Anda di halaman 1dari 7

Kasus korupsi Gubernur Sultra Nur Alam menjadi 'terobosan'

KPK berantas korupsi sumber daya alam

Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam divonis 12 tahun penjara


untuk kasus korupsi terkait pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu (28/03).

Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selama 18 tahun. Namun, dalam tuntutan terhadap Nur Alam, pertama
kalinya KPK menggunakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian
keuangan negara.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai terobosan ini menunjukkan


jaksa KPK cukup progresif dalam memperhitungkan kerugian negara akibat
korupsi di sektor sumber daya alam.

"Dia menggunakan penghitungan kerugian negara bukan hanya dari


kerugian materiil saja tapi dilihat juga kerugian lingkungannya, bahkan sampai
biaya pemulihannya," ujar Koordinator Divisi Kampanye ICW Siti Juliantari
kepada BBC Indonesia.
"Ini adalah satu hal yang sudah baik dan kami mendorong harusnya bisa
diterapkan ke kasus-kasus korupsi sumber daya alam lainnya. Jangan hanya di
kasus Nur Alam," imbuhnya.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah


Johansyah menyatakan terobosan KPK ini bisa menjadi yurisprudensi dan bisa
digunakan untuk menyasar kasus korupsi serupa yang menyebabkan dampak
kerusakan pada lingkungan hidup.

"Ini akan mampu tidak hanya memutus korupsi, tapi juga memutus
kerusakan lingkungan hidup," ujar Merah.

Nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus Nur Alam sangat
fantastis, mencapai Rp4,3 triliun. Nilai itu hampir dua kali lipat nilai kerugian
negara dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik, yang diklaim
mencapai Rp2,3 triliun.

Namun, angka tersebut tidak sepenuhnya atas hasil penghitungan auditor


negara. Sebab, salah satu yang dihitung adalah kerugian akibat kerusakan
lingkungan.

Tidak cuma itu, politikus Partai Amanat Nasional itu juga dituntut
membayar uang pengganti Rp2,7 miliar dari keuntungan yang diperoleh dari izin
pertambangan yang diberikan Nur Alam kepada pengusaha.

Imbas dari kasus korupsi yang menjeratnya, Ketua Majelis Hakim Diah
Siti Basariah mengganjar Nur Alam vonis pidana selama 12 tahun.

"Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Nur Alam dengan
pidana penjara selama 12 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar, dengan
ketentuan apabila denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama enam bulan," ujar Diah seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia
Abraham Utama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada Rabu
(23/03) malam.
Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada
terdakwa Nur Alam untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar dan
mencabut hak politiknya selama lima tahun.Nur Alam langsung mengajukan
banding atas vonis yang diterimanya.

"Saya tanpa berkonsultasi dengan para pengacara atau penasihat hukum


saya karena pada akhirnya saya yang merasakan langsung. Maka saya menyatakan
saat ini tanpa menunda waktu untuk banding," tegas Nur Alam.

Sebelumnya, jaksa menilai, perbuatan Nur Alam telah mengakibatkan


musnahnya atau berkurangnya ekologis pada lokasi tambang di Pulau Kabena
yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan ahli kerusakan tanah dan lingkungan
hidup, Basuki Wasis, terdapat tiga jenis penghitungan kerugian akibat kerusakan
lingkungan. Pertama, total kerugian akibat kerusakan ekologis. Kemudian,
kerugian ekonomi lingkungan. Ketiga, menghitung biaya pemulihan lingkungan.
Sesuai penghitungan, kerugian terkait kerusakan tanah dan lingkungan
akibat pertambangan PT AHB di Kabupaten Buton dan Bombana, sebesar Rp2,7
triliun. Jumlah tersebut dihitung oleh ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup,
Basuki Wasis. Atas hal itu, Nur Alam dituntut hukuman 18 tahun penjara oleh
jaksa. Dia juga dituntut membayar denda Rp1 miliar subsider satu tahun
kurungan.

Atas kerugian yang ditimbulkannya, Koordinator Divisi Kampanye ICW


Siti Juliantari menegaskan sudah sepantasnya Nur Alam dihukum berat.

"Kami melihat kasus Nur Alam ini bukan hanya kasus korupsi, tapi
kejahatan lingkungan. Kita melihat kasus korupsi dan kejahatan lingkungan itu
kan sebenarnya suatu kasus yang secara garis besar kejahatan kepada
kemanusiaan," kata perempuan yang akrab dipanggil Tari ini. Apalagi, Nur Alam
menjabat gubernur selama dua periode. Sebagai seorang penyelenggara negara,
imbuh Tari, semestinya memberi contoh kepada rakyat untuk tidak korupsi dan
memegang teguh integritas.

Skema penghitungan
Di sisi lain, ICW berharap, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta menjadikan metode penghitungan kerugian negara yang
didalilkan jaksa dengan menambahkan kerugian ekologis, biaya pemulihan
lingkungan, dan kerugian ekonomi lingkungan sebagai rujukan dalam
pengambilan putusan.

"Dorongan ke KPK adalah bagaimana kemudian KPK bisa menggunakan


penghitungan kerugian lingkungan ini dan membuat formulasi tahapan atau hal-
hal apa sih yang bisa dihitung dalam menghitung kerugian lingkungan. Jadi KPK
memiliki standar ketika kita ngomongin kerugian lingkungan, ujar Tari.

Lalu, bagaimana skema ideal penghitungan kerugian lingkungan untuk


kasus korupsi?

Ahli ekonomi lingkungan yang juga konsultan World Bank, Virza Safaat
Sasmitawidjaja, menjelaskan parameter utama adalah identifikasi kerugian
ekologis dan kerugian sosial akibat korupsi.

Kalau ini dijumlahkan secara total, maka akan kelihatan berapa sebetulnya
environmental cost dan social cost yang diakibatkan karena korupsi di sektor
pertambangan ini. Ini yang bisa dijadikan dasar kalau kita akan menggugat secara
perdata dari korupsi ini," ujarnya.

Biaya pemulihan untuk merehabilitasi kerusakan lingkungan, lanjut Virza,


sudah pasti juga diikutsertakan dalam dasar penghitungan.

"Dan memulihkan lingkungan itu tidak hanya dua hingga tiga tahun, tapi
bisa sampai lima hingga 10 tahun dan itu harus diperhitungkan nett present value-
nya dan bagaimana financial risknya," kata dia.

"Itu yang harus diperhitungkan untuk kajian untuk menghitung valuasi


ekonomi ini," tandasnya.

'Obral' perizinan
Langkah KPK ini juga disambut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi
Tambang (JATAM), Merah Johansyah, dengan harapan digunakan untuk kasus-
kasus korupsi sumber daya lainnya, seperti kasus yang menyeret Bupati Kutai
Kartanegara (nonaktif) Rita Widyasari, terkait izin lokasi untuk keperluan inti dan
plasma perkebunan kelapa sawit kepada PT Sawit Golden Prima.

"Bupati Kutai Kartanegara sekarang sedang proses sidang di Tipikor.


Mestinya KPK bisa menggunakan, tidak hanya menggunakan UU Tindak Pidana
Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, tapi juga bisa menggunakan
kerugian lingkungan hidup sebagai dimensi dalam dakwaan KPK," jelas Merah.

Langkah KPK, lanjut Merah, mesti dilihat sebagai upaya untuk memotong
rantai korupsi yang lebih besar, yakni menyelamatkan kekayaan alam dan ruang
hidup rakyat.

"Jadi kita apresiasi ini terobosan, dan ini akan mampu tidak hanya
memutus korupsi, tapi juga memutus kerusakan lingkungan hidup," cetusnya.

Terobosan ini, menurut dia, juga bisa diterapkan untuk menindaklanjuti


temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pelanggaran dalam sektor
sumber daya alam.

"Sebenarnya BPK sejak 2010 sudah melakukan green audit, atau evaluasi
kerugian lingkungan hidup sebagai kerugian negara. Sudah saatnya penegak
hukum yang lain bersinergi dengan KPK juga. BPK misalnya, dan KLHK sendiri
yang selama ini menurut kami peran KLHK yang sangat minim." kata dia.

Baru-baru ini, BPK mendapatkan dua temuan terkait lingkungan yang


dilakukan PT Freeport Indonesia (PTFI). Setidaknya dalam pelanggaran tersebut
potensi kerugian negara mencapai total sekitar Rp455 triliun.

Dalam hal kerusakan lingkungan, BPK menemukan Freeport telah


menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional
penambangan (tailing) di sungai, hutan, muara dan telah mencapai kawasan laut.
Kerugian dari perubahan ekosistem yang rusak akibat pembuangan limbah
yang berlebihan oleh Freeport ini setidaknya tercatat mencapai Rp185 triliun.

Temuan ini merupakan hasil pemeriksaan BPK atas Kontrak Karya


Freeport tahun 2013-2015 pada Kementerian ESDM, Kementerian LHK dan
instansi terkait lainnya di Jakarta, Jayapura, Timika dan Gresik.

Merah pula menyoroti bahwa korupsi di sektor sumber daya alam,


terutama terkait pertambangan selalu menjadi sumber korupsi selama ini guna
memenuhi kebutuhan biaya kampanye dalam pilkada serentak.

Dugaan ini beralasan mengingat pada tahun politik 2017-2018, tren


penerbitan izin tambang naik drastis.

Terdapat 170 izin tambang yang dikeluarkan sepanjang 2017 dan 2018,
dengan rincian 34 izin tambang di Jawa Barat yang terbit pada 13 Februari 2018,
dua pekan sebelum masa penetapan calon kepala daerah Jabar diumumkan.

Di Jawa Tengah, pada 30 Januari 2018 lalu, pemerintah setempat tercatat


'mengobral' 120 izin tambang. Demikian juga di Kalimantan Timur dimana
terdapat enam titik pertambangan batu bara ilegal yang tidak dilakukan penegakan
hukum.

"Kita minta KPK menggalakkan pemberantasan korupsi di tahun politik ini.


Karena masa-masa rentan di dalam pemberantasan korupsi itu satu tahun sebelum
pilkada dan satu tahun pilkada, terjadi apa yang disebut dengan obral perizinan,"
cetusnya.

Anda mungkin juga menyukai