Bab 02 Perilaku Etis Dalam Bisnis
Bab 02 Perilaku Etis Dalam Bisnis
Budaya Organisasi
Keseluruhan budaya perusahaan dampak bagaimana karyawan melakukan diri dengan
rekan kerja, pelanggan dan pemasok. Lebih dari sekedar lingkungan kerja, budaya
organisasi mencakup sikap manajemen terhadap karyawan, rencana pertumbuhan
perusahaan dan otonomi / pemberdayaan yang diberikan kepada karyawan. “Nada di
atas” sering digunakan untuk menggambarkan budaya organisasi perusahaan. Nada
positif dapat membantu karyawan menjadi lebih produktif dan bahagia. Sebuah nada
negatif dapat menyebabkan ketidakpuasan karyawan, absen dan bahkan pencurian
atau vandalisme.
Ekonomi Lokal
Melihat seorang karyawan dari pekerjaannya dipengaruhi oleh keadaan
perekonomian setempat. Jika pekerjaan yang banyak dan ekonomi booming,
karyawan secara keseluruhan lebih bahagia dan perilaku mereka dan kinerja cermin
itu. Di sisi lain, saat-saat yang sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat
menjadi takut dan cemas tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan ini
mengarah pada kinerja yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam
beberapa karyawan, bagaimanapun, rasa takut kehilangan pekerjaan dapat menjadi
faktor pendorong untuk melakukan yang lebih baik.
Persaingan di Industri
Tingkat daya saing dalam suatu industri dapat berdampak etika dari kedua
manajemen dan karyawan, terutama dalam situasi di mana kompensasi didasarkan
pada pendapatan. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, perilaku etis terhadap
pelanggan dan pemasok dapat menyelinap ke bawah sebagai karyawan berebut untuk
membawa lebih banyak pekerjaan. Dalam industri yang stabil di mana menarik
pelanggan baru tidak masalah, karyawan tidak termotivasi untuk meletakkan etika
internal mereka menyisihkan untuk mengejar uang.
2. Kesaling Tergantungan Adalah Bisnis Dan Masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis dan
kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak, masih
setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan planet-
planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan sendiri-sendiri. Manusia
yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak membutuhkan manusia lainnya.
Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina, melainkan ketergantungan yang terus
diusung.
Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme.
Manusia bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip
kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya
kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku,
ekonomi dsb.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa ini adalah karena terlalu membuncahnya
subordinasi relasi manusia atas manusia lain. Negara telah dikuasai oleh jenis
manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi
lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak,
majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan
kesalingtergantungan.
Di negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih
kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid
terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para
oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya
habis-habisan.
Jika borjuis menggunakan sentimen agama untuk mengelabui rakyat jelata, maka
proletar menganggap agama sebagai candu rakyat. Yang satu mengatasnamakan
agama, yang lainnya mengatasnamakan rakyat miskin. Namun keduanya memiliki
tujuan yang sama: kekuasaan. Kekuasaan negara, dan juga agama telah menjadi
petualangan bisnis, dimana siapa saja yang berkuasa maka kekayaan hendak
menumpuk dalam istananya dengan benteng menjulang, sementara secuil saja
kekayaan yang dinikmati mereka yang bekerja keras.
Di abad yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan
Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk berdagang
dengan penduduk setempat. Mereka melakukan kerjasama bisnis dengan penduduk
lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya mereka menikmati peran sebagai
partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap tidak lagi menarik. Mereka pun
berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa ini hingga
ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan menciptakan ketergantungan
penduduk lokal kepada mereka. Rupanya peran yang belakangan lebih menarik dan
lebih menantang.
Perbudakan adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia.
Setiap manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya
tidak lekang oleh zaman,. meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab.