Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele


Lele merupaka ikan yang hidup di air tawar dengan nama latin Clarias,
yang dalam bahasa Yunani Clarius atau Claros berarti tangkas dan kuat.
Penamaan ini didasari dengan ciri khas ikan lele yang mampu bertahan hidup di
perairan keruh dan bersifat lincah (Aidah, 2022).
Lele sendiri memiliki tubuh pipih memanjang, berlendir dan licin, tidak
memiliki sisik, serta memiliki kumis sebagai ciri khasnya. Lele memiliki lima
jenis sirip berupa; sirip punggung, sirip dada, sirip dubur, sirip perut, dan sirip
ekor. Memiliki patil sebagai pelindung dari musuh, dan strukur tulang kepala yang
sangat keras di bagian atas (Aidah, 2022).
Hingga saat ini, Indonesia memiliki 16 spesies lele yang telah
teridentifikasi dan beberapa di antaranya telah berhasil dibudidayakan. Spesies
lele secara umum memiliki toleransi yang rendah terhadap patogen dan memiliki
laju pertumbuhan yang rendah, di antara spesies yang berhasil dibudidayakan
spesies lele dumbo adalah spesies yang sangat populer dikalangan pembudidaya
(Iswanto, 2013).

2.1.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)


Ikan lele dumbo merupakan spesies ikan lele yang diketahui merupakan
ikan lele yang berasal dari daerah Afrika. Ikan ini masuk ke Indonesia melalui
Taiwan yang sejak lama lebih maju dalam pembudidayaan lele. Kajian yang
dilakukan oleh Iswanto (2013) menyebutkan bahwa ikan lele dumbo memiliki
penamaan berdasarkan kapabilitasnya untuk tumbuh hingga ukuran yang besar
dan dalam waktu yang singkat. Ikan lele dumbo dapat dipanen dengan kurun
waktu hanya 50 hari, dibandingkan dengan budidaya lele yang awalnya
membutuhkan waktu 3-4 bulan (Basahudin dan Arie, 2014).

5
6

Ikan lele dumbo memiliki klasifikasi sebagai berikut.


Kingdom : Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub-kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus

Gambar 2.1 Ikan Lele Dumbo


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Lele_dumbo diakses 5 Desember 2023.

Ikan lele memiliki bagian yang dapat dikonsumsi (edible) berkisar antara
40-50% dari berat utuhnya, meskipun begitu ikan lele juga memiliki kandungan
gizi yang tinggi. Kandungan gizi ikan lele dumbo per 100 g dapat dilihat pada
Tabel 2.1 sebagai berikut.
7

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Ikan Lele Dumbo Per 100 g


No
Komposisi Kuantitas
.
1 Energi 372 Kkal
2 Protein 7,80 g
3 Lemak 36,30 g
4 Karbohidrat 3,50 g
5 Kalsium 289 mg
6 Fosfor 295 mg
7 Zat besi 150 mg
8 Natrium 210 IU
9 Vitamin A 0,1 mg
10 Vitamin B1 (tianin) 0,05 mg
11 Vitamin B2 (riboflapin) 0,05 mg
12 Vitamin B3 (niasin) 2 mg
Sumber : Data Komposisi Pangan Indonesia dalam Ardiansah (2023)

2.1.2 Limbah Ikan Lele Dumbo


Limbah ikan lele dumbo merupakan sisa dari bagian yang dapat dimakan
(edible) dari proporsi ikan lele dumbo berkisar antara 50-60% dari berat ikan
utuh. Selain daripada daging, bagian yang merupakan limbah adalah kepala, isi
perut, sirip, tulang, kulit dan ekor.
Menurut Ferazuma, Marliyati dan Amalia (2011) kepala ikan lele dumbo
tidak dapat dikonsumsi secara langsung karena struktur tulang kepala ikan lele
yang sangat keras. Kepala ikan lele dumbo dapat diolah menjadi bahan pangan
setelah dilakukan proses pelunakan atau dijadikan tepung. Kepala ikan yang telah
diolah menjadi tepung memiliki kandungan kimia sebagaimana tercantum pada
Tabel 2.2 berikut.
8

Tabel 2.2 Kandungan Kimia Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo


No
Kandungan Kuantitas (%bb)
.
1 Air 8,72
2 Abu 16,53
3 Protein 51,15
4 Lemak 8,56
5 Karbohidrat 15,03
6 Kalsium 6,68
7 Fosfor 3,78
Sumber : Ferazuma et al. (2011)

Tabel 2.2 menunjukkan bahwa kandungan kalsium yang dimiliki oleh ikan
lele sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan bagi kebutuhan kalsium manusia.
Sumber kalsium yang berasal dari hewani selama ini belum banyak digunakan
karena sumber kalsium yang berasal dari hewani cenderung kurang fleksibel
untuk dijadikan sebagai olahan dan proses pengolahannya memiliki cost yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber kalsium nabati.
Cost pengolahan yang dibutuhkan untuk mengolah bagian tulang dan
kepala ikan lele dumbo adalah waktu pemasakan yang lama. Waktu pemasakan ini
dibutuhkan untuk membuat bagian tulang dan kepala ikan lele dumbo menjadi
lunak dan dapat dihancurkan. Setelah melewati proses penghancuran, bubur yang
didapatkan baru dapat dioalah menjadi bahan pangan.
Sulistiyati dan Mawaddah (2021) mengatakan kelebihan dari penggunaan
tulang dan kepala ikan lele dumbo sebagai bahan pangan dapat menjadi solusi
bagi permasalahan defisiensi kalsium. Defisiensi kalsium dapat menyebabkan
terjadinya osteoporosis yang ditandai dengan kurangnya kepadatan tulang pada
usia tua, dan pada usia pertumbuhan defisiensi ini dapat menyebabkan
terhambatnya laju pertumbuhan.
9

2.2 Abon Ikan


Abon adalah makanan kering berbentuk khas yang terbuat dari daging
dengan proses direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres (SNI, 1995).
Definisi abon pada awalnya mengacu pada produk olahan yang berbahan dasar
daging sapi, namun setelah perkembangannya abon dapat juga dibuat dari
berbagai macam bahan dasar dengan melalui proses yang sama dengan hasil akhir
khas abon. Menurut SNI yang terbarukan tahun 2019 tentang abon ikan, krustasea
atau moluska, abon ikan adalah produk olahan perikanan kering berbentuk serbuk
atau serat dari daging ikan yang berbumbu dan berwarna kecokelatan.

Gambar 2.2 Abon Ikan


Sumber : Laporan Praktik Lapangan (2023)

Abon ikan sebagai salah satu produk pangan memiliki standar mutu yang
telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI. Standar
mutu menjamin kualitas dan keamanan produk yang akan dikonsumsi oleh
konsumen. Secara terperinci, syarat mutu abon tercantum pada Tabel 2.3 sebagai
berikut.
10

Tabel 2.3 Persyaratan Mutu dan Keamanan Abon Ikan


Parameter Uji Satuan Persyaratan
a. Sensori angka Min. 7*
b. Kimia
Kadar Protein % Min. 30
Kadar air % Maks. 15

c. Cemaran mikroba n c M M
koloni/g 5 2 3 4
ALT 10 10
Escheria coli*** APM/g 5 1 <3 3,6
Salmonella*** per 25 g 5 0 Negatif Td
koloni/g 5 1 2 3
Staphylococcus aureus 10 10
d. Cemaran logam***
Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,5
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,2

Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1

e. Cemaran fisik
Filth potongan 0

f. Histamin ¿∗atau∗¿∗¿¿ mg/kg Maks. 100

Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI) 7690-2019.

Penelitian yang dilakukan oleh Sundari, Umbara dan Priyanto (2018) yang
membahas mengenai preferensi terhadap abon ikan dibandingkan dengan abon
daging di era ekonomi digital menunjukkan bahwa responden yang menjadi objek
penelitian lebih memilih abon ikan dibandingkan dengan abon daging karna
secara harga lebih terjangkau. Perilaku konsumen terhadap preferensi ini
menunjukkan pada era ekonomi digital abon ikan yang memiliki kelebihan harga
terjangkau dibandingkan dengan abon daging.
Kekurangan yang terdapat pada abon ikan terdapat pada pemilihan bahan
baku ikan. Kandungan dan jenis protein pada bahan baku ikan akan berpengaruh
terhadap sifat fisik abon ikan. Daging ikan memiliki struktur serat-serat protein
lebih pendek dibandingkan dengan daging yang dimiliki hewan darat. Serat-serat
ini akan mempengaruhi kadar air dan tekstur produk abon. Abon yang telah
dikenal oleh masyarakat merupakan produk berserat dan kering karena pada
11

awalnya abon merupakan produk yang diolah dari daging sapi. Sifat fisik kering
merupakan ciri khas dari produk abon sehingga abon memiliki daya simpan yang
lama.
2.2.1 Bahan Baku Pembuatan Abon
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat abon terbagi menjadi bahan
baku yang merupakan bahan utama abon dan bahan tambahan. Bahan tambahan
atau zat aditif yang digunakan dalam pembuatan abon berperan untuk
meningkatkan cita rasa abon, pengawetan, dan mengelevasi penampilan abon
(Ardiansah, 2023). Bahan tambahan yang termuat dalam SNI 7690-3-2013 yaitu
garam, bawang merah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, gula, santan (opsional),
merica, dan minyak goreng.
a. Bawang putih (Allium sativum L.)
Bawang putih adalah salah satu jenis bumbu dapur yang biasa
digunakan sebagai bahan tambahan dalam masakan. Bawang putih selain
menambah cita rasa juga memiliki efek farmakologis seperti antibakteri,
antijamur, hiperlipidemik, antitrombotik, antioksidan dan anti kanker,
sehingga memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia (Pajan, 2016).
b. Bawang merah (Allium ascalonicum L.)
Bawang merah adalah salah satu rempah yang memiliki kandungan
atsiri yang sering dimanfaatkan sebagai penurun kolesterol, gula darah dan
mencegah penggumpalan darah dan menurunkan tekanan darah
(Ardiansah, 2023)
c. Ketumbar (Coriandrum sativum L.)
Kandungan atsiri yang dimiliki oleh ketumbar menjadikan
ketumbar sebagai rempah-rempah yang sering digunakan sebagai bahan
tambahan dalam pengolahan makanan yang memiliki bau kurang sedap.
Selain itu manfaat dari ketumbar juga sangat baik bagi tubuh (Hasanah
dkk 2019).
d. Lengkuas (Alpinia galanga)
Rimpang lengkuas telah dijadikan bumbu dapur sejak lama karena
kandungannya dapat mengelevasi cita rasa dari produk pangan. Rimpang
12

lengkuas juga dapat bermanfaat sebagai antijamur dan antibakteri


(Khusnul, 2017).

e. Gula
Pada pembuatan abon, gula memiliki peran penting sebagai
pemberi rasa manis dan memicu terjadinya reaksi maillard sehingga luaran
yang dihasilkan memiliki warna kecokelatan yang menarik.
f. Merica (Piper nigrum)
Merica merupakan bahan dengan banyak sekali manfaat. Merica
mengandung banyak kandungan mineral seperti potasium, kalsium, seng,
mangan, besi, magnesium dan vitamin. Komponen utama dalam merica
yaitu piperine, memiliki sifat antioksidan dan juga memiliki efek
menurunkan tekanan darah (Anggraini dkk 2018). Kandungan yang
dikandung oleh merica juga membuat merica sering digunakan dalam
industri modern seperti parfum, kosmetik, makanan, aromaterapi dan obat-
obatan (Feriyanto dkk 2013).
g. Minyak goreng
Minyak goreng merupakan bahan yang digunakan sebagai media
penghantar panas dalam proses pengolahan (Rahayu dkk 2014)
h. Serai (Cymbopogon citratus DC)
Serai merupakan tumbuhan dengan batang germinal, yang
mengandung banyak minyak atsiri. Serai memiliki metabolit sekunder
seperti saponin, kuinon dan steroid. Metabolit sekunder merupakan
senyawa yang umumnya memiliki kemampuan bioaktif (Erlia dkk 2016).
i. Daun jeruk (Citrus hystrix)
Daun jeruk merupakan daun yang memiliki atsiri dengan banyak
manfaat dan memiliki aroma yang khas. Daun jeruk digunakan untuk
mengelevasi aroma produk pangan.
j. Daun salam (Syzygium polyanthum)
13

Daun salam merupakan salah satu tanaman antibakteri karena


mengandung flavanoid, tanin dan minyak atsiri. Daun salam umumnya
digunakan sebagai rempah-rempah pada masakan digunakan dalam
kondisi segar maupun sudah dalam keadaan kering (Kusumaningrum dkk
2013)

2.3 Metode Pengolahan


2.3.1 Penggorengan (deep frying)
Penggorengan merupakan proses dehidrasi bahan dengan menggunakan
minyak sebagai medium penghantar panas, yang membuat bahan mengalami
perubahan sifat fisik, kimia dan sensori. Penggorengan dilakukan dengan tujuan
untuk menghentikan aktivitas enzim, mengurangi kadar air dan dapat
memperpanjang daya simpan produk (Zaghi et al., 2019). Reaksi yang dapat
terjadi pada bahan selama proses penggorengan beberapa di antaranya adalah
reaksi maillard, adsorpsi minyak, dehidrasi, denaturasi pada protein, gelatinisasi
pada pati dan kerusakan pada vitamin (Ponno et al., 2018).
Hasil penggorengan yang optimal bergantung dari pada faktor suhu dan
lama penggorengan. Minyak yang dipanaskan dengan suhu tinggi dan waktu yang
terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya interaksi minyak dengan udara.
Interaksi ini dapat menstimulasi perubahan hidroperoksida lemak menjadi radikal
bebas, yang memberikan dampak terhadap mutu produk (Ponno et al., 2018).
Menurut penelitian terdahulu yang dikutip oleh Mela (2022), proses
penggorengan yang dapat menghasilkan abon secara optimal adalah menggunakan
suhu 178℃ dengan waktu penggorengan selama 5 menit.

2.3.2 Sangrai
Penyangraian merupakan metode penggorengan yang tidak menggunakan
minyak. Teknik sangrai memiliki lebih banyak faktor yang mempengaruhi kualitas
hasilnya jika dibandingkan dengan teknik deep frying. Beberapa faktor di
antaranya media, jenis dan jumlah bahan yang diproses, jenis pemanas, suhu,
14

media dan teknik sangrai menjadi faktor yang mempengaruhi mutu produk
(Jamaluddin, 2018).
Selama proses penyangraian, bahan harus secara terus-menerus diaduk
agar distribusi panas dapat terjadi secara merata. Distribusi panas yang merata
akan menguapkan air pada bahan dan membuat produk memiliki masa simpan
yang panjang. Proses sangrai terbagi menjadi 2 metode berdasarkan tekniknya,
yaitu dengan metode manual dan otomatis. Penyangraian metode manual
umumnya dilakukan dengan tangan dan menggunakan spatula sebagai alat bantu.
Sementara itu, penyangraian otomatis dilakukan dengan menggunakan bantuan
mesin yang terus mengaduk dan mencampur bahan, umumnya metode ini
dilakukan dalam pengolahan biji kopi, kacang maupun biji kakao. Penyangraian
yang dilakukan pada abon ikan membutuhkan waktu yang lama. Hal ini
dikarenakan ikan memiliki kadar air yang tinggi (Jamaluddin, 2018).

Anda mungkin juga menyukai