Anda di halaman 1dari 16

Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan Informasi

Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus Pembunuhan 1


No. 12 Oktober 2023

Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan Informasi Dari Seorang


Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus Pembunuhan

Maria Arsety Marlyntan


Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum, Universitas Pamulang
Email : arsetymarlyntan02@gmail.com

ABSTRAK
Investigasi kriminal kini memainkan peran penting dalam mengungkap kebenaran dan
menjamin keadilan, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan seperti
pembunuhan. Artikel ini berfokus pada pentingnya bukti forensik dan bagaimana hal
itu mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh hakim. Kajian ini terutama bersifat
peraturan namun juga mendalami sifat ganda dari bukti ahli, yang mencakup
kesaksian ahli dan bukti dokumenter. Kualitas bukti ini ditingkatkan secara signifikan
melalui proses pengambilan keputusan, dengan mengandalkan kesaksian ahli yang
diberikan oleh ahli forensik. Ilmuwan forensik membangun hubungan antara tindakan
dan konsekuensinya, apakah tindakan tersebut menyebabkan bahaya, masalah
kesehatan, atau kematian.

Kata Kunci : Ahli, Alat Bukti, Hukum Acara Pidana, Kedokteran Fprensik,
Investigasi, Pembunuhan

ABSTRACT
Criminal investigations now play a crucial role in uncovering the truth and
ensuring justice, particularly in cases involving crimes like murder. This article
focuses on the significance of forensic evidence and how it influences the
decisions made by judges. The study primarily has a regulatory nature but also
delves into the dual nature of expert evidence, which includes expert testimony
and documentary evidence. The quality of this evidence is greatly improved
through the decision-making process, relying on the expert testimony provided
by forensic experts. Forensic scientists establish a link between actions and
their consequences, whether they lead to harm, health issues, or death.

Keywords: Expert, Evidence, Criminal Procedure Law, Forensic Medicine,


Investigation, Murder
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli Dalam 2
Maria Arsety Marlyntan Proses Penyelidikan Kasus Pembunuhan

Pendahuluan

Hukum Acara Pidana yang juga dikenal sebagai KUHAP, yang mulai
berlaku di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981, adalah kerangka hukum
yang mengatur bagaimana proses hukum pidana dijalankan di negara ini.
Hukum pidana mencakup aspek materiil, sedangkan hukum acara pidana fokus
pada aspek formalnya. Hukum acara pidana ini terdiri dari seperangkat
peraturan yang mengatur bagaimana hukum pidana materiil diterapkan
melalui penggunaan kekuasaan negara di hadapan pengadilan pidana.
Dalam kasus tindak pidana, pentingnya pembuktian tidak bisa
diremehkan. Terkadang, saksi dan pelaku mungkin enggan memberikan
keterangan yang krusial, terutama dalam kasus korupsi atau kejahatan
lainnya, karena mereka tidak ingin mengungkapkan informasi yang sangat
penting.
Hal ini mendorong penyidik dan jaksa penuntut umum untuk menyusun
tuntutan mereka dengan cermat. Semua bukti dianggap harus bersifat netral
dan tidak memihak, dan bukti ini sangat membantu hakim dalam mengambil
keputusan akhir mengenai suatu kasus. Meskipun prinsip-prinsip hukum
menegaskan bahwa penyidik harus memberikan bukti kepada tersangka,
mereka juga menekankan bahwa ini diperlukan untuk mencegah terjadinya
prasangka yang tidak semestinya.
Ilmu forensik dipergunakan untuk membantu mengenali tindak pidana
yang mengakibatkan korban tewas atau cedera akibat perbuatan seseorang.
Kemudian, dalam ranah hukum pidana, bukti fisik melibatkan hasil kejahatan
yang tidak bisa diajukan dalam pengadilan, seperti luka tubuh atau kematian
korban. Oleh karena itu, Visum et Repertum harus diselenggarakan dengan
seksama, akurat, dan menyeluruh, berdasarkan hasil pemeriksaan tubuh oleh
seorang dokter.
Dengan mempertimbangkan pentingnya bukti Visum et Repertum,
kesalahan dalam proses pidana, termasusk penentuan hukuman oleh hakim,
dapat timbul akibat kelalaian sekecil apapun. Tujuan ilmu kedokteran forensik
yaitu untuk mengetahui bagaimana kejahatan terjadi yang menyebabkan
kerusakan atau cedera pada kesehatan dan tidak memiliki niat untuk
menyembuhkan.
Salah satu titik fokus utama dari diskusi di atas adalah pengumpulan
barang bukti dalam kasus pembunuhan. Barang bukti micro terdiri dari
metode yang digunakan untuk mendapatkan bukti material seperti langkah-
langkah pengolahan tempat kejadian perkara dan penyimpanan barang bukti
bertujuan untuk memungkinkan pemeriksaan dan identifikasi selanjutnya
melalui laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium akan digunakan dalam
teknis kriminalistik di tempat kejadian perkara, dengan memperhatikan unsur
mikro dan makro yang terkandung dalam barang bukti.
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan Informasi
Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus Pembunuhan 3
No. 12 Oktober 2023

Dalam konteks penelitian laboratorium atau yang dipraktekkan oleh


pakar, saksi, surat, atau petunjuk (seperti laporan, berita acara, atau
petunjuk) mengandalkan elemen mikro sebagai bukti. Sementara dalam
penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik, saksi, atau tersangka, elemen
makro menjadi landasan bukti, dan keterangan saksi dan/atau tersangka
dicatat dalam berita acara.
Dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 6 ayat 2 Peraturan Pokok
Peradilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, upaya kepolisian bertujuan
untuk mencegah adanya penafsiran yang keliru mengenai penghukuman
seseorang atas suatu tindak pidana dengan menegaskan bahwa seseorang
tidak boleh dihukum kecuali jika pengadilan memiliki keyakinan berdasarkan
bukti yang sah sesuai dengan Undang-Undang bahwa individu yang
bersangkutan dapat dianggap bertanggung jawab atas perbuatan yang
dituduhkan kepadanya.
Dari penjelasan yang telah diberikan, penulis tertarik untuk mendalami
peran ilmu forensik dalam membantu penyidik mengungkap fakta-fakta
terkait kasus pembunuhan.

Metode

Penelitian deskriptif ini menerapkan pendekatan hukum normatif,


dimana digunakan teori-teori hukum dan prinsip-prinsip hukum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, data primer dan
sekunder yang berkaitan dengan subjek penelitian dikumpulkan dan
diakumulasi.
1. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif; yakni
penelitian kepustakaan tentang asas-asas hukum, tatanan hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
2. Metode Penelitian: Penulis memakai dua jenis pendekatan yang
digunakan yakni pendekatan berfokus pada undang-undang (statute
approach) dan pendekatan berbasis konsep (conceptual approach).
Pendekatan hukum lebih menekankan pada peraturan-peraturan
hukum sebagai landasan utama dalam penelitian, sementara
pendekatan konseptual mengacu pada teori sebagai landasan utama
untuk penelitian.
Sumber data penelitian: Informasi sekunder adalah data yang
diperoleh secara langsung dari sumber-sumber tertulis seperti buku, artikel
online, pandangan hukum, dan regulasi lainnya.
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 4
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Pembahasan

1. Bagaimana Ilmu Kedokteran Forensik Berperan dalam Mendukung


Penyidik dalam Menemukan Bukti Konkret yang Terhubung dengan
Kasus Pembunuhan

Menentukan bukti pentingnya melibatkan para ahli forensik sangat besar


dalam penyelidikan tindak pidana, baik sebelum persidangan maupun selama
proses berlanjut, dikarenakan keberadaan para ahli tersebut memberikan
bantuan yang sangat diperlukan kepada orang-orang yang menghadapi
kesulitan. Bantuan tenaga ahli dalam menangani kasus dapat membantu
meringankan kasus dan mengenali pelakunya.
Ahli forensik memiliki potensi untuk memberikan bantuan kepada hakim
dalam proses peninjauan kembali, membantu mereka dalam membuat
keputusan yang akurat mengenai kasus yang sedang mereka periksa.
Sebelum melakukan pengujian, ahli forensik membutuhkan bukti ilmiah agar
hasilnya dapat dianggap akurat. Artikel 7 (1) (a) Proses Hukum yang
Berkaitan dengan Awal Penyelidikan Dalam Perkara yang Ditangani oleh
Kepolisian Resor Purworejo, masyarakat di desa Panggeldlang, Kecamatan
Need, Kabupaten Purworejo Holden tinggal di Gunardi bersama korbannya,
Siti Sarah Apriyani (32), yang merupakan istri dari tersangka, dan suaminya,
Endang Susilowati (50). Selain itu, anak dan ayahnya dilecehkan oleh mertua
Muh Wahyono, 65 tahun. Panggilan minta tolong pertama kali dilakukan ke
rumah ayah mertua tersangka, menurut peneliti AKP R. Harya Seto, SH, dan
M. Paspor Tetangga. Rupanya, orang yang melakukan itu tinggal di rumah
tersebut bersama dengan pasangan dan anak mereka. Saat tetangganya
berteriak, korban tergeletak di lantai. Istri pelaku tiba saat korban
menghubungi polisi. Setelah mendapat perawatan di fasilitas medis, dia
meninggal akibat luka parah yang disebabkan dengan menggunakan senjata
api. Dalam situasi seperti ini, para peneliti dapat sampai pada kesimpulan
sebagai berikut:
1. Menurut Pasal 120 ayat 1, ketika penyidik menganggap perlu, ia dapat
meminta bantuan dari seorang ahli atau seseorang yang memiliki keahlian
khusus.
2. Pasal tersebut tidak menjelaskan lokasi khusus, seperti TKP, kantor, atau
tempat lainnya;
3. Pasal tersebut juga tidak menguraikan jenis bantuan yang dapat diberikan
kepada ahli, seperti pemeriksaan TKP atau di rumah sakit. Pemeriksaan
harus dilakukan sebaik-baiknya.
4. Dalam kasus terbaru di wilayah hukum Polres Purworejo, penyidik AKP
R.Harya Seto, S.H., M.Krim mengajukan permintaan kepada seorang dokter
forensik dari rumah sakit Bhayangkara Semarang untuk melakukan
pemeriksaan di lokasi kejadian, sesuai dengan ketentuan dalam Hukum
Acara Pidana dan Pasal 13 Undang-undang Pokok Kepolisian Tahun 2004.
Pada tahap awal pemeriksaan di lokasi kejadian, dokter forensik
mengumpulkan barang bukti yang berkaitan dengan kematian korban,
seperti bercak darah di tempat kejadian.
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan
Informasi Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan 5
No. 12 Oktober 2023

Manfaat pemeriksaan di TKP adalah Visum et Repertum TKP.


a. Menentukan tanggal kematian,
b. Menentukan sebab akibat luka pada saat itu,
c. Koleksi bukti di tempat kejadian,
d. Identifikasi tipe kematian korban dalam proses penyelidikan di
tempat kejadian,
e. Untuk mengurangi durasi yang diperlukan dalam meminta bantuan
dari seorang ahli, bisa dilakukan secara lisan atau melalui panggilan
telepon.
f. Kemudian diikuti bersama tulisan,
g. Penyidik atau petugas kepolisian menjemput dan mengembalikan
dokter,
h. Selama pemeriksaan, dokter harus didampingi oleh penyidik dengan
pangkat serendah-rendahnya Letnan Dua atau Inspektur Dua. Jika
penyidik meminta bantuan dari spesialis dalam penyelidikan kasus
tindak pidana, dokter harus mencatat:
i. Tanggal dokter meminta bantuan penyidik,
j. Cara meminta bantuan penyidik,
k. Nama penyidik yang meminta bantuan, d. Jam saat dokter tiba di
TKP, e. Alamat TKP dan jenis tempatnya (seperti rumah, gedung,
sawah, jalan).

2. Mendengarkan penjelasan dari seorang ahli kedokteran forensik


tentang bukti visum dan repertum dalam perkara pembunuhan
merupakan hal yang dipertimbangkan oleh hakim.

Penyelidikan perkara pidana adalah bagian integral dari usaha untuk


mengungkap kebenarannya. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai upaya
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama tahap penyelidikan awal,
termasuk proses penyelidikan dan penuntutan, serta dalam proses
persidangan.
Bukti memainkan peran krusial dalam proses pengujian hukum. Nasib
terdakwa ditentukan oleh kecukupan bukti yang dikumpulkan secara sah
untuk membuktikan kesalahannya. Oleh karena itu, hakim harus memeriksa
dan menilai bukti dengan cermat, teliti, dan penuh kebijaksanaan.
Penilaian minimal "kekuatan alat bukti" atau nilai pembuktian dari
setiap alat bukti harus diperhatikan, sesuai dengan Pasal 184 KUHP.
Pembuktian ini merupakan dasar dari proses hukum, yang diatur oleh
peraturan dan petunjuk yang diakui oleh undang-undang untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
Pengadilan tidak dengan mudah atau sewenang-wenang memvonis
kesalahan terdakwa; sebaliknya, pengadilan bertugas untuk membuktikan
kesalahan terdakwa dengan berlandaskan pada bukti yang sah. Bukti-bukti
ini sangat penting, dan oleh karena itu, hakim tidak dapat menjatuhkan
hukuman kepada seseorang kecuali ia yakin dengan dua bukti sah bahwa
terdakwa bersalah. Selain itu, kedua sumber bukti tersebut harus mampu
mempengaruhi keyakinan hakim.
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 6
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Keyakinan seorang hakim dalam menentukan kesalahan seorang


terdakwa terdiri dari dua elemen utama: yaitu bahwa sebuah kejahatan telah
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa adalah pelaku sebagaimana
dituduhkan, bukan individu lain. Menurut Teori Sistem Pembuktian Menurut
Undang-Undang Secara Negatif, hakim hanya dapat memutuskan untuk
menghukum terdakwa jika terdapat bukti yang dibatasi oleh undang-undang
dan didukung oleh keyakinan hakim bahwa bukti tersebut ada.
Sistem pembuktian hukum ini berkaitan erat dengan keyakinan bahwa
proses pembuktian harus sesuai dengan bukti yang diatur oleh undang-
undang, dan bahwa hakim memiliki keyakinan baik secara substansial maupun
prosedural terhadap bukti tersebut. Penggabungan antara sistem pembuktian
negatif dan keputusan hakim mendukung adanya unsur objektif dan subjektif
dalam menentukan kesalahan atau tidaknya terdakwa.
Untuk menentukan dominansi salah satu dari kedua komponen ini,
sistem ini mengkombinasikan elemen subjektif dan objektif. Jika kedua unsur
ini tidak terpenuhi, maka terdakwa dianggap tidak bersalah. Hal ini terjadi
ketika hakim memiliki keyakinan kuat bahwa terdakwa bersalah, namun
pemidanaan tidak dapat dilakukan karena kurangnya bukti yang cukup sesuai
dengan prosedur undang-undang. Oleh karena itu, kedua aspek ini harus
bersinergi, sebab tanpa keduanya, terdakwa tidak dapat dihukum.
Perbandingan antara Pasal 183 KUHP dengan Pasal 294 KUHP hampir
identik dalam maksud dan isinya. Pasal 183 KUHP menyatakan bahwa hakim
tidak dapat menjatuhkan pidana kecuali terdapat paling sedikit dua bukti sah
bahwa tindakan pidana tersebut benar-benar dilakukan oleh terdakwa. Pasal
294 HIR menyatakan bahwa terdakwa tidak dapat dipidana, kecuali jika
hakim yakin bahwa undang-undang mengharuskan terdakwa membuktikan
bahwa tindak pidana tersebut benar-benar dilakukan dan bahwa terdakwa
bersalah atas tindak pidana tersebut.
Sistem pembuktian undang-undang mengontrol kedua pasal tersebut
secara negatif. Penambahan berat adalah satu-satunya hal yang membedakan
keduanya. Pasal 183 KUHAP menjelaskan prosedur penentuan kesalahan atau
tidaknya seorang terdakwa, dan menegaskan bahwa terdakwa harus dianggap
bersalah jika terdapat minimal dua bukti yang sah yang mendukung
hukumannya.
Tingkat minimal bukti yang diperlukan digunakan untuk menilai sejauh
mana bukti yang ada dapat menunjukkan kesalahan atau tidaknya terdakwa.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Visa et Repertum sebenarnya
adalah bukti berupa laporan informasi forensik yang menjelaskan penyebab
dan dampak pada tubuh korban (Rindo, 2015).
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan
Informasi Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan 7
No. 12 Oktober 2023

Pada mayat laki-laki berumur kurang lebih 30 tahun dengan golongan


darah AB ini didapatkan luka terbuka, terpotongnya tulang dada dan tulang
iga, tersayatnya bilik jantung kanan dan pembuluh balik utama serta
perdarahan akibat kekerasan tajam. Selanjutnya didapatkan luka-luka lecet
dan memar akibat kekerasan tumpul yang tidak dapat menyebabkan kematian.
Sebab matinya orang ini akibat kekerasan tajam (tusukan) pada daerah dada.
Berdasarkan sifat lukanya, tusukan tersebut disebabkan oleh senjata tajam
bermata satu dengan lebar maksimal senjata yang masuk 3,5cm. Adanya ganja
dan alcohol pada orang ini membuktikan bahwa orang ini mengkonsumsi ganja
dan alcohol. Kemudian, bukti yang diserahkan oleh jaksa penuntut berupa
sebilah senjata tajam jenis badik bergagang kayu dan bersarung kayu warna
coklat berikut sebuah tas warna coklat bergaris putih, dirampas untuk
dimusnahkan .
Dalam proses penyelidikan, tersangka mengakui bahwa dia memiliki
pisau, yang berhubungan dengan kejahatan pembunuhan. Dia mengambil pisau
dari pinggang dibalik bajunya dan langsung menusukkan pisaunya kepada
korban SUYONO alias EDHO sebanyak 1 (satu) kalI yang mengenai dadanya
namun saat itu korba masih sempat melawan dengan cara memukul tersangka
sambil memegangi tersangka.
Oleh sebab itu, ada kesamaan yang mencolok antara tindakan yang
dilakukan tersangka terhadap korban SUYONO alias EDHO yang mengakibatkan
kematian korban. Visum et Repertum menjadi acuan sebab akibat dari
perbuatan tersangka dan menimbulkan akibat bagi korban. Pada perkara
pembunuhan Putusan Nomor: 1897/Pid.B/2009/PN.Jkt.Ut. Pengadilan Negeri
Jakarta Utara yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa
dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan dalam pertimbangan hakim
menggunakan keterangan Visum et Repertum Nomor : 1104/SK-II/09/2-2009
tanggal 30 September 2009 yang ditandatangani oleh Dr. Abdul Mun’im Idris,
SpF.

3. Teknik Pembuatan Visum et Repertum Oleh Dokter Sebagai Upaya


Mengungkapkan Pwerkara di Dalam Proses Peradilan

Keputusan tentang apakah korban harus didampingi oleh petugas kepolisian


tidak diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, tujuan tugas pengelola
pengiriman adalah memastikan bahwa data yang tercantum dalam permohonan
Visum et Repertum sesuai dengan identitas subjek dan korban yang sebenarnya.
Pada tahap pertama, saksi diminta untuk menceritakan semua informasi
yang mereka lihat, serta informasi lain yang terkait dengan kejahatan. Polisi
dapat menggunakan program komputer atau gambar wajah pelaku untuk
mencari tersangka di langkah kedua. Kemudian, Mereka meminta saksi untuk
mengidentifikasi tersangka dari beberapa individu yang telah ditahan oleh polisi
dan menunjuk ke arah tersangka tersebut.
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 8
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Dalam kondisi semacam ini, dokter juga bertanggung jawab untuk


memastikan bahwa identitas yang tercantum dalam permohonan Visum et
Repertum sesuai dengan identitas korban yang sedang diselidiki.
Dengan demikian, Proses pembuatan repertoar dapat disajikan dalam
langkah-langkah berikut:
a. Menerima korban dari berbagai latar belakang medis, termasuk dokter
umum dan dokter spesialis yang mematuhi standar operasional prosedur
(SPO). Fokus utama dalam kegiatan ini adalah menjaga kesehatan, dan
bila diperlukan, mengatasi masalah medis yang mungkin timbul. Selain
itu, para pasien yang memerlukan perawatan medis mungkin memiliki
keahlian klinis yang beragam.
b. Mendapatkan surat pendapat ahli/Visum et Repertum. Dokter yang
bertanggung jawab atas pemeriksaan kesehatan harus memeriksa apakah
ada peraturan yang berlaku sesuai dengan persyaratan tersebut. Ini
adalah bagian hukum yang sering menciptakan situasi yang rumit adalah
ketika korban datang ke pemeriksaan tanpa surat permintaan dari
penyidik, sementara korban yang masih hidup mengajukan permintaan
Visum et Repertum secara pribadi.
c. Pemeriksaan medis terhadap korban dilakukan oleh dokter dengan
memanfaatkan pengetahuan dari ilmu kedokteran forensik.
d. Namun, mungkin terdapat kendala karena beberapa data penelitian
telah hilang. Bukti-bukti fisik seperti peluru dapat ditemukan dalam
tubuh korban, sementara pakaian hanya akan diberikan kepada penyidik.
Apabila bukti-bukti tersebut tidak dijaga secara ketat oleh peneliti,
petugas gawat darurat di puskesmas harus memastikan agar tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Pengalihan bukti-bukti tersebut
kepada ahli waris atau kerabat dekat secara hukum tidak bisa dilakukan
tanpa pemeriksaan oleh penyidik.
e. Proses pembuatan sertifikat profesi Visum et Repertum: Pejabat
administrasi harus memperhatikan bentuk dan formulir sertifikat profesi
atau Visum et Repertum karena dimaksudkan untuk keadilan. Misalnya,
masukkan garis di akhir setiap paragraf agar orang yang tidak
bertanggung jawab tidak menambahkan kata-kata tertentu. “Luka
terbuka dengan panjang lima sentimeter ditemukan di pipi kanan, tetapi
tidak”, sebagai contoh.
f. Surat keterangan ahli atau Visum et Repertum dapat ditandatangani
oleh dokter sesuai dengan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Seorang dokter harus memparaf setiap pendapat ahli. Seringkali, ketika
dokter yang merawat tidak lagi bekerja di puskemas, permintaan
penyidik untuk pemeriksaan postmortem ditunda. Dalam hal ini, sering
muncul keraguan tentang oleh siapa repertoar korban yang masih hidup
harus ditandatangani jika beberapa dokter dirawat oleh korban
sekaligus, tergantung pada kompleksitas penyakitnya, hal yang sama
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan
Informasi Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan 9
No. 12 Oktober 2023

akan terjadi.

g. Penyerahan barang bukti yang diperiksa dengan akta dinas.


h. Penyerahan Visum et Repertum atau sertifikat spesialis. Selain itu,
hanya peneliti yang meminta sertifikat ahli atau Visum et Repertum.
Kemungkinan bahwa surat Visum et Repertum diminta oleh dua lembaga
penelitian pada saat yang sama ada. Salinan Visum et Repertum tidak
bisa diminta oleh penasihat hukum tersangka dari penyidik atau
pengadilan di depan pengadilan; mereka juga tidak dapat meminta surat
keterangan dari dokter. Ada berbagai metode untuk membuat Visum et
Repertum, tergangtung pada subjek yang dipelajari. Proses penyidik
korban dan pembuatan Visum et Repertum dapat dibagi menjadi
beberapa jenis.
1. Penyelidikan terhadap korban yang mengalami luka,
khususnya dalam situasi kejahatan seksual atau perkosaan,
melibatkan teknik yang serupa dengan penyidikan klinis
lainnya, seperti uji prosedural. Riwayat medis, pemeriksaan
fisik, dan jika perlu, tes tambahan biasanya disertakan dalam
pemeriksaan. Untuk alasan medis, pemeriksaan klinis berbeda
dari pemeriksaan kesehatan karena tujuan pemeriksaan
kesehatan adalah agar hukum dapat dipenuhi kasus
Mengevaluasi apakah tindakan kriminal tersebut
mengindikasikan tanda-tanda kekerasan menjadi hal yang
sangat penting melalui pemberian visum et Repertum yang
cermat bagi korban.
2. Prosedur penyelidikan atas kasus kejahatan seksual terhadap
korban: pasal 285 Bab XIV KUHP mengatur kejahatan
kekerasan seksual sebagai salah satu kejahatan yang termasuk
dalam KUHP. Namun, ada ketentuan lain yang bisa digunakan
untuk menjerat pelaku pemerkosa, yaitu Pasal 286 dan 287
KUHP.
Dalam kasus pemerkosaan, Pasal 285 KUHP adalah Pasal utama.
Unsur yang sama, yaitu persetubuhan di luar nikah, terkandung dalam
ketiga pasal tersebut. Menurut R. Sugandhi, unsur-unsur lengkap
perkosaan adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki dipaksa untuk berhubungan seks dengan wanita yang
bukan istrinya.
b. Kekerasan atau ancaman mengikuti hubungan yang dipaksakan.
c. Alat kelamin wanita harus dimasuki oleh alat kelamin pria.
d. Membuang air mani
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 10
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Pelaku (laki-laki pemerkosa) dianggap telah menyelesaikan


perbuatannya (ejakulasi), maka pendapat ini berarti perkosaan yang
tuntas. Jika tidak, perbuatan laki-laki tersebut tidak dapat digolongkan
sebagai perkosaan langsung. Pada kasus kejahatan seksual atau perkosaan,
dua elemen penting diperhatikan:
a. Mengakumulasi bukti persetubuhan yang melibatkan cairan
tubuh seperti selaput dara yang rusak, sperma, dan mani.
b. Tanda-tanda tindakan kekerasan, termasuk catatan
kehilangan kesadaran dan cedera fisik, tengah dalam proses
penelusuran.
Metode penyelidikan terhadap kasus kekerasan anak: Pelanggaran
terhadap hak asasi manusia dalam bentuk kekerasan terhadap anak sedang
dalam proses penelusuran dan dapat berdampak buruk pada kesehatan,
perkembangan, dan masa depan anak. membutuhkan perawatan
multidisipliner dan menyeluruh untuk anak korban kekerasan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2013, pihak yang
menawarkan jasa kesehatan masuk dalam golongan yang diatur, sehingga
mereka diwajibkan untuk memberikan data mengenai dugaan tindakan
kekerasan terhadap anak jika korbannya adalah seorang anak. Berikut ini
adalah tanggung jawab yang harus diperhatikan oleh karyawan:
a. Memberikan pertolongan pertama.
b. Membuat draf.
c. Memberi tahu orang tua anak tentang kondisi anak dan
kemungkinan penyebabnya.
d. Membahas tindakan selanjutnya.
e. Menyusun riwayat medis secara menyeluruh “Dan kami siap
membuat Visum et Repertum jika diperlukan secara resmi”.
f. Memberikan laporan tentang dugaan kekerasan terhadap anak
kepada pihak yang berwenang merupakan suatu tindakan yang
diwajibkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun
2013. Peraturan tersebut juga mengatur kewajiban penyedia
layanan kesehatan untuk memberikan informasi terkait dugaan
kekerasan terhadap anak harus melaporkannya kepada pihak
yang berwenang. Notifikasi tersebut menyarankan agar laporan
terkait kekerasan terhadap anak telah disampaikan kepada
pihak kepolisian. Rekomendasi minimal mencakup hal-hal
berikut:
a. Dampak negatif terhadap kesehatan anak;
b. Dampak sosial yang memengaruhi anak; dan
c. Sanksi hukuman yang dapat mengubah perilaku pelaku.
d. Pemeriksaan tubuh luar dan autopsi: penyidik meminta
pendapat dari pakar dalam rangka kepentingan peradilan.
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan
Informasi Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan 11
No. 12 Oktober 2023

Pemeriksaan harus diminta secara tertulis dan menjelaskan secara


khusus jenis pemeriksaan yang dilakukan, seperti Pemeriksaan luka
(pemeriksaan eksternal) atau pemeriksaan jenazah (pemeriksaan internal)
diperiksa." yang dilakukan secara bersamaan dengan pelaksanaan tindakan
pembedahan pada jenazah (autopsi). Ahli yang diminta oleh penyidik
memberikan penjelasan sesuai permintaan dalam surat keterangan yang
dikenal sebagai Visum et Repertum, laporan atau Visum et Repertum disusun
oleh seorang ahli yang mematuhi sumpah yang telah ditetapkan mereka
ucapkan saat menerima posisi atau tugas mereka.
Tidak hanya akan mengalami pembusukan, melainkan juga perlu
segera dimakamkan jenazah. Meninggalnya Seseorang yang menjadi korban
tindak pidana, atau setidaknya Dipercayai sebagai hasil dari tindakan
kriminal, menjadi dasar pengumpulan barang bukti. Ketika seseorang
meninggal akibat tindak kriminal, jika bukti fisik diperoleh dari individu yang
menyaksikan, mendengar, atau mengalami peristiwa tersebut secara seorang
diri, tanpa ada saksi yang memberikan kesaksian, hal ini memiliki tujuan
utama untuk mengungkapkan segala informasi yang tersembunyi.
Sebagai bagian dari metodologi penelitian kejiwaan Van Hamel,
hukum pidana terdiri dari segala prinsip dan regulasi yang bertujuan untuk
mendorong kesepakatan masyarakat dalam mematuhi hukum dengan cara
melarang tindakan yang melanggar aturan dan menentukan sanksi bagi
pelanggaran tersebut. Dalam konteks ini, hukum pidana terdiri dari tiga
aspek utama, yaitu:
1) Tindakan yang tidak diizinkan dan dapat mengakibatkan tindakan
hukum atau tindak kriminal secara keseluruhan;
2) Tanggung jawab seseorang dikenai hukuman atas perbuatan atau
pelanggaran yang dilarang dan dikenai sanksi pidana; dan
3) Isu mengenai sanksi atau hukuman. Kecakapan dalam menjalankan
tnggung jawab sendiri, juga dikenal sebagai toerekeningsvatbaarheid,
adalah ketika seseorang dapat dibebani tanggung jawab atas sikap dan
tindakannya. Menurut Van Hamel, syarat kemampuan bertanggung
jawab sendiri adalah sebagai berikut: Kesehatan psikologisnya
memungkinkan dia untuk memahami dengan baik:
(a) Tujuan dari tindakan dan
(b) Dampak dari tindakan
Harus bebas untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan dan tahu
bahwa tindakannya adalah ilegal (jadi subjektif). "Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya
cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana",
menurut ayat pertama Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 12
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Dengan mengacu pada pasal tersebut, perlu dipahami bahwa tanggung


jawab subjek tidak ditentukan oleh psikiater yang menulis Verp; penentuan
ini tidak dilakukan oleh departemen medis. Hakim pengadilan memiliki hak
prerogatif untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab. Dengan
memberikan panduan, psikiater dapat membantu hakim dalam
mengidentifikasi siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Dalam pelaksanaan KUHP, pemeriksaan kesehatan jiwa ini
dimaksudkan untuk mengevaluasi:
a) Kemampuan subjek untuk bertanggung jawab atas tindakan kriminal
yang mereka lakukan;dan
b) Dampak psikologis yang dialami oleh korban kejahatan.
c) Kemampuan subjek untuk mengikuti secara mental proses hukum
pidana.
Menurut Petunjuk pemeriksaan kesehatan jiwa untuk personel
penegak hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 77 Tahun 2015, pemeriksaan kesehatan jiwa harus
dilakukan dalam kasus pidana. berlaku untuk rumah sakit milik pemerintah
dan pemerintah daerah. Pusat Psikiatri di Rumah Sakit Umum Negara, yang
merupakan bagian dari Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, serta Rumah Sakit Jiwa Nasional adalah beberapa
lembaga kesehatan jiwa yang menangani Verp. Klinik utama yang memiliki
fasilitas yang sesuai juga dapat melakukan pemeriksaan cacing sipil.
Penting untuk memprioritaskan sarana dan prasarana keamanan dan
melakukan penyidikan:
a) Tindakan pengamanan harus dilakukan oleh kantor pemohon agar
penyidikan tidak melanggar keinginan pemohon, perlu dilakukan
langkah-langkah pencegahan. Pemohon bertanggung jawab untuk
mengawasi proses.
b) Tidak melakukan pembunuhan, upaya untuk mengambil nyawa
seseorang, tindakan kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain.
Pembuatan Visa et Repertum adalah topik utama diskusi.
Peneliti (polisi) sering meminta bantuan kepada dokter dengan Visum
et Repertum (VeR) adalah elemen bukti yang harus mematuhi standar hukum
dan prosedur pelaporan medis dalam konteks proses peradilan ketika
melibatkan kerusakan pada tubuh manusia.
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan
Informasi Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan 13
No. 12 Oktober 2023

Menurut Budiyanto et al., VeR didasarkan pada Pasal 133 KUHAP, yang
menyatakan bahwa penyidik berhak meminta pendapat ahli dari ahli
kedokteran, hakim, dokter, atau ahli lainnya dalam kasus di mana penyidik
diduga melakukan tindak pidana. Permintaan pendapat dari seorang ahli,
seperti yang dijelaskan dalam ayat 1, harus diajukan secara tertulis sesuai
dengan ketentuan tersebut. Selain itu, surat tersebut juga harus secara
eksplisit mencantumkan informasi terkait cedera yang akan diperiksa, mayat
yang akan diperiksa, atau proses otopsi yang akan dilakukan. R. Atang
Ranoemihardja mengemukakan bahwa dokumen Visum et Repertum dapat
berperan sebagai alat bukti untuk mengesahkan Staatsblad 1937 nomor 350,
karena berisi rekaman semua temuan dan pengamatan yang tercatat selama
pemeriksaan, yang setara dengan apa yang dia saksikan dan alami ketika
berada di tempat kejadian, sebagai contoh. Namun, Visum et Repertum
menyimpulkan bahwa jaksa dan hakim akan mengambil tindakan alternatif
jika suatu kesimpulan logis dapat diterim
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 14
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Penutup
Simpulan :

Pertama, namun kesaksian forensik bersumber dari dua jenis


keterangan ahli. Di satu sisi, pandangan ahli dalam bentuk seperti Visum et
Repertum dapat dianggap sebagai keterangan ahli. Di sisi lain, pendapat
ahli dalam bentuk tindakan seperti Visum et Repertum juga dianggap
sebagai keterangan ahli berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan sejak
tahun 2007. Pasal 186 dan 187 KUHAP menegaskan bahwa posisi keterangan
ahli Forensik bergantung pada dua jenis bukti yang diberikan oleh mereka.
Sebagai contoh, laporan atau Visum et Repertum dapat dianggap sebagai
bukti dari keterangan ahli, tetapi laporan juga dapat melibatkan alat bukti
surat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 186 dan 187 KUHAP.

Kedua, Pasal 183 KUHAP menetapkan apakah seorang terdakwa


bersalah atau tidak. Ini menyatakan bahwa terdakwa harus terbukti
bersalah dengan sekurang-kurangnya dua bukti yang sah dan bersalah
dengan sekurang-kurangnya dua bukti yang sah.
Jurnal: Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai Pemanfaatan
Informasi Dari Seorang Ahli Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan 15
No. 12 Oktober 2023

Daftar Pustaka

Abidin, Z. (1986). Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Schema


(Bagan) dan Synopsis (Catatan Singkat). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Adi Candra Wibowo, D. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Lembaga
Perbankan Atas Munculnya Isu Rush Money Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 10
. ISSN 2337-4640 (Printed) 2715-5676 (Online), 3-4.
Budiyanto A, W. W. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian
Kedokteran Forensik . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,.
Herkutanto. (2005). Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum
(VeR) kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit
gawat darurat (UGD). Jakarta: JPMK.
Idries, A. M. (2003). Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi
Praktisi Hukum. Jakarta: Sagung Seto.
Irsan, K. (2016). Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum
Perdata dan Hukum Pidana . Bekasi: Gramata Publishing.
Kumendong, E. (2018). Surat Berharga Perbankan Dalam Kegiatan
Pembayaran Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun. Lex
Privatum Vol. VI/No. 3/Mei/2018, 116-119.
Luthfi Arya Ravi Pambudi, H. P. (2020). Peran Bantuan Ahli Ilmu
Kedokteran Forensik dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana
Pembunuhan pada Tahap Penyidikan. M E D I A o f L A W a n d S H
A R I A Volume 1, Nomor 2, 95-105.
Muchlas Rastra Samara Muksin, N. R. (2020). Pertimbangan Hakim Dalam
Menggunakan Keterangan Ahli Kedokteran Forensik Sebagai Alat
Bukti Tindak Pidana Pembunuhan. Volume 2, Nomor 3., 343-358.
Murdadi, B. (n.d.). URGENSI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DI
BIDANG PERBANKAN. . Jurnal Ilmiah.
Nurwidayati, A. (2009). “Penerapan Entomologi dalam Bidang Kedokteran
Forensik. Jurnal Vektor Penyakit. Vol. III, No. 2.
Pemerintah Republik Indonesia. (1998). Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pemerintah Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pemerintah Republik Indonesia. (1999). UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Pemerintah Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. (2008). UU No. 11 tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
PRIYANTO, H. (2019). Pembuatan Visum Et Repertum Oleh Dokter
Sebagai Upaya Mengungkap Perkara Di Dalam Proses Peradilan .
Jurnal Idea
Pertimbangan Seorang Hakim Mengenai
Maria Arsety Marlyntan
Pemanfaatan Informasi Dari Seorang Ahli 16
Dalam Proses Penyelidikan Kasus
Pembunuhan

Hukum Vol. 5 No. 1 Maret 2019 Magister Hukum Fakultas Hukum


Universitas Jenderal Soedirman.
Rohendi, A. (2015). Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce
Perspektif Hukum Nasional Dan Internasional. Ecodemica. Vol III.
No.2 September 2015, 475-476.
Rongiyati, S. (2019). Pelindungan Konsumen dalam Transaksi Dagang Melalui
Sistem Elektronik. NEGARA HUKUM: Vol. 10, No. 1, Juni 2019, 6-8.
Surbakti, S. d. (2005). Buku Penganggan Kuliah: Hukum Pidana. Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wariati, A. (2014). E-Commerce Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen.
Pro- Bank, Jurnal Ekonomi &Bisnis . Edisi Nopember 2014. Vol. 1. No.
2 , 2.

Anda mungkin juga menyukai