Anda di halaman 1dari 11

Nama : Annisa Febriani

NIM : 2020610086
Soal UAS Topik Khusus Perpajakan Reguler Sore 2022

Kerjakanlah soal berikut ini secara berurutan!

Soal 1
INMENDAGRI Nomor 1/2020 tentang kebijakan relaksasi pajak daerah berisi mengenai:
1) pengurangan (kebijakan pemda & permohonan WP), keringanan, dan pembebasan
(seluruhnya dan sebagian) dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak daerah dan/atau
sanksinya, sesuai pasal 95 ayat 4 huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
2) perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pada kebijakan ini terdapat 3 jenis pajak yang paling banyak dilakukan relaksasi yaitu pajak
hiburan 17%, pajak restoran 25%, pajak hotel 28% dengan instrument relaksasi pengurangan
13%, penghapusan sanksi keterlambatan 19% dan pembebasan 45%. Jumlah daerah yang
melaksanakan relaksasi pajak daerah ini hanya 20 propinsi dengan 71 kab/kota.
Pertanyaan :
a) Apa yang menyebabkan rendahnya daerah melaksanakan relaksasi pajak daerah ?
b) Apakah ada hubungan kasus covid-19 dengan relaksasi pajak daerah
c) Apa dampak relaksasi pajak daerah tersebut secara umum?
Jawaban :

a) Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya daerah melaksanakan


relaksasi pajak daerah, antara lain:

1. Kondisi Keuangan Daerah: Jika suatu daerah memiliki kondisi keuangan yang
stabil dan tidak terlalu terdampak, mungkin mereka tidak merasa perlu untuk
memberlakukan relaksasi pajak daerah.
2. Ketergantungan pada Pajak Tertentu: Jika suatu daerah tidak terlalu bergantung
pada pajak-pajak yang dapat di-relaksasi, mereka mungkin tidak melaksanakan
kebijakan relaksasi tersebut. Misalnya, jika pendapatan daerah lebih banyak berasal
dari sektor lain seperti industri manufaktur.
3. Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah: Daerah yang memiliki
kebijakan pengelolaan keuangan yang efektif mungkin lebih mampu mengatasi
tekanan keuangan tanpa perlu mengandalkan relaksasi pajak.

b) Hubungan Kasus COVID-19 dengan Relaksasi Pajak Daerah:

1. Dampak Ekonomi: Kasus COVID-19 dapat menyebabkan tekanan ekonomi yang


signifikan, terutama di sektor-sektor tertentu seperti pariwisata, hiburan, dan
perhotelan. Relaksasi pajak daerah mungkin diperlukan untuk membantu pelaku
usaha di sektor-sektor tersebut bertahan dalam kondisi sulit.
2. Kebutuhan Stimulus Ekonomi: Sebagai respons terhadap dampak ekonomi dari
pandemi, pemerintah daerah mungkin melihat relaksasi pajak sebagai salah satu
instrumen untuk memberikan stimulus kepada pelaku usaha dan masyarakat.

c) Dampak Relaksasi Pajak Daerah secara Umum:

1. Stimulasi Ekonomi Lokal: Relaksasi pajak dapat memberikan dorongan ekonomi


di tingkat lokal dengan memberikan keringanan keuangan kepada pelaku usaha.
Ini dapat membantu mencegah kebangkrutan usaha dan pemutusan hubungan
kerja.
2. Peningkatan Kepatuhan Pajak: Melalui kebijakan relaksasi, pemerintah daerah
mungkin juga berharap dapat meningkatkan kepatuhan pajak dengan memberikan
insentif kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya.
3. Pengaruh Terhadap Pendapatan Daerah: Meskipun dapat memberikan stimulus
ekonomi, relaksasi pajak juga dapat berdampak negatif pada pendapatan daerah.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan secara hati-hati untuk memastikan
keseimbangan antara memberikan keringanan dan memastikan keberlanjutan
keuangan daerah.

Soal 2
Beberapa minggu terakhir masyarakat dihebohkan dengan wacana bahwa sembako dan jasa
Pendidikan akan dikenakan PPN. Hal tersebut mengacu pada Pasal 4A RUU
KUP, sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN dengan alasan
guna mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan. Sedangkan berdasarkan PMK
21/2021 pemerintah memberikan insentif terhadap PPN Properti dan diskon PPnBM pada
industry otomotif yang diperpanjang hingga Desember 2021.
Pertanyaan:
 Bagaimana pendapat saudara mengenai hal tersebut.
 Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara
dari sektor perpajakan terutama saat pandemic covid-19.
Jawaban :

a) Pemberlakuan PPN pada sembako dan jasa pendidikan dapat menjadi isu sensitif
karena keduanya merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Sembako, sebagai bahan
pokok, dan pendidikan, sebagai investasi dalam pembangunan sumber daya manusia,
memiliki dampak langsung pada kesejahteraan dan pendidikan masyarakat. Pengenaan
PPN pada barang dan jasa ini dapat memberikan beban tambahan kepada masyarakat,
terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Namun, kebijakan ini mungkin diambil
dengan pertimbangan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor
perpajakan, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Perlu
diperhatikan bahwa kebijakan perpajakan harus seimbang, mempertimbangkan
dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat.
b) Langkah yang Sebaiknya Dilakukan Pemerintah untuk Mengoptimalkan Penerimaan
Negara dari Perpajakan saat Pandemi COVID-19:

1. Peningkatan Efisiensi Pengelolaan Pajak: Pemerintah dapat memperkuat sistem


pengelolaan pajak untuk meningkatkan efisiensi dalam pengumpulan dan
pemungutan pajak. Peningkatan transparansi dan penegakan hukum terhadap
pelanggaran perpajakan dapat membantu meningkatkan penerimaan.
2. Penilaian Ulang Kebijakan Pajak: Evaluasi terhadap kebijakan pajak yang ada
perlu dilakukan secara berkala. Penilaian ini dapat mencakup kelayakan dan
dampak sosial dari penyesuaian tarif atau kelompok barang dan jasa yang terkena
pajak.
3. Stimulus dan Insentif Pajak yang Terarah: Pemerintah dapat memberikan
stimulus dan insentif pajak yang lebih terarah, khususnya pada sektor-sektor yang
terdampak parah oleh pandemi. Ini dapat mencakup dukungan pajak untuk industri
tertentu, penangguhan pajak, atau insentif lainnya untuk merangsang pertumbuhan
ekonomi.
4. Komunikasi yang Efektif: Pemerintah perlu berkomunikasi secara efektif kepada
masyarakat tentang alasan dan manfaat dari kebijakan pajak yang diambil.
Memahami kebijakan dan tujuannya dapat mengurangi ketidakpastian dan
perlawanan masyarakat terhadap perubahan perpajakan.
5. Peningkatan Partisipasi Wajib Pajak: Mendorong partisipasi wajib pajak dan
meminimalkan praktik penghindaran pajak dapat menjadi langkah penting dalam
meningkatkan penerimaan negara.

Soal 3
“Earmaking” dalam RUU Keuangan Pusat-Daerah
Salah satu objek pengaturan yang perlu menjadi atensi dalam reformasi regulasi fiskal
daerah ini adalah perihal earmarking. Earmarking merupakan alokasi dana dari penerimaan
pajak yang disisihkan untuk pembiayaan program tertentu sebagaimana termaktub dalam UU
28/2009. Pengaturan ini tidak terlepas dari amanat desentralisasi fiskal yang mewajibkan
pemda untuk bisa membiayai pengeluaran yang menjadi urusannya. Selama ini, kepastian
penyediaan publik tercapai melalui skema earmarking pada pajak penerangan jalan, pajak
kendaraan bermotor, dan pajak rokok.

Dari potongan artikel tersebut, anda diminta untuk menganalisis:


1. Jelaskan urgensinya mereformasi regulasi fiskal daerah dengan earmaking? carilah
artikel dan jelaskan dengan rujukan pasti!
2. Carilah penelitian tentang ini untuk dapat menjelaskan desentralisasi fiscal tersebut!
3. Jelaskan bentuk implementasi earmaking seperti apa sehingga mampu membantu
penyediaan publik tercapai. carilah artikel dan jelaskan dengan rujukan dan pasti!
4. Menurut saudara, apa yang harus dilakukan pemerintah daerah agar mampu melakukan
earmaking namun sejalan dengan tujuan keberlanjutan (SDGs). Jelaskan dengan
dukungan teoritis atau penelitian terdahulu!
5. Jelaskan mengapa skema Earmaking ini menguntungkan daerah? seperti apa bentuk
implementasinya? apakah aka nada resistensi dari pelaku usaha? carilah artikel dan
jelaskan dengan rujukan pasti!

Jawaban :

1. Urgensi mereformasi regulasi fiskal daerah dengan skema earmarking dapat dijelaskan
melalui beberapa aspek yang mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan dalam
pengelolaan keuangan daerah. Berikut adalah beberapa urgensi reformasi regulasi
fiskal daerah dengan earmarking:

 Keterkaitan dengan Desentralisasi Fiskal: Earmarking mencerminkan


prinsip desentralisasi fiskal, di mana daerah memiliki kewenangan untuk
mengelola sebagian penerimaan pajaknya. Reformasi dalam pengaturan ini
dapat mendukung amanat desentralisasi fiskal yang mengharuskan pemerintah
daerah (pemda) untuk dapat membiayai pengeluaran yang menjadi urusannya.
 Peningkatan Kepastian Penyediaan Publik: Skema earmarking memberikan
kepastian dalam penyediaan publik dengan mengalokasikan dana dari pajak
tertentu untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti infrastruktur jalan, transportasi
umum, atau program kesehatan. Reformasi dapat meningkatkan efisiensi dan
transparansi dalam penggunaan dana yang dialokasikan untuk program-
program tersebut.
 Optimalisasi Penggunaan Dana Pajak: Mereformasi regulasi fiskal daerah
dengan earmarking dapat membantu dalam optimalisasi penggunaan dana
pajak. Dana yang dihasilkan dari pajak tertentu dapat secara langsung
dialokasikan untuk mendukung program-program yang menjadi prioritas
daerah, mengurangi risiko penyalahgunaan atau alokasi yang tidak efisien.
 Peningkatan Akuntabilitas dan Transparansi: Earmarking dapat
meningkatkan tingkat akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana pajak di
tingkat daerah. Dengan mengaitkan pajak khusus dengan tujuan tertentu,
masyarakat dapat lebih mudah melacak dan menilai kinerja pemerintah daerah
dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
 Insentif untuk Pemda Meningkatkan Penerimaan Pajak: Earmarking dapat
menjadi insentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan pajak
di sektor-sektor tertentu, karena dana yang diperoleh dapat digunakan untuk
mendukung pembangunan dan pelayanan publik. Reformasi dapat memberikan
kerangka insentif yang lebih jelas dan mendorong pemda untuk meningkatkan
kapasitas mereka dalam mengumpulkan pajak.
 Pemberdayaan Daerah dalam Pembangunan Lokal: Dengan
mengalokasikan dana dari pajak tertentu untuk program-program lokal,
reformasi ini dapat memberdayakan daerah untuk mengidentifikasi dan
memprioritaskan kebutuhan pembangunan lokal yang sesuai dengan
karakteristik dan potensi setempat.

2. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan desentralisasi fiskal. Beberapa


di antaranya mencakup analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian,
kebijakan pembangunan, dan aspek-aspek lainnya. Berikut adalah beberapa contoh
penelitian yang dapat memberikan wawasan tentang desentralisasi fiscal:
 "Decentralization and Infrastructure in the Global Economy: From Gaps
to Solutions" (2019)
Peneliti: Jean-Paul Faguet, Caroline Pöschl
Ringkasan: Penelitian ini mengeksplorasi dampak desentralisasi terhadap
pembangunan infrastruktur di berbagai negara. Penelitian tersebut memberikan
analisis tentang bagaimana desentralisasi dapat memengaruhi penyediaan dan
kualitas infrastruktur.
 Fiscal Decentralization, Local Institutions, and Public Goods Provision:
Evidence from Indonesia" (2019)
Peneliti: Rema Hanna, Paulina Oliva
Ringkasan: Penelitian ini fokus pada dampak desentralisasi fiskal di Indonesia.
Mereka mengevaluasi bagaimana desentralisasi memengaruhi penyediaan
barang publik di tingkat lokal dan efektivitas kebijakan publik.

3. Implementasi earmarking dalam konteks reformasi regulasi fiskal daerah dapat


berbagai bentuk sesuai dengan alokasi dana dari penerimaan pajak yang disisihkan
untuk pembiayaan program tertentu. Berikut adalah beberapa bentuk implementasi
earmarking yang dapat membantu penyediaan publik tercapai:
 Pajak Penerangan Jalan: Earmarking pada pajak penerangan jalan dapat
diimplementasikan dengan mengalokasikan sebagian atau seluruh penerimaan
dari pajak ini untuk pembiayaan program dan proyek yang berkaitan dengan
infrastruktur penerangan jalan, keamanan lalu lintas, dan kenyamanan
masyarakat di sekitarnya.
 Pajak Kendaraan Bermotor: Penerimaan dari pajak kendaraan bermotor
dapat disisihkan (earmarked) untuk pembiayaan program yang berhubungan
dengan transportasi, perawatan dan pengembangan infrastruktur jalan, serta
kebijakan lingkungan terkait transportasi.
 Pajak Rokok:,Implementasi earmarking pada pajak rokok dapat melibatkan
alokasi sebagian dari penerimaan untuk mendukung program-program
kesehatan masyarakat, kampanye anti-merokok, dan proyek-proyek penelitian
terkait dampak kesehatan akibat konsumsi tembakau.
 Peraturan dan Mekanisme Pengalokasian Dana: Mekanisme atau peraturan
yang jelas perlu ditetapkan untuk menentukan persentase atau jumlah dana yang
akan dialokasikan dari setiap jenis pajak untuk program tertentu. Hal ini
memberikan kepastian dan transparansi dalam penggunaan dana.
 Partisipasi Masyarakat: Masyarakat dapat dilibatkan dalam proses
perencanaan dan pengambilan keputusan terkait alokasi dana earmarking. Hal
ini dapat dilakukan melalui mekanisme partisipatif seperti musyawarah daerah
atau forum konsultasi masyarakat.
 Pelaporan dan Akuntabilitas: Sistem pelaporan yang baik perlu diterapkan
untuk memantau dan melaporkan penggunaan dana earmarking. Transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana akan memastikan bahwa program
yang dijanjikan benar-benar terlaksana.
 Evaluasi Kinerja: Melakukan evaluasi kinerja terhadap pelaksanaan program
yang didanai oleh earmarking. Evaluasi ini dapat membantu dalam menentukan
efektivitas dan efisiensi penggunaan dana serta memberikan umpan balik untuk
penyempurnaan kebijakan di masa mendatang.

4. Untuk dapat melakukan earmarking yang sejalan dengan tujuan keberlanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs), pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah tertentu.
Berikut adalah beberapa saran dengan dukungan teoritis dan konsep keberlanjutan:

 Analisis Kebutuhan Lokal dan Prioritas SDGs: Pemerintah daerah harus


melakukan analisis mendalam terkait kebutuhan dan prioritas pembangunan
berkelanjutan di tingkat lokal. Dengan memahami tantangan dan peluang di daerah
mereka, mereka dapat menentukan program atau sektor yang paling mendukung
pencapaian SDGs.
Dukungan Teoritis: Teori Perencanaan Pembangunan Lokal (Local Development
Planning) dapat memberikan dasar konseptual. Teori ini menekankan pentingnya
melibatkan masyarakat lokal dalam menentukan prioritas pembangunan
berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan setempat.

 Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan: Masyarakat lokal


sebaiknya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait earmarking.
Dengan memperhitungkan aspirasi dan pandangan masyarakat, program-program
yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan riil dan lebih mudah diterima
oleh masyarakat.

Dukungan Teoritis: Pendekatan Partisipatif Pembangunan (Participatory


Development) mendukung keterlibatan aktif masyarakat dalam proses perencanaan
dan pengambilan keputusan. Hal ini menciptakan legitimasi dan dukungan untuk
kebijakan pembangunan.

 Pengintegrasian Aspek Lingkungan dan Sosial dalam Earmarking: Memastikan


bahwa earmarking tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga
memperhitungkan aspek lingkungan dan sosial. Pengalokasian dana harus sejalan
dengan prinsip-prinsip keberlanjutan untuk mendukung SDGs secara holistik.

Dukungan Teoritis: Teori Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development


Theory) memberikan dasar konseptual untuk mengintegrasikan aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan dalam setiap kebijakan pembangunan.

 Kemitraan dan Kolaborasi dengan Pihak Swasta dan Pihak Ketiga: Pemerintah
daerah dapat membentuk kemitraan dengan pihak swasta dan pihak ketiga untuk
meningkatkan kapasitas keuangan dan teknis. Dengan melibatkan sektor swasta dan
organisasi non-pemerintah, efisiensi penggunaan dana dapat ditingkatkan.

Dukungan Teoritis: Konsep Kemitraan untuk Pembangunan (Partnerships for


Development) mengacu pada kerjasama antara sektor publik, swasta, dan
masyarakat sipil untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

 Mekanisme Monitoring dan Evaluasi: Pemerintah daerah harus menetapkan


mekanisme yang kuat untuk monitoring dan evaluasi hasil dari penggunaan dana
earmarking. Dengan demikian, mereka dapat mengukur dampak pembangunan
berkelanjutan yang telah dicapai dan memperbaiki program yang belum berjalan
sesuai harapan.

Dukungan Teoritis: Konsep Evaluasi dan Pembelajaran (Evaluation and Learning)


merupakan bagian penting dari manajemen pembangunan berkelanjutan, yang
menekankan pentingnya pembelajaran dari pengalaman untuk meningkatkan
kebijakan dan praktik.

5. Skema Earmarking, jika diimplementasikan dengan baik, dapat memberikan sejumlah


manfaat bagi daerah. Berikut adalah beberapa alasan mengapa skema Earmarking dapat
dianggap menguntungkan, bentuk implementasinya, dan potensi resistensi dari pelaku
usaha:
 Manfaat Skema Earmarking bagi Daerah:
1. Kepastian Pembiayaan: Earmarking memberikan daerah kepastian pembiayaan
untuk program-program tertentu. Dana yang dialokasikan melalui earmarking
dapat membantu daerah dalam perencanaan jangka panjang dan pelaksanaan
program-program prioritas.
2. Meningkatkan Pelayanan Publik: Implementasi earmarking dapat meningkatkan
pelayanan publik karena dana yang disisihkan khusus untuk tujuan tertentu, seperti
infrastruktur jalan, pendidikan, atau kesehatan. Hal ini dapat memberikan dampak
positif langsung kepada masyarakat.
3. Dukungan untuk Pembangunan Berkelanjutan: Earmarking dapat membantu
daerah dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dengan mengalokasikan
dana untuk program-program yang sejalan dengan tujuan keberlanjutan, termasuk
SDGs.
4. Transparansi dan Akuntabilitas: Earmarking dapat meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas penggunaan dana publik. Masyarakat dapat melihat dengan jelas
bagaimana dana pajak digunakan dan apakah sesuai dengan tujuan yang dijanjikan.

 Implementasi Skema Earmarking:

1. Penetapan Tujuan dan Prioritas: Pemerintah daerah perlu menetapkan tujuan


dan prioritas pembangunan yang akan didukung oleh earmarking. Ini melibatkan
identifikasi program-program kunci yang mendukung kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
2. Mekanisme Pengalokasian Dana: Mekanisme harus ditetapkan untuk
mengalokasikan dana dari pajak tertentu ke program-program yang ditargetkan.
Hal ini dapat melibatkan penetapan persentase tertentu dari penerimaan pajak
untuk setiap tujuan.
3. Partisipasi Masyarakat: Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan dapat membantu memastikan bahwa kebijakan earmarking
mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
4. Sistem Pelaporan dan Evaluasi: Menerapkan sistem pelaporan dan evaluasi yang
efektif untuk memantau penggunaan dana earmarking. Ini memungkinkan
pemerintah daerah untuk mengevaluasi kinerja program dan membuat perbaikan
jika diperlukan.

 Potensi Resistensi dari Pelaku Usaha:

1. Beban Pajak yang Dirasakan: Pelaku usaha mungkin merasa terbebani jika pajak
yang dialokasikan untuk earmarking dianggap terlalu tinggi. Potensi resistensi dapat
muncul jika pelaku usaha menganggap pajak tersebut memberatkan bisnis mereka.
2. Ketidaksetujuan terhadap Tujuan Program: Jika pelaku usaha tidak setuju
dengan tujuan atau program yang didanai melalui earmarking, resistensi dapat
muncul. Ini mungkin terjadi jika program yang didukung dapat mengganggu
operasional atau keuntungan bisnis mereka.
3. Ketidakpastian Ekonomi: Dalam situasi ekonomi yang sulit, pelaku usaha
mungkin bersikap resisten terhadap peningkatan beban pajak, terutama jika mereka
menghadapi tekanan finansial.
Soal 4
Dirjen Pajak: 19 Juta NIK Sudah Bisa Digunakan Sebagai NPWP
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan hingga saat
ini, 19 juta nomor induk kependudukan (NIK) sudah bisa berfungsi sebagai nomor pokok
wajib pajak atau NPWP.

Dari potongan artikel tersebut, anda diminta untuk menganalisis:


1. Menurut saudara dengan transformasi ini sudah tepat? carilah artikel dan jelaskan
dengan rujukan pasti!
2. Dampak dari sistem ini apa? carilah artikel dan jelaskan dengan konsep teoritis yang
terstruktur!
3. Salah satu tujuannya memudahkan. dalam hal apa? seperti yang diketahui bahwa rasio
account representative terhadap wajib pajak masih tinggi. carilah artikel dan jelaskan
dengan rujukan pasti!
4. NIK dapat diaktivasi secara mandiri oleh wajib pajak. apakah anda setuju dengan
paradigma ini dan kebebasan administrative tersebut? carilah artikel dan jelaskan
dengan rujukan pasti dan logika positif!
5. artinya seluruh wajib pajak akan dipotong pajak dari seluruh penghasilannya? japakah
anda setuju? carilah artikel dan jelaskan dengan rujukan pasti!
Jawaban :
1. Penilaian terhadap keberhasilan transformasi NIK sebagai NPWP harus dilihat dari
beberapa aspek, termasuk efisiensi administratif, kepatuhan pajak, dan dampak positif
bagi masyarakat. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan transformasi ini:
 Efisiensi Administratif: Apakah transformasi ini telah meningkatkan efisiensi
administratif dalam pendaftaran dan pemeliharaan data pajak? Jika langkah ini
berhasil mengurangi birokrasi dan mempermudah proses administratif, hal ini
bisa dianggap sebagai keberhasilan.
 Kepatuhan Pajak:Apakah transformasi ini memiliki dampak positif pada
tingkat kepatuhan pajak? Jika memungkinkan lebih banyak orang untuk
memiliki NPWP dan membayar pajak dengan mudah, ini dapat dianggap
sebagai indikator keberhasilan.
 Keamanan Data:Bagaimana keamanan data wajib pajak dijamin dalam sistem
transformasi ini? Keberhasilan juga dapat diukur dari sejauh mana sistem
mampu melindungi informasi sensitif dan mencegah penyalahgunaan data.
 Keterlibatan Masyarakat:Apakah masyarakat dapat dengan mudah
memahami dan mengakses informasi terkait transformasi ini? Jika masyarakat
merasa terlibat dan memahami manfaatnya, dapat dianggap sebagai
keberhasilan dalam komunikasi dan keterlibatan publik.
 Dampak Ekonomi: Apakah transformasi ini memberikan dampak positif pada
penerimaan pajak dan ekonomi secara keseluruhan? Jika berhasil meningkatkan
penerimaan pajak tanpa memberikan beban administratif yang berlebihan, hal
ini dapat dianggap sebagai keberhasilan.
 Evaluasi Terus Menerus: Penting untuk terus melakukan evaluasi terhadap
keberhasilan transformasi ini secara berkala, dengan mempertimbangkan
umpan balik dari masyarakat, praktisi pajak, dan pihak terkait lainnya.

2. Dampak dari sistem menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah sebagai berikut:
 Sederhana dan Efisien: Masyarakat tidak perlu memiliki dua nomor
identifikasi terpisah (NIK dan NPWP), yang dapat memudahkan proses
administratif. Hal ini dapat memberikan kenyamanan kepada wajib pajak
karena menggunakan satu nomor untuk keperluan administratif terkait pajak.
 Peningkatan Partisipasi: Jika proses pendaftaran dan pembaruan NPWP lebih
sederhana dengan menggunakan NIK, maka dapat meningkatkan partisipasi
wajib pajak. Wajib pajak mungkin lebih cenderung mendaftarkan diri dan
memenuhi kewajiban perpajakan mereka.
 Pengurangan Beban Administratif: Dengan menggunakan NIK sebagai
NPWP, dapat terjadi pengurangan beban administratif baik bagi wajib pajak
maupun pihak yang terlibat dalam administrasi pajak. Proses pendaftaran dan
pelaporan pajak menjadi lebih simpel.
 Kecepatan dan Akurasi Data: Penggunaan NIK sebagai NPWP dapat
meningkatkan kecepatan dan akurasi dalam pengolahan data perpajakan.
Informasi yang terkait dengan wajib pajak dapat diakses dengan lebih mudah
dan cepat.
 Pemantauan dan Analisis Lebih Baik: Pemantauan dan analisis terhadap data
pajak menjadi lebih baik karena konsolidasi data dapat dilakukan dengan lebih
efektif. Hal ini dapat membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan dan
perencanaan kebijakan perpajakan.
 Potensial untuk Meningkatkan Penerimaan Pajak: Dengan memudahkan
wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, sistem ini dapat
berpotensi meningkatkan penerimaan pajak karena lebih banyak orang mungkin
terdaftar dan mematuhi kewajiban perpajakan.

3. Salah satu tujuan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah untuk memudahkan proses administratif
perpajakan. Dengan memanfaatkan NIK yang sudah dimiliki oleh setiap warga negara,
Direktorat Jenderal Pajak bertujuan untuk:
 Mempermudah Pendaftaran dan Pelaporan: NIK yang berfungsi sebagai
NPWP dapat mempermudah proses pendaftaran wajib pajak baru dan pelaporan
pajak. Wajib pajak tidak perlu lagi memiliki dua nomor identifikasi terpisah,
yaitu NIK dan NPWP. Hal ini diharapkan dapat mengurangi beban administratif
dan mempercepat proses administrasi perpajakan.
 Mengurangi Rasio Account Representative terhadap Wajib Pajak: Dengan
mempermudah proses administratif, sistem yang menggunakan NIK sebagai
NPWP dapat berkontribusi pada pengurangan rasio Account Representative
(AR) terhadap wajib pajak. AR adalah petugas pajak yang bertugas memberikan
pelayanan dan bimbingan kepada wajib pajak. Jika proses administrasi lebih
efisien, AR dapat lebih fokus pada pelayanan yang lebih kompleks atau kasus
yang memerlukan perhatian khusus.
 Meningkatkan Keterlibatan Wajib Pajak: Dengan memudahkan pendaftaran
dan pelaporan, sistem ini dapat meningkatkan keterlibatan wajib pajak. Wajib
pajak mungkin lebih cenderung aktif dan patuh terhadap kewajiban
perpajakannya jika proses tersebut menjadi lebih sederhana dan mudah
dipahami.
 Efisiensi dalam Pengelolaan Data: Integrasi NIK sebagai NPWP dapat
meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan data perpajakan. Informasi terkait
dengan wajib pajak dapat diakses dengan cepat dan akurat, memungkinkan
pemerintah untuk melakukan pemantauan dan analisis data dengan lebih baik.

4. Pertanyaan tentang setuju atau tidak setuju terhadap paradigma di mana Nomor Induk
Kependudukan (NIK) dapat diaktivasi secara mandiri oleh wajib pajak, serta kebebasan
administratif yang diberikan, sebenarnya melibatkan pertimbangan berbagai aspek. Di
bawah ini adalah beberapa pertimbangan yang dapat diperhitungkan:

Setuju:

 Kemudahan untuk Wajib Pajak: Memungkinkan wajib pajak untuk


mengaktifkan NIK sebagai NPWP secara mandiri dapat meningkatkan
kemudahan akses dan partisipasi. Wajib pajak dapat mengurus administrasi
perpajakan tanpa terlalu tergantung pada pihak berwenang.
 Efisiensi Administratif: Pendekatan ini dapat meningkatkan efisiensi
administratif karena proses aktivasi yang mandiri dapat mengurangi beban kerja
bagi petugas pajak. Hal ini dapat membantu pemerintah dalam mengelola
sumber daya secara lebih efisien.
 Kemandirian Wajib Pajak: Memberikan kebebasan administratif kepada
wajib pajak mencerminkan prinsip kemandirian dalam pemenuhan kewajiban
perpajakan. Wajib pajak dapat lebih mandiri dan bertanggung jawab terhadap
kewajibannya.

Tidak Setuju:

 Potensi Kesalahan dan Penyalahgunaan: Proses aktivasi mandiri dapat


meningkatkan risiko kesalahan atau penyalahgunaan data. Wajib pajak
mungkin tidak memahami sepenuhnya implikasi perpajakan, sehingga dapat
terjadi kesalahan dalam penggunaan NPWP.
 Kontrol Pemerintah: Pemerintah mungkin kehilangan sebagian kendali
terhadap proses pendaftaran dan aktivasi NPWP. Kontrol yang lebih ketat oleh
pihak berwenang dapat membantu mencegah penyalahgunaan atau kekeliruan.
 Perlunya Edukasi Pajak yang Lebih Baik: Pendekatan ini memerlukan
tingkat pemahaman dan edukasi pajak yang tinggi dari wajib pajak. Jika
pemahaman pajak rendah, hal ini dapat menyulitkan wajib pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar.

5. Tidak Setuju, pengaktifan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) tidak berarti bahwa seluruh wajib pajak akan dipotong pajak dari
seluruh penghasilannya secara otomatis. Pengaktifan NIK sebagai NPWP lebih terkait
dengan proses identifikasi dan pendaftaran wajib pajak dalam sistem administrasi
perpajakan.
Pajak yang dipotong dari penghasilan wajib pajak biasanya berkaitan dengan
pemotongan pajak penghasilan (PPh) yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
(pengusaha, perusahaan, atau instansi yang membayar penghasilan). Pemotongan PPh
dilakukan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan tergantung pada
besaran penghasilan serta jenis transaksi atau pembayaran tertentu.

Jadi, meskipun wajib pajak telah memiliki NPWP yang diaktifkan melalui NIK,
pemotongan pajak dari penghasilan wajib pajak tetap bergantung pada ketentuan
peraturan perpajakan yang berlaku dan tidak bersifat otomatis pada setiap transaksi atau
penghasilan yang diterima oleh wajib pajak.

Penting untuk memahami bahwa mekanisme pemotongan pajak dapat bervariasi


berdasarkan jenis penghasilan, transaksi, atau kondisi khusus lainnya, dan dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku di suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai