Anda di halaman 1dari 61

SNI 7646:2010

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Standar Nasional Indonesia

Survei hidrografi menggunakan singlebeam


echosounder

ICS 07.040 Badan Standardisasi Nasional


“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Copyright notice

Hak cipta dilindungi undang‐undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi
dokumen ini dengan cara dan dalam bentuk apapun dan dilarang mendistribusikan dokumen ini baik
secara elektronik maupun hardcopy tanpa izin tertulis dari BSN

BSN
Gd. Manggala Wanabakti Blok IV, Lt. 3,4,7,10.
Telp. +6221‐5747043
Fax. +6221‐5747045
Email: dokinfo@bsn.go.id
www.bsn.go.id
Diterbitkan di Jakarta
SNI 7646:2010

Daftar Isi

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Daftar Isi .................................................................................................................................... i
Prakata ii
1 Ruang lingkup ......................................................................................................................1
2 Acuan normatif .....................................................................................................................1
3 Istilah dan definisi ................................................................................................................1
4 Klasifikasi survei ..................................................................................................................4
5 Ketentuan survei ..................................................................................................................6
6 Prosedur pelaksanaan survei hidrografi.............................................................................11
7 Pengolahan data perum .....................................................................................................14
8 Penyimpanan dan penyajian data ......................................................................................15
Lampiran A (Informatif) ...........................................................................................................17
Lampiran B (informatif) ...........................................................................................................18
Lampiran C (normatif) .............................................................................................................19
Lampiran D (informatif) ...........................................................................................................20
Bibliografi ................................................................................................................................21

i
SNI 7646:2010

Prakata

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Standar Nasional Indonesia (SNI) 7646:2010, Survei hidrografi menggunakan
Singlebeam Echosounder ini berisi pedoman bagi seluruh penyelenggara atau
pelaksana survei hidrografi untuk keperluan pemetaan dasar agar didapatkan data
yang terjamin kualitasnya. Dalam SNI ini hanya dibahas mengenai SNI survei
hidrografi dengan menggunakan peralatan singlebeam echosounder. Pemilihan
metode singlebeam echosounder, dikarenakan metode ini paling banyak digunakan
di Indonesia pada saat ini.

SNI ini disusun dengan sebagian besar mengacu pada standar survei hidrografi yang
berlaku secara internasional, yaitu Special Publication no. 44 yang diterbitkan oleh
IHO agar sebagian atau semua data yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu data dasar untuk penyempurnaan peta navigasi laut yang sesuai.

Standar ini disusun berdasarkan Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 8 tahun


2007, tentang Penulisan Standar Nasional Indonesia.

Standar ini disusun oleh Panitia Teknis Informasi Geografis/Geomatika (PT 07-01)
dan telah dibahas dalam rapat konsensus lingkup panitia teknis di Cibinong pada
tanggal 7 Nopember 2006. Hadir dalam rapat tersebut ahli-ahli yang terkait di
bidangnya dari lembaga instansi pemerintah, akademisi dan lembaga instansi non-
pemerintah serta instansi terkait lainnya. SNI ini juga telah melalui konsensus
nasional yaitu jajak pendapat pada tanggal 10 Mei 2010 sampai dengan 10 Juli
2010.

ii
SNI 7646:2010

Survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
1 Ruang lingkup

Standar ini menetapkan ketentuan dan prosedur survei hidrografi menggunakan singlebeam
echosounder, yang meliputi: ketentuan-ketentuan, prosedur pelaksanaan survei hidrografi,
pengolahan data, penyimpanan dan penyajian data, dan pelaporan hasil survei hidrografi.

2 Acuan normatif

IHO Standards for Hydrographic Surveys 4th Edition, Special Publication No. 44, 1998.
IHO Standards for Hydrographic Surveys 5th Edition, Special Publication No. 32, 1994.
ISO 6709, Latitude Longitude, 1983.
SNI 19-6724-2002, Jaring kontrol horizontal.

3 Istilah dan definisi

3.1
perum gema (echo sounder)
peralatan yang digunakan untuk menentukan kedalaman air dengan cara mengukur interval
waktu antara pemancaran gelombang suara dengan penerimaan pantulannya (gema) dari
dasar air

3.2
singlebeam echo sounder
alat ukur kedalaman air yang menggunakan pancaran tunggal sebagai pengirim dan
penerima sinyal gelombang suara

3.3
batimetri
metode atau teknik penentuan kedalaman laut atau profil dasar laut dari hasil analisa data
kedalaman

3.4
co-tidal chart
peta yang menggambarkan garis yang menghubungkan titik-titik air tinggi (high water) terjadi
pada waktu yang sama

3.5
datum vertikal
permukaan ekipotensial yang mendekati kedudukan permukaan air laut rerata (geoid) yang
digunakan sebagai bidang acuan dalam penentuan posisi vertikal

3.6
Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN 95)
datum geodesi yang ditetapkan pada tahun 1995, mengacu pada sistem datum internasional
WGS-84 (World Geodetic System 1984) dengan parameter elipsoid:

1 dari 22
SNI 7646:2010

Sumbu panjang a = 6.378.137 m

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Faktor penggepengan f = 1/298,257223563

3.7
garis pantai
garis yang menggambarkan pertemuan antara perairan dan daratan di wilayah pantai pada
saat kedudukan pasang tertinggi ,penentuan garis pantai di daerah rawa dan bakau adalah
tepi luar dari wilayah tumbuhan.

3.8
haluan (heading)
arah kemana sumbu panjang kapal menuju, biasanya disebut dalam derajat dari utara
(sejati/geografis, magnetik/kompas)

3.9
hidrografi
ilmu yang mempelajari dan membahas tentang deskripsi serta pengukuran kenampakan fisik
laut, danau, sungai dan kaitannya dengan wilayah pantai

3.10
heave
gerakan naik-turunnya kapal yang disebabkan oleh gaya pengaruh air laut

3.11
survei investigasi
bagian dari survei hidrografi pada daerah yang membahayakan pelayaran untuk
menemukan kedangkalan, bangkai kapal atau halangan lain agar dapat dipetakan.

3.12
International Hydrograhic Organization (IHO)
badan internasional yang mengoordinasikan kegiatan-kegiatan kehidrografian dari kantor
hidrografi nasional yang mempromosikan standar dan menyiapkan saran-saran dalam
bidang-bidang survei hidrografi, publikasi dan produksi peta laut (nautical chart).

3.13
kecepatan suara (sound velocity)
cepat rambat gelombang suara melalui media tertentu dalam waktu tertentu

3.14
lajur perum
garis yang menggambarkan alur kegiatan kapal dalam pemeruman.

3.15
lajur utama
lajur perum yang digunakan sebagai alur utama dalam pemeruman

3.16
lajur silang
lajur perum yang berfungsi sebagai alur cek silang dalam validasi data perum

3.17
lowest low water (LLW)
LLW (air rendah terendah) adalah kedudukan permukaan air laut pada saat rendah
terendah

2 dari 21
SNI 7646:2010

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
3.18
lowest astronomical tide (LAT)
kedudukan permukaan laut terendah yang ditentukan oleh pengamatan pasang surut secara
kontinyu selama 1 (satu) tahun untuk dapat memperkirakan secara cukup andal pasut
terendah bagi suatu periode 19 tahun (suatu periode pasut astronomis yang mengacu
adanya pengaruh matahari dan bulan)

3.19
muka surutan (chart datum)
suatu permukaan tetap yang ditentukan dan menjadi bidang referensi bagi semua
pengukuran kedalaman air .

3.20
muka laut rerata (mean sea level)
tinggi rata-rata permukaan laut pada suatu setasiun pasut yang diperoleh dari pengamatan
pasut minimal selama satu bulan.

3.21
pasang surut (pasut)
naik turunnya permukaan laut secara teratur, terutama disebabkan karena gaya tarik bulan
dan matahari terhadap massa air laut

3.22
pemeruman (sounding)
kegiatan untuk menentukan kedalaman permukaan dasar laut atau benda-benda di atasnya
terhadap permukaan laut

3.23
precision dilution of position (PDOP)
suatu kondisi konfigurasi satelit GPS yang memberikan gambaran tingkat ketelitian dalam
penentuan posisi.

3.24
pitch
gerakan kapal ke arah depan (mengangguk) berpusat di titik tengah kapal

3.25
roll
gerakan kapal ke arah sisi-sisinya (lambung kapal) atau pada sumbu memanjang

3.26
real time kinematic-differential global positioning system (RTK-DGPS)
sistem atau metode penentuan posisi secara teliti dengan memberikan koreksi pada saat
pengukuran dari stasiun referensi

3.27
setting draught transducer
pemasangan (setting) transduser pada badan kapal agar alat bekerja optimal.

3.28
settlement
sifat wahana apung dimana posisi badannya lebih tenggelam pada saat sedang berhenti
dibandingkan dengan pada saat berjalan

3 dari 21
SNI 7646:2010

3.29

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
side scan sonar
Alat untuk mendapatkan gambaran permukaan dasar perairan dengan menggunakan
gelombang bunyi

3.30
squat
keadaan buritan dan/atau haluan kapal lebih tenggelam pada saat berjalan
disesuaikan

3.31
benchmark (BM)
pilar yang dibuat sebagai tanda bahwa sebuah titik tetap di darat merupakan titik kontrol

3.32
titik kontrol vertikal
titik kontrol elevasi yang tingginya diketahui terhadap suatu titik referensi (datum) yang
digunakan untuk pengamatan pasut atau sebagai titik referensi untuk pengukuran sipat
datar.

3.33
titik kontrol horisontal
titik kontrol yang koordinatnya dinyatakan dalam sistem koordinat horisontal yang sifatnya
dua dimensi

3.34
tidal time
waktu pada saat muka air mencapai ketinggian tertentu

3.35
tidal height
tinggi muka air laut pada waktu tertentu

3.36
titik perum
titik yang menyatakan posisi perekaman data kedalaman dilakukan

4 Klasifikasi survei

4.1 Orde khusus

Orde khusus survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei enjinering/rekayasa dan
digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis dimana kedalaman dibawah lunas sangat
minim dan dimana karakteristik dasar airnya berpotensi membahayakan kapal. Daerah-
daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang bertanggung jawab
dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh adalah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar
dan alur masuknya. Semua sumber kesalahan harus dibuat minimal.

Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan scan sonar, multi transducer
arrays atau multibeam echosounder dengan resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum
yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%. Harus pula diyakinkan bahwa
setiap benda dengan ukuran lebih besar dari satu meter persegi dapat terlihat oleh peralatan
perum yang digunakan. Penggunaan side scan sonar dan multibeam echosounder mungkin
4 dari 21
SNI 7646:2010

diperlukan di daerah-daerah dimana benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
ditemukan, atau survei untuk keperluan investigasi.

4.2 Orde satu

Orde satu survei hidrografi diperuntukan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur pendekat, haluan
yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas komersial yang padat
dimana kedalaman di bawah lunas cukup memadai dan kondisi fisik dasar lautnya tidak
begitu membahayakan kapal (misalnya lumpur atau pasir). Survei orde satu berlaku terbatas
di daerah dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Meskipun persyaratan pemeriksaan
dasar laut tidak begitu ketat jika dibandingkan dengan orde khusus, namun pemeriksaan
dasar laut secara menyeluruh tetap diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana
karakteristik dasar laut dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal. Pada
daerah-daerah yang diteliti tersebut, harus diyakinkan bahwa untuk kedalaman sampai
dengan 40 meter benda-benda dengan ukuran lebih besar dari dua meter persegi, atau pada
kedalaman lebih dari 40 meter, benda-benda dengan ukuran 10% dari kedalaman harus
dapat digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan.

4.3 Orde dua

Orde dua survei hidrografi diperuntukan di daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter
yang tidak termasuk dalam orde khusus maupun orde satu, dan dimana gambaran batimetri
secara umum sudah mencukupi untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar
laut yang akan membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Ini
merupakan kriteria yang penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam,
dimana orde hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut
mungkin diperlukan pada daerah-daerah tertentu dimana karakteristik dasar air dan resiko
adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal.

4.4 Orde tiga

Orde tiga survei hidrografi diperuntukan untuk semua area yang tidak tercakup oleh orde
khusus, orde satu dan dua pada kedalaman lebih besar dari 200 meter

Contoh klasifikasi daerah survei hidrografi disajikan pada Tabel 1:

Tabel 1 Klasifikasi daerah survei hidrografi

No Kelas Contoh daerah survei


ƒ Pelabuhan tempat sandar dan alur kritis (yang
1 Orde Khusus berhubungan dengannya) dimana kedalaman
air di bawah lunas minimum
ƒ Pelabuhan,
ƒ Alur pendekat pelabuhan,
2 Orde 1 ƒ Lintasan/haluan yang dianjurkan
ƒ Daerah-daerah pantai dengan kedalaman
hingga 100 meter
ƒ Area yang tidak disebut pada orde khusus dan
3 Orde 2 orde satu
ƒ Area dengan kedalaman hingga 200 meter
ƒ Daerah lepas pantai yang tidak disebut dalam
4 Orde 3
orde khusus, orde satu dan orde dua
(IHO Standards for Hydrographic Surveys 4th Edition, Special Publication No. 44, 1998)

5 dari 21
SNI 7646:2010

5 Ketentuan survei

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
5.1 Ketelitian

Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama
survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu pada tingkat kepercayaan 95
% untuk dikaji dan dilaporkan pada akhir survei.

Di bawah ini adalah ringkasan standar ketelitian pengukuran pada survei hidrografi :

Tabel 2. Ketelitian pengukuran parameter survei hidrografi

Kelas
No Deskripsi Orde
Orde 1 Orde 2 Orde 3
Khusus
5 m + 5% 20 m + 5% 150 m +
dari dari 5% dari
1 Akurasi horisontal 2m
kedalaman kedalaman kedalaman
rata-rata rata-rata rata-rata
Alat bantu navigasi tetap dan
kenampakan yang
2 2m 2 m 5m 5m
berhubungan dengan
navigasi
3 Garis pantai 10 m 20 m 20 m 20 m
4 Alat bantu navigasi terapung 10 m 10 m 20 m 20 m
5 Kenampakan topografi 10 m 10 m 20 m 20 m
a = 0,25 m a = 0,5 m a = 1,0 m a = 1,0 m
6 Akurasi Kedalaman
b = 0,0075 b = 0,013 b = 0,023 b = 0,023
th
(IHO Standards for Hydrographic Surveys 4 Edition, Special Publication No. 44, 1998)

CATATAN:
1. a dan b adalah variabel yang digunakan untuk menghitung ketelitian kedalaman.
2. alat pemeruman dikalibrasi sebelum digunakan

Batas toleransi kesalahan antara kedalaman titik fix perum pada lajur utama dan lajur silang
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

±√a2 + ( b x d ) 2
dimana :
a = kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap)
b = faktor kesalahan kedalaman dependen (jumlah kesalahan yang bersifat
tidak tetap)
d = kedalaman terukur
(b x d) = kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman
yang dependen)

6 dari 21
SNI 7646:2010

5.2 Datum horisontal

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Datum horisontal harus menggunakan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95).

5.3 Datum vertikal titik perum (Sounding datum)

Penentuan datum vertikal mengacu pada muka surutan yang ditentukan melalui pengamatan
pasut pada stasiun permanen atau temporal yang dilakukan minimal selama 29 hari. Nilai
datum ditetapkan dari nilai hitungan Lowest Low Water (LLW) pada stasiun-stasiun pasut
tersebut.

5.4 Penentuan posisi

Penentuan posisi dilakukan untuk semua titik perum, alat bantu navigasi serta kenampakan-
kenampakan yang diperlukan atau direkomendasikan dalam survei hidrografi dengan
ketelitian sesuai ordenya. Ketentuan ketelitian pengukuran disajikan pada Tabel 2.

5.5 Kontrol horisontal

Agar sistem koordinat hasil pengukuran atau penentuan posisi terikat dalam sistem koordinat
nasional, maka harus dibuat titik-titik kontrol horisontal dan diikatkan pada sistem kerangka
horisontal nasional. Dalam hal ini dapat diikatkan pada sistem kerangka horisontal nasional.

Lokasi titik kontrol horisontal dinyatakan oleh suatu pilar titik kontrol yang dilengkapi dengan
deskripsinya. Pembuatan titik kontrol di darat harus mengikuti spesifikasi titik kontrol
horisontal yang telah ditetapkan (SNI No. 19-6724-2002)

Spesifikasi Titik Kontrol (BM) utama (menurut standar Pilar GPS orde-1) adalah:
a. Ukuran BM adalah : (30 x 30 x 100) cm
b. Ukuran sayap bawah : (80 x 80 x 10) cm
c. Bagian yang muncul di permukaan tanah 35 cm dan bagian yang ditanam 75 cm.
d. Rangka BM dibuat dari besi begel diameter 9 mm dan ring-rangka dari besi begel
dengan diameter 6 mm.
e. BM dicor di tempat dengan perbandingan adukan semen:pasir:batu adalah 1:2:3.
f. Di bagian atas tengah BM dipasang Brass-tablet yang memuat tanda silang posisi
horisontal dan nomor tugu penjelasan kepemilikan.
g. BM dicat warna biru.

Spesifikasi BM bantu adalah sebagai berikut:


a. BM dibuat dari pralon dicor dengan diameter 10 cm dan panjang 100 cm.
b. Di bagian atas tengah BM dipasang baut bersilang.
c. Masing-masing BM diberi nomor.
d. BM dicor di tempat dengan perbandingan adukan semen:pasir:batu adalah 1:2:3.
e. Bagian yang muncul di permukaan tanah 30 cm dan yang ditanam 70 cm.
f. BM dicat warna biru

Setiap posisi harus direferensikan kedalam sistem Datum Geodesi Nasional 1995
(DGN-1995) sebagai anjuran, bilamana terdapat pengecualian, dimana posisi direferensikan
terhadap datum geodetik lokal, maka geodetik lokal tersebut diikatkan dengan sistem
referensi DGN-1995.

Sangat dianjurkan bahwa bilamana posisi–posisi tersebut ditentukan secara teristris,


maka harus ada pengukuran redundan garis posisi. Suatu teknik kalibrasi standar harus
dilakukan sebelum dan sesudah pengumpulan data. Sistem satelit harus mampu melakukan

7 dari 21
SNI 7646:2010

tracking terhadap paling sedikit lima satelit secara serentak, bagi orde khusus dan orde satu

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
disarankan digunakan suatu monitoring yang terintegrasi.

Titik–titik kontrol utama di darat harus ditetapkan dengan metode survei darat dengan
ketelitian relatif 1 : 100.000 bagian, bila metode penentuan posisi dengan satelit digunakan
untuk menetapkan titik–titik tersebut, kesalahannya harus tidak lebih besar dari 10 cm pada
tingkat kepercayaan 95%.

Stasiun sekunder bagi penentuan posisi secara lokal yang tidak digunakan untuk
memperbanyak jaringan kontrol harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga kesalahannya
tidak lebih besar dari 1 : 10.000 bagian dengan teknik survei darat atau 50 cm bila
menggunakan posisi geodesi satelit.

5.6 Titik perum

Posisi titik fix perum jika diperlukan, terikat pada kerangka kontrol horisontal yang telah
dibuat seperti tersebut pada butir 5.5. di atas. Adapun ketelitian posisi fix perum harus
memenuhi standar ketelitian international seperti tertera pada Tabel 2.

Ketelitian posisi tetap perum pada survei dengan menggunakan singlebeam echosounder
adalah ketelitian posisi tranduser.

Global Positioning System (GPS) merupakan salah satu sistem penentuan posisi yang
banyak digunakan dalam survei hidrografi. Untuk penentuan posisi yang memerlukan
ketelitian tinggi menggunakan metode RTK-DGPS, maka harus dipenuhi kriteria berikut
untuk menjaga kualitas penentuan posisi,

a. Jumlah minimal satelit aktif/terpantau hingga bisa diteruskan dengan pekerjaan


pemeruman adalah lima
b. PDOP tidak melebihi enam untuk perekaman dan sounding, jika lebih hendaknya
survei ditunda hingga dipenuhi syarat tersebut.
c. Sudut minimal untuk elevation mask 10 derajat dari horison. Integritas signal GPS
harus selalu dipantau.
d. Dilakukan kalibrasi terhadap peralatan penentuan posisi yang digunakan serta
dilakukan pengecekan paling sedikit seminggu sekali selama survei.
e. Pengecekan dilakukan dengan kondisi alat tetap pada posisinya.

Posisi perum, bahaya–bahaya dan benda–benda lain dibawah permukaan yang


signifikan harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga ketelitian horisontalnya mengacu
sebagaimana ditetapkan pada Tabel 2.

Ketelitian posisi perum adalah ketelitian letak posisi perum pada dasar laut dalam
sistim referensi geodesi dengan pengecualian bagi survei orde dua dan orde tiga yang
menggunakan Singlebeam Echosounder, ketelitian yang dimaksud adalah ketelitian posisi
dari sistim sensor perum.

5.7 Sarana Navigasi dan Objek-Objek Penting

Posisi alat bantu navigasi tetap, sarana navigasi apung, garis pantai dan fitur topografis
penting (seperti gosong, bagan ikan , dsb.) harus diikatkan dalam kerangka kontrol
horisontal yang telah dibuat (datum DGN-95).

Pengukuran posisi horisontal menggunakan metode pengukuran GPS pada ketelitian seperti
pada Tabel 2.

8 dari 21
SNI 7646:2010

5.8 Pemeruman dengan menggunakan Singlebeam Echosounder

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Sebelum pelaksanaan pemeruman harus dibuat rencana lajur utama dan lajur silang. Berikut
ini adalah kriteria pemeruman untuk singlebeam echosounder.

Menentukan dari kondisi umum topografi dasar laut, koreksi pasang surut dan
pendeteksian, klasifikasi serta penentuan bahaya–bahaya di dasar laut merupakan suatu hal
yang mendasar dalam tugas survei hidrografi. Kedalaman air diatas bahaya tersebut harus
ditentukan, paling tidak, sesuai ketentuan akurasi kedalaman sebagaimana orde satu pada
Tabel 2.

Dalam merencanakan kerapatan pemeruman, kondisi alam dasar laut dan


persyaratan dari pengguna harus diperhitungkan, dengan maksud untuk menjamin
kecukupan penelitian.

Lajur perum utama sedapat mungkin harus tegak lurus garis pantai dengan interval
maksimal satu cm pada sekala survei. Jarak yang memadai antara lajur perum dari berbagai
orde survei sudah diisyaratkan pada SP-44. Berdasarkan prosedur tersebut harus ditentukan
apakah perlu dilakukan suatu penelitian dasar laut ataukah dengan memperapat atau
memperlebar lajur perum.

Lajur silang diperlukan untuk memastikan ketelitian posisi pemeruman dan reduksi
pasut. Jarak antar lajur silang adalah 10 kali lebar lajur utama dan membentuk sudut antara
60O sampai 90O terhadap lajur utama. Lajur silang tambahan bisa ditambahkan pada daerah
yang direkomendasikan atau terdapat keragu-raguan. Jika terdapat perbedaan yang
melebihi toleransi yang ditetapkan (sesuai dengan ordenya) harus dilakukan uji lanjutan
dalam suatu analisis secara sistematik terhadap sumber–sumber kesalahan penyebabnya.
Setiap ketidak cocokan harus ditindak-lanjuti dengan cara analisis atau survei ulang selama
kegiatan survei berlangsung.

5.9 Pengamatan Pasang Surut

Pengamatan pasang surut pada kegiatan survei hidrografi bertujuan untuk menentukan
bidang acuan kedalaman (muka air laut rerata, muka surutan) serta menentukan koreksi
hasil pemeruman. Dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Dilaksanakan dengan menggunakan palem atau tide gauge yang lain.


b. Pengamatan mencakup area survei batimetri dan jumlah stasiun pasang surut
harus mempertimbangkan karakteristik pasang surut asurvei.
c. Untuk keperluan analisa dan peramalan lama pengamatan tidak boleh kurang
dari 29 hari dengan interval pengamatan maksimal 30 menit, jika perubahan
ketinggian air berjalan dengan cepat dan amplitudo airnya besar, interval
pengamatan dapat ditingkatkan. Interval pembacaan juga dapat ditingkatkan tiap
15 menit pada saat menuju pasang tertinggi atau surut terendah.
d. Untuk keperluan reduksi data pemeruman, pengamatan dilakukan selama
pemeruman berlangsung.
e. Satuan pengukuran dalam cm. dengan total kesalahan pengukuran tidak melebihi
lima cm untuk orde khusus dan tidak melebihi 10 cm untuk orde yang lain pada
tingkat kepercayaan 95%.
f. Bidang acuan tinggi muka laut harus diikatkan pada benchmark terdekat dengan
leveling orde dua.
g. Untuk keperluan koreksi kedalaman dibuat co-tidal charts daerah survei.
h. Konstanta pasut dihitung dengan menggunakan metode admiralty atau perataan
kuadrat terkecil (least square adjustment) .

9 dari 21
SNI 7646:2010

5.10 Pengambilan sampel dasar laut

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Hal-hal yang harus dipenuhi dalam pengambilan sampel dasar laut adalah :
a. Pemilihan alat sampling harus bisa memenuhi tujuan pengambilan sampel yaitu
untuk mengetahui jenis material dasar laut di daerah survei. Misalnya dilakukan
dengan grabing yaitu mengambil sample dengan menggunakan grab sampler
atau peralatan yang lain, pengamatan profil dasar laut serta survei gayaberat laut.
b. Pada perairan dengan kedalaman kurang dari 200 m jarak antar titik pengambilan
sample adalah 10 kali interval antar lajur perum utama. Kepadatan bisa
ditingkatkan untuk daerah-daerah yang sering digunakan untuk penjangkaran
dan daerah yang direkomendasikan.

5.11 Pengukuran sifat fisik air laut

a. Pengukuran ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan dan memastikan


ada atau tidaknya perubahan sifat fisik tersebut pada media, dimana gelombang
bunyi dipancarkan sehingga ada kemungkinan terjadi perubahan kecepatan
gelombang bunyi selama penjalarannya serta memberikan informasi tambahan
mengenai parameter-parameter tersebut di daerah survei.
b. Pengukuran sifat fisik air laut meliputi pengukuran konduktivitas, temperatur,
kecerahan dan tekanan.

5.12 Pengamatan arus

a. Pengamatan arus meliputi pengamatan kecepatan dan arah arus di daerah-


daerah seperti gerbang pelabuhan, terusan, daerah-daerah yang sering
digunakan untuk buang sauh (penjangkaran) serta daerah laut dan pantai yang
diperkirakan arusnya dapat membawa pengaruh pada navigasi permukaan.
b. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan currentmeter pada kedalamanan 3
- 10 meter atau sesuai dengan kebutuhan, selama minimal 15 hari dan
mencakup saat pasang purnama, dengan interval waktu minimal 1 jam.
c. Kecepatan dan arah arus diukur dengan satuan ketelitian bacaan 0.1 knot dan
10 derajat
d. Waktu pengamatan arus dilakukan bersamaan pengamatan pasut
e. Pengamatan juga dilakukan pada saat pasang tertinggi dan tersurut dengan
metode probe tracking atau floating draft.

5.13 Penggunaan Side Scan Sonar

Seperti disebutkan dalam Orde khusus survei hidrografi adalah mendekati standar
ketelitian survei enginering/ rekayasa dan digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis
dimana kedalaman dibawah lunas sangat minim dan dimana karakteristik dasar airnya
berpotensi membahayakan kapal. Hal ini memerlukan penggunaan side scan sonar dengan
resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan penelitian
dasar air 100 %. Penggunaan Side scan sonar juga diperlukan didaerah-daerah dimana
benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin ditemukan.

Teknologi side scan sonar sekarang ini telah mencapai tingkat deteksi dan
pendefinisian rintangan bawah air yang tinggi, sampai saat ini penggunaannya terbatas pada
kecepatan rendah (max 5 – 6 knot) agar dapat dioperasikan, digunakan pada survei
pelabuhan dan alur pelayaran untuk meyakinkan pendeteksian rintangan antara dua lajur
perum. Banyak instansi hidrografi di dunia mewajibkan penggunaan scan sonar pada area-
area tersebut dengan overlap 100 % atau lebih.

10 dari 21
SNI 7646:2010

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
5.14 Pemeruman Laut Dalam menggunakan Singlebeam echosounder

“Pemeruman Laut Dalam” berarti kedalaman lebih dari 200 m.

Kriteria Pemeruman Laut Dalam diberikan lampiran SP-44 adalah merupakan suatu
pembaharuan dari apa yang pernah disusun oleh kelompok kerja IHO yang dibentuk pada
tahun 1972.

Tujuan dari kompilasi pemeruman laut dalam adalah untuk memetakan bentuk dasar
laut. Kepentingannya selain untuk ilmiah juga untuk navigasi, sebagaimana dengan tujuan
peta hidrografi yang menekankan pada bahaya-bahaya pelayaran.

Di kedalaman lebih dari 200 meter, echo-sounder harus diatur pada standard
kecepatan suara yaitu 1500 meter/ detik dan pemeruman yang diperoleh perlu dikoreksi
menggunakan tabel koreksi NP 139 (Nautical Publication no. 139), edisi terbaru.

6 Prosedur pelaksanaan survei hidrografi

6.1 Persiapan

Kegiatan persiapan yang dimaksudkan secara umum meliputi: persiapan administrasi dan
persiapan teknis, yang dimulai dari pembentukan team sampai dengan pemberangkatannya
menuju lokasi survei.

6.1.1 Persiapan Administrasi

Tahapan persiapan administrasi meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :


a. Pembentukan tim (penunjukan personel dan surat tugasnya).
b. Pembentukan tim beserta surat tugas
c. Perencanaan biaya survei.
d. Perijinan dari pihak berwenang
e. Koordinasi dengan instansi terkait.
f. Kelengkapan administrasi lainnya yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan
survei.

6.1.2 Persiapan Teknis

Tahap persiapan teknis meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

6.1.2.1 Perencanaan teknis kerja

a. Menyiapkan peta dasar daerah survei untuk pembuatan peta kerja.


b. Menyiapkan data penunjang (antara lain: data pasang surut, data arus, data
koordinat dan deskripsi titik ikat/referensi kontrol horizontal terdekat)
c. Merencanakan distribusi pemasangan BM
d. Merencanakan lajur pemeruman
e. Merencanakan distribusi lokasi pemasangan stasiun pasang surut.
f. Merencanakan distribusi lokasi pengamatan arus dan kondisi meteorologi.
g. Merencanakan lokasi pengambilan sampel dasar laut dan pengukuran sifat fisik
air laut.

11 dari 21
SNI 7646:2010

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
6.1.2.2 Personel

a. Pembagian tugas personel;


b. Pengarahan teknis tentang permasalahan teknis survei, deskripsi kerja dan
deskripsi wilayah survei;
c. Menyiapkan rencana pelaksanaan mobilisasi personel dan peralatan.

6.1.2.3 Peralatan dan bahan

a. Inventarisasi dan pengecekan peralatan survei yang akan digunakan.


b. Penyiapan, pengemasan, dan pengiriman peralatan dan bahan survei

6.2 Survei pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata tentang
kondisi daerah survei, dengan tujuan untuk menyempurnakan perencanaan yang telah
dibuat. Kegiatan yang dilakukan dalam survei pendahuluan ini sebagai berikut :

a. Melakukan sosialisasi tentang rencana pelaksanaan survei ke instansi terkait


b. Survei lokasi basecamp
c. Mencari kapal survei yang memadai dan layak laut untuk kegiatan survei.
d. Orientasi lokasi titik kontrol yang sudah ada dan lokasi tempat untuk pembuatan titik
kontrol yang direncanakan,
e. Orientasi lokasi rencana pembuatan stasiun pasut, stasiun arus, CTD.
f. Mencari informasi tentang ketersediaan sarana transportasi, lokasi-lokasi yang dapat
disinggahi dan mendukung ketersediaan logistik, material bahan bangunan serta
bahan survei.

6.3 Survei utama

Survei utama merupakan rangkaian kegiatan survei untuk keperluan pengambilan data yang
terdiri atas :
a. pengukuran posisi titik kontrol horizontal,
b. pengamatan pasang surut,
c. pemeruman,
d. pengukuran garis pantai
e. pengukuran posisi sarana bantu navigasi pelayaran dan objek-objek penting lainnya.
f. pengukuran garis nol kedalaman
g. pengukuran arus,
h. penentuan sifat fisik air laut (konduktifitas, temperature, kecerahan dan tekanan)
i. pengambilan sampel sedimen dasar laut

6.4 Pengukuran titik kontrol horisontal

Metode pelaksanaan pengukuran kontrol horisontal mengikuti SNI No. 19-6724-2002 tentang
jaring kontrol horisontal.

6.5 Pengamatan pasang surut

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dan sesudah pengamatan pasut
dilaksanakan adalah:
a. Pemilihan lokasi dan jumlah stasiun pasut yang akan dipasang harus
mempertimbangkan cakupan daerah survei yang mempunyai sifat pasut sama.
12 dari 21
SNI 7646:2010

b. Pembuatan BM, pengikatan palem pasut ke BM dengan cara levelling

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
c. Pemasangan peralatan dan kalibrasi
d. Deskripsi stasiun pasut (lihat Lampiran B) dan pencatatan masalah yang terjadi pada
saat pengamatan.
e. Melakukan pencatatan dan analisa awal data pasut setiap hari
f. Kontrol terhadap stasiun-stasiun pengamatan pasut yang digunakan untuk daerah
survei, termasuk di dalamnya memonitor data-data pasut dari setiap stasiun dan
pencatatan kejadian.
g. Melakukan analisa akhir terhadap data pasut setelah berakhirnya survei.

6.6 Pemeruman

Kegiatan pelaksanaan pemeruman sebagai berikut:


a. Menyiapkan sarana dan instalasi peralatan yang akan digunakan dalam pemeruman.
b. Melakukan percobaan pemeruman (sea trial) untuk memastikan peralatan survei siap
digunakan sesuai spesifikasi yang telah ditentukan.
c. Melaksanakan pemeruman setelah semua peralatan dan sarana dinyatakan siap.
d. Melakukan barcheck sebelum dan sesudah pemeruman
e. Membuat lembar kerja sebagai pedoman dalam pelaksanaan pemeruman di
lapangan.
f. Untuk mendapatkan garis nol kedalaman dilakukan pemeruman terpisah pada saat
air pasang.
g. Melakukan investigasi bila ditemukan daerah kritis, yaitu daerah yang dapat
membahayakan pelayaran, seperti adanya karang laut, gosong, dan lain-lain.
h. Mengisi formulir log-book yang berisi informasi antara lain:
ƒ nama lokasi survei
ƒ waktu pemeruman (hari, tanggal, tahun)
ƒ nomor lajur pemeruman
ƒ nama file
ƒ nama operator
ƒ alat pemeruman
ƒ posisi, waktu dan kedalaman saat memulai dan mengakhiri pemeruman suatu lajur
ƒ kejadian selama pemeruman dilaksanakan, misalnya terdapat kendala yang
mungkin mempengaruhi data.

6.7 Penentuan garis pantai

Penentuan garis pantai dilakukan dengan cara sebagai berikut:


a. Mengamati langsung dengan menyusuri garis pantai dengan metoda terestris
disesuaikan dengan spesifikasi yang ditentukan dan kondisi daerah survei
b. Mengamati dan mencatat kenampakan-kenampakan alami/penting saat
melaksanakan pengukuran garis pantai (bentuk pantai, kedangkalan). Hal ini perlu
dilakukan untuk melihat adanya objek atau bahaya yang tidak dapat diamati dalam
proses pemeruman, terutama saat mendekati garis pantai.
c. Menggunakan kapal yang dapat mendekati garis pantai di area atau lokasi survei,
untuk memperoleh deskripsi yang nyata tentang sarana navigasi dan objek-objek
penting.
d. Sebagai data penunjang, penentuan garis pantai bisa dengan memanfaatkan citra
satelit atau foto udara, dimana tetap dilakukan koreksi, baik terhadap citra / foto
maupun kondisi di lokasi secara langsung. Jenis citra satelit tergantung dari
klasifikasi surveinya, dengan mengacu ke standar ketelitian yang ada pada Tabel 2.

6.8 Pengambilan sampel dasar laut

Pengambilan sampel dasar laut dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:


13 dari 21
SNI 7646:2010

a. Mengukur dan mencatat posisi pengambilan sampel dasar laut

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
b. Pengamatan awal dan analisa sementara sampel dasar laut
c. Dokumentasi dan penyimpanan hasil sampel dasar laut

6.9 Pengukuran sifat fisik air laut

Pengukuran sifat fisik air laut mengikuti ketentuan pada butir 5.11 prosedur pengukuran
diantaranya adalah:
a. Menyiapkan dan mengkalibrasi peralatan yang akan digunakan untuk pengukuran
sesuai dengan spesifikasi alat tersebut
b. Mengukur dan mencatat posisi pengamatan sifat fisik air laut
c. Melaksanakan pengukuran sifat fisik air laut

6.10 Pengamatan arus

Ketentuan pengukuran arus telah dijelaskan dalam butir 5.12 Dalam pelaksanaan
pengukuran arus, perlu diperhatikan prosedur berikut ini:
a. Menyiapkan dan mengkalibrasi peralatan yang akan digunakan untuk pengukuran
sesuai dengan spesifikasi alat tersebut
b. Mengukur dan mencatat posisi pengamatan arus
c. Melaksanakan pengamatan arus

6.11 Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) dan objek-objek penting

Ketentuan pengukuran sarana bantu navigasi dan objek-objek penting mengacu pada
spesifikasi pada butir 5.7 Pelaksanaan di lapangan adalah dengan mengukur posisi , jenis
sarana bantu navigasi, karakter, ketinggian, jarak tampak dll. Untuk selanjutnya dituangkan
dalam sebuah deskripsi SBNP. Contoh format untuk keperluan ini bisa dilihat di Lampiran 3.

7 Pengolahan data perum

Untuk mendapatkan data kedalaman yang akurat, maka data kedalaman hasil ukuran harus
dikoreksi terhadap kesalahan dari sumber-sumber kesalahan yang mungkin terjadi.

Sumber-sumber kesalahan tersebut adalah:


a. Kecepatan gelombang suara, sifat fisik air laut yang tidak konstan mengakibatkan
perubahan kecepatan suara dalam air laut.
b. Perbedaan waktu dan tinggi pasang surut
c. Kecepatan kapal, mengakibatkan kesalahan squat dan settlement, sehingga
kecepatan kapal harus tidak boleh melebihi 7 knot.
d. Offset posisi peralatan survei di kapal
e. Posisi kapal, tergantung peralatan yang dipakai (seperti GPS, Theodolit, Total
station, Trisponder dan lain-lain)
f. Sinkronisasi waktu, diperlukan karena jenis peralatan yang banyak dan berbeda
dan harus terintegrasi dalam satu satuan waktu.
Kesalahan-kesalahan tersebut di atas dapat dikoreksi pada saat survei ataupun pada saat
melakukan proses data. Hal ini sejalan dengan perkembangan perangkat lunak yang
memungkinkan melakukan koreksi data perum setelah survei dilaksanakan.
Berikut tabulasi yang menunjukkan hubungan sumber kesalahan dan saat koreksi
kesalahan.

14 dari 21
SNI 7646:2010

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Tabel 3. Sumber Kesalahan Pengolahan Data Perum

Pemberian Koreksi
No Sumber Kesalahan
saat survei sesudah survei
1 Kecepatan gelombang suara √ √
2 Perbedaan waktu dan tinggi pasang surut - √
3 Kecepatan kapal √ -
4 Offset posisi peralatan survei di kapal √ √
5 Posisi kapal √ -
6 Sinkronisasi waktu. √ -

8 Penyimpanan dan penyajian data

8.1 Penyimpanan data

Data hasil survei direkam atau disimpan dalam bentuk analog maupun digital untuk
kebutuhan dokumentasi dan pelaporan. Setiap bentuk penyimpanan data harus disertai
dengan deskripsi.

8.1.1 Data analog

Meliputi seluruh data hasil survei seperti data pemeruman (echogram), data pasut, data arus,
data sampel dasar laut, dll.

8.1.2 Data digital

Meliputi seluruh data hasil survei seperti data pemeruman (echogram), data pasut, data arus,
data sampel dasar laut, dll, dalam format digital.

8.1.3 Data mentah (raw data)

Data ini merupakan:


a. Seluruh data hasil survei yang diperoleh, dengan memakai format sesuai peralatan
yang dipakai.
b. Untuk data pemeruman, dilengkapi metadata, terdiri atas informasi minimal:
ƒ Survei secara umum seperti tanggal, area, peralatan yang digunakan, platform
survei.
ƒ Sistim referensi geodetik yang digunakan seperti datum vertikal/horisontal,
termasuk ikatannya ke WGS84 jika datum vertikal digunakan
ƒ Prosedur kalibrasi dan hasilnya.
ƒ Cepat rambat suara
ƒ Data sifat fisik air laut
ƒ Datum pasang surut dan nilai surutannya
ƒ Ketelitian yang dihasilkan dan tingkat kepercayaannya (Confidence level)

8.1.4 Data hasil proses

Data ini merupakan data hasil pemeruman:


a. data mentah yang sudah dikoreksi
b. untuk data perum disimpan dalam format t,x,y,z (dalam format ASCII)
dimana:
t = waktu dalam UTC dengan format dd-mm-yyyy hh:mm:ss

15 dari 21
SNI 7646:2010

x = bujur dengan format ±DDDMMSS.SS

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
y = lintang dengan format ± DDDMMSS.SS
z = kedalaman dalam meter dengan format mmmm.m

8.2 Penyajian data

Data survei disajikan dalam bentuk lembar lukis teliti analog dan digital dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Memuat angka kedalaman, kontur kedalaman, garis pantai berikut sungai, karang,
tanda atau sarana bantu navigasi, bahaya pelayaran, jenis dasar laut, serta objek-
objek penting yang perlu ditampilkan.
b. Kerapatan angka kedalaman adalah satu cm pada skala peta. dimana koordinat
penggambaran menggunakan proyeksi UTM pada datum DGN-95, atau sesuai
dengan kebutuhan.
c. Untuk Lembar lukis teliti analog, kertas yang digunakan adalah drafting film dengan
ketebalan 0,03 mm.
d. Kontur kedalaman laut dicantumkan sesuai dengan kebutuhan. Kontur kedalaman
setidaknya mencantumkan kontur kedalaman sebagai berikut 0, 2, 5, 10, 20. dalam
meter.
e. Lembar lukis mencantumkan legenda yang di dalamnya berisi indeks peta, data
referensi, pemilik pekerjaan, pelaksana pekerjaan, proyeksi, spheroid, skala, unit
kedalaman dalam meter, kedudukan relatif chart datum terhadap MSL, posisi BM,
nomor lembar peta, judul atau lokasi, dan waktu pelaksanaan.

8.2.1 Penyajian lembar lukis teliti analog

Data analog disajikan dengan mengikuti ketentuan pada butir 8.2.

8.2.2 Penyajian lembar lukis teliti digital

Data digital disajikan dengan mengikuti ketentuan butir 8.3. dalam format vektor.

8.3 Laporan survei

8.3.1 Laporan Pemeruman

Laporan pelaksanaan pemeruman merupakan deskripsi pelaksanaan pemeruman. Laporan


ini digunakan untuk memonitor kualitas dan kuantitas data hasil pemeruman. Log-book
merupakan bagian dari laporan pemeruman yang harus dicantumkan.

8.3.2 Laporan Pengukuran Lain

Laporan pelaksanaan pengukuran lain meliputi pengukuran titik kontrol, pengamatan pasang
surut, pengukuran garis pantai dan pengamatan tambahan yang dilakukan. Laporan ini
harus memberikan deskripsi yang jelas, lengkap dan rinci tentang bagaimana tiap-tiap
proses pengukuran dan pengamatan dilaksanakan, hasil yang dicapai, kendala yang
ditemui.

Laporan ini berguna sebagai penunjang dalam kontrol kualitas dan pengolahan data survei.

16 dari 21
SNI 7646:2010

Lampiran A

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(Informatif)
Contoh formulir log-book pemeruman

FORM LOG-BOOK PEMERUMAN

Lokasi Pengamatan : ......................... Nama Operator : ..............................


Hari, Tanggal Pengamatan : ..........................

No. Posisi Kedalaman Waktu Deskripsi


Lajur awal akhir Awal akhir Awal Akhir Kejadian

17 dari 21
SNI 7646:2010

Lampiran B

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(informatif)
Contoh formulir deskripsi stasiun pasang surut

DISKRIPSI STASIUN PASUT

Lokasi Biak
Nomor Stasiun 015
Zona waktu WIT
Posisi 01 11' 00'' S 136 5' 00'' BT

Instalasi
Tanggal Pemasangan 15-Apr-91
Tipe Punch Fischer and Porter
Unit
Ketinggian palem 300 meter

Operator
OPERATOR 1 Demianus Morin
2
Institusi LANAL BIAK
Alamat Biak

Tinggi air

BM

HW

Muka laut rerata

Zo

LW

Chart Datum

Nol Palem

18 dari 21
SNI 7646:2010

Lampiran C

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(normatif)
Contoh format data pasut

Baris pertama
kolom
1–3 kode sta
16-42 posisi
44-54 time zone
58-66 referensi
68-76 bulan
77 unit
81 jumlah hari dalam bulan pengamatan

baris kedua sampai akhir bulan


1–3 kode sta
13-16 tahun
18-21 bulan, tanggal
23-81 data pasut dengan spasi satu kolom antar data dimulai dari jam 00.00-11.00

015Biak LAT=02 50 S LONG=136 00 E TMZONE=135E REF=00000 60 JAN 91 M 31


015Biak 1991 1 11 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 12 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 21 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 22 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 31 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 32 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 41 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 42 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 51 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 52 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999
015Biak 1991 1 61 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999 9999

19 dari 21
SNI 7646:2010

Lampiran D

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(informatif)
Contoh format tabulasi data penentuan sarana bantu navigasi pelayaran

Jarak
Jenis Tinggi
No DSI Lokasi Posisi karakter tampak
SBNP (meter)
(NM)
06o 05’ 40.0 S
1 1675 T priok mensu 45 8
105o 53’ 77.0 E

dst

20 dari 21
SNI 7646:2010

Bibliografi

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Australian Navy Hydrographic Service, ????, Hydrographic Transfer Format version 20.2
Technical Specification Royal Australian Navy Hydrographic Service.

BAKOSURTANAL, 1995, SK Kepala BAKOSURTANAL tentang Datum Geodesi Nasional


1995 (DGN 95).

BAKOSURTANAL, 2007, Spesifikasi Titik Kontrol Horisontal BAKOSURTANAL

Canadian Hydrographic Service Fisheries and Oceans, 1998, Standard for Hydrographic
Survey 2nd edition, Canada.

DISHIDROS TNI-AL, 1995 edisi kelima, Simbol-Simbol dan Singkatan-Singkatan Peta Laut,
Republik Indonesia.

Ingham, A.E. 1975, Hydrographic Survey in Sea Surveying, John Wiley and Sons Ltd.,
London.

International Oceanographic Commission, 1994, Manual on Sea Level, Measurement and


Interpretation.

Land Information New Zealand (LINZ), 2001, Hydrographic Survey Digital Data Formats, TH
Standard 33, National Topographic / Hydrgraphic Authority.

LINZ, 2001, Standard for Hydrographic Surveys (HYSPEC) v3, TH Standard 31.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National Ocean Service, 1997,
Nautical Charts User’s Manual, Washington DC.

U.S. Department of Commerce, 2003, National Ocean Services (NOS) Hydrographic Surveis
Specifications and Deliverables.

21 dari 21
E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 1, No. 2, Hal. 60-71, Desember 2009

POLA TRANFORMASI GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN


MODEL RCPWave PADA PANTAI BAU-BAU,
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

THE PATTERN OF WAVE TRANSFORMATION USING RCPWave MODEL


AT BAU-BAU COAST, SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE

Baharuddin1, John I Pariwono2, dan I Wayan Nurjaya2


1)
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
2)
Staf Pengajar Pascasarjana IPB Jurusan Ilmu Kelautan
Email corresponding author: i.wayan.nurjaya@ipb.ac.id

ABSTRACT
When wind-wave generated on deep water propagates into shallow water they will be
transformed into several processes such as refraction, shoaling, reflection, diffraction,
and finally collapsing. This research has objective to analyze the pattern of wave
transformation which propagate into Bau-Bau coastal waters by using RCPWave Model
as a numerical model solution to predict wave condition within the surf zone. The
model showed that the wave transformation at Bau-Bau Coastal waters was influenced
by coastal morphology and characteristic that was more open to the west (to the open
sea) than to the east coast (bordered by Buton Strait). Wave transformation occurred
from both sides, either from west or east side. When wave were broken at the western
coast the wave high from west and east were 1.9 m and 0.5 respectively. At the eastern
coast were 1.0 m and 0.7 m. The highest wave high occurred at head land or peninsula.

Keywords: wave transformation, RCPWave, Bau-Bau Coast, refraction, shoaling,


reflection, diffraction and collapsing

ABSTRAK
Gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang merambat dari perairan dalam menuju
perairan dangkal (pantai) mengalami transformasi (perubahan) dari sifat dan parameter
gelombang seperti proses refraksi, shoaling, refleksi, difraksi sampai terjadi pecah.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pola transformasi gelombang yang
merambat ke pantai Bau-Bau dengan menggunakan model RCPWave sebagai solusi
numerik yang dapat memperkirakan kondisi gelombang dalam surf zone. Berdasarkan
model RCPWave, pola transformasi gelombang (perubahan karakteristik dan sifat-sifat
gelombang) oleh proses refraksi, shoaling dan difraksi sampai terjadinya gelombang
pecah disebabkan bentuk dan karakteristik pantai Bau-Bau yakni terdiri dari pantai yang
menghadap arah barat (pantai barat) yang lebih terbuka (laut bebas) dan pantai yang
menghadap arah utara (pantai timur) yang semi terbuka (Teluk dan Selat Buton).
Transformasi gelombang dari arah barat dan timur laut dapat terbentuk pada kedua arah
pantai, dimana tinggi gelombang pecah pada pantai barat mencapai 1,9 m dan 0,5 m,
sedangkan pada pantai timur mencapai 1,0 m dan 0,7 m. Tinggi gelombang pecah yang
besar terjadi pada pantai/garis kontur yang menjorok keluar (daerah tanjung dan
submarine ridge).

Kata kunci: transformasi gelombang, RCPwave, Pantai Bau-bau, refraksi, shoaling,


difraksi, refleksi.

60 ©Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB


Baharuddin et al.

I. PENDAHULUAN yaitu respon terhadap kondisi gelombang


normal dan respon terhadap kondisi
Gelombang yang paling umum gelombang badai.
dikaji dalam bidang teknik pantai adalah Pantai Bau-Bau merupakan bagian
gelombang yang dibangkitkan oleh angin dari perairan Selat Buton yang secara fisik
dan pasang surut. Gelombang angin akan dipengaruhi oleh dinamika oseanografi
mentransfer energi melalui partikel air (pasang surut, gelombang dan arus) dan
sesuai dengan arah hembusan angin. aliran sungai yang berubah pada setiap
Mekanisme transfer energi ini terdiri dari musim. Pada umumnya gelombang yang
dua bentuk yakni pertama: akibat variasi merambat di perairan Bau-Bau dari arah
tekanan angin pada permukaan air yang barat dan barat daya lebih besar
diikuti oleh pergerakan gelombang dan dibandingkan dengan gelombang dari arah
kedua transfer momentum dan energi dari timur dan timur laut. Hal ini disebabkan
gelombang frekuensi tinggi ke gelombang karena gelombang dari arah barat dan
frekuensi rendah (periode tinggi dan barat daya berasal dari perairan yang lebih
panjang gelombang besar). Gelombang terbuka (laut bebas), sedangkan dari arah
frekuensi tinggi dapat ditimbulkan oleh timur dan timur laut berasal dari perairan
angin yang berhembus secara kontinyu. yang semi terbuka (Teluk dan Selat
Tiga faktor yang menentukan Buton).
karakteristik gelombang yang Makalah ini mengakaji pola
dibangkitkan oleh angin (Davis, 1991) transformasi gelombang akibat pengaruh
yaitu : (1) lama angin bertiup atau durasi bentuk dan karakteristik pantai Bau-Bau.
angin, (2) kecepatan angin dan (3) fetch Pola transformasi gelombang diselesaikan
(jarak yang ditempuh oleh angin dari arah dengan menggunakan model RCPWave
pembangkitan gelombang atau daerah (Regional Coastal Processes Wave).
pembangkitan gelombang). Semakin lama Model ini berbasis pada persamaan mild
angin bertiup, semakin besar jumlah slope, yang diselesaikan secara numerik
energi yang dapat dihasilkan dalam dengan menggambarkan transformasi
pembangkitan gelombang. Demikian lengkap dari gelombang amplitudo kecil
halnya dengan fetch, gelombang yang yang meliputi fenomena refraksi dan
bergerak keluar dari daerah pembangkitan difraksi.
gelombang hanya memperoleh sedikit
tambahan energi. II. METODE PENELITIAN
Gelombang yang merambat dari
perairan dalam menuju ke perairan Penelitian ini dilaksanakan pada
dangkal (pantai) akan mengalami Bulan Maret – Juni 2005 di perairan
perubahan perilaku gelombang Pantai Bau-Bau. Titik lokasi dan data
(transformasi) dari sifat dan parameter yang diamati adalah pasang surut (15
gelombang seperti proses refraksi, piantan), pemeruman kedalaman, dan
shoaling, refleksi maupun difraksi akibat gelombang laut dalam sebagaimana
pengaruh karakteristik dan bentuk pantai. disajikan pada Gambar 1. Sedangkan data
Menurut Triatmodjo (1999) pantai selalu sekunder yang digunakan adalah Peta
menyesuaikan bentuk profilnya sehingga Rupa Bumi, Citra Ikonos, Peta Batimetri
mampu mereduksi energi gelombang yang dan data arah dan kecepatan angin
datang. Penyesuaian bentuk tersebut maksimum bulanan yang diperoleh dari
merupakan respon dinamis alami pantai Stasiun Metorologi (SM) Betoambari,
terhadap laut. Ada dua tipe respon Bau-Bau selama Tahun 1991 – 2005.
dinamis pantai terhadap gerak gelombang,

http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 61
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara

453000 122°35' 122°36' 456000 122°37' 459000

5°26'
5°26'
P. M U N A
122° 123° P. MAKASSAR

9399000
9399000

Tg. Labuea


P. SULAWESI
5m
10 m
5m
P. M U N A
20 m
10 m


20 m
N
P. B U T O N O
T
P. K ABAENA U
B
T
A
LA UT FLOR ES L
E
122° 123° S

5°27'
5°27'

c
Î
Î (X
c Z
$
Î
Î
Su 20 m 10 m
ng
Î ai
B
5m
au
-B
au N

BAU-BAU

9396000 5°28'
5°28' 9396000

300 0 300 Meter

Legenda
10 m Î Pelabuhan
c Stasiun Gelombang
z
x Stasiun Pasut
20 m 5m Z
$ Posisi Banch Mark
P. B U T O N Jalur Pemeruman
Î Garis Pantai
Kontur Kedalaman Interval 5m
Sungai
Jalan Lain
Jalan Kota
Batas Studi

453000 122°35' 122°36' 456000 122°37' 459000

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Analisis parameter gelombang laut Tinggi gelombang signifikan:


dilakukan dengan menggunakan metode U2
SMB (Sverdrup Munk Bretschneider) H s 1, 6 x10 3 F*0,5 A dan
g
(CERC, 1984). Metode ini dikenalkan
oleh Sverdrup dan Munk (1947) dan U A2
H s 0.243 ; untuk F* > 2 x 104 (fully
dilanjutkan oleh Bretschneider (1958), g
yang dibangun berdasarkan pertumbuhan developed waves)
energi gelombang. Kecepatan angin yang Periode puncak signifikan gelombang:
digunakan adalah kecepatan angin U U
maksimum yang dapat membangkitkan Ts 0, 2857 F 1/ 3 A dan Ts 8.13 A ;
g g
gelombang, yakni kecepatan 10 knot 4
untuk F* > 2 x 10 m (fully developed
dari arah barat, barat daya, timur dan waves)
timur laut, sedangkan arah lain tidak Durasi pertumbuhan gelombang:
dihitung karena berasal dari darat. Data
U U
angin yang diperoleh dari SM t 68,8 F 2 / 3 A dan t 7,15 x10 4 A ;
Betoambari (jarak lokasi SM sekitar 3 g g
4
km dari lokasi studi) tersebut terlebih untuk F* > 2 x 10 m (fully developed
dahulu dikoreksi/ditransformasi menjadi waves)
data angin yang dapat membangkitkan gFeff
gelombang. Analisis yang digunakan Dalam hal ini, F = fetch tak
U A2
adalah mengikuti petunjuk dari CHL
berdimensi; UA = faktor tegangan angin;
(2002).
t = durasi pertumbuhan gelombang
Parameter gelombang perairan
(detik); Feff = panjang fetch efektif (m);
dalam dari metode SMB adalah:
g = percepatan gravitasi (m/det2).

62 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.

Analisis pola transformasi gelombang dari barat dan barat daya


gelombang diselesaikana dengan dalam program besar sudutnya masing-
menggunakan RCPWave sebagai solusi masing 45o dan 0o (arah garis pantai barat
numerik dalam penyelesaian proses sebagai patokan sumbu y), sedangkan
transformasi gelombang yakni untuk untuk arah timur laut dan timur masing-
proses refraksi dan difraksi (Bruce et al., masing –45o dan 0o (arah garis pantai
1986). Model ini berisi suatu algoritma timur sebagai patokan sumbu y). Jumlah
yang dapat memperkirakan kondisi grid yang digunakan sebanyak [65,65],
gelombang dalam surf zone, sehingga karena semakin banyak grid yang dibuat
model gelombang pecah dapat dibuat pada maka semakin besar tingkat ketelitiannya.
dua dimensi horizontal.
Aplikasi program ini dengan III. HASIL DAN PEMBAHASAN
memasukkan model input data berupa
tinggi, periode, dan arah gelombang laut 3.1. Karakteristik Gelombang
dalam (Ho, To, dan θo). Model input juga
memasukkan spesifikasi kontur Analisis karakteristik gelombang
kedalaman dasar pada grid (matriks). (tinggi, periode, durasi, kecepatan, dan
Variabel sudut gelombang lokal, sudut panjang gelombang) setiap bulan selama
gelombang air dalam dan sudut kontur tahun 1991 – 2005 berdasarkan metode
kedalaman dalam model ini didefinisikan SMB, maksimum terjadi pada musim
pada Gambar 2. barat (Desember – Februari), bulan
Berdasarkan bentuk pantai Bau-Bau pertama musim peralihan I (Maret) dan
yakni pantai yang menghadap arah barat bulan terakhir musim peralihan II
(pantai barat yakni dari pantai bagian kiri (Nopember), sedangkan pada musim
jeti) dan arah utara (pantai timur yakni timur (Juni – Agustus) dan sebagian
dari pantai bagian kanan jeti), sehingga musim peralihan I dan II (April – Mei dan
input data kedalaman pada program September – Oktober) karakteristik
disesuaikan dengan hal tersebut. Arah gelombangnya lebih kecil.

y - AXIS

Darat
x - AXIS

d1
d2

Kontur Batimetri d3

d4
Laut
Positif θC
Negatif θC

θo θo
Negatif Positif d1< d2< d3< d4
θ θ

Gambar 2. Definisi sudut dalam model. (Keterangan: θo = sudut gelombang laut dalam;
θ = sudut gelombang lokal; θc = sudut kontur daerah off-shore; di = kontur kedalaman
ke-i, i = 1,2,3,... dst).

http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 63
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara

Tabel 1 Hasil prediksi karakteristik gelombang selama tahun 1991 – 2005.

UA Feff Hs Ts t Co Lo Jum
o F*
(m/det) (m) (m) (det) (jam) (m/det) (m) (%)
1.383– 17,9 –
Barat 7,2–12,6 22.328 0,6–1,0 3,4–4,1 3,0–3,7 5,3–6,4 31,2
4.283 26,0
8,6– 1.515– 19,6 –
Barat Daya 11,8
21.409
2.850
0,6–0,9 3,6–3,9 3,0–3,4 5,5–6,2
24,2
15,2
Timur 3,7–11,3 4.965 379–3.609 0,1–0,4 1,6–3,0 1,2–1,7 2,6–3,7 4,2 – 8,9 46,4
Timur Laut 4,2–9,3 5.859 620–3.188 0,2–0,4 1,8–3,0 1,3–1,8 2,8–3,7 5,2 – 8,7 7,2

Hasil prediksi selama tahun 1991 – disebabakan karena panjang fetch


2005 dari arah angin yang membatasi waktu yang diperlukan
membangkitkan gelombang disajikan gelombang untuk terbentuk akibat energi
pada Tabel 1, dimana dari arah timur yang ditransfer angin juga terpengaruh,
laut dan timur parameter gelombang yang sehingga fetch berpengaruh terhadap
terbentuk lebih kecil dibandingkan tinggi, periode dan durasi pertumbuhan
dengan arah barat daya dan barat. Hal ini gelombang, selain faktor tegangan angin
disebabkan karena adanya perbedaan (CERC, 1984). Nilai fetch tak berdimensi
faktor yang mempengaruhi dan (F*) dari keempat arah angin belum
membangkitkan gelombang seperti mencapai kondisi fully developed seas
kecepatan angin, durasi, arah angin, dan (F* < 2x104), yakni kondisi dimana tinggi
fetch (CHL 2002). Angin yang dan periode gelombang mencapai nilai
berhembus di atas permukaan laut maksimum (Ningsih, 2000).
menimbulkan tegangan pada permukaan Hasil pengukuran gelombang di
laut, dimana semakin lama angin bertiup, lapangan dan prediksi dari metode SMB
semakin besar pula energi yang dapat berdasarkan konversi data angin pada
membangkitkan gelombang (Davis, jam yang sama selama 3 kali pengamatan
1991). yakni tanggal 29 – 31 Maret 2005,
Perbedaan faktor tegangan angin sebagaimana disajikan pada Tabel 2
(UA) dan panjang fetch (Feff) menunjukkan hasil ketelitian yang cukup
mempengaruhi tinggi dan periode baik. Perbedaan terjadi pada arah datang
gelombang signifikan (Hs dan Ts). gelombang yakni antara 5 – 10o, hal ini
Meskipun faktor tegangan angin yang terjadi karena pengukuran angin berada
diperoleh dari koreksi kecepatan angin 51 m di atas permukaan laut, sehingga
darat menjadi angin laut dari keempat arah angin yang berhembus di atas
arah angin perbedaanya kecil (lihat Tabel permukaan laut dapat berbeda dengan
1), akan tetapi perbedaan panjang fetch- arah gelombang yang dibangkitkannya.
nya sangat berpengaruh dimana arah Menurut CHL (2002), karena adanya
barat daya dan barat yang berhadapan gesekan dengan permukaan laut dan
dengan laut bebas lebih besar bila perbedaan temperatur antara air dan
dibandingkan dengan arah timur laut dan udara, sehingga kecepatan dan arah angin
timur yakni pada daerah Selat Buton dan berubah sesuai dengan perbedaan elevasi
teluk, sehingga tinggi dan periode antara keduanya (angin/udara dan
gelombang signifikan untuk arah barat permukaan laut). Perbedaan elevasi
daya dan barat lebih besar dibandingkan tersebut terdiri tiga daerah distribusi
dengan arah timur laut dan timur. Hal angin, yakni daerah geostropik yang
yang sama juga terjadi pada durasi berada di atas 1000 m dengan kecepatan
pertumbuhan gelombang (t). Hal ini angin adalah konstan, daerah Ekman

64 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.

yang berada pada elevasi 100 – 1000 m disajikan pada Gambar 7 – Gambar 10.
dan daerah dimana tegangan konstan Berdasarkan dari gambar tersebut
yang berada pada elevasi 10 – 100 m. terlihat adanya pola transformasi
gelombang seperti refraksi, shoaling dan
3.2. Pola Transformasi Gelombang difraksi. Pola refraksi terjadi karena
Berdasarkan Model RCPWave adanya perubahan kedalaman, pada laut
dalam gelombang tidak mengalami
Gelombang yang merambat dari perubahan (lihat bentuk panah pada
laut dalam (deep water) menuju pantai Gambar 3 – 6 , yakni merupakan garis
mengalami perubahan bentuk yang ortogonal gelombang), akan tetapi di laut
disebabkan oleh proses transformasi transisi dan dangkal, kontur kedalaman
seperti refraksi dan shoaling karena sangat mempengaruhi karakteristik
pengaruh perubahan kedalaman laut, gelombang.
difraksi, dan refleksi. Berkurangnya Pola transformasi dari setiap arah
kedalaman laut menyebabkan semakin gelombang berbeda, dimana untuk arah
berkurangnya panjang dan kecepatan datang gelombang dari pantai barat yakni
gelombang serta bertambahnya tinggi arah barat hampir tegak lurus kontur
gelombang. Pada saat kelancipan kedalaman pada pantai barat dan sejajar
gelombang (steepnes) mencapai batas pada pantai timur dan dari arah barat
maksimum, gelombang akan pecah daya sejajar pantai barat. Sedangkan arah
dengan membentuk sudut tertentu datang gelombang dari pantai timur yakni
terhadap garis pantai. dari arah timur sejajar kontur kedalaman
Berdasarkan bentuk pantai dan arah pada pantai barat dan arah timur laut
angin yang dapat membangkitkan tegak lurus pada pantai timur dan sejajar
gelombang pada lokasi penelitian, maka pantai barat.
pola transformasi disesuaikan dengan Akibat perbedaan tersebut
kondisi tersebut, yakni dari arah barat, menyebabkan gelombang tidak semua
barat daya, timur dan timur laut. Pola akan sampai di pantai, tergantung besar
transformasi ini dihasilkan dari model dan arah datang gelombang. Dimana
program RCPWave, kemudian untuk arah gelombang dari barat dan
divisualisasikan melalui gambar (peta), timur laut dapat terbentuk pada semua
sebagaimana disajikan berturut-turut pantai, sedangkan dari arah timur hanya
untuk setiap arah pada Gambar 3 – terbentuk pada pantai timur dan sebagian
Gambar 6, Dalam gambar tersebut juga kecil pada pantai barat, demikian halnya
disajikan bentuk kontur puncak juga dari arah barat daya hanya terbentuk
gelombangnya. Sedangkan untuk gambar pada pantai barat.
3 Dimensi kontur gelombangnya

Tabel 2. Perbandingan hasil antara prediksi dan pengukuran karakteristik gelombang di


pantai Bau-Bau.

Cgo
o UA Hs (m) Ts (m) T Co (m/s) Lo (m)
Tangg Feff (m/det)
(m/d F* (Ja
al Pre La (m) La Pre L Pre La Pre La Pre La
et) Pred m)
d p p d ap d p d p d p
29/3/0 27 26 223 0,3 3, 15, 16, 2,
5,66 6841 0,43 3,1 4,0 4,9 5,0 2,4
5 0 2 28 6 2 3 0 5
30/3/0 29 28 223 1190 0,3 3, 12, 14, 2,
4,29 0,33 2,9 4,4 4,5 4,7 2,2
5 0 0 28 3 0 0 7 0 3
31/3/0 585 0,2 2, 1,
30 35 6,67 1290 0,26 2,1 1,5 3,3 3,5 7,0 7,9 1,7
5 9 2 4 8

http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 65
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara

453600 454500 455400 456300 457200 458100

9397800
9397800

N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S

9396900
9396900

Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N

BAU-BAU 200 0 200 Meter

Legenda
Î

9396000
9396000

Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 1 meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,4 1,0 - 1,2
Î 0,4 - 0,6 1,2 - 1,4
0,6 - 0,8 > 1,4

9395100
9395100

0,8 -1,0

453600 454500 455400 456300 457200 458100

Gambar 3. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah barat.
453600 454500 455400 456300 457200 458100

9397800
9397800

N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S

9396900
9396900

Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N

BAU-BAU 200 0 200 Meter

Legenda
Î
9396000
9396000

Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 1 meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,2 0,8 - 1,0
Î 0,2 - 0,4 1,0 - 1,2
0,4 - 0,6 > 1,2
9395100
9395100

0,6 - 0,8

453600 454500 455400 456300 457200 458100

Gambar 4. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah barat daya.

66 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.

453600 454500 455400 456300 457200 458100

9397800
9397800

N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S

9396900
9396900

Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N

BAU-BAU 200 0 200 Meter

Legenda
Î

9396000
9396000

Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 0,4 meter
Tinggi Gelombang (m)
0 0,3 - 0,4
Î 0 - 0,1 0,4 - 0,5
0,1 - 0,2 > 0,5

9395100
9395100

0,2- 0,3

453600 454500 455400 456300 457200 458100

Gambar 5. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah timur.
453600 454500 455400 456300 457200 458100

9397800
9397800

N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S

9396900
9396900

Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N

BAU-BAU 200 0 200 Meter

Legenda
Î
9396000
9396000

Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 0,4 meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,2 0,5 - 0,6
Î 0,2 - 0,3 > 0,6
0,3 - 0,4
9395100
9395100

0,4 - 0,5

453600 454500 455400 456300 457200 458100

Gambar 6. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah timur laut.
Tinggi Gelombang 0,4 meter

Pantai barat dengan bentuk kontur menunjukkan arah perambatan gelombang


kedalaman gabungan antara submarine yang membelok dan berusaha untuk tegak
ridge (kontur yang menjorok ke luar) dan lurus dengan garis kontur, sedangkan garis
submarine canyon (kontur yang menjorok puncak gelombang berusaha sejajar dengan
ke dalam) terlihat adanya perubahan garis garis kontur saat menuju perairan yang
ortogonal gelombang dari arah barat dan lebih dangkal (proses refraksi). Hal ini
barat daya yakni garis yang tegak lurus disebabkan karena adanya perubahan
dengan garis puncak gelombang dan kecepatan rambat gelombang, dimana

http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 67
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara

perubahan cepat rambat gelombang terjadi lebar 38 m, sehingga arah gelombang


di sepanjang garis puncak gelombang yang dari barat dan timur laut yang datang
bergerak dengan membentuk sudut tegak lurus, langsung menghantam
terhadap kontur, karena bagian dari bangunan jeti, akan tetapi tinggi
gelombang di laut dalam bergerak lebih gelombang di belakangnya berkurang
cepat dari pada bagian laut yang lebih sebagaimana disajikan pada Gambar 7
dangkal. Perubahan tersebut menyebabkan dan Gambar 10.
puncak gelombang membelok dan Jeti berfungsi sebagai
berusaha untuk sejajar dengan garis kontur pemecah/peredam gelombang, dapat
kedalaman (CERC, 1984). Perubahan mempengaruhi arah dan tinggi
tersebut juga berpengaruh terhadap gelombang, dimana arah gelombang
tinggi gelombang, dengan menganggap akan membelok di sekitar ujung jeti dan
periode konstan, tinggi gelombang mula- masuk di daerah terlindung di
mula menurun di perairan transisi dan belakangnya, selain itu pada bagian
dangkal namun di perairan yang sangat gelombang yang mengenai jeti,
dangkal tinggi gelombang membesar energinya sebagain terdisipasi dan
sampai terjadi pecah (Latief, 1994), hal ini sebagian lagi akan direfleksikan.
terlihat jelas pada Gambar 7–10. Proses ini Fenomena ini dikenal dengan difraksi
dikenal sebagai shoaling yakni proses gelombang, yakni suatu proses dimana
pembesaran tinggi gelombang karena energi gelombang menyebar secara
pendangkalan kedalaman (Subandono dan lateral sepanjang puncak gelombang
Budiman, 2005). (Komar, 1998; Ningsih, 2000).
Perubahan arah gelombang Selanjutnya dijelaskan oleh
menghasilkan konvergensi (penguncupan) Triatmodjo (1999) transfer energi ke
pada garis kontur/pantai yang menjorok ke daerah terlindung menyebabkan
laut, tanjung maupun bangunan pantai (jeti terbentuknya gelombang di daerah
dan pelabuhan) yang terjadi karena tersebut, meskipun tidak sebesar
perbedaan sudut yang besar antara kontur gelombang di luar jeti. Pola puncak
kedalaman dan sudut datang gelombang gelombang yang terdifraksi di belakang
dan divergensi (penyebaran) pada garis jeti membelok dan mempunyai bentuk
kontur/pantai yang menjorok ke dalam. busur dengan tinggi gelombang yang
Daerah yang mengalami konvergensi berkurang secara eksponensial pada
umumnya menyebabkan tinggi gelombang jarak yang semakin jauh dari jeti.
pecah yang lebih besar (lihat tandah Berdasarkan hasil model
panah/vektor gelombang dalam gambar RCPWave tinggi gelombang pada
lebih besar) jika dibandingkan dengan setiap arah berbeda, dimana untuk arah
daerah divergensi (vektor gelombangnya barat tinggi gelombang pecahnya bisa
terlihat lebih kecil). Proses konvergensi mencapai 1,9 m (data input gelombang
dan divergensi akan berpengaruh pula maksimum dengan H=1,0 m dan t=4,1
pada besaranya distribusi energi det), arah barat daya mencapai 1,8 m
gelombang dan pola arus yang terjadi di (data input gelombang maksimum
sepanjang pantai (Komar, 1998). dengan H=0,9 m dan t=3,9 det), arah
Khusus konvergensi pada jeti timur mencapai 0,7 m (data input
tinggi gelombang pecah dari arah barat gelombang maksimum dengan H=0,4 m
dan timur laut sangat besar dibanding dan t=3,0 det), dan arah timur laut
daerah lain. Faktor ini disebabkan letak mencapai 0,8 m (data input gelombang
bangunan jeti sangat menjorok keluar maksimum dengan H=0,4 m dan t=3,0
dengan panjang kurang lebih 250 m dan det)

68 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.

Pantai yang menghadap arah utara (bagian kanan profil 4) dapat meredam
(pantai timur), garis puncak gelombang gelombang datang, sehingga tinggi
dari arah barat daya semakin sejajar gelombang berkurang pada jarak yang
dengan garis kontur kedalaman dan semakin jauh dari jeti. Sedangkan dari
tinggi gelombangnya juga semakin arah barat, gelombangnya masih
kecil akibat pola refraksi besar dan terbentuk karena pola perubahan
cepat rambat gelombang menurun, refraksinya lebih kecil dibandingkan
sehingga gelombang tidak dapat dari arah barat daya, sebagai akibat
mencapai pantai. Selain itu adanya jeti perbedaan arah dan kontur kedalaman.

Gambar 7. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang maksimum dari arah barat.

Gambar 8. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang maksimum arah barat daya.

http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 69
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara

Gambar 9. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang dari arah timur.

Gambar 10. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang dari arah timur laut.

IV. KESIMPULAN timur untuk tinggi gelombangnya hanya


berkisar (0,2 – 0,4 m dan 0,1 m – 0,4 m)
Tinggi dan periode gelombang di dan periodenya berkisar (1,8 – 3,0 detik
perairan dalam yang dibangkitkan oleh dan1,6 – 3,0 detik). Berdasarkan hasil
angin pada perairan Bau-Bau model RCPWave, pola transformasi
menunjukkan dari arah barat daya dan gelombang (perubahan karakteristik dan
barat lebih besar yakni untuk tinggi sifat-sifat gelombang) oleh proses
gelombang berkisar (0,6 – 0,9 m dan 0,6 refraksi, shoaling dan difraksi sampai
– 1,0 m) dan periodenya berkisar (3,4 – terjadinya gelombang pecah disebabkan
3,9 detik dan 3,4 – 4,1 detik) bentuk dan karakteristik pantai Bau-Bau
dibandingkan dari arah timur laut dan yakni terdiri dari pantai yang menghadap

70 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.

arah barat (pantai barat) yang lebih Latief, H. 1994. Gelombang Laut.
terbuka (laut bebas) dan pantai yang Bandung: Institut Teknologi
menghadap arah utara (pantai timur) Bandung.
yang semi terbuka (Teluk dan Selat Ningsih, N. S. 2000. Gelombang Laut.
Buton). Transformasi gelombang dari Bandung: Institut Teknologi
arah barat dan timur laut dapat terbentuk Bandung.
pada kedua arah pantai, dimana tinggi Subandono, D. dan Budiman. 2005.
gelombang pecah pada pantai barat bisa Tsunami. Bogor: Penerbit Buku
mencapai 1,9 m dan 0,5 m, sedangkan Ilmiah Populer.
pada pantai timur mencapai 1,0 m dan Sverdrup, H.V. and W.H. Munk, 1946.
0,7 m. Akan tetapi dari arah barat daya Empirical and theoritical relations
hanya terjadi pada pantai barat dengan between wind, sea and swell,
tinggi gelombang pecah 1,8 m, demikian Trans. Amer. Geophys. Union,
halnya juga dari arah timur hanya terjadi 27:823-827
pada pantai timur dengan tinggi Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai.
gelombang pecah 0,7 m, sedangkan pada Yogyakarta: Beta Offset.
pantai barat sangat kecil (< 0,3 m).

DAFTAR PUSTAKA

Bruce, A. E, A. C. Mary, and D. P. Mark.


1986. Coastal Proesses Numerical
Modeling System Report 1.
RCPWave-A Linear Wave
Propagation Model For
Engineeringg Use. Washington:
U.S. Army Coastal Engineering
Research Center.
[CERC] Coastal Engineering Research
Center. 1984. Shore Protection
Manual Volume I, Fourth Edition.
Washington: U.S. Army Coastal
Engineering Research Center.
[CHL] Coastal Hydraulic Laboratory.
2002. Coastal Engineering
Manual, Part I-VI. Washington
DC: Department of the Army. U.S.
Army Corp of Engineers.
Davis, R. A. Jr. 1991. Oceanography; An
Introduction to the Marine
Environment, New Jersey: WCB
Publisher International Published.
Komar, P. D. 1998. Beach Processes
and Sedimentation, Second Edition.
New Jersey: Prentice-Hall Inc,
Englewood Cliffs.

http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 71
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 341 - 349
Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose

STUDI POLA TRANSFORMASI GELOMBANG DI PERAIRAN KOTA TEGAL

Ahmad Nur Huda, Agus Anugroho Dwi Suryoputro, Petrus Subardjo

Program Studi Oseanografi, Jurusan Ilmu Kelautan,


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Sudarto, SH, Tembalang,Semarang – 50276. Telp/Fax (024) 7474698

Abstrak

Gelombang merupakan salah satu aspek oseanografi yang penting dalam merencanakan suatu
bangunan pantai, penentuan tata letak (layout) pelabuhan, alur pelayaran, dan pengelolaan
lingkungan laut. Gelombang menuju pantai akan mengalami transformasiyangberperanterhadap
perubahantinggidanarahgelombangsertadistribusienergigelombang. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui transformasi gelombang berupa efek pendangkalan, refraksi,
dandifraksi di Perairan Kota Tegal. Penelitian ini dilaksanakan pada tangga l6 – 9Oktober 2013
di Kota Tegal. Data yang digunakan adalah data tinggi, periode gelombang, angin dan data
batimetri.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Peramalan gelombang
tiap musim diperoleh dari data angin dengan menggunakan metode SMB, sedangkan model
transformasi gelombang menggunakan software CMS-Wave.Gelombang di Perairan Kota Tegal
memiliki tipe gelombang laut transisi dengan tinggi gelombang signifikan 0,19meter dan periode
gelombang signifikan1,71detik. Gelombang menjalar dari laut dalam menuju daratan mengalami
transformasi. Refraksi terjadi pada seluruh skenario musim karena pengaruh perubahan
kedalaman laut, gelombang dari laut dalam mengalami pembelokan ketika memasuki perairan
dangkal dan berubah tegak lurus dengan kontur dasar laut. Difraksi terjadi ketika gelombang
bertemu rintangan berupa jetty dan dibelokkan disekitar ujung rintangan. Efek pendangkalan
terlihat pada skenario musim timur ketika arah datang gelombang berasal dari timur laut.
Gelombang bertambah tinggi kemudian menurun lagi ketika kedalaman bertambah.

Kata kunci: TransformasiGelombang, CMS-Wave, Perairan Kota Tegal.

Abstract

Sea wave is one of theimportantaspects ofoceanographyinplanning of a beach building,


determinating of port layout, shipping line, and the managing of marine environment. Thewave
which it moves to the beach will be transforminginto several processes that contribute tothe
change in wave height and direction as well asthe distribution ofwave energy. The aim of this
research is to determine theeffects of wave transformation, refraction, anddiffractionin the Tegal
coastal area. This research was conducted on 6th October – 9th October 2013 in Tegal. The
primary data was wave height and direction data and the secondary data were wind and
bathimetry data. This research used descriptive method. The wave forecasting data was calculated
by SMB method whereas the model of wave transformation stimulated by CMS-Wave module. The
wave in Tegal coastal area typically is transitional water with height of significant wave reached
0.19 m with period 1.71 s. Wave propagates from the sea to the mainland through a
transformation. Refraction occurs in the whole scenario of the season because the effect of
changes in the depth of the sea, the waves in the deflection experienced when entering the shallow
waters and turned perpendicular to the contour of the seabed. Diffractionoccurs when waves meet
obstacles, jetty form, and deflected around the end of obstacles. Shoaling effect seen in east
monsoon scenario when the wave direction comes from the northeast. Wave height increases and
then decreases again as the depth increases.

Keywords: Wave transformation, CMS-Wave, Tegal Coastal Area


JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 342

Pendahuluan
Gelombang merupakan salah satu aspek oseanografi yang penting dalam merencanakan
suatu bangunan pantai, penentuan tata letak (layout) pelabuhan, alur pelayaran, dan pengelolaan
lingkungan laut. Menurut Triatmodjo (2008) gelombang dapat menimbulkan energi untuk
membentuk pantai, menimbulkan arus, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada
bangunan pantai. Gelombang yang bergerak mendekati pantai, semakin dangkal suatu perairan
maka gelombang akan semakin bergesekan dengan dasar laut, hal ini menyebabkan pecahnya
gelombang. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa pengadukan yang kemudian membawa
material dari dasar pantai. Pengaruh aspek fisika perairan khususnya gelombang terhadap
wilayah pesisir merupakan konsekuensi alami. Aktifitas gelombang terhadap wilayah pesisir
menyebabkan reaksi terhadap wilayah pesisir tersebut. Reaksi tersebut berupa terjadinya erosi
pantai dan kerusakan bangunan pantai (Pratikto, 1997).
Perubahan bentuk dan arah penjalaran gelombang yang menjalar dari perairan laut dalam
menuju pantai disebut transformasi gelombang. Proses transformasi gelombang berupa proses
refraksi, refleksi, difraksi, shoaling, dan gelombang pecah. Proses – proses tersebut mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi
gelombang di sepanjang pantai (Triatmodjo, 1999). Pemahaman mengenai transformasi
gelombang sangat penting dalam memahami proses dinamis pantai. Sudut datang, durasi dan
energi gelombang sangat mempengaruhi laju transport sedimen dalam arah tegak lurus maupun
sepanjang pantai. Sehingga informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk memperkirakan
besar dan arah abrasi dan sedimentasi yang terjadi di suatu pantai.
Kota Tegal secara geografik terletak pada yang terletak 109o08’ sampai 109o10’ Bujur
Timur dan 6o50’ sampaidengan 6o53’ Lintang Selatan. Kota Tegal merupakan kota pesisir yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Perkembangan pembangunan Kota Tegal terutama di
wilayah pesisirnya sangat pesat. Kota ini memiliki pelabuhan niaga dan pelabuhan perikanan.
Sektor pariwisata berupa pantai juga memiliki perkembangan yang pesat dengan meningkatnya
pengunjung di setiap tahunnya. Perkembangan yang cukup pesat ini menjadikan Kota Tegal
memerlukan perhatian lebih dalam pengelolaan dan perlindungan wilayah pantai. Pembangunan
tersebut menyebabkan perubahan kondisi parameter fisika di perairan Kota Tegal. Gelombang
merupakan salah satu parameter fisika perairan yang penting untuk dikaji karena karakteristik
gelombang khususnya proses dinamika transformasi gelombang pada dapatdijadikan acuan
dalam menggambarkan kondisi pantai yang erat kaitannya dengan keseimbangan pantai.

Materi dan Metode


Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa data gelombang pengukuran
lapangan yang terdiri dari tinggi (H) dan periode (T) gelombang, data angin selama 5 tahun
(2009-2013) diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Tegal,
peta kedalaman laut (batimetri) skala 1:10.000 tahun 2004 dari Dinas Hidro Oseanografi TNI
AL dan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Kota Tegal skala 1:25.000 tahun 2001 dari
Badan Informasi Geospasial (BIG).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut Suryabrata (1992) merupakan
metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian yang diteliti pada
waktu terbatas dan pada lokasi tertentu untuk mendapatkan gambaran tentang situasi dan
kondisi secara local. Penentuan lokasi stasiun pengukuran dengan metode purposive sampling
method yaitu penentuan titik lokasi pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan -
pertimbangan tertentu dari peneliti (Sudjana, 1992). Titik penelitian tersebut ditentukan dengan
pertimbangan bebas gangguan aktivitas manusia maupun pengaruh dari bangunan pantai
sehingga gelombang yang terbentuk akibat angin tidak terhalangi kondisinya. Pengukuran
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 343

gelombang dilakukan pada satu titik, yaitu terletak pada koordinat -1090 8’ 10,287”BTdan 60 50’
37,521” LS dengan kedalaman 2 meter.
Pengukuran parameter gelombang dilakukan dengan teknik langsung (visual observation)
menggunakan palem gelombang yaitu berupa papan berskala. Pengukuran dilakukan dengan
cara mengamati batas elevasi puncak dan batas elevasi yang melewati skala pada palem
gelombang. Jarak antara batas puncak dan batas bawah dicatat menggunakan stopwatch sebagai
fungsi waktu antar puncak gelombang pertama yang melewati palem gelombang sampai puncak
berikutnya, dan arah gelombang didapatkan menggunakan kompas tembak. (World
Meteorological Organization, 1998).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Analisis parameter gelombang laut dilakukan dengan konversi data angin menjadi data
gelombang menggunakan metode Sverdrup Munk Bretschneider(SMB)(CERC,1984).
Kecepatan angin yang digunakan adalah kecepatan angin maksimum yang dapat
membangkitkan gelombang, yakni kecepatan ≥10 knot. Data angin ini terlebih dahulu
dikoreksi/ditransformasi menjadi data angin yang dapat membangkitkan gelombang. Analisis
yang digunakan mengikuti petunjuk dari Coastal and Hydraulic Laboratory (CHL) tahun
2002.
Analisis penjalaran dan transformasi gelombang diselesaikan dengan menggunakan
pendekatan model CMS-Wave 2D pada softwareSurface-water Modelling System (SMS) versi
10.0. Inputan data pada model ini merupakan hasil peramalan gelombang dari konversi data
angin, berupa data tinggi gelombang signifikan, periode puncak, dan arah gelombang dari laut
dalam (Hs, Tp, dan θo). Setelah didapatkan data hasil dari peramalan dan model kemudian
dilakukan verifikasi.
Verifikasi dilakukan menjadi dua tahap yaitu verifikasi peramalan dan verifikasi hasil
model. Triatmodjo (2002) menjelaskan bahwa kesalahan antara nilai perkiraan dan nilai eksak
dapat dinyatakan dalam bentuk kesalahan relatif menggunakan persamaan:

| |
100 %
| |
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1,, Tahun 2014, Halama
Halaman 344

Hasil dan Pembahasan


a. Gelombang Pengukuran Lapangan
Data tinggi dan periode pengukuran gelombang
gelombang lapangan disajikan dalam Tabel
T 1.

Tabel 1. Data Tinggi dan Periode Gelombang Representatif Pengukuran Lapangan


Keterangan Maksimum Signifikan Minimum
Tinggi Gelombang 0.33 0.19 0.01
Periode Gelombang 2.95 1.71 0.3125

Gambar 2.
2 Tinggi dan Periode Gelombang Representatif

Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang pada lokasi pengukuran adalah gelombang


yang dibangkitkan oleh angin, karena
karen memiliki periode signifikan 1.71
71 detik. Menurut Munk
(1951) dalam Sugianto (2010) gelombang yang dibangkitkan oleh angin memiliki periode
signifikan 1 – 10 detik. Perairan
erairan Kota Tegal termasuk tipe gelombang laut transisi perairan
menengah karena nilai kedalaman relatif (d/L)
(d/L) sebesar 0.462959. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Triatmodjo (1999) bahwa gelombang perairan menengah memiliki
memiliki kedalaman relatif
antara 0,05<d/L
d/L <0,5, sehingga gelombang
gelomban yang terjadi di Perairan Kota Tegal karakteristiknya
dipengaruhi oleh angin.

b. Konversi Data Angin


Data angin
ngin selama 5 tahun (2009 – 2013) yang diperoleh dari BMKG Kota Tegal
digunakan untuk peramalan gelombang dan diklasifikasikan
an berdasarkan Musim. Diagram arah
dan kecepatan angin tiap musim ditunjukkan
ditunjukka pada gambar 3 :

a) b) c) d)
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 345

Gambar 3. Mawar angin pada a) Musim Barat, b) Musim Peralihan I, c) Musim Timur, dan d)
Peralihan II.
Hasil konversi data angin menjadi data gelombang tiap musim dijabarkan dalam tabel
berikut :

Tabel 2. Tinggi dan Periode Gelombang Representatif Tiap Musim


Hmax Hs Hmin Tmax Ts Tmin
Musim
(meter) (meter) (meter) (detik) (detik) (detik)
Barat 1.34 0.58 0.34 3.73 2.66 2.16
Peralihan I 0.98 0.48 0.34 3.29 2.47 2.16
Timur 0.87 0.40 0.11 3.29 2.31 0.97
Peralihan II 0.9 0.42 0.10 3.13 2.36 0.97

Hasil pengukuran lapangan pada tanggal 6 – 9 Oktober 2013 digunakan untuk


memverifikasi data peramalan pada waktu yang sama dengan saat pengukuran. Hasil Verifikasi
data lapangan dengan data peramalan gelombang dijabarkan dalam tabel 3.

Tabel 3. Verifikasi Gelombang Pengukuran Lapangan dengan Peramalan


Hs Ts
Gelombang
(meter) (detik)
Pengukuran Lapangan 0.19 1.71
Peramalan Gelombang 0.23 1.93
MRE (Mean Relatif Error) 21.05% 12.86%

Verifikasi hasil model dilakukan dengan data lapangan yang diukur pada tanggal 6 – 9
Oktober 2013. Model dijalankan dengan masukan nilai tinggi gelombang signifikan (Hs) dan
periode gelombang signifikan (Ts) hasil peramalan gelombang tanggal 6 – 9 Oktober 2013.
Nilai tinggi gelombang hasil model yang diambil untuk verifikasi merupakan nilai tinggi
gelombang di titik yang sama dengan titik pengambilan data lapangan. Nilai Hs lapangan adalah
0.19 meter sedangkan nilai Hs model adalah 0.2237 meter. Nilai relatif error yang didapatkan
adalah 17.74 %.

c. Pemodelan Gelombang
Model gelombang dijalankan dengan skenario tiap musim dengan input tinggi, periode
dan arah gelombang dari masing – masing musim. Gambaran pola transformasi gelombang
ditunjukkan dalam vektor sebagai arah gelombang dan perbedaan warna sebagai perubahan
tinggi gelombang.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 346

Gambar 4. Peta Transformasi Gelombang Musim Barat

Gambar 5. Peta Transformasi Gelombang Musim Peralihan I

Gambar 6. Peta Transformasi Gelombang Musim Timur


JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 347

Gambar 7. Peta Transformasi Gelombang Musim Peralihan II

Berdasarkan pemodelan gelombang didapatkan bahwa pada musim Barat (Gambar 4),
arah dominan gelombang berasal dari arah Barat Laut, musim Peralihan I dan Peralihan II
(Gambar 5 dan 7) arah dominandatangnya gelombang berasal dari arah Utara,sedangkan pada
musim Timur (Gambar 6) arah dominan gelombang berasal dari arah Timur Laut. Keseluruhan
musim menunjukkan bahwa gelombang menjalar dari perairan dalam menuju dangkal.
Berdasarkan hasil pemodelan dapat diketahui bahwa di lokasi penelitian pada setiap
musimnya, gelombang mengalami proses transformasi gelombang yaitu Refraksi, Difraksi, dan
efek pendangkalan (shoaling).
Refraksigelombang terjadi pada seluruh musim, hanya sudut datang sinar gelombang saja
yang berbeda. Fenomena refraksi ini dapat dilihat pada lokasi R, dimana vektor gelombang
berbelok arah dan berusaha tegak lurus dengan garis pantai ketika menuju pantai. Dalam
hal ini garis vektor tersebut menunjukkan sinar gelombang (ray). Hal ini didukung oleh
penyataan dari Ningsih (2002) yang menjelaskan bahwa pada saat terjadi refraksi
gelombang, sinar gelombang arahnya tegak lurus muka gelombang. Karena muka gelombang
cenderung sejajar dengan kontur kedalaman maka sinar gelombang cenderung tegak lurus
terhadap kontur kedalaman. Proses Refraksi disebabkan adanya pengaruh kedalaman, dimana di
daerah pantai relatif lebih dangkal dibandingkan dengan di perairan dalam.
Refraksi Konvergensi dan Refraksi Divergensi ditemukan pada musim Peralihan I dan
Peralihan II. Proses Refraksi Konvergensi (penguncupan) ditemukan pada daerah tanjung,
yang ditunjukkan olehlokasi Rk. Terjadi pemusatan energi pada daerah Refraksi Konvergensi
tersebut yang dapat mengakibatkan kerusakan pada saat terjadi gelombang besar akibat adanya
pemusatan energi gelombang.Refraksi Divergensi (penyebaran) ditemukan pada musim
Peralihan I dan II. Daerah yang terletak diantara dua jetty mengalami sedimentasi di sekitarnya
dan membentuk daerah seperti teluk. Maka terjadi refraksi divergensi yang ditandai oleh lokasi
Rd.
Proses difraksi juga terjadi pada seluruh musim. Difraksi yang terjadi di musim ini
ditunjukkan oleh lokasi D pada peta. Menurut Triatmodjo (1999), difraksi terjadi apabila
gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau, maka
gelombang tersebut akan membelok disekitar ujung rintangan dan masuk ke daerah yang
terlindung di belakangnya. Gelombang yang datang iniakan menabrak suatu bangunan berupa
jettyyang melindungi Pelabuhan. Difraksi terjadi dalam arah tegak lurus penjalaran menuju
daerah yang terlindung yang menyebabkan perbedaan energi yang tajam di sepanjang puncak
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 348

gelombang. Hal ini dapat dilihat pada gambar dimana bagian belakang dari sisi jetty yang
berwarna merah menandakan tinggi gelombang yang kecil, akan tetapi dapat dilihat dari arah
vektor yang berusaha mengisi kekosongan di belakangnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Triatmodjo (1999), difraksi terjadi apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan
seperti pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar
ujung rintangan dan masuk ke daerah yang terlindung di belakangnya.
Efek dari shoaling dapat terlihat di lokasi S pada musim Timur. Shoaling adalah proses
berkurangnya tinggi akibat perubahan kedalaman. Kecepatan tinggi gelombang juga berkurang
seiring dengan pengurangan kedalaman dasar laut, sehingga menyebabkan puncak gelombang
yang ada di perairan dangkal bergerak lebih lambat dibandingkan puncak gelombang yang
berada di perairan yang lebih dalam.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil peramalan arah dan kecepatan angin selama 5 tahun (2009 – 2013),
maka pada musim Barat gelombang menjalar dari arah Barat Laut menuju Tenggara dengan
tinggi gelombang antara 0.34-1.34 meter, musim Timur tinggi gelombang antara 0.11-0.87
meter dan arah penjalarannya berasal dari Timur Laut, sedangkan musim Peralihan I dan
Peralihan II gelombang menjalar dari arah Utara menuju Selatan dengan tinggi gelombang
masing-masing adalah 0.34-0.98 meter dan 0.1-0.9 meter.
Proses refraksi gelombang terlihat pada seluruh skenario musim, dimana gelombang
menjalar dari laut dalam menuju pantai dan arah gelombang semakin tegak lurus dengan pantai.
Refraksi konvergensi terjadi pada morfologi pantai yang berbentuk tanjung yaitu pada ujung
jetty. Refraksi divergensi terjadi pada daerah diantara dua jetty yang membentuk teluk. Refraksi
konvergensi dan refraksi divergensi lebih terlihat pada musim Peralihan I dan Peralihan II saat
gelombang datang dari arah utara.
Difraksi terjadi pada seluruh musim, gelombang yang menemui rintangan berupa
bangunan pantai dibelokkan di sekitar ujung rintangan tersebut. Perbedaan proses difraksi pada
setiap musim hanya pada sudut datang gelombang yang menabrak bangunan pantai
tersebut.Efek Pendangkalan atau shoaling terlihat pada skenario musim timur. Gelombang
datang dari arah timur laut. Terlihat gelombang bertambah tinggi kemudian menurun ketika
kontur kedalaman bertambah.

Daftar Pustaka
Coastal and Hydraulic Laboratory (CHL). 2008. Coastal Engineering Manual. U.S. Army
Corps of Engineers, Washington.
Coastal Engineering Research Center (CERC). 1984. Shore Protection Manual Volume I. US
Army Corps of Engineer Washington D.C., Chapter 3: 1-53.
Ningsih, N.S. 2002. Diktat KuliahGelombang Laut. ITB, Bandung.
Pratikto, W.A., Haryo Dwi Armono, Suntoyo. 1997. Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut.
BPFE, Yogyakarta.
Sudjana, M.M. 1992. Metode Statistika. Tarsito, Bandung.
Sugianto,D.N.2010.Model Distribusi Data
KecepatanAngindanPemanfaatannyadalamPeramalanGelombang di PerairanLautPacitan,
JawaTimur”.JurnalIlmuKelautan 15 (3) : 143-152.
Triatmodjo, B. 1999.TeknikPantai. Beta Offset, Yogyakarta.
____________2009. Metode Numerik. Beta Offset, Yogyakarta.
World Meteorological Organization (WMO). 1998. Guide to Wave Analysis AndForecasting.
World Meteorological Organization, Jenewa.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 349
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

G1 01

ANALISIS TRANSFORMASI DAN SPEKTRUM GELOMBANG DI


PERAIRAN BALONGAN, INDRAMAYU, JAWA BARAT

Denny Nugroho Sugianto, Aris Ismanto, Astuti Ferawati *)

Program Studi Oseanografi, Jurusan Ilmu Kelautan,


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedharto, SH, Tembalang Semarang. 50275 Telp/Fax (024) 7474698
email : dennysugianto@yahoo.com; aris.ismanto@gmail.com; astutiferawati3@gmail.com

ABSTRAK
Perairan Balongan merupakan salah satu daerah di Indramayu yang strategis. Pemanfaatan wilayah
Balongan membutuhkan informasi akurat mengenai karakteristik, penjalaran gelombang, dan
spektrum gelombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisitik gelombang, pola
transformasi gelombang, dan spektrum gelombang berarah di Perairan Balongan, Indramayu, Jawa
Barat. Berdasarkan Hasil Pemodelan diketahui bahwa energi gelombang terbesar terjadi pada Musim
Barat yaitu sebesar 0,36 m2/Hz dengan arah distribusi energi dari Timur Laut. Pada Musim Timur
penjalaran energi gelombang berasal dari Timur dengan energi maksimum 0,25 m2/Hz. Gelombang
pada Musim Peralihan I dan II memiliki arah penjalaran energi gelombang dari Timur. Berdasarkan
hasil pemodelan gelombang diketahui bahwa untuk setiap musimnya di Perairan Balongan ketika
gelombang menjalar dari perairan dalam ke perairan dangkal mengalami transformasi gelombang.
Pada Musim Barat nilai koefisien refraksi yaitu 0,40-0,58 dan koefisien shoaling 0,91-1,1 sedangkan
koefisien difraksi pada kolam pelabuhan yaitu 0,74-0,64 dan pada jetty yaitu 0,32-0,54. Pada Musim
Peralihan I nilai koefisien refraksi yaitu 0,99-1,00 dan koefisien shoaling 0,92-1,1 sedangkan koefisien
difraksi pada kolam pelabuhan yaitu 0,64-0,80 dan pada jetty yaitu 0,63-1.1. Nilai koefisien refraksi
pada Musim Timur yaitu 0,99-1,1 dan koefisien shoaling 0,95-1,32 sedangkan koefisien difraksi pada
kolam pelabuhan yaitu 0,64-0,72 dan pada jetty yaitu 0,63-1.1. Pada Musim Peralihan II nilai
koefisien refraksi yaitu 0,98-1,00 dan koefisien shoaling 0,91-1,1 sedangkan koefisien difraksi pada
kolam pelabuhan yaitu 0,79-0,87 dan pada jetty yaitu 0,63-1,10.

Kata kunci: Spektrum dan Transformasi Gelombang, ST Wave, Perairan Balongan

PENDAHULUAN

Pesisir Indramayu merupakan salah satu daerah pantai utara Jawa Barat yang strategis
dan berkembang sebagai daerah penyangga kawasan industri (Hanafi, 2010). Kawasan pantai
yang berbatasan dengan Laut Jawa ini memiliki kegiatan ekonomi yang cukup tinggi dengan
panorama yang indah dan menarik. Balongan merupakan salah satu perairan yang terletak di
Kabupaten Indramayu yang terkena dampak abrasi terparah. Salah satu faktor penyebab
terjadinya abrasi di Indramayu ialah gelombang (Suara Karya, 1990 dalam Hadikusumah,
2009).
Menurut Haryo (1997), pengaruh dari gaya gelombang secara eksak perlu diketahui
untuk menentukan detail struktur bangunan pantai sebagai pelindung pantai dari dampak
erosi. Analisis karakteristik gelombang dan transformasi gelombang juga diperlukan sebagai
salah satu faktor penyebab terjadinya erosi pantai. Analisis spektrum gelombang yang

702
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

meliputi tinggi signifikan, periode signifikan, dan penjalaran gelombang merupakan salah
satu cara untuk mengetahui kondisi gelombang di suatu perairan.
Hadi et al. (2005) menyatakan bahwa dalam pemanfaatan pesisir laut maka informasi
akurat mengenai karakteristik gelombang dan spektrum gelombang sangat dibutuhkan.
Informasi tersebut dapat diperoleh dengan pengukuran langsung ke lapangan tetapi karena
keterbatasan biaya yang cukup besar jika dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang
dan memerlukan penguasaan teknologi instrumen gelombang yang tidak mudah. Cara lain
untuk memperoleh informasi tersebut yang umumnya digunakan ialah melalui simulasi model
numerik. Melihat permasalahan tersebut maka penelitian tentang analisis spektrum dan
transformasi gelombang di Perairan Balongan sangat diperlukan. Oleh karena itu diperlukan
penelitian ini yang bertujuan mengetahui karakterisitik gelombang, pola transformasi
gelombang, dan spektrum gelombang berarah di Perairan Balongan, Indramayu, Jawa Barat.

MATERI DAN METODE PENELITIAN


A. Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer yaitu antara lain data tinggi
dan periode gelombang Perairan Balongan. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi data angin selama 10 tahun (2005 - 2014) data download ECMWF,
data arus, data batimetri, gelombang selama 10 tahun (2005 - 2014) data download ECMWF,
Peta Rupa Bumi Indonesia (Skala 1:25.000, Tahun 1999, BAKOSURTANAL), Peta
Batimetri Tanjung Priok hingga Cirebon (Skala 1:200.000, tahun 2013, DISHIDROS TNI-
AL).

B. Metode Penelitian, Pengolahan dan Analisis Data

Metode Penentuan Lokasi Sampling


Penentuan lokasi pengambilan data gelombang menggunakan metode purposive sampling
yaitu menentukan lokasi pengukuran menentukan lokasi sampel berdasarkan beberapa
pertimbangan (Hadi, 1997). Pertimbangan yang digunakan seperti gelombang bebas halangan
dan lokasi tersebut dapat mewakili kondisi gelombang di Perairan Balongan, Indramayu.

Pengumpulan Data Angin


Data arah dan kecepatan angin diperoleh dari data pengukuran ECMWF yang di akses melalui
www.ecmwf.int. Data angin tersebut merupakan data angin per 3 jam mulai pukul 00.00,
03.00, 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00 dan 21.00 selama 10 tahun (2005-2014). Data angin
703
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

ini diperlukan untuk mengetahui arah dominan angin dan sebagai data inputan pemodelan.

Pengumpulan Data Gelombang ECMWF


Data gelombang yang digunakan berasal dari European Center for Medium range
Weather Forecasting (ECMWF) berupa data gelombang per enam jam mulai pukul 00.00,
06.00, 12.00, dan 18.00. Data gelombang ini diperlukan dalam menentukan arah dominan
gelombang dan nilai Hs dan Ts digunakan sebagai inputan pemodelan ST Wave.

Pengukuran Data Gelombang Lapangan


Pengamatan gelombang dilakukan dengan menggunakan palem gelombang dan
stopwatch. Pada palem bagian bawah dibuat suatu pemberat agar tidak berpindah tempat
akibat pergerakan gelombang. Pengukuran dilakukan selama 3 jam berdasarkan pada jam-jam
munculnya atau pembangkitan gelombang laut dalam periode selama 24 jam yaitu dari jam
11.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB setiap harinya selama 3 hari. Nilai pengukuran yang
diperoleh adalah berupa data gelombang (H) dan periode (T). Periode gelombang diukur
dengan menggunakan stopwatch. Ketinggian gelombang diukur dari selisih antara nilai
puncak gelombang dengan lembah gelombang.

Pengambilan Data Arus


Pengambilan data arus di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode Lagrange.
Menurut Lanuru dan Suwarni (2011) metode Lagrangian umumnya dilakukan dengan
melakukan pengamatan gerakan permukaan massa air laut dalam rentang waktu tertentu yang
melibatkan pelampung. Alat yang digunakan ialah current drouge (bola duga), stopwatch dan
kompas. Arus diukur selama 3 x 24 jam dengan interval pengambilan data selama 30 menit.
Pengukuran arah arus dilakukan dengan menggunakan kompas yang diarahkan pada arah
pelampung bergerak.

Pengolahan Data Angin


Data angin dari ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting)
berupa file NetCDF (.nc) yang merekam data angin di seluruh wilayah Indonesia diolah
dengan menggunakan software ODV 4 sehingga memperoleh hasil pada 1 titik koordinat
dalam bentuk Text (.txt). Data tersebut kemudian ditampilkan di Ms. Excel dan
dikelompokkan berdasarkan musim. Hasil data yang telah dikelompokkan permusim dari
tahun 2005-2014 kemudian diolah menggunakan Wrplot View untuk memperoleh kondisi
dominan angin yang disajikan dalam bentuk windrose.
704
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Pengolahan Data Arus


Data arus lapangan yang diperoleh yaitu jarak yang ditempuh bola duga (m) serta
waktu atau periode yang dibutuhkan bola duga mencapai jarak tersebut (s). Data jarak dan
periode diolah sehingga mendapatkan data kecepatan arus permukaan. Hasil data arus
lapangan meliputi kecepatan dan arah.
Menurut Sudarto et al.,(2013) kecepatan arus dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan dibawah ini:
= s/t
dengan V = kecepatan arus (m/det), s = jarak perpindahan bola duga (m) dan t = waktu (det).

Pengolahan Data Gelombang


Menurut Triatmodjo (1999), penentuan gelombang representatif dapat digunakan
untuk menganalisa data karakteristik gelombang seperti tinggi dan periode gelombang. Data
gelombang berupa tinggi dan periode gelombang diurutkan dari nilai yang tertinggi sampai
dengan yang terendah. Nilai Hs dihitung dari 33,3% tinggi gelombang tertinggi dan Ts
dihitung dari 33,3% periode gelombang terbesar.

Analisa Spektrum Gelombang

Spektrum gelombang berarah disimulasikan dengan menggunakan SMS versi 10.0


modul ST Wave. Inputan data dalam pemodelan ini ialah hasil model arus dengan modul
ADCIRC (Advanced Circulation Multi Dimensional Hydrodinamic Model) serta tinggi
gelombang, periode gelombang dan arah penjalaran gelombang dari hasil pengolahan data
gelombang time series ECMWF. Hasil pemodelan berupa grafik distribusi energi gelombang,
grafik polar, dan arah penjalaran gelombang. Metode spektrum yang digunakan pada
penelitian ini ialah menggunakan metode Bretschneider. Metode ini digunakan karena
Perairan Balongan merupakan perairan terbuka. Menurut Carter (1992) metode ini digunakan
untuk perairan terbuka.

Pemodelan Penjalaran Gelombang

Pola spektrum dan transformasi gelombang dimodelkan dengan menggunakan


Software SMS (Surface water Modelling System) versi 10.0 dalam 2 tahap yang pertama
memodelkan arus menggunakan modul ADCIRC (Advanced Circulation Multi Dimensional
Hydrodinamic Model) dan tahap kedua memodelkan gelombang dengan menggunakan modul
705
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

ST Wave. Pemodelan arus menggunakan modul ADCIRC (Advanced Circulation Multi


Dimensional Hydrodinamic Model) inputan datanya adalah peta batimetri dan pasut (file legi
dari software SMS 10.0). Pemodelan gelombang menggunakan data inputan berupa data hasil
dari pemodelan arus, arah dominan angin, nilai gelombang signifikan, sudut datang
gelombang dan periode gelombang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gelombang Lapangan
Hasil pengukuran gelombang lapangan yang dilakukan pada tanggal 12 – 14
November 2014 diperoleh nilai tinggi gelombang representatif ( ) sebesar 0,17 m, nilai
tinggi gelombang maksimum ( ) yaitu 0,22 m dan tinggi gelombang minimum (Hmin).
Sedangkan untuk hasil periode gelombang diperoleh nilai periode gelombang signifikan ( )
sebesar 2,93 det, periode gelombang maksimal ( ) 3,41 det dan periode minimum (Tmin)
1,93 det. Hasil secara lengkap tersaji pada Tabel 1.

Grafik Tinggi Gelombang Lapangan


H (m)
0.25
0.2
0.15
H (m)

0.1
0.05
0

Gambar 1. Grafik Tinggi Gelombang Pengukuran Lapangan

706
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Grafik Periode Gelombang Lapangan


T (det)
3.5

2.5
T (det)
2

1.5

Gambar 2. Grafik Periode Gelombang Pengukuran Lapangan

Tabel 1. Data Gelombang Representatif Pengukuran Lapangan


T (detik) H (meter)
T T T T H H H H
max min signifikan rata-rata max min signikan rata-rata
3.41 1.93 2.93 2.62 0.22 0.03 0.17 0.13

Hasil pengukuran gelombang lapangan menunjukkan bahwa periode gelombang


bernilai kurang dari 3,41 det maka gelombang di Perairan Balongan dapat dikelompokkan
sebagai gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Menurut Sulaiman dan Soehardi (2008)
gelombang yang memiliki periode kurang dari 15 diklasifikasikan sebagai gelombang angin.
Gaya mekanik yang bekerja pada gelombang ini ialah angin dan gravitasi.
Gelombang di Perairan Balongan memiliki nilai d/L berkisar antara 0,05-0,5 yaitu
sebesar 0,15. Menurut Kramadibrata (2002) dan Triatmodjo (2008) berdasarkan nilai batas
klasifikasi gelombang maka gelombang yang memiliki nilai d/L lebih besar dari 0,05 dan
kurang dari 0,5 diklasifikasikan sebagai gelombang pada perairan antara atau perairan transisi.

Data Angin ECMWF

Data angin ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting)
diperoleh berupa data kecepatan dan arah angin selama 10 tahun (2005 – 2014). Data
kecepatan dan arah angin disajikan dalam bentuk diagram mawar angin. Berikut adalah
mawar angin hasil pengolahan data sekunder yang diperoleh setiap musim yang disajikan
pada Gambar 3.
707
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Musim Barat Musim Peralihan I Musim Timur Musim Peralihan II

Gambar 3. Mawar Angin Tiap Musim Periode 2005 – 2014

Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa dari keseluruhan musim diketahui bahwa


hampir seluruh musim arah dominan angin berasal dari tenggara. Angin pada Musim Barat
dan Musim Timur memiliki kecepatan angin rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Musim Peralihan I dan II. Pada Musim Barat kecepatan angin rata-rata maksimum sebesar
8,76 knot. Kecepatan angin rata-rata pada Musim Timur sebesar 8,72 knot. Musim Peralihan I
dan II memiliki kecepatan angin rata-rata yaitu 6,31 knot dan 6,73 knot.
Pada Musim Barat diketahui bahwa frekuensi angin kuat berjumlah 22 sedangkan
pada Musim Timur, Musim Peralihan I dan II tidak terjadi angin kuat. Jumlah angin agak kuat
paling banyak terjadi pada Musim Barat dan paling sedikit terjadi pada Musim Peralihan II.
Berdasarkan distribusi kecepatan dari keseluruhan musim diketahui distribusi kecepatan yang
paling dominan ialah angin dengan kecepatan 7-16 knot. Hal ini menunjukkan bahwa angin
lemah dan sedang sangat berperan dalam pembentukan gelombang di Perairan Balongan
sesuai Sutirto dan Trisnoyuwono (2004) bahwa angin merupakan salah satu pembangkit
terjadinya gelombang laut.

Gelombang ECMWF

Data gelombang ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting)
dianalisa untuk mengetahui karakteristik gelombang. Data gelombang laut ECMWF
(European Center for Medium range Weather Forecasting) tahun 2005-2014 berupa tinggi
maksimum, tinggi minimum, tinggi rata-rata serta periode maksimum, periode minimum
dapat dilihat pada Tabel 2.

708
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Tabel 2. Hasil Karakteristik Gelombang ECMWF (European Center for Medium range
Weather Forecasting)
Musim Tinggi Gelombang (m) Periode Gelombang (det)
H H H T T T
max min rata-rata max min rata-rata
Barat 1,76 0.08 0,55 6,00 2,25 3,99
Peralihan I 1,6 0,06 0,39 6,94 2,05 3,89
Timur 1,33 0,15 0,56 6,84 2,72 4,39
Peralihan II 1,17 0,09 0,42 6,05 2,2 4,13

Tinggi Gelombang pada Musim Barat dan Timur memiliki nilai yang paling besar. Hal
ini juga sesuai dengan data angin ECMWF (European Center for Medium range Weather
Forecasting) yang menunjukkan bahwa kecepatan angin terbesar terjadi paling banyak pada
Musim Barat dan Timur. Hal ini menunjukkan bahwa angin sangat berperan dalam
terbentuknya gelombang laut. Menurut Kramadibrata (2002) semakin besar kecepatan angin
maka semakin tinggi gelombang yang terbentuk.

Spektrum Gelombang

Pemodelan spektrum gelombang dilakukan pada empat kondisi. Data yang digunakan
sebagai data inputan ialah data hasil pemodelan arus, data angin dan data gelombang dari
ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting). Data hasil pemodelan
menggunakan SMS meliputi tinggi gelombang, periode gelombang dan grafik spektrum
gelombang.
Hasil spektrum gelombang ditampilkan berupa grafik spektrum polar dan grafik satu
dimensi. Grafik-grafik yang ditampilkan menunjuk

- sesuai
dengan arah mata angin yang berputar searah jarum jam.

709
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Musim Barat. Musim Peralihan I

Musim Timur Musim Peralihan II


Gambar 4. Spektrum Polar Tiap Musim.

Energi gelombang laut tertinggi bernilai 0,36 m2/Hz terjadi pada Musim Barat,
sedangkan pada Musim Timur, Peralihan I, dan Peralihan II energi gelombang maksimum
yang terjadi di setiap musimnya diketahui sebesar 0,25; 0,17 dan 0,15 m2/Hz. Tinggi
gelombang yang tertinggi terjadi pada Musim Barat yaitu sebesar 0,36 m. Berdasarkan hasil
tersebut diketahui bahwa tinggi gelombang dan energi gelombang laut saling keterkaitan,
yaitu semakin tinggi gelombang yang terbentuk maka energi yang dihasilkan juga semakin
besar. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wahyudi et al. (2005) yang menyatakan semakin
besar tinggi gelombang maka nilai energi gelombang akan semakin besar begitupun
sebaliknya.

Transformasi Gelombang Laut

Hasil pemodelan penjalaran gelombang menggunakan SMS 10.0 ditampilkan dalam


nilai tinggi gelombang berupa gradasi warna serta arah penjalaran gelombang yang di
representasikan oleh vector. Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh diketahui bahwa
gelombang akan mengalami transformasi gelombang ketika menjalar dari perairan dalam
menuju ke perairan dangkal. Adanya variasi kedalaman selama arah penjalaran gelombang
menuju pantai menyebabkan terjadinya pembelokan arah penjalaran gelombang (refraksi).
Difraksi juga terjadi akibat adanya bangunan pantai di Perairan Balongan berupa jetty dan
kolam pelabuhan. Hasil Pemodelan Gelombang ditampilkan pada Gambar 5-8.

710
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Gambar 5. Peta Gelombang Musim Barat.

Perhitungan gelombang akibat refraksi, difrakasi dan shoaling ditampilkan pada Tabel 3 dan
4.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Barat
Ho To d α0 Sin α Α Kr Ks H
0.19 4.4 4.7 265 -0.996 236 0.396 0.913 0.069
0.18 4.8 3.7 263 -0.992 226 0.418 0.929 0.07
0.16 5 1.5 252 -0.951 203 0.579 1.072 0.099

Tabel 4. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Barat
HP T d β θ R r/L B B/L K’ HA
0.12 5 5 30 45 200 6.988 60 2.096 0.743 0.089
0.12 5 5 30 45 250 8.736 60 2.096 0.644 0.079

711
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Gambar 6. Peta Gelombang Musim Peralihan I.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Peralihan I
Ho To d α0 Α Kr Ks H
0.45 4.17 3.8 186 184.8 0.999 0.915 0.411
0.44 4.17 2.39 188 185.4 0.997 0.944 0.414
0.43 4.2 0.96 191 184.9 0.993 1.088 0.463

Tabel 6. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Peralihan I
HP T d β θ r r/L B B/L K’ HA
0.25 4 5 15 30 200 9.016 60 2.705 0.8 0.2
0.25 4 5 30 30 250 11.27 60 2.705 0.644 0.087

712
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Gambar 7. Peta Gelombang Musim Timur.

Tabel 7. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Timur
Hs Ts d α0 α Kr Ks H
0.57 4.76 2.92 186.3 184.1 0.998 0.95 0.54
0.55 4.76 1.69 189.8 185.1 0.994 1.03 0.56
0.56 4.80 0.50 193.9 184.1 0.986 1.32 0.73

Tabel 8. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Timur
HP T d β θ R r/L B B/L K’ HA
0.4 4.5 5 30 15 200 7.608 60 2.28 0.718 0.287
0.4 4.5 5 30 30 250 9.510 60 2.28 0.643 0.257

713
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Gambar 8. Peta Gelombang Musim Peralihan II.

Tabel 9. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Peralihan II
Hs Ts d α0 α Kr Ks H
0.51 4.35 4.81 192.3 190.3 0.996 0.913 0.46
0.50 4.55 2.99 195.0 190.3 0.991 0.939 0.47
0.49 4.50 1.09 198.6 188.1 0.979 1.100 0.53

Tabel 10. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Peralihan II
HP T d β θ r r/L B B/L K’ HA
0.38 4.5 5 30 45 200 7.608 60 2.282 0.871 0.33
0.38 4.5 5 30 45 250 9.510 60 2.282 0.79 0.30

Pemodelan spektrum gelombang Musim Barat menunjukkan bahwa gelombang laut


merambat dari Barat laut. Arah gelombang tidak sesuai dengan arah dominan wind rose
ECMWF pada Musim Barat yang menunjukkan dominan arah angin dari Barat, hal ini
dikarenakan topografi Balongan yang tidak memungkinkan gelombang datang dari arah Barat
karena Barat merupakan daratan. Perbedaan arah ini diduga karena inputan pada pemodelan
untuk arah grid dan arah spektrum yang berbeda serta adanya pengaruh arus yang membuat
arah penjalarannya berbeda. Tetapi arah dominan gelombang model sama dengan arah wave

714
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

rose yaitu dari Barat Laut. Selain itu arah penjalaran Energi gelombang bergerak dari arah
Timur Laut hal ini disebabkan adanya refraksi gelombang dimana gelombang datang yang
awalnya berasal dari Barat Laut dibelokkan menjadi Timur Laut dimana gelombang
membelok dan menjadi tegak lurus pantai. Hal ini sesuai dengan Triatmodjo (2012)
penjalaran arah gelombang akan membelok dan berusaha untuk menuju tegak lurus dengan
garis kontur dasar laut diakibatkan perubahan kedalaman. Gelombang pada Musim Timur,
Musim Peralihan I dan II menunjukkan penjalaran gelombang berasal timur sesuai dengan
arah gelombang wave rose ECMWF. Hasil penjalaran gelombang tidak sama dengan arah
dominan angin yang umumnya dari tenggara tetapi selain dari tenggara, arah angin yang juga
memiliki presentase kejadian yang cukup besar ialah dari timur untuk setiap musimnya
sehingga hal ini diduga masih memungkinkan karena selain pengaruh angin ada pengaruh
arus yang juga diperhitungkan. Selain itu hal ini juga dimungkinkan gelombang mengalami
pembelokan dari Tenggara dan ketika mendekati pantai akan berusaha tegak lurus pantai
sehingga arahnya menjadi Timur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Triatmodjo (2012), yaitu
salah satu parameter pembentuk gelombang ialah arah angin. Sehingga arah penjalaran tidak
berbeda jauh dengan arah angin

Validasi Data Gelombang

Kriteria kecocokan antara data pengukuran lapangan dan hasil model berdasarkan
perhitungan nilai CF (Cost Function) untuk tinggi gelombang diketahui sebesar 0.302,
sedangkan untuk periode gelombang memiliki CF sebesar 0.833. Data yang dibandingkan
merupakan data pada Musim Peralihan II dikarenakan pengukuran lapangan dilaksanakan
pada Bulan November yang termasuk pada Musim Peralihan II.

Tabel 16. Validasi Tinggi dan Periode Signifikan Gelombang Data Lapangan dengan Hasil
Model
Gelombang Hs (m) Ts (det)
Data Lapangan 0.17 2.93
Hasil Model 0.51 4.54
CF 0.302 0.833

Berdasarkan nilai CF maka kriteria kecocokan antara data lapangan dengan hasil
model dikategorikan sangat baik. Hal ini karena nilai CF (Cost Function) < 1.
715
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

KESIMPULAN

Gelombang di Perairan Balongan memiliki tinggi gelombang antara 0,03-0,22 m dan


periode gelombang antara 1,93-3,41 det. Berdasarkan periodenya termasuk gelombang angin
dan berdasarkan nilai d/L diklasifikasikan sebagai gelombang pada perairan transisi.
Pemodelan gelombang menunjukkan bahwa energi gelombang maksimum yang terjadi pada
Musim Barat yaitu sebesar 0,36 m2/Hz (Timur Laut). Pada Musim Timur penjalaran berasal
dari Timur dengan energi maksimum 0,25 m2/Hz. Gelombang pada Musim Peralihan I dan II
memiliki gelombang maksimum masing-masing 0,17 dan 0,15 m2/Hz dengan arah penjalaran
energi gelombang dari Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Carter, D. J. T. 1982. Estimation of Wave Spectra from Wave Height and Period. Institute of
Oceanographic sciences.
Hadi, A. R. 1997. Mikrozoning Untuk Pengkajian Resiko dan Mitigasi Bencana. Jakarta:
BPPT.
Hadikusumah. 2009. Karakteristik Gelombang Dan Arus Di Eretan Indramayu. Makara,
Sains., 13(2): 163-172.
Haryo, D. A. 1997. Metode Karakteristik untuk Pemodelan Gelombang dan Arus di Selat
Madura. Lembaga Penelitian ITS.
Kramadibrata, S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. ITB. Bandung.
Lanuru, M dan Suwarni. 2011. Pengantar Oseanografi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sudarto., W. Patty., dan A. A. Tarumingkeng. 2013. Kondisi Arus Permukaan di Perairan
Pantai: Pengamatan dengan Metode Lagrangian. Junal Ilmu dan Teknologi Tangkap,
1(3):98-102.
Sulaiman, A. dan Soehardi. 2008. Pendahuluan Geomorfologi Pantai Kuantitatif. BPPT.
Jakarta
Sutirto dan D. Trisnoyuwono. 2014. Gelombang dan Arus Laut Lepas. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Tarigan, A. P. M., dan A. S. Zein. 2005. Analisa Refraksi Gelombang Pada Pantai. Jurnal
Teknik SIMETRIKA., 4(2): 345-351.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset.
___________. 2008. Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset.
Wahyudi., Sholihin dan F. Setiawan. 2005. Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap
Stabilitas Batu Pecah Pada Permukaan Cellular Cofferdam Akibat Gelombang
Overtopping. Jurnal Teknologi Kelautan., 9(1): 9-17.
716
Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai