Anda di halaman 1dari 4

1.

Qiyas

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:

a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar Artinya: firman Allah SWT.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Midah: 90) Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr. b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.

2. Ihtisan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

3. Maslahah Mursalah Maslahah mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahah (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada penentuannya dari syara baik ketentuan secara umum atau secara khusus. Jadi, termasuk adalah yang dapat mendatangkan kegunaan (manfaat) dan dapat menjauhkan keburukan (kerugian), serta hendak diwujudkan oleh kedatangan syariat Islam, serta diperintahkan nash-nash syara untuk semua lapangan hidup. Akan tetapi, stara tidak menentukan satu persatunya maslahah tersebut maupun macam keseluruhannya. Oleh karena itu, maslahah dinamai mursal artinya terlepas dengan tidak terbatas. Akan tetapi, jika suatu maslahah telah ada ketentuannya dari syara yang menunjuk kepadanya secara khusus, seperti penulisan Al-Quran karena dikhawatirkan akan tersia-sia, atau seperti memberantas buta huruf (mengajarkan menulis dan membaca), atau ada nash umum yang menunjukkan macamnya maslahah yang harus dipertimbangkan seperti wajibnya mencari dan menyiarkan ilmu pengetahuan pada umumnya atau seperti amar maruf dan nahi munkar, maslahah penetapan hukumnya didasarkan atau nash, bukan didasarkan atas aturan maslahah mursalah

Syarat-Syarat Maslahah Mursalah 1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memendang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.[2]

Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syariat tidaklah diperlukan, seperti dalil maslahah yang dikatakan dalam soal hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terhadap maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan istrinya ditegakkan diatas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang dan cinta-mencintai. 2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam Al-ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh-contoh orang kafir telah membentangi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin di larang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentangi memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentangi orang tersebut demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka. 3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh syari. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah. 4. Masalah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.

Anda mungkin juga menyukai