“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Standar Nasional Indonesia
Hak cipta dilindungi undang‐undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi
dokumen ini dengan cara dan dalam bentuk apapun dan dilarang mendistribusikan dokumen ini baik
secara elektronik maupun hardcopy tanpa izin tertulis dari BSN
BSN
Gd. Manggala Wanabakti Blok IV, Lt. 3,4,7,10.
Telp. +6221‐5747043
Fax. +6221‐5747045
Email: dokinfo@bsn.go.id
www.bsn.go.id
Diterbitkan di Jakarta
SNI 7646:2010
Daftar Isi
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Daftar Isi .................................................................................................................................... i
Prakata ii
1 Ruang lingkup ......................................................................................................................1
2 Acuan normatif .....................................................................................................................1
3 Istilah dan definisi ................................................................................................................1
4 Klasifikasi survei ..................................................................................................................4
5 Ketentuan survei ..................................................................................................................6
6 Prosedur pelaksanaan survei hidrografi.............................................................................11
7 Pengolahan data perum .....................................................................................................14
8 Penyimpanan dan penyajian data ......................................................................................15
Lampiran A (Informatif) ...........................................................................................................17
Lampiran B (informatif) ...........................................................................................................18
Lampiran C (normatif) .............................................................................................................19
Lampiran D (informatif) ...........................................................................................................20
Bibliografi ................................................................................................................................21
i
SNI 7646:2010
Prakata
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Standar Nasional Indonesia (SNI) 7646:2010, Survei hidrografi menggunakan
Singlebeam Echosounder ini berisi pedoman bagi seluruh penyelenggara atau
pelaksana survei hidrografi untuk keperluan pemetaan dasar agar didapatkan data
yang terjamin kualitasnya. Dalam SNI ini hanya dibahas mengenai SNI survei
hidrografi dengan menggunakan peralatan singlebeam echosounder. Pemilihan
metode singlebeam echosounder, dikarenakan metode ini paling banyak digunakan
di Indonesia pada saat ini.
SNI ini disusun dengan sebagian besar mengacu pada standar survei hidrografi yang
berlaku secara internasional, yaitu Special Publication no. 44 yang diterbitkan oleh
IHO agar sebagian atau semua data yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu data dasar untuk penyempurnaan peta navigasi laut yang sesuai.
Standar ini disusun oleh Panitia Teknis Informasi Geografis/Geomatika (PT 07-01)
dan telah dibahas dalam rapat konsensus lingkup panitia teknis di Cibinong pada
tanggal 7 Nopember 2006. Hadir dalam rapat tersebut ahli-ahli yang terkait di
bidangnya dari lembaga instansi pemerintah, akademisi dan lembaga instansi non-
pemerintah serta instansi terkait lainnya. SNI ini juga telah melalui konsensus
nasional yaitu jajak pendapat pada tanggal 10 Mei 2010 sampai dengan 10 Juli
2010.
ii
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
1 Ruang lingkup
Standar ini menetapkan ketentuan dan prosedur survei hidrografi menggunakan singlebeam
echosounder, yang meliputi: ketentuan-ketentuan, prosedur pelaksanaan survei hidrografi,
pengolahan data, penyimpanan dan penyajian data, dan pelaporan hasil survei hidrografi.
2 Acuan normatif
IHO Standards for Hydrographic Surveys 4th Edition, Special Publication No. 44, 1998.
IHO Standards for Hydrographic Surveys 5th Edition, Special Publication No. 32, 1994.
ISO 6709, Latitude Longitude, 1983.
SNI 19-6724-2002, Jaring kontrol horizontal.
3.1
perum gema (echo sounder)
peralatan yang digunakan untuk menentukan kedalaman air dengan cara mengukur interval
waktu antara pemancaran gelombang suara dengan penerimaan pantulannya (gema) dari
dasar air
3.2
singlebeam echo sounder
alat ukur kedalaman air yang menggunakan pancaran tunggal sebagai pengirim dan
penerima sinyal gelombang suara
3.3
batimetri
metode atau teknik penentuan kedalaman laut atau profil dasar laut dari hasil analisa data
kedalaman
3.4
co-tidal chart
peta yang menggambarkan garis yang menghubungkan titik-titik air tinggi (high water) terjadi
pada waktu yang sama
3.5
datum vertikal
permukaan ekipotensial yang mendekati kedudukan permukaan air laut rerata (geoid) yang
digunakan sebagai bidang acuan dalam penentuan posisi vertikal
3.6
Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN 95)
datum geodesi yang ditetapkan pada tahun 1995, mengacu pada sistem datum internasional
WGS-84 (World Geodetic System 1984) dengan parameter elipsoid:
1 dari 22
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Faktor penggepengan f = 1/298,257223563
3.7
garis pantai
garis yang menggambarkan pertemuan antara perairan dan daratan di wilayah pantai pada
saat kedudukan pasang tertinggi ,penentuan garis pantai di daerah rawa dan bakau adalah
tepi luar dari wilayah tumbuhan.
3.8
haluan (heading)
arah kemana sumbu panjang kapal menuju, biasanya disebut dalam derajat dari utara
(sejati/geografis, magnetik/kompas)
3.9
hidrografi
ilmu yang mempelajari dan membahas tentang deskripsi serta pengukuran kenampakan fisik
laut, danau, sungai dan kaitannya dengan wilayah pantai
3.10
heave
gerakan naik-turunnya kapal yang disebabkan oleh gaya pengaruh air laut
3.11
survei investigasi
bagian dari survei hidrografi pada daerah yang membahayakan pelayaran untuk
menemukan kedangkalan, bangkai kapal atau halangan lain agar dapat dipetakan.
3.12
International Hydrograhic Organization (IHO)
badan internasional yang mengoordinasikan kegiatan-kegiatan kehidrografian dari kantor
hidrografi nasional yang mempromosikan standar dan menyiapkan saran-saran dalam
bidang-bidang survei hidrografi, publikasi dan produksi peta laut (nautical chart).
3.13
kecepatan suara (sound velocity)
cepat rambat gelombang suara melalui media tertentu dalam waktu tertentu
3.14
lajur perum
garis yang menggambarkan alur kegiatan kapal dalam pemeruman.
3.15
lajur utama
lajur perum yang digunakan sebagai alur utama dalam pemeruman
3.16
lajur silang
lajur perum yang berfungsi sebagai alur cek silang dalam validasi data perum
3.17
lowest low water (LLW)
LLW (air rendah terendah) adalah kedudukan permukaan air laut pada saat rendah
terendah
2 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
3.18
lowest astronomical tide (LAT)
kedudukan permukaan laut terendah yang ditentukan oleh pengamatan pasang surut secara
kontinyu selama 1 (satu) tahun untuk dapat memperkirakan secara cukup andal pasut
terendah bagi suatu periode 19 tahun (suatu periode pasut astronomis yang mengacu
adanya pengaruh matahari dan bulan)
3.19
muka surutan (chart datum)
suatu permukaan tetap yang ditentukan dan menjadi bidang referensi bagi semua
pengukuran kedalaman air .
3.20
muka laut rerata (mean sea level)
tinggi rata-rata permukaan laut pada suatu setasiun pasut yang diperoleh dari pengamatan
pasut minimal selama satu bulan.
3.21
pasang surut (pasut)
naik turunnya permukaan laut secara teratur, terutama disebabkan karena gaya tarik bulan
dan matahari terhadap massa air laut
3.22
pemeruman (sounding)
kegiatan untuk menentukan kedalaman permukaan dasar laut atau benda-benda di atasnya
terhadap permukaan laut
3.23
precision dilution of position (PDOP)
suatu kondisi konfigurasi satelit GPS yang memberikan gambaran tingkat ketelitian dalam
penentuan posisi.
3.24
pitch
gerakan kapal ke arah depan (mengangguk) berpusat di titik tengah kapal
3.25
roll
gerakan kapal ke arah sisi-sisinya (lambung kapal) atau pada sumbu memanjang
3.26
real time kinematic-differential global positioning system (RTK-DGPS)
sistem atau metode penentuan posisi secara teliti dengan memberikan koreksi pada saat
pengukuran dari stasiun referensi
3.27
setting draught transducer
pemasangan (setting) transduser pada badan kapal agar alat bekerja optimal.
3.28
settlement
sifat wahana apung dimana posisi badannya lebih tenggelam pada saat sedang berhenti
dibandingkan dengan pada saat berjalan
3 dari 21
SNI 7646:2010
3.29
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
side scan sonar
Alat untuk mendapatkan gambaran permukaan dasar perairan dengan menggunakan
gelombang bunyi
3.30
squat
keadaan buritan dan/atau haluan kapal lebih tenggelam pada saat berjalan
disesuaikan
3.31
benchmark (BM)
pilar yang dibuat sebagai tanda bahwa sebuah titik tetap di darat merupakan titik kontrol
3.32
titik kontrol vertikal
titik kontrol elevasi yang tingginya diketahui terhadap suatu titik referensi (datum) yang
digunakan untuk pengamatan pasut atau sebagai titik referensi untuk pengukuran sipat
datar.
3.33
titik kontrol horisontal
titik kontrol yang koordinatnya dinyatakan dalam sistem koordinat horisontal yang sifatnya
dua dimensi
3.34
tidal time
waktu pada saat muka air mencapai ketinggian tertentu
3.35
tidal height
tinggi muka air laut pada waktu tertentu
3.36
titik perum
titik yang menyatakan posisi perekaman data kedalaman dilakukan
4 Klasifikasi survei
Orde khusus survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei enjinering/rekayasa dan
digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis dimana kedalaman dibawah lunas sangat
minim dan dimana karakteristik dasar airnya berpotensi membahayakan kapal. Daerah-
daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang bertanggung jawab
dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh adalah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar
dan alur masuknya. Semua sumber kesalahan harus dibuat minimal.
Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan scan sonar, multi transducer
arrays atau multibeam echosounder dengan resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum
yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%. Harus pula diyakinkan bahwa
setiap benda dengan ukuran lebih besar dari satu meter persegi dapat terlihat oleh peralatan
perum yang digunakan. Penggunaan side scan sonar dan multibeam echosounder mungkin
4 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
ditemukan, atau survei untuk keperluan investigasi.
Orde satu survei hidrografi diperuntukan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur pendekat, haluan
yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas komersial yang padat
dimana kedalaman di bawah lunas cukup memadai dan kondisi fisik dasar lautnya tidak
begitu membahayakan kapal (misalnya lumpur atau pasir). Survei orde satu berlaku terbatas
di daerah dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Meskipun persyaratan pemeriksaan
dasar laut tidak begitu ketat jika dibandingkan dengan orde khusus, namun pemeriksaan
dasar laut secara menyeluruh tetap diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana
karakteristik dasar laut dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal. Pada
daerah-daerah yang diteliti tersebut, harus diyakinkan bahwa untuk kedalaman sampai
dengan 40 meter benda-benda dengan ukuran lebih besar dari dua meter persegi, atau pada
kedalaman lebih dari 40 meter, benda-benda dengan ukuran 10% dari kedalaman harus
dapat digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan.
Orde dua survei hidrografi diperuntukan di daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter
yang tidak termasuk dalam orde khusus maupun orde satu, dan dimana gambaran batimetri
secara umum sudah mencukupi untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar
laut yang akan membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Ini
merupakan kriteria yang penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam,
dimana orde hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut
mungkin diperlukan pada daerah-daerah tertentu dimana karakteristik dasar air dan resiko
adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal.
Orde tiga survei hidrografi diperuntukan untuk semua area yang tidak tercakup oleh orde
khusus, orde satu dan dua pada kedalaman lebih besar dari 200 meter
5 dari 21
SNI 7646:2010
5 Ketentuan survei
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
5.1 Ketelitian
Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama
survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu pada tingkat kepercayaan 95
% untuk dikaji dan dilaporkan pada akhir survei.
Di bawah ini adalah ringkasan standar ketelitian pengukuran pada survei hidrografi :
Kelas
No Deskripsi Orde
Orde 1 Orde 2 Orde 3
Khusus
5 m + 5% 20 m + 5% 150 m +
dari dari 5% dari
1 Akurasi horisontal 2m
kedalaman kedalaman kedalaman
rata-rata rata-rata rata-rata
Alat bantu navigasi tetap dan
kenampakan yang
2 2m 2 m 5m 5m
berhubungan dengan
navigasi
3 Garis pantai 10 m 20 m 20 m 20 m
4 Alat bantu navigasi terapung 10 m 10 m 20 m 20 m
5 Kenampakan topografi 10 m 10 m 20 m 20 m
a = 0,25 m a = 0,5 m a = 1,0 m a = 1,0 m
6 Akurasi Kedalaman
b = 0,0075 b = 0,013 b = 0,023 b = 0,023
th
(IHO Standards for Hydrographic Surveys 4 Edition, Special Publication No. 44, 1998)
CATATAN:
1. a dan b adalah variabel yang digunakan untuk menghitung ketelitian kedalaman.
2. alat pemeruman dikalibrasi sebelum digunakan
Batas toleransi kesalahan antara kedalaman titik fix perum pada lajur utama dan lajur silang
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
±√a2 + ( b x d ) 2
dimana :
a = kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap)
b = faktor kesalahan kedalaman dependen (jumlah kesalahan yang bersifat
tidak tetap)
d = kedalaman terukur
(b x d) = kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman
yang dependen)
6 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Datum horisontal harus menggunakan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95).
Penentuan datum vertikal mengacu pada muka surutan yang ditentukan melalui pengamatan
pasut pada stasiun permanen atau temporal yang dilakukan minimal selama 29 hari. Nilai
datum ditetapkan dari nilai hitungan Lowest Low Water (LLW) pada stasiun-stasiun pasut
tersebut.
Penentuan posisi dilakukan untuk semua titik perum, alat bantu navigasi serta kenampakan-
kenampakan yang diperlukan atau direkomendasikan dalam survei hidrografi dengan
ketelitian sesuai ordenya. Ketentuan ketelitian pengukuran disajikan pada Tabel 2.
Agar sistem koordinat hasil pengukuran atau penentuan posisi terikat dalam sistem koordinat
nasional, maka harus dibuat titik-titik kontrol horisontal dan diikatkan pada sistem kerangka
horisontal nasional. Dalam hal ini dapat diikatkan pada sistem kerangka horisontal nasional.
Lokasi titik kontrol horisontal dinyatakan oleh suatu pilar titik kontrol yang dilengkapi dengan
deskripsinya. Pembuatan titik kontrol di darat harus mengikuti spesifikasi titik kontrol
horisontal yang telah ditetapkan (SNI No. 19-6724-2002)
Spesifikasi Titik Kontrol (BM) utama (menurut standar Pilar GPS orde-1) adalah:
a. Ukuran BM adalah : (30 x 30 x 100) cm
b. Ukuran sayap bawah : (80 x 80 x 10) cm
c. Bagian yang muncul di permukaan tanah 35 cm dan bagian yang ditanam 75 cm.
d. Rangka BM dibuat dari besi begel diameter 9 mm dan ring-rangka dari besi begel
dengan diameter 6 mm.
e. BM dicor di tempat dengan perbandingan adukan semen:pasir:batu adalah 1:2:3.
f. Di bagian atas tengah BM dipasang Brass-tablet yang memuat tanda silang posisi
horisontal dan nomor tugu penjelasan kepemilikan.
g. BM dicat warna biru.
Setiap posisi harus direferensikan kedalam sistem Datum Geodesi Nasional 1995
(DGN-1995) sebagai anjuran, bilamana terdapat pengecualian, dimana posisi direferensikan
terhadap datum geodetik lokal, maka geodetik lokal tersebut diikatkan dengan sistem
referensi DGN-1995.
7 dari 21
SNI 7646:2010
tracking terhadap paling sedikit lima satelit secara serentak, bagi orde khusus dan orde satu
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
disarankan digunakan suatu monitoring yang terintegrasi.
Titik–titik kontrol utama di darat harus ditetapkan dengan metode survei darat dengan
ketelitian relatif 1 : 100.000 bagian, bila metode penentuan posisi dengan satelit digunakan
untuk menetapkan titik–titik tersebut, kesalahannya harus tidak lebih besar dari 10 cm pada
tingkat kepercayaan 95%.
Stasiun sekunder bagi penentuan posisi secara lokal yang tidak digunakan untuk
memperbanyak jaringan kontrol harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga kesalahannya
tidak lebih besar dari 1 : 10.000 bagian dengan teknik survei darat atau 50 cm bila
menggunakan posisi geodesi satelit.
Posisi titik fix perum jika diperlukan, terikat pada kerangka kontrol horisontal yang telah
dibuat seperti tersebut pada butir 5.5. di atas. Adapun ketelitian posisi fix perum harus
memenuhi standar ketelitian international seperti tertera pada Tabel 2.
Ketelitian posisi tetap perum pada survei dengan menggunakan singlebeam echosounder
adalah ketelitian posisi tranduser.
Global Positioning System (GPS) merupakan salah satu sistem penentuan posisi yang
banyak digunakan dalam survei hidrografi. Untuk penentuan posisi yang memerlukan
ketelitian tinggi menggunakan metode RTK-DGPS, maka harus dipenuhi kriteria berikut
untuk menjaga kualitas penentuan posisi,
Ketelitian posisi perum adalah ketelitian letak posisi perum pada dasar laut dalam
sistim referensi geodesi dengan pengecualian bagi survei orde dua dan orde tiga yang
menggunakan Singlebeam Echosounder, ketelitian yang dimaksud adalah ketelitian posisi
dari sistim sensor perum.
Posisi alat bantu navigasi tetap, sarana navigasi apung, garis pantai dan fitur topografis
penting (seperti gosong, bagan ikan , dsb.) harus diikatkan dalam kerangka kontrol
horisontal yang telah dibuat (datum DGN-95).
Pengukuran posisi horisontal menggunakan metode pengukuran GPS pada ketelitian seperti
pada Tabel 2.
8 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Sebelum pelaksanaan pemeruman harus dibuat rencana lajur utama dan lajur silang. Berikut
ini adalah kriteria pemeruman untuk singlebeam echosounder.
Menentukan dari kondisi umum topografi dasar laut, koreksi pasang surut dan
pendeteksian, klasifikasi serta penentuan bahaya–bahaya di dasar laut merupakan suatu hal
yang mendasar dalam tugas survei hidrografi. Kedalaman air diatas bahaya tersebut harus
ditentukan, paling tidak, sesuai ketentuan akurasi kedalaman sebagaimana orde satu pada
Tabel 2.
Lajur perum utama sedapat mungkin harus tegak lurus garis pantai dengan interval
maksimal satu cm pada sekala survei. Jarak yang memadai antara lajur perum dari berbagai
orde survei sudah diisyaratkan pada SP-44. Berdasarkan prosedur tersebut harus ditentukan
apakah perlu dilakukan suatu penelitian dasar laut ataukah dengan memperapat atau
memperlebar lajur perum.
Lajur silang diperlukan untuk memastikan ketelitian posisi pemeruman dan reduksi
pasut. Jarak antar lajur silang adalah 10 kali lebar lajur utama dan membentuk sudut antara
60O sampai 90O terhadap lajur utama. Lajur silang tambahan bisa ditambahkan pada daerah
yang direkomendasikan atau terdapat keragu-raguan. Jika terdapat perbedaan yang
melebihi toleransi yang ditetapkan (sesuai dengan ordenya) harus dilakukan uji lanjutan
dalam suatu analisis secara sistematik terhadap sumber–sumber kesalahan penyebabnya.
Setiap ketidak cocokan harus ditindak-lanjuti dengan cara analisis atau survei ulang selama
kegiatan survei berlangsung.
Pengamatan pasang surut pada kegiatan survei hidrografi bertujuan untuk menentukan
bidang acuan kedalaman (muka air laut rerata, muka surutan) serta menentukan koreksi
hasil pemeruman. Dengan ketentuan sebagai berikut :
9 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Hal-hal yang harus dipenuhi dalam pengambilan sampel dasar laut adalah :
a. Pemilihan alat sampling harus bisa memenuhi tujuan pengambilan sampel yaitu
untuk mengetahui jenis material dasar laut di daerah survei. Misalnya dilakukan
dengan grabing yaitu mengambil sample dengan menggunakan grab sampler
atau peralatan yang lain, pengamatan profil dasar laut serta survei gayaberat laut.
b. Pada perairan dengan kedalaman kurang dari 200 m jarak antar titik pengambilan
sample adalah 10 kali interval antar lajur perum utama. Kepadatan bisa
ditingkatkan untuk daerah-daerah yang sering digunakan untuk penjangkaran
dan daerah yang direkomendasikan.
Seperti disebutkan dalam Orde khusus survei hidrografi adalah mendekati standar
ketelitian survei enginering/ rekayasa dan digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis
dimana kedalaman dibawah lunas sangat minim dan dimana karakteristik dasar airnya
berpotensi membahayakan kapal. Hal ini memerlukan penggunaan side scan sonar dengan
resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan penelitian
dasar air 100 %. Penggunaan Side scan sonar juga diperlukan didaerah-daerah dimana
benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin ditemukan.
Teknologi side scan sonar sekarang ini telah mencapai tingkat deteksi dan
pendefinisian rintangan bawah air yang tinggi, sampai saat ini penggunaannya terbatas pada
kecepatan rendah (max 5 – 6 knot) agar dapat dioperasikan, digunakan pada survei
pelabuhan dan alur pelayaran untuk meyakinkan pendeteksian rintangan antara dua lajur
perum. Banyak instansi hidrografi di dunia mewajibkan penggunaan scan sonar pada area-
area tersebut dengan overlap 100 % atau lebih.
10 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
5.14 Pemeruman Laut Dalam menggunakan Singlebeam echosounder
Kriteria Pemeruman Laut Dalam diberikan lampiran SP-44 adalah merupakan suatu
pembaharuan dari apa yang pernah disusun oleh kelompok kerja IHO yang dibentuk pada
tahun 1972.
Tujuan dari kompilasi pemeruman laut dalam adalah untuk memetakan bentuk dasar
laut. Kepentingannya selain untuk ilmiah juga untuk navigasi, sebagaimana dengan tujuan
peta hidrografi yang menekankan pada bahaya-bahaya pelayaran.
Di kedalaman lebih dari 200 meter, echo-sounder harus diatur pada standard
kecepatan suara yaitu 1500 meter/ detik dan pemeruman yang diperoleh perlu dikoreksi
menggunakan tabel koreksi NP 139 (Nautical Publication no. 139), edisi terbaru.
6.1 Persiapan
Kegiatan persiapan yang dimaksudkan secara umum meliputi: persiapan administrasi dan
persiapan teknis, yang dimulai dari pembentukan team sampai dengan pemberangkatannya
menuju lokasi survei.
11 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
6.1.2.2 Personel
Survei pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata tentang
kondisi daerah survei, dengan tujuan untuk menyempurnakan perencanaan yang telah
dibuat. Kegiatan yang dilakukan dalam survei pendahuluan ini sebagai berikut :
Survei utama merupakan rangkaian kegiatan survei untuk keperluan pengambilan data yang
terdiri atas :
a. pengukuran posisi titik kontrol horizontal,
b. pengamatan pasang surut,
c. pemeruman,
d. pengukuran garis pantai
e. pengukuran posisi sarana bantu navigasi pelayaran dan objek-objek penting lainnya.
f. pengukuran garis nol kedalaman
g. pengukuran arus,
h. penentuan sifat fisik air laut (konduktifitas, temperature, kecerahan dan tekanan)
i. pengambilan sampel sedimen dasar laut
Metode pelaksanaan pengukuran kontrol horisontal mengikuti SNI No. 19-6724-2002 tentang
jaring kontrol horisontal.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dan sesudah pengamatan pasut
dilaksanakan adalah:
a. Pemilihan lokasi dan jumlah stasiun pasut yang akan dipasang harus
mempertimbangkan cakupan daerah survei yang mempunyai sifat pasut sama.
12 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
c. Pemasangan peralatan dan kalibrasi
d. Deskripsi stasiun pasut (lihat Lampiran B) dan pencatatan masalah yang terjadi pada
saat pengamatan.
e. Melakukan pencatatan dan analisa awal data pasut setiap hari
f. Kontrol terhadap stasiun-stasiun pengamatan pasut yang digunakan untuk daerah
survei, termasuk di dalamnya memonitor data-data pasut dari setiap stasiun dan
pencatatan kejadian.
g. Melakukan analisa akhir terhadap data pasut setelah berakhirnya survei.
6.6 Pemeruman
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
b. Pengamatan awal dan analisa sementara sampel dasar laut
c. Dokumentasi dan penyimpanan hasil sampel dasar laut
Pengukuran sifat fisik air laut mengikuti ketentuan pada butir 5.11 prosedur pengukuran
diantaranya adalah:
a. Menyiapkan dan mengkalibrasi peralatan yang akan digunakan untuk pengukuran
sesuai dengan spesifikasi alat tersebut
b. Mengukur dan mencatat posisi pengamatan sifat fisik air laut
c. Melaksanakan pengukuran sifat fisik air laut
Ketentuan pengukuran arus telah dijelaskan dalam butir 5.12 Dalam pelaksanaan
pengukuran arus, perlu diperhatikan prosedur berikut ini:
a. Menyiapkan dan mengkalibrasi peralatan yang akan digunakan untuk pengukuran
sesuai dengan spesifikasi alat tersebut
b. Mengukur dan mencatat posisi pengamatan arus
c. Melaksanakan pengamatan arus
Ketentuan pengukuran sarana bantu navigasi dan objek-objek penting mengacu pada
spesifikasi pada butir 5.7 Pelaksanaan di lapangan adalah dengan mengukur posisi , jenis
sarana bantu navigasi, karakter, ketinggian, jarak tampak dll. Untuk selanjutnya dituangkan
dalam sebuah deskripsi SBNP. Contoh format untuk keperluan ini bisa dilihat di Lampiran 3.
Untuk mendapatkan data kedalaman yang akurat, maka data kedalaman hasil ukuran harus
dikoreksi terhadap kesalahan dari sumber-sumber kesalahan yang mungkin terjadi.
14 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Tabel 3. Sumber Kesalahan Pengolahan Data Perum
Pemberian Koreksi
No Sumber Kesalahan
saat survei sesudah survei
1 Kecepatan gelombang suara √ √
2 Perbedaan waktu dan tinggi pasang surut - √
3 Kecepatan kapal √ -
4 Offset posisi peralatan survei di kapal √ √
5 Posisi kapal √ -
6 Sinkronisasi waktu. √ -
Data hasil survei direkam atau disimpan dalam bentuk analog maupun digital untuk
kebutuhan dokumentasi dan pelaporan. Setiap bentuk penyimpanan data harus disertai
dengan deskripsi.
Meliputi seluruh data hasil survei seperti data pemeruman (echogram), data pasut, data arus,
data sampel dasar laut, dll.
Meliputi seluruh data hasil survei seperti data pemeruman (echogram), data pasut, data arus,
data sampel dasar laut, dll, dalam format digital.
15 dari 21
SNI 7646:2010
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
y = lintang dengan format ± DDDMMSS.SS
z = kedalaman dalam meter dengan format mmmm.m
Data survei disajikan dalam bentuk lembar lukis teliti analog dan digital dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Memuat angka kedalaman, kontur kedalaman, garis pantai berikut sungai, karang,
tanda atau sarana bantu navigasi, bahaya pelayaran, jenis dasar laut, serta objek-
objek penting yang perlu ditampilkan.
b. Kerapatan angka kedalaman adalah satu cm pada skala peta. dimana koordinat
penggambaran menggunakan proyeksi UTM pada datum DGN-95, atau sesuai
dengan kebutuhan.
c. Untuk Lembar lukis teliti analog, kertas yang digunakan adalah drafting film dengan
ketebalan 0,03 mm.
d. Kontur kedalaman laut dicantumkan sesuai dengan kebutuhan. Kontur kedalaman
setidaknya mencantumkan kontur kedalaman sebagai berikut 0, 2, 5, 10, 20. dalam
meter.
e. Lembar lukis mencantumkan legenda yang di dalamnya berisi indeks peta, data
referensi, pemilik pekerjaan, pelaksana pekerjaan, proyeksi, spheroid, skala, unit
kedalaman dalam meter, kedudukan relatif chart datum terhadap MSL, posisi BM,
nomor lembar peta, judul atau lokasi, dan waktu pelaksanaan.
Data digital disajikan dengan mengikuti ketentuan butir 8.3. dalam format vektor.
Laporan pelaksanaan pengukuran lain meliputi pengukuran titik kontrol, pengamatan pasang
surut, pengukuran garis pantai dan pengamatan tambahan yang dilakukan. Laporan ini
harus memberikan deskripsi yang jelas, lengkap dan rinci tentang bagaimana tiap-tiap
proses pengukuran dan pengamatan dilaksanakan, hasil yang dicapai, kendala yang
ditemui.
Laporan ini berguna sebagai penunjang dalam kontrol kualitas dan pengolahan data survei.
16 dari 21
SNI 7646:2010
Lampiran A
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(Informatif)
Contoh formulir log-book pemeruman
17 dari 21
SNI 7646:2010
Lampiran B
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(informatif)
Contoh formulir deskripsi stasiun pasang surut
Lokasi Biak
Nomor Stasiun 015
Zona waktu WIT
Posisi 01 11' 00'' S 136 5' 00'' BT
Instalasi
Tanggal Pemasangan 15-Apr-91
Tipe Punch Fischer and Porter
Unit
Ketinggian palem 300 meter
Operator
OPERATOR 1 Demianus Morin
2
Institusi LANAL BIAK
Alamat Biak
Tinggi air
BM
HW
Zo
LW
Chart Datum
Nol Palem
18 dari 21
SNI 7646:2010
Lampiran C
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(normatif)
Contoh format data pasut
Baris pertama
kolom
1–3 kode sta
16-42 posisi
44-54 time zone
58-66 referensi
68-76 bulan
77 unit
81 jumlah hari dalam bulan pengamatan
19 dari 21
SNI 7646:2010
Lampiran D
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(informatif)
Contoh format tabulasi data penentuan sarana bantu navigasi pelayaran
Jarak
Jenis Tinggi
No DSI Lokasi Posisi karakter tampak
SBNP (meter)
(NM)
06o 05’ 40.0 S
1 1675 T priok mensu 45 8
105o 53’ 77.0 E
dst
20 dari 21
SNI 7646:2010
Bibliografi
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Australian Navy Hydrographic Service, ????, Hydrographic Transfer Format version 20.2
Technical Specification Royal Australian Navy Hydrographic Service.
Canadian Hydrographic Service Fisheries and Oceans, 1998, Standard for Hydrographic
Survey 2nd edition, Canada.
DISHIDROS TNI-AL, 1995 edisi kelima, Simbol-Simbol dan Singkatan-Singkatan Peta Laut,
Republik Indonesia.
Ingham, A.E. 1975, Hydrographic Survey in Sea Surveying, John Wiley and Sons Ltd.,
London.
Land Information New Zealand (LINZ), 2001, Hydrographic Survey Digital Data Formats, TH
Standard 33, National Topographic / Hydrgraphic Authority.
LINZ, 2001, Standard for Hydrographic Surveys (HYSPEC) v3, TH Standard 31.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), National Ocean Service, 1997,
Nautical Charts User’s Manual, Washington DC.
U.S. Department of Commerce, 2003, National Ocean Services (NOS) Hydrographic Surveis
Specifications and Deliverables.
21 dari 21
E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 1, No. 2, Hal. 60-71, Desember 2009
ABSTRACT
When wind-wave generated on deep water propagates into shallow water they will be
transformed into several processes such as refraction, shoaling, reflection, diffraction,
and finally collapsing. This research has objective to analyze the pattern of wave
transformation which propagate into Bau-Bau coastal waters by using RCPWave Model
as a numerical model solution to predict wave condition within the surf zone. The
model showed that the wave transformation at Bau-Bau Coastal waters was influenced
by coastal morphology and characteristic that was more open to the west (to the open
sea) than to the east coast (bordered by Buton Strait). Wave transformation occurred
from both sides, either from west or east side. When wave were broken at the western
coast the wave high from west and east were 1.9 m and 0.5 respectively. At the eastern
coast were 1.0 m and 0.7 m. The highest wave high occurred at head land or peninsula.
ABSTRAK
Gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang merambat dari perairan dalam menuju
perairan dangkal (pantai) mengalami transformasi (perubahan) dari sifat dan parameter
gelombang seperti proses refraksi, shoaling, refleksi, difraksi sampai terjadi pecah.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pola transformasi gelombang yang
merambat ke pantai Bau-Bau dengan menggunakan model RCPWave sebagai solusi
numerik yang dapat memperkirakan kondisi gelombang dalam surf zone. Berdasarkan
model RCPWave, pola transformasi gelombang (perubahan karakteristik dan sifat-sifat
gelombang) oleh proses refraksi, shoaling dan difraksi sampai terjadinya gelombang
pecah disebabkan bentuk dan karakteristik pantai Bau-Bau yakni terdiri dari pantai yang
menghadap arah barat (pantai barat) yang lebih terbuka (laut bebas) dan pantai yang
menghadap arah utara (pantai timur) yang semi terbuka (Teluk dan Selat Buton).
Transformasi gelombang dari arah barat dan timur laut dapat terbentuk pada kedua arah
pantai, dimana tinggi gelombang pecah pada pantai barat mencapai 1,9 m dan 0,5 m,
sedangkan pada pantai timur mencapai 1,0 m dan 0,7 m. Tinggi gelombang pecah yang
besar terjadi pada pantai/garis kontur yang menjorok keluar (daerah tanjung dan
submarine ridge).
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 61
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara
5°26'
5°26'
P. M U N A
122° 123° P. MAKASSAR
9399000
9399000
Tg. Labuea
4°
4°
P. SULAWESI
5m
10 m
5m
P. M U N A
20 m
10 m
5°
5°
20 m
N
P. B U T O N O
T
P. K ABAENA U
B
T
A
LA UT FLOR ES L
E
122° 123° S
5°27'
5°27'
c
Î
Î (X
c Z
$
Î
Î
Su 20 m 10 m
ng
Î ai
B
5m
au
-B
au N
BAU-BAU
9396000 5°28'
5°28' 9396000
Legenda
10 m Î Pelabuhan
c Stasiun Gelombang
z
x Stasiun Pasut
20 m 5m Z
$ Posisi Banch Mark
P. B U T O N Jalur Pemeruman
Î Garis Pantai
Kontur Kedalaman Interval 5m
Sungai
Jalan Lain
Jalan Kota
Batas Studi
62 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.
y - AXIS
Darat
x - AXIS
d1
d2
Kontur Batimetri d3
d4
Laut
Positif θC
Negatif θC
θo θo
Negatif Positif d1< d2< d3< d4
θ θ
Gambar 2. Definisi sudut dalam model. (Keterangan: θo = sudut gelombang laut dalam;
θ = sudut gelombang lokal; θc = sudut kontur daerah off-shore; di = kontur kedalaman
ke-i, i = 1,2,3,... dst).
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 63
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara
UA Feff Hs Ts t Co Lo Jum
o F*
(m/det) (m) (m) (det) (jam) (m/det) (m) (%)
1.383– 17,9 –
Barat 7,2–12,6 22.328 0,6–1,0 3,4–4,1 3,0–3,7 5,3–6,4 31,2
4.283 26,0
8,6– 1.515– 19,6 –
Barat Daya 11,8
21.409
2.850
0,6–0,9 3,6–3,9 3,0–3,4 5,5–6,2
24,2
15,2
Timur 3,7–11,3 4.965 379–3.609 0,1–0,4 1,6–3,0 1,2–1,7 2,6–3,7 4,2 – 8,9 46,4
Timur Laut 4,2–9,3 5.859 620–3.188 0,2–0,4 1,8–3,0 1,3–1,8 2,8–3,7 5,2 – 8,7 7,2
64 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.
yang berada pada elevasi 100 – 1000 m disajikan pada Gambar 7 – Gambar 10.
dan daerah dimana tegangan konstan Berdasarkan dari gambar tersebut
yang berada pada elevasi 10 – 100 m. terlihat adanya pola transformasi
gelombang seperti refraksi, shoaling dan
3.2. Pola Transformasi Gelombang difraksi. Pola refraksi terjadi karena
Berdasarkan Model RCPWave adanya perubahan kedalaman, pada laut
dalam gelombang tidak mengalami
Gelombang yang merambat dari perubahan (lihat bentuk panah pada
laut dalam (deep water) menuju pantai Gambar 3 – 6 , yakni merupakan garis
mengalami perubahan bentuk yang ortogonal gelombang), akan tetapi di laut
disebabkan oleh proses transformasi transisi dan dangkal, kontur kedalaman
seperti refraksi dan shoaling karena sangat mempengaruhi karakteristik
pengaruh perubahan kedalaman laut, gelombang.
difraksi, dan refleksi. Berkurangnya Pola transformasi dari setiap arah
kedalaman laut menyebabkan semakin gelombang berbeda, dimana untuk arah
berkurangnya panjang dan kecepatan datang gelombang dari pantai barat yakni
gelombang serta bertambahnya tinggi arah barat hampir tegak lurus kontur
gelombang. Pada saat kelancipan kedalaman pada pantai barat dan sejajar
gelombang (steepnes) mencapai batas pada pantai timur dan dari arah barat
maksimum, gelombang akan pecah daya sejajar pantai barat. Sedangkan arah
dengan membentuk sudut tertentu datang gelombang dari pantai timur yakni
terhadap garis pantai. dari arah timur sejajar kontur kedalaman
Berdasarkan bentuk pantai dan arah pada pantai barat dan arah timur laut
angin yang dapat membangkitkan tegak lurus pada pantai timur dan sejajar
gelombang pada lokasi penelitian, maka pantai barat.
pola transformasi disesuaikan dengan Akibat perbedaan tersebut
kondisi tersebut, yakni dari arah barat, menyebabkan gelombang tidak semua
barat daya, timur dan timur laut. Pola akan sampai di pantai, tergantung besar
transformasi ini dihasilkan dari model dan arah datang gelombang. Dimana
program RCPWave, kemudian untuk arah gelombang dari barat dan
divisualisasikan melalui gambar (peta), timur laut dapat terbentuk pada semua
sebagaimana disajikan berturut-turut pantai, sedangkan dari arah timur hanya
untuk setiap arah pada Gambar 3 – terbentuk pada pantai timur dan sebagian
Gambar 6, Dalam gambar tersebut juga kecil pada pantai barat, demikian halnya
disajikan bentuk kontur puncak juga dari arah barat daya hanya terbentuk
gelombangnya. Sedangkan untuk gambar pada pantai barat.
3 Dimensi kontur gelombangnya
Cgo
o UA Hs (m) Ts (m) T Co (m/s) Lo (m)
Tangg Feff (m/det)
(m/d F* (Ja
al Pre La (m) La Pre L Pre La Pre La Pre La
et) Pred m)
d p p d ap d p d p d p
29/3/0 27 26 223 0,3 3, 15, 16, 2,
5,66 6841 0,43 3,1 4,0 4,9 5,0 2,4
5 0 2 28 6 2 3 0 5
30/3/0 29 28 223 1190 0,3 3, 12, 14, 2,
4,29 0,33 2,9 4,4 4,5 4,7 2,2
5 0 0 28 3 0 0 7 0 3
31/3/0 585 0,2 2, 1,
30 35 6,67 1290 0,26 2,1 1,5 3,3 3,5 7,0 7,9 1,7
5 9 2 4 8
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 65
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara
9397800
9397800
N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S
9396900
9396900
Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N
Legenda
Î
9396000
9396000
Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 1 meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,4 1,0 - 1,2
Î 0,4 - 0,6 1,2 - 1,4
0,6 - 0,8 > 1,4
9395100
9395100
0,8 -1,0
Gambar 3. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah barat.
453600 454500 455400 456300 457200 458100
9397800
9397800
N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S
9396900
9396900
Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N
Legenda
Î
9396000
9396000
Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 1 meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,2 0,8 - 1,0
Î 0,2 - 0,4 1,0 - 1,2
0,4 - 0,6 > 1,2
9395100
9395100
0,6 - 0,8
Gambar 4. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah barat daya.
66 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.
9397800
9397800
N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S
9396900
9396900
Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N
Legenda
Î
9396000
9396000
Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 0,4 meter
Tinggi Gelombang (m)
0 0,3 - 0,4
Î 0 - 0,1 0,4 - 0,5
0,1 - 0,2 > 0,5
9395100
9395100
0,2- 0,3
Gambar 5. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah timur.
453600 454500 455400 456300 457200 458100
9397800
9397800
N
O
T
U
B Î
T
L
A Î
E
S
9396900
9396900
Î
Î
Su
ng
ai
Î Ba
u-
Ba
u N
Legenda
Î
9396000
9396000
Pelabuhan
Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Sungai
Garis Pantai
Jalan Lain
Jalan Kota
Darat
Vektor Gelombang
Tinggi Gelombang 0,4 meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,2 0,5 - 0,6
Î 0,2 - 0,3 > 0,6
0,3 - 0,4
9395100
9395100
0,4 - 0,5
Gambar 6. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah timur laut.
Tinggi Gelombang 0,4 meter
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 67
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara
68 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.
Pantai yang menghadap arah utara (bagian kanan profil 4) dapat meredam
(pantai timur), garis puncak gelombang gelombang datang, sehingga tinggi
dari arah barat daya semakin sejajar gelombang berkurang pada jarak yang
dengan garis kontur kedalaman dan semakin jauh dari jeti. Sedangkan dari
tinggi gelombangnya juga semakin arah barat, gelombangnya masih
kecil akibat pola refraksi besar dan terbentuk karena pola perubahan
cepat rambat gelombang menurun, refraksinya lebih kecil dibandingkan
sehingga gelombang tidak dapat dari arah barat daya, sebagai akibat
mencapai pantai. Selain itu adanya jeti perbedaan arah dan kontur kedalaman.
Gambar 7. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang maksimum dari arah barat.
Gambar 8. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang maksimum arah barat daya.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 69
Pola Tranformasi Gelombang Dengan Menggunakan Model Rcpwave
Pada Pantai Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara
Gambar 10. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang dari arah timur laut.
70 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.2, Desember 2009
Baharuddin et al.
arah barat (pantai barat) yang lebih Latief, H. 1994. Gelombang Laut.
terbuka (laut bebas) dan pantai yang Bandung: Institut Teknologi
menghadap arah utara (pantai timur) Bandung.
yang semi terbuka (Teluk dan Selat Ningsih, N. S. 2000. Gelombang Laut.
Buton). Transformasi gelombang dari Bandung: Institut Teknologi
arah barat dan timur laut dapat terbentuk Bandung.
pada kedua arah pantai, dimana tinggi Subandono, D. dan Budiman. 2005.
gelombang pecah pada pantai barat bisa Tsunami. Bogor: Penerbit Buku
mencapai 1,9 m dan 0,5 m, sedangkan Ilmiah Populer.
pada pantai timur mencapai 1,0 m dan Sverdrup, H.V. and W.H. Munk, 1946.
0,7 m. Akan tetapi dari arah barat daya Empirical and theoritical relations
hanya terjadi pada pantai barat dengan between wind, sea and swell,
tinggi gelombang pecah 1,8 m, demikian Trans. Amer. Geophys. Union,
halnya juga dari arah timur hanya terjadi 27:823-827
pada pantai timur dengan tinggi Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai.
gelombang pecah 0,7 m, sedangkan pada Yogyakarta: Beta Offset.
pantai barat sangat kecil (< 0,3 m).
DAFTAR PUSTAKA
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt12 71
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 341 - 349
Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose
Abstrak
Gelombang merupakan salah satu aspek oseanografi yang penting dalam merencanakan suatu
bangunan pantai, penentuan tata letak (layout) pelabuhan, alur pelayaran, dan pengelolaan
lingkungan laut. Gelombang menuju pantai akan mengalami transformasiyangberperanterhadap
perubahantinggidanarahgelombangsertadistribusienergigelombang. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui transformasi gelombang berupa efek pendangkalan, refraksi,
dandifraksi di Perairan Kota Tegal. Penelitian ini dilaksanakan pada tangga l6 – 9Oktober 2013
di Kota Tegal. Data yang digunakan adalah data tinggi, periode gelombang, angin dan data
batimetri.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Peramalan gelombang
tiap musim diperoleh dari data angin dengan menggunakan metode SMB, sedangkan model
transformasi gelombang menggunakan software CMS-Wave.Gelombang di Perairan Kota Tegal
memiliki tipe gelombang laut transisi dengan tinggi gelombang signifikan 0,19meter dan periode
gelombang signifikan1,71detik. Gelombang menjalar dari laut dalam menuju daratan mengalami
transformasi. Refraksi terjadi pada seluruh skenario musim karena pengaruh perubahan
kedalaman laut, gelombang dari laut dalam mengalami pembelokan ketika memasuki perairan
dangkal dan berubah tegak lurus dengan kontur dasar laut. Difraksi terjadi ketika gelombang
bertemu rintangan berupa jetty dan dibelokkan disekitar ujung rintangan. Efek pendangkalan
terlihat pada skenario musim timur ketika arah datang gelombang berasal dari timur laut.
Gelombang bertambah tinggi kemudian menurun lagi ketika kedalaman bertambah.
Abstract
Pendahuluan
Gelombang merupakan salah satu aspek oseanografi yang penting dalam merencanakan
suatu bangunan pantai, penentuan tata letak (layout) pelabuhan, alur pelayaran, dan pengelolaan
lingkungan laut. Menurut Triatmodjo (2008) gelombang dapat menimbulkan energi untuk
membentuk pantai, menimbulkan arus, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada
bangunan pantai. Gelombang yang bergerak mendekati pantai, semakin dangkal suatu perairan
maka gelombang akan semakin bergesekan dengan dasar laut, hal ini menyebabkan pecahnya
gelombang. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa pengadukan yang kemudian membawa
material dari dasar pantai. Pengaruh aspek fisika perairan khususnya gelombang terhadap
wilayah pesisir merupakan konsekuensi alami. Aktifitas gelombang terhadap wilayah pesisir
menyebabkan reaksi terhadap wilayah pesisir tersebut. Reaksi tersebut berupa terjadinya erosi
pantai dan kerusakan bangunan pantai (Pratikto, 1997).
Perubahan bentuk dan arah penjalaran gelombang yang menjalar dari perairan laut dalam
menuju pantai disebut transformasi gelombang. Proses transformasi gelombang berupa proses
refraksi, refleksi, difraksi, shoaling, dan gelombang pecah. Proses – proses tersebut mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi
gelombang di sepanjang pantai (Triatmodjo, 1999). Pemahaman mengenai transformasi
gelombang sangat penting dalam memahami proses dinamis pantai. Sudut datang, durasi dan
energi gelombang sangat mempengaruhi laju transport sedimen dalam arah tegak lurus maupun
sepanjang pantai. Sehingga informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk memperkirakan
besar dan arah abrasi dan sedimentasi yang terjadi di suatu pantai.
Kota Tegal secara geografik terletak pada yang terletak 109o08’ sampai 109o10’ Bujur
Timur dan 6o50’ sampaidengan 6o53’ Lintang Selatan. Kota Tegal merupakan kota pesisir yang
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Perkembangan pembangunan Kota Tegal terutama di
wilayah pesisirnya sangat pesat. Kota ini memiliki pelabuhan niaga dan pelabuhan perikanan.
Sektor pariwisata berupa pantai juga memiliki perkembangan yang pesat dengan meningkatnya
pengunjung di setiap tahunnya. Perkembangan yang cukup pesat ini menjadikan Kota Tegal
memerlukan perhatian lebih dalam pengelolaan dan perlindungan wilayah pantai. Pembangunan
tersebut menyebabkan perubahan kondisi parameter fisika di perairan Kota Tegal. Gelombang
merupakan salah satu parameter fisika perairan yang penting untuk dikaji karena karakteristik
gelombang khususnya proses dinamika transformasi gelombang pada dapatdijadikan acuan
dalam menggambarkan kondisi pantai yang erat kaitannya dengan keseimbangan pantai.
gelombang dilakukan pada satu titik, yaitu terletak pada koordinat -1090 8’ 10,287”BTdan 60 50’
37,521” LS dengan kedalaman 2 meter.
Pengukuran parameter gelombang dilakukan dengan teknik langsung (visual observation)
menggunakan palem gelombang yaitu berupa papan berskala. Pengukuran dilakukan dengan
cara mengamati batas elevasi puncak dan batas elevasi yang melewati skala pada palem
gelombang. Jarak antara batas puncak dan batas bawah dicatat menggunakan stopwatch sebagai
fungsi waktu antar puncak gelombang pertama yang melewati palem gelombang sampai puncak
berikutnya, dan arah gelombang didapatkan menggunakan kompas tembak. (World
Meteorological Organization, 1998).
Analisis parameter gelombang laut dilakukan dengan konversi data angin menjadi data
gelombang menggunakan metode Sverdrup Munk Bretschneider(SMB)(CERC,1984).
Kecepatan angin yang digunakan adalah kecepatan angin maksimum yang dapat
membangkitkan gelombang, yakni kecepatan ≥10 knot. Data angin ini terlebih dahulu
dikoreksi/ditransformasi menjadi data angin yang dapat membangkitkan gelombang. Analisis
yang digunakan mengikuti petunjuk dari Coastal and Hydraulic Laboratory (CHL) tahun
2002.
Analisis penjalaran dan transformasi gelombang diselesaikan dengan menggunakan
pendekatan model CMS-Wave 2D pada softwareSurface-water Modelling System (SMS) versi
10.0. Inputan data pada model ini merupakan hasil peramalan gelombang dari konversi data
angin, berupa data tinggi gelombang signifikan, periode puncak, dan arah gelombang dari laut
dalam (Hs, Tp, dan θo). Setelah didapatkan data hasil dari peramalan dan model kemudian
dilakukan verifikasi.
Verifikasi dilakukan menjadi dua tahap yaitu verifikasi peramalan dan verifikasi hasil
model. Triatmodjo (2002) menjelaskan bahwa kesalahan antara nilai perkiraan dan nilai eksak
dapat dinyatakan dalam bentuk kesalahan relatif menggunakan persamaan:
| |
100 %
| |
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1,, Tahun 2014, Halama
Halaman 344
Gambar 2.
2 Tinggi dan Periode Gelombang Representatif
a) b) c) d)
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 345
Gambar 3. Mawar angin pada a) Musim Barat, b) Musim Peralihan I, c) Musim Timur, dan d)
Peralihan II.
Hasil konversi data angin menjadi data gelombang tiap musim dijabarkan dalam tabel
berikut :
Verifikasi hasil model dilakukan dengan data lapangan yang diukur pada tanggal 6 – 9
Oktober 2013. Model dijalankan dengan masukan nilai tinggi gelombang signifikan (Hs) dan
periode gelombang signifikan (Ts) hasil peramalan gelombang tanggal 6 – 9 Oktober 2013.
Nilai tinggi gelombang hasil model yang diambil untuk verifikasi merupakan nilai tinggi
gelombang di titik yang sama dengan titik pengambilan data lapangan. Nilai Hs lapangan adalah
0.19 meter sedangkan nilai Hs model adalah 0.2237 meter. Nilai relatif error yang didapatkan
adalah 17.74 %.
c. Pemodelan Gelombang
Model gelombang dijalankan dengan skenario tiap musim dengan input tinggi, periode
dan arah gelombang dari masing – masing musim. Gambaran pola transformasi gelombang
ditunjukkan dalam vektor sebagai arah gelombang dan perbedaan warna sebagai perubahan
tinggi gelombang.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 346
Berdasarkan pemodelan gelombang didapatkan bahwa pada musim Barat (Gambar 4),
arah dominan gelombang berasal dari arah Barat Laut, musim Peralihan I dan Peralihan II
(Gambar 5 dan 7) arah dominandatangnya gelombang berasal dari arah Utara,sedangkan pada
musim Timur (Gambar 6) arah dominan gelombang berasal dari arah Timur Laut. Keseluruhan
musim menunjukkan bahwa gelombang menjalar dari perairan dalam menuju dangkal.
Berdasarkan hasil pemodelan dapat diketahui bahwa di lokasi penelitian pada setiap
musimnya, gelombang mengalami proses transformasi gelombang yaitu Refraksi, Difraksi, dan
efek pendangkalan (shoaling).
Refraksigelombang terjadi pada seluruh musim, hanya sudut datang sinar gelombang saja
yang berbeda. Fenomena refraksi ini dapat dilihat pada lokasi R, dimana vektor gelombang
berbelok arah dan berusaha tegak lurus dengan garis pantai ketika menuju pantai. Dalam
hal ini garis vektor tersebut menunjukkan sinar gelombang (ray). Hal ini didukung oleh
penyataan dari Ningsih (2002) yang menjelaskan bahwa pada saat terjadi refraksi
gelombang, sinar gelombang arahnya tegak lurus muka gelombang. Karena muka gelombang
cenderung sejajar dengan kontur kedalaman maka sinar gelombang cenderung tegak lurus
terhadap kontur kedalaman. Proses Refraksi disebabkan adanya pengaruh kedalaman, dimana di
daerah pantai relatif lebih dangkal dibandingkan dengan di perairan dalam.
Refraksi Konvergensi dan Refraksi Divergensi ditemukan pada musim Peralihan I dan
Peralihan II. Proses Refraksi Konvergensi (penguncupan) ditemukan pada daerah tanjung,
yang ditunjukkan olehlokasi Rk. Terjadi pemusatan energi pada daerah Refraksi Konvergensi
tersebut yang dapat mengakibatkan kerusakan pada saat terjadi gelombang besar akibat adanya
pemusatan energi gelombang.Refraksi Divergensi (penyebaran) ditemukan pada musim
Peralihan I dan II. Daerah yang terletak diantara dua jetty mengalami sedimentasi di sekitarnya
dan membentuk daerah seperti teluk. Maka terjadi refraksi divergensi yang ditandai oleh lokasi
Rd.
Proses difraksi juga terjadi pada seluruh musim. Difraksi yang terjadi di musim ini
ditunjukkan oleh lokasi D pada peta. Menurut Triatmodjo (1999), difraksi terjadi apabila
gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau, maka
gelombang tersebut akan membelok disekitar ujung rintangan dan masuk ke daerah yang
terlindung di belakangnya. Gelombang yang datang iniakan menabrak suatu bangunan berupa
jettyyang melindungi Pelabuhan. Difraksi terjadi dalam arah tegak lurus penjalaran menuju
daerah yang terlindung yang menyebabkan perbedaan energi yang tajam di sepanjang puncak
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 348
gelombang. Hal ini dapat dilihat pada gambar dimana bagian belakang dari sisi jetty yang
berwarna merah menandakan tinggi gelombang yang kecil, akan tetapi dapat dilihat dari arah
vektor yang berusaha mengisi kekosongan di belakangnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Triatmodjo (1999), difraksi terjadi apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan
seperti pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar
ujung rintangan dan masuk ke daerah yang terlindung di belakangnya.
Efek dari shoaling dapat terlihat di lokasi S pada musim Timur. Shoaling adalah proses
berkurangnya tinggi akibat perubahan kedalaman. Kecepatan tinggi gelombang juga berkurang
seiring dengan pengurangan kedalaman dasar laut, sehingga menyebabkan puncak gelombang
yang ada di perairan dangkal bergerak lebih lambat dibandingkan puncak gelombang yang
berada di perairan yang lebih dalam.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil peramalan arah dan kecepatan angin selama 5 tahun (2009 – 2013),
maka pada musim Barat gelombang menjalar dari arah Barat Laut menuju Tenggara dengan
tinggi gelombang antara 0.34-1.34 meter, musim Timur tinggi gelombang antara 0.11-0.87
meter dan arah penjalarannya berasal dari Timur Laut, sedangkan musim Peralihan I dan
Peralihan II gelombang menjalar dari arah Utara menuju Selatan dengan tinggi gelombang
masing-masing adalah 0.34-0.98 meter dan 0.1-0.9 meter.
Proses refraksi gelombang terlihat pada seluruh skenario musim, dimana gelombang
menjalar dari laut dalam menuju pantai dan arah gelombang semakin tegak lurus dengan pantai.
Refraksi konvergensi terjadi pada morfologi pantai yang berbentuk tanjung yaitu pada ujung
jetty. Refraksi divergensi terjadi pada daerah diantara dua jetty yang membentuk teluk. Refraksi
konvergensi dan refraksi divergensi lebih terlihat pada musim Peralihan I dan Peralihan II saat
gelombang datang dari arah utara.
Difraksi terjadi pada seluruh musim, gelombang yang menemui rintangan berupa
bangunan pantai dibelokkan di sekitar ujung rintangan tersebut. Perbedaan proses difraksi pada
setiap musim hanya pada sudut datang gelombang yang menabrak bangunan pantai
tersebut.Efek Pendangkalan atau shoaling terlihat pada skenario musim timur. Gelombang
datang dari arah timur laut. Terlihat gelombang bertambah tinggi kemudian menurun ketika
kontur kedalaman bertambah.
Daftar Pustaka
Coastal and Hydraulic Laboratory (CHL). 2008. Coastal Engineering Manual. U.S. Army
Corps of Engineers, Washington.
Coastal Engineering Research Center (CERC). 1984. Shore Protection Manual Volume I. US
Army Corps of Engineer Washington D.C., Chapter 3: 1-53.
Ningsih, N.S. 2002. Diktat KuliahGelombang Laut. ITB, Bandung.
Pratikto, W.A., Haryo Dwi Armono, Suntoyo. 1997. Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut.
BPFE, Yogyakarta.
Sudjana, M.M. 1992. Metode Statistika. Tarsito, Bandung.
Sugianto,D.N.2010.Model Distribusi Data
KecepatanAngindanPemanfaatannyadalamPeramalanGelombang di PerairanLautPacitan,
JawaTimur”.JurnalIlmuKelautan 15 (3) : 143-152.
Triatmodjo, B. 1999.TeknikPantai. Beta Offset, Yogyakarta.
____________2009. Metode Numerik. Beta Offset, Yogyakarta.
World Meteorological Organization (WMO). 1998. Guide to Wave Analysis AndForecasting.
World Meteorological Organization, Jenewa.
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 349
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
G1 01
ABSTRAK
Perairan Balongan merupakan salah satu daerah di Indramayu yang strategis. Pemanfaatan wilayah
Balongan membutuhkan informasi akurat mengenai karakteristik, penjalaran gelombang, dan
spektrum gelombang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisitik gelombang, pola
transformasi gelombang, dan spektrum gelombang berarah di Perairan Balongan, Indramayu, Jawa
Barat. Berdasarkan Hasil Pemodelan diketahui bahwa energi gelombang terbesar terjadi pada Musim
Barat yaitu sebesar 0,36 m2/Hz dengan arah distribusi energi dari Timur Laut. Pada Musim Timur
penjalaran energi gelombang berasal dari Timur dengan energi maksimum 0,25 m2/Hz. Gelombang
pada Musim Peralihan I dan II memiliki arah penjalaran energi gelombang dari Timur. Berdasarkan
hasil pemodelan gelombang diketahui bahwa untuk setiap musimnya di Perairan Balongan ketika
gelombang menjalar dari perairan dalam ke perairan dangkal mengalami transformasi gelombang.
Pada Musim Barat nilai koefisien refraksi yaitu 0,40-0,58 dan koefisien shoaling 0,91-1,1 sedangkan
koefisien difraksi pada kolam pelabuhan yaitu 0,74-0,64 dan pada jetty yaitu 0,32-0,54. Pada Musim
Peralihan I nilai koefisien refraksi yaitu 0,99-1,00 dan koefisien shoaling 0,92-1,1 sedangkan koefisien
difraksi pada kolam pelabuhan yaitu 0,64-0,80 dan pada jetty yaitu 0,63-1.1. Nilai koefisien refraksi
pada Musim Timur yaitu 0,99-1,1 dan koefisien shoaling 0,95-1,32 sedangkan koefisien difraksi pada
kolam pelabuhan yaitu 0,64-0,72 dan pada jetty yaitu 0,63-1.1. Pada Musim Peralihan II nilai
koefisien refraksi yaitu 0,98-1,00 dan koefisien shoaling 0,91-1,1 sedangkan koefisien difraksi pada
kolam pelabuhan yaitu 0,79-0,87 dan pada jetty yaitu 0,63-1,10.
PENDAHULUAN
Pesisir Indramayu merupakan salah satu daerah pantai utara Jawa Barat yang strategis
dan berkembang sebagai daerah penyangga kawasan industri (Hanafi, 2010). Kawasan pantai
yang berbatasan dengan Laut Jawa ini memiliki kegiatan ekonomi yang cukup tinggi dengan
panorama yang indah dan menarik. Balongan merupakan salah satu perairan yang terletak di
Kabupaten Indramayu yang terkena dampak abrasi terparah. Salah satu faktor penyebab
terjadinya abrasi di Indramayu ialah gelombang (Suara Karya, 1990 dalam Hadikusumah,
2009).
Menurut Haryo (1997), pengaruh dari gaya gelombang secara eksak perlu diketahui
untuk menentukan detail struktur bangunan pantai sebagai pelindung pantai dari dampak
erosi. Analisis karakteristik gelombang dan transformasi gelombang juga diperlukan sebagai
salah satu faktor penyebab terjadinya erosi pantai. Analisis spektrum gelombang yang
702
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
meliputi tinggi signifikan, periode signifikan, dan penjalaran gelombang merupakan salah
satu cara untuk mengetahui kondisi gelombang di suatu perairan.
Hadi et al. (2005) menyatakan bahwa dalam pemanfaatan pesisir laut maka informasi
akurat mengenai karakteristik gelombang dan spektrum gelombang sangat dibutuhkan.
Informasi tersebut dapat diperoleh dengan pengukuran langsung ke lapangan tetapi karena
keterbatasan biaya yang cukup besar jika dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang
dan memerlukan penguasaan teknologi instrumen gelombang yang tidak mudah. Cara lain
untuk memperoleh informasi tersebut yang umumnya digunakan ialah melalui simulasi model
numerik. Melihat permasalahan tersebut maka penelitian tentang analisis spektrum dan
transformasi gelombang di Perairan Balongan sangat diperlukan. Oleh karena itu diperlukan
penelitian ini yang bertujuan mengetahui karakterisitik gelombang, pola transformasi
gelombang, dan spektrum gelombang berarah di Perairan Balongan, Indramayu, Jawa Barat.
ini diperlukan untuk mengetahui arah dominan angin dan sebagai data inputan pemodelan.
Gelombang Lapangan
Hasil pengukuran gelombang lapangan yang dilakukan pada tanggal 12 – 14
November 2014 diperoleh nilai tinggi gelombang representatif ( ) sebesar 0,17 m, nilai
tinggi gelombang maksimum ( ) yaitu 0,22 m dan tinggi gelombang minimum (Hmin).
Sedangkan untuk hasil periode gelombang diperoleh nilai periode gelombang signifikan ( )
sebesar 2,93 det, periode gelombang maksimal ( ) 3,41 det dan periode minimum (Tmin)
1,93 det. Hasil secara lengkap tersaji pada Tabel 1.
0.1
0.05
0
706
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
2.5
T (det)
2
1.5
Data angin ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting)
diperoleh berupa data kecepatan dan arah angin selama 10 tahun (2005 – 2014). Data
kecepatan dan arah angin disajikan dalam bentuk diagram mawar angin. Berikut adalah
mawar angin hasil pengolahan data sekunder yang diperoleh setiap musim yang disajikan
pada Gambar 3.
707
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Gelombang ECMWF
Data gelombang ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting)
dianalisa untuk mengetahui karakteristik gelombang. Data gelombang laut ECMWF
(European Center for Medium range Weather Forecasting) tahun 2005-2014 berupa tinggi
maksimum, tinggi minimum, tinggi rata-rata serta periode maksimum, periode minimum
dapat dilihat pada Tabel 2.
708
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 2. Hasil Karakteristik Gelombang ECMWF (European Center for Medium range
Weather Forecasting)
Musim Tinggi Gelombang (m) Periode Gelombang (det)
H H H T T T
max min rata-rata max min rata-rata
Barat 1,76 0.08 0,55 6,00 2,25 3,99
Peralihan I 1,6 0,06 0,39 6,94 2,05 3,89
Timur 1,33 0,15 0,56 6,84 2,72 4,39
Peralihan II 1,17 0,09 0,42 6,05 2,2 4,13
Tinggi Gelombang pada Musim Barat dan Timur memiliki nilai yang paling besar. Hal
ini juga sesuai dengan data angin ECMWF (European Center for Medium range Weather
Forecasting) yang menunjukkan bahwa kecepatan angin terbesar terjadi paling banyak pada
Musim Barat dan Timur. Hal ini menunjukkan bahwa angin sangat berperan dalam
terbentuknya gelombang laut. Menurut Kramadibrata (2002) semakin besar kecepatan angin
maka semakin tinggi gelombang yang terbentuk.
Spektrum Gelombang
Pemodelan spektrum gelombang dilakukan pada empat kondisi. Data yang digunakan
sebagai data inputan ialah data hasil pemodelan arus, data angin dan data gelombang dari
ECMWF (European Center for Medium range Weather Forecasting). Data hasil pemodelan
menggunakan SMS meliputi tinggi gelombang, periode gelombang dan grafik spektrum
gelombang.
Hasil spektrum gelombang ditampilkan berupa grafik spektrum polar dan grafik satu
dimensi. Grafik-grafik yang ditampilkan menunjuk
- sesuai
dengan arah mata angin yang berputar searah jarum jam.
709
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Energi gelombang laut tertinggi bernilai 0,36 m2/Hz terjadi pada Musim Barat,
sedangkan pada Musim Timur, Peralihan I, dan Peralihan II energi gelombang maksimum
yang terjadi di setiap musimnya diketahui sebesar 0,25; 0,17 dan 0,15 m2/Hz. Tinggi
gelombang yang tertinggi terjadi pada Musim Barat yaitu sebesar 0,36 m. Berdasarkan hasil
tersebut diketahui bahwa tinggi gelombang dan energi gelombang laut saling keterkaitan,
yaitu semakin tinggi gelombang yang terbentuk maka energi yang dihasilkan juga semakin
besar. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wahyudi et al. (2005) yang menyatakan semakin
besar tinggi gelombang maka nilai energi gelombang akan semakin besar begitupun
sebaliknya.
710
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Perhitungan gelombang akibat refraksi, difrakasi dan shoaling ditampilkan pada Tabel 3 dan
4.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Barat
Ho To d α0 Sin α Α Kr Ks H
0.19 4.4 4.7 265 -0.996 236 0.396 0.913 0.069
0.18 4.8 3.7 263 -0.992 226 0.418 0.929 0.07
0.16 5 1.5 252 -0.951 203 0.579 1.072 0.099
Tabel 4. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Barat
HP T d β θ R r/L B B/L K’ HA
0.12 5 5 30 45 200 6.988 60 2.096 0.743 0.089
0.12 5 5 30 45 250 8.736 60 2.096 0.644 0.079
711
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 5. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Peralihan I
Ho To d α0 Α Kr Ks H
0.45 4.17 3.8 186 184.8 0.999 0.915 0.411
0.44 4.17 2.39 188 185.4 0.997 0.944 0.414
0.43 4.2 0.96 191 184.9 0.993 1.088 0.463
Tabel 6. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Peralihan I
HP T d β θ r r/L B B/L K’ HA
0.25 4 5 15 30 200 9.016 60 2.705 0.8 0.2
0.25 4 5 30 30 250 11.27 60 2.705 0.644 0.087
712
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 7. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Timur
Hs Ts d α0 α Kr Ks H
0.57 4.76 2.92 186.3 184.1 0.998 0.95 0.54
0.55 4.76 1.69 189.8 185.1 0.994 1.03 0.56
0.56 4.80 0.50 193.9 184.1 0.986 1.32 0.73
Tabel 8. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Timur
HP T d β θ R r/L B B/L K’ HA
0.4 4.5 5 30 15 200 7.608 60 2.28 0.718 0.287
0.4 4.5 5 30 30 250 9.510 60 2.28 0.643 0.257
713
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Tabel 9. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Refraksi pada Musim Peralihan II
Hs Ts d α0 α Kr Ks H
0.51 4.35 4.81 192.3 190.3 0.996 0.913 0.46
0.50 4.55 2.99 195.0 190.3 0.991 0.939 0.47
0.49 4.50 1.09 198.6 188.1 0.979 1.100 0.53
Tabel 10. Hasil Perhitungan Tinggi Gelombang Akibat Difraksi di Kolam Pelabuhan pada
Musim Peralihan II
HP T d β θ r r/L B B/L K’ HA
0.38 4.5 5 30 45 200 7.608 60 2.282 0.871 0.33
0.38 4.5 5 30 45 250 9.510 60 2.282 0.79 0.30
714
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
rose yaitu dari Barat Laut. Selain itu arah penjalaran Energi gelombang bergerak dari arah
Timur Laut hal ini disebabkan adanya refraksi gelombang dimana gelombang datang yang
awalnya berasal dari Barat Laut dibelokkan menjadi Timur Laut dimana gelombang
membelok dan menjadi tegak lurus pantai. Hal ini sesuai dengan Triatmodjo (2012)
penjalaran arah gelombang akan membelok dan berusaha untuk menuju tegak lurus dengan
garis kontur dasar laut diakibatkan perubahan kedalaman. Gelombang pada Musim Timur,
Musim Peralihan I dan II menunjukkan penjalaran gelombang berasal timur sesuai dengan
arah gelombang wave rose ECMWF. Hasil penjalaran gelombang tidak sama dengan arah
dominan angin yang umumnya dari tenggara tetapi selain dari tenggara, arah angin yang juga
memiliki presentase kejadian yang cukup besar ialah dari timur untuk setiap musimnya
sehingga hal ini diduga masih memungkinkan karena selain pengaruh angin ada pengaruh
arus yang juga diperhitungkan. Selain itu hal ini juga dimungkinkan gelombang mengalami
pembelokan dari Tenggara dan ketika mendekati pantai akan berusaha tegak lurus pantai
sehingga arahnya menjadi Timur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Triatmodjo (2012), yaitu
salah satu parameter pembentuk gelombang ialah arah angin. Sehingga arah penjalaran tidak
berbeda jauh dengan arah angin
Kriteria kecocokan antara data pengukuran lapangan dan hasil model berdasarkan
perhitungan nilai CF (Cost Function) untuk tinggi gelombang diketahui sebesar 0.302,
sedangkan untuk periode gelombang memiliki CF sebesar 0.833. Data yang dibandingkan
merupakan data pada Musim Peralihan II dikarenakan pengukuran lapangan dilaksanakan
pada Bulan November yang termasuk pada Musim Peralihan II.
Tabel 16. Validasi Tinggi dan Periode Signifikan Gelombang Data Lapangan dengan Hasil
Model
Gelombang Hs (m) Ts (det)
Data Lapangan 0.17 2.93
Hasil Model 0.51 4.54
CF 0.302 0.833
Berdasarkan nilai CF maka kriteria kecocokan antara data lapangan dengan hasil
model dikategorikan sangat baik. Hal ini karena nilai CF (Cost Function) < 1.
715
Juni 2016
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Carter, D. J. T. 1982. Estimation of Wave Spectra from Wave Height and Period. Institute of
Oceanographic sciences.
Hadi, A. R. 1997. Mikrozoning Untuk Pengkajian Resiko dan Mitigasi Bencana. Jakarta:
BPPT.
Hadikusumah. 2009. Karakteristik Gelombang Dan Arus Di Eretan Indramayu. Makara,
Sains., 13(2): 163-172.
Haryo, D. A. 1997. Metode Karakteristik untuk Pemodelan Gelombang dan Arus di Selat
Madura. Lembaga Penelitian ITS.
Kramadibrata, S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. ITB. Bandung.
Lanuru, M dan Suwarni. 2011. Pengantar Oseanografi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sudarto., W. Patty., dan A. A. Tarumingkeng. 2013. Kondisi Arus Permukaan di Perairan
Pantai: Pengamatan dengan Metode Lagrangian. Junal Ilmu dan Teknologi Tangkap,
1(3):98-102.
Sulaiman, A. dan Soehardi. 2008. Pendahuluan Geomorfologi Pantai Kuantitatif. BPPT.
Jakarta
Sutirto dan D. Trisnoyuwono. 2014. Gelombang dan Arus Laut Lepas. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Tarigan, A. P. M., dan A. S. Zein. 2005. Analisa Refraksi Gelombang Pada Pantai. Jurnal
Teknik SIMETRIKA., 4(2): 345-351.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset.
___________. 2008. Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset.
Wahyudi., Sholihin dan F. Setiawan. 2005. Pengaruh Spektrum Gelombang Terhadap
Stabilitas Batu Pecah Pada Permukaan Cellular Cofferdam Akibat Gelombang
Overtopping. Jurnal Teknologi Kelautan., 9(1): 9-17.
716
Juni 2016