14-22 Alan Darmawan
14-22 Alan Darmawan
14-22 Alan Darmawan
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang wajah politik pota dalam kebijakan reklame di Surabaya dengan menggunakan
pendekatan urban politics sebagai upaya melakukan pembangunan perkotaan.Dalam sengketa kebijakan
reklame yang diambil oleh Pemkot Surabaya sebagaimana diangkat dalam penelitian ini, Latar belakang
penelitian ini adalah munculnya perwali 56 & 57 yang menjadi titik awal sengketa yang menyebabkan resistensi
dari DPRD Surabaya, pengusaha reklame kemudian membentuk sebuah rezim dengan kepentingan bersama
untuk menolak perwali tersebut. subejek penelitian yang ada dalam penelitian ini yakni DPRD Surabaya,
Pemkota Surabaya serta Pengusaha reklame yang ada di Surabaya. Penelitian ini menggunakan penelitian
kualitatif dengan metode wawancara dalam melihat bagaimana dinamika politik kota di surabaya Kesimpulan
penelitian ini adalah kebijakan Pemkot dalam pewali 56 & 57 menjadi perselisihan lantaran tidak dilibatkannya
setiap pihak yang berkepentingan dalam keluarnya kebijakan tersebut. Keluarnya perwali 56 & 57 secara tiba-
tiba mengabaikan politik akomodatif sebagaimana syarat untuk melakukan pembangunan perkotaan dalam
pendekatan rezim.Terbentuknya rezim-rezim yang ada dalam sengketa politik kota ini menunjukkan bahwa
intensitas konflik akan kepentingan-kepentingan yang tidak terakomodasi. Keluarnya perwali 70 & 71, setelah
konstelasi politik yang terjadi di Surabaya, setidaknya menjadi jalan keluar dalam sengketa reklame surabaya.
Abstraction
This thesis discusses the political face of billboards in the city of Surabaya in policy by using the approach of
urban politics. In billboard dispute policy adopted by the Surabaya City Government, as raised in this study, the
background of this research is the emergence regulatory major 56 & 57 being the starting point from Surabaya
parliament, businessman billboard then established a regime with a common interest to reject it. This study
used a qualitative research interview method in seeing how the political dynamics of the city in surabaya
.conclusion of this study is the policy of the City Government in regulatory major 56 & 57 to the dispute because
not involve any interested party in the discharge policy. The release of 56 & 57 perwali sudden political ignore
accommodating as qualified to undertake urban development in the approach rezim.the emergence regimes
that exist in a political dispute this city shows that the intensity of the conflict of interests that would not be
accommodated. The exit perwali 70 & 71, after political constellation in Surabaya, at least be a way out in a
dispute over billboard surabaya.
14
Allan Darmawan: Konstalasi Politik Kota dalam Kebijakan Reklame Di Surabaya 15
1
Pernyataan Owen dalam City Limits: Perspectives on the Historical European City, yang mengungkapkan “the city can
be a metaphor for history or futurity, and established traditional structure or a fluid space of evolutionary possibility and
hopeful exces”.
16 Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 14-22
pansus, DPRD Surabaya kemudian pada urban politics sendiri setidaknya terdapat
akhirnya memutuskan untuk memakzulkan beberapa teori yang diantaranya yakni teori
walikota Risma dari kursi walikota Surabaya. Pluralist, Teori Elit dan Mesin Pertumbuhan, dan
Selanjutnya, pada tanggal 28 Desember yang terkahir yakni Teori Rejim. Dalam kasus
2010 Perwali nomor 56 dan 57 direvisi menjadi politik perkotaan yang berlangsung di Surabaya
Perwali nomor 70 dan 71. Menurut Kabid berkaitan fenomenakebijakan kenaikan tarif
Pendapatan Pajak Dinas Pengelolaan Keuangan pajak Reklame, penulis lebih mengkhususkan
dan Pendapatan Pemkot Joestamadji yang analisisnya menggunakan teori Rejim.
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa
aturan yang berubah terkait dengan kenaikan PEMBAHASAN
pajak reklame, diantaranya adalah Memahami kasus kebijakan kenaikan tarif
pengklasifikasian ukuran reklame yang semula pajak reklame di Surabaya melalui sudut
hanya tujuh kini menjadi 12 jenis dan kenaikan pandang pendekatan politik di kota, menjadi
pajak reklame rata-rata hanya sebesar 3%, sebuah pisau analisis yang paling pas untuk
dimana untuk reklame yang berukuran besar menunjukkan bagaimana sebuah proses
(±50 m²) mengalami kenaikan pajak hingga pembangunan perkotaan, tidak hanya dilihat
mencapai 200% dan untuk reklame yang dari bagaimana pemerintah kota melakukan
berukuran kecil, sedang, atau menengah fungsi pengelolaan kota (pelayanan publik)
mengalami penurunan pajak yang sama yaitu secara normatif, namun juga bagaimana proses
sebesar 30%. Nilai ini sangat merosot jauh itu berlangsung melalui interaksi-interaksi
apabila dibandingkan dengan perwali nomor 56 antar para pihak yang kadang “tabu” disebutkan
dan 57 yang kenaikan pajaknya rata-rata secara gamblang. Dalam sebuah proses
sebesar 38%. Perivisian Perwali ini dilakukan pembangunana kota, pendekatan politik di kota
karena banyak pihak yang merasa tidak setuju menunjukkan kepada kita, bahwa terdapat
dengan Perwali sebelumnya.pada tanggal 8 proses-proses yang wajib dilakukan oleh
Desember 2010 (Vely Kazu 2011, diakses 03/ pemerintah kota sehingga pembangunan
09/2012), khususnya kalangan DPRD perkotaan dapat berjalan secara efektif bagi
Surabaya. tujuan akhir pembangunan kota yang mencita-
Pada dasarnya, pembangunan politik citakan hadirnya kesejahteraan bagi elemen-
perkotaan akan selalu berkutat pada dua proses elemen dalam sebuah perkotaan.
utama yakni proses social politik dan proses Kasus kebijakan kenaikan tarif pajak
ekonomi. Dalam proses social politik sendiri, reklame di Surabaya, penulis lebih memilih
pembangunan kota banyak ditentukan dari untuk menggunakan salah satu pendekatan yang
bagaimana actor-aktor perkotaan melakukan ada dalam sudut pandang politik di kota, yakni
tawar-menawar dalam kerangka social politik pendekatan Regime Theory. Terlihat secara
dengan kelompok lainnya untuk menentukan nyata bahwa kasus kebijakan kenaikan tarif
pembangunan yang dirasa paling pas bagi kota. pajak reklame ini melibatkan pihak-pihak yang
Sedangkan proses ekonomi sendiri melihat tidak hanya berasal dari elemen pemerintahan,
bahwa pembangunan perkotaan merupakan namun juga menjadikan elemen non-
murni sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan seperti pengusaha sebagai objek
kelompok-kelomok terkait dengan berprinsip langsung dan yang paling merasakan dampak
pada hokum-hukum ekonomi. sangat besar dalam kasus ini.
Dalam kasus reklame yang ada di Surabaya, Teori Rezim yang mensyaratkan hadirnya
tentu penulis melihat bahwa model social sebuah interaksi kerjasama antara pemerintah
politik dirasa paling mampu untuk menjelaskan dan elemen non-pemerintahan dalam setiap
bagaimana proses pembangunan politik wacana pembangunan perkotaan, menjadi
perkotaan ini berlangsung. Secara lebih detail, sebuah acuan bagi keluarnya sebuah kebijakan
pendekatan urban politicssendiri kemudian perkotaan yang dikeluarkan oleh pemerintah
terbagi kedalam beberapa cara pandang sebuah kota agar mampu mengakomodasi segala
politik perkotaan yang melihat dan memahami kepentingan yang ada. Kepentingan yang tidak
proses social politik pembangunan politik hanya dimiliki oleh pemerintah itu sendiri
perkotaan. Darisinilah penelitian ini menjadi maupun juga kepentingan dari elemen-elemen
sangat menarik untuk dikaji, dalam pendekatan non-pemerintahan. Dalam kasus kebijakan
18 Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 14-22
kenaikan tarif pajak reklame, maka menjadi menunjukkan bahwa fragmentasi dan
sebuah syarat mutlak jika sebuah kebijakan kekuasaan di pemerintahan lokal sangat lah
perkotaan harusnya melibatkan kapasitas beragam. Hal ini juga ditambah dengan semakin
elemen non pemerintahan, sehingga efektifitas kuatnya posisi/kekuasaan dari setiap
dari sebuah kebijakan yang mengarah pada fragmentasi tersebut di era saat ini, lantaran
pembangunan perkotaan tersebut dapat sistem pemilihan yang ada menganut sistem
berhasil. pemiliha secara langsung. Selain itu, Fragmentasi
Yang terjadi di Surabaya, terbitnya perwali di pihak-pihak non-pemerintahan juga tidak
56 & 57 menjadi sebuah bukti bahwa minimnya luput dalam pembahasan ini, dimana dalam
atau bahkan tidak adanya interaksi akomodatif kasus kebijakan kenaikan tarif pajak reklame,
yang dilakukan oleh pihak pemerintah kota peneliti melihat bahwa pengusaha menjadi
Surabaya dalam hal ini, terhadap pihak yang satu-satunya elemen non-pemerintahan yang
merasakan dampak dari terbitnya perwali berkepentingan dalam kasus ini.
tersebut, yakni pengusaha, hanya akan Pada prinsipnya, dengan semakin
membawa pada sebuah kondisi dimana kompleksnya fragmentasi-fragmentasi yang ada
pembangunan perkotaan malah akan dalam pemerintahan dan masyarakat lokal,
terhambat dan terancam gagal. maka proses pembuatan kebijakan akan selalau
Sebagaimana yang banyak diuraikan mengalami proses yang panjang jika ingin
dalamsebelumnya, resistensi yang muncul berhasil. Hal ini lantaran, proses untuk
terhadap terbitnya perwali ini bukanlah sebuah mengakomodasi kepentingan dari setiap
hal yang aneh jika kita mengacu pada kapasistas eleman yang ada, membutuhkan
pendekatan rezim. Hal ini terjadi, karena sebuah waktu yang tidak sedikit karena harus
kebijakan kota yang diambil tanpa berinteraksi dengan segala fragmentasi lapisan
menggabungkan kapasitas berbagai pihak, yang ada.
hanyalah akan membawa pada sebuah Kasus kebijakan kenaikan tarif pajak
kegagalan pembangunan kota yang dibawa oleh reklame melalui perwali 56 & 57 di surabaya
kebijakan tersebut. Terbukti, bahwa hadirnya ini, mengalami konflik yang sangat tajam,
resistensi perwali 56 & 57 muncul tidak hanya karena dalam sudut pandang teori rezim,
dari pihak non-pemerintah yang paling keluarnya kebijakan perwali 56 & 57 dilakukan
dirugikan, yakni pengusaha, namun juga dari terlalu cepat, tanpa adanya proses interaksi
pihak pemerintah itu sendiri, yakni kalangan mengakomodasi kepentingan dari setiap pihak
legislatif Surabaya. yang nantinya dikenai dampak dari kebijakan
Teori rezim yang juga sering disebut tersebut. Dalam temuan data penulis, perwali
sebagai teori Neo-Pluralist, mengemukakan yang terbit pada tanggal 29 Oktober 2010 ini
bahwa dalam sebuah tatanan masyarakat dan diakui oleh beberapa pihak dari DPRD Surabaya
pemerintahan kota, akan muncul fragmentasi- dan pengusaha reklame Surabaya keluar secara
fragmentasi dan desentralisasi kekuasaan tiba-tiba.
diantara kelompok-kelompok yang berbeda. Teori rezim yang juga mengadaptasi
Dalam tatanan negara Indonesia yang kini beberapa pemikiran teori puralis, diantaranya
menganut sistem desentralisasi semenjak bahwa setiap fragmentasi kelompok yang ada
reformasi bergulir, fragmentasi dan di pemerintahan dan masyarakat lokal ini
desentralisasi kekuasaan ini dapat kita lihat memiliki sumber daya yang dibutuhkanuntuk
dalam struktur pemerintahan yang ada. Tidak mencapaidan mempengaruhi kekuasaan, maka
hanya mendesentralisasi kekuasaan pusat benturan resistensi yang ada dari keluarnya
kepada daerah secara umum, namun dalam perwali 56 & 57 sebagai sebuah kasus,
susunan pemerintah daerah yang ada, di berpotensi besar melibatkan aktor-aktor /
bentuknya pemerintahan provinsi yang pihak-pihak serta kepentingan politik secara
dikepalai oleh seorang Gubernur dan dominan daripada kepentingan/isu awal yang
dibentuknya DPRD jatim sebagai lembaga dibawa dalam kasus ini. Setidaknya, benturan
legislatif Jatim, serta hadirnya pemerintahan resistensi tersebut akan lebih banyak
kota/kabupaten yang kemudian dipimpin oleh menampakkan kepentingan-kepentingan
seorang walikota/bupati dan DPRD kota/ politik secara lebih dominan dari pada
kabupaten sebagai legislatfi kota/kabupaten, kepentingan ekonomi ataupun kesejahtraan
Allan Darmawan: Konstalasi Politik Kota dalam Kebijakan Reklame Di Surabaya 19
masyarakat secara umum. rezim dari keluarnya perwali 70 & 71, peneliti
Begitu beragamnya fragmentasi yang ada melihat konstelasi politik dalam isu kebijakan
dalam sebuah pemerintahan lokal dalam hal ini, kenaikan tarif pajak reklame ini menjadi sesuatu
dimana kelompok-kelompok yang muncul yang juga perlu dibahas dan di analisis melalui
sebagai syarat demokrasi diantranya yakni teori rezim dalam bingkai impact politik kota
Pemprov, DPRD Prov, Pemkot/kab dan DPRD yang lebih luas.
Kota/Kab memberikan sebuah sumbangan Politik kota yang memiliki tujuan
pemikiran baru bagi pendekatan teori rezim. pembangunan perkotaan, pada akhirnya
Dari sini, peneliti melihat bahwa teori rezim dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dan
yang menitik beratkan pada kerjasama dan konstelasi politik lokal yang terjadi dalam
kooordinasi antara pemerintah, market/pasar, permasalahan perkotaan, tak terkecuali
dan civil society/masyarakat, perlu mengalami konstelasi politik intern partai. Setidaknya,
proses elaborasi riil dalam melihat pola dinamika politik lokal ini mempengaruhi
koordinasi yang ada dalam sektor pihak bagaimana kemudian arah kebijakan politik
pemerintah. Lebih lanjut peneliti melihat, bahwa kota akan berjalan dan berinteraksi. Karena
sebelum proses koordinasi antara pihak/aktor pada kenyataanya, konstelasi politik atas nama
pemerintahan dan non-pemerintahan kepentingan rakyat yang dibawa oleh semua
berlangsung, maka koordinasi dan kerjasama elemen dalam penelitian ini, dengan pula
pada tahap intern pemerintah lokal itu sendiri mengklaim sebagai sebuah kepentingan yang
harusnya sudah selesai sehingga efektifitas mengarah pada kepentingan pembangunan
pembangunan perkotaan berhasil berlangsung. perkotaan, akhirnya juga tidak bisa lepas dari
Dalam kasus kebijakan kenaikan tarif kepentingan-kepentingan politik praktis secara
pajak reklame Surabaya sendiri, koordinasi riil.
antar elemen pemerintah lokal, khususnya Gencaranya serangan terhadap walikota
Pemerintah Kota Surabaya dan DPRD Surabaya Risma oleh rezim penolak kebijakan kenaikan
mengalami ke”mandeg”an komunikasi politik tarif pajak reklame yang di komandani oleh
yang menyebabkan munculnya konflik DPRD Surabaya, membuat posisi walikota saat
kelembagaan sehingga pembangunan itu berada pada posisi yang sangat kritis.
perkotaan menjadi terhambat. Dalam konflik Wacana impeachment yang bergulir dalam
ini terlihat betul, bahwa pemerintah kota konstelasi politik Surabaya, memberikan
kurang mampu melakukan komunikasi yang sebuah pemahaman baru, bahwa politik kota
baik dengan pemerintah DPRD Surabaya. yang bertujuan pada pembangunan perkotaan,
Meskipun perwali merupakan hak preogratif mampu melahirkan konstelasi politik yang
dari seorang walikota, namun proses berdampak bagi konstelasi politik secara luas.
komunikasi untuk menyamakan pandangan dan Dukungan yang diberikan oleh Mendagri dan
kepentingan perlu dilakukan dalam sudut Pemprov Jatim melalui Gubernur Soekarwo
pandang politik di kota. Koordinasi ini menunjukkan bahwa terdapat kepentingan
seharusnya menjadi kewajiban dalam kasus yang lebih luas untuk mencegah terjadinya “efek
kebijakan kenaikan tarif pajak reklame, domino” terhadap konstelasi politik Nasional.
mengingat peraturan yang sifatnya lebih tinggi, Dalam perwali 70 & 71, teori rezim melihat
yakni perda, tengah di godok oleh kedua belah bahwa pemerintah kota Surabaya telah
pihak. setidaknya melakukan praktek akomodatif
Dinamika politik lokal yang memiliki terhadap elemen-elemen lain yang
intensitas sangat tinggi dalam kasus kenaikan berkepentingan dalam kasus kebijakan
kebijakan tarif reklame membuat perwali 56 & kenaikan tarif pajak reklame di Surabaya. Hal
57 berumur tak lebih dari dua bulan. Pada 28 ini jauh berbeda ketika perwali 56 & 57
Desember 2010, pemerintah kota surabaya dikeluarkan. Perubahan perwali 70 & 71 ini juga
kemudian mengeluarkan revisi perwali diyakini merupakan desakan dari berbagai
tersebut menjadi perwali 70 & 71.Cerita dibalik pihak terhadap perwali sebelumnya yang
keluarnya perwali 70 & 71 memiliki perbedaan menaikkan tarif pajak reklame hingga 400%.
dengan keluarnya perwali 56 & 57 jika dilihat Sebagaimana dikemukakan, bahwa
dari pendekatan teori rezim. Namun sebelum keluarnya perwali 70 & 71 merupakan
membahas lebih dalam terkait analisis teori kebijakan yang terbentuk dari adanya
20 Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 14-22
akomodasi dari pemkot terhadap pihak yang mengharuskan mereka untuk menjalin rezim
dikenai kebijakan ini, yakni pengusaha reklame. tersebut. Dalam banyak kasus pula,
Hal ini merupakan sebuah kemajuan, karena sebagaimana kasus kenaikan kebijakan tarif
keberhasilan pembangunan perkotaan dalam pajak reklame yang erat menunjukkan adanya
pendekatan teori rezim mensyaraktkan adanya hubungan antar pengusaha reklame dan DPRD
koordinasi dan kerjasama terhadap aktor Surabaya, hadirnya kepentingan yang sangat
pemerintahan dan non-pemerintah. sensitive inilah yang membuat kedua belah
Berbeda dengan ketika perwali 56 & 57 pihak seringkali menolak akan adanya
dikeluarkan, rezim atau kelompok yang paling keterkaitan kepentingan diantara mereka.
mempengaruhi berubahnya perwali tersebut Hanya segelintir kasus, yang akhirnya muncul
menjadi perwali 70 & 71 selain Soekarwo selaku di permukaan dan menunjukkan rezim elit
gubernur Jatim sebagaimana dimandati oleh politik dan pengusaha ini ada dan berlangsung,
Kemendagri, juga hadir dari kontribusi sebagaimana kasus wisma atlet dan hambalang
pengaruh pengusaha. yang saat ini menjadi hot issue nasional.
Secara umum, hubungan DPRD Surabaya Rezim yang terbentuk di konstelasi politik
dan pengusaha reklame dalam teori rezim bisa lokal Surabaya, merupakan sebuah realitas yang
dilihat sebagai sebuah rezim yang terbentuk sebelumnya telah dikemukakan oleh teori
dari adanya kesamaan kepentingan. Pengusaha Rezim. Hadirnya segelintir orang yang memiliki
reklame sendiri, sebagaimana diungkapkan kontrol terhadap sumberdaya kehidupan
informan dalam penelitian ini, hubungan antara perkotaan, dilihat oleh peneliti dalam kerangka
mereka (pengusaha) dan DPRD Surabaya yang lebih luas, bahwa segelintir orang atau
selaku bagian dari pengambil kebijakan, bahkan kelompok tertentu diyakini tidak akan
merupakan sebuah keharusan bagi mereka mampu memegang kekuasaan secara penuh,
untuk mampu mempertahankan usaha mereka dan memilih untuk membentuk sebuah rezim
agar tetap berjalan. Tidak hanya dalam usaha yang terdiri dari elit-elit lintas kepentingan
reklame, semua usaha pasti akan memerlukan maupun kelompok-kelompok lintas
hubungan yang mampu menjadi jalur aspirasi kepentingan. Lahirnya rezim ini merupakan
mereka untuk menyampaikan kepentingan- sebuah jawaban atas tuntutan untuk
kepentingan mereka. membangun sebuah koalisi yang wajib
Hubungan yang kemudian membentuk dibentuk bagi setiap aktor/kelompok yang
rezim seperti ini sifatnya informil, dimana hendak mempengaruhi kebijakan perkotaan,
tidaka ada hitam dan putih yang mampu dan bahkan bagi pemerintah itu sendiri.
menjamin pasti bahwa hubungan tersebut Sebuah rezim, sebagaimana diungkapkan
benar-benar ada. Hal ini, berbeda jauh dengan oleh Judge, Stoker, dan Wolman (1995), tidak
struktur hierarki yang ada di pemerintahan yang akan berakhir hanya ketika isu yang dibawa
sifatnya lebih formal. Sebagimana prinsip infor- selesai. Namun, rezim akan diakhiri ataupun
mal yang dibawainya, maka tak salah jika dalam dilanjutkan kembali ketika kemudian terdapat
teori rezim, hubungan semacam ini terbentuk isu lain yang memiliki peluang untuk
menjadi sebuah rezim/kelompok yang melanjutkan keberhasilan dari sebuah rezim
menekankan menekankan kerjasama dan tersebut. Hal ini terjadi di Surabaya, ketika pada
membangun jaringan yang berbasis pada awalnya isu yang ada pertama adalah isu terkait
kepentingan bersama. Lebih jauh, hubungan pembangunan tol tengah kota dan dilanjutkan
informal semacam ini memiliki tujuan untuk dengan isu kebijakan kenaikan tarif pajak
mendapatkan beberapa imbalan ekonomi, reklame Surabaya. Keterkaitan isu dua isu inilah
politik atau sosial atas keterlibatan diantara yang dilihat oleh penulis sebagai sebuah contoh
pihak tersebut. dari rezim-rezim lokal yang bermunculan di
Imbalan atas hubungan yang terjalin, konstelasi politik Surabaya.
merupakan sebuah hal yang wajar dalam
prinsip rezim semacam ini. Di semua daerah dan KESIMPULAN
kasus, hubungan antara pengusah dan elit Dengan dikeluarkannya Perwali 56 & 57,
politik memang tidak akan bisa dilepaskan, hal memunculkan sikap kotra dari berbagai pihak.
ini dikarenakan kedua belah pihak memiliki Mayoritas DPRD Surabaya yang juga awalnya
kepentingan-kepentingan masing-masing yang kontra terhadap kebijakan ini berkepentingan
Allan Darmawan: Konstalasi Politik Kota dalam Kebijakan Reklame Di Surabaya 21
untuk menolak Perwali tersebut diterapkan di dibandingkan proses keluarnya Perwali 56 &
Surabaya. Dalam interaksi yang terjadi, DPRD 57 yang tidak mencerminkan politik
Surabaya mengeluarkan hak angket, hak akomodatif dilakukan oleh Pemerintah Kota
interpelasi dan membentuk pansus pajak hingga Surabaya.
kemudian mewacanakan pemberhentian Fenomena sengketa reklame di Surabaya
terhadap Walikota Surabaya. Sebagaimana dari perspektif Teori Rezim menunjukkan
kepentingan yang ada dalam temuan data bahwa kerjasama antar pihak pemerintah dan
penelitian ini, hadirnya relasi antara DPRD non-pemerintah dalam politik kota yang
Surabaya dengan pengusaha reklame yang bertujuan akan pembangunan kota menjadi
merasa dirugikan oleh Perwali tersebut sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh
menjadi salah satu kepentingan yang melatar kedua belah pihak jika menginginkan
belakangi sikap DPRD Surabaya. Selain itu, pembangunan perkotaan tersebut berhasil.
hadirnya beberapa elit DPRD Surabaya yang Pentingnya kerjasama ini, mengharuskan
juga merupakan rekanan pengusaha reklame pemerintah, sebagaimana kasus sengketa
dan juga pengusaha reklame itu sendiri reklame di Surabaya, untuk melakukan politik
membuat kepentingan dalam sikap penolakan akomodatif terhadap berbagai pihak,
DPRD Surabaya menjadi sangat wajar. Interaksi khususnya pelaku bisnis di perkotaan.
kepentingan dalam kebijakan Perwali ini juga Keluarnya Perwali 56 & 57 sendiri dapat
memiliki aroma politis yang sangat kental, menjadi bukti bahwa kegagalan pembangunan
mengingat munculnya temuan data yang perkotaan dengan ditandai munculnya
menunjukkan bahwa terdapat kepentingan- resistensi negatif dari berbagai pihak, lantaran
kepentingan tertentu dari salah satu kekuatan “tips” (usulan/tawaran)dariteori rezim yang
yang ada di DPRD Surabaya untuk menekankan hadirnya kerjasama aktor/
menggulingkan Walikota dan kelompok pemerintahan dan aktor/kelompok
menggantikannya. non pemerintahan tidak dilaksanakan.
Pemkot yang tidak melakukan politik Ketika kemudian Perwali 70 & 71
akomodatif terhadap kepentingan seluruh dikeluarkan, sekali lagi terlihat bahwa
lapisan yang ada, sehingga kemudian tiba-tiba pentinganya perspektif Teori Rezim yang
mengeluarkan Perwali 56 & 57, membuat menekankan kerja sama antara berbagai pihak.
rezim-rezim baru bermunculan di politik lokal Fenomena ini dapat menjadi bukti bahwa
Surabaya terkait sengketa reklame Surabaya. perspektif tersebut dapat menuntun ke arah
Rezim-rezim yang bermunculan ini yakni pembangunan perkotaan yang berhasil.
koalisi antara pengusaha reklame dengan DPRD Keluarnya Perwali 70 & 71 yang sedikit banyak
Surabaya yang sangat keras menolak kebijakan melibatkan peran dari berbagai pihak
Walikota tersebut. Selain rezim pengusaha dan sebagaimana temuan data dalam penelitian ini,
DPRD Surabaya, dalam perjalanannya dapat menjadi sebuah contoh yang baik dalam
Kemendagri dan Pemprov Jatim seakan menjadi proses pembangunan kota, khususnya dalam
rezim baru yang turut campur dalam politik setiap kebijakan pembangunan perkotaan yang
lokal Surabaya. dikeluarkan oleh Pemerintah Kota.
Hadirnya Perwali 70 & 71 lebih
menunjukkan politik akomodtif mulai SARAN
dilakukan oleh Pemkot. Hal ini tidak terlepas Pembangunan perkotaan pada prinsipnya
dari konstelasi panas dan singkat yang terjadi akan selalu berdampak pada seluruh elemen
selama bergulinya Perwali 56 & 57, dimana masyarakat yang ada dalam sebuah kota. Tidak
penolakan keras terhadap Perwali yang hanya pemerintah, masyarakat dan pengusaha
membuat pajak reklame naik hingga 400% ini harus mampu untuk bekerja sama merumuskan
terus berlangsung. Keluarnya Perwali 70 & 71 sebuah pembangunan yang mengakomodsi
yang hanya membuat pajak tarif pajak reklame seluruh kepentingan lapisan perkotaan dengan
naik hingga 3%, menjadi semacam contoh tetap bberorientasi pada kepentingan yang lebih
keberhasilan Pemkot dilihat dari sudut pandang luas. Sikap Pemerintah Kota yang mulanya
politik di kota melalui teori rezim, hal ini menunjukkan kecerobohan dalam
merupakan sebuah kemajuan yang signifikan mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif pajak
dalam proses pembangunan perkotaan rekalme tanpa adanya sebuah proses pelibatan
22 Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 14-22
elemen-elemen lain, pada kenyataannya malah Machines: The Politics of Parks Develop-
melahirkan sebuah persengketaan. Kondisi ini, ment in Chicago and London.
pada akhirnya hanya akan menghambat proses
pembangunan perkotaan.
Pemerintah Kota seharusnya paham,
bahwa permasalhan perkotaan tidak bisa hanya
dilakukan melalui jalur birokratis administratif
yang berpangkal pada peraturan-peraturan
yang bisa dengan mudah dikeluarkan, namun
proses penyusunan kebijakan yang pada
akhirnya membutuhkan komunikasi politik
yang baik menjadi sebuah kewajiban dalam
sebuah kebijakan pembangunan perkotaan.
Kebijakan yang melibatkan hadirnya lemen-
elemen lain, sehingga lahir sebuah interaksi dan
komunikasi yang baik akan memberikan
dampak poritif terhadap pembangunan
perkotaan Keluarnya revisi Perwali reklame
merupakan sebuah sedikit kemajuan politik
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota dalam
prosesnya melakukan politik akomodatif
terhadap seluruh lapisan yang ada di perkotaan.
Namun, secara umum, Pemerintah Kota
Surabaya masih perlu meng-upgradeinteraksi
dan komunikasi politik mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Cullen, G. 1961, The Concise Townscape, Van
Nostrand Reinhold, New York.