tungga’ yaitu upacara
pemakaman yang menggunakan satu ekor kerbau saja. Terakhir adalah Ma’ Tangke
Patomali yaitu upacara yang dilakukan dengan mengurbankan dua kerbau dan ini
termasuk pengecualian dengan upacara Di Pasang Bongi bagi anak-anak bangsawan
atau kasta yang tinggi.
3. Dibatang (dibuatkan landasan) atau Di Doya Tedong (pemotongan kerbau pada sore
hari) yaitu upacara pemakaman dengan lebih dari satu kerbau dan pada saat
penyembelihan tersebut kerbau ditambat pada tiang landasan atau patokan. Upacara ini
hanya berlaku bagi Tana’ Bassia atau Tana’ Bulaan dan masih terbagi berdasarkan
tingkatannya. Pertama dari tingkatan itu adalah Di Patallung Bongi atau acara yang

8
L. T. Tangdilintin, Toraja dan Kebudayaannya, Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1980, hal. 125-132.

10 |
dilakukan selama tiga hari tiga malam dan sekurang-kurangnya mengurbankan tiga
kerbau dan babi secukupnya atau seadanya saja. Di Palimang Bongi atau upacara
berlangsung selama tiga hari tiga malam dan sekurang-kurangnya lima kerbau
dikurbankan. Selanjutnya adalah Di Papitung Bongi yaitu pelaksannannya selama tujuh
hari tujuh malam dan sekurang-kurangnya menghabiskan tujuh kerbau. Pada upacara ini
mayat dibawa ke kubur atau liang menggunakan duba-duba atau Sarigan atau usungan
tempat mayat yang mirip dengan rumah Toraja.
4. Upacara Rapasan yaitu pemakaman yang dilakukan dengan dua kali dan upacara ini
merupakan upacara pemakaman yang paling tinggi dari upacara-upacara lainnya.

2. Dirapai’

Dirapai’ merupakan upacara tertinggi dalam rambu solo’ menurut kepecayaan Aluk To
Dolo. Achsin (1991) menjelaskan:

Dirapai’ (is) the highest caste ceremonies carried out in the two stages. The first stage is
before the burial which takes olace in the yard of the house. The second stage is for the
actual burial. It is carried out in the middle of an open square or a field, rante, where a
stone pillar is erected, simbuang batu.”9

Karena ini merupakan upacara tertinggi, maka dirapai’ hanya diperuntukkan bagi mereka
yang mempunyai kasta tertinggi (Tana’ Bulaan). Liku Ada’ menyebut bahwa dirapai’ awalnya
merupakan ritual bagi keturunan Tamboro Langi’ saja. Namun, karena semakin banyak
keturunan yang menyebut diri sebagai Puang (kemungkinan merupakan keturunan jauh dari
Tamboro Langi’) sehingga dirapai’ kemudian diitentikkan dengan ritual bagi mereka yang
mempunyai kasta yang tinggi. Ritual-ritula yang berlangsung dalam dirapai’disebut rapasan.

Sesuai yang disebutkan oleh Achsin di atas, dirapai’ dilakukan dalam dua tahapan.
Tahapan pertama disebut aluk pia yang dilakukan di tongkonan dan berlangsung dalam beberapa
hari. Pada tahap ini, biasanya beberapa kerbau dan babi disembelih. Pada tahapan ini, imam
orang mati (tomebalun) melakukan tugasnya dalam ritual: membungkus mayat dan memotong
daging. Aluk pia bisa saja berlangsung selama beberapa hari. Setelah ritual aluk pia, ritual
dilanjutkan dengan membawa jenazah ke tempat yang berbeda dari sebelumnya yang diebut

9
Achsin, Toraja: Tongkonan and Funeral Ceremony, Ujung Pandang: Ananda Graphia Press, 1991, hal.47.

11 |
rante (pelataran duka) yang dilengkapi dengan bala’kayan (menara pembagian daging), lakkian
(tempat menempatkan jenazah yang bentuknya menyerupai tongkonan yang bentuknya lebih
kecil), dan lantang (pemondokan). Ritual ini disebut aluk rante. Ini dibuat lebih meriah dari pada
aluk pia.

Rapasan terdiri atas atas tiga tingkatan yang disesuaikan dengan kurban pemakaman
kerbau yang disembelih, yakni.

1. Aluk Rapasan Diongan

Upacara Rapasan Diongan mensyaratkan penyediaan kurban kerbau sekurang-kurangnya


9 ekor (ada juga yang 12 ekor) dan babi sesuai dengan yang diperlukan secukupnya atau
sebanyak-banyaknya.

2. Aluk Rapasan Sundun

Aluk ini biasanya diperuntukkan untuk bangsawan atau pemangku adat. Prosesnya memiliki
kesamaan dengan Rapasan Diongan hanya saja perbedaannya pada jumlah pengurbanan.
Upacara ini mensyaratkan pengurbanan kerbau sekuran-kurangnya 24 (dua puluh empat) ekor
untuk dua kali upacara dengan kurban babi yang tidak terbatas.

3. Aluk Rapasan Sapu Randanan

Sapu Randanan (sapu= serata, randanan= tepi sungai) merupakan upacara yang mempunyai
posisi tertinggi dalam rambu solo’. Sesuai dengan namanya, sapu randanan mensyaratkan
pengurbanan kerbau yang melimpah, yaitu lebih dari 30 (tiga puluh) ekor – ada pula yang
mengatakan lebih dari 24 (dua puluh empat) ekor – juga babi yang melimpah. Selain kerbau dan
babi, pada upacara ini juga kerap kali dikurbankan hewan-hewan lain seperti rusa, kuda, sapi,
dan sebagainya. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa dulunya manusia (budak) juga turut
dikurbankan mengingat eksistensi dari upacara ini yang sangat tinggi.

Salah satu perbedaan yang tampak antara upacara rapasan bagi kasta Tana’ Bulaan
dengan upacara di bawahnya adalah penggunaan tau-tau (orang-orangan). Tau-tau hanya dapat
dijumpai pada upacara Rapasan. Ini merupakan patung dari si mati yang terbuat dari kayu
nangka’ dan diarak serta dipajang selama upacara berlangsung. Karena tau merupakan lambang

12 |
dan bayang-bayang dari si mati, maka dalam tau-tau dipercaya berdiam roh dari orang mati
sehingga kerap kali disajikan persembahan layaknya memberi sajian kepada orang mati.

3. Pengurbanan Hewan

Kurban-kurban persembahan dalam Rambu Solo adalah suatu asas yang diharuskan sesuai
dengan ketentuan dasar seseorang dalam upacara persembahan itu disebabkan oleh empat (4)
dasar dan tujuan.
 Suru’na Ma’lolo Tau yaitu sebagai rasa syukur karena kehidupan dan kelahiran
manusia.
 Suru’na Aluk Patuoan yaitu kehidupan dan berkembangnya hewan ternak atau
hewan piaraan.
 Suru’na Aluk Bangunan Banua yaitu untuk mensyukuri atas selesainya
pembangunan rumah dan supaya rumah itu tidak terganggu kenyamannya.
 Suru’na Aluk Tananan yaitu syukur atas kehidupan dan berhasilnya tanaman-
tanaman khususnya yang digunakan atau untuk keperluan upacara-upacara.
Penyembelihan karbau dan juga babi digunakan dalam upacara Rambu Solo’ dengan
maksud sebagai berikut.
 Menjadi bekal menuju Puya (dunia arwah)
 Menjadi penentuan kedudukan yang dinamakan To Membali Puang
 Menjadi penentu dari turunannya dalam masyarakat
Demikianlah penyembelihan kerbau dan babi diyakini sebagai “penentu” selamat atau
tidaknya arwah masuk ke Puya. Semakin banyak yang disembelih, terutama kerbau, semakin
tenang pula perjalanan arwah tersebut ke Puya. Dalam upacara dirapai’, pengurbanan yang
dilakuakan dalam jumlah yang banyak inilah yang menjadi syarat bagi orang yang telah
meninggal untuk mengemban gelar Membali Puang (menjadi dewa).

4. Puya
Dalam kepercayaan aluk to dolo, arwah-arwah yang telah telah diupacarakan akan
berkumpul di Puya. Puya merupakan dunia para arwah yang secara adat telah diupacarakan.
Menurut kepercayaan orang toraja, Puya terletak di bagian selatan Toraja, tepatnya di sekitar
pegunungan Bamba Puang (Gerbang Tuhan) di antara daerah Kalosi dan Enrekang. Tempat Puya
ini juga merupakan tempat runtuhnya Eran Di Langi’ (tangga ke langit) sehingga para penghuni

13 |
Puya merupakan arwah-arwah yang sedang menunggu tegaknya kembali Eran Di Langi’ agar
bisa kembali bertatap muka dengan Puang Matua sang Pencipta.
Dalam Life and Death in Toraja, Sandarupa (1986) menjelaskan bahwa Puya dipimpin oleh
seorang hakim bernama Pong Lalondong10. Setiap arwah yang hendak masuk ke Puya akan
bertemu dahulu dengan Pong Lalondong dan ditanyai bekal apa saja yang ia bawa. Jika dianggap
layak, maka Puang Lalondong akan mengizinkan arwah tersebut masuk ke Puya. Jika tidak,
maka arwah yang tidak masuk ke Puya itulah yang akan bergentayangan.
Selamat tidaknya arwah masuk ke Puya secara adat tidak ditentukan oleh perbuatan baik
atau jahat dari arwah. Tetapi, ritual pemakamanlah yang akan menentukan selamat atau tidaknya
arwah tersebut, khususnya jumlah kerbau dan babi yang disembelih dalam pemakaman tersebut.
Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin besar pula jaminan arwah tersebut untuk
masuk ke Puya. Sebab kerbau dan babi tersebut akan menjadi kendaraan bagi arwah selama
perjalanannya ke Puya. Demikianlah ritual kematian merupakan jalan yang sangat diperlukan
untuk “keselamatan” arwah.

5. Membali Puang

Aluk Sanda Saratu’ juga mengatur mengenai membali puang (kembali menjadi dewata).
Membali Puang merupakan keyakinan di mana orang yang berada di alam Puya beralih menjadi
dewata dan bersatu kembali dengan Puang Matua di dunia atas. Namun, Aluk Sanda Saratu’
mensyaratkan bahwa membali Puang hanya dialami oleh arwah yang diupacarakan dengan ritual
dirapai’. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ritual Dirapai’ merupakan ritul
tertinggi dalam pemakaman orang Toraja dan hanya bisa dilaksanakan oleh mereka yang
termasuk dalam Tana’ Bulaan. Olah sebab itu, Membali Puang hanya bisa diacapai oleh mereka
yang mempunyai kasta tinggi. Akhirnya yang bisa bersatu dengan Puang Matua hanyalah
mereka yang mempunyai kasta tinggi, atau dengan kata lain banyak arwah, dalam pandangan
Aluk To Dolo, yang masih berdiam di Puya, menantikan keselamatan.

10
Sandarupa, Life and Death of The Toraja People, an Intorduction to Toraja Culture and a Guide to Places of
Interest, Ujung Pandang: CV Tiga Taurus, 1984, hal. 52

14 |
BAB III

RESTORASI KEPERCAYAAN

A. Restorasi Kepercayaan Iman di Toraja

1. Kedarangan Kekristenan di Toraja

Peristiwa di mana Toraja akan menerima Injil sesungguhnya bukan hal yang dipandang
mengejutkan bagi para agamawan, khususnya dalam lingkup agama Katolik. Liku Ada’ (2012)
menyebutkan bahwa pada tahun 1685, seorang imam jesuit bernama Pater Nicolas Gervaise
dalam bukunya yang berjudul Description Historique du Royaume de Macacar telah
meramalkan bahwa orang Toraja akan dengan mudah menerima pewartaan Injil. Ramalan ini
kemudia menjadi nyata. Pada 10 November 1913, Pendeta Antonio Aris van de Loosdrecht tiba
di Toraja dan sejak saat itu dimulailah pewartaan Injil di kalangan orang Toraja (Liku ada’,
2012). Kedatangan misionaris Belanda termasuk van de Loosdrecht ini merupakan bagian dari
pengkolonialisasian pemerintah Belanda atas Toraja. Usaha pemerintah Belanda membuahkan
hasil. Van de Loosdrecht berhasil mengkirstenkan Toraja. Kristenisasi ini juga dibarengi dengan
kedatangan para misionaris Katolik ke Toraja beberapa tahun kemudian, yakni pada tahun 1917.
Dalam pewartaan Injil di Toraja, para misionaris Protestan (GZB) membentuk ‘Komisi
Adat’ untuk menemukan sisi terang dari dilema antara agama Kristen dan kepercayaan asli (Aluk
To Dolo). Komisi ini kemudian mengajukan kriteria yaitu agama dapat dipisahkan dari budaya.
Jadi adat dan Kekristenan dapat saling melengkapai, sama seperti ada’ (agama) dengan aluk
(agama tradisional), dan dipadukan tanpa jatuh ke dalam bidaah (Reinterpretasi dan
Reaktualisasi hal. 26). Hasil dari pengajuan tersebut ialah semua ritual rambu tuka’ (ritual yang
berbau sukacita) dilarang bagi orang Kristen, kecuali pesta sesudah panen dan pemberkatan
tongkonan (rumah adat Toraja). Berbeda dengan kebijakan yang diambil terhadap rambu tuka’,
Komisi Adat menyadari bahwa eksistensi Kekristenan ke dapannya di Toraja akan sangat
tergantung pada kebijakan yang diambil terhadap rambu solo’ (Liku Ada’, 2012). Maka, Komisi
Adat memutuskan untuk mengizinkan orang Kristen Toraja untuk melaksanakan ritual rambu
solo’ asalkan dilaksanakan dengan dibersihkan dari setiap unsur agama (aluk) dan menjadi
sekedar upacara budaya (ada’). Akibatnya penyembelihan kerbau yang sebelumnya diatur
jumlahnya kini menjadi tak terbatas lagi karena pemakaman Kristen yang tidak terikat dengan
aluk.

15 |
2. Aluk To Dolo - Dirapai' - dalam pandangan Kekristenan

Motif utama dari Komisi Adat menghapuskan setiap unsur agama leluhur dari rambu
solo’ adalah berkenaan dengan paham ‘bekal’. Tindakan yang diambil Komisi Adat ini, malah
menghilangkan dasar sesungguhnya dari pengorbanan hewan tersebut. Liku Ada’ menjelaskan
bahwa Aluk To Dolo dalam bentuk tradisionalnya mempunyai dasar yakni
religius/kepercayaan11. Maka dengan mengosongkan dari motif religius, maka upacara ini
memunculkan motif yang baru. Selain itu, upacara pemakaman ini yang sarat dengan
pengurbanan juga berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang tua dan kakek-nenek, yang
disebut dengan siri’ to mate yang mewajibkan keluarga untuk berusaha melaksanakan upacara
kematian demi keselamatan orang tua yang diupacarakan. Maka di sini tampak bahwa
orientasinya bukan lagi soal penghormatan kepada orang yang meninggal, melainkan
konsentrasi pada gengsi dan pribadi keluarga dalam menyukseskan pemakaman orang tua atua
kakek-nenek.
Terlepas dari semua itu, patut disyukuri bahwa misionaris protestan telah menanamkan
nilai iman Kristiani kepada sebagian besar masyarakat Toraja hingga saat ini. Buktinya hampir
90 % masyarakat Toraja telah memeluk Kekristenan, baik itu Katolik, Protestan, dan deominasi
lainnya12. Karena perkembangan itu, Gereja Katolik pun tidak tinggal diam untuk
mengembangkan pemahaman berkaitan dengan upacara rambu solo’ di lihat dari kacamata iman
Katolik. Mengapa ajran iman perlu ditamkan dan direspakan dalam setiap insan, termasuk
budaya mereka? Dokumen Vatikan II, Ad Gentes art. 7 menjelaskan bahwa Gereja ingin agar
seluruh manusia memperoleh keselamatan serta pengetahuan tentang kebenaran sebeb
keselamatan satu-satunya berada dalam Kristus (Kis 4:12). Lalu untuk melaksanakan karya
keselamtan itu, “Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat-
istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan,
menguatkan serta mengangkatnya (Lumen Gentium 13)” agar wajah kasih Kristus yang
menyelamatkan semua orang terpancar dari wajah budaya yang dimasuki oleh Gereja.
Dengan berpedoman pada pernyataan di atas, maka benarlah yang di tegaskan oleh Liku
Ada’ bahwa tindakan yang diambil oleh “Komisi Adat” berkaitan dengan upacara pemakaman
di Torja tampaknya membawa efek-efek samping. Nilai religiousitas dan solidaritas dalam
11
Liku Ada’ (Tallulembang), Reinterpretasi & Reaktualisasi Budaya Toraja, Refleksi Seabad Kekristenan Masuk
Toraja, Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai, 2012, hal. 28-29.
12
Liku Ada’, Aluk To Dolo Menantikan Kristus, Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai, 2014, hal. 180.

16 |
uapcara tersebut pada akhirnya menjadi pudar. Barangkali alasan lain yang menyebabkan
Komisi Adat menghilangkan unsur religiositas dalam upacara pemakaman karena ajaran dalam
Protestan yang tidak mempercayai hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang
telah meninggal. Padahal, dalam Gereja Katolik ajaran ini sangat dipegang teguh. Di sini
tampak bahwa kepercayaan yang dimiliki Aluk To Dolo dengan Gereja Katolik mempunyai
kesamaan, khususnya dalam hubungan dengan orang mati. Atas dasar inilah sehingga Liku Ada’
mengatakan bahwa “Aluk To Dolo menantikan Kristus”13.
Sekalipun demikian, dalam Aluk To Dolo masih memiliki batasan pemahaman dalam hal
keselamatan. Dalam hal ini adalah gelar Membali Puang. Alam puya bisa dikatakan bukan
menjadi surga bagi arwah orang-orang Toraja. Tujuan akhir sesungguhnya ialah ketika arwah
telah bersatu dengan Puang Matua dan deata-deata namun itu hanya dialami oleh mereka yang
mampu melaksanakan dirapai’. Universalitas keselamatan pun tidak dimiliki ajaran Aluk To
Dolo.
Kepercayaan Kristen ini, jika dipandang dari mata iman, merupakan pemenuhan atas
kepercayaan dan penantian dari Aluk To Dolo. Pada mula Puang Matua menciptakan manusia
dan makhluk-makhluk lainnya dalam keadaan bersaudara. Relasi Puang Matua dan manusia
berjalan baik yang dihubungkan oleh Eran Di Langi’. Tetapi kemudian, manusia jatuh ke dalam
dosa yakni ketika Londong Di Rura mengawinkan sepasang anak kandungnya. Akibatnya
hubungan antara manusia dan Puang Matua terputus yang dilambangkan dengan runtuhnya Eran
Di Langi’. Setelah manusia meniggal, ia tidak bisa lagi kembali bersatu dengan Puang Matua,
Sang Pencipta, di dunia atas. Jiwa orang meninggal hanya dapat berdiam di Puya. (Dunia
Arwah). Kemudian, Puang Matua mengutus Tamboro Langi’ untuk membawa harapan bagi
manusia. Namun Aluk Sanda Saratu’ yang dibawa oleh Tamboro Langi’ gagal menegakkan
kembali Eran Di Langi’. Tamboro Langi’ hanya mampu membawa keselamatan bagi
keturunannya yang diupacarakan dengan ritual dirapai’. Jadi sebagian besar manusia Toraja
yang sudah meninggal tetap menanti di Puya.
Keselamatan yang dirindukan oleh orang Toraja itu terjawab sudah dengan datangnya
agama Kristen yang membawa Injil. Allah mengutus Putra-Nya yang tunggal ke dunia agar
semua orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16) yakni Yesus
Kristus yang menjadi manusia. Kristuslah Tomanurun Baru yang dinanti-nantikan sekaligus Eran

13
Liku Ada’, Ibid hal. 185

17 |
Di Langi’ Baru yaitu jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh. 14:6). Melalui Kristus, manusia tidak lagi
akan tinggal terus di Puya sesudah meninggal tetapi akan kembali ke asalnya yaitu Allah di
surga. Keselamatan tidak lagi ditentukan dari seberapa banyak kerbau yang disembelih, namun
ditentukan oleh Iman kepada Kristus.

B. Penerapan Iman dalam Budaya Saat Ini

Setelah Kristenisasi di Toraja, agama tak dapat lagi dipisahkan dalam kehidupan budaya
Toraja, khususnya bagi masyarakat yang menganut Kristen. Oleh sebab itu, dalam praktek
budaya Toraja, ibadah keagamaan biasanya dilakukan untuk memulai atau mengakhiri suatu
ritual, baik itu Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Misalnya saja sebelum melakukan tradisi
merok (memberkati rumah), keluarga akan menggelar ibadah untuk memohon perlindungan
Tuhan selama acara berlangsung. Demikian juga pada upacara Rambu Solo’. Dalam setiap
bagian upacara pemakaman Toraja, biasanya ibadah akan dilakukan mulai dari meninggalnya
seseorang, mangaro, sampai pada penguburan. Khusus untuk orang Toraja yang menganut
agama Katolik, ibadah tersebut dimaksudkan untuk mendoakan keselamatan arwah dari yang
meninggal agar selamat di dunia akhirat. Tak terkecuali ritual dirapai’, sejumlah daerah tetap
menerapkannya namun dalam lingkaran Kristenitas.

DAFTAR PUSTAKA

Achsin, Amir. (1991). Toraja: Tongkonan and Funeral Ceremony. Ujung Pandang: Ananda
Graphia Press.

Ada’, John Liku. (2014). Aluk To Dolo Menantikan Kristus. Yogyakarta: Penerbit Gunung
Sopai.

18 |
Ada’, John Liku. (1986). Towards A Spirituality of Solidarity, A Study of Sa’dan-Toraja
Solidarity in the Light of Gaudium of Spes, With a View to an Inculturated Authentic
Christian Spirituality of Solidarity. (Disertasi Doktoral, Roma: Universitas Kepausan
Gregoriana).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1984). Upacara Tradisional (Upacara Kematian)


Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Durkheim, E. (1995). The Elementary Forms of Religious Life. (Karen E. Fields, Terjemahan).
New York: The Free Press.

Harbangan, Seno Paseru. (2004). Aluk To Dolo Toraja: Upacara Pemakaman masa Kini masih
Sakral. Salatiga: Widya Sari Press.

Konferensi Waligereja Indonesia. (1991). Ad Gentes. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan


Penerangan Konferensi Waligereja Indoensia.

Konferensi Waligereja Indonesia. (1990). Lumen Gentium. Jakarta: Departemen Dokumentasi


dan Penerangan Konferensi Waligereja Indoensia.

Nooy-Palm, Hetty. (1979). The Sa’dan Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. The
Netherlands: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Sandarupa, Stanislaus. (1984). Life and Death of The Toraja People, an Intorduction to Toraja
Culture and a Guide to Places of Interest. Ujung Pandang: CV Tiga Taurus.

Tallulembang, Bert (I). Reinterpretasi & Reaktualisasi Budaya Toraja, Refleksi Seabad
Kekristenan Masuk Toraja. Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai.

Waterson, Roxana. (2009). Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation. The
Netherlands: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

19 |

Anda mungkin juga menyukai