Menghitung Embun - Langkah 2 Mencermati Gerak-Gerak Batin
Menghitung Embun - Langkah 2 Mencermati Gerak-Gerak Batin
Langkah Kedua:
Mencermati Gerak-Gerak Batin
No Langkah 1 Langkah Kedua: Mencermati Gerak-gerak Batin Waktu
Aku mengambil posisi santai, duduk dengan punggung tegak, tubuhku 5
dalam posisi siap untuk berdoa. Menit
Aku membuat gerakan menghormati dan merendahkan diri.
aku membayangkan Allah Tritunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus,
1 Persiapan berada disekelilingku. Aku membayangkan mereka mencintaiku tanpa
syarat. Aku tinggal dalam kehadiran penuh cinta ini.
Aku rasakan belas kasih dan kerahiman Tuhan yang luar biasa dalam
hidupku. Yang selalu menunggu dan menanti kehadiranku di rumah-
Nya. Menyambutku dalam misa Ekaristi dan juga hadir melalui
kebaikan-kebaikan sederhana dari orang-orang disekitarku.
Apakah yang kurasakan saat ini? Apakah yang dapat aku sampaikan
kepada Tuhan? Dan juga kepada pribadi dimana aku merasakan
kebaikannya?
5 Percakapan Secara khusus, aku bersyukur atas kehadiran Allah yang tanpa henti
terus menuntunku dan mengampuniku menjadi pribadi yang lebih
baik dan semakin dekat dengan Allah.
Refleksi:
1. Aku mengingat dan mencatat apa yang kurasakan dalam doa kali ini.
2. Secara garis besar aku tulis gerak-gerak perasaan apa yang muncul dalam doaku?
Apa peristiwanya?
Pemikiran apa yang muncul? Bagaimana Tuhan menuntunku?
Apa kecenderunganku? Bagaimana aku bisa mengelolanya?
3. Apa yang hendak Tuhan sampaikan kepadaku dalam doa ini?
4. Apa yang aku sampaikan kepada Tuhan dalam doa ini?
Teks Doa
Yesus berkata, “Ada seorang bapak yang mempunyai dua anak laki-laki. Yang bungsu berkata
kepadanya, ‘Ayah, berilah kepadaku sekarang ini bagianku dari kekayaan kita.’ Maka ayahnya
membagi kekayaannya itu antara kedua anaknya.
Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual bagian warisannya itu lalu pergi ke negeri yang
jauh. Di sana ia memboroskan uangnya dengan hidup berfoya-foya. Ketika uangnya sudah habis
semua, terjadilah di negeri itu suatu kelaparan yang besar, sehingga ia mulai melarat. Lalu ia pergi
bekerja pada seorang penduduk di situ, yang menyuruh dia ke ladang menjaga babinya. Ia begitu
lapar sehingga ingin mengisi perutnya dengan makanan babi-babi itu. Walaupun ia begitu lapar,
tidak seorang pun memberi makanan kepadanya.
Akhirnya ia sadar dan berkata, ‘Orang-orang yang bekerja pada ayahku berlimpah-limpah
makanannya, dan aku di sini hampir mati kelaparan! Aku akan berangkat dan pergi kepada ayahku,
dan berkata kepadanya: Ayah, aku sudah berdosa terhadap Allah dan terhadap Ayah. Tidak layak lagi
aku disebut anak Ayah. Anggaplah aku seorang pekerja Ayah.’ Maka berangkatlah ia pulang kepada
ayahnya.
Masih jauh dari rumah, ia sudah dilihat oleh ayahnya. Dengan sangat terharu ayahnya lari
menemuinya, lalu memeluk dan menciumnya. ‘Ayah,’ kata anak itu, ‘aku sudah berdosa terhadap
Allah dan terhadap Ayah. Tidak layak lagi aku disebut anak Ayah.’
Tetapi ayahnya memanggil pelayan-pelayannya dan berkata, ‘Cepat! Ambillah pakaian yang paling
bagus, dan pakaikanlah kepadanya. Kenakanlah cincin pada jarinya, dan sepatu pada kakinya.
Sesudah itu ambillah anak sapi yang gemuk dan sembelihlah. Kita akan makan dan bersukaria. Sebab
anakku ini sudah mati, sekarang hidup lagi; ia sudah hilang, sekarang ditemukan kembali.’ Lalu
mulailah mereka berpesta.
(BIMK, Lukas 15:11-24)