Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MANUSIA DAN AGAMA


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu:
Cecep Munawar Holil S.Ag

Disusun Oleh : Kelompok 1


Rizki Pangestu (202055)
Vida Sintia (202054)
Yoga Adrian Shevchenko (202051)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI TRIDHARMA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Manusia dan Agama“ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas salah satu tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Agama jurusan
Manajemen, Fakultas Ilmu Ekonomi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tridharma.
Dan untuk menambah wawasan tentang materi Manusia dan Agama bagi para
pembaca dan penulis.

Selain itu, makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
penyusunan makalah. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak
terimakasih kepada:

1. Dosen Pendidikan Agama Islam Bapak Cecep Munawar Holil S.Ag yang
mana bersedia membingbing kami dalam penyusunan makalah ini.
2. Orang tua penulis yang selalu memberi dukungann kepada penulis.
3. Rekan-rekan kelompok 1 yang mau berkerjasama dalam menyelesaikan
makalah ini,
4. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.

Dengan ini kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Cimahi, 20 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................... 3
1.3. Tujuan Pembahasan ................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4
2.1. Pengertian Manusia ................................................................................................ 4
2.2. Pengertian Agama .................................................................................................... 8
2.3. Hubungan Manusia Dengan Agama ................................................................ 16
2.4. Agama Sebagai Fitrah dan Pedoman Hidup Manusia ............................. 18
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 20
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 20
3.2. Saran............................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan
Kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia
dengan tatana kehidupan. Banyak agama memiliki mitologi, simbol, dan
sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup yang
menjelaskan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan
mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh
moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut
beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.1

Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku,


kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau
keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik agama juga
dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa
atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan,
layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan
atau aspek lain dari kebudayaan manusia. Agama juga mungkin
mengandung mitologi.2

Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman,


sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas.3 Namun,
dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi
dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri
atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci
Defisini tentang agama disini sedapat mungkin sederhana dan tidak
terlalu sempit maupun longgar, Agama merupakan suatu lembaga atau
instansi yang mengatur kehidupan rohani manusia, Manusia Memiliki

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Agama / THE EVERYTHING WORLD'S RELIGIONS BOOK: EXPLORE THE BELIEFS,


TRADITIONS AND CULTURES OF ANCIENT AND MODERN RELIGIONS, PAGE 1 KENNETH SHOULER – 2010
2. OXFORD DICTIONARIES MYTHOLOGY, RETRIEVED 9 SEPTEMBER 2012
3. Kant, Immanuel (2001). Religion and Rational Theology. Cambridge University Press. hlm. 177.

1
2

kemampuan yang terbatas, Kesadaran dan pengakuan akan


keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa suatu yang luar biasa
dirinya.

Cara Cara Beragama :4

1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti


cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari
angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada
umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan
yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.

2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di


lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara
beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh.
Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara
beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang
berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika
memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka
ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi
hanya mengenai hal-hal yang mudah dan tampak dalam lingkungan
masyarakatnya.

3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio


sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama
secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama
sekalipun.

4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan


akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu,
pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu

4. https://id.wikipedia.org/wiki/Agama#cite_note-3
3

dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang
memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka
mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh)
dengan itu semua.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian manusia?


2. Apa pengertian agama?
3. Bagaimanakah Hubungan Antara Manusia dan Agama ?
4. Bagaimanakah Agama Sebagai Fitrah dan Pedoman Hidup Manusia?

1.3. Tujuan Pembahasan


Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
diuraikan diatas, penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui pengertian Manusia dan Agama
2. Untuk mengetahui Hubungan Antara Manusia dan Agama
3. Untuk mengetahui Agama Sebagai fitrah dan pedoman
4. Untuk menambah Wawasan Ilmu tentang agama
4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Manusia


A. Pengertian Manusia Menurut Para Ahli
a. Ludwing Binswanger: Manusia adalah makhluk yang mempunyai
kemampuan untuk mengada, suatu kesadaran bahwa ia ada dan
mampu mempertahankan adanya di dunia.5
b. Thomas Aquinas: Manusia adalah suatu substansi yang komplit
yang terdiri dari badan dan jiwa.6
c. Marx: Manusia adalah entitas yang dapat dikenali dan diketahui.7
d. Spinoza, Goethe, Hegel, dan Marx: Manusia adalah makhluk
hidup yang harus produktif, menguasai dunia di luar dirinya
dengan tindakan mengekpresikan kekuasaan manusiawinya yang
khusus, dan menguasai dunia dengan kekuasaannya ini. Karena
manusia yang tidak produktif adalah manusia yang reseptif dan
pasif, dia tidak ada dan mati.8
e. Betrand Russel: Manusia adalah maujud yang diciptakan dalam
keadaan bersifat mencari keuntungannya sendiri.9

B. Pengertian Manusia Menurut Perspektif Islam

Menurut Islam, Manusia adalah Makhluk yang paling sempurna,


ia diciptakan untuk menjadi kholifah di bumi, pada saat manusia
dilahirkan ia membawa kemampuan-kemampuan yang disebut fitrah,
fitrah inilah yang disebut dengan potensi Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan pendidikan, dalam Islam sangat dikenal adanya
fitrah, Manusia dalam Al-Quran adalah makhluk yang dilahirkan
dalam keadaan suci pendidikanlah yang dapat mengubah dan
menentukan manusia menjadi manusia yang konkrit.

5. Bagus Takwin, Psikologi Naratif Membaca Manusia Sebagai Kisah, Yogyakarta: 2007,hlm 4
6. Hardono Hadi, Jati Diri Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 33
7. Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 33
8. Ibid., hlm. 39
9. Suparman Syukur, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 231
5

Darinya kita dapat mengetahui, dan mengenal tentang berbagai


macam konsep yang berhubungan dengan kehidupan, baik yang fisik
ataupun yang non fisik. Satu dari sekian permasalahan yang dibahas
dalam Al-Qur'an yang acap kali menjadi bahan kajian yang yang
sering dinilai secara spekulatif, yang didasarkan pada pandangan
yang sangat subyektif dan tidak disandarkan pada pegangan yang
benar - benar bisa dipercaya yakni konsep tentang manusia.

Konsep manusia adalah konsep sentral bagi setiap disiplin ilmu


sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai objek formal
dan materialnya. Agar konsep manusia yang kita bangun bukan
semata-mata merupakan konsep yang spekulatif, maka kita mesti
bertanya pada Dzat yang mencipta dan mengerti manusia, yaitu Allah
SWT, melalui Al-Qur'an. Lewat Al-Qur'an Allah memberikan rahasia-
rahasia tentang manusia. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia
lebih nyata, benar dan sungguh-sungguh, maka Al-Qur'an
memberikan gambaran tentang manusia sebagai berikut :

 Manusia Sebagai Hamba Allah (Abd Allah)

Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada


Allah selaku Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan
tidak disekutukan. Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba
Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan saja,
melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti yang
diperintahkan dalam surah Bayyinah: “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,”
(QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan: “Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah Aku.” (QS51:56).

Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi


manusia yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai
hamba yang hanya mengharapkan ridha Allah.
6

 Manusia Sebagai Al-Nas


Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep
al- nas ini cenderung mengacu pada status manusia dalam
kaitannya dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan fitrahnya manusia memang makhluk sosial. Dalam
hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang
diciptakan berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah an-
Nisa’, “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya
kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.” 10
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah
makhluk yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain
di luar dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam
dirinya agar dapat menjadi bagian dari lingkungan soisal dan
masyarakatnya.

 Manusia Sebagai khalifah Allah

Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan


dalam surah alBaqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” 11

10. (QS:An-Nisa 4:1).


11. (QS:Al-Baqoroh 2: 30)
7

Ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu


merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya
manusia diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah
tersebut sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang untuk


memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan
hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam
ini. seperti dijelaskan dalam surah al- Jumu’ah, “Maka apabila telah
selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan
carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu
beruntung.” (QS: 62: 10), selanjutnya dalam surah AlBaqarah
disebutkan: “Makan dan minumlah kamu dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana di
atas bumi.” (QS: 2 : 60).

Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah


itu merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan
selanjutnya manusia diberikan beban untuk menjalankan fungsi
khalifah tersebut sebagai amanah yang harus
dipertanggungjawabkan.12

 Manusia Sebagai Bani Adam

Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai


keterangan dalam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia
adalah keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari
makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin.
Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilainilai
kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan pembinaan hubungan
persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua
manusia berasal dari keturunan yang sama. Dengan demikian
manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan
bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus
diperlakukan dengan sama

12. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994, hal. 162
8

 Manusia Sebagai Al-Insan

Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada


potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah
kemampuan berbicara (QS:55:4), kemampuan menguasai ilmu
pengetahuan melalui proses tertentu (QS:6:4-5), dan lain-lain.
Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia sebagai al- insan
juga mempunyai kecenderungan berprilaku negatif (lupa). Misalnya
dijelaskan dalam surah Hud: “Dan jika Kami rasakan kepada
manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari
padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.”
(QS: 11:9).

 Manusia Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)

Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk biologis


manusia terdiri atas unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik
berupa tubuh kasar (ragawi). Dengan kata lain manusia adalah
makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaedah
umum makhluk biologis seperti berkembang biak, mengalami fase
pertumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan
untuk hidup, dan pada akhirnya mengalami kematian.

2.2. Pengertian Agama


Kata atau term “agama”, meskipun keberadaannya di masyarakat
sudah begitu populer, namun secara ontologis ia masih sulit dirumuskan
pengertiannya. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa agama sebagai
sebuah term yang relatif mudah diucapkan, tetapi sangat sulit
didefinisikan dengan tepat.13 Bahkan Mukti Ali menyebut agama sebagai
kata yang paling sulit dirumuskan pengertian atau definisinya, -
barangkali tidak ada kata yang paling sulit dirumuskan pengertiannya
selain dari kata agama.14

Lebih jauh Mukti Ali mengemukakan tiga alasan yang melatari


kesulitan tersebut, yaitu:

13. Parsudi Suparlan, (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Maslah Agama,
(Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama Balitbang Agama) 1982), h. 18.
14. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 7-8.
9

 pertama, pengalaman agama merupakan persoalan batiniah,


subjektif dan sangat personal atau individual sifatnya.
 kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan
emosional daripada orang yang membicarakan agama, sehingga
dalam setiap orang mengkaji agama faktor emosi selalu memberikan
warna yang dominan.
 ketiga, konsepsi tentang agama sangat dipengaruhi oleh kepentingan
dan tujuan dari subjek yang mendefinisikan.15 Dan juga karena
agama posisinya menempati problem of ultimate concern,16 yakni
persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan mutlak manusia yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi kebera-daannya

Untuk memperjelas titik temu agama, biasanya dalam studi


keagamaan sering ditemukan adanya dua istilah yang berbeda antara
kata religion dengan kata religiosity. Kata yang pertama, religion, yang
biasa diartikan dengan “agama”, pada awalnya lebih berkonotasi sebagai
kata kerja, yang mencer-minkan sikap keberagamaan atau kesalehan
hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Akan tetapi dalam Studi Islam
di Perguruan Tinggi perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi
semacam “kata benda” ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta
hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah
Tuhan untuk umat manusia.17

Adapun religiosity lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan


sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang
diyakininya. Istilah yang tepat bukan religiositas, tetapi spiritualitas.
Spiritualitas lebih menekankan pada substansi nilai-nilai luhur
keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme
keagamaan.18

15. Ibid., h. 8.
16. Hakim & Mubarak, Metodologi, h. 38.
17. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. IV (Kairo: Mat}ba’at Musthafa Mahmud, 1353/1950), h. 159.
18. Abu al-`A’la al-Mawdudi mengidentifikasi mujaddidun yang beredar di kalangan Islam sampai abad
kesembilan Hijriyah sebagai berikut: 1) `Umar b. Abd al-`Aziz, 2) Imam Abu Hanifah, 3) Imam Malik, 4) Imam
Shafi’i, 5) Imam Ahmad b. Hanbal, 6) Imam Ghazali, 7) Ibn Taymiyah, dan 8) Shaykh Ahmad Shirhindi. Lihat
Abu al`A’la alMawdudi, A Short History of the Revivalist Movement in Islam, terj. alAsh’ari (Lahore: Islamic
Publications Limited, 1981), 45-81. Sementara itu, merespon hadith tentang pembaruan di atas, Saiful Jazil
juga berhasil mengidentifikasi mujaddidun itu secara berurutan abadnya sebagaimana berikut: Umar b. `Abd
al-`Aziz (abad ke-1), Imam Shafi’i (ke-2), Ibn Surayj (ke-3), Abu Hamid al-Asfarayini (ke-4), al-Ghazali (ke-5),
Fakhr al-Din al-Razi (ke-6), Ibn Daqiq al-`Id (ke-7), Siraj al-Din al-Bulqayni (ke-8), Jalal al-Din al-Suyuti (ke-
10

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa term “agama” tidak
bisa dirumuskan batasan-batasan atau pengertiannya secara umum.
Sebab, sebagaimana ditegaskan para perennialis (filosof perenial), bahwa
semua agama itu memiliki the common vision (pesan dasar yang sama),
yaitu sikap tunduk kepada Yang Maha Mutlak, walaupun bentuk
formalnya berbeda-beda. Keberadaan ini memungkinkan para ahli untuk
dapat menjelaskan aspek pengertian umum yang menjadi titik temu dari
berbagai ragam agama. Dalam kaitan ini, ada dua sudut pengertian
mengenai agama, baik secara kebahasaan (etimologis) maupun istilah
(terminologis).

1. Penggunaan Istilah Agama, Religi, dan Al-Din

Selain kata agama, ada term lain yang umumnya dipandang


sebagai padanan dari kata agama yakni religi dan din. Ketiga buah
term itu telah begitu populer dalam khazanah dan literatur-literatur
keagamaan di Indonesia,19 dan bahkan boleh jadi di dunia
internasional pada umumnya. Berkaitan dengan tiga term tersebut
agama, religi dan din, di kalangan pengkaji agama telah terjadi silang
pendapat. Mereka berbda pandangan di seputar apakah ketiganya
mempunyai pengertian yang identik (sama) atau berbeda? Sidi
Gazalba dan Zainal Arifin Abbas membedakan agama, religi dan din;
sebaliknya Faisal Ismail dan Endang Saifudin Anshari, keduanya
mengidentikkan ketiga masam term itu.

Pandangan yang membedakan agama dengan religi dan din,


antara lain, melihat dari tiga term itu dari sisi cakupannya. Bagi Sidi
Pendahuluan: Agama dan Manusia, Gazalba, seorang tokoh sebagai
representasi dari kelompok pertama, term Arab din mempunyai
pengertian yang relatif lebih luas bila dibandingkan dengan istilah
agama dan religi, karena dua term yang disebutkan terakhir ini
hanya menunjuk doktrin ibadah-vertikal, tidak menjangkau doktrin
ibadah sosial-horizontal. Sementara kata din meliputi keduanya

9), Shams al-Din al-Ramli (ke-10), `Abd al-Qadir al-`Aydrus (ke11), Ahmad al-Dayrabi (ke 12) dan `Abdullah
al-Sharqawi (ke-13). Lihat Saiful Jazil, “Pemikiran Modern tentang Pembaharuan Hukum Islam,” Nizamia,
Vol.1, No. 2, (1998), h. 57
19. Al-Mawdudi, A Short History, hal. 33-34; Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40
11

ibadah vertikal dan horizontal dan karenanya ia dikatakan lebih


kompleks dibandingkan dua term tadi. Kemudian Zainal Arifin Abbas
melihat dari sisi lain, bahwa rujukan kata din hanya khusus untuk
Islam, tidak pada agama yang selainnya, didasarkan pada firman
Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 19: inna addin „inda Allah al-islam.
(sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam)

2. Pengertian Agama, Religi dan al-Din


 Pengertian secara Kebahasaan (Etimologis)
Tentang istilah agama, ada berbagai keterangan yang
diberikan oleh para ahli. Menurut sebagian ahli bahwa kata
agama berasal dari bahasa Sansekerta dan tersusun dari dua
kata yakni a = tidak dan gama = kacau (kocar-kacir), sehingga
kata agama bisa diartikan tidak kacau atau tidak kocar-kacir, dan
atau agama itu menjadikan kehidupan manusia teratur. Dengan
pengertian dasar seperti ini maka agama hadir membawa misi
utama mengatur kehidupan umat manusia, sehingga kehidupan
mereka menjadi tertata dan teratur, dan bahkan kelak
mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Hanya saja
pendapat semacam ini dikritik oleh seorang ahli bahasa (linguist)
yakni Bahrun Rangkuti, sebagai tercermin dalam pernyataannya:
Orang yang berpendapat istilah agama berasal dari a dan gama
berarti orang itu tidak memahami bahasa sansekerta, dan
karenanya pendapatnya itu tidak ilmiah.20

Selanjutnya adalah kata religi, yang secara etimologis berasal


dari bahasa latin. Menurut satu pendapat, asal kata religi adalah
religere yang berarti membaca dan atau mengumpulkan. Agaknya
penjelasan ini berdekatan dengan pemaknaan agama dengan
jalan sebagai diuraikan di atas, yakni menunjuk muatan yang
terkandung dalam agama berupa aturan-aturan hidup, yang
tercantum di dalam kitab suci yang harus dibaca oleh setiap
pengikut suatu agama. Sementara itu pendapat lain mengatakan
bahwa religi berasal dari kata religare yang berarti ikatan,

20. Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40.


12

maksudnya ikatan manusia dengan Tuhan, sehingga manusia


terbebaskan dari segala bentuk ikatan-ikatan atau dominasi oleh
sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia sendiri.
Ikatan itu, sebagaiman dikatakan oleh Harun Nasution, tidak
hanya berupa kepercayaan tetapi juga ajaran hidup yang telah
ditetapkan oleh Tuhan

Adapun istilah al-din, yang berasal dari bahasa Arab, secara


kebahasaan berarti hutang yakni sesuatu yang mutlak harus
dipenuhi. Dalam bahasa Semit, induk bahasa Arab, kata al-din
diartikan undangundang atau hukum. Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa din secara bahasa dapat diartikan undang-
undang atau hukum yang harus dipenuhi oleh manusia, dan
pengabaian terhadapnya menjadikan hutang baginya, yang jika
hutang itu tidak dipenuhi akan berakibat Pendahuluan: Agama
dan Manusia datangnya hukuman atasnya.21

 Pengertian secara Istilah (Terminologi)

Selanjutnya pengertian agama bila ditinjau dari segi istilah,


ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.
Sebagaimana yang dikatakan Parsudi Suparlan.22 dalam kata
pengantar buku Agama: dalam analisa dan interpretasi
sosiologis‖, bahwa agama, secara mendasar dan umum, dapat
didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya
dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama
dilihat sebagai teks atau doktrin; sehingga keterlibatan manusia
sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak nampak
tercakup di dalamnya. Itulah sebabnya, masalah-masalah yang
berkenaan dengan kehidupan keagamaan baik individual

21. Lihat John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam ed. John L. Esposito,
Voices of Resurgent Islam (New York & Oxford: Oxford University Press, 1983), h. 33.
22. Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, terj: Achmad Fedyani Saifuddin
dari judul aslinya: Sociology of Religion, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. v-vi.
13

maupun kelompok atau Pendahuluan: Agama dan Manusia.


masyarakat, pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang
berbeda dari pengetahuan dan keyakinan lainnya yang dipunyai
manusia, peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan
duniawi dan sebaliknya, dan kelestarian serta perubahan-
perubahan keyakinan keagamaan yang dipunyai manusia, tidak
tercakup dalam definisi di atas.

3. Bentuk-bentuk Agama
 Pertama, agama kebudayaan (cultural religions) atau juga disebut
agama tabi‟i atau agama ardli, yaitu agama yang bukan berasal
dari Tuhan dengan jalan diwahyukan, tetapi merupakan hasil
proses antropologis, yang terbentuk dari adat istiadat dan
selanjutnya melembaga dalam bentuk agama formal.
 Kedua, agama samawi atau agama wahyu (revealed religions),
yaitu agama yang diwahyukan dari Tuhan melalui malaikat-Nya
kepada utusan-Nya yang dipilih dari manusia. Agama samawi ini
juga disebut dienul haq, (QS. 43:27,33) dan disebut juga agama
yang full fledged, yaitu agama yang mempunyai Nabi dan Rasul,
mempunyai kitab suci, dan mempunyai umat. Secara historis,
penerapan agama wahyu ini dapat diberikan kepada agama yang
mengajarkan adanya wahyu, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Dalam perjalanan selanjutnya, ternyata agama samawi dan tabi‟i


telah mengalami beberapa perubahan. Bagian yang berubah itu
terjadi pada sistem kepercayaan, sistem upacara maupun
kelembagaan keagamaan. Perubahan tersebut dapat berupa
perubahan dalam kepercayaan terhadap Tuhan yang mereka
sembah, dari monoteisme berubah ke politeisme. Perubahan itu juga
dapat terjadi dalam upacara-upacara keagamaan yang mereka
laksanakan. Oleh karena itu, dalam agama Islam dikenal adanya
istilah bid‟ah dan khurafat.23

23. Bid’ah adalah penambahan dalam peribadatan yang awalnya tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad saw. Di sini ada bid’ah hasanah (yang terdapat unsur anjuran) dan bid’ah sayyi’ah (yang
terdapat unsur dosa). Sedangkan khurafat adalah kepercayaan tambahan yang dianggap menyimpang dari
ajaran dasar agama Islam.
14

Berbeda dengan kajian para teolog, para ilmuwan yang diwakili


oleh para sarjana antropologi budaya dan sosiologi agama, melalui
kajian keilmuan mereka (scientivic approach) membedakan agama
yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok besar, yaitu
spiritualisme dan materialisme.

 Spiritualisme
Spiritualisme adalah agama penyembah sesuatu (zat) yang gaib
yang tidak nampak secara lahiriah, yaitu sesuatu yang memang
tidak dapat dilihat dan tidak dapat berbentuk. Bagian ini terinci lagi
dalam beberapa kelompok:

 Agama Ketuhanan yaitu agama yang para penganutnya


menyembah tuhan, tempat manusia menaruh kepercayaannya
dan cinta kepada-nya, merupakan kebahagiaan.
 Agama Penyembah Roh, adalah kepercayaan orang primitif
kepada roh nenek moyang atau roh pemimpin dan roh para
pahlawan yang telah gugur. Untuk menghadirkannya roh-roh
tersebut perlu diadakan upacara keagamaan yang khusus.
 Meterialisme
Meterialisme adalah agama yang mendasarkan
kepercayaannya terhadap Tuhan yang dilambangkan dalam
wujud benda-benda material, seperti patung manusia atau
binatang.24

4. Cara Manusia Beragama

Manusia dalam praktek beragama dan keberagama-annya


berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini disesuaikan
dengan tingkat pengalaman keberagamaan masing-masing
pemeluknya. Ada beberapa cara yang perlu diketahui, yaitu :

24. Roland Robertson, ed., Agama: dalam Analisa dan Intrepretasi Sosiologis, terj: Achmad Fedyani Saifuddin
dari judul aslinya: Sociology of Religion, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. v-vi.
15

 Cara Mistik Dalam menghayati dan mengamalkan ajaran


agamanya, sebagian manusia cenderung lebih menekankan pada
pendekatan mistikal dari pada pendekatan yang lain. Cara mistik
seperti ini dilakukan oleh para sufi (pengikut tarekat) dan
pengikut kebatinan (kejawen). Yang dimaksud cara mistik adalah
suatu cara beragama pengikut agama tertentu yang lebih
menekankan pada aspek pengamalan batiniah (esoterisme) dari
ajaran agama yang mengabaikan aspek pengamalan formal,
struktural dan lahiriah (eksoterisme). Pada setiap pengikut
agama, apapun agamanya, baik agama besar maupun agama
lokal, selalu memiliki kelompok pengikut yang memberi perhatian
besar pada cara beragama mistik ini. Di kalangan agama Islam
dikenal dengan sufisme, di kalangan umat Katolik dikenal dengan
hidup kebiaraan, begitu juga di kalangan agama Hindu maupun
Budhisme. Beragama dengan cara mistik sangat digemari oleh
masyarakat berkebudayaan tertentu, yang secara kultur-
dominan, mereka memang menekankan pada hal-hal mistikal
tersebut, seperti, sebagian masyarakat yang berkebudayaan jawa.
Kebudayaan Jawa adalah tipe kebudayaan yang menekankan
pada hidup kerohanian, bersifat esoteris dan menjunjung tinggi
harmonitas hidup sehingga kadangkala menyebabkan terjadinya
sindritisme.25
 Cara Penalaran, adalah cara beragama dengan menekankan pada
aspek rasionalitas dari ajaran agama. Bagi penganut aliran ini,
bagaimana agama itu harus dapat menjawab masalah yang
dihadapi penganutnya dengan jawaban yang dapat diterima akal.
Beragama tidak selamanya menerima begitu saja apa yang
didoktrinkan oleh pemimpin agama, mereka menyenangi adanya
interpretasi yang bebas dalam menafsirkan teks dari kitab suci
atau buku-buku agama lainnya. Dalam tradisi Islam,
umpamanya, ada kelompok yang disebut mutakallimun atau para
ahli ilmu kalam, yang banyak membicarakan teologi Islam dengan
memakai dalil tekstual (naqli) dan dalil rasional (aqli).

25. Bisa dilihat dalam Neil Muider, Kepribadian Jawa, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980), h. 20.
16

 Cara Amal Saleh. Cara ini lebih menekankan penghayatan dan


pengamalan agama pada aspek peribadatan, baik ritual formal
maupun aspek pelayanan sosial keagamaan. Menurut kelompok
ini, yang paling penting adalah melaksanakan amal saleh, karena
indikator seseorang beragama atau tidak adalah dalam
pelaksanaan segala amalan lahir dari agama itu sendiri. Siapapun
yang ingin mendapat balasan surga ataupun neraka, seluruhnya
didasarkan pada amal perbuatannya.
 Cara Sinkretisme. Sinkretisme diambil dari bahasa Yunani,
synkretismos yang berarti panggabungan ajaran dan pengamalan
agama yang berbeda satu sama lain. Cara sinkretisme adalah
caracara seseorang dalam menghayati dan megamalkan agama
dengan memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai agama untuk
dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau
untuk diajarkan kepada orang lain. Dalam prakteknya, cara
beragama sinkretisme ini dapat terjadi pada bidang kepercayaan,
nama Tuhan umpamanya, dikombinasikan seperti dalam
perkataan ―Gusti Allah‖ atau ―Allah Sang Hyang Widi‖, dapat juga
dalam pelaksanaan ritual, dalam berdo‘a, dalam peralatan yang
dipakai pula upacara keagamaan dan sebagainya.26

2.3. Hubungan Manusia Dengan Agama


Sekurang- kurangnya ada tiga alasan yang melatar belakangi
perlunya manusia terhadap agama,27 Ketiga alasan tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut yaitu:

 Fitrah Manusia. Dalam konteks hal ini di antara ayat al- Qur’an dalam
surat ar- Rum ayat 30 bahwa ada potensi fitrah beragama yang
terdapat pada manusia. Dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa insan
adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa
yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai
ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibanding dengan makhluk
lainnya sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan

26. Kahmad, Metode, h. 46-48.


27. Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011
17

memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya.


Lebih jauh Musa Asy’ari dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam al-Qur’an yang dikutip oleh Nata bahwa pengertian manusia
yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk
menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah
terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan
pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian
berbeda dengan kata basyar yang digunakan dalam al- Qur’an untuk
menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya yang
membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup yang
kemudian mati.
 Kelemahan dan kekurangan manusia. Menrut Quraish Shihab, bahwa
dalam pandangan al- Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan
sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia
inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih
besar. Di antara ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat
al-Syams ayat 7-8, bahwa “ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan,
Allah mengilhamkan kepadanya kafasikan dan ketaqwaan”.
 Tantangan manusia. Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama karena manusia dalam kehidupannya
menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari dalam amupun
dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu
dan bisikan setan (lihat QS 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari
luar dapat berupa rekayasa dan upaya- upaya yang dilakukan
manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia
dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga dan
pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan
yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari tuhan.
Kita misalkan membaca ayat yang berbunyi “ Sesungguhnya orang-
orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi orang
dari jalan Allah (QS al-Anfal,36).
Agar umat Islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu
menwujudkan misi, maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman
secara utuh (Khafah) tentang islam itu sendiri umat islam tidak hanya
18

memiliki kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga
dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi. Mereka diharapkan mampu
mengintegrasikan antara pengamalan ibadah dengan makna esensial
ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-
hari, seperti pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, sikap toleran
dan saling menghormati, tidak suka menyakiti atau menghujat orang
lain. Dapat juga dikatakan bahwa umat islam harus mampu menyapu
padukan antara nilai-nilai ibadah mahdlah dengan ibadag ghair
mahdlah dalam rangka membangun negara yang subuh makmur dan
penuh pengampunan Allah SWT.

2.4. Agama Sebagai Fitrah dan Pedoman Hidup Manusia


Al-Qurtubi mengatakan bahwa fitrah bermakna kesucian jiwa dan
rohani, fitrah disini adalah firman Allah SWT yang ditetapkan kepada
manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir dalam kedaan suci dalam
artian tidk memiliki dosa.

Fitrah merupakan citra manusia yang penciptaannya tidak ada


perubahan, sebab jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang.
Adapula dalam Q.S al-Shaffat:96 yang berisi “Allah menciptakan manusia
sekalian tingkah lakunya” yang kedua adalah secara nasabi, makna
nasabi diambil dari pemahaman beberapa ayat dan hadist nabi. Ada
banyak makna fitrah, diantaranya, fitrah berarti suci (al—thur)

Keyakinan ditemukannya berbagai macam agama dalam masyarakat


sejk dahulu hingga kini membuktikan bahwa hidup dibawah system
keyakinan adalah tabiat yang merata pada manusia. Tabiat ini telah ada
sejak manusia lahir sehingga taka da pertentangan sedikitpun dari
seseorang yang tumbuh dewasa dalam sebuah system kehidupan. Agama-
agama yang berbeda-beda tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
tersebut.

Dalam setiap diri manusia selalu ada pertanyaan yang selalu muncul
dalam dirinya yaitu “dari mana saya datang?”, “apa yang terjadi ketika
saya sudah mati?”. Pertanyaan- pertanyaan ini yang mengakibatkan
manusia selalu mencari jawabannya. Mencari jawaban dan selalu ingin
tahu merupakan fitrah manusia yaitu hal yang sudah ada dan berdasar
19

di dalam hidup manusia. Para ahli teologi Islam mengatakan bahwa fitrah
adalah satu hal yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia.
Karenanya, ciri-ciri sesuatu yang bersifat fitri adalah tidak dipelajari, ada
pada semua manusia, tidak terkurung oleh batas-batas teritorial dan
masa, dan tidak akan pernah hilang.

Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak


terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Sejak awal
manusia berbudaya, agama dan kehidupan beragama tersebut telah
menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari
semua perilaku budayanya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan
berkembang dari adanya rasa ketergantungan manusia terhadap
kekuatan goib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan mereka.
Mereka harus berkomunikasi untuk memohon bantuan dan pertolongan
kepada kekuatan gaib tersebut, agar mendapatkan kehidupan yang
aman, selamat dan sejahtera. Tetapi “apa” dan “siapa” kekuatan gaib yang
mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan bagaimana cara
berkomunikasi dan memohon peeerlindungan dan bantuan tersebut,
mereka tidak tahu. Mereka hanya merasakan adanya da kebutuhan akan
bantuan dan perlindunganya. Itulah awal rasa agama, yang merupakan
desakan dari dalam diri mereka, yang mendorong timbulnya perilaku
keagamaan. Dengan demikian rasa agama dan perilaku keagamaan
(agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari
kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah”
manusia.

Agama sebagai pedoman hidup manusia karena agama sangat penting


bagi kehidupan manusia sebagai petunjuk menjalani hidup didunia.
Agama sebagai pondasi dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Manusia
yang tidak memiliki agama bagaikan hidup tanpa arah dan tujuan. Maka
dari itu kita sebagai manusia harus mempunyai keyakinan dan
mempunya agama sebagai pedoman perjalan hidup kita yang akan
membawa kita ke jalan yang terang.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Manusia hakikatnya adalah makhluk biologis, psikologi dan sosial
yang memilki dua predikat status dihadapan Allah sebagai Hamba Allah
dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah, mengatur alam dan
mengelolanya untuk mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu
sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada
sunnnatullah. Rasa agama dan perilaku agama (agama dan kehidupan
beragama merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan
istilah lain merupakan “fitrah” manusia.

3.2. Saran
Demikian penyusunan makalah ini, agar kiranya dapat bermanfaat
bagi para pembaca khususnya bagi diri penulis sendiri. Saran dan kritik
dari pembaca akan selalu penulis terima untuk penulisan makalah
selanjutnya yang lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama THE EVERYTHING WORLD'S RELIGIONS
BOOK: EXPLORE THE BELIEFS, TRADITIONS AND CULTURES OF ANCIENT AND MODERN
RELIGIONS, PAGE 1 KENNETH SHOULER – 2010
OXFORD DICTIONARIES MYTHOLOGY, RETRIEVED: 9 SEPTEMBER 2012

Kant, Immanuel, Religion and Rational Theology. Cambridge University, 2001.


Press.

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama#cite_note-3/ diambil tgl 23/09/2020-


15.05.

Bagus Takwin, Psikologi Naratif Membaca Manusia Sebagai Kisah, Yogyakarta:


2007.
Hardono Hadi, Jati Diri Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001.
Ibid.,
Suparman Syukur, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Al-Quran madinah (Qs.4) (Qs.2)
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994.
Parsudi Suparlan, (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian
Masalah-Maslah Agama, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur
Agama Balitbang Agama) 1982).
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II, (Jakarta: UI Press,
1985)
Hakim & Mubarak, Metodologi.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. IV.

“Pemikiran Modern tentang Pembaharuan Hukum Islam,” Nizamia, Vol.1, No.


2, (1998).
Al-Mawdudi, A Short History,
Jainuri, “Landasan Teologis,”

Lihat John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,”
dalam ed. John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam, New York & Oxford:
Oxford University Press, 1983
Sociology of Religion, (Jakarta: Rajawali, 1988).
Neil Muider, Kepribadian Jawa, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1980.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).

21

Anda mungkin juga menyukai